Kamis, 31 Juli 2008

Bahasa yang Mencari Kata

Hudan Hidayat

Adalah roh yang membutuhkan ruang, yakni ruang tubuh dan ruang bahasa. Tanpa roh, ruang tubuh dan ruang bahasa hanyalah benda mati. Pada tubuh, benda mati itu mungkin berupa kaki atau tangan yang terpotong, atau tangan dan kaki yang lengkap, sebagai bagian dari tubuh. Pada bahasa, ia adalah bentuk grafis dari huruf.

‘Benda mati’ sebagai unit terkecil dari bahasa, seperti kaki atau tangan yang terpotong,adalah bagian dari kenyataan yang terserak. Maka sebagai benda mati,
mereka tidak bisa mengenali kenyataan, apalagi memainkan kenyataan. Mereka bisa mengolah kenyataan,apabila mereka hidup, memiliki tenaga, dan kekuatan. Seperti pusaran air yang mengisap.

Tenaga bahasa adalah kesadaran, yang seolah arus listrik dengan kabel-kabel yang menjuntai,di mana pikiran dan perasaan, gagasan dan harapan, berada di dalamnya. Kesadaran adalah pancaran roh yang tak mau lepas dari Tuhannya. Juga tak mau lepas dari semesta. Pada dunia, kesadaran itu seolah kasmaran— seakan pemuda yang tak mau lepas dari cintanya.Kesadaran sebagai tenaga bahasa, bertemu dengan misteri bahasa sebagai kemungkinan bahasa. Mereka bersama menyingkap dunia— dunia kenyataan.
Dengannya kenyataan ditimang, atau dicampakkan. Dengannya kenyataan diberi bentuk. Seolah jabang bayi dalam perut ibu.

Misteri bahasa tak akan menjadi tenaga bahasa, tanpa manusia yang menyadari. Secanggih apa pun permainan bahasa– bentuk dan cara menyusun huruf, ia akan tetap menjadi parade benda mati, tanpa kesadaran.
Kesadaranlah yang mengenali dan mengolah kenyataan. Ia seperti matahari yang menyiram bumi. Bumi yang terkena matahari itu, hidup dan berkembang, merangkai dirinya, menjelmakan makna dirinya. Dengan jalan begitulah manusia membangun dunia, dunia yang direngkuhnya dari kenyataan, yang mencengangkannya sebagai mahluk di bumi.Kenyataan semesta adalah rangkaian benda-benda yang terserak di alam. Seperti pecahan batu
yang jatuh dari tubuhnya. Atau sepotong ranting yang terenggut dari batangnya. Fragmentasi dua benda alam ini,hanyalah seonggok benda mati– keindahan dan fungsinya ada dalam kelengkapan tubuh batu dan tubuh batangnya. Atau seperti tangan dan kaki manusia yang terputus dari tubuhnya. Mereka tidak berjiwa, tidak hidup,karena jiwa dan kehidupannya ada di dalam tubuh induknya. Mereka cuma fragmen di alam, seperti kuku burung yang jatuh dan mengering. Keindahan kuku burung ini ada dalam keutuhan burung itu sendiri. Kuku itu akan menjadi hidup saat ia ada dalam tubuh burung.

Begitulah saya menghayati tampilan dari huruf-huruf. Huruf-huruf yang kita pandang. Huruf-huruf yang memandang.Grafis a, b, c, dan seterusnya, adalah benda mati seperti fragmen alam adalah benda mati. Mereka belum berjiwa, belum hidup, dan tak dapat mengenali, dan mengolah kenyataan. Mereka belum berkesadaran. Maka apakah bahasa? Bahasa adalah huruf-huruf yang dijatuhi, huruf-huruf yang merangkai kesadaran. Rangkaian huruf inilah yang menjelmakan misteri— misteri bahasa. Misteri bahasa datang dari kesadaran, dari rangkaian, dari permainan dan kemungkinan huruf-huruf.

Seperti roh yang terperangkap dalam tubuhnya, begitulah manusia terperangkap dalam semesta. Atau seperti kesadaran terperangkap dalam kata-kata. Mereka yang terperangkap ini ingin melepaskan diri, tapi bukan untuk melarikan diri. Mereka ingin menjangkau dan mengenali, siapakah gerangan yang membuat mereka terkurung— tak bisa lepas.
Murung, putus asa, sesekali harapan, adalah ciri dari mereka yang terperangkap. Tapi tidak menyerah dan kalah. Upaya ‘perlawanan’ dilakukan dengan membuat symbol— juga metafor, untuk menjangkau keluar dari dirinya, atau masuk ke dalam dirinya. Gerak dari roh yang gelisah ini, membutuhkan ruang, yaitu bahasa. Maka bahasa pun bergerak. Ia mengerahkan huruf-hurufnya, demi melayani gelisahnya kesadaran, atau hasrat kesadaran untuk mengangkat dirinya, merebut makna dunia yang tak dikenalinya, atau coba dikenalinya.

Karena itu tiang dan akhir, topang dan duka, belum membentuk makna apa-apa, belum memisteri apa-apa, saat ia kita baca sebagai fragmen. Apalagi kalau kumpulan kata-kata itu dipotong dan potongannya dipisahkan. Maka ia hanya grafis huruf. Belum dapat memancing kesadaran pembaca, karena memang belum diberi kesadaran oleh penulisnya. Tetapi saat penulisnya bergerak, merangkai kata-kata itu, ke dalam
penghayatannya akan kenyataan alam, maka menjelmalah semua kata-kata itu, membentuk dunia kenyataan.

Dalam puisi Sutardji (Colonnes Sans Fin), dunia kenyataan yang kita kenali seolah ‘tiang tanpa akhir’. Si aku-lirik berhadapan dengan keluasan semesta tanpa batas. Kepada siapa dia bertanya, makna keluasan semesta? Tak seorang pun yang dapat dijadikan rujukan. Sebab tak ada yang dapat menjelaskan misteri semesta.

Indera manusia, hanya dapat menjangkau sejauh indera itu sendiri. Tapi ‘mengapa dunia’, ‘kemanakah kau dan aku’, dalam keluasan semesta itu, tak seorang pun yang tahu. Karena itu, ‘tiang tanpa topang itu’, seolah telah menjadi ‘tanda duka luka’nya. Ia berduka, karena dalam keluasan semesta ia tak mengerti.

Menyadari itu, si aku-lirik pun bergumam, ‘betapa kecilnya kau jauh di bawah kakiku’.
Inilah dunia kenyataan yang bukan saja berhasil menguak misteri semesta, tapi juga memunculkan misteri bahasa. Sebab bahasa di sana telah memberi tenaga untuk merengkuh semesta, terpukau dengan semesta.Ia telah membuat kehidupannya sendiri, logikanya sendiri. Dari huruf-huruf ‘mati’, tiba-tiba ia bergerak, hidup, merangkai, dan akhirnya mengandung semesta dalam dirinya. Tiang, akhir, sebagai kata (kenyataan) yang kita kenal, adalah biasa, tak bertenaga, tak bermisteri. Tetapi begitu ‘tiang’ itu digabung dengan ‘akhir’, lalu ditambahkan kata ‘tanpa’, maka menjelmalah keluasan tanpa batas itu (tiang tanpa akhir tanpa apa di atasnya). (Oh indahnya!).

Maka misteri bahasa, datang dari bagaimana kata-kata itu saling merangkai, saling bermain. Sebaliknya, semesta itu akan buyar, dan membuyar, bila rangkaian huruf-huruf
tadi dipenggal, dan diceraikan dari tubuhnya— tubuh bahasa. Misterinya pun akan berantakan. Ia kembali menjadi benda mati— jejeran grafis dari huruf-huruf.
Bila puisi Sutardji itu diarahkan pada semesta dalam ke-luas-annya, maka puisi Amir Hamzah mencoba merengkuh Tuhan dalam ke-tiada-an-Nya. Bila Sutardji memakai metafor ‘tiang’ yang melambangkan keluasan alam, maka Amir Hamzah memakai metafor ‘makhluk yang bercakar’, yang dapat ‘cemburu dan ganas’, melambangkan Tuhannya. Tuhan yang telah ‘memangsanya’, yang membuat ‘segala cintanya hilang terbang’, kecuali pada Tuhan itu sendiri. Situasi aku-lirik dengan Tuhannya, dalam puisi Padamu Jua ini,
seolah sepasang kekasih di mana seorang mencinta sungguh, sedang lainnya seolah acuh. Karena itu si aku-lirik menjadi ‘nanar, gila sasar’. Tapi ia terus berusaha merengkuh Tuhannya. Ia terus ‘bertukar tangkap dengan lepas’ (Oh, misterinya!).

Demikianlah kesadaran mencari bahasa, dan misteri bahasa mencari kata-kata. Kesadaran yang ingin mengenali dan mengolah alam. Bahasa yang ingin mengenali dan mengolah makna. Mereka ingin menumpahkan diri. Diri yang tumpah itu, adalah diri yang terbuka di hadapanmu. Kau tinggal memetiknya. Memungutnya dengan kesadaran, serta misteri bahasa dalam dirimu.

Rabu, 30 Juli 2008

Menguak Tabir Pujangga Rabindranath Tagore Ke Tanah Jawa

Pernah dimuat di Jurnal Kebudayaan The Sandour, edisi I 2006
Nurel Javissyarqi
http://pustakapujangga.com/?p=66


Prolog:
Di usia ke 69 bagus Burhan (nama kecil R.Ng. Ronggowarsito, 1802-1873), pujangga India Rabindranath Tagore dilahirkan dunia. Tepatnya di Joransko, jantung kota Kalkutta pada tanggal 6 Mei 1861, sebagai putra keempat belas dari lima belas bersaudara atas pasangan Maharishi Debendranath Tagore dan Sarada Devi. Atau 6 tahun setelah wafatnya Pangeran Diponegoro (1785-1855) Kakek buyut R. Tagore adalah penggerak Renaissans India, yang bernama Rommohan Roy.

Dengan sahabat karibnya Mahatma Gandhi (1869-1948), Tagore dianggap oleh masyarakat India sebagai perlambang insan setengah dewa. Tahun lahirnya beliau bersamaan dengan seniman ambisius Frederic Remington (1861-1909) yang karyanya rupa lukisan, pahat dan tulis. Di tahun itu pula Abraham Lincoln (1809-1865) terpilih sebagai presiden Amerika Serikat. Karya-karya Rabidranath Tagore (1861-1941) diantaranya berupa puisi, novel, cerpen, lukisan serta musik. Dalam usianya ke 52, anak Bengali ini dianurahi Nobel Kesusastraan 1913. Dan tahun 1915 mendapat gelar bangsawan dari pemerintahan Inggris, namun beberapa tahun kemudian, dia kembalikan gelar tersebut bagi protes kebijakan-kebijakan kerajaan Inggris di tanah India.

Di sini penulis akan menguak tabir puisi beliau, yang berjudul Kepada Tanah Jawa, tertanda tahun 1927. dia berlawatan ke tanah Jawa setelah perjalanan laut ke Eropa (1924-1925). Di usianya ke enam puluh enam (ke Jawa) masa istirah sebenarnya, namun seperti parikan pernah tersiar berkembang; bahwa tanah Jawa itu bencah kedua India. Di Jawa memang tiada sungai Gangga, tapi bengawan Solo cukup jadi legenda baginya. Kalau tembok Cina dapat terlihat dari bulan, kisah-kisah perdagangan tempo dulu yang melalui aliran bengawan Solo sudah melekat disanubari masyarakat Jawa hingga kini. Jika pesulap David Copervill sanggup menembus benteng Cina, pencipta lagu, Gesang (lahiran 1-10-1917) telah menuturkan alunan bengawan Solo untuk diperdengarkan ke telinga dunia.

Di bawah ini puisi Rabindranath Tagore, yang saya peroleh dari K.R.T. Suryanto Sastroatmodjo, dan kisah tergambar itu, ialah getaran rasa atas kalimat-kalimatnya, yang saya suguhkan bagi bukti Tagore benar-berada ke tanah Jawa atau tidak?

KEPADA TANAH JAWA
Rabindranath Tagore/1927

Dalam zaman yang kalem, yang jauh, yang tidak tertulis
kita bersua, engkau dan aku
dan dalam perkataanku terjalin dalam perkataanmu
dan jiwaku dalam jiwamu.


Rabindranath Tagore seperti tancapkan keyakinan dalam-dalam, bergumul dalam persetubuhan bathin antara dirinya dengan bencah Dwipa. Tangannya yang santun begitu lembut menggenggam lemah Jawa kuat-kuat. Di pandangnya berkesungguhan sangat; ia rasakan keharuan, dijilatnya lempung tersebut bagi tradisi Jawa; mengampuh, lalu diusapkan debu-debu tersebut ke kening, bagi hormat syukur dipertemukan raganya dengan siti Jawa (tanah Jawa). Menurut para wisatawan asing tahun 1803-1939, masih melihat ketujuh candi Singosari (bagi bukti kebenaran terbentuknya dinasti) peninggalan kerajaan Singosari (Kerajaan Singosari berdiri 1222 M, raja pertamanya Ken Angrok, merupakan cikal bakal kerajaan Majapahit), tetapi sayang, peninggalan berupa candi tersebut kini tinggal satu. Inilah bukti keserakan penjajah juga keteledoran anak bangsa (Jawa) merawat peninggalan sejarah.

Di kala itu gunung-gemunung segar bugar, memberi kesejukan mata memandang; Bathin menyaksikan mengalir bagai mataair elok berkumambang di bebatuan hitam, penuh kedalaman renung. Burung -burung pun tidak enggan berkicau, nyaring bersiul di telinga pagi dan petang. Bebunga bermekaran tanpa diusik sebutan mematikan, seperti gengsi ditaruh pada pot kemewahan. Andaipun ada, bunga-bunga di rumah panggung, itu masih menyapa bebunga lainnya, yang tidak diperhatikan pemilik rumah. Alam bersahaja memantul ke jiwa, rupa nyanyian ketentraman dan para gadis bersenandung ketika langkah kaki lincah menuju sendang; membiar kulit halusnya dielus aliran tirta pegunungan, penuh hangat kesejukan. Tagore menatap tanah pertiwi dalam-dalam, lekat hingga tulang sum-sumnya membeku diketidak berdayaan waktu lahirkan kata-kata. Begitu indah menerima tembang-tembang puja alam pada Sang Pencipta. Sampai dirinya dapat rasakan limpahan berkah dari lemah Dwipa, seakan terlahir lagi ke dunia; Segar, seharum tubuh masih muda. Di sama itu, Sultan Hamengku Buwomo IX (1912-1988) baru injakkan usianya yang ke 15 tahun.

Dengan berbaju warna putih layaknya sang resi, ia terus lanjut-kan kisah kembaranya…
Angin timur membawa seruanmu yang merdu
melalui jalan angkasa yang tidak terlihat
jauh, ke tempat matahari menyinari pesisir
yang dipayungi daun-daun kelapa.


Tagore duduk di antara bebetuan dan angin pantai menerpanya, ingatkan awal perjalanan ke bencah Dwipa. Sebelum pelayarannya ke tanah Jawa, dirinya dapati titah pujangga dari Yang Maha Kuasa, menuruti kalbu, menumpangi kapal kecil. Membelah gelombang, membelai cahaya sambil bercanda dengan decak ombak samudra, disamping membaca alamat kembara, awan jiwa.

Kala siang, kulit mulai keriput itu tersengat mentari, tapi seakan perjalanan awalkali, ia nikmati seperti pendakian gunung pertama; sungguh menghibur hingga kulit punggung terkelupas tidak terasa. Ibarat bocah temukan barang mainannya yang lama disembunyikan kedua orang tuanya, karena menyebabkan lupa makan juga istirah. Malamnya, senantiasa berdialok dengan gemintang dan sesekali putri bulan datang menghibur kesendiriannya. Diri Tagore seakan tidak pernah lekang dari keramaian percakapan paling sunyi nan bening; menimbang, merasai dan berfikir di segenap waktu disetia. Ia selalu diingatkan pengajaran para pujangga lama, membuat dirinya tetap teguh pendirian, laksanakan perintah meski dikepayahan sangat dalam rasa kantuk memberat, serta menjaga dari kesambilla-luan menggoda. Orang pilihan itu mampu memilih dan laksanakan pilihannya berteguh hati. Di tempat lain, pemuda Soekarno (1901-1970) baru injakkan kaki diusianya yang ke 26 tahun.

Lalu Tagore beranjak di antara bebatuan. Membuyar ingatannya tentang perjalanan kemarin, terus langkahkan kaki di bencah pasir-pesisir, pantai pasir putih, batu-batu mungil. Sesekali, melihat tarian janur-janur kelapa serasi waktu membiru dan angin kibas rambut panjangnya yang ikal membentang itu, bagai anak-anakan ombak sungai Gangga. Ia senantiasa tersenyum di setiap kesendirian, men-yapa alam pertiwi, harap berbagi teman sepermainan. Sekali waktu kaki-kaki tua itu tergores duri bunga-bunga kaktus liar-meliar, ia ikhlaskan demi salam canda lebih akrabkan ke jiwa. Sementara bunga-bunga mayang jadi saksi kecantikan matanya, yang ranum merangkum pengetahuan alam oleh kembara. Kerling bola matanya berbinar atas tempaan mutiara hayat yang pernah di-nikmati. Dan kini, ia kembali temukan mata air itu; sumber falsafah hidup sahaja, serupa alam tropis luhur penuh kemewahan wibawa. Keindahan batin terjemah kelembutan, bola mata memandang tiada kesudahan, mendapati pancuran bening kesantausaan; kesungguhan cinta dijanjikan, bagi setiap insan yang sudih tebarkan hawa kasih; hakekat kemanusiaan.

Seruan itu bersatu dengan bunyi sangkala
yang ditiup ketika sembahyang
dalam candi di tepi Gangga keramat.


Alunan gending gending sebentar sayu lalu menggenta. Itulah debaran bathiniah maknai seruan Sang Kuasa, tergurat kalimat sakti lewat jemari tangan beliau, kian bergetar ketika benar-benar cahaya kapujanggaan menimpa diri kembara. Seakan diserang demam mendadak, sebelum ucap kata-katanya membahana kepada relung jiwa alam semesta. Menggoyang pucuk-pucuk cemara, meniup benih-benih kembang, hadiah keindahan seterusnya. Inilah putik-putik bunga ditebar tangan beliau saat memasuki jalan ke perkampungan. Senja mulai menghampiri, Tagore menatap mentari sedemikian peluh-rindu, tiada mau berpisah atas perkawanan itu.

Rerumputan pepadi di pinggir desa menguning, runduk tubuh lengkungnya, sulur daunnya matang mentari, tawarkan bau kedewasaan. Dan setiap penciuman adalah awal sebuah musim dan diteruskan menjelma pengertian, sedangkan saling memahami itu bahasa tidak lekang oleh perubahan zaman. Mulanya mengangguk terdiam sambil tebarkan senyum kegaiban. Senja mulai kemerah, anak-anak tidak lagi diperbolahkan bermain, istilah Jawa-nya sandiolo (dekat keburukan). Warna mirah itu makin lama mengungu, menggaris-garis langit senjakala, serupa ada tepian sungai, di sana ia teringat sungai Gangga keramat di negerinya.

Dewi Wisnu yang mulia raya bersabda kepadaku
dan Uma, dewi berlengan sepuluh, demikian pula;
“Sediakanlah kapak dan bawalah menyebrangi laut yang asing,
sekalian ucapkan menyembah kami”


Saat memandang gegaris senjakala seakan lekukan tubuh sungai Gangga. Tagore merasakan dirinya sehawa dalam sebuah candi, denting klenengan kian seru bersusulan, ditabuh angin genderang, begitu pun genta di kalungan leher sapi putih kemerahan, bersahut-sahutan. Dirinya merasa membumbung kepada puncak mega-mega, bersatu dalam kehendak langit masa itu. Kembali, jiwanya digetar-kan seruan kemarin silam (semasa di India). Panggilan kedua yang sama, bagi pelaksanaan tugas setelah injakkan kaki di bencah Dwipa. Sesudah sebrangi lautan asing, di mana tempat mentari kumpulkan energi, bintang-gemintang kuat pancarkan tubuhnya di tanah Jawi.

Senja terus rampungkan tugasnya, tenggelamkan surya, bangun-kan kunang-kunang hiasi malam ganjil, lalu jiwanya balik turun ke bumi (selepas mengawang); mengenang seruan sabda Mulia Raya. Kampung persinggahan kala itu, menerimanya sebagai ruang paling bersahabat. Seorang kembara ialah tamu para pemukim. Pengelana itu raja tidak punya istana mungil (keduniawian), tapi kastilnya rupa alam semesta; tiang-tiang berdiri niat berketeguhan, perabotan-nya terdiri kepasrahaan dari keikhlasan di setiap tingkap cobaan, sedang mahkotanya bernama kesetiaan.

Malam makin menanjak, ia meminum seteguk air putih demi pengganjal lapar dan dihisapnya aroma dini hari, sekuat menyetu-buhi kesungguhan titah. Seorang mulia, persembahkan hidupnya bagi Sang Wenang; seluruh peribadatan di dalam menjalani hidup. Semua tadang dan pergi padanya, menjelma tetembangan yang terus berkumandang. Jika kesedihan mendentang, disusul sukacita kemesraan, sampai temukan kesempurnaan, keseimbangan bathin, keselarasan jiwa, kepaduan nada-nada kalbu pada jantung hidupnya dan amalkan perintah bukanlah hal memberat, setelah bersatu pada tubuh kehendak.

Sungai Gangga mengulurkan tangannya ke lautan timur
dalam gelombang amat dahsyat
dari langit bersabdah dua suara yang kuasa kepadaku- yang satu
yang menyanyikan keindahan sengsara Rama,
yang lain menyanyikan kemenangan Arjun.
Mendesak daku membawa kakawinnya meyebrangi laut
ke pulau-pulau timur.


Fajar menyingsing, Tagore kembali diingatkan keindahan sungai Gangga atas lahirnya mentari timur. Dua suara datang bertubi-tubi padanya, sengsara dan kemenangan. Dirinya seakan diperintahkan seberangi antara keduanya. Pagi itu ia bersemedi, menuwang segala perhatian bathin melangkah, susuri busur pana atas tarikan nafas lama. Melesat bagai kilat, tidak hirau sakit gembira, tidak merasai sedih pun suka memberat, masuk ke alam hampa. Hilang rasa cinta selama ini, begitu pun benci. Jiwanya ampang seampas tebu habis dihisap anak-anak gembala. Seolah tidak bermakna dan terus.

Sampailah bathinnya ditarik oleh kedua arah itu semakin kuat. Ada daya grafitasi antara sengsara Rama juga kemenangan Arjuna, namun ia usahakan tidak bertepuk dalam pesta, juga tidak alirkan airmata kesedihan. Ini lawanan nafsu-nurani. Rabindranath Tagore masih pejamkan mata sambil menghadap mentari. Dirinya telah berada di timur (tanah Jawa), tetapi busur pana itu tetap mengajak melesat, akhirnya menghujam ke matahari. Ia pun merasakan terkena pana; ada titik kebertemuan, jiwanya dengan sang surya, lalu firasat semedinya purna. Ia membukakan mata kala mentari setinggi pohon jambu kelutuk di samping rumah penduduk, letak di mana semalam menginap.

Esoknya, ia lanjutkan perjalanan. Entah berapa bulan berada di tanah Dwipa, tapi dirinya masih terngiang tanah kelahirannya. Atau tengah memadukan energi dari pulau Jawa dan India, sebab dalam benaknya, Jawa-India satu tumpah darah. Langkah berayun terus-kan niatan, baju dikenakannya mulai coklat kekuningan atas tempa-an panas mentari juga hempasan debu kaki pedati. Sampailah ia di lempeng kaki candi Borobudur dan serentak; itu tubuh bersembah sujud pada Yang Asih.

Masa itu penjajah di tanah Jawa tidak begitu hirau orang-orang asing, apalagi dari dataran tanah India. Kiranya sekedar wisata atau ngelukkru beribadah kalau beragama Hindu atau Budha. Dan agama Islam sudah menjadi momok ancaman penjajah, bagi jalan tempuh kemerdekaan kedua, di tanah sumpah Palapa. Masa dimana pendiri organisasi Nahdhotul Ulama:’ Hasyim Asyari (1875-1947) dalam usia -nya yang ke 52 tahun. Kala itu di tempat lain, daerah Ponorogo; desa Tegalsari, Jetis. Pesantren Kyai Ageng Muhammad Besyari sudahlah tersohor atas mutiara santrinya yang bernama R.Ng. Ronggowarsito (dimakamkan 54 tahun lalu di desa Palar, Klaten; dari hitungan Rabindranath Tagore di tanah Jawa). Dan ia terus menaiki tangga tingkatan candi Borobudur, dari tingkatan paling bawah; kamadhatu menuju ke tingkatan rupadhatu, sampai tiga tingkatan arupadhatu. Pada stupa paling akhir itu, atas ketinggian mega jua burung-burung kelana, ia membalik terkenang perjalanan. Kalaulah Goenawan Mohamad pernah menuliskan; “Di mana masa silam datang pada kita, dan kitalah yang menjadi tamu.”

Pagi hari datang; kapalku menari di gelombang biru tua
layarnya yang putih kembang gagah di tiup angin
ia mencium pesisirmu, langit gemetar dan selubung hijau dewi rimbamu
pun bergerak, kita bersua dalam bayang-bayang senjakala,
ketika malam sunyi-senyap, malam menjadi muram;
siang hari menebarkan emasnya di jalan ---tempat kita bersua
jalan jiwa kita berdua menempuh jaman bersama-sama,
dari abad-ke abad, antara impian yang gilang-gemilang yang tidak terbilang.


Pada sap candi Borobudur paling tinggi arupadhatu, ia menuliskan sajak bertitel Candi Borobudur, sambil bersandaran di tubuh stupa terbesarnya. Letak itu, Tagore memandang lepas ke sekeliling candi; pohon-pohon kelapa berdiri tegak, sulur dedaunnya senantiasa digoyang angin pegunungan. Rumput pepadian hijau perawan, menyiarkan berita kesuburan. Sesekali burung-burung hinggap di atas stupa, seperti mengucapkan salam kedatangan. Warna biru langit penuh, bicarakan pelayarannya masa lalu; saat disapa burung pantai, camar berkejar di muka pesisir menebar cerecah. Gunung-gemunung hijau daun pepohon dikenang, selalu menyirap dirinya pada kedalaman bathin keunggulan. Sampai datang senja seakan tiba-tiba atas lamunan lembut melembutkan rasa, lentur melenturkan suara. Bayang-bayang senjakala mulai kelihatan pada tubuh-tubuh stupa, pepohon pisang tampak kecil di ketinggian jauh.

Waktu mulai temaram, seorang gadis belia penduduk setempat datang ke candi, letak Tagore tua tengah menikmati pemandangan. Perempuan itu bertubuh semampai berbusana kebaya, senyumnya bagaikan gula-gula jawa tebarkan pesona, menghatur sang pujangga untuk menikmati bebuahan yang ia bawa. Gadis itu memang setiap temaran ke sini, demi mendatangi kalau-kalau ada seorang kembara singgah di candi. Ritual tersebut dilakukan sebagai hormat perintah orang tuanya; lalu darah kelelakian Bengali itu teringat wajah-wajah gadis di negerinya, yang juga malu-malu ketimuran. Dan tak berapa lama, gadis manis meminta pamit, tinggalkan buah-buahan bagi beliau. Tagore menggaguk tanda terima syukur. Kembali, ia disergap keheningan malam, tiada kunang-kunang pada ketinggian Borobudur, kicauan burung pun telah sirna bersamaan senja pulangkan mentari lewat senja.

Bengi senyap membungkus tubuh tersebut dengan angin dingin yang sangat, raga rentah itu seakan tak kuasa tiupan malam. Tetapi ia tidak mau turun dari ondakan-ondakan pada lereng candi. Barulah ketika wajah bulan muncul, kesenyapannya terhibur, sedikit demi sedikit mulai merasakan kehangatan. Lantas ia bersila di ketinggian candi sampai pagi menjemput mentari kembali.

Sinar pepagi keemasan mulai meniup hawa kehangatan, seperti jalan-jalan angkasa dan fikiran berkendara imaji tetap melangkah, menebar kemungkinan bertemu nilai, sambil bawa setumpuk kisah, untuk diselidik ulang balik pada perhitungan ganjil penentu rasakan kepenuhan, sebuah kesehatan bathin. Dan spiritualitas itu cahaya menempa tubuh berulang-ulang. Memasuki abad-abad lalu tengge-lam, diteruskannya sampai kekinian, hingga jaman gilang-gemilang, puncak dimana dirinya bagi satuan saksi pencerah tanah Dwipa.

Zaman pun silam, malam yang gelap menutupi kita
kita tidak kenal mengenal lagi
tempat kita duduk hilang lenyap, tertimbun abu roda kereta.


Tagore seakan melempar jala kemungkinan teramat mengganjal. Ia lengkingkan kegelisahan akan masa tidak mengenak. Menujum kemungkinan suram tertandakan, dari alam mulai bosan atas anak-anak manusia mengenyam keserakahan. Melihat roda penjajah yang makin mencengkeram lahan-lahan liat, peradaban timpang tambah beringas, kalbu nurani tersisikan ke tepian kesunyian. Akal budhi menjadi asing, semua terhapus; diganti norma-norma kepentingan, jiwa tercampak jauh dan terpencil, sulit diketemukan kembali.

Bencah tanah Jawa dan India terasing kembali dari adat istiadat-nya, serempak berganti baju modernisasi tidak berpribadi pribumi, wewacana asing tenggelamkan rasa, angkat logika setinggi-tingginya hingga tata kerama hilang musnah, semua tergadai oleh perhitungan butuh. Pengertai orang kaya dulu; kurangnya meminta kebutuhan pribadi, tapi senantiasa memberi pengayoman sesama (kasih), atau sedikit kebutuhan diri, tapi penuhi kebutuhan orang lain berikhlas sayang. Wajah-wajah lugu diganti muka molek rayu, senyum rama berubah senyum sungging menginjak sesama.

Di mana para pendahulu telah meramalkan, pun beliau. Seorang pujangga itu mengambil jarak atas jamannya, tidak terhanyut pula tidak berkendara. Ia berada di sebrang kenyataan, tempat lain lebih hakiki dari sekedar realitas tampakan (profan). Pujangga adalah seorang penarik nilai-nilai luhur berkesungguhan sahaja demi dipersembah pada tanah tumpah darah, pertiwi; agar tidak kebablasan melupa. Tapi bukan berarti ambil akar-akaran tidak berfaedah, ia menarik akar-akar penting bagi jamu, guna kesehatan sesama, kelangsungan hayat berbudaya, menjunjung tinggi hakekat fitroh bermasyarakat; kemanusiaan adil penuh wibawa yang dalam istilah R.Ng. Ronggo-warsito; Sastra Jendra Ayuningrat.

Dan aku dihanyutkan pasang surut kelupaan
kembali ke pesisirku sendiri yang sunyi
senyap-tanganku hampa dan semangatku kosong
laut di rumahku jadi bisu,
tidak menceritakan pertemuan kita yang disaksikannya itu,
dan sungai Gangga yang gemar bicara itu
tidak memberitahukan kepadaku di mana jalan yang tersembunyi
dan yang jauh, ke tempatnya yang lain, yang keramat.


Di kala itu Tagore diambang keputusasaan kabut, diseret alunan nujumnya pada alam kelam, kosong ingatan akan kebeningan tekat berbinar-binar kemarin silam, luntur satu persatu benang harapan-nya, ketika melihat alam menjerit meminta tolong. Ia tidak kuasa kembalikan rindu kepada tempat semula; kehendak suci lagi mulia. Semangatnya berangsur menuju hampa, bukan tengah istirah atau kendorkan urat syaraf. Tetapi sedang rasakan tubuh tenggelam di kepiluan memberat. Andai pun ada dendam, itu tidak akan mampu mencuat.

Saat kepiluannya membumbung, tak kuasa lagi terima keadaan. Semua terlihat bisu dihadapan, alam dulunya renyai selalu beri kabar padanya, diganti kesenyapan. Bathinnya sunyi seolah tuhan tinggal-kan kalbu mungil itu. Tanpa ada kesaksian ketika waktu-waktu pilu terus berlalu. Mendiamkan diri bersama kabut pedut, larut ke alam kenangan buram. Ia kehilangan jejak kemuliaan atau seperti masa-masa kebosanan, menutup seluruh pintu kemungkinan, sampai tak ada lagi pengajaran masuk nan mengena. Segala asing jadi hal biasa, dan yang biasa, makin lama hilang pengertiannya.

Warna senjakala tiada lagi bicarakan sungai Gangga pada garis-garis keningnya. Seumpama seekor burung lupa arah, ngapung lupa tujuan ke mana, berputar tetapi bukan mencari mangsa, cari alamat yang hilang dari peredaran kembaranya. Hanya kelelahan; kekosongan itu dipapanya ke pembaringan, menuju alam kegelapan. Tagore tertidur di kepayahan mencari, ruh alam memberkati; memenuhi jiwanya saat ia tidak sadarkan diri, dalam kepulasan.

Saya datang kepadamu, memandang matamu
dan seperti melihat cerlang gaib yang kemilau
ketika kita bersua pertama kalinya dalam hutanmu, cerlang suka cita raya.
ketika kita saling mengikat pergelangan dengan benang merah persaudaraan.


Rabindranath Tagore terbangun dari tidurnya. Memulai kembali ingatan, dari yang mengantarnya lelap dalam kepulasan; kehampaan nujumnya kepada peradaban, kalau-kalau nanti anak kehidupan hanya sekedar menuntut kebutuhan bagi roda jaman. Kalau ditarik dari sejarah, Einsten (1879-1955) berusia 48 tahun di masa itu.

Ia pandangi langit siang terik seperti melihat harapan cemerlang melayang-layang di atas kepala. Awan putih menyebar ke tepi-tepi cakrawala. Ia menyaksikan langit biru lepas tanpa mega keraguan. Matahari memberi cahaya kepenuhan saat itu, menyentakkan sedari lamunan panjang kegagalan.

Bayu menyapa kembali, lewati sulur daun pohon rindang raya antarkan kabar kegembiraan bagi kehampaan jiwa. Lalu kemanusia-annya menari-nari, serasa awalkali injakkan kaki di bumi. Senandu-ng alam tropis tanpa bersolek pun jadi memikat hati. Ia terhanyut kebersamaan, kepaduan panorama sekitar dengan diri, bagi tamu di tanah Jawi. Sekarang Tagore telah jadi tamu sekaligus tuan rumah. Sebab tanah tumpah darah itu keluhuran budi menterjemah alunan timur ke pelosok sejati rasa, dusun terpencil naluri manusia.

Tagore kembali bugar untuk beberapa kalinya di tanah Jawa. Tapi, lalu balik bertanya; Apa ini sekedar halusinasi, sudah merasa persahabatan intim? Jiwanya diantar balik antara sungguh dan ragu, semangat dan sambillalu, yang setiap masanya sanggup menjerat. Ia seolah balik dikemuraman batu, namun ada yang tertahan; masih sungguh mendengar perintah awal perjalanan, titah Sang Wenang, demi diri kembara layari laut temui kepulauan timur Jawa.

Alam tua itu telah muram,
akan tetapi belum lepas dari tanganmu.


Ia kembali tegaskan pada dirinya, akan kabar terang dari selipan mera-mega membuyar. Tagore menancapkan janji-janji bagi jiwa-jiwa kesungguhan, mereka yang teguh tekat, pemilik niat membaja. Ia bukan merayu, inilah teguran amat sungguh bagi bangsa pertiwi yang tidak ingin lepas dari takdir besarnya. Tagore tua berseru kepada tanah Jawa juga India, demi anak-anak nantinya, pewaris terhormat dari tradisi ketimuran mulia. Namun siapakah sanggup menterjemah petuahnya, ketika insan saling berlomba mencari kedudukan duniawi (waktu itu, 12 tahun sebelum Perang Dunia II, 1939-1945). Bathin bukanlah perkara jasad dan jasad berbusana gemerlak, tidak mampu duduk lama dimana tepat di turunkan berkah mahabbah pujangga. Nafsu temu nafsu, nurani berjumpa bangsanya, semuanya mengalir ikuti jalan masing-masing, begitu juga niat bertirakat.

Di jalan yang kita tempuh dahulu
masih tersebar bekas perkataanku,
sehingga aku mendapat jalan lagi ke dalam jantung hatimu,
tempat sinar masih bercahaya, sinar kita nyalakan bersama-sama,
pada malam pertemuan dahulu kala.


Rabindranath Tagore seakan berkata; “Jikalau rindu datanglah menuju tempat semula, letak kita berjumpa sedia kala, sedia jalani keseiramaan bathin atas saling membuka. Buanglah segala curiga juga was-was hantui jiwa, sebab bangunan tertata berasal tumpukan kangen menggebu rasa.”

“Barangsiapa rindu tentu bertemu, yang kayungyung berjumpa pula. Kebertemuan inilah sinar cahaya terang, takdir kebersatuan menambah cerlang kilaunya, meski pada kemalaman gelap. Sebab kelam pun menambah pikat sukma. Merambah kepada keheningan penciptaan paling mulia, bathin menjembatani ke alam timur raya.”

“Sukurlah kebertemuan itu, hingga cerlangnya awet sampai dipembaringan jaman. Persahabatan kita akan abadi seperti muda-mudi setiai janji sehidup semati. Perkataanmu menjelma merkata-anku dan perkataanku juga perkataanmu saat benar-benar diri kita dalam kuluman bibir samudra rindu. Yang jauh tidak lagi jauh dan dekat semakin erat, semua berlangsung berkenikmatan sungguh.”

“Rasa cinta benderang, menghimpun rasa hingga fajar menjelang. Kita satukan senja-fajar pada ingatan jaman, atas perjalanan terus terekam dalam bayang-bayang juga cerecah burung terbang.” “Ruh kita bersama tubuh elang kelana, demi mencari pengalaman, rasa syukur beribadah di segenap tingkah laku hayat terima takdir nyata, atas kaki-kaki disempurnakan doa moyang, dan ridho Sang Wenang. Saat diharuskan berpisah di perempatan jalan, kita masih sejiwa pada kembara, ritual doa.”

Ingatlah aku sebagaimana aku mengingat wajahmu
dan lihatlah padaku sekalian yang telah silam
akan tetapi yang harus kita hidupkan kembali nan kita perbaru.


“Perpisahan bukan akhir persahabatan, sebab kita hakekatnya bersama. Sekedarlah beda tempat, kau di Jawa aku di India. Wajah keelokan pertiwimu senantiasa ku hirup bau kembangnya dan tidak akan ku lepas; bau warna serta gelombang bathin kita saling tebarkan jala, olehnya tidak merasa hilang sampai akhir masa. Mata dunia pun merekam persahabatan langgeng kita, dalam pembaharuan alam tropis, yang terus berhembus kepada kaki-kaki gunung kepulauan. Dan perkataan kita adalah bukti kelangsungan persetubuhan jiwa-jiwa mandiri.”

“Sekali lagi, jarak waktu dan tempat bukanlah apa, setelah kesamaan ombak mencipta daya dinaya. Diriku memandangmu dalam, lekat tak pernah sirna, meski bukan dalam pejaman mata dan pada dirimu pun berlaku sama. Kesatuan saksi ini siarkanlah, agar mereka tahu bahwa aku benar pernah langkahkan kaki di tanahmu. Dan biarkan yang tidak percaya, sebab mereka kan mengerti bagaimana rasanya, kalau kita pergi meninggalkannya.”

“Mari mengibarkan panji-panji kapujanggan di tanah pertiwi kita masing-masing, kesemangatan jadi peleburan nilai atas titah pujangga Sang Asih. Kita alirkan sungai tersebut hingga mereka tersadarkan, di waktu yang tidak terekam selain debur ombak angin dan lautan, antarkan kebaharuan bagi ikut serta dalam perjuangan.”

4-Desember 2005
*)Pengelana dari desa Kendal-kemlagi, Karanggeneng, Lamongan, JaTim

Perempuan Penjual Nasi Boran

Rian Sindu

Bila suatu saat engkau bertandang ke kotaku. Cobalah mampir sejenak. Sekedar melepas penat sambil menikmati indahnya malam di sana. Kotaku selalu ramai. Apalagi di sebuah pertigaan yang terletak tepat beberapa meter dari alun-alun. Tempat berjajar-jajar perempuan menjajakan nasi boran.*) Makanan bercita rasa asli resep daerahku. Engkau belum pernah merasakan nikmatnya nasi boran, kan? Makanya, mampirlah dulu ke kotaku!
***

Bulan merangkak naik. Malam makin redup. Namun kotaku belum juga lelap. Apalagi di pertigaan ini. Tempat keramaian malam tertumpah. Terlihat beberapa lelaki lesehan di atas tikar pandan. sekadar mengendurkan ketegangan akan rutinitas. Juga yang sengaja berniat merasakan nikmatnya ikan sili, puh dan rempeyek sebagai lauk nasi hangat yang dibalur dengan sambal. Membuat kombinasi yang pas dilidah setiap orang. Sambalnya pedas mengigit dan terasa agak sengak, namun itulah yang membuat nasi boran ini begitu digemari. Anak-anak kecil bergelayut di lengan ibunya yang tegak dengan mulut komat-kamit bertransaksi dengan perempuan-perempuan penjual nasi boran. Bapak-bapak lahap memakan nasi hasil kepalan tangannya sambil ndodok di atas tikar pandan. Ramai sekali pertigaan ini persis seperi biasanya.

Seperti biasanya juga perempuan tambun yang punya tahi lalat persis di bawah dagunya itu terdiam. Di saat penjual yang lain sibuk dengan pincuk demi pincuk nasi melayani pembeli. Ia sibuk mengulur angan-angan. Matanya menerawang tinggi, menerobos pekat, memilah-milah memori masa yang telah lama berlalu. Ya, tepat di bawah lampu jalan pertigaan ini, ia dan tole sering sering menghabiskan malam berdua. Mengais rupiah dari sebakul nasi yang selalu mereka bawa sehabis senja.

Pertigaan ramai ini terasa sepi bagi perempuan itu. Nampaknya ada sesuatu yang telah hilang dari kehidupannya. Ia tak lagi bergairah berjualan. Seakan-akan yang ia lakukan sekarang hanya rutinitas yang harus ia jalani setiap malam. Bahkan ia tak pernah menghitung berapa rupiahkah yang telah masuk ke kantong setiap hari. ” Kalau begitu untuk apa mbok berjualan tiap malam?” Seperti itulah kata-kata yang selalu ditanyakan orang pada perempuan itu. Lalu hampir selalu ia menjawab ” Untuk mengenang Tole.”

” Siapa Tole, Mbok?” Tanya seorang lelaki pembeli.
”Dia putra kesayanganku, Tiap malam ia membantuku berjualan.”
”Lalu kenapa malam ini ia tak ikut jualan?” Lelaki itu nampaknya begitu tertarik dengan tokoh kebanggaan perempuan itu. Tentu, ia tak mengenalnya sama sekali.

"Putraku sekarang sudah bekerja. Nak”
"Di mana tempat putramu bekerja, Mbok?”
”Di sana, di kantor bupati.”
”Sebagai apa?”
”Sebagai abdi negara. ”

”Oh pemelihara gedung negara...?” Lelaki itu pasti tak menyangka dari rahim perempuan itu telah lahir seorang pemimpin.

”Tapi nampaknya, Mbok tak suka ia kerja di sana?” Lelaki itu terus bertanya-tanya.
Perempuan itu mendesah. Kegundahan terselip dari nanar matanya.
”Ada benarnya omongan sampean.... Karena itulah, kini tole tak bisa membantuku lagi berjualan.”

”Ia kan putra mbok, Mustinya ia membantu mbok! Dasar anak tak tahu balas budi!” Kata lelaki itu tersungut-sungut serasa ikut merasakan kesedihan perempuan itu.

Perempuan itu tiba-tiba mengeram geram. Matanya nyalang. Seketika wajah lelaki itu pias. Ia mengambil beberapa lembar ribuan dari saku celananya. Mengucapkan kata maaf dan terimakasih sekenanya. Lalu ngeloyor meninggalkan perempuan itu sendiri. Di hati perempuan itu. Malam terasa begitu sepi.

Sejauh apapun ia dariku. Tole tetap putraku. Walaupun ia telah lupa dengan ibunya tapi aku takkan pernah lupa dengannya. Tak seorangpun kuijinkan menghinanya. Gumam perempuan itu mencericau sendiri. Ia mencium syal yang selalu ia kenakan. Ketika melihat benda itu, hatinya tiba-tiba menjadi haru. ” Mak pakai saja syal ini! Emak lebih butuh dari pada tole.” Ia teringat tole memakaikan syal itu melingkar di pundak perempuan itu. Meski akhirnya tole terbatuk-batuk dan ingusnya deras keluar. Anak itu benci sekali dengan udara dingin. Ia teringat begitu besar semangatnya untuk membantu emaknya. Perempuan itu terbatuk-batuk. Telah lama paru-parunya terserang radang. Makin parah saja semenjak tole tak di sisinya. Tak ada yang merawat perempuan itu lagi.
***

Walaupun dulu penjual nasi boran sangat banyak dibanding sekarang. Namun perempuan itu tak pernah sepi pembeli. Masakannya memang khas. Itu yang sering dikatakan pelanggannya. Terlebih kekhasan itu dibumbui dengan cerita-cerita heroik jaman perjuangan dulu. Ya, masa mudanya dihabiskan dari satu dapur ke dapur lain. Menyediakan makan bagi para pejuang kemerdekaan. Kadang harus merangkap jadi perawat kadang juga harus berani memanggul senapan. Cerita-ceritanya membuat para pembeli betah berlama-lama lesehan di samping bakul nasi boran miliknya. Biasanya Tole kebagian bersih-bersih sendok dan membuangi pincuk-pincuk bekas wadah nasi boran. Mereka terlihat sangat kompak.

Dan kekompakan itu seakan sirna semenjak Tole menang dalam PILKADA tahun lalu. Karena kesibukan tugas. Tole sekarang semakin jarang bersua dengan ibunya. Mungkin hanya sebulan sekali. Itupun tak lama. Bahkan telah empat bulan tole tak datang mengunjungi ibunya. Bulan ini hampir habis. Namun tak ada tanda-tanda tole akan datang bertandang. Kadang perempuan itu masygul dan mulai berpikir bahwa putranya benar-benar telah lupa dengannya.

Walaupun rasa sedih selalu membuncah ketika mengingat Tole. Namun Perempuan itu bangga dengan anak satu-satunya itu. Telah dari balita ia yatim. Namun ia tak pernah manja. Semangatnya untuk terus maju dan merubah kehidupan miskin yang melilitnya tak pernah padam. Suatu ketika perempuan itu kehabisan ide untuk mendapatkan uang, Tole sangat membutuhkan uang untuk biaya studinya. Sedang untung menjual nasi boran tak begitu banyak. Namun Tole dengan gigih nekat bekerja sebagai kuli panggul di pasar. Saat itu tubuhnya kurus kering tak berotot seperti kuli panggul yang lainnya. Namun semangatnya untuk terus sekolah mengalahkan keterbatasan yang ia punyai.

Tole tumbuh jadi pribadi tangguh dan kuat. Otak yang cerdas ditunjang dengan kegigihan untuk terus maju membuatnya pantas untuk membuat keputusan penting dalam hidupnya. Maju sebagai calon bupati periode kedepan. Membuat banyak orang terkejut karena ia hanyalah anak seorang rakyat biasa. Tak ada silsilah kaum berada pada hirarki moyangnya. Lebih terkejut lagi ketioka akhirnya dia menang. Padahal pesaingnya adalah orang-orang bernama dan berkantong tebal. Tak aneh jika ada yang nyeletuk. ” Dia , pasti menang karena langganan nasi boran emaknya banyak!” Mungkin juga benar. Karena rata-rata penggemar makanan itu di kota ini memang mengenal emaknya.
***

Bila suatu saat engkau bertandang di kotaku. Cobalah mampir sejenak di pertigaan ramai itu. Sekedar melepas penat perjalanan atau turut merasakan nikmatnya menyantap nasi boran di pinggir jalan. Sambil melihat kesibukan perempuan-perempuan penjual nasi boran atau lalu lalang kendaraan beraneka jenis. Mungkin juga ingin menikmati malam yang temaram dan damai seperti malam itu. Terlebih jika engkau ingin mendengar langsung cerita seorang perempuan penjual nasi boran yang kesepian karena telah lama ia tak melihat putranya.

Perempuan itu masih saja terpekur di atas sandaran tangannya. Matanya nanar dawarnai keharuan. Lalu beberapa bulir air meleleh dari kelopak matanya. Lampu jalanan yang terang membuatnya bias. Ia masih larut dalam lamunan bahkan ketika ada sebuah avanza berplat merah berhenti tepat di depan bakul nasi borannya.

Seorang lelaki kurus turun dari mobil. Langkahnya wibawa sahaja mendekati perempuan itu. Nampaknya ia bukanlah laki-laki biasa. Di belakangnya, beberapa orang sangar berbadan kekar menguntit laju jalannya lelaki kurus itu.
” Emak!”

Perempuan itu terkesiap. Ia begitu mengenal suara itu. Belum lama perempuan itu bangkit dari duduknya tubuhnya limbung karena sebuah pelukan telah meremas tubunya. Aroma tubuh itu tak asing lagi. Kehangatan seketika melumuri badannya. Dan air mata perempuan itu mengalir makin deras.

”Maafkan Tole, Mak! Telah lama tole tak mengunjungi emak.” Laki-laki itu terisak-isak. Tangannya menyeka air mata yang deras keluar dari mata perempuan itu.

”Ndak papa, Le. Gimana kabar kamu, Le? Sehat?
”Sehat, Mak.”
”Bagaimana pekerjaan kamu?”

”Itulah mak kadang tole menyesal menjadi sekarang. Kenikmatan menjadi orang besar kadang membuat lupa bahwa kita pernah jadi kecil.”
”Ndak boleh begitu, Le, Bagaimanapun itu adalah amanah rakyat.”

Beberapa orang yang lain sedang tersihir dengan situasi yang amat mencengangkan itu. Mereka seperti sedang melihat episode akhir sebuah sinetron. Siapapun yang mengenal lelaki itu pasti akan berubah sikap. Ada yang serupa budak dengan tuannya. Ada yang ketakutan seperti melihat hantu. ada yang sengaja menjauh. Namun banyak juga yang tak mengenal laki-laki itu. Bisa dimaklumi, karena tak semua rakyat mengenali pemimpinnya. Demikian juga pemimpin sering lupa mengenal rakyatnya.

”Kamu tak lupa dengan nikmatnya nasi boran buatan Mak kan? Perempuan itu menyodorkan sepucuk nasi. Dua bungkus lagi buat pengawal laki-laki itu yang sangar-sangar.
”Pasti Mak. Pasti. Oh ya! Habis ini kita beres-beres lalu boyongan kerumah baru kita ya mak!”
Perempuan itu menghela nafas berat. Bola matanya menangkap bakul nasi dan bertumpuk-tumpuk lauk pauk miliknya.
”Itu bukan rumah kita le. Rumah itu adalah titipan yang sewaktu-waktu diambil lagi oleh pemiliknya! Kita adalah rakyat biasa.”
***

Bila suatu saat engkau bertandang kekotaku. Coba mampir sejenak di pertigaan ramai itu. Sekedar melepas penat perjalanan atau sekedar merasakan nikmatnya menyantap nasi boran di pinggir jalan. Sambil melihat kesibukan jual beli nasi boran atau lalu-lalang kendaraan beraneka jenis. Mungkin juga ingin menghabiskan malam dikotaku yang temaram dan damai.

Namun maaf kali ini aku tak bisa menemanimu. Karena pekerjaanku seperti tak habis-habis. Tapi tak usah khawatir. Akan kutunjukkan penjual nasi boran mana yang menjadi langgananku. Ya, perempuan tambun yang ada tahi lalat di dagunya itu. Dijamin engkau akan rindu bertandang kembali kekotaku. Engaku tak hanya akan disuguhi masakan yang enak saja. Namun juga diceritakan bagaimana gigihnya perempuan itu bertahan sebagai penjual nasi boran. Karena ia hendak membuat nasi boran tak dilupakan rakyat kotaku. Tak kalah dengan masakan-masakan luar negeri yang makin deras berdatangan ke kota ini.

Jangan lupa juga minta diceritakan tentang anaknya yang kini menjadi orang besar. Walau begitu, ia tak pernah sombong dan selalu rendah hati. Ia hebatkan? Ya, perempuan itu memang sangat hebat. Dia adalah ibuku. Aku sangat menyayanginya. Walaupun dia masih belum mau tinggal bersamaku di rumah dinas yang luas ini.

Lamongan, Kota Cahaya Oktober 2007

Selasa, 29 Juli 2008

Sastra: Menjadikan Perubahan

M. Bagus Pribadi

"Suatu masyarakat yang paling primitif pun, contoh di jantung Afrika, yang tak pernah duduk di bangku sekolah, tak pernah melihat kitab dalam hidupnya, dan tak kenal baca-tulis, masih dapat mencintai sastra, walau sastra lisan." (Bumi Manusia, hal. 233). Kalimat yang tersadur dari pernyataan Pramoedya Ananta Tour di atas, paling tepat untuk menggambarkan keadaan, di mana ada suatu negara terbelakang, pun masih terdapat kecintaan pada dunia sastra. Walau mereka belum mengenal tulisan-menulis, namun peduli melestarikan sastra (: lisan), sebagaimana masyarakat kita tempo dulu.

Lalu bagaimana dengan kondisi kita sekarang, yang katanya telah sampai pada alam masyarakat modern? Ini bisa terlihat dari daftar prioritas kebutuhan hidup, yang lebih mementingkan pakaian baru, kosmetik, makanan ringan serta kendaraan, sebagai daftar belanja bulanan. Sehingga bisa dipahami, tingkat kepentingan masyarakat kita terhadap karya sastra, pembelian buku jauh lebih rendah dibanding kebutuhan beli pulsa iseng sms dsb.

Balik kepada pernyataan di atas. Tingkat kebutuhan masyarakat untuk mengkonsumsi sebuah karya sastra dapat diperoleh pengertian, lebih cenderung anti sastra. Ini dapat di golongkan kaum bebal atau malas berpikir. Sehingga tidak menuju kemajuan, tapi melangkah pada bentuk kehancuran.

Apa yang menjadi landasan menyebut masyarakat yang anti sastra itu bebal? Karena karya sastra bagaikan anak tangga menuju peradaban tinggi. Mengenai hal ini dapat diketahui dari bangsa-bangsa terdahulu yang telah memiliki peradaban maju, ketika bangsa lainnya masih bergelut ketidaktahuan, kebodohan terhadap teknologi. Ini bukan lain di sebabkan kemajuan tingkat kesastraan dari masyarakatnya. Lihat saja bangsa Arab yang telah melahirkan para penyair sekaligus ulama’ yang mampu menulis kalimat-kalimat agung di samping indah, dalam karya-karyanya. Kita saksikan pula bangsa Inggris telah melahirkan Shakerspears dengan karya sastranya yang mengguncang.

Dari sini bisa diketahui, taklah mampu menyangkal peran sastra dalam mempengaruhi kehidupan insani. Bahkan mendiang John F. Kennedy, seorang presiden negara adidaya, yang memimpin bangsa paling rajin berperang. Pun pernah mengatakan: Jika sebuah prilaku politik itu kotor, maka puisilah yang membersihkan. Jika prilaku politik itu bengkok, sastralah yang meluruskan.

Pada masyarakat kita yang kurang menghargai atau tak menempatkan kesusastraan pada posisi selayaknya. Kondisi ini dapat mempengaruhi kualitas karya pada sastrawan di negeri kita. Puisi, misalnya. Di tangan penyair yang canggih-mutakhir, hanyalah deretan huruf, barisan kata-kata, dan tumpukan kalimat yang disusun sedemikian rupa. Ia hanya omong besar, bunga plastik. Sebagaimana persepsi masyarakat terhadap kembang palsu, keindahan semu belaka, dan puisi sekadar kata-kata indah menipu, kalimat besar yang tak punya ruh.

Akibatnya, puisi-puisi dari penyair mutakhir di negeri ini dapat dikatakan, hadir sekadar mengadopsi puisi-puisi yang ditulis penyair terdahulu. Baik bentuk, tema pun isi. Seakan-akan penyair itu telah menyerah pada bentuk dan gaya tradisi penulisan puisi yang dirintis para pendahulunya. Sehingga timbullah kesan: generasi sisa yang tidak bisa berbuat apa-apa. Tidak ada upaya atau keberanian melakukan terobosan dalam kerja kreatif berkarya sastra yang mampu “membangunkan” penikmatnya.

Lebih dikhawatirkan lagi, dari akibat tak dihargainya sebuah karya sastra di posisi semestinya, para sastrawan hanya memiliki keinginan menembus koran atau media massa semata. Mereka tidak peduli lagi terhadap isi serta makna karyanya, yang tak mampu dicerna masyarakat awam. Dan menjadi kepedulian paling pokok, kritikus sastra dan penyair papan atas mengakui kualitasnya. “Walau tanpa puisi, Indonesia tetap berlangsung hidup, terus bergerak tiada berubah keadaan” begitu komentarnya bagi penegas sikap eksklusifnya.

Pada akhirnya, kita berharap agar paparan di atas tidak menimpa penyair di negeri ini. Dan puisi-puisi dari penyair kita tetap menjadi karya sastra yang “baik.” Menjadi awal sebuah inspirasi yang mampu dicerna masyarakat awam, bahkan oleh para pembantu rumah tangga sekalipun. Kemudian karya tersebut sanggup menyodokkan inspirasi kepada pembaca, hikmah bagi banyak orang.

Karya sastra yang “baik” dapat memberi inspirasi bagi bangsanya. Karya semacam itulah yang sebenarnya sanggup menggerakkan masyarakat demi mencintainya, sebagai bagian kehidupan. Yang menjadikannya mampu mengasah jiwa, membuka kepekaan pribadi akan situasi yang berkembang. Ketika perang (kekerasan) membuat kemanusiaan beku, kondisi sosial budaya merosot. Ketika ekonomi terjepit, sastra diharapkan melahirkan norma dari yang bersifat estetis menuju kemunculan etika dalam menjalani hubungan antara umat. Penyair Sutardji Calzoum Bachri pernah mengatakan bahwa jika tentara punya panser dan peluru, penyair punya kata-kata. Sesungguhnya yang di harapkan darinya ialah karya sastra yang sanggup membuka mata hati dunia: kata-kata syair, puisi dan bentuk lainnya, merupakan alat terpenting menyelesaikan masalah demi mencapai titik temu menuju perdamaian, pintu pemecah keheningan kosong, dibandingkan dengan cara-cara militeristik, anarkis, kesewenangan, berbagai bentuk penghalalkan segala cara, serupa yang sering kita saksikan. Karena keindahan dapat meningkatkan kepekaan perasaan, sehingga banyak yang memahami: etika itu diperlukan dalam berhubungan sosial.

Yang menjadi pertanyaan sekarang: Adakah karya sastra dari para penyair kita yang mempunyai kriteria “baik,” mampu mengasah jiwa, membuka kepekaan diri, sebagai alat-alat perdamaian dalam keadaan pertikaian, perang, kemelut kehidupan?

Jawabnya; ada! Ya, karya sastra yang di maksud itu tidak pernah di perbincangkan dalam diskusi sastra, karena memang tidak dipandang sebagai suatu puisi. Namun sebagai karya sastra abadi, yakni teks sumpah pemuda 28 Oktober 1928.

Seperti halnya puisi, yang terbangun pada rangkaian larik-larik Sumpah Pemuda itu wahana imaji. Bahasanya sederhana, dan sengaja disusun sebagai visi politik, menciptakan imagined community (istilah Ben Anderson). Daya pukau teks tersebut yang kemudian menggerakkan para pemuda serta pemimpin bangsa, seperti; Soekarno, Hatta, Syahrir, Tan Malaka dll, sanggup menempuh pengorbanan panjang, perjuangan merebut makna kemerdekaan, mewujudkan suatu bangsa bersemangat sumpah.

Karya sastra sejenis itulah yang diharapkan kembali untuk negeri yang tengah di landa krisis multidimensi di semua lini kehidupan. Dibutuhkan puisi yang hadir dari imaji, mampu menggerakkan oase pembaca melakukan inovasi. Bukan karya sastra melangit, yang hanya bicara keindahan, cinta lahiriah semata atau mencapai puncak gading retak.

Ada lagi yang seharusnya jadi perhatian lebih bagi pengamat sastra, yaitu kecendrungan para sastrawan di negeri kita yang sekadar membahas seputar sarung (seks), ini menjelma anti klimaks dari peran sastrawan sebagai agent perubahan, yang seyogyanya membawa masyarakat bangsa ini, pada pencerahan penuh santun.

Sedang realitanya saat ini. Sastrawan jatuh dari wakil pencerahan pada peran sekadar menghibur. Sastra jatuh dari transenden kepada yang profan. Semisal karya Ayu Utami, menjadi pemicu dereligiusitasi (gerakan anti visi agama) dalam masyarakat, khususnya mengenai seksual. Gagasannya berhasrat membebaskan seks, dari peran agama semakin tampak jika kita baca esai-esainya.

Kecenderungan itu dapat dianggap kerugian besar bagi sejarah sastra kita, karena karya sastra seksual tak dapat memberi catatan jujur, tajam dan objektif atas perkembangan sastra kita yang sesungguhnya.

Sesuai apa yang menjadi hasil analisis Katrin Bandel di bukunya: Seks, Sastra, Perempuan (2006), bahwa sensasi yang muncul atas novelnya Ayu Utami adalah sebuah metafora (berlebihan). Karena, karya itu sebenarnya biasa saja. Menurut Katrin, sensasi berlebihan itu justru merugikan sastra kita. Sebab sensasi itu mengalihkan perhatian masyarakat dan pengamat sastra dari karya-karya yang sesungguhnya lebih pantas diperbincangkan. Ini bisa kita lihat Joko Pinurbo, berhasil memperoleh penghargaan Khatulistiwa Literary Award 2005. Di mana ia lebih mampu mengambil perhatian dewan juri dengan karya sastra yang juga mengangkat citraan sederhana seputar seks, di banding perhatian para juri terhadap sastra kemanusiaan maupun sastra Islam.

Padahal selain sastra seksual, ada yang seharusnya dapat perhatian lebih dari masyarakat dan pengamat sastra, yaitu sastra Islam, karena mayoritas dan yang bertema kemanusiaan (humanisme universal). Sastra Islam kini mulai bangkit, menjadi bacaan alternatif yang mampu memberi pengajaran bagi masyarakat kita. Di antaranya karya Asma Nadia, Pipiet Senja, Habiburrahman El-Shirazy, yang berhasil mencapai best seller dengan Novel Ayat-Ayat Cinta-nya, penuh fenomenal dalam masyarakat kita, dibanding minat baca kepada novel Saman.

Ada juga sastra insani yang mengeksplorasi kearifan serta kekayaan budaya lokal, seperti karya-karya Ahmad Tohari, Kuntowijoyo dll. Belakangan ini, banyak bermunculan novel-novel yang mengangkat sejarah, seperti Dyah Pitaloka (2005) karya Hermawan Aksan dan trilogi novel Gajah Mada (2006-2007) karya Langit Kresna Hariadi

Alih perhatian dari pengamatan sastra seks kepada sastra Islam dan sastra kebudayaan adalah mutlak di perlukan. Karena ini sangat berpengaruh terhadap sastrawan di negeri kita, guna kembali menjadikan karya sastra itu pencerahan. Bukan hanya berbicara keindahan kenikmatan duniawi, tapi yang mampu memberi bonus inspirasi putih, dan kepekaan terhadap lingkungan baik. Diharapkan para sastrawan dapat membuktikan, bahwa mereka adalah “agent of change.”

Mengapa sastra menjadi begitu memegang peranan penting dalam perubahan? Jawaban ini ternyata kembali pada asal teori kebudayaan yang menyatakan sastra ialah tanggapan evaluatif terhadap kehidupan, kaca cermin memantulkan segala pernik kehidupan sehari-hari. Jika membaca sebuah karya sastra, akan utuh melihat diri kita berprilaku dalam kehidupan.

Dengan kita mampu menciptakan karya sastra yang baik (berakhlak mulia), diharapkan para penikmat karya sastra, bisa mengapresiasikan dirinya dalam berbudaya, berprilaku baik sebagai kunci dasar kesuksesan, dari tonggak perjuangan. Meninggalkan krisis multidimensi yang mencekam di segala bidang hidup kita, jikalau mau mengingat perjuangan para pahlawan kita tempu dulu, yang berkorban dengan harta, darah serta nyawa.

Minggu, 27 Juli 2008

ZAMAN MATI BAGI PUISI

Hamdy Salad*

Perdebatan sastra Indonesia mutakhir banyak dipenuhi oleh -kutuk dan pujian- yang tertuju pada dunia fiksi. Sehingga nyaris tak terdengar gema keindahan yang mengatasnamakan puisi. Bahkan tak juga menampak adanya kosa-kosa pergerakan yang memiliki aras pada kedalaman jiwa puisi. Seakan zaman menolak kehadiran puisi. Atau justru sebaliknya, puisi itu sendiri yang bunuh diri dan mati?

Sementara dunia fiksi, sebutan pengganti ragam novel dan cerita pendek, begitu cepat membengkak dalam ruang literasi terkini. Poster-poster kesusastraan, rehal pustaka dan toko buku dipenuhi karya fiksi yang ditulis oleh remaja dan orang dewasa. Para sastrawan bernama atau mereka yang sekedar bertahan untuk memenuhi pasar permintaan. Terselip juga di dalamnya, kumpulan buku-buku fiksi tanpa halaman biografi, yang sengaja mengaburkan identitas pengarangnya, lelaki atau perempuan, nama asli atau samaran. Dan tampaknya, sebagian besar dari pembacanya, tak mau direcoki persoalan serupa. Apalagi bertanya, buku-buku fiksi manakah yang dapat mengantarkan sisi intlektualitasnya ke dalam ruang apresiasi seni dan kesusastraan. Atau mungkinkah, makna fiksi itu sendiri yang telah berubah. Menjadi sarana personifikasi di tengah zaman yang resah.

Berbalik dengan fenomena di atas, bentuk-bentuk sosialisasi dan penyebaran puisi hanya bergerak dalam ruang domistik. Begitu rentan dan getas. Beragam jenis dan bentuk puisi, tak pernah lagi disentuh dan dibaca sebagai sumber inspirasi budaya. Akibatnya, ratusan ribu karya tersuruk dalam ruang hampa. Seolah puisi hanya dicipta dan disusun sebagai tumpukan benda-benda mati. Nir-dokumen yang dapat diperiksa kembali sebagai bentuk lain dari kehidupan, perjuangan dan doa manusia. Apalagi untuk menoreh prasasti dalam jiwa raga sang empunya.

Dengan sendirinya, proses-proses penciptaan dan perwujudan puisi hanya bergerak di dunia ambang. Sebagian berjalan dan menemukan nasibnya dalam ruang yang lebih menyenangkan dari kehidupan penyairnya. Sebagian besar lainya mengawang, menjadi tak terpisahkan dengan buih dan gelombang zaman. Para penyair dari berbagai tingkat budaya, popularitas dan legitimasinya, meski terus bertambah dan melimpah, tidak memiliki magnitasi untuk menarik wilayah publik ke dalam diri, ke dalam dunia puisi. Selebihnya, hanya mengembara antara ada dan tiada. Kelimpungan untuk menemu eksistensi. Memuji dan mengutuk diri sendiri di tengah realitas budaya, politik dan ekonomi yang mengelilingi.

Aku Lirik, Engkau dan Kalian
Di sisi lain, proses-proses penciptaan puisi sebagai media komunikasi estetis untuk menjangkau publik tanpa batas, telah mengisyaratkan adanya konsistensi dan intensitas yang sejajar dengan aras humanitas, keyakinan dan keteguhan penyairnya. Karena itu, meski puisi yang dihasilkan tidak mampu menjalin relasi dengan dunia di sekitarnya, setidaknya masih dapat dijalankan sebagai media ekspresi yang berperan dalam entitas budaya. Sehingga aktivitas penumpukan puisi, baik dalam konteks zaman maupun sejarah kesusastraan, tidak sepenuhnya menjelma benda-benda mati.

Sebagai tertera dalam teks-teks puisi yang dihasilkan, eksistensi penyair tak bisa dilenyapkan begitu saja dari ruang estetik, dari lingkaran zaman dan sejarah kesusastraan. Sebab penyair telah digaris untuk senantiasa menjelajahi dunia dengan sikap kritis, tanpa belenggu, untuk menggali dan menemu nilai-nilai baru dengan penuh kemerdekaan. Akan tetapi, seperti jiwa “aku lirik” yang dihidupi dalam puisi, nafas penyair seringkali terlepas dari ikatan budaya. Menyendiri, tanpa pretensi untuk mengisi ruang komunikasi. Ruang estetika yang dapat dijelmakan sebagai tempat untuk mengadu, membangun dan menyusun kekuatan spiritual yang lebih sempurna. Maka itu, ketika dunia fisik sang penyair telah kehilangan maknanya, hilang juga peluang kulturalnya untuk memasuki dunia lain yang bersifat metafisik.

Metamorfosa aku penyair dan aku lirik sebagai “kita, kami, engkau, dan kalian”, terasa kian berat untuk memanggul beban secara bersama. Dan beban berat itu tidak saja menimpa nasib aku lirik, tetapi juga menyuruk pada kenyataan-kenyataan sosial di luarnya. Rumah-rumah kenyataan, peristiwa dan kejadian, seolah beku dan membatu. Negeri dan pulau-pulau, jalan raya, stasiun, halte dan kota-kota juga ditimpa oleh bencana yang tidak mudah untuk diatasi secara bersama.

Sementara kini, eksistensi penyair dalam kehidupan sehari-hari, mengalami juga kenyataan yang sama. Terasa berat untuk menghindar, apalagi mengatasi, keterpurukan budaya, hiruk pikuk politik dan ekonomi, juga musibah dan bencana yang terus berganti. Hinga betapapun beratnya, penyair juga mesti menanggul beban yang menumpuk di dalam dan di luar dirinya. Ikut berlarat dalam rasa sakit dan nyeri yang mencengkeram jiwa bangsa di zaman ini. Namun begitu, adakah kisah sebuah zaman, betapa pun kuasanya, yang mampu memerintah penyair dan puisi untuk bunuh diri?

Melalui abstraksi di atas, setidaknya masih dapat ditunjuk bahwa penyair bukanlah sekedar - manusia yang dapat menyusun kata-kata indah. Tetapi mesti dihayati sebagai - bentuk perjuangan estetisme, untuk menemukan nilai dan makna budaya yang seharusnya ada tetapi tidak pernah menampakkan diri dalam kehidupan nyata. Dan perjuangan itu, senantiasa menuntut adanya sikap yang dapat dijadikan tauladan kemanusiaan. Landasan eksistensi kepenyairan semacam, telah menampak sebagai bagian penting dari awal pertumbuhan budaya Melayu, dengan berbagai tokoh (pujangga) yang telah disepakati validitasnya dalam sejarah kesusastraan Indonesia.

Chairil, Sejarah dan Puisi
Dalam sejarah kesusastraan Indonesia, jejak penyair dan puisi tak bisa dilenyapkan dari pertumbuhannya. Oleh karenanya, walau tidak selalu tumbuh bersama, keberhasilan penyair dan puisi akan senantiasa terberi. Untuk kemudian memperoleh kehormatan berulangkali, dihidup-hidupkan, dipuji dan diagungkan sepanjang zaman.

Seperti tersurat dalam berbagai media, buku dan catatan-catatan sastra, itu semua terjadi karena puisi telah teruji dan berhasil mengembangkan kemampuan estetiknya untuk menjalin komunikasi dengan dunia tanpa batas. Jika puisi yang dilahirkan dapat berjalan melalui asumsi-asumsi publik, lembaga sastra, teori dan kritik; atau dapat memenuhi permintaan pasar ekonomi, sosial maupun politik dan ideologi, dengan sendirinya, puisi itu akan dijaga dan dipertahankan oleh jangkauan sejarah dan komunitasnya. Begitu barangkali, segala yang telah dirupa Chairil Anwar dalam sejarah puisi Indonesia.

Namun itu tidaklah semua. Seorang penyair bisa saja lenyap dan tidak dikenal sampai akhir. Tapi tetap saja memiliki peluang sama untuk terus berlaga, mencari dan menahan eksistensi diri bersamaan dengan identitas-identitas kultural yang telah berhasil digapai. Sehingga narasi biografis penyair dan proses penciptaannya, masih dapat diturunkan unsur-unsur kreatifnya melalui logika individual, sosial maupun relegius yang menjadi landasan utamanya.

Hal serupa dapat juga ditilik sebagai kesungguhan pena penyair. Meski zaman telah mati, dan puisi hanya dianggap semata mimpi, penyair tak mesti menyerah. Tak juga berpaling dari usaha untuk memperjuangkan wacana estetik maupun kultural yang dibentang sejarah, dalam tubuh dan jiwa kesusastraan. Sebab, ketika landasan-landasan utama termaksud melenyap di tengah pergeseran dan perubahan zaman, lenyap juga eksistensi penyair dari porosnya. Maka itu, perlu kiranya bagi penyair untuk berkaca setiap waktu. Merenungi dan mempertegas kembali berbagai kemungkinan kreatif yang berhubungan dengan visi kepenyairannya.

Rupa-rupa Keindahan Kata
Dan memang, jiwa penyair telah ditakdir untuk selalu menggali dan menemu –rupa-rupa keindahan kata - yang dianggap baru. Pada setiap zaman, setiap ruang dan waktu, selalu saja ada sekelompok penyair yang menolak atau menerima terhadap segala bentuk estetika yang dikisah tubuhkan oleh angkatan sebelumnya.

Sejak Armin Pane dan kemudian Chairil membebaskan diri dari jeratan konvensi estetik para pendahulunya, sejarah sastra Indonesia dipenuhi oleh berbagai pencarian tentang bentuk bebas dari puisi. Perjuangan itu juga yang kemudian ditempuh oleh Sutardji, dan kemudian beberapa penyair setelahnya. Akan halnya perdebatan-perdebatan yang berlangsung di dalamnya, wacana dan teks-teks puisi tumbuh meninggi melebihi dunianya sendiri. Bahkan meluas dan mampu mendorong lahirnya – bentuk dan jenis puisi baru. Popularitas puisi mbeling, puisi rupa, puisi humor, puisi gelap, merupakan bagian tak terpisahkan.

Tapi kini, setelah orde reformasi bergulir di tanah air ini, pergerakan puisi nyaris berhenti. Identifikasi penyair tak bisa lagi dipertemukan dalam ruang politik, metafisikal maupun eksistensial. Posisi penyair menjadi goyah, sekaligus juga dipaksa untuk tampil dengan gagah. Dan puisi, rupa-rupa keindahan kata yang mengelilingi, tak juga bisa dicegah untuk bercampur dengan histeria masa, kecemasan dan hiburan maya. Adakah itu semua menjadi tanda, bahwa zaman telah mati bagi puisi. Sehingga bentuk kisah dan cerita menjadi berjaya, memenuhi ruang fiksi dalam sejarah kesusastraan Indonesia mutakhir. **

*) Hamdy Salad, penyair, dosen Creative Writing Fakultas bahasa dan Seni Universitas Negeri Yogyakarta .

Sabtu, 26 Juli 2008

Nyanyian Persembahan Malaikat Ruhaniyyun

Judul : Kitab Para Malaikat
Penulis : Nurel javissyarqi
Penerbit : PUstaka puJAngga Lamongan
Cetakan : I, Desember 2007
Tebal : ix + 130 halaman
Peresensi : Liza Wahyuninto*)

Malaikat Jibril as. mempunyai seribu enam ratus sayap, mulai dari kepala sampai kedua telapak kakinya terbalut bulu-bulu zafaron. Matahari seolah berada di antara kedua matanya. Di atas setiap bulu-bulunya seperti rembulan dan gumintang. Setiap hari ia masuk ke dalam lautan cahaya tiga ratus tujuh puluh kali, tatkala keluar dari lautan tersebut, meneteslah dari setiap sayap sejuta tetes cahaya, dan Allah menjadikan dari setiap tetes cahaya tersebut ujud Jibril as, mereka semua bertasbih kepada-Nya sampai hari kiamat, nama mereka malaikat ruhaniyyun. (Daqoiqul Akbar, Imam Abdurrohim bin Ahmad Qodhi).

Makna yang tertuang dalam kitab Daqoiqul Akbar inilah yang ditelanjangi oleh Nurel Javissyarqi melalui antologi puisinya Kitab Para Malaikat. Nurel seolah ingin menunjukkan bagaimana para malaikat yang dalam bahasanya di beri nama malaikat ruhaniyyun, melakukan ritual penyembahan kepada tuhannya. Peristiwa inilah yang dikagumi oleh Nurel, dan memaksa dirinya - sebagai seorang sastrawan – untuk melukiskan peristiwa tersebut. Hal semacam ini pulalah yang memaksa Maulana Jalaluddin Rumi untuk mulai menulis masterpiece nya, Matsnawi fi Ma'nawi.

Perbedaan mendasar antara Nurel dan Rumi terletak pada penggalian ide. Nurel lebih mengedepankan imaji dan pikiran liarnya, sehingga tidak jarang kata-katanya melampaui alam bawah sadarnya. Bahkan Maman S. Mahayana dalam pengantarnya menggambarkan syair-syair Nurel sebagai perpaduan antara hamparan semangat yang menggelegak dan imajinasi tanpa batas. Sedangkan Rumi, ia berpuisi dengan jiwanya. Sehingga tidak jarang dalam sejumlah ghazal nya ditemukan larik-larik yang menyentuh hati pembacanya, karena dari setiap ghazal yang ditulis oleh Rumi adalah hasil perpaduan antara kenyataan dan harapan.

Akan tetapi dalam antologi puisi Kitab Para Malaikat ini Nurel sepertinya ingin merayakan kebebasan berpikir. Sebagaimana yang telah dimulai oleh tokoh-tokoh besar yang hidup jauh sebelumnya. Tokoh-tokoh yang mengusung kebebasan berpikir tersebut di antaranya, Socrates, Rene Descartes, Derrida, Ibn Sina, Muhammad Iqbal, Syekh Siti Jenar, Hamzah Fansuri dan lain-lain. Merekalah pula lah yang dicirikan Nurel sebagai pedoman dalam merayakan kebebasan berpikirnya. Ini dapat dilihat dari salah satu larik puisinya, Marilah hadir bersama keindahan, membimbing kesadaran alam terdalam/ sia-sia dipenuhi hikmah, malapetaka jikalau ajaran berharga dibuat bangga (I: LX).

Dalam pengantarnya Maman S. Mahayanan juga menyatakan bahwa perbedaan antara Nurel dan Sutardji Calzoum Bachri yaitu, Sutardji mengusung penghancurkan konvensi dan menawarkan estetika mantra. Dan dengan Afrizal Malna yang mengusung keterpecahan, fragmen-fragmen, dan semangat menawarkan inkoherensi. Nurel Javissyarqi lebih menyerupai bentuk ekspresi atas hamparan semangat yang menggelegak. Ia seperti telah sekian lama lama menyimpan sejumlah kegelisahan dan gagal menjumpai katup pembukanya. maka, yang muncul kemudian adalah penghancuran struktur kalimat, pemorakporandaan imaji-imaji, dan penciptaan bentuk-bentuk metafora yang sempoyongan, berantakan dalam gerakan dewa mabuk".

Kitab Para Malaikat pun demikian, penghancuran struktur kalimat, pemorakporandaan imaji-imaji, dan penciptaan bentuk-bentuk metafora yang sempoyongan masih kental terasa. seperti tertuang dalam satu larik, Kelopak melati menebarkan untaian makna memecah ketinggian hening/menuruni nasib, burung-burung ngelayap sayapnya disedot rebana cinta (XVI:XCI, hal. 97). Jika melihat dari sini, Nurel tak ubahnya sebagaimana Kahlil Gibran. Kahlil Gibran pun dikenal sebagai tokoh pengusung kebebasan berpikir, hingga tidak jarang dalam karya-karya terbaiknya pun ditemui pemorakporandaan imaji-imaji.

Akan tetapi, baik Nurel maupun Kahlil Gibran, keduanya melakukan hal tersebut semata-mata untuk menemukan keindahan bunyi dan pencitraan yang tinggi. Tidak salah pada zamannya hingga hari inipun Kahlil Gibran masih banyak pemuja syair-syair liarnya. Hal ini dikarenakan yang pertama kali diresapi oleh pembaca bukan makna, akan tetapi keindahan bunyi lirik. Dan Nurel sangat paham akan hal ini dan memanfaatkan kelebihannya dalam permainan diksi. Sangat wajar jika antologi ini dikarang dalam kurun waktu 9 tahun, yaitu dari rentang tahun 1998-1999 sampai tahun 2007, karena Nurel ingin antologinya ini sempurna baik dari sisi keindahan bunyi maupun makna yang terkandung.

Kurun waktu 9 tahun merupakan waktu yang lama untuk penulisan sebuah antologi puisi. Sangat dimungkinkan jika nantinya Kitab Para Malaikat ini akan menjadi sebuah kitab suci para penyair pada zaman sekarang. Tapi, untuk menuju ke sana, antologi puisi ini perlu diuji ketahanannya lewat para kritikus sastra lainnya. Uji ketahanan memang belum semarak dilakukan dalam sastra Indonesia, wajar jika minim ditemukan kritikus sastra di Indonesia. Melalui Kitab Para Malaikat ini, sangat diharapkan akan bermunculan kritikus sastra yang berada pada posisi yang semestinya yaitu mengawal lajunya pertumbuhan sastra di Indonesia.

Sisi lain yang terasa janggal dalam antologi puisi ini yaitu adanya kesan memanjang-manjangkan kalimat. Ini juga diungkapkan oleh Heri Lamongan dalam epilognya dalam antologi ini. Menurutnya, ada kesan Nurel memanjang-manjangkan kalimat padahal hal itu justru mengaburkan makna larik. Dan hal itu hampir ditemukan pada hampir keseluruhan lirik dalam antologi puisi ini. Heri Lamongan menyitir salah satu lirik tersebut adalah, Yang setia menyusuri jalan menapaki pantai hakikat, segera tahu bunga wijayakusumah merekah bagi syarat penobatan Ratu Adil (XVIII, hal. 126). Jelas ini agak janggal dan mengurangi nilai keindahan bunyi maupun lirik dalam lirik tersebut. Padahal menurut Emha Ainun Nadjib, puisi tertinggi adalah yang kata-katanya sudah tak mampu mewakili inti nilainya.

Namun, terlepas dari semua itu, Kitab Para Malaikat ini sebenarnya telah mampu memuntahkan apa yang hendak diamanatkan Nurel Javissyarqi. tugas pembacalah membedah makna yang tersirat dari apa yang tersurat. Buah 9 tahun melakukan pertapaan, meskipun masih terkesan terburu-buru perlu untuk diapresiasi bahwa antologi puisi ini merupakan masterpiece Nurel sejauh ini. Sebagaimana tersohornya Mantiq at-Thayr buah karya Fariduddin Atthar ataupun Matsnawi fi Ma'nawi buah karya Rumi, Kitab Para Malaikat pun dapat bersaing dengan keduanya. Tinggal bagaimana cara Nurel menyikapi pembaca dan para kritkikus sastra yang memberikan kritik dan saran dalam karyanya.

*) Liza Wahyuninto, Kritikus Sastra dan Direktur Pusat Pengkajian Jalaluddin Rumi Kota Malang.

H.B. Jassin tanpa Wahyu

[ Minggu, 20 Juli 2008 ] Jawa Pos
M. Fadjroel Rachman
Penulis dan Peminat Karya Sastra

Membaca Hudan Hidayat, membaca Nabi Tanpa Wahyu (2008), adalah membaca sastra Indonesia muda yang jatuh bangun merintis jejak di dunia baru dalam aras nasional, regional, dan global. Hudan Hidayat (HH) tak lelah-lelah mencari jejak penulis baru, menciumi aroma pembeda, menelisik simpangan subtil, mencari kaitan pergaulan sastra Indonesia baru dan globalisasi dunia baru. Merumuskan benang merah sastra dan kebudayaan baru Indonesia, dalam taman sastra dan kebudayaan dunia, dengan iman yang teguh terhadap kebebasan, kehidupan, dan kemanusiaan. Sebab, kata HH, ia sama yakinnya dengan Octavio Paz (hlm. 55) yang berkata, ''Sastra modern lahir dari kritik terhadap zaman, kritik terhadap kebenaran tunggal.''

Dua jiwa dunia
Bila HH memeriksa karya penulis baru Indonesia, tanpa ragu HH langsung terjun dalam samudera pertempuran jiwa sang penulis. Pertempuran berdarah rasio dan nurani dalam menghadapi jiwa zaman yang berdialektik dunia batin para penulis. Segala bentuk luar (eksterior) karya menjadi persoalan kedua yang diperiksanya, bahkan seringkali diabaikan saja. HH mencatat pertarungan batin, membantu merumuskannya, menjadi tandem bila pertarungan kolosal dan berdarah-darah sedang berlangsung, yang kadang membuat penulis Indonesia muda terkapar dan ingin menyerah saja.

Dialektika dua jiwa dunia, jiwa zaman, dan jiwa penulis, adalah medan pertarungan spiritual yang dimasuki tanpa ragu oleh HH. Tak selamanya HH terjun bertempur dengan pedang berkilau, tameng tak tembus tombak, dan ksatria musuh yang hadir nyata di depan mata. Bahkan HH kadang seperti Don Quixote yang merumuskan medan pertarungannya sendiri lengkap dengan musuh yang harus dilawan, puteri yang harus diselamatkan, bahkan ukuran kemenangannya. Tetapi keikhlasan dan kesabaran untuk terjun dalam pertarungan dua jiwa dunia tersebut, adalah kata kunci untuk memahami kumpulan artikel kritik sastra dan kebudayaan Nabi Tanpa Wahyu (NTW) ini. Seberapa dahsyatkah pertarungan dalam medan dialektika dua jiwa dunia tersebut? Arthur Rimbaud (1857-1907), dalam A Season in Hell, berucap, ''The spiritual fight is as brutal as men battle.''

Bila kritikus sastra dan kebudayaan dunia lama, Indonesia tua, kadang hanya mengintip medan pertarungan dengan sinis, bahkan menghardik pelakunya, atau bermodal meteran pengukur estetika, moral dan teologis mengukur panjang dan lebar formasi pertempuran. Maka HH mengatakan tidak atas sikap dan karakter dekaden semacam itu. Karena kritikus sastra dan kebudayaan bukan nabi dengan wahyu pamungkas, atau paus katolisisme dengan segala keputusan Ilahiah. Kritikus sastra dan kebudayaan adalah sahabat, tandem, dan petarung dalam pertempuran berdarah antara jiwa zaman dan jiwa penulis. Seolah HH menyuarakan teriakan arogan Chairil Anwar, ''yang bukan penyair (petarung, pen.) tidak ambil bagian''. HH menyelam ke jiwa terdalam para penulis baru, karena ''suka pada mereka yang menemu malam.''

Hudan tanpa Wahyu
Apa jadinya bila Hudan Hidayat yang juga menulis novel Tuan dan Nona Kosong bersama Mariana Amiruddin, antologi cerpen Lelaki Ikan dan Keluarga Gila, dipertukarkan dengan Taufiq Ismail, lawan polemiknya tentang sastra pornografi? Maka, saya yakin, akan habislah semua lawan polemiknya, terkapar berdarah-darah, terkutuk di dunia dan di akhirat. Sebab, kekuatan argumen Hudan, pengetahuan, dan pengalamannya di kancah sastra sebagai novelis dan cerpenis, serta kelihaiannya menyusun kalimat seperti penyair atau ahli pantun Melayu yang memilih kata dan bunyi, bila ditambah absolutisme wahyu, akan menjelmakan sosok Hudan sebagai ''esais dengan palu penghancur''. Bersukurlah, HH adalah seorang pelaku polemik tanpa wahyu.

Hudan dalam kumpulan esai terbaru NTW ini tetaplah pemuja keras kepala wahana dialog dan pertarungan wacana, sepanas apa pun hantaman bertubi, maupun stigma yang disematkan di kening oleh lawan polemiknya, tak membuat HH tergelincir menjadi pembunuh berdarah dingin. Siapa pun yang dikritiknya di dalam esai NTW, seperti Iwan Simatupang, Budi Darma, Martin Aleida, Ayu Utami, Afrizal Malna, Binhad Nurrohmat, Fadjroel Rachman, Agus Noor, Djenar Maesa Ayu, sampai Albert Camus, selalu mendapatkan sapaan hangat menggetarkan seperti sinar matahari, pasir putih, pantai sepi, dan kilau laut Kota Oran (Aljazair) di novel Albert Camus, Sampar.

Paradoks Takdir Dunia
Jantung NTW sekaligus kredo kepenulisan dan kehidupannya menurut saya adalah esai pertama Sastra yang Hendak Menjauh dari Tuhannya. Esai ini sangat kuat, selain mengungkapkan kepercayaan penulis pada olah sastra dan hidupnya, juga langsung berkonfrontasi dengan olah sastra dan hidup dari Taufiq Ismail, lawan polemiknya. Sastra, kata Hudan, menjadi wahana mengolah kompleksitas kehidupan dan manusia, bukan sastra yang meringkus hidup dan manusia pada satu keyakinan, agama, atau ideologi absolut. Saya teringat Dr Soedjatmoko yang menulis Dr Zhivago: Manusia di Tengah Revolusi, dengan sangat simpatik ia meneriakkan kembali suara Dokter Zhivago karya besar Boris Pasternak itu, dengarlah, ''Manusia dilahirkan buat hidup, bukan untuk bersiap-siap menghadapi hidup. Hidup itu sendiri, fenomena hidup, anugerah hidup, bukan main seriusnya...Membentuk kembali hidup! Orang yang bisa mengatakan itu tak pernah mengerti apa pun tentang hidup -mereka itu tak pernah bisa merasakan hembusan nafas, detakan jantungnya, betapa pun seringnya hal itu mereka lihat atau lakukan. Mereka hanya melihatnya sebagai segumpal bahan mentah yang perlu diolah, dibuat berharga dengan sentuhan mereka. Tetapi hidup bukanlah suatu bahan atau substansi untuk dibentuk... Hidup senantiasa memperbarui, menciptakan kembali, mengubah, dan meningkatkan dirinya sendiri...''

Begitulah hidup yang dipercayai HH dan para sahabatnya dalam Memo Indonesia (Marianna Amirudin, Rocky Gerung, dan Fadjroel Rachman). Kata Hudan, ''Kalau diumpakan sungai, maka sungai kehidupan yang memantulkan warna-warni nasib manusia dan takdir dunia, akan mengering diisap cara kerja Taufiq Ismail yang ingin memasung kreativitas, membelenggu kebebasan berpikir, serta menciutkan imajinasi. Akibatnya, kehidupan akan kehilangan terang dan gelapnya sendiri. Kehendaknya alih-alih membawa suara-suara moral dalam sastra, tapi justru akan membawa sastra menjauh dari Tuhannya.''

Mengatasi H.B. Jassin
Sikap simpati terhadap karya sastra yang dikaji, sehingga setiap pukulan tak terasa menyakitkan, setiap pujian tak terasa merusak kemajuan dan progresivitas penulisnya, itulah karakter yang dibutuhkan untuk merawat dan memajukan sastra Indonesia baru, Indonesia muda. Sastra yang merangkak menjadi bunga pengharum taman sastra dunia, taman harum kebebasan umat manusia di bumi manusia. HH memiliki kualitas itu, terang benderang terlihat dalam NTW.

Bersyukurlah sastra Indonesia baru, para penulis Indonesia muda, beriringan jalan dengan HH, perlahan mengatasi H.B. Jassin, tetap rendah hati karena tak berniat menjelma paus sastra Indonesia muda, apalagi menjelma polisi kritikus dengan segala kitab usang estetika, moral, dan teologis. Hudan bersuara nyaring sebagai kritikus sastra dan kebudayaan bahwa kebebasanlah nyawa kehidupan. Kreativitas dan kehidupan menciut dan menghilang tanpa kebebasan. Inilah jeritan Memo Indonesia, bahtera gagasan nir-organisasi yang melaju di tengah derasnya gelombang besar otoriterisme dan totaliterisme moral, teologi, dan parokialisme kebudayaan.

Memang kadang suara HH dalam NTW terekam sebagai suara paradoks, ia melihat kebebasan manusia sebagai motor kreativitas dan kehidupan, sebuah optimisme, tetapi juga memasukkan istilah takdir dunia dan Tuhan yang terasa pesimistik. Tetapi kondisi paradoks adalah medan pergulatan manusia, sama brutalnya dengan medan pertempuran dua jiwa dunia: jiwa zaman dan jiwa penulis. Paradoks membuat hidup maupun karya jadi bersinar seperti punggung Sysiphus yang berkilap peluh ketika turun dari bukit untuk mengulang pertempuran dunia batinnya, mendorong batu jiwa ke puncak bukit, terguling ke lembah lagi untuk menghadapi pertempuran batin berikutnya. Karena itu kita bisa, dan harus, membayangkan Sysiphus berbahagia.

HH dalam NTW tampak sama yakinnya dengan Arthur Rimbaud melihat cakrawala terjauh dari pertarungan spiritual para penulis Indonesia muda. Kata Rimbaud lagi, ''and at the dawn/armed with scorching patience/we shall enter the cities of splendour.'' Kota megah, hadiah kesabaran, dan keikhlasan manusia dalam isak-tangis dan gelak-tawa, sebuah kota bagi jiwa-jiwa bebas, yang beriman pada kemanusiaan, kebebasan dan kehidupan. Tentu keikhlasan dan kesabaran yang tak terpemaknai akan membentuk HH menjadi H.B. Jassin tanpa wahyu, sekarang dan di kemudian hari. HH adalah penghiburan agar para penulis baru tak takut memasuki dunia baru yang tak dikenal sama sekali. HH dengan NTW sekarang menjadi bahtera kokoh para Christoper Columbus sastra baru Indonesia untuk berlayar di samudera sastra baru dunia. (*)

Jumat, 25 Juli 2008

Menikmati Sastra Lamongan

GERAKAN BARU SASTRA LAMONGAN:

Catatan Singkat atas Forum Sastra Lamongan
Haris del Hakim

Tulisan ini tidak hendak merekonstruksi sebuah gerakan secara komprehensif, namun sekadar mengambil salah satu sebuah gerakan halus yang terjadi secara simultan dan dapat disebut sebagai fenomena yang luar biasa. Selain dari itu, tulisan ini tidak menjamah ranah analisa karya yang memerlukan waktu yang panjang dan kajian lebih intens, tapi sekadar ulasan beberapa hal yang dapat dianggap penting.

Keberadaan sastra Lamongan patut mendapatkan perhatian. Sastrawan yang lahir dari Lamongan ikut mewarnai peta sastra Indonesia, sebut saja nama Satyagraha Hoerip, Djamil Suherman, Abdul Wachid BS, Viddy, Aguk Irawan MN, Mashuri, dll. Di samping itu di Lamongan sendiri sebenarnya nafas sastra telah mengakar kuat, sebagaimana yang pernah disaksikan sendiri oleh Emha Ainun Nadjib pada tahun 80-an. Geliatnya semakin kentara dengan kehadiran Harry Lamongan yang sebenarnya lahir di Bondowoso namun berdomisili di Lamongan.

Selama bertahun-tahun Harry Lamongan seperti penjaga gawang sastra. Berbicara tentang sastra di Lamongan, maka referensi utamanya adalah Herry Lamongan. Tentu saja dia tidak sendirian. Dalam Komunitas Sastra dan Teater Lamongan (Kostela) banyak tergabung pegiat-pegiat sastra. Mereka melakukan pergulatan sastra yang diadakan melalui apresiasi bulanan dalam wahana Candrakirana. Sayangnya, hanya seorang Herry yang muncul dalam media massa meskipun dalam beberapa pertemuan dia selalu menegaskan bahwa eksistensi sebuah karya tidak cukup dalam medan apresiasi lokal yang dihadiri oleh orang-orang yang dikenal. Sebuah karya mesti dilepas keluar agar dia menghirup keluasan cakrawala dan bertahan hidup dalam deru badai dan hantaman persepsi banyak orang.

Sastra pada masa itu, sebagaimana kondisi sastra di tingkat nasional secara umum, bersifat eksklusif. Sastra hanya milik orang-orang yang dianggap dan menganggap dirinya "paham" sastra. Selain mereka hanya bicara tentang kulit. Hal ini tentu tidak mengherankan. Seorang dedengkot sastra pernah menyatakan, selain penyair dilarang bicara tentang puisi. Pernyataan tersebut seakan dogma yang menghegemoni pola pikir semua sastrawan.

Kondisi ini diperkuat dengan kondisi masa Orde Baru dan kuatnya ajaran-ajaran HB Yassin sebagai paus dan penahbis seseorang dapat disebut sastrawan atau tidak. Maka, kelahiran kritikus-kritikus baru di ujung usia Orde Baru seperti angin segar yang membawa rerintik air dan menumbuhkan benih-benih bakat yang tidak tersentuh oleh tangan dingin sang paus sastra tersebut.

Kemudian Orde Baru tumbang dengan lahirnya Reformasi yang membuka katup-katup ruang berekspresi. Media masa semakin banyak dan beragam dengan suara yang teduh hingga sumbang. Sarana-sarana publikasi menjadi terbuka lebar bagi siapa saja yang ingin memasukinya. Semua itu mendukung munculnya sastrawan-sastrawan muda.

Tidak terkecuali di Lamongan. Beberapa tahun terakhir geliat sastra Lamongan sangat terasa menonjol dibandingkan sebelumnya. Indikasi tersebut tampak pada beberapa fenomena berikut:

Pertama, publikasi karya-karya sastrawan mudanya. Di antara karya-karya tersebut dapat disebutkan; Absurditas Rindu yang diterbitkan secara Indie oleh Sastranesia. Di dalamnya memuat beberapa puisi sastrawan muda baik yang namanya telah terpublikasi di media masa atau tidak. Juga antologi puisi tunggal seperti, Interlude di Remang Malam (puisi AS. Sumbawi), Tamasya Langit (Javed Paul Syatha), Kitab Suci Para Malaikat (Nurel Javissyarqi), Sembah Rindu Sang Kekasih, (Imamudin SA). Ada juga novel Dazedlove karya Rodli TL. dll.

Kedua, berdirinya penerbitan buku-buku sastra. Lamongan memiliki tiga penerbit yang konsentrasi dalam menerbitkan karya sastra: Pustaka Pujangga, Sastranesia, dan Pustaka Ilalang.

Sebenarnya, fenomena tersebut tidak dapat lepas dari keberadaan beberapa orang yang memberikan andil besar dalam perubahan gerakan. Mereka mendirikan Forum Sastra Lamongan. Forum ini terbuka bagi siapa saja yang ingin terlibat, tanpa memandang apakah dia sastrawan atau bukan namun yang penting memiliki rasa simpati terhadap sastra.

Latar belakang kelahiran forum ini lebih bersifat global. Fenomena hegemoni di tingkat media sudah semakin berbahaya. Sebagai contoh, Bajaj Bajuri di Trans TV pada waktu itu dapat dikatakan sebagai sinetron komedi dengan rating pemirsa yang tinggi, terbukti masih terus diputar meskipun diulang-ulang. Begitu pula dengan OB (Office Boy) di RCTI. Kedua sitkom itu bersetting budaya Betawi. Karakter orang Betawi selalu menang sendiri dan tak terkalahkan, berseberangan dengan karakter orang Jawa yang selalu naif (istilah Jawa bagi orang Betawi adalah penduduk Jawa selain mereka). Dalam Bajaj Bajuri ada tokoh Emak Etti yang cerdik dan licik berseberangan dengan Mpok Hindun yang kenes dan endel atau Yusuf bin Sanusi sebagai orang Betawi yang paling naif berhadapan dengan Parti yang suka mengalah dan tak berdaya menghadapinya bahkan mau diperistri. Dalam OB tokoh Saodah yang gembrot dan Ismail yang kaku selalu menang berhadapan dengan Sayuti yang Jawa yang lamban dan tidak cerdas.

Dari latar belakang tersebut kemudian muncul inisiatif untuk melakukan gerilya budaya di tingkat local atau daerah. Budaya-budaya lokal yang selama ini tergerus oleh budaya pembangunanisme Orde Baru coba digali dan dikaji ulang. Meskipun budaya lokal, namun lebih mengedepankan pada keterbukaan, asimilasi, atau akulturasi dengan budaya lain.

Sebagai penjembatan harapan tersebut, Forum Sastra Lamongan (FSL) menerbitkan Jurnal Kebudayaan The Sandour yang mewakili ekspresi sastrawan mapan tingkat nasional. Jurnal ini terbit sekali dalam tiga bulan dengan memuat tulisan berbentuk puisi, esei, artikel, cerpen, atau monolog. Sedangkan bagi kalangan remaja yang berminat terhadap sastra diterbitkan Jurnal Sastra Timur Jauh. Sementara bagi kalangan masyarakat umum diterbitkan majalah Gerbang Massa yang berusia sekali terbit setelah itu tidak ada kabarnya lagi.

Lain dari itu, sebagai bukti penghargaan Forum terhadap generasi muda maka Forum menganugerahkan Van Der Wijk Award untuk remaja-remaja yang berkarya dan berkualitas. Sementara kegiatan instrumen berupa bedah buku atau launching yang diadakan di sekolah-sekolah: Madrasah Aliyah Negeri Lamongan, Madrasah Aliyah Simo Sungelebak, dan Pondok Pesantren Karangasem Paciran. Pada saat itu menghadirkan Raudal Tanjung Banua dan Ida Idris sebagai pembicara.

Selain Forum Sastra Lamongan muncul Sastranesia yang dibidani oleh AS. Sumbawi dkk. Akan tetapi, nama tersebut bermetamorfosa menjadi penerbit buku-buku sastra. Ruang lingkup Sastranesia sendiri hamper dapat dikatakan saling jalin dengan Forum Sastra Lamongan.

Gerakan-gerakan sastra tersebut tidak lepas dari peran para sastrawan mudanya. Beberapa nama yang dapat disebutkan adalah Nurel Javissyarqi, Rodli TL, AS. Sumbawi, Javed Paul Syatha, Imamudin SA, dll.

Nurel Javissyarqi. Sastrawan muda paling produktif ini—saat ini telah menulis 13 buku di samping menulis di berbagai media dan jurnal—lahir di Lamongan. Jiwa susastranya digembleng di Yogyakarta bersama dengan Y. Wibowo, Muhaimin Azzet, dll. dalam bendera KSTI (Komunitas Sastra Tugu Indonesia). Semangatnya yang besar menemukan muara di kampung kelahirannya dan mendirikan penerbit PUstaka puJAngga yang menerbitkan karya-karya sastra, baik sastrawan lokal maupun nasional. Karya terakhirnya adalah Kitab Para Malaikat (PUstaka puJAngga: 2007).

Rodli TL. Dia menemukan jiwa seninya di Jember dan bahkan pernah dipercaya sebagai Ketuanya. Beberapa kali dia menulis naskah sekaligus menyutradarai, di antaranya Adam Hawa. Kesibukannya sangat padat di bidang pendidikan dengan Sanggar Bahasa Kampung yang mendidik anak-anak kecil di desanya untuk memahami bahasa dan sastra. Di samping itu dia seorang dosen Universitas Darul Ulum Lamongan yang dipercaya menjadi pembimbing komunitas STNK (Studi Teater Nafas Kata), salah satu lembaga mahasiswa di bidang kesenian di samping Teater Roda. Pergulatannya dalam sastra dibuktikan dengan terbitnya novel Dazedlove.

AS. Sumbawi. Alumni IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta ini memulai pergulatannya di bidang sastra ketika bergabung dengan Sanggar Suto dan Sanggar Nuun. Saat ini dia menjadi pengajar sekaligus pemilik penerbitan Sastranesia. Tulisan-tulisannya banyak menghiasi media massa dan tergabung dalam antologi bersama, seperti: Dian Sastro for President: End of Trilogy (Insist: 2005), Malsasa 2005 (FSB: 2006), Sepasang Bekicot Muda (Buku Laela: 2006), dan Khianat Waktu (DKL: 2006).

Javed Paul Syatha. Dia menggeluti sastra dengan bergumul bersama sastrawan-sastrawan lokal Lamongan. Dia memiliki nama-nama lain, seperti Saiful Anam, Ifoel Moenzoek, dan terakhir Javed Paul Syatha. Sehari-hari sebagai pengajar dan membimbing komunitas AUM. Beberapa karyanya tercatat dalam Malsasa 2005 (FBS: 2005), Khianat Waktu (DKL: 2006), Pelayaran Bunga (DKJT: 2007), dll.

Imamudin SA. Sastrawan muda ini murni berjiwa Lamongan, tidak terbaur dengan dunia luar dan banyak berkarya melalui media lokal. Di antara karyanya termuat dalam Lanskap Telunjuk (DKL: 2004), Khianat Waktu (DKL: 2004), dan beberapa antologi tunggalnya. Saat ini dia menjadi koordinator kajian Candrakirana.

Selain nama-nama tersebut masih banyak lagi sastrawan muda yang memiliki gairah sastra luar biasa: Ariandalu, Heri Listianto, Anis CH, D. Zaini Ahmad, dan masih banyak yang lain dari kalangan generasi muda.

Dari penjelasan singkat di atas ada beberapa nama yang berproses kreatif dengan bersinggungan bersama dunia luar. Mereka menjalin pola relasi dengan sastrawan-sastrawan dari daerah lain atau sastrawan nasional sekalipun. Di antaranya adalah kehadiran beberapa tokoh sastrawan nasional ke daerah Lamongan, seperti Raudal Tanjung Banua, Abdul Aziz Soekarno, Joni Ariadinata, Mardiluhung, dll.

Gerakan baru ini dapat dikatakan masih seumur jagung. Di masa depan ada tantangan-tantangan berupa keberlanjutan eksistensial dan esensial. Secara eksistensial adalah konsistensi gerakan yang mengarah pada pengembangan sastra, sedangkan secara esensial adalah bentuk karya yang dihasilkan apakah berkualitas sastra atau sekadar euporia pada kesenangan baru. Persoalan ini sepenuhnya tergantung pada mereka.

KRITIK “SAKIT” SASTRA INDONESIA

Jurnal Kebudayaan The Sandour edisi III 2008
Liza Wahyuninto

Pada tahun 1950, beberapa ahli sastra beranggapan bahwa kesusastraan mengalami kemunduran. Salah satu tokoh yang berpandangan bahwa kesusastraan Indonesia mengalami kemunduran adalah Sujadmoko. Dalam esainya yang berjudul Mengapa Konfrontasi, Sujadmoko melihat adanya krisis sastra akibat adanya krisis kepemimpinan politik. Lebih lanjut ia mengatakan bahwa sastra Indonesia mengalami krisis karena yang ditulis hanya cerpen-cerpen kecil yang menceritakan psikologisme semata-mata.

Ulasan Sudjadmoko tersebut mendapat reaksi keras terutama dari para sastrawan. Para sastrawan tersebut antara lain, Nugroho Notosusanto, S.M. Ardan, dan Boejoeng Saleh. Mereka mengatakan bahwa kesusastraan Indonesia tumbuh subur. H.B. Jassin dalam simposium sastra yang diselenggarakan oleh Fakultas Sastra Universitas Indonesia pada tahun 1954 mengemukakan bahwa kesusastraan Indonesia modern tidak mengalami krisis. Dia mengemukannya dengan bukti-bukti dan dokumentasi yang lengkap. Pada tahun 1955, dalam simposiun yang diadakan kembali di Fakultas sastra Universitas Indonesia, Harijadi S Hartowardojo mengemukakan pendapatnya melalui tulisan yang berjudul Puisi Indonesia Sesudah Chairil Anwar. Selain dalam simposium tersebut pendapat mengenai lahirnya angkatan sastra baru muncul dalam simposium-simposium yang diadakan di Yogyakarta, Solo, dan lain-lain.

Apa yang telah disampaikan oleh Sujadmoko tersebut sangat tepat jika dimunculkan pada saat ini. Saat yang menurut Faiz Mansur dalam ulasannya yang berjudul “Ragam Kritik Sastra Indonesia” sebagian orang menganggap, bahwa sastra adalah bidang marginal, terkucil dari gegap-gempita kesenian panggung dan televisi sekarang ini. Kita hanya menyaksikan eksistensi sastra pada panggung-panggung mini, atau acara bedah buku, temu penulis dengan pembaca yang pengunjungnya bisa kita hitung dengan jari.

Alasan utama bahwa kritik sastra harus berperan dalam membangkitkan semangat bersastra dan mencintai sastra. Pasca HB. Jassin yang memunculkkan angkatan Sastra Melayu Lama dan angkatan sastra modern hingga saat Korrie Layun Rampan yang menyemangati membentuk angkatan sastra 2000, minim bahkan hampir tidak ada kritikus sastra yang mewarnai perjalanan panjang kritik sastra Indonesia. Keadaan ini pulalah yang membuat kemasan sastra tidak menarik dan dinilai sebagai sesuatu yang marginal.

Bahkan menurut Putu Wijaya ketika berbicara dalam seminar bertajuk “Membuka Tabir dengan Sastra: Telaah Jejak Inspirator” yang diadakan oleh Universitas Diponegoro, Semarang, “pasca-Chairil Anwar tak ada gelombang besar dalam perkembangan sastra di Indonesia. Seperti Chairil Anwar yang mendobrak sastra dengan memperbarui bahasa, peran-peran pembaru sastra itu sebenarnya juga terlihat dari sosok WS. Rendra, Sutardji Chalzoum Bachri, dan lain-lain. Namun, para pembaru itu ternyata tidak menimbulkan efek besar terhadap dunia sastra”.

Tentu saja, Hal ini terjadi karena di Indonesia tidak ada kritikus sastra yang cukup berwibawa sehingga bisa menjelaskan arah perkembangan sastra. Hal inilah yang menjadi kerisauan bagi beberapa tokoh sastra Indonesia, menurut Putu Wijaya, “Kalau dulu, ada HB. Jassin yang menjelaskan karya-karya Chairil Anwar. Sesudah HB. Jassin, peran kritikus sangat minim. Ruang untuk melakukan kritik sastra juga sangat terbatas”.

Sastrawan Kritikus, Kritikus Sastrawan : Kekaburan Kritik Sastra Indonesia
Kekaburan kritik sastra di Indonesia mencapai puncaknya di saat para penulis (sastrawan) “ikut-ikutan” menjadi kritikitus. Kehadiran sastrawan kritikus-sastrawan kritikus ini mulanya memang sempat mengisi kekosongan kritikus sastra dan mewarnai dunia kesusatraan Indonesia. Akan tetapi, perkembangan ini lambat laun menjadi lahan saling “ejek” karya sastra yang dihasilkan oleh penulis.

Beberapa tokoh yang terlibat dalam pertentangan kritik sastra tersebut dikategorikan ke dalam beberapa bidang,yaitu; Para pakar sastra (akademisi-kampus): Rahmat Joko Pradopo (UGM), Panuti Sudjiman, MS. Hutagalung, Saleh Saat, Boen S. Oemarjati, Roman Ali, S. Effendi (UI), Th. Rahayu Prihatmi (Undip), Buyung Saleh (UNHAS). Seniman sekaligus pakar sastra: Sapardi Joko Damono, Arif Budiman, Subagio Sastro Wardoyo, Yakob Sumardjo, Darmanto Yatman, Gunawan Mohammad, Taufiq Ismail, WS. Rendra, HB. Jassin, Budi Darma, Suripan. Kritikus seniman: Sutardji Calzoum Bachri, Linus Suryadi, Abdul Hadi WM., Emha Ainun Najib, Korrie Layun Rampan.

Dualisme jabatan antara penulis (sastrawan) dan krikitikus sastra ini berpuncak pada kemarahan para pakar dan pengamat sastra yang menyatakan bahwa kritikus perlu membuat jarak sehingga lebih objektif. Akan tetapi himbauan dari para pakar tidak menyulutkan api pertentangan di antara sastrawan kritikus tersebut.

Pertentangan ini Misalnya apa yang ditulis oleh Emha Ainun Nadjib, pengembaraan Goenawan Mohamad tentang polemic kritik sastra – meskipun berlangsung tidak kentara – sejak Simposium Bahasa dan Kesusatraan tanggal 25-28 Oktober 1966 di Jakarta sampai peringatan Chairil Anwar, 30 April 1967 oleh Direktorat Bahasa dan Kesusastraan bersama BMKN antara Motinggo Boesye, Goenawan Mohamad, Arif Budiman dan Taufiq Ismail versus Lukman Ali M Saleh Saad, MS Hutagalung dan lain-lain. Selalu cenderung memisahkan kedua metode (dalam kritik sastra), Ganzheit dan Analitik secara ekstrim, seolah-olah keduanya sama sekali tidak ada unsure yang bisa disentuhkan.

Akan tetapi, terlepas dari itu semua, yang perlu untuk diperhatikan adalah pembaca karya sastra. Selama ini pembaca tidak pernah dilibatkan dan diajak berdialog oleh penulis. Padahal, seperti yang pernah di katakan oleh Radhar Panca Dahana, ”Sastra memang semestinya dikembalikan kepada pembaca, baik secara teoretis maupun praktis.” Di tingkat teoretis penyingkiran pembaca dalam penelaahan sastra, membuat sastra itu sendiri hanya berputar dalam lingkaran analitik antara para kritikus, ambisi penerbit, atau biografi pengarangnya.

Miskin Buku Teori Kritik Sastra
Kritik sastra adalah bidang kesusastraan yang terus menerus berkembang di dunia. Sebagai akibat dari kemajuan teknologi, perkembangan kritik sastra dunia tentu mempengaruhi perkembangan studi kritik sastra Indonesia. Pengaruh ini dapat timbul dari kerja-kerja kritik yang dilakukan oleh kritikus-kritikus sastra Indonesia—baik dari golongan akademisi, sastrawan, maupun peminat sastra—terhadap karya sastra Indonesia yang selanjutnya mendapatkan tanggapan dari masyarakat sastra dunia, kerja kritik pada karya-karya berbahasa asing, atau sebaliknya: kerja kritik pada karya-karya Indonesia oleh kritikus-kritikus asing, maupun transfer pengetahuan dalam bentuk studi banding dan penterjemahan teks atau buku-buku teori kritik sastra.

Sayangnya, hingga saat ini, kesusastraan Indonesia dapat dikatakan terus saja miskin buku-buku teori kritik sastra. Buku-buku teori yang ada, kebanyakan merupakan buku terbitan lama dengan pembicaraan yang tidak lagi mutakhir. Buku-buku terbitan lama itu pun benar-benar sulit didapat karena jumlahnya yang sedikit dan hanya dimiliki oleh kalangan terbatas.

Kesusastraan Indonesia memang sudah dinilai maju dan berkembang dari waktu ke waktu, dari zaman ke zaman, dan dari angkatan ke angkatan. Akan tetapi kemajuan tersebut hanya dengan kemunculan karya dan tokoh sastra belaka, tanpa di dukung oleh munculnya teori baru terutama dari kritikus sastra yang tentu saja berfungsi sebagai analisa terhadap karya yang meliputi penilaian dan analisis, penafsiran, dan penilaian terhadap teks sastra.

Pentingnya kritik sastra menurut Murray Krieger dalam karyanya “Criticism as a Secondary Art”, karena kritik sastra bertujuan mengungkap keaslian sebuah karya, sebagai penengah antara karya asli dan kebudayaan pendukungnya, mendebat pendapat yang telah ada—baik yang dibuat oleh perseorangan, maupun hasil kerja tim, serta menjelaskan pada masyarakat bahwa karya sastra adalah hasil interpretasi pengarang terhadap suatu fenomena sehingga terkadang berbeda dan “mengacuhkan” kenyataan yang diakui masyarakat, untuk hal ini karya sastra perlu dilindungi karena karya tersebut perlu dipandang terlepas dari pengarangnya sebagai konstruksi yang otonom/berdiri sendiri.

Kemajuan kesusastraan Indonesia tentunya akan dapat dinikmati oleh semua pihak jika para penulis (sastrawan), pakar sastra (peneliti dan akademisi), pengamat sastra (pembaca), penikmat sastra dan kritikus sastra mampu menempatkan diri pada tempat yang semestinya mereka berada. Menghindarkan diri dari dualisme kerja tentunya akan mendukung terciptanya karya sastra yang bercita rasa tinggi.

Sebagai kritikus sastra, hendaknya juga tidak melupakan himbauan yang ditulis oleh TS Eliot dalam Tradition and Individual Talent (The Sacret Wood,
London: Methuen Co, 1960), “Kritik yang jujur dan apresiatif
diarahkan bukan kepada penyair, tetapi pada sajaknya. Jika kita
memerhatikan omongan kacau para kritikus di koran serta desir ulangan
populer yang menyusulnya, kita akan mendengar banyak nama penyair.
Sedangkan jika kita mencari kenikmatan karya, kita akan jarang
mendapatkannya.”

Daftar bacaan:
Ainun, Nadjib Emha, 1995, Terus Menerba Budaya Tanding, Pengantar Halim HD.. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar)
Suryadi, Linus, 1995, Dari Pujangga ke Penulis Jawa, Pengantar Dr. Alex Sudewa. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar)
Murray Krieger, 1981, “Criticism as a Secondary Art”, dalam What Is Criticism?, editor Paul Hernadi.. Bloomingtoon: Indiana University Press.
Goesprih, Kritik Sastra (Catatan Ringkas Utk Keperluan Sendiri). (http://www.goesprih.blogspot.com, February 18, 2008)
Faiz Mansur, Ragam Kritik Sastra Indonesia. (13 Seprtember 2005)
Karya Banyak, Indonesia Krisis Kritikus Sastra. (Kompas, Senin, 28 April 2008)

Label

`Atiqurrahman A Muttaqin A Rodhi Murtadho A. Iwan Kapit A. Purwantara A. Qorib Hidayatullah A. Zakky Zulhazmi A.H.J Khuzaini A.S. Laksana Aang Fatihul Islam Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi WM Abdul Kadir Ibrahim Abdul Lathief Abdul Malik Abdul Wachid B.S. Abdurrahman El Husaini Abidah El Khalieqy Abu Salman Acep Zamzam Noor Achdiat K. Mihardja Adek Alwi Adi Suhara Adnyana Ole Adreas Anggit W. Afrion Afrizal Malna Aguk Irawan MN Agung Dwi Ertato Agus B. Harianto Agus Buchori Agus Himawan Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sulton Agusri Junaidi Agustinus Wahyono Ahda Imran Ahmad Badrus Sholihin Ahmad Fanani Mosah Ahmad Fatoni Ahmad Ikhwan Susilo Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musabbih Ahmad Rofiq Ahmad Sahidah Ahmad Tohari Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sekhu Alex R. Nainggolan Alex Suban Alunk Estohank Ami Herman Amien Kamil Amien Wangsitalaja Aminudin R Wangsitalaja Anastasya Andriarti Andreas Maryoto Anes Prabu Sadjarwo Angela Angga Wijaya Angkie Yudistia Anindita S Thayf Anis Ceha Anjrah Lelono Broto Anton Kurnia Anton Kurniawan Anton Wahyudi Anugrah Gio Pratama Anwar Nuris Aprinus Salam Arie MP Tamba Arif B. Prasetyo Arif Bagus Prasetyo Arif Hidayat Arman A.Z. Arti Bumi Intaran Arys Hilman AS Sumbawi Asarpin Asef Umar Fakhruddin Asep Sambodja Asrama Mahasiswa Aceh SABENA Astrikusuma Asvi Warman Adam Atep Kurnia Awalludin GD Mualif Aziz Abdul Gofar Azizah Hefni Badrut Tamam Gaffas Bagja Hidayat Bagus Takwin Balada Bale Aksara Baltasar Koi Bambang Agung Bambang Kempling Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Bayu Insani Beni Setia Benny Arnas Benny Benke Berita Berita Duka Berita Utama Bernando J. Sujibto Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Blambangan Brunel University London BSW Adjikoesoemo Budaya Budhi Setyawan Budi Darma Budi Saputra Budi Suwarna Bung Tomo Cak Kandar Catatan Cerpen Chairil Anwar Chavchay Syaifullah Cucuk Espe Cunong N. Suraja D. Zawawi Imron Dadang Ari Murtono Daisuke Miyoshi Damanhuri Damhuri Muhammad Damiri Mahmud Danarto Daniel Dhakidae Dante Alighieri Deddy Arsya Dedy Tri Riyadi Denny Mizhar Deny Tri Aryanti Detti Febrina Dharmadi Diah Hadaning Dian Hartati Dian Sukarno Diana A.V. Sasa Dicky Fadiar Djuhud Didi Arsandi Dimas Dina Oktaviani Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Djadjat Sudradjat Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Doddy Hidayatullah Donny Anggoro Dony P. Herwanto Dorothea Rosa Herliany Dr. Muhammad Zafar Iqbal Dr. Simuh Dwi Arjanto Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwicipta Dwijo Maksum Edy A. Effendi Edy Firmansyah Efri Ritonga Egidius Patnistik Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Hendri Saiful Elik Elsya Crownia Emha Ainun Nadjib Endah Sulawesi Endah Wahyuningsih Endang Suryadinata Endhiq Anang P Endri Y Eriyandi Budiman Ernest Hemingway Esai Esha Tegar Putra Eva Dwi Kurniawan Evi Dana Setia Ningrum Evi Idawati Evieta Fadjar F Rahardi Fabiola D. Kurnia Fadelan Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Faisal Kamandobat Faisal Syahreza Faizal Syahreza Fajar Alayubi Fandy Hutari Fany Chotimah Fatah Yasin Noor Fathor Lt Fathurrahman Karyadi Fatih Kudus Jaelani Fatma Dwi Rachmawati Fauzi Absal Festival Sastra Gresik Fikri. MS Fina Sato Fitri Susila Galih Pandu Adi Gde Agung Lontar Geger Riyanto Gerakan Literasi Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Ginanjar Rahadian Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gunoto Saparie Gus Martin Gus tf Sakai Gusti Eka Hadi Napster Haji Misbach Halim HD Halimi Zuhdy Hamberan Syahbana Hamdy Salad Han Gagas Handoko F. Zainsam Hari Santoso Haris del Hakim Hartono Harimurti Hary B. Kori’un Hasan Gauk Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Helwatin Najwa Hepi Andi Bastoni Heri C Santoso Heri KLM Heri Latief Heri Listianto Hermien Y. Kleden Hernadi Tanzil Heru Emka Heru Kurniawan Heru Prasetya Hesti Sartika Hudan Hidayat Humaidiy AS I Made Asdhiana I Made Prabaswara I Nyoman Suaka IBM. Dharma Palguna Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Ida Ahdiah Idayati Ignas Kleden Ihsan Taufik Ilenk Rembulan Ilham Khoiri Ilham Yusardi Imam Cahyono Imam Jahrudin Priyanto Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indah Darmastuti Indiar Manggara Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indrian Koto Irma Safitri Irman Syah Iskandar Noe Istiqomatul Hayati Ita Siregar Iwan Kurniawan Iwan Nurdaya-Djafar Iyut FItra Jadid Al Farisy Jafar M. Sidik Jakob Sumardjo Jamal D Rahman Janual Aidi Javed Paul Syatha Jayaning S.A Jefri al Malay Jihan Fauziah JJ. Kusni Jo Pakagula Johan Edy Raharjo Joko Pinurbo Jokowi Undercover Joni Ariadinata Joss Wibisono Jual Buku Paket Hemat Judyane Koz Juli Sastrawan Junaidi Abdul Munif Jusuf AN Juwairiyah Mawardy Kadir Ruslan Kasnadi Katrin Bandel Kedung Darma Romansha Khairul Mufid Jr Khamami Zada Khrisna Pabichara Kikin Kuswandi Koh Young Hun Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Komunitas Sastra Ilalang Indonesia (KSII) Korrie Layun Rampan Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan) Kristianto Batuadji Kritik Sastra Kunni Masrohanti Kunthi Hastorini Kuntowijoyo Kurie Suditomo Kurnia EF Kurniawan Kuswaidi Syafi'ie Kuswinarto Lan Fang Landung Rusyanto Simatupang Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Liestyo Ambarwati Khohar Linda Sarmili Liston P. Siregar Liza Wahyuninto LN Idayanie Lucia Idayani Lukman Asya Lusiana Indriasari Lynglieastrid Isabellita M Hari Atmoko M. Aan Mansyur M. Arman A.Z M. Bagus Pribadi M. Fadjroel Rachman M. Harya Ramdhoni Julizarsyah M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S M. Luthfi Aziz M. Nahdiansyah Abdi M. Raudah Jambak M. Shoim Anwar M. Yoesoef M.D. Atmaja Maghfur Saan Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Majalah Sastra Horison Maklumat Sastra Profetik Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Serenade Sinurat Mario F. Lawi Marluwi Marsel Robot Martin Aleida Martin Suryajaya Mashuri Matdon Mega Vristian Melani Budianta Melayu Riau Memoar MG. Sungatno Mh Zaelani Tammaka Miftah Fadhli Miftahul Abrori Misbahus Surur Miziansyah J Mochtar Lubis Mohamad Ali Hisyam Mohammad Eri Irawan MT Arifin Mugy Riskiana Halalia Muhajir Arrosyid Muhamad Rifai Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Al-Mubassyir Muhammad Qodari Muhammad Rain Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun A.S Muhidin M. Dahlan Muhlis Al-Firmany Mujtahid Mulyadi SA Munawir Aziz Murniati Tanjung Murnierida Pram Musa Ismail Musfi Efrizal Mustaan Mustafa Ismail N. Mursidi Nafsul Latifah Naskah Teater Nasrullah Nara Nelson Alwi Nenden Lilis A Nh. Anfalah Ni Made Purnama Sari Nina Mussolini-Hansson Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Noura Nova Christina Noval Jubbek Novela Nian Nugroho Notosusanto Nugroho Pandhu Sukmono Nur Faizah Nurdin F. Joes Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nurul Komariyah Nuryana Asmaudi SA Nyoman Tusthi Eddy Nyoman Wirata Oka Rusmini Oktamandjaya Wiguna Oky Sanjaya Olanama Olivia Kristina Sinaga Otto Sukatno CR Pagelaran Musim Tandur Pamusuk Eneste Patricia Pawestri PDS H.B. Jassin PDS. H.B. Jassin Penghargaan Hadiah Sastra Pusat Bahasa Persda Network Pipiet Senja Pramoedya Ananta Toer Pramono Pranita Dewi Pringadi AS Prita Daneswari Prof. Tamim Pardede sebut Bambang Tri Prosa Pudyo Saptono Puisi Puisi Kesunyian Puisi Sufi Puji Santosa PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Wijaya Qaris Tajudin R. Sugiarti Rachmad Djoko Pradopo Radhar Panca Dahana Ragdi F. Daye Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Ramadhan Batubara Ramadhan KH Ratih Kumala Ratna Indraswari Ibrahim Ratna Sarumpaet Raudal Tanjung Banua Remy Sylado Reni Susanti Renny Meita Widjajanti Resensi Restu Kurniawan Retno Sulistyowati RF. Dhonna Rian Sindu Ribut Wijoto Ridwan Munawwar Riki Utomi Riris K. Toha-Sarumpaet Risang Anom Pujayanto Riza Multazam Luthfy Robin Al Kautsar Rodli TL Rofiqi Hasan Rohman Abdullah Rosidi Rosihan Anwar Rukardi S Yoga S. Jai S. Sinansari Ecip S.I. Poeradisastra S.W. Teofani Sabam Siagian Sabrank Suparno Saiful Anam Assyaibani Sainul Hermawan Sajak Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sanggar Rumah Ilalang Sanggar Teater Jerit Sapardi Djoko Damono Sartika Dian Sartika Dian Nuraini Sastra Tanah Air Sastra Using Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sayyid Fahmi Alathas Sazano Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo Seli Desmiarti Selo Soemardjan Senggrutu Singomenggolo Seno Joko Suyono SH Mintardja Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sipri Senda Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Sobih Adnan Sofian Dwi Sofie Dewayani Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sri Ruwanti Sri Wintala Achmad St Sularto Stefanus P. Elu Sukron Abdilah Sulaiman Djaya Suminto A. Sayuti Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sungging Raga Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Suryansyah Suryanto Sastroatmodjo Susanto Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suyadi Suyadi San Syaifuddin Gani Syaiful Amin Syamsiar Hidayah Syarbaini Syifa Amori Syifa Aulia Tajuddin Noor Ganie Taufik Abdullah Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat TE. Priyono Teguh Afandi Teguh Ranusastra Asmara Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Theresia Purbandini Tita Tjindarbumi Titik Alva-Alvi Choiriyah Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tjoet Nyak Dhien Tosa Poetra Tri Lestari Sustiyana Triyanto Triwikromo TS Pinang Tu-ngang Iskandar Tulus S Tulus Wijanarko Udo Z. Karzi Ugoran Prasad Umar Fauzi Ballah Umar Kayam Umbu Landu Paranggi Universitas Indonesia Universitas Jember Utada Kamaru UU Hamidy Vera Ernawati Veronika Ninik W.S. Rendra Wahjudi Djaja Wahyu Hidayat Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Budiartha Widya Karima Wijaya Herlambang Wiji Thukul Willem B Berybe Wilson Nadeak Winarni R. Wiratmo Soekito Wita Lestari Wiwik Widayaningtias Y. Thendra BP Y. Wibowo Yasser Arafat Yeni Ratnaningsih Yohanes Sehandi Yonatan Raharjo Yonathan Rahardjo Yopi Setia Umbara Yos Rizal S Yos Rizal Suriaji Yudhi Herwibowo Yuka Fainka Putra Yurnaldi Yushifull Ilmy Yusri Fajar Yusuf Suharto Zainal Abidin Zainal Arifin Thoha Zawawi Se Zen Hae