Jumat, 31 Oktober 2008

Nyanyian Matahari

Hudan Hidayat
http://www.korantempo.com/

Saat Tuhan sembunyi dalam dunia yang berteka-teki, manusia melayani teka-teki Tuhan dengan kesadaran yang membelah dirinya: ia menghidupkan hatinya dan mengembangkan akalnya. Dengan akalnya ia mengolah dunia empirik. Dengan hatinya ia mengolah iman. Begitulah dua kesadaran yang membelah dunia. Sampai kesadaran itu memisahkan dirinya: menjadi sepenuhnya akal. Dan orang pun sampai pada atheisme.

Tapi atheisme tak bisa utuh. Orang memberontak pada Tuhan, tapi tak punya jawaban tuntas tentang dunia tanpa Tuhan. Kemana pun ia memandang, akan tertumbuk pada bayang-bayang Tuhan. Ia bisa mewacanakan menolak Tuhan, tapi jejak Tuhan tetap dalam dunia, dan sang atheis terperangkap di dalamnya.

Sang atheis yang tak hendak menyerah, hanya bisa membuat jejak "yang bukan Tuhan", dan itulah saat orang-orang menyeru Tuhan dengan nama-nama lain. Seperti yang ditunjukkan Goenawan Mohamad dalam esainya, "Tentang Atheisme dan Tuhan yang Tak Harus Ada". Karena, "Tuhan... akan selamanya berhubungan dengan benda-benda."

Jejak yang bukan Tuhan itu, atau saat orang menyeru Tuhan dengan nama lain itu, dimainkan dengan istimewa oleh Albert Camus dalam novelnya Orang Asing, yang memasang "matahari" sebagai lambang penyebab kemalangan yang menimpa tokohnya, Meursault, yang tak percaya pada Tuhan, dan menunjuk pada matahari untuk alasan mengapa ia membunuh sang Arab.

Bila Tuhan membuat teka-teki ke dalam dunia benda, ke dalam nilai dan tujuannya, yang telah ditolak karena "ketaknyataannya" oleh sang atheis, maka manusia membalas teka-teki Tuhan ke dalam ciptaan (novel) yang tak kurang berteka-tekinya.

Inilah yang dilakukan Camus dengan Orang Asing, dengan menciptakan tokoh Meursault, yang jiwanya seolah sebuah gua dengan lorong-lorong yang tak terduga. Seolah Camus, dengan teka-teki jiwa tokohnya, meniru "Tuhan" dengan kerja-Nya yang rahasia mencipta semesta dengan lekuk dan misterinya. Seolah ia hendak berkata, "Kau menciptakan dunia yang absurd. Aku pun menciptakan manusia yang absurd. Kita sama, Tuhanku."

Absurditas tokoh ciptaan Camus bukanlah ide yang dibentang dalam pemikiran diskursif (seperti dalam bukunya Mite Sisipus), tapi dikemas dalam cerita yang teknik penceritaannya menjaga ruang dari seorang Meursault yang sukar diduga tindak-tanduknya.

Meursault adalah repsentasi Camus tentang dunia yang penuh tafsir, di mana novel berisi jawaban menggantung, yang menjadi tipikal novel ini. Dalam tiap peristiwa yang dialami Meursault, ia membuat pelukisan yang tak hendak memfinalkan situasi (jawaban dan alasan yang sudah diketahui). Selalu dia menciptakan ruang bagi ketakjelasan, meskipun persoalan yang mengemuka tampak sederhana.

Orang Asing adalah paradoks dari anasir-anasir dunia. Dari kontradiksi Tuhan yang memberikan kehidupan tapi sekaligus Tuhan yang mencabut kehidupan, yang dilambangkan Camus sebagai "matahari" yang membuat Meursault hidup tetapi sekaligus membunuhnya.

Dan, Camus yang memberontak menyadari paradoks dan kontradiksi itu, melawannya dengan menembakkan pistolnya ke dalam tubuh yang telah terjatuh oleh tembakan pertama.

Bila pada tembakan pertama matahari menjadi sebuah argumen, maka tembakan selanjutnya kita tidak lagi melihat alasan. Yang tampil hanya sebuah pernyataan tanpa muatan (Lalu, aku menembak lagi empat kali pada tubuh yang tidak bergerak...).

Saya tergoda untuk menafsir, bahwa tembakkan selanjutnya memang bukan untuk membunuh. Pistol itu diledakkan bukan untuk apa-apa. Pistol itu diledakkan untuk menunjukkan sebuah keburaman dari nasib yang menimpa manusia: ketakmengertian akan ke mana hidup ini.

Camus meramu "ketakmengertian" itu ke dalam sebuah keruwetan psikologi yang sukar dicari dasar-dasar logisnya: mengapa Meursault menembakkan pistol itu kembali.

Tapi, pistol itu telah ditembakkan. Dan, dengan menembakkan pistol, seolah Camus ingin mengatakan, "Lihat Tuhanku, hidup-Mu tak bisa dimengerti. Maka aku membalas-Mu dengan cara menembak seperti ini."

Ruang bagi ketakjelasan dalam Orang Asing ini mencapai puncaknya saat Meursault menghadapi situasi "sakratulmaut" bagi dirinya. Itulah saat ia harus membela diri di hadapan pengadilan, saat di mana dia menerima kemarahan dan limpahan kasih sayang. ("Aku merasa betapa orang-orang itu begitu membenciku" berselang-seling dengan "Itulah untuk pertama kalinya aku ingin memeluk seorang lelaki dalam hidupku".)

Meursault, sebagai tokoh (novel) yang dipasang untuk memberontak melawan Tuhan, mengerjakan misi yang diembannya dengan sebaik-baiknya. Ia pun "membongkar" ketakjelasan dunia dengan menampilkan laku yang sukar dimengerti dari perasaan dan jalan pikirannya sebagai manusia. Sebagai lambang bagi absurditas dari kehidupan yang ditimpakan pada manusia. Yang telah dilawannya atau harus dilawannya. Dengan membalasnya ke dalam laku yang membuat otoritas sidang penasaran (Saya tidak mengerti dengan cara Anda membela diri). Dan ketika diberi kesempatan terakhir menjawab, dengan konyol ia mengatakan, "Itu karena matahari".

Maka sempurnalah absurditas itu. Absurditas dari dunia. Absurditas dari dalam diri manusia. Kesempurnaan yang harus dibayar dengan kepala yang dipenggal dari sebuah kehendak untuk memberontak terhadap Tuhan.

Sebuah pemberontakan telah dilancarkan, atau sebuah penolakan terhadap absurditas telah dilakukan. Maka, apa lagi yang tersisa?

Tidak ada yang tersisa dalam dunia hampa nilai seperti itu (setelah Tuhan ditolak). Tidak ada sesuatu pun yang penting, kata Meursault (kata yang berulang ia ucapkan). Kecuali menjalani hidup secara iseng, yang di dalam novel digambarkan dengan kata-kata "Yok kita pergi ke sana" untuk sebuah ajakan teman kerja yang ingin naik ke dalam truk terbuka (seolah kanak-kanak yang iseng), dan sang Meursault yang baru saja kehilangan ibunya telah berlari mengejar truk itu.

Atau, ia mengamati detail-detail lucu dari kehidupan (persidangan) yang telah atau sedang menjeratnya sebagai manusia terhukum--yang dalam novel digambarkan dirinya seolah penumpang sebuah trem di mana semua mata memandang kepadanya untuk mencari hal-hal lucu darinya. Tapi segera disadarinya posisinya sebenarnya. ("Aku tahu itu pikiran yang tolol, karena di tempat ini bukan hal yang lucu yang mereka cari, tapi kejahatan.")

Atau, ia menikmati kekinian dalam hidup yang bersatu dengan alam--yang tampil sebagai bau laut dan warna langit, yang begitu indah dilukiskannya saat harus berjuang melawan kesepian di dalam penjara ("...Aku hidup dalam sebatang pohon dan aku akan menunggu awan-awan dan burung-burung bertemu.")

Tidak ada apa-apa kecuali menunggu saat-saat kematian sebagai nasib manusia yang terhukum itu. Meresapi masa kini dari sebuah kehidupan biasa yang bersahaja. Juga memanggil masa lalu pada saat kekinian, dan itulah yang dikerjakan Meursault saat nasibnya sebagai sang terhukum tinggal menunggu detik-detik kematiannya.

"Aku diserbu oleh kenang-kenangan sebuah kehidupan yang bukan lagi milikku, tetapi di mana kutemukan kebahagiaan yang paling melarat dan paling kokoh: bau-bauan musim panas, daerah tempat tinggal yang kucintai, suatu langit malam, tawa dan gaun Marie."

Dan, Meursault sampai pada pengertian mengapa ibunya mengambil "tunangan" di saat-saat akhir hidupnya, saat orang begitu menerima kehidupan dan alam secara apa adanya.

Aku bisa mengerti ibu, katanya. Ibu yang telah meninggal tapi telah menghidupkan seluruh cerita ini. Ibu dari hidup kita sendiri.

Jakarta, 18 Januari 2008

(Terima kasih kepada Ibu Apsanti Djokosujatno, yang telah dengan indah menerjemahkan novel Orang Asing ini)
*) Penulis buku esai Nabi Tanpa Wahyu (PustakaPujangga, 2008) dan novel Tuan dan Nona Kosong.

Kamis, 30 Oktober 2008

Laskar Pelangi dan Cerita Pendidikan Indonesia

Liza Wahyuninto
http://celaledinwahyu.blogspot.com/

Ada tiga film Indonesia yang dinyatakan sebagai kebangkitan dunia perfilman Indonesia, yaitu Naga Bonar Jadi 2, Ayat-Ayat Cinta dan Laskar Pelangi. Hal itu diungkapkan oleh bapak presiden, Susilo Bambang Yudhoyono seusai menonton Laskar Pelangi dengan Ibu Ani Yudhoyono bersama sejumlah menteri Kabinet Indonesia Bersatu. Di antaranya, Jubir Presiden Andi Malarangeng, Menkominfo M Nuh, Mensesneg Hatta Rajasa, Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Jero Wacik, serta Mendiknas Bambang Sudibyo.

Laskar Pelangi yang disutradarai oleh Riri Riza memang unik dan pantas untuk dijadikan sebagai nominasi film terbaik tahun ini. Bukan karena ditonton oleh presiden beserta menteri. Pesan dan cerita hitam putih pendidikan Indonesia lah yang membuatnya pantas mendapat sanjungan dan apresiasi dari masyarakat. Diangkat dari sebuah novel yang menceritakan perjalanan panjang hidup sang pengarang, Andrea Hirata, menjadikan film Laskar Pelangi seolah dapat dirasakan oleh pembaca novel maupun penonton filmnya.

Dunia pendidikan Indonesia saat ini memang patut bersyukur, setelah jalan panjang mendapatkan anggaran pendidikan sebesar 20% tercapai. Sangat diharapkan nantinya dengan kemunculan film LP ini ikut membenahi sistem pendidikan agar lebih baik. Sosok Ibu Muslimah patut kiranya menjadi cermin bagi guru-guru Indonesia untuk benar-benar mengabdikan diri sebagai pendidik yang tidak hanya mengutamakan gaji, tetapi juga memberikan yang terbaik buat anak didiknya. 10 orang siswa yang dijuluki Laskar Pelangi oleh ibu guru Muslimah dalam novelnya Andrea Hirata juga pantas untuk diteladani oleh siswa-siswa Indonesia. Bermula dari mimpi dan semangat untuk mewujudkan mimpi dan dorongan dari guru, itulah pesan tersirat dari novel maupun film Laskar Pelangi.

Laskar Pelangi adalah cerminan kecil dari sejarah panjang membangun dan menata pendidikan Indonesia. Sebelum film Laskar Pelangi muncul, sebenarnya sudah ada film layer lebar yang juga berkisah tentang pendidikan Indonesia, Denias contohnya. Wajar jika kemudian dengan munculnya Laskar Pelangi ini banyak apresiasi dan harapan akan membaiknya sistem pendidikan Indonesia. Harapan juga ditujukan pada dunia perfilman Indonesia, dengan kemunculan Laskar Pelangi diharapkan perfilman Indonesia juga semakin sering berkisah tentang pendidikan.

Pada kesempatan yang sama Presiden juga menyatakan harapannya agar film ini dapat membuka mata semua orang terutama para orangtua bahwa pendidikan merupakan hal yang penting. Presiden mengharapkan agar film ini juga dapat ditonton oleh warga Indonesia yang lain yang tinggal di pelosok. Ya, semoga saja tidak hanya sekedar harapan tapi juga dapat diwujudkan.

(Surya, Sabtu 18 Oktober 2008)

PERAHUKU

Mardi Luhung
Jurnal Nasional 14 Sep 2008

Umi dan Abi pergi ke taman kampung. Umi berkebaya sedap. Abi berbaju koko. Kata keduanya: “Kami ingin naik sepur kelinci yang panjang!” terus tersenyum. Senyum yang lepas. Dan membuntut di belakang sepur kelinci yang panjang itu. Seperti buntut layang-layang yang tertempa oleh angin. Meriah dan menyala. Dengan warna yang terang. Warna yang ketika masuk ke dalam mimpiku, akan mewarnai relungnya. Sampai membuat mimpiku merajuk: “Tolong, jangan, jangan bangunkan aku dari ini semua!” Dan senyum yang mengingatkan aku pada yang bertumbuhan di kelebatan bulumu. Yang kerap kau warnai. Yang sesekali menggumpal. Dan sesekali bergerai. Meluncurkan perahuku yang aku anyam dari puisi.

Perahuku yang aku anyam dari puisi?

Ya, ya, perahuku memang aku anyam dari puisi. Puisi yang kata-katanya aku petik dari butir embun yang menetes. Jatuh ke sayap kepik. Memantul. Dan membuat rona yang kelap-kelip. Rona yang sering memasuki mata. Membangun sebuah kolam air yang lonjong. Kolam air yang jernih. Yang kata kabar, tempat tujuh bidadari turun dari surga dan keramas di situ. Lalu seorang pemburu datang. Menembakkan senapannya. Tujuh bidadari pun lenyap sambil menebar ancaman: “Seumur-umurnya, kau, pemburu, akan terlunta-lunta. Seperti terlunta-luntanya si penjual. Sebab telah menjual si orang suci dengan dua karung keping emas. Dua karung keping emas yang kelak akan menjelma besi yang menggembol di punggung!”

Dan si penjual yang kelak akan turun-naik bukit. Sebab dikejar sesal. Diburu awas: “Aku tak sengaja! Aku tak sengaja, menjual si orang suci itu!” terus hilang di balik hutan onak. Dan sekian abad ke depan, rimbun hutan onak itu akan menjadi teka-teki. Teka-teki tentang pengkhianatan sebuah kesetiaan. Juga pembalasan kekelabuan yang ada di tempat yang tak terjangkau. Kekelabuan yang sesekali muncul di dalam angan atau di sela genta. Genta yang digoyang-goyang oleh si pengkotbah. Yang sering berkotbah semacam ini: “Bangun, bangunlah hai orang yang lalai mendengar. Orang yang selalu berjalan di musim panas dan dingin. Di musim yang selalu membuat kau menjadi menghormati setiap yang layak untuk dihormati!”

Tapi selamu: “Apa perahumu yang meluncur itu punya kemudi?” Wah, aku tak menggubris. Sebab, aku tetap terpukau pada Umi dan Abi. Yang asyik di sepur kelinci yang panjang itu. Lihatlah, keduanya bahagia. Ada musim panen yang tak mau pamit. Dan ada kibaran benderang di musim itu. Yang di bawahnya, kebun palawija dan rempah pun saling hilir dan sihir. Kebun palawija dan rempah yang dijaga si orang-orangan yang terus menegak. Si orang-orangan yang punya tangan dari jerami. Sedang, topinya pun tampak kebesaran. Menutupi wajahnya yang terbikin dari labu kering. Labu yang cokelat dan keling. Seakan menyimpan hangat matahari. Matahari yang pernah diketapel oleh si anak nakal. Dan gumpilannya dipungut untuk diberikan kepada si adik. Yang berkilah: “Kakak, Kakak, ayo, ketapelkan matahari untukku!”

Dan waktu itu, si adik berbaju kuning. Berpita merah. Dan bersepatu putih. Tanpa kaos kaki dan topi. Dari lentik matanya, seperti ingin meringkus setiap yang dipandangnya. Untuk kemudian dilipat dan diremas-remas menjadi secangkup lempung basah. Lempung basah yang akan dengan mudah dijadikan rumah dengan segala isinya. Termasuk juga dua ekor kucing gemuk. Kucing yang selalu ditemui di genting. Ketika gerhana bulan tiba. Dan musim kawin membuka selubungnya.


Selanjutnya, menurut bisik-bisik, setelah si adik menerima gumpilan matahari, pun menelannya. Dan seketika itu pula, si adik pun menjelma cahaya. Cahaya yang melintas. Melintas dengan kecepatan yang tinggi. Seperti seekor naga yang bergegas. Naga yang menyala yang menggores angkasa di malam hari. Dan menurut bisik-bisik yang lain, jika siapa saja melihat goresan di angkasa itu, maka setiap permintaannya akan terpenuhi. Oleh karenanya, tak salah jika goresan di angkasa itu dirindukan bagi yang ingin merengkuh harap. Termasuk juga meringkus cemas. Dan doanya adalah: “Naga lewat, semua selamat. Naga pergi, jangan melambai. Segala amanat, tak terkhianat!”

Dan kelak, siapa saja tahu, jika naga itu akan berhenti di sebuah negeri. Kawin. Beranak. Dan mati dalam wujud seonggok batu. Batu bening yang tersepuh binar keemasan. Batu yang selalu diziarahi para pasangan kekasih. Agar mereka tetap setia. Sampai kakek-kakek dan nenek-nenek. Sampai di antara mereka ada yang mengembuskan napas terakhir. Dan berbisik: “Aku tunggu kau, aku tunggu kau. Tak ada yang bisa melenyapkan kenangan kita. Sebab, sekali telah tertulis di jantung ini, siapa yang mampu menghapusnya…”

Lalu, aku berangan: “Apa kelak kita bisa sebahagia mereka?” Ya, ya, di depan cerminmu aku pun mencoba menelisik tubuhku. Tubuh yang hijau. Hijau yang bening. Dan bening yang menampakkan setiap isi perutnya. Menampakkan dirimu yang ada di balik usus. Dan sergahku: “Mengapa kau bersembunyi di balik ususku? Apa kau tetap tak ingin pulang?” Kau menggeleng. Gelengan yang tak begitu tegas. Apa kau ragu? Apa juga kau punya pilihan yang tak terduga? Pilihan yang selalu muncul-hilang seperti bayangan si burung bul-bul. Si burung bulbul yang membuat segenap kampung ribut. Ingin memburu dan menangkapnya. Agar dapat dijadikan hidangan bagi sang raja. Sang raja yang sakit tapi tak mati-mati. Sang raja yang telah membunuh dan memakan 1.000 istrinya. Sampai istri yang ke-1001 datang dan menyadarkannya. Menyadarkan dengan hikayat yang sambung-bersambung. Hikayat yang kelak akan dibaca oleh siapa saja yang percaya pada cinta dan pengorbanan. Hikayat yang menempel di sebentuk potongan tangan.

“Tapi, aku juga mengenal potongan tangan yang lain?” sergahmu tiba-tiba.

“Potongan tangan yang lain! Potongan tangan apa?”

Ternyata dari sergahanmu itu, aku jadi tahu, jika potongan tangan yang lain, yang kau kenal itu telah gosong. Keling, liat dan cenderung ingin menangkapi angin. Dan antara membuka dan menutupnya seperti tak berbeda. Sama-sama normal tapi bebal. Potongan tangan yang pernah diceritakan saat dunia masih dihuni para penyihir. Yang menyihir tongkat jadi ular. Ular jadi belalang. Belalang jadi gunung. Gunung jadi rumput. Rumput jadi kambing. Kambing jadi kembang. Kembang jadi kayu. Kayu jadi angin. Angin jadi genting. Genting jadi kodok. Kodok jadi pipi. Pipi jadi ludah. Ludah jadi daging. Daging jadi jalan. Dan jalan jadi jarak panjang yang berkelok. Jarak panjang yang pergi tapi tak pernah pulang. Terus dan terus melangkah. Ke mana? Lagi-lagi tak jelas.

Dan akh, ketika aku ingin tahu itu potongan tangan milik siapa? Kau pun cuma menunjuk pada si bugil yang datang dari arah lain. Si bugil yang kerahasiaannya telah tersilang. Yang lehernya jenjang. Tapi, justru di leher itu selingkar ijuk terlingkar. Dan si bugil yang seluruh tubuhnya berwarna selang-seling. Ada hijau, kuning, cokelat, merah, jingga juga ungu. Yang menyalanya silih-ganti. Tergantung pada tempat yang ditempatinya. Jadi, barangkali si bugil mirip bunglon yang berwujud manusia. Bunglon yang pernah dibisikkan oleh si pengigau. Ketika dua kupingnya telah diiris sendiri. Dan ketika di ubun-ubunnya telah melingkar asap berat. Yang sesekali menjelma mulut buas. Sesekali lain, menjelma bibir yang merangsang.

Lalu potongan tangan gosong itu pun menarik ijuk yang melingkar di leher si bugil. Sampai si bugil mendekat. Menjilat. Dan menyergah: “Kekasihku, kerinduan kita untuk menjadi sepasang mambang, adalah kerinduan yang begitu melelahkan. Padahal, pantai demikian jauh. Kelenyapan demikian merayap.” Seperti rayapan seekor cecak di tembok licin. Pelan, pelan, pelan dan pelan. Sambil mendengarkan tangisan manja si wanita pada si lelakinya. Tangisan manja yang selalu bertanya seperti ini: “Sayang, cecak itu bicara apa? Adakah dusta? Adakah luka? Adakah yang tak terketahui padaku?” Ya, karena si lelakinya cuma tersenyum, maka saat itu juga, si wanita pun mengakhiri hidupnya persis di bawah patung si dewa kasmaraan.

Si dewa kasmaran yang pernah menikam ayahnya yang berwujud anjing. Lalu menendang sampan jadi gunung. Sebab tak tahu, jika dia mencintai soal yang salah. Padahal, menurutnya, cinta bukan merupakan sebuah kekeliruan. Melainkan, sebuah rasa yang tak diketahui: dari mana datangnya, siapa yang mendatangkannya, dan mengapa mesti datang? Dan mengapa pula, bagi setiap yang didatangi selalu mesti berpikir dulu. Dan mesti mencari jawab, pada orang-orang suci yang telah menusuk dua matanya. Agar menjadi buta dan tidak dibutakan oleh cinta. Grrrrrhhh, si dewa kasmaran benar-benar marah waktu itu.

Malamnya, taman kampung pun padam. Pengunjung pulang. Dan sepur kelinci yang panjang itu pun teronggok seperti bangkai. Bangkai yang melingkar. Bangkai yang tak lagi punya kekuatan dan daya. Kecuali pasrah dan menerima segala tiba. Apakah nanti menjadi padam, remang atau malah sesekali menggeliat. Seperti digeliatkan oleh sesuatu yang tak pernah putus. Sesuatu yang pernah menulis setiap nama (termasuk namaku dan namamu), di selembar daun. Sedangkan, dari kursi bekas yang dipakai Umi dan Abi, aku melihat tangan gosong dan si bugil itu sedang berpelukan. Berpelukan lama. Lama sekali. Dan dari balik remang, pelukan keduanya mengingatkan aku pada sebentuk lambang purba. Dari sebuah hutan yang selalu ditakaburi bandang.

“Mengapa kau masih bersembunyi di balik ususku?”

Perahuku yang aku anyam dari puisi pun terus meluncur.


Ya, ya, perahuku yang aku anyam dari puisi memang terus meluncur. Meluncurkan diriku. Juga meluncurkan dirimu yang bersembunyi di balik ususku. Dan perahuku ini melewati setiap ketinggian yang membentang. Ketinggian yang begitu luas. Dan begitu membuat dirinya kelak akan menjelma debu. Debu alit. Debu yang segera meragukan diri sendiri. Apakah benar dirinya terus bisa meluncur dan bahagia? Atau malah remuk dan lenyap disaput waktu.

Disaput waktu!

(Gresik, 2008)

POTRET KULTUR DAN AGAMA KELUARGA BATAK

Maman S Mahayana
http://mahayana-mahadewa.com/

Dalam banyak buku yang membicarakan perjalanan sejarah kesusastraan Indonesia, nama Sitor Situmorang sering kali dikaitkan dengan prestasi kepenyairannya. Oleh karena itu, pembahasan terhadap antologi puisinya, jauh lebih banyak dibandingkan dengan pembahasan terhadap cerpen, drama atau esai-esainya. Sekadar menyebut beberapa di antaranya, periksa misalnya buku A. Teeuw, Tergantung pada Kata (1980: 32—40), Subagio Sastrowardojo, Sosok Pribadi dalam Sajak 1980: 56—141), Korrie Layun Rampan, Pembicaraan Puisi Indonesia (1980), disertasi Wing Kardjo (1981), dan sejumlah skripsi yang membahas buku antologi puisi Sitor Situmorang. Dalam buku yang lain, A. Teeuw (Sastra Baru Indonesia 1, 1978: 242—254 dan Sastra Indonesia Modern II, 1989: 112—114) menempatkan Sitor Situmorang dalam konteks perkembangan kesusastraan Indonesia. Jadi, pembicaraannya lebih komprehensif, meskipun tak terhindarkan ulasan mengenai puisi tetap lebih dominan.

Pembahasan mengenai cerpen-cerpen Sitor Situmorang –meskipun tidak terlalu mendalam—telah dilakukan J.U. Nasution (Sitor Situmorang sebagai Penjair dan Pengarang Tjerita Pendek, 1963) dan Ajip Rosidi yang berupa sebuah resensi ringkas (Tjerita Pendek Indonesia, 1968: 112—116). Padahal, sebagai cerpenis, Sitor punya kemampuan bercerita yang tak kalah indahnya. Bahkan, antologi cerpennya Pertempuran dan Salju di Paris (1956) berhasil memperoleh penghargaan Hadiah Sastra BMKN untuk buku terbitan 1955—1956. Atas pertimbangan itulah, ulasan terhadap salah satu cerpen karya Sitor Situmorang yang berjudul “Ibu Pergi ke Surga” ini diharapkan dapat memberi perspektif lain atas kepengarangannya.

***

Cerpen “Ibu Pergi ke Surga” adalah salah satu cerpen dari enam cerpen yang terhimpun dalam antologi Pertempuran dan Salju di Paris (1956). Cerpen “Ibu Pergi ke Surga” ini kemudian diterbitkan kembali dalam antologi Salju di Paris (Grasindo, 1994; 102 halaman) yang berisi 12 cerpen. Ke-12 cerpen itu berasal dari lima cerpen yang diambil dari antologi Pertempuran dan Salju di Paris, lima cerpen dari antologi Pangeran (1963) dan dua cerpen dari antologi Danau Toba (1981).

Bahwa dari 12 cerpen itu pilihannya jatuh pada cerpen “Ibu Pergi ke Surga” tidaklah berarti kualitas cerpen lainnya lebih rendah. Atau, tidak juga berarti cerpen “Ibu Pergi ke Surga” yang terbaik dalam antologi itu. Pilihan terhadap cerpen ini semata-mata didasarkan lantaran temanya yang pas untuk bahan pelajaran di sekolah. Di samping itu, ada dua pertimbangan yang berkaitan dengan isi ceritanya. Pertama, bahwa cerpen itu mengungkapkan sisi lain dari gambaran sebuah keluarga Batak. Kedua, berkaitan dengan sikap keimanan dan keberagamaan keluarga Batak penganut Kristen.

***

Cerpen “Ibu Pergi ke Surga” mengisahkan seorang anak yang terpaksa pulang kampung karena mendapat telegram bahwa ibunya sakit keras. Ternyata benar, ibunya sakit. Ia pun terpaksa pula tinggal beberapa hari. Saat di rumahnya akan diselenggarakan perayaan Natal, ibunya meninggal.

Cerpen ini secara tematis sesungguhnya tidaklah terlalu istimewa. Kejadian semacam itu juga sudah sangat lumrah. Seorang anak menengok ibunya yang sedang sakit, niscaya bukan pula peristiwa dahsyat. Tetapi justru di situlah sastra memainkan perannya. Bagaimana peristiwa yang bagi setiap orang merupakan hal yang sudah sangat biasa itu, justru menjadi peristiwa luar biasa ketika sastrawan mengolah dan memasukkan imajinasi dan kecendekiaannya. Bagaimana pula persoalan yang sesungguhnya merupakan masalah pribadi, orang per orang atau sangat individual sifatnya, menjadi masalah manusia dan kemanusiaan, menjadi masalah yang universal sifatnya. Kerinduan ibu kepada anak atau kecintaan anak kepada ibu, dalam cerpen itu, menggambarkan kerinduan dan kecintaan sebuah keluarga Batak yang diungkapkan secara sangat khas. Jadi, sangat mungkin perasaan cinta-rindu yang universal sifatnya itu, diungkapkan dengan cara yang berbeda dalam keluarga lain dengan kultur yang juga lain.

Struktur penceritaannya sendiri disajikan dalam bentuk kilas balik. “Ibu akhirnya meninggal setelah mengidap penyakit dada satu tahun saja.” Inilah kalimat pembuka cerpen itu yang kemudian dilanjutkan dengan deskripsi mengenai keadaan orang tua si aku yang miskin, tinggal di kampung, tak ada obat, tak ada perawatan. Kondisi itu bagi si Ibu yang sakit dada, niscaya merupakan penderitaan yang melelahkan. Maka, ketika si ibu meninggal, tokoh aku pun berujar: Syukurlah! dalam hati. Terlalu penderitaan si tua ini. Pernyataan itu –bagi suku bangsa lain—tentu saja tidak etis, tak tahu berterima kasih. Bagaimana kematian ibu, justru disyukuri. Ada dua hal yang dapat kita tafsirkan dari sana: Pertama, si anak tidak mau ibunya terus-menerus menderita. Kedua, si anak cenderung bersikap realistik-rasional.

Dalam keluarga Batak, sosok ibu adalah segala-galanya. Paling tidak, ia sosok yang harus dihormati—disegani—bahkan ditakuti. Oleh karena itu, dalam kebanyakan keluarga Batak, anak akan sangat patuh pada orang tua –dan terutama ibu. Seorang Batak yang dikenal sebagai “Raja Tega” yang tidak mengenal takut kepada siapa pun, ia tetap akan patuh-menurut hanya kepada ibu, dan kemudian ayah. Jadi, agak aneh jika si tokoh aku malah mensyukuri kematian ibunya.

Di situlah justru kepiawaian Sitor Situmorang dalam menyelimuti karakter tokoh aku. Pernyataan syukur, justru menunjukkan kecintaan si anak kepada ibunya. Si anak tak mau ibunya menderita berkepanjangan. Oleh sebab itu, hanya kematian yang dapat membebaskan si ibu dari penderitaan yang melelahkan. Terlalu penderitaan si tua ini mengungkapkan beratnya beban derita yang harus ditanggung si ibu. Dan ia sendiri merasa tak sanggup membebaskan penderitaan ibunya. Mengingat kondisi dirinya serta keadaan ibunya itu, tidak dapat lain, ia mesti berpikir realistik-rasional. Suatu sikap yang terkesan lugas dan terus terang.

Kecintaan si anak kepada ibunya, tampak pula ketika ia mengetahui ibunya sudah meninggal. Perhatikanlah kutipan berikut:

“Ia tertidur” pikirku, lalu aku mendekatinya. Kuperhatikan wajahnya dengan mata

dan pipinya yang cekung-cekung. Lalu dadanya.

Seperti dada ayam, pikirku. Tiba-tiba kusadar dadanya tak bergerak. Kuraba keningnya, lalu kubuka kelopak matanya. Ibu telah mati! Perasaan syukur yang ganjil tak memberi kesempatan pada haru yang menyumbat kerongkonganku.

Pernyataan “Perasaan syukur yang ganjil tak memberi kesempatan pada haru yang menyumbat kerongkonganku” mengungkapkan, betapa sesungguhnya si tokoh aku diterjang perasaan yang kontradiksi. Di satu pihak, ia bersyukur karena ibunya terbebas dari penderitaan, dan di pihak lain, ia berduka karena harus berpisah untuk selamanya dengan orang yang dicintainya itu. Dan Sitor cukup menyatakannya dengan: “perasaan syukur yang ganjil … dan haru yang menyumbat….” Sebuah cara pengungkapan yang sederhana, namun bermakna sangat mendalam. Sebuah pernyataan yang cerdas, sangat puitis dan memancarkan kekayaan citraan atas perasaan haru-pedih, dan entah apa lagi.

Dengan bentuk kilas balik, pengarang juga mempunyai kesempatan untuk mengungkapkan betapa sesungguhnya si anak sangat peduli dan begitu memperhatikan orang tuanya. Dengan begitu, kilas balik itu berfungsi untuk memperkuat, bagaimana sebenarnya hubungan anak—ibu—ayah dalam keluarga Batak.

Ketika si tokoh aku mendapat telegram pertama, ia datang menjenguk. Ibunya sembuh yang diperkatakan oleh tetangganya: “Lihat. Kau akan sehat kembali. Kau hanya rindu melihat anakmu!” Jadi, sangat mungkin pula sakitnya si ibu lantaran tak kuasa menanggung rindu kepada anak. Bagi si anak, kerinduan itu seperti kekenesan. Dengan meninggalkan pekerjaan dan ongkos yang besar, agaknya terlalu mahal jika sekadar untuk melepaskan rindu. Oleh karena itu, menjadi sangat wajar ketika datang telegram kedua, si anak cukup dengan mengirimkan baju panas untuk ibunya dan jas untuk ayahnya. Tetapi ketika datang lagi telegram ketiga, si anak merasa mempunyai kewajiban untuk datang –meskipun tidak bersama anak-istrinya.

Bahwa kedatangan si anak bagi ibunya, tentu saja memberi kebahagiaan tersendiri. Tetapi bagi ayahnya, kebahagiaan itu tidak lengkap lantaran si anak tak membawa anak sulung laki-lakinya. Kembali, ada peristiwa kultural dalam pertanyaan ayahnya itu: “Hanya kau sendiri?” Ayahnya tak bertanya tentang keberadaan anak keduanya –adik si tokoh aku. Bagi keluarga Batak, anak sulung laki-laki tidak hanya dianggap sebagai penerus marga, tetapi juga kebanggaan. Jadi, pertanyaan “Hanya kau sendiri?” bermakna: “Ke mana cucu sulungku?” Si ayah tak perlu pula bertanya mengapa istrinya tidak ikut atau bagaimana pula kabarnya tentang anak keduanya. Dengan pertanyaan “Hanya kau sendiri?” sesungguhnya tersimpan persoalan kultural di sana.

***

Hal yang juga menarik yang digambarkan dalam cerpen itu berkaitan dengan masalah keimanan dan keberagamaan. Tokoh aku yang tak lagi begitu dekat dengan kepercayaannya, harus berhadapan dengan para penganut agama yang taat. Ketika jemaat akan merayakan hari Natal di rumahnya, si aku sesungguhnya keberatan –tak setuju. Tetapi ia juga harus menjaga perasaan jemaat, pendeta, dan terutama ibunya. Satu sikap toleran yang semata-mata didasarkan oleh keinginan untuk menjaga hubungan baik. Bahkan, ketika ia tahu ibunya sudah meninggal, ia tidak punya keberanian untuk menyampaikannya, sebab tentu saja akan berakibat gagalnya perayaan itu.

Demikian juga ketika pendeta memintanya untuk membaca Injil. “Tuan hendaknya membaca Injil di malam hari Natal nanti! Ibu tentu gembira sekali kalau Tuan melakukan hal ini” Meskipun awalnya ia menolak, ia juga mempertimbangkan sesuatu atas nama ibunya. “Aku tak suka tapi aku diam. Pendeta rupanya menganggapnya tanda setuju.” Di sini pun, tampak si tokoh aku punya tenggang rasa, toleransi. Ia tak hendak mengecewakan pendeta, dan terlebih lagi ada keinginan untuk menyenangkan ibunya.

Toleransi yang sama juga diperlihatkan ayahnya. Sang Bapak yang tak dapat meninggalkan kepercayaan tahayul, masih menikmati tempatnya yang istimewa di gereja, duduk dekat pendeta, meskipun ia mengikuti khotbah dalam keadaan terkantuk-kantuk.

Di pihak lain, pendeta juga tampak begitu toleran ketika ia mengetahui si tokoh aku tak ke gereja. Ia tak menyuruh si tokoh aku ke gereja, tetapi cukup dengan menyampaikannya lewat pertanyaan: “Mengapa Tuan tak ke gereja ketika kemari beberapa bulan yang lalu? Tuan lebih seminggu di sini ketika itu, bukan?” Demikian pula ketika pendeta itu datang sehari menjelang keberangkatannya. “Ya, saya tahu Tuan juga percaya, walaupun orang terpelajar tidak lagi suka datang ke gereja. Saya selalu yakin, Tuan berpegang pada Kristus,” kata pendeta seperti pada dirinya sendiri. Terkesan, nasihat pendeta itu lebih sekadar mengingatkan. Satu sikap yang juga memperlihatkan bentuk toleransi.

Jika ditarik sebuah garis tegas, maka ada tiga pihak yang mewakili sikap keimanan dan keberagamaan. Sang ibu dan pendeta berada dalam wilayah penganut agama yang taat, si Bapak mewakili penganut agama yang tidak dapat meninggalkan kepercayaan tahayulnya, dan si tokoh aku yang mulai meninggalkan bentuk ritual meskipun ia masih percaya pada Tuhan dan agama yang dianutnya. Ketiga tokoh yang mewakili sikap keimanan dan keberagamaan itu, ternyata dapat hidup damai, jika masing-masing menjaga dan memelihara toleransi ketika ia hidup dalam sebuah komunitas sosial. Permintaan si Bapak kepada si tokoh aku agar kelak ia dikubur di pojok pekarangan rumahnya dan agar kuburan ibunya juga dipindahkan ke situ, mempertegas kembali kepercayaan leluhur si Bapak yang tidak dapat dibuang begitu saja.

Bahwa di akhir cerita si tokoh aku digambarkan membakar pohon natal yang sudah kering, peristiwa itu sebagai simbol penegasan kembali sikap tokoh aku yang mulai meninggalkan bentuk luar asesori agama.

***

Demikianlah, cerpen “Ibu Pergi ke Surga” yang tampak seperti menceritakan peristiwa yang sederhana itu, sebenarnya mengungkapkan banyak hal tentang kultur dan agama. Dan Sitor Situmorang begitu cerdas memotretnya. Jadi, meskipun cerpen itu bercerita tentang sebuah keluarga Batak penganut agama Kristen, masalah yang ditampilkannya sesungguhnya merupakan masalah universal. Ia dapat pula berlaku di mana pun dan dalam kultur dan agama apa pun. Dan perbedaan sikap keimanan dan keberagamaan itu, tak bakal menjadi masalah besar –apalagi sampai menimbulkan konflik berdarah—jika masing-masing pihak menjaga dan memelihara toleransi: mengusung tenggang rasa dan saling menghormat. Hanya dengan cara itu, para penganut agama akan hidup damai. Dan Sitor telah membuat potret yang menawan mengenai masalah itu lewat cerpen “Ibu Pergi ke Surga”. Nah, barangkali saja begitu!

Masa Lalu Sebagai Kenang-Kenangan

Haris del Hakim

Berapa kali kaujenguk masa lalumu setiap hari?
Kenangan masa lalu selalu tampak indah dan senantiasa diingat dengan wajah berseri-seri, seakan alam semesta telah berubah menjadi alat musik yang hanya memainkan nada-nada bahagia. Meski perih dan luka tidak lepas dari satu kurun dalam kenangan itu, namun tak ubahnya nada improvisasi yang menambah merdu irama. Dan cerita tentang masa lalu lebih sering diiringi dengan tertawa dan bangga, apalagi bila terlibat di dalamnya sebagai pelaku.

Akan tetapi, saat sekarang yang sedang dialami dan dijalani menunjukkan bahwa dunia ini hanya hidup yang getir, pahit, dan luka yang tak kunjung sudah. Irama saat ini hanya lagu sendu yang sering menguras air mata, seakan tidak pernah mendapatkan satu tangga nada yang mampu membuat gembira. Semua peristiwa saat ini seakan tersedot dalam pusaran melelahkan dan membuat putus asa.

Sekali waktu muncul kesempatan menyenangkan dengan hadirnya rezeki, kabar gembira, atau kawan lama yang selama tahunan tidak bertemu, kemudian dalam keriangan tidak bosan berujar seakan Tuhan bersamanya. Akan tetapi, bila kesempatan sulit dan sesak menimpanya; ketika seorang juru tagih menagih piutang, penyakit yang datang tiba-tiba, atau sesuatu yang hilang, maka yang keluar dari bibir adalah keluhan-keluhan bahwa Tuhan telah meninggalkannya.

Sementara itu, impian-impian membumbung tinggi hingga lupa bahwa dia masih memijakkan kakinya di bumi. Seperti seorang pemimpi yang tidur sepanjang waktu kemudian bangun sekadar untuk menceritakan mimpinya kepada orang lain. Mimpi itu begitu dekat dan hampir menjelma kenyataan. Namun, begitu mimpi itu hanya igauan di siang hari dan bahan lelucon orang-orang yang pernah mendengar ceritanya, dia segera mengambil seutas tali dan mengikat lehernya di dahan pohon.

Begitulah yang terjadi ketika kau terperangah dengan kehidupan yang begitu pendek dan menganggapnya sebagai akhir dari segalanya. Ungkapan ini begitu mudah kaunyatakan, sebagaimana mudahnya kautemukan iring-iringan orang yang mengantar usungan keranda menuju pemakaman. Berjalanlah menyusuri tempat-tempat yang belum kaujamah dan jangan terpukau mendapati pengiring jenazah, sebab ketika kau terpukau pertanda kau sedang lalai bahwa dunia ini pasti berakhir. Pada saat itu kaulihat iringan pengantar jenazah yang sama sekali tidak kaukenali, tapi kau tak tahu bila kapan iringan itu mengantarkan jenazah tetanggamu atau keluargamu atau bahkan dirimu sendiri.

Oleh karena itu, akrabilah kematian agar dapat kautuntaskan semua ketakpastian dan selamat dari kegalauan. Peristiwa dan perasaan barangkali telah membantingmu ke sana ke mari agar kau mengaduh dan mengeluh sekeras-kerasnya, namun akrabmu dengan kematian akan mengajarimu untuk menjalaninya dengan tegar dan tersenyum. Bukankah semua itu hanya sesaat dan sebentar kemudian segalanya akan berlalu? Nafas boleh panjang namun dia pasti berujung pada maut.

Hati-hatilah mencerna kata-kata tersebut, sebab kesalahan memahaminya dapat membuatmu terjebak pada lembah ketidakpedulian dan keacuhan.
Sabda Suci, “Sesungguhnya kehidupan dunia ini tidak lebih sebuah pentas permainan dan kelalaian.” Kalimat itu menyindirmu karena serius menghadapi saat-saat sekarang dan melupakan kehidupan hakiki yang lebih panjang tanpa ujung. Kau keliru bila membayangkan saat sekarang hanya untuk sekarang, sebab sekarang adalah mempersiapkan tanaman yang dapat dipetik di kelak kemudian hari; saat ini kau mesti menyiapkan lahan keluasan iman, memilih benih yang bermanfaat, menanam dengan ikhlas di musim yang tepat, menyiangi gulma kemusyrikan, memelihara dari gangguan kekufuran dan kemunafikan, dan berdoa dengan harapan dan kekuatiran.

Pandangan jauh ke depan yang melahirkan kesadaran tentang awal dan akhir mengajarkan kesenangan dan anggapan kenikmatan hanya berlaku dalam sepenggal waktu; mengapa kaucuci tangan bersih-bersih dari kesusahan yang menyertainya? Belajarlah menikmati hidup abadi agar tidak goyah dalam kurun waktu sementara.

Kehidupan sekitar hanya cermin hati. Prasangka buruk di dalam benak seperti seorang dirigen yang memimpin semesta untuk berteriak, “Ya, kami buruk sekali. Lihatlah, wajah kami penuh bopeng bukan?” Kalau dalam prasangka dunia ini tampak indah, maka gerakan tanganmu pun lincah untuk membimbing semesta bersorak, “Oh, kami sangat indah. Sayang kau tidak pernah memperhatikan.”
Karena itu, dusta besar bila menganggap semesta ini munafik. Katakan, dirimu yang munafik hingga tidak sanggup memahami yang sebenarnya.

Sang Nabi pernah bersabda, “Aku heran dengan orang mukmin. Ia tidak pernah bersedih. Ia memandang kehidupan dunia ini dipenuhi keindahan semata.” Ketika seorang mukmin dicaci maka dia berkata, “Alhamdulillah, dosaku berkurang satu.” Di saat mengalami kemiskinan dia berkata, “Alhamdulillah, aku diberi kesempatan untuk beribadah dan tidak perlu repot bertanggung jawab mengurusi tetek bengek harta yang belum tentu bermanfaat di akhirat nanti.” Ketika kaya dia berujar, “Alhamdullah, aku diberi kelapangan oleh Tuhan untuk menunaikan hak mereka yang terampas.”

Takarlah semua yang menimpamu dengan takaran seimbang, agar perasaan kecewa tak menyergapmu. Kau hanya setitik makhluk kecil di antara tatanan semesta dan kau tidak pernah tahu apa yang terbaik untuk dirimu sendiri; apakah kau masih berpikir mampu berbuat yang terbaik untuk alam semesta ini? Apa yang kaukira kebaikan bisa saja keburukan yang suatu saat akan meletus dan apa yang kausangka keburukan ternyata kebaikan yang menyelamatkanmu.

Jenguklah masa lalumu sekadar saja di saat yang tepat agar kau tidak terseret oleh siksaan yang tidak kausangka-sangka. Sebagaimana yang dialami oleh istri Lut. Pada malam-malam buta orang-orang beriman diajak hijrah oleh Lut, sebab negeri mereka sebentar lagi dihujani batu-batu api dan dibalik tanahnya. Lut merasa sayang dengan istrinya yang sering berpihak pada kekufuran dan mengajaknya ikut hijrah. Seperti yang dipesankan oleh Tuhan melalui malaikat, dia pun berpesan kepada istrinya bila melakukan perjalanan jangan sekali-kali menoleh ke belakang, meskipun rasa ingin tahu begitu kuat untuk melihat apa yang terjadi. Begitu pula yang disampaikannya kepada orang-orang beriman. Dan pada malam itu janji siksa Tuhan benar-benar datang. Lut beserta istri dan orang-orang mukmin telah meninggalkan negerinya. Malam itu bintang-bintang api jatuh. Suara berdebum-debum diiringi teriakan kesakitan dan mengerikan. Jeritan dan tangis penyesalan sudah tidak berarti lagi. Lut menggigit bibir merasa kasihan pada kaumnya yang tidak mempercayainya. Sedangkan istrinya lupa dengan pesan suaminya. Dia menoleh ke belakang dan melihat siksaan yang didustakan benar-benar datang. Dia tertegun dan tertinggal jauh di belakang hingga tanah yang dipijaknya pun ikut terbalik atau sebongkah batu panas menimpuknya?! Pertanyaan yang tidak memerlukan jawaban dan bantahan.
Maha suci Tuhan yang menciptakan lupa.
***

Maulana Jalaludin Rumi mendendangkan wejangan dalam Matsnawi tentang seseorang yang gemar menaburkan deduri di tengah jalan.
Kata-kata itu ditujukan bagi orang bebal yang senang dengan makhluk. Dia mempunyai kebiasaan menanam duri di tengah jalan. Orang-orang yang telah melewati jalan itu mencaci makinya dan banyak pula yang menyuruh untuk mencabut duri-duri itu, tetapi ia tidak juga melakukan. Duri-duri yang ditanam itu semakin hari semakin tumbuh, bahkan telapak kaki manusia dapat mengucurkan darah karena tergores. Duri-duri itu pula yang merobek pakaian makhluk; sedangkan telapak kaki para darwisy; alangkah kuatnya menanggung rasa sakit. Seorang bijak memanggilnya dan berkata, “Cabutlah duri yang kautanam di tengah jalan itu!” Namun, ia menjawab, “Ya, aku akan mencabutnya pada suatu hari nanti.”

Hari-hari telah berlalu. Sementara itu ia akan mencabut duri-duri itu besok sehingga batang duri pun tumbuh menjadi semakin besar.
Orang bijak berkata lagi padanya, “Wahai yang memungkiri janjinya sendiri, segera lakukan apa yang kuperintahkan. Jangan biarkan duri-duri itu melukai dirimu kembali.”
Ia mengatakan, “Hari-hari itu tengah kita jalani, paman!”
Orang bijak melanjutkan bicaranya yang sempat disela tadi, “Segera lakukan! Jangan hanyak berangan-angan untuk menunaikan agama kita.”

Wahai, kalian yang suka mengutip kata “besok”, ketahuilah bahwa hari dan zaman pasti berlalu. Pohon duri yang buruk rupa ini akan tumbuh semakin kuat dan ulet; dan hanya seorang syaikh yang kuat sanggup mencabutnya. Pohon duri itu pun semakin kuat dan tinggi, sementara yang akan mencabutnya pun bertambah renta dan ringkih. Pohon duri, setiap hari dan setiap saat, makin menghijau dan elok dipandang mata. Adapun mencerabut duri makin bertambah susah dan berat. Ia semakin dewasa sementara dirimu semakin tua, maka segeralah, dan jangan menyia-siakan waktumu.

Ketahuilah, semua perilaku buruk dalam dirimu merupakan pohon duri, sementara kalian mendapatkan tusukan duri-duri di telapak kakimu itu adalah persoalan lain. Betapa banyak yang terluka karena perilakumu: kau benar-benar tidak mempunyai perasaan, bahkan sebenarnya dirimu tujuan dari peniadaan. Apabila dirimu menghadapi orang lain yang terluka karenamu—yang menjauhimu karena perilakumu yang buruk—kadangkala kau lupakan perbuatanmu; bahkan, kau lalai dari luka yang terjadi pada dirimu sendiri? Kau adalah azab bagi dirimu sendiri dan semua orang selainmu.

Ambil kapak dan tebang pohon duri itu, seperti yang dilakukan orang-orang gagah. Cabutlah dengan segenap kekuatanmu, seperti yang dilakukan Ali ketika mencabut pintu Khaibar.
Kalau saja kau tidak mampu, maka jadikan duri sebagai sahabat bunga mawar dan jadikan api sebagai sahabat cahaya kekasih. Hingga cahayanya pun menaungi api yang ada pada dirimu dan menjadikan sarana duri-durimu sebagai taman mawar. Kau seumpama api neraka Jahim adapun mursyidmu adalah orang mukmin; hanya seorang mukmin yang mampu membekukan api.

Apa saja yang kau tanam pasti akan berbuah dan sekaligus mengundang kehadiran burung prenjak, burung gagak, atau merpati bagimu. Kita telah kembali untuk memotong jalan lurus dengan benda; kita harus kembali, tuan. Di manakah jalan kami?
Kami telah menjelaskan kepadamu, wahai pendengki. Keledaimu telah lepas sementara rumahmu masih jauh, maka segera berangkat! Tahun telah kehilangan separuh hari-harinya dan sekarang bukan lagi musim tanam, sehingga hari-hari tersisa ini hanya berisi muka hitam dan perbuatan buruk. Seekor ulat telah mengeram di akar pohon jasad, maka suatu keharusan untuk mencabut dan melemparkannya ke neraka.

Jasad yang mati tak lebih gumpalan adonan roti—ketika bersahabat dengan ruh—menjadi hidup, bahkan menjadi mata kehidupan. Kayu bakar yang hitam ketika bersahabat dengan api—akan melenyapkan warna hitamnya dan menyulapnya—menjadi cercah-cercah cahaya. Bangkai keledai—ketika jatuh di gugusan bintang yang terang—akan terselungsungi dari kekeledaian dan terhalalkan jasadnya. Sibghatallah menjadi bejana warna wahdaniyah. Berbagai warna di dalamnya menjadi warna tunggal. Apabila ada seseorang berada di dalam bejana itu dan kau katakan, “berdirilah”, maka ia akan menjawabmu dengan suara genderang, “aku adalah wadah maka jangan mencaciku.” Ungkapannya “aku adalah wadah” merupakan esensi pernyataan “aku adalah Kebenaran”. Apakah selain besi dapat mengambil warna api untuk dirinya? Warna besi terhapus dalam warna api. Besi seakan-akan dalam kebisuan menampakkan kesenangan dengan sifat api. Saat ia telah menjadi—dalam warna bara merah—seumpama emas berpijar, maka ia merasa bahagia seraya menyatakan tanpa lisan, “akulah api!”

Aku adalah api.
Kalau kau ragu maka ulurkan tanganmu ke tubuhku.
Aku adalah api.
Kalau kau sama denganku maka tempelkan wajahmu pada wajahku.
Seorang manusia ketika meminjam cahaya dari Allah menjadi sandaran; para malaikat sujud kepadanya karena Allah telah mengijabahinya. Begitu pula ia menjadi sandaran bersujud manusia; ketika ia telah memurnikan ruhnya dari keraguan dan tirani, seperti malaikat.

Apakah api?
Apakah besi?
Tutup kedua bibirmu dan jangan banggakan jenggot karena mirip dengan kaum berjenggot. Jangan langkahkan kaki ke laut dan kurangi bicaramu tentang laut. Berdirilah di pantai dalam keadaan diam demi menjaga kedua bibirmu dari kebingungan.
Hati adalah telaga yang terhijab, karena itu ia memiliki cara rahasia menuju laut. Penyucianmu yang terbatas membutuhkan kurun waktu; jika tidak, maka hitungan akan bertentangan dengan sedekah.

Surabaya, 25 Ramadhan

Selasa, 28 Oktober 2008

RELIGIUITAS SANG PRIYAYI

Judul Buku: Serasi Denyutan Puri
Pengarang: Suryanto Sastroatmodjo
Penerbit: Pustaka Pujangga
Tebal Buku: 60 hlm; 13 x 20, 5 cm
Peresensi: Imamuddin SA

Religiuitas dewasa ini haruslah dinomorsatukan. Seorang anak manusia hauruslah senantiasa kembali pada hakekata religius yang sebenarnya. Bukan religius asal-asalan. Dan bukan religius kelembagaan semata. Melainkan religius yang mencerminkan pengagungan terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Pengagungan yang bukan sekadar kembang bualan. Namun berslimutkan dalam tangan perjalanan. Biar realitas kehidupan mengalami penurunan intensitas kecarut-marutannya.

Bentuk pengagungan itu dapat dilakukan dengan jalan mematuhi segala perintah Tuhan serta meninggalkan segala larangan-Nya. Dalam hal ini adalah ingat kepada Tuhan dan tidak membuat kerusakan di muka bumi. Baik bumi sebagai makro kosmos maupun mikro kosmos.

Pada dasarnya, segala kerusakan yang berada pada makro kosmos itu bersumber pada kerusakan mikro kosmosnya; yaitu pribadi manusiannya. Dan kerusakan mikro kosmos itu dipicu oleh batiniah yang keropos. Yang selalu dilingkupi hawa nafsu. Memburu kesementaraan dunia. Meninggalkan kesejatian manusiannya. Menghapus eksistensi tuhannya. Oleh sebab itu, butuhlah kiranya dengan segera, seorang anak manusia kembali melakukan penyucian batinnya. Mencuci reget-reget hati agar dapat mengagungkan Tuhan Yang Maha Suci.

Balada Serasi Denyutan Puri merupakan suatu karya agung dari seorang pujannga besar keraton Surakarta dewasa ini. Penyair merupakan cucu dari Panembahan Adipati Poeger V Lumajang dan putra mantan Ragent Kota Kabupaten Bojonegoro yang bernama Pangeran Adipati Surya Hadi Negara III dengan istri Ray Sri Haluwiyah Wuryaningrum.

Dari cover buku yang bergambar teratai ini, dapat ditelisik bahwa Serasi Denyutan Puri mengandung suatu nilai keilmuan dan pemikiran yang bersumber dari kejernihan batin penulisnya. Teratai yang rekah mengambang di tengah tenangnya air kehidupan seolah akan memberikan keindahan dan kedamaian dalam batiniah anak manusia. Asumsi itu menyemburat dari pandangan terhadap kepribadian pengarang yang kerap melakukan penyucian hati lewat semedi dan tapabrata.

Dalam buku ini, nuansa religiuitas, falsafah, dan mistisme dibangun dengan kental yang kesemuanya itu berakar pada kebudayaan dan tradisi kejawen. Hal itu disebabkan oleh eksistensi beliau yang cenderung mengakrabi dan mengabdikan diri secara penuh dalam kekeratonan Surakarta dan juga bertumpu pada latar belakang beliau sendiri. Sehingga tidak jarang ketika membaca karya ini akan menemukan istilah-istilah bahasa Jawa yang dimasukkan ke dalamnya.

Masukknya unsur bahasa Jawa ke dalam karya ini bukanya melemahkan arti. Melainkan justru membentuk kekuatan tersendiri. Melaluinya, ungkapan bahasa yang dipakai dapat menjadi plural dan multi tafsir. Itu bagi pembaca yang mengerti dan paham bahasa Jawa. Namun bagi mereka yang tidak tahu-menahu dengan bahasa Jawa, ini bisa menjadi membingungkan dan menggaggu dalam proses pembacaan serta pemahaman maknanya. Jadi lebih enak lagi jika buku ini dilengkapi dengan catatan kaki tentang istilah-istilah bahasa Jawa.

Karya KRT. RPA. Suryanto Sastroatmodjo laksna lambaian angin. Bebas bergerak menelusup pada ruang tafsir pembacanya. Ia begitu menyejukkan, namun kadang kala menyentak-mendobrak bagi jiwa yang gerah mencari hakikat dan kesejatian hidup yang sesungguhnya. Ia memberi pemahaman akan tujuan dan makna hidup sekaligus menggugah jiwa untuk segera merengkuh kesejatiannya. Pemahaman yang disuguhkannya merupakan pemahaman khas kejawen yang menyemburat melalui kemurnian religiuitas orang Jawa sesungguhnya. Religiuitas yang tidak condong pada satu kelembagaan agama tertentu. Yaitu religiuitas yang hanya mengarah pada hakekat Tuhan Yang Maha Esa. Sungguh, karya-karya yang sarat akan makna, etika dan estetika, sekaligus sentuhan jiwa.

Kumpulan balada ini dicetak dengan sangat sederhana dan terbagi dalam tiga bagian. Sesederhana jiwa dan kepribadian penyairnya. Namun lebih dari itu, muatannya sungguh luar biasa yang tak tertakar oleh dahaga hati para perindu kesejatian raga. Bagian pertama buku ini berjudul Senandung Bukit dengan muatan sepuluh balada. Yaitu; Balada Segelas Kahwa, Balada Bronjong, Balada Si Lintang Telanjang, Balada Putra Aji, Balada Wiralodra, Balada Kong Gedah, Balada Gesang Geseng, Balada Rohana, Balada Perawan Sulung, dan Balada Si Bintang Timur. Bagian kedua berjudul Dalam Tungku yang berisikan empat belas balada. Yakni; Balada Wuragil Bugil, Balada Tuak Tempelak, Balada Lolong Sang Sono, Balada Kembang Kacang, Balada Kacung, Balada Julang Jalang, Balada Marmer Tembus, Balada Pulau Drini, Balada Nur Rasa, Balada Juntrung, Balada Si Bagus, Balada Rahadyan Ambarkaton, Balada Gagak Rimang, dan Balada Jago Keprok. Dan yang ketiga berjudul Ujung Ke Ujung yang di dalamnya terdapat delapan subjudul. Yaitu; Balada Cenayang, Balada Telawar, Balada Puring, Balada Bianglala, Balada Kepopongan, Balada Nilakandi, Balada Kucing, dan Balada Sang Bocah.

Selain yang terungkap sebelumnya, kekurangan buku ini yang lain adalah tidak adanya daftar isi sehingga sedikit menyulitkan dalam proses pendeteksian isinya. Selain itu, penyematan tiap bagian balada-baladanya kurang nyaman dinikmati sebab dalam pergantian subjudulnya tidak diletakkan dalam lembar yang berbeda. Penyusunan layout-nya dijeluntrungkan saja. Meskipun demikian, keindahan dalam isi dan muatanya tidak berkurang sedikitpun. Itu hanya dari sisi kemasannya dalam bentuk buku saja. Dan selanjutnya, selamat mendalami. Semoga kedamaian kan bersemi di kedalaman sanubari akan keindahan serasi denyutan puri. Salam.

BALADA SANG BOCAH

Suryanto Sastroatmodjo

1
Sang Bocah melanglang padang kembang
Biar serumpun gladiolah jadi jelambang
Tapi di mana larat dan sendat: ada di balik ladang
Dan lurung langit hidup di harungan

Senin, 27 Oktober 2008

Suatu Konsep Baru: Estetika Realisme-Primitif, Testimoni, dan Pengutuhan Kualitas Hidup

S. Jai
http://ahmad-sujai.blogspot.com/

“Mencintai seseorang sama artinya
rela menjadi tua di sampingnya.” (Albert Camus)

TAMPAKNYA dialog yang diucapkan tokoh rekaan dalam Caligula itu, kini boleh dilontarkan siapa saja. Tak musti sahih bila dituturkan penganut kaum absurdis. Terlebih kian sulit di zaman sekarang mencari orang yang paham akan karya-karya berat Caligula, Sampar (Camus), The Waiting for Godot, Endgame (Beckett), Zarathustra (Nietzsche) dan sejenisnya.

Diakui, mereka adalah sederet para “nabi” senjakala mondernitas, dengan kitab-kitabnya yang mengkritik puncak-puncak nalar yang diboncengi cemburu, ambisi, serakah, dan berbuah sikap metafisik atau sikap jiwa yang nampaknya samar tetapi jelas, jauh tetapi dekat. Suatu sikap yang dalam pandangan mereka sebetulnya sama sekali sia-sia, tapi perlu meski tak harus berarti penting. Bahkan hingga paling tersia (pesimis maupun optimis).

Bagi mereka yang penting adalah hidup “indah” menyongsong kematian.
Pendeknya, setiap orang harus menjadi “nabi” baru dengan kitab baru. Tersebutlah atas nama “nabi” dan “kitab” yang memaksa konsepsi tulisan ini pada akhirnya, mensebangunkan absurditas dalam gaya hidup untuk “menghibur diri dan bermain dalam tingkat keseriusan ludic (bukan main-main),” dalam kurungan hukum mitos sisiphus mendorong batu besar ke atas bukit sebelum akhirnya menggelinding lagi ke bawah lembah. Atau sang Dajjal yang menggergaji besi api neraka, tapi suara adzan mengutuhkannya lagi dari gigitan gigi gergaji.

Adanya kepercayaan pada suatu tragedi besar manusia—sadar bahwa dirinya sia-sia. Maka kesadaran menggerakkan eksistensinya, sebergairah jabang bayi sejak saat kali pertama menyusuri bukit payudara ibu. Bukan muskil, atas nama kepuasan pribadi juga telah menjangkiti dan hingga pada diri seorang ”nabi” seperti Nietzsche, sehingga dengan itu ia telah kembali ke sikap filosof yang agonistic (penuh penderitaan) dan arkhais (purba), dengan mengembalikan filsafat ke alam aslinya dalam kebudayaan yang primitif.

Bahwa sebaliknya, kegairahan hidup itu bisa terjadi pada siapa saja. Pada para “nabi” hebat di bumi ini ketika melawan atau setidaknya menundukkan, mengerti duduk perkaranya, berhadapan setiap yang terang-terangan mengamputasi bagian “tubuh” dan jiwa seseorang untuk menemukan keutuhannya, kebebasannya, kegairahannya. Pendeknya kegairahan dalam diri yang tak pernah berhenti, terlepas apakah mereka kemudian disebut penganut atas dasar spirit neo-absurdis atau bukan.

Tokoh Ivan Ivanovich Nyukin, ciptaan Anton Pavlovich Chekhov(29 Januari 1860 – 15 Juli 1904) dalam On the Harmful Effects of Tobacco amat layak mengucapkan dialog menggelikan dari Caligula itu: rela menjadi tua di samping kekasihnya. Meski kemunculannya terpaut lebih setengah abad mendahului Albert Camus.

Anton Chekov, yang disebut-sebut bapak cerpen adalah satu dari sekian sastrawan realis Rusia yang kehidupannya tidak menyenangkan. Banyak dugaan sebagian besar karyanya adalah pengalaman kepahitan hidupnya. Anton Chekov adalah seorang penulis besar Rusia yang terkenal terutama karena cerpen-cerpen dan dramanya. Banyak dari cerpennya dianggap sebagai apotheosis (kaya) dalam bentuk, sementara dramanya, meski hanya sedikit—dan hanya empat yang dianggap besar—mempunyai dampak yang besar dalam literatur dan pertunjukan drama.

Dikisahkan, Ivan Ivanovich Nyukin seorang suami bercambang panjang tapi dipingit. Bininya punya sekolah musik partikelir dan indekos buat anak perempuan. Ivan Ivanovich perokok berat, beristri seorang pekerja atas nama sosial dan amal. Dia pria yang selalu merasa tertekan oleh istrinya, suatu ketika diminta ceramah tentang ” Bahaya Racun Tembakau” di sidang komunitas ilmiah. Tugas itu bukanlah soal bagi kerja Ivan. Banyak persoalan justru milik Ivan Ivanovic. Diantaranya, ia perokok berat dan telanjur tahu bahaya asap rokok. Lalu bawah sadarnya kuat mendesak untuk mengisahkan kebenciannya pada istri dan keluarganya. Lebih dari itu Ivan terlanjur mengaku ada yang meracuni jiwanya, seperti halnya rokok meracuni hidupnya. Dia mau bebas tapi tidak bisa. Dia hanya jadi tokoh penganjur yang jujur, tapi tidak pada dirinya sendiri.

Demikianlah, tampaknya menjadi penganjur adalah kepribadian paling mutakhir manusia masa kini untuk selamat meski hal itu bukanlah hidup yang sebenar-benarnya bagi dia. Hidup yang serba palsu (kalau semuanya palsu, untuk apa tetap berlalu?).

Estetika Realisme-Primitif
INI “sesuatu” gagasan teater di sekitar monolog ketika teater adalah peristiwa sederhana, tapi kata-kata membuatnya tersiksa—memenjara jiwa dan tubuh aktor dalam realitasnya. Ketika percaya kata bisa membebaskan tubuh dan jiwa, maka sebetulnya hal itu suatu kesia-siaan. Lalu dimana spirit teater dalam hal ini? Mungkin terletak pada usaha menyoal kata-kata keseharian—semacam realisme—dan bertahan pada derita tubuh meski nyleneh, purba.

Sesuatu, barangkali lebih tepat sebagai semacam ide, konsep tentang sebuah proses yang sebetulnya tengah menuju pengutuhannya—termasuk berkat seseorang dan konsep tentang teater atau drama—suatu upaya tanpa titik untuk menyakini kebenaran mencipta bahasa-bahasa teater itu sendiri. Lebih tepatnya, sesuatu kesanggupan, kerelaan untuk menyerahkan diri pada proses berteater dan terbuka pada konsep keindahan, pencarian kebenaran melalui gagasan estetik maupun artistik dalam ruang dan waktu demi meringankan beban tugas kemanusiaan: tugas yang sebetulnya sama diberikan kepada setiap insan, teaterawan, intelektual, budayawan, maupun teknokrat-birokrat.

Muasal menjadi sesuatu adalah ketika seseorang memiliki gagasan estetik dan artistik tentang teater. Tanpa itu, seseorang hanyalah orang biasa meski punya tubuh yang luar biasa, apalagi yang hanya merasa sendiri—pemimpin tunggal, penggagas utama, maupun pemimpin spiritual. Dalam bahasa dramawan Rusia Stanilavsky, sesuatu yang dimaksud adalah ketika teater digagas dalam sifatnya yang ilusif dengan menyikapi kehidupan ilusif secara tulus dan jujur. Lalu Tommy F Awuy meminjam kata yang sama untuk menegaskan bahwa wilayah konsepsi itu pada: seharusnya teater mengelak, menolak atau mentransendensia realitas untuk menciptakan ilusi-ilusi yang tinggi.

Menjadi “sesuatu” selebihnya, berjalan seperti sediakala, ia seorang ilmuwan, intelektual dan manusia yang bertanggungjawab demi keilmuannya dan demi meringankan beban kemanusiaan. Semacam peneguhan sikap metafisis dan jiwa seseorang untuk menyampaikan kegairahan hidup bahwa di tubuhnya terhampar ruang dan waktu yang terdesak untuk dihadirkan dalam suasana masa kini—dunia baru pertunjukkan teater dalam konsepsi yang sama sekali baru, di luar stereotif hidup sehari-hari.

Yang disebut belakangan ini adalah pondasi dari akar kesadaran makluk tinggal di semesta ini untuk sejenak tinggal dalam ruang waktu tertentu melepaskan diri dari kehidupan sehari-hari. Dalam bahasa Johan Huizinga, homo ludens, makluk bermain pada tubuh binatang dan manusia yang dalam masa kini cukup terwakili pada diri anak-anak dan sebagian orang yang mengalami gangguan jiwa. Yaitu, bermain dalam suasana keseriusan yang menghibur, ada tegangan-tegangan tubuh dan jiwa yang keluar dari stereotif keseharian, dan bahkan keluar dari stereotif nalar manusia. Bermain berarti menjajagi segala kemungkinan estetik dan artistik dalam teater, terbuka terhadap segala ruang bagi paradigma-paradigma paling mutakhir, konsepsi-konsepsi paling avant-garde, wilayah-wilayah garapan paling actual, juga bentuk-bentuk paling tidak mungkin. Asalkan, persyaratan kebebasan, bukan kehidupan biasa, dan tertutup sejak mula hingga berakhirnya, tak bisa ditawar. Suasana penuh keriangan, sonder peduli apakah sifatnya sakral atau hiburan meski tetap disertai semangat luhur.

Atas dasar keperluan konsepsi ini, catatan Afrizal Malna, penting pula untuk direnungkan selaku paradigma mutakhir kegairahan berteater. Yakni, tentang kehadiran Buttoh, yang menginspirasi banyak pertunjukkan di negeri ini. Sejak dari Sardono W Kusumo, Teater Mandiri (Putu Wijaya), Teater Sae, juga Teater Garasi, Teater Payung Hitam yang percaya dan menyakini ada ruang dan waktu dalam tubuh, bukan cuma meyakini ruang dan waktu yang diciptakan di luar oleh gerak. Tentu saja, menyadari proses pengutuhan berarti musti terbuka pada hal-hal estetik dan artistik, untuk selanjutnya menjajagi kemungkinan bentuk baru berteater sonder menyadari pelbagai kendala kemiskinan—fasilitas, dana, pekerja teater dan lainnya—inilah kreativitas sesuatu tempat bermain keluar masuknya ide-ide dan keluar masuknya jiwa dalam tubuh-tubuh teater yang berisi tanpa menganiaya, memperkosanya.

Menjadi “sesuatu”, bermain drama (monolog, monoplay) tidak berarti bermain teater sendiri. Di luar dirinya lebih banyak tubuh-tubuh dan benda yang memiliki ruang waktu dan sejarah sendiri pula. Menjadi “sesuatu” yang bergaul dengan banyak riwayat di luar diri dan tidak takut pada jarak, waktu dan tentu saja ruang, Sesuatu yang bisa mendengar dan merasakan jerit tangis, luka, bahagia, sampai dasar relung yang terdalam manusia. Mungkin juga terhadap semacam molekul, partikel, atau gelombang abstrak yang bertukar tempat, silih berganti wujud, tarik-menarik tanpa henti. Semua itu diberi hak untuk merondai pikiran, memutar balik pandangan tentang pikiran dalam semesta. Semesta telah dirangkumnya dalam satu gerak pikiran besar. Menjadi “sesuatu” berarti tak mempersulit diri “yang lain” menghadirkan perasaan, intuisi, imajinasi, jiwa, kesadaran bahkan ruh—hal yang sangat manusiawi sekaligus mempribadi. Sekalipun, ia menemukan ruh, kesadaran, jiwa, imajinasi intuisi dan perasaan setiap kata sebagaimana ia temukan dirinya dalam kata dalam naskah-naskah drama. Sesuatu telah menggerakkan untuk saling menjaga, sepanjang tidak mengurangi kebebasannya untuk mengaktualisasi diri ke dalam sebentuk peristiwa teater.

Ketika membaca kembali sastra Racun Tembakau melalui terjemah Jim Adhi Limas, sastra ini berusaha menyingkap problem kejiwaan manusia modern. Yakni manusia yang menggugat dimana batas-batasnya dari pelbagai konflik kejiwaan—antara lelaki dan perempuan, masalah pribadi dan keilmuan, kepribadian dan hilangnya kepribadian, keluarga dan masyarakat, juga masalah ingatan akan masa lalu dan hari depan. Masalah merokok bisa jadi adalah pemantik. Namun, bukan mustahil justru menjadi ruang yang luang, bagi seorang yang sangat peka, memiliki masalah kejiwaan yang akut dan komplek seperti terjadi pada tokoh Ivan Ivanovich Nyukin.

Maka, ada estetika yang unik bisa dikembangkan di situ, yakni “estetika mempersulit diri” dari setiap soal sederhana perjalanan hidupnya. Semacam sentimentalia, meski bukan berarti percuma. Barangkali, alam bawah sadarlah, ruang yang luang untuk mengembangkan estetika paling sulit ini. Yakni samudera jiwa yang selama ini abai karena serbuan nalar-nalar yang sangat cerdas. Trauma pun tak pelak jadi puncak pencapaian alam bawah sadar yang penting diziarahi. Sedang peluang lain ada pada mitos, agama, dan kepercayaan tokoh dalam menjalani kesulitan hidupnya.

Estetika “mempersulit diri” lebih mengarah pada upaya mengeksplorasi trauma jiwa sampai batas ujung terjauh mungkin. Sebagai metoda pencarian kemungkinan-kemungkinan berbahasa hingga puncak keindahan sonder menafikan sisi kemanusian, baik terhadap masyarakat, keluarga—istri dan anak-anak, juga sudah barangtentu agama. Di sinilah, dalam membaca kembali “Racun Tembakau” di era yang sama sekali lebih mungkin ketimbang masa sastra itu ditulis Chekov. Ruang maya situs, dan kecanggihan teknologi modern memungkinkan menggali informasi sosial, ekonomi, kesehatan dan agama lebih dalam lagi. Kendati, membaca sastra “Racun Tembakau” tetap dalam kerangka sastra yang mengedepankan kemanusiaan yang universal, sekalipun dengan semangat Realisme-Sosialisme.

Bukan sesuatu yang muskil, tokoh Ivan Ivanovich saat sekarang adalah seorang penulis cerita, pengkotbah, pengrajin esei, peneliti, wartawan, profesi lainnya, atau orang biasa lainnya yang juga perokok yang ”dipaksa” berceramah perihal bahaya rokok. Namun demikian, melalui pengkajian yang intensif, siapa menyangka bahwa bahaya laten yang kuat diidap dalam tokoh Ivan Ivanovich Nyukin dari teater ”Racun Tembakau” Anton Cekov, adalah: memiliki ingatan. Memiliki ingatan menjadi sebuah hukuman seumur hidup. Kerinduan satu-satunya hanyalah pada kemampuan untuk tidak mengingat. Merindukan kepala, pikiran, perasaan, emosi yang bersih dari segala noda bernama ingatan. Bersih seperti kertas putih yang dihapus dari catatan harian, angka-angka dan daftar utang piutang. Ingatanlah yang telah membawa manusia melompat-lompat, menyeret-nyeret pada jurang masa lalu, masa kini dan masa depan. Ingatanlah yang menyebabkannya muter-muter ke sana kemari yang disindir dalam bahasa Einstein secara lebih santun, “Tidak ada kebodohan paling konyol selain mengulang-ulang kesalahan yang serupa.” Atau berputar balik, banting setir kemari ke sana, tapi ujungnya tetap karena punya ingatan.

Ingatanlah yang menyebabkan tersiksa, kesulitan hidup sepanjang masa. Padahal kerinduannya hanyalah pada saat diri tidak tahu berapa umur, siapa nama anak-anak istri, dan apa yang bakal diperbuat esok hari. Membayangkan bila tak memiliki ingatan adalah mendapatkan kenyataan betapa jernih hidup sehari-hari. Tak perlu lagi mengisahkan bagaimana ada saling hisap dalam kehidupan sehari-hari, rumah tangga, negara dan sebagainya apalagi yang telah berlangsung puluhan tahun lamanya.

Membayangkan bila tanpa ingatan, maka hanyalah perlu ruang (tanpa waktu) untuk bermain sesuka ria, bermain drama sekehendak hati, karena bagi yang tanpa ingatan setiap waktu adalah masa kini. Masa kini. Hanya masa kini! Kehidupan dalam teater juga tak bakal serumit dan sesulit pertunjukan malam ini. Tetapi kenyataan harus berkehendak lain. Malam ini peristiwa teater tidak sebegitu enteng. Kenyataannya, masih perlu menggagas ”estetika mempersulit diri” dalam bermain drama biar katanya lebih berbobot. Padahal itu jelas-jelas saling menyiksa, menganiaya. Pertanyaannya, mengapa penonton ternyata juga senang bila saling menyiksa? Lalu kenapa juga saling senang merasa menyiksa diri, meski itu berarti mengidap penyakit senang menyiksa diri alias mashokis?

Testimoni Kelisanan Menuju Pengutuhan
ADALAH sesuatu yang dalam bahasa absurditas sangat sulit diselami, dimengerti, dimaknai, apalagi disemangati karena kesia-siaan hidup itu: pilihannya hanya ada dua “bunuh diri“ atau “dibunuh.“ Atau barangkali bukan diantara keduanya? Sudah barang tentu karena jawabnya ada pada cinta—pada hidup.

Bahwa menjadi manusia adalah saat menggelorakan suatu upaya menjaga diri, memahami diri agar tak kehilangan hak miliknya. Semacam cinta yang sesungguhnya, cinta yang berpuasa, cinta yang menahan diri agar terhindar dari kesepian, kecemasan, apalagi kehilangan. Cinta yang tidak takut pada jarak, waktu dan tentu saja ruang. Cinta yang bisa mendengar dan merasakan jerit tangis, luka, bahagia, sampai dasar relung yang terdalam manusia. Cinta yang sulit diterjemahkan, disingkapkan dengan kata-kata karena kata tak sanggup menampung kandungan isinya. Tapi juga cinta yang tak bisa menemukan titik paling subtil dalam kata.

Saat itulah tak sulit untuk merondai pikiran dengan menempatkan dirinya pada tirai puisi. Tidak terlalu susah membiarkan otaknya memutar balik pandangan tentang pikiran dalam semesta. Semesta telah dirangkumnya dalam satu gerak pikiran besar. Tidak bersusah payah berkat kata dalam puisi, yang menghadirkan perasaan, intuisi, imajinasi, jiwa, kesadaran bahkan ruh—hal yang sangat manusiawi sekaligus mempribadi. Sebaliknya ia telah menemukan ruh, kesadaran, jiwa, imajinasi intuisi dan perasaan setiap kata sebagaimana ia temukan dirinya dalam kata.

Ruang luang teater ada di antara itu. Kata sudah demikian kejam menjadi pembunuh berdarah dingin yang menghabisi manusia, seluruh semesta, membantai sesama kata dan bahkan membunuh dirinya. Akibatnya, kematian terjadi dimana-mana. Kecuali bagi siapa saja yang bersih dan jujur. Pendek kata sebagai pribadi, sebagai ilmuwan dan sebagai manusia, harus menemukan dan melahirkan kebersihan dan kejujuran kata guna memperlakukan semulia roh dasarnya. Jadi satu-satunya amanah mulia adalah menghidupkan kata, sama halnya kreasi Tuhan meniupkan ruh hidup manusia di semesta ini.

Cintalah yang membuat diri betah dan terhibur di tempat ini, dunia ini, pertunjukan ini. Semacam “kecintaan” pada diri. Cinta pula yang menyebabkan saling perlu sedikit kompromi dengan ingatan, penderitaan, kekonyolan. Bercanda pada masa lalu, masa kini dan masa depan dengan cara berputar-putar saja tanpa harus memikirkannya. Perlu bercengkerama dengan nama-nama baru, kosa kata baru, yang telah hidup di pikiran, hati, perasaan dan emosi. Bercengkerama tanpa perlu memikirkan itu semua bila tak ingin lebih tersiksa lagi dengan ingatan seperti ini. Kedengarannya memang susah. Kelihatannya seperti sulit. Memang, sungguh susah atau susah sungguh.

Bermula dengan sebuah pengakuan yang sederhana, bahwa Ivan Ivanovich Nyukin sebagai lelaki yang hanya ingin mendapat hidup yang bersih, cinta yang tidak dihisap. Kalaupun menghisap itu karena dia membutuhkan kenikmatan. Sebagai lelaki, itu mengaku punya kehormatan untuk mendapatkan hidup yang bersih, tidak terus-terus dihisap, dan mengumpulkan penyakit yang berumah pada tubuh.

Realisme, sebagai pilihan kepanjangan gagasan artistik memungkinkan mengembangkan pilihan bentuk testimoni. Bentuk pengakuan yang syarat dengan wilayah kelisanan. Testimoni berasal dari kosakata Inggris testimony, dari Johm M Echols berarti kesaksian. Baik dalam bidang hukum maupun politik yang paling sering menggunakan istilah ini pun, punya pemaknaan yang sama. Sementara dalam perluasan maknanya testimoni penting untuk menjernihkan pikiran, hati, dan emosi sebagai semacam jalan pencerahan atau pengakuan dosa dan lain-lain. Sebangun dengan pernyataan Carl Gustav Jung, yang mengungkapkan bahwa setiap benda padat memiliki sisi-bayangnya sendiri.
Mengingkari bayangannya sendiri berarti kehilangan kepadatan.

Dalam pertunjukan ini tanpa menafikan watak dasarnya (sebagaimana tabiat seni pada umumnya) yang sedapat mungkin mencurahkan segala daya upaya di luar dirinya, imajinasi, persepsi, intuisi, interpretasi terbuka sebagai penanda yang mengundang pemaknaan multi tafsir. Demikian pula dengan kelisanan, dan sudah barangtentu kelisanan dengan kehadiran tubuh absentia. Bukan kabar burung, isu, atau gosip atau apalagi semacam katabelece. Melainkan kelisanan yang penuh daya juang, menyakinkan, membebaskan, mencerahkan, jikapun perlu melayangkan bujuk rayu, bahkan membingungkan membelit-mengakar.

Bagi monolog, itu semua bukanlah soal karena tak ada dialog dalam testimoni, tak ada dialog dalam pengertian yang inter subjektif dalam genggaman kuasa monolog. Yang ada hanyalah dialog subjek dengan objek, aku dan kamu. ”Aku Mengaku Maka Aku Ada” atau ”Aku Bersaksi Maka Aku Ada.” Jika pun ada dialog maka sudah barang tentu itu adalah dialog dalam diri, menggugat, menyoal, mengamini, mempertanyakan keberadaan diri. Tidak menjadi soal apakah pengakuan-pengakuan itu patah terbantah atau mujur mulus sepanjang tidak lepas dari kontrol ruang waktu yang tersedia ”masa kini” di atas panggung teater. Ketegangan hubungan subjek objek, tersebut diselamatkan oleh aturan bernama kesepakatan akan paham bermain. Juga sudah barang tentu dalam ketentuan-ketentuan Bermain Drama. Dalam definisi Johan Huizinga, ruang luang untuk bermain dalam diri tubuh keaktoran, dan penikmat dipertemukan dengan waktu dan ruang pertunjukan teater. Permainan adalah suatu perbuatan atau kegiatan sukarela yang dilakukan dalam batas-batas ruang dan waktu tertentu yang sudah ditetapkan, menurut aturan yang telah diterima tapi mengikat sepenuhnya dengan tujuan dalam dirinya sendiri, disertai oleh perasaan tegang dan gembira, dan kesadaran ” lain daripada kehidupan sehari-hari.”

Sebagaimana halnya testimoni, juga pertunjukan teater, kehadiran dan pertemuan adalah sesuatu yang mutlak meski bukan untuk sepakat menyetujui atau menolak. Sudah barang tentu kesepakatan antara tubuh-tubuh teater itu dengan tubuh-tubuh di luarnya bukan pada bobot permainannya, isi bermainannya apalagi isi pikirannya, tetapi pada kesepakatan aturan bermainnya. Bahwa mari sepakat untuk bermain. Bermain drama. Bukan kampanye partai politik, bukan ajakan menganut paham tertentu, apalagi kotbah moral agamis. Boleh dikata, sepakat untuk sejenak tidak menjadi manusia modern. Sejenak untuk menjadi manusia primitif, atau lebih tepatnya makluk primitif karena bentuk-bentuk permainan paling suci ada pada spirit hidup makluk primitif, sudah barangtentu termasuk di dalamnya binatang. Barangkali di sinilah, konsep bermain mengalami kebimbangan atas tuduhan sebagai penganut romantisisme yang kerdil dengan berbangga pada masa silam tanpa peradaban.

Benarkah? Guna menepis tudingan tersebut, diakui konsep bermain memiliki tenaga jawab yang ampuh karena ilmu pengetahuan telah bisa membuktikan bahwa puncak-puncak pencapain makluk primitif justru menginspirasi pengetahuan-pengetahuan termasuk seni bahkan mempengaruhi kemajuan peradaban. Bermain menjadi semacam agama baru dengan nabi baru pula—tanpa nama alias anonim. Meski sinyalnya bisa ditangkap ketika aspek bermain menghindari pemaknaan yang keras atas nalar dan pikiran manusia—salah satunya. Bukankah nalar pula yang selama ini menjebak diri menjadi penyembah berhala?
Bermain teater menjadi semacam mengundang tenaga gaib kendati bermula dari pencapaian-pencapaian artistik dalam hal ini realitas dialog kelisanan yang menggantikan mantra para shaman. Kiranya hal ini bukan suatu kemunduran apalagi kelemahan. Sebaliknya, hal ini adalah tantangan baru teater dalam konsep bermain. Artinya, dialog musti harus dimainkan. Bermain dalam dialog. Atau memainkan dialog yang sebetulnya pencapaiannya telah dilampaui teater-teater tradisional kita juga teater modern kita. Lantas apa yang baru? Bermain sungguh perlu banyak eksperimentasi. Sudah barangtentu dengan mempertimbangkan banyak pola bermain. Pelbagai bentuk yang ditawarkan dengan terbuka banyak kemungkinan atas dasar karakteristik bermain: Tidak percaya sepenuhnya pada logika kata dan bahasa dengan menggugat; menyoal bahkan menjungkirbalikkan semisal pada aspek-aspek dramaturgi tragic comedy; lalu, serentetan kata dalam kalimat hanyalah pelor yang ditembakkan beruntun, tanpa makna tapi teror dari bunyinyalah yang mengejutkan; Juga memperlakukan kata bukanlah pada maknanya, tapi pada kehadirannya yang sedang show of force bermain drama alias acting saja—

separti halnya aktor yang hadir di ruang waktu peristiwa drama. Bahkan mungkin juga mereka hanyalah sederetan huruf-huruf yang sabar menunggu untuk dihidupkan saja dari kehendak teater bermain ini. Pendeknya mereka seperti sebagian besar makluk bermain yang telah sadar butuh tenaga gaib demi untuk tujuan mengampu pada kekuasaaan yang lebih tinggi. []
---------------------

*) Penulis adalah pengarang, sutradara dan pimpinan Komunitas Teater Keluarga (Kelompok Intelektual Asal Lingkungan Jalan Airlangga).

Sabtu, 25 Oktober 2008

Rumah yang Hilang

Ida Ahdiah
http://www.jawapos.com/

Rumah itu kecil dua lantai, dan jauh dari keramaian. Lantai pertama terdiri dari ruang tamu, dapur, dan ruang makan. Dua kamar tidur dan kamar mandi di lantai atas. Di kanan, kiri, depan, dan belakang masih ada tanah kosong. Supermarket agak jauh. Begitu juga klinik.

Dua blok dari rumah ada taman besar, menjorok ke sungai, yang membelah pulau. Piere yang lahir di sebuah kota kecil, di tepi sungai, dengan dermaga kayu tempat menambatkan perahu, menyukai kedekatan rumah itu dengan sungai.

''Mari kita hitung berapa uang yang kita miliki,'' kata Piere sambil menggenggam tangan istrinya, Siti.

Berdua mereka menatapi rumah berdinding bata merah itu.

''Jika kurang uang kita jual rumah yang di Indonesia,'' ujar Siti.
''Kau sudah tak sabar, ya?''
''Apartemen itu tak layak huni lagi."

Musim dingin lalu, di bawah temperatur -30, pemanas di apartemen tak berfungsi. Piere dan Siti tidur mengenakan baju hangat, berlapis jaket

tebal, penutup telinga, kaos kaki, kaos tangan, dan berselimut tebal. Tak ada yang bisa diminta pertanggungjawaban. Pemilik apartemen, Madame Chantal, yang tinggal di apartemen bawah, sedang berlibur ke Kuba.

''Sejak lama aku ingin pindah dari apartemen ini, tak perlu membeli rumah, cukup pindah ke apartemen lain. Tapi katamu, tempat ini penuh kenangan. Perjuangan masa mudamu kau mulai di sini,'' tutur Siti.

Apartemen di wilayah itu umumnya dibangun dua lantai, berjejer sepanjang jalan, dimiliki per orangan. Tak seperti apartemen baru yang dibangun menjulang ke atas dan dikelola oleh perusahaan. Tempat yang Piere diami memiliki satu kamar tidur, ruang tamu, dengan dapur yang menyatu dengan ruang makan. Cat temboknya kusam. Warna karpetnya pudar. Kompor, pemanas, dan air panasnya masih menggunakan gas, bukan listrik seperti di apartemen yang dibangun belakangan.

Madame beberapa kali menawari Piere untuk membelinya. Ia bisa mencicilnya bila belum punya cukup uang. Piere suka lingkungan tua, jalan-jalan kecil dengan trotoar batu, yang dirindangi pohon-pohon tua dan besar. Jaraknya hanya satu blok dari statsiun bawah tanah. Supermarket dan rumah sakit juga dekat. Tapi Piere melupakannya karena ia belum punya cukup uang.

Sampai satu saat karena pekerjaan, ia dikirim ke Malaysia. Piere pamit pada Madame dan menyelesaikan kewajibannya membayar sewa. Saat Piere hendak membuang barang-barang miliknya, Madame Chantal berkata, ''Simpan saja barang-barangmu, aku tidak keberatan.''

''Tapi orang-orang penghuni sesudahku akan terganggu.''
''Kau pikir aku akan menyewakannya pada orang lain?''

Di Malaysia ia bertemu Siti, perempuan yang ia cintai apa adanya. Perempuan yang memperlakukannya berlebihan, mencium tangannya dengan hikmah saat ia hendak pergi dan pulang kerja. Perempuan yang tak berani menatap matanya kala bicara. Perempuan yang menyeduhkan kopi dan menyiapkan sarapan sebelum ia bangun tidur.

''Kamu istriku, bukan pembantuku,'' kata Piere, yang jengah dan tak terbiasa diperlakukan istimewa karena ia laki-laki. ''Mintalah bantuanku jika kamu butuh. Aku bisa memasak, biasa mencuci baju, bersih-bersih rumah.''

Siti tercengang. Menjadi satu-satunya perempuan dari empat saudara lelaki, Siti terbiasa melayani. Pagi hari, ia diminta menyediakan kopi atau teh untuk ketiga kakaknya. Siti yang mencuci baju. Jika kakaknya perlu baju licin dan rapi mereka berteriak meminta Siti menyetrika.

Siti harus mengalah ketika diminta sekolah sampai SMA saja. Saat itu satu kakaknya butuh uang untuk masuk kerja. Masih pula, ketika ia bekerja, diminta membantu seorang kakaknya membuka warung rokok.Piere terpana saat tahu Siti masih mengirim uang untuk kebutuhan ponakan-ponakannya. ''Mereka sudah bukan kewajibanmu lagi.''

''Kakak-kakakku tak punya cukup uang.''
''Mengapa mereka punya anak?''
''Berkeluarga, ya, pantasnya punya anak.''
''Kalau mau punya anak, ya pantasnya bekerja.''
''Sudah, sudah. Aku tidak pakai uangmu, kok.'' Siti menangis.

Piere yang mencintai Siti apa adanya membeli sebuah rumah di dekat kebun teh. Di depannya ada sungai kecil yang airnya jernih menampakkan batu-batunya yang berlumut. Berdua mereka suka duduk di atas batu di tepi sungai, menghabiskan sarapan ketan bakar.

Piere merasa beruntung penghasilannya dengan dolar di negara ASEAN membuatnya mampu membeli rumah. Dengan penghasilan yang sama di negerinya, ia hanya mampu menyewa apartemen tua. Namun karena pekerjaan pula Piere harus kembali ke negerinya. Ia meminta keluarga Siti merawat rumah tersebut. Syukur-syukur bisa menyewakannya.

''Mulailah memikirkan dirimu dan berbagi perhatian denganku,'' kata Piere saat ia mengajak Siti ke negerinya.

Siti tidak ragu. Ia akan berbagi hidup dengan lelaki yang telah menunjukkan tidak saja cinta, tapi juga hormat.
***

Piere lega apartemennya dulu masih kosong. Bahkan menurut Madame, ia tak pernah menyewakannya pada siapa pun.

''Kapan kau akan mulai menghuninya? Bersihkan sendiri, ya. Sejak kau pergi hanya satu kali aku membersihkannya. Mungkin sudah banyak sarang laba-laba sekarang,'' tutur Madame di telepon.

''Akan kubersihkan bersama istriku.''
''Kau sudah beristri! Orang mana?''
''Lihat sendiri nanti. Dia belahan jiwaku.''
''Akhir pekan datanglah untuk makan siang, merayakan kedatanganmu, pernikahanmu.''
''Terima kasih, Madame.''

Untuk Madame Chantal mereka menyiapkan suvenir taplak meja batik Pekalongan warna daun musim gugur.

''Apa kabar?'' sambut Madame Chantal seraya mencium kedua pipi Piere saat mereka tiba di rumahnya.
''Siti, istriku,'' Piere merangkul bahu Siti.
''Senang bertemu Anda.'' Ia menjabat tangan Siti.

Acara makan siang itu terasa lambat dan membosankan bagi Siti. Ia duduk menyuap makanan. Matanya bergantian melihat piring, wajah Madame , lalu wajah suaminya. Madame mendominasi percakapan.

''Ini kuncinya kalau kau mau bersih-bersih,'' kata Madame akhirnya.
''Jangan kaget, ya, beda sekali dengan rumah kita di kebun teh,'' bisik Piere seraya membuka pintu apartemen dan menyalakan listrik.

Siti diam saja, meski ia kaget, mengetahui Piere tinggal di apartemen tua, kecil, yang pengap dan bau apek itu.

''Kau keberatan tinggal di sini?''
''Kau tahu aku pernah tinggal di rumah lebih jelek dari ini.''
''Aku suka di sini karena sewanya murah, dekat ke mana-mana.''
''Aku mengerti.''
''Uang yang ada kita tabung sampai cukup untuk uang muka rumah.''

Siti setuju. ''Ayo, kita mulai bersih-bersih,'' ajaknya.

Siti menyapu, Piere menggosok lantai. Piere membersihkan kamar mandi dan kompor. Piere juga memvacum karpet dan sofa. Siti melap kursi, meja, lemari, dan tempat tidur.

''Minggu depan kita mulai tinggal di sini,'' ujar Piere.
***

Awalnya Siti menyukai pemukiman yang dekat ke mana-mana, yang mayoritas dihuni orang kulit putih itu. Namun bulan demi bulan, ia mulai merasa kesepian. Para penghuni rumah dan apartemen lebih suka menutup pintu rapat-rapat. Jika pun bertemu hanya senyum kecil, tidak suka berhenti untuk bercakap-cakap.

''Piere, aku kesepian,'' Situ berterus terang.

Piere kemudian mengajak Siti ke Plamondon, sebuah wilayah yang banyak dihuni orang ASEAN, khususnya Filipina. Di situ Siti menemukan warung yang menjual tahu, pete, ikan asin, ongol-ongol, dan bakpao. Sepekan sekali Siti ke sana, duduk di taman, mengobrol dengan teman-teman baru, kendati ia harus naik kereta api, melewati 9 statsiun.

''Mari kita pindah dari pemukiman ini. Kita cari rumah dengan harga terjangkau, yang dihuni oleh berbagai warna kulit,'' putus Piere.

Siti berterima kasih atas pengertian Piere.
***

Uang yang Piere dan Siti miliki hanya cukup untuk membayar uang muka minimal. Sisanya mereka harus mecicil selama 20 tahun dengan bunga tinggi seperti yang ditawarkan bank. Mereka benar-benar harus mengetatkan ikan pinggang. Siti lebih suka cara lainnya, memberi uang muka besar dan cicilan rendah dengan jangka 20 tahun juga.

''Kita jual saja rumah di kebun teh,'' usul Siti.
''Jika kau tak keberatan.''
''Kita juga tak menghuninya.''
''Kau yang memutuskan.''
''Aku akan sms Ibu,'' kata Siti.
''Mudah-mudahan urusan dengan bank selesai segera. Lalu kita pindah musim panas ini.''
''Aku akan syukuran, membuat tumpeng.''
''Undanglah teman-teman Filipinamu.''
''Menurutmu kita akan membawa semua benda-benda ini.'' Siti menunjuk meja makan, kursi, sofa, tv, yang semuanya sudah dimakan usia.
''Aku kira, ya, sampai kita bisa membeli barang-barang baru.''
''Juga itu.'' Siti menunjuk lukisan reproduksi karya Monet berjudul Au Jardin. Piere menggeleng. ''Itu punya Madame. Ibu sudah membalas smsmu?''
''Biasanya Ibu membalas smsku segera. Di Indo pukul 7 pagi. Mungkin Ibu ke pasar lupa membawa HP. Bisa juga baterainya habis.''''Ya, sudah kita makan malam dulu.'' Piere membuka kulkas, mengeluarkan makaroni keju dan menghangatkannya di microwave. Siti mencuci letus, ketimun, dan tomat untuk salad.
''Kita perlu membeli mesin cuci dan kompor baru.''
''Butuh gorden, keset kamar mandi, rak sepatu... Kebutuhan kelihatannya banyak.''
''Butuh tempat tidur baru buat anak kita,'' bisik Siti meraba perutnya seraya melirik Piere.
''Siti...''
''Kemarin aku cek kehamilan...''
''What!'' Piere terlonjak dan membawa Siti ke pelukannnya. Lalu ia mendaratkan ciuman di dahi istrinya. ''Jaga diri baik-baik. Aku akan turut menjagamu.''
''Anak ini mudah-mudahan membawa rezeki,'' kata Siti.
''Yang jelas kita harus bekerja lebih keras, jangan seperti kakak-kakakmu yang sukanya minta uang kamu," sambung Piere.

Musik mengalun dari HP Siti, pertanda ada sms. Balasan sms buat Siti dari kakaknya nomor tiga.

Lima bulan lalu kakak sulung kita menjual rumahmu. Ia terlibat hutang di bank. Sudah seminggu Ibu di rumah sakit terkena serangan stroke. Sebelah tubuhnya tak bisa lagi digerakkan. Tolong kirimi kami uang...

Siti pingsan.
------------------------

Montreal, Musim Dingin 2007

PEMUDA

D. Zawawi Imron
http://www.jawapos.com/

Besok lusa, 28 Oktober 2008, bangsa Indonesia akan memperingati hari ''Soempah Pemoeda''. Kongres Pemuda II yang menghasilkan tiga butir Sumpah Pemuda itu menurut Ajip Rosidi sebagai pernyataan resmi adanya tanah air Indonesia, bangsa Indonesia, dan bahasa Indonesia. Sebelum itu masih belum ada bahasa Indonesia. Yang ada adalah bahasa Melayu yang telah menjadi lingua franca antaretnik-etnik yang ada di Nusantara. Bahkan, ketika Raffles menjabat gubernur jenderal (1811), raja-raja yang bukan etnik Melayu berkirim surat sebagai tanda pernyataan setia kepada Raffles. Surat raja-raja dari berbagai daerah itu dibukukan dengan judul Golden Letters, hampir semua menggunakan bahasa Melayu. Hal itu membuktikan bahwa bahasa Melayu telah dipakai alat komunikasi resmi satu abad sebelum Sumpah Pemuda.

Maka, sangat tepat kalau pemuda-pemuda yang berkongres di Jakarta pada akhir Oktober 1928 itu memilih bahasa Melayu sebagai bahasa nasional. Padahal, kalau memperhatikan bahasa daerah yang paling banyak pemakainya adalah bahasa Jawa. Tapi, di situlah indahnya sejarah. Meskipun saat itu pemakai bahasa Jawa merupakan mayoritas, berdasarkan realitas bahasa Melayu telah menjadi bahasa pergaulan antaretnik, di samping bahasa Melayu sangat mudah dipelajari karena tidak punya ''unggah-ungguh'', pemuda-pemuda Jawa yang ikut kongres menunjukkan kerendahatian dan pengorbanannya dengan menerima bahasa Melayu sebagai bahasa nasional. Persatuan dianggap lebih penting dari sekadar kemenangan.

Seandainya kerendahatian seperti itu tetap menjadi milik bangsa kita dalam menjunjung tinggi persatuan dan kesatuan bangsa, betapa mudah kita sekarang untuk melahirkan kesepakatan-kesepakatan dalam kebersamaan dan persamaan sebangsa setanah air. Rahasianya ialah dengan menyelami jiwa orang lain sampai ke lubuk jantungnya sehingga kita bisa mengerti keinginan orang lain. Dari sini kita coba menghargai orang lain. Yang merasa dihargai juga membalas dengan apresiasi dan penghargaan yang sama. Hasilnya, tentu berupa kesepakatan-kesepakatan yang akan dihormati semua pihak. Itulah hikmah yang bisa kita petik dari proses kelahiran Sumpah Pemuda.

Tidak kurang menariknya, pemuda-pemuda yang mencetuskan keindonesiaan itu adalah anak-anak muda yang berumur antara 20 sampai 25 tahun. Produk mereka melahirkan kesepakatan satu tanah air, satu bangsa, dan satu bahasa yang disebut ''Indonesia''.

Hikmah yang lain membuktikan bahwa para pemuda yang mempunyai jiwa merdeka dan selalu berpikir positif dan kreatif, akan melahirkan buah pikiran yang cemerlang, tidak kalah dengan orang-orang tua. Pada saat anak-anak muda tak banyak merasa direcoki dan diatur oleh para seniornya, mereka mempunyai kebebasan visi yang mencerahkan. Kader-kader yang dibutuhkan suatu bangsa memang pemuda-pemuda yang ''visioner'' yang dengan daya pikirnya yang cerdas dan mandiri mampu membaca tanda-tanda zaman, serta mampu menghasilkan formula-formula yang berharga untuk dipersembahkan kepada bangsa yang memang sedang membutuhkan buah pikirannya.

Pemuda memang perlu diberi kepercayaan. Mereka bukan hanya perlu didengar, lebih dari itu perlu diberi peran sesuai dengan bakat dan kemampuannya. Berpikir tentang pemuda saya jadi teringat dokter Sutomo yang memimpin Budi Utomo dalam usia 21 tahun. Abdul Haris Nasution menjadi kepala Staf Angkatan Darat ketika berumur 27 tahun. Bung Tomo memimpin Perang 10 November 1945 di usia 25 tahun. Baharudin Lopa menjadi bupati Mandar (Sekarang Sulawesi Barat) saat berumur 24 tahun, A. A. Baramuli menjadi gubernur Sulawesi Utara dalam umur 29 tahun, budayawan Umar Kayam menjadi dirjen RTF (Radio Televisi dan Film) dalam usia 28 tahun.

Sejarah saya kira bukan hanya untuk dikenang. Akan lebih indah lagi kalau sejarah itu dapat dikaji, dipelajari, dan dijadikan bahan percerahan untuk membangun hari esok yang lebih menjanjikan. Artinya, bangsa yang berhasil, ialah bangsa yang mampu memberi peran kepada kader-kader bangsa, anak-anak muda yang berpikir bersih, positif, tegar, dan segar.

Jika suatu bangsa tidak mampu mencetak kader-kader muda yang tangguh dan berpikir cemerlang, itu pertanda hari esok akan berjalan tanpa pemimpin. Bangsa yang dipimpin oleh kader yang lemah dan tidak bermental serta bermoral pemimpin, akan mengalami kiamat kecil. Tidak! Hal itu tidak boleh terjadi.

Kita masih punya hari esok. Berilah peran kepada anak-anak muda dengan penuh kepercayaan, sebab merekalah yang lebih tahu tentang hari esok. (*)

Laki-Laki Basah Budi Darma

Prof Dr Fabiola D. Kurnia
http://www.jawapos.com/

Buku ini memuat lima belas cerpen terbaik Budi Darma, sastrawan yang juga guru besar sastra Universitas Negeri Surabaya. Ilustrasi sampulnya menarik. Ada topi baja, selongsong peluru, pena, dan sampul surat bercaplak pengarang.

Jagat sastra di negeri ini tahu bahwa Budi Darma, yang memperoleh gelar doktornya di Bloomington University, Indiana, AS, memang seorang datuk sastra yang piawai. Kepiawaiannya mengupas teori dan kelincahannya mengocok kata-kata tentunya lekat dengan budaya Jawa dalam dirinya.

Dalam peribahasa Jawa orang mengenal ungkapan randha teles yang maknanya janda ''berkebolehan''. ''Boleh'' dengan segala ''keistimewaan'' yang dimilikinya. Dan, keistimewaannya itu mengundang serta menyenangkan bagi banyak penggemarnya. Istilah randha teles membawa tautan antara teori dan praktik kata-kata, yang sedikit-banyak, mampu menggelitik dan menggiring daya cipta Budi Darma untuk menelorkan satu istilah baru: jaka teles atau dalam bahasa Indonesia ''laki-laki basah''.

Kebolehan dan keistimewaan ''laki-laki basah'', menurut Budi Darma (dalam karyanya yang lain, Rafilus) adalah ''...kekuatan hebat untuk membayangkan dan kemampuan luar biasa hebat pengarang untuk mengungkapkan apa-apa yang dibayangkannya. Meskipun kadang-kadang pengarang tampak mengada-ada, orang cenderung percaya kepadanya. Sedangkan pengarang sendiri tidak sadar berada di mana dan tidak tahu apa sebenarnya yang sedang dikatakannya. Jaringan otaknya tersusun sedemikian khas sehingga menyebabkan pengarang terayun antara bayangan dengan kenyataan, dan antara kenyataan dengan bayangan...''

Cerpen Laki-Laki Lain dalam Secarik Surat merupakan cermin kekuatan hebat ''laki-laki basah''. Pengungkapan luar biasa hebat Budi Darma tentang bayangan-bayangan yang hebat memang merupakan kedahsyatannya memadukan teori dan praktik sastra. Tampak pengungkapan teori-praktik konflik dalam kisah anak manusia ketika berinteraksi dengan dunia sekelilingnya maupun dengan kediriannya sendiri. Konflik ini nyata dan jelas pada kisah LakiLaki Setengah Umur dalam mencari jati dirinya.

Masa ''setengah umur'' adalah masa sulit bagi semua laki-laki karena mereka berada dalam masa ''setengah'', masa mentah tidak dan matang pun belum. Penentuan jati dirinya terayun-ayun antara mengikuti pola gambar orang tua, kakek, dan kakek buyut atau berjalan lurus terus. Laki-laki setengah umur dibentuk Budi Darma tanpa nama, dan hanya diberi label ''laki-laki setengah umur'' sepanjang kisah.

Di sinilah letak kepiawaian teori konflik, bukan hanya antara anak-ayah melainkan juga antara anak serta seluruh buyut ayahnya. Dan di sini jualah letak kelincahan dan kejelian Budi Darma mengocok kata-kata: emphasis pada predikat ''setengah umur'' menjadi lebih penting dan nyata dibandingkan dengan pemberian nama pronominal -Budi Darma, misalnya.

Laki-laki basah menjadi identik dengan Budi Darma dengan segala kepiawaian dan kelincahannya. Kalau Laki-Laki Lain dalam Secarik Surat kemudian diidentikkan dengan ''Laki-Laki Basah tanpa Secarik Cawat'' hanyalah karena basah-basah itu akan menjadi jelas dan nyata apabila keseluruhan keberadaan laki-laki itu polos. Kepolosannya inilah yang akan membawa orang pada pemandangan atau pemikiran yang benar-benar menakjubkan.

Dalam cerpen Penyair Besar, Penyair Kecil Budi Darma memeragakan kepolosan tokoh penyair besar dalam dialognya dengan tokoh penyair kecil ''...begini, mengenai sajakmu itu begini. Kalau kauizinkan aku mengutip pendapat Sapardi Djoko Damono yang pernah diucapkan kepadaku, dan kalau kutipanku ini tidak keliru, sajak semacam sajakmu yang terakhir itu adalah hasil karya orang yang diletan...''

Segala yang dikatakan oleh tokoh penyair besar kepada tokoh penyair kecil merepresentasikan kepolosan tokoh penyair besar akan kebesarannya. Kepolosan ini tertuang dalam empat aspek. Pertama, permohonan izinnya untuk mengutip pendapat orang lain; kedua, penyebutan nama Sapardi Djoko Damono sebagai nara sumber yang pernyataannya dikutip; ketiga, kejujurannya pada kekuatan memorinya; dan keempat keterus-terangannya menyebutkan predikat letan kepada tokoh penyair kecil walaupun predikat itu membuat yang bersangkutan jengah.

Dua aspek ''laki-laki basah'' dan ''tanpa secarik cawat'' dalam buku kumpulan cerpen Laki-Laki Lain dalam Secarik Surat memberi pencerahan kepada pembaca, sebagaimana diungkap pada sampul halaman akhir bahwa ''tokoh-tokoh Budi Darma adalah manusia ganjil, terkadang keji, dan cenderung asosial. Namun, di sisi lain, mereka juga bisa menjadi begitu na�f, baik hati, dan jujur. Dengan gaya bertuturnya yang lembut, tapi penuh kejutan, Budi Darma akan membawa kita ke dalam pemenungan mendalam tentang manusia dan kemanusiaan.''

Itulah Budi Darma, sang begawan. Semoga pembaca dapat menikmati kebasahannya tanpa secarik cawat dalam tulisan-tulisannya, terutama dalam Laki-Laki Lain dalam Secarik Surat. (*)

---
Judul Buku: Laki-Laki Lain dalam Secarik Surat
Penulis: Budi Darma
Penerbit: Bentang Jogjakarta
Cetakan: Pertama, 2008
Tebal: xiv + 265 Halaman
*) Guru Besar Sastra di Universitas Negeri Surabaya

Jumat, 24 Oktober 2008

RUANG-WAKTU PADAT, XIX: I - XC

Nurel Javissyarqi*
http://pustakapujangga.com/?p=197


Pribadimu lenyap dalam pergumulan perasaan, sewaktu angin merangsek
mengumpulkan awan bimbang, diulur daya tarik layang bumi menjelajah (XIX: I).

Menjelang senja, berbondong merangkul cium jubah kemerah,
ada memberi cawan berisi madu, persembahkan cangkir penuh airmata,
ialah rupawan di atas ketinggian kepatuhanmu berkasih sayang (XIX: II).

Magrib menutup senjakala, hujan turun rintian mesrah, senyum berpadu
menyatukan dada bergetar, sebesar kerinduan terpelihara (XIX: III).

Merestui perjalananmu di kala gerimis bersemangat ribuan keringat,
kalimah berhamburan selaksa taburan mayang musim semi (XIX: IV).

Nikmatilah kedekatan basah kuyup menelusup,
melewati parit-parit nuranimu menyuburkan tanaman (XIX: V).

Pertimbanganmu memberi atau menunda keadaannya,
menentukan harapanmu seiring laguan tropis menghijau (XIX: VI).

Tapakan kaki di tanah basah lereng kalbu, terdengarlah
pengaduan masa lalumu menggedor punggung langit kelabu (XIX: VII).

Kidunganmu menghuni lembah dari ketinggian kota cemara,
cahaya purnama melipat-lipat gerimis membentangkan gemintang (XIX: VIII).

Keraguanmu mendekat lenyap, pandanganmu mengerti hakekat (XIX: IX).

Kerahasiaan bayang kasih sayang, sejauh penglihatan kelembutan,
sedalam kefahaman, dalam merasakan kuluman bibir kesunyian (XIX: X).

Yang mengunjungi kekasih dengan tertatih,
mendaki dan lunglai mencari wajah baku (XIX: XI).

Ketika mentari terbit, ia berpegangan pohon sembari tersenyum
merasakan dekapan hangat kesadaranmu selagi tak utuh (XIX: XII).

Yang senantiasa merasai ketidakadaan, teruskanlah walau hujan
memenjara indra, dan bebaskan jiwamu mengejawantah (XIX: XIII).

Air hujan menyemai bumi sebagai rahim paling sunyi,
nyanyian serangga menghampiri tebing seusia pebukitan selatan
yang menyenandungkan ombak ke pantai setiap malam (XIX: XIV).

Mustinya sampai ujung-ujung malam penantian kembang,
melihat kelopakan merekah, atas serpihan kabut fajar kemerah jingga (XIX: XV).

Mentari terbit kemewah, menawan hamparan timur raya,
ada citraan di tiap gerak manusia menghadirkan ada (XIX: XVI).

Seiring masa menyeret langkah kaki ke hadapan samudra,
deburan ombak mengabadikan busa menggaram,
secepat limpahan doa di dada bergairah (XIX: XVII).

Bulir-bulir pasir di pantai, permenungan sebening kaca menguap,
dan jari-jemari bayu mengusap kening kalbumu beruapan rindu (XIX: XVIII).

Berimbang lautan penyadaran, seluruh pelajaran datangnya awan
membawa seruan senyawa tubuh cinta, menggelegakkan hayat (XIX: XIX).

Di saat menyadari pandangan, masuk dalam bilik hati,
yang tunggal terhempas berbulir-bulir kehidupan lain (XIX: XX).

Seperti kelepakan laron, jantung berdegup nadi berderit,
menimang sayap-sayap mungil, lebur dalam cahaya lentera (XIX: XXI).

Begitu ranum bola matamu di saat menatap,
gigi-gigi terlihat bersih, kala senyuman berharap (XIX: XXII).

Tangisan segar dibuai serbuk sari alam,
terciptanya kasih beredar di poros sayang (XIX: XXIII).

Tampak benar wajah serupa, bayangan mata kekasih dalam sangkar mata,
menanti waktu tempat kelahiran, atau gugur mencium aroma kamboja (XIX: XXIV).

Bisikan cahaya di dadanya, para malaikat menghiasi matanya bercelak,
sekuntum bunga mengajak ke taman kabut membayangkan masa ( XIX: XXV).

Ia mendekati sifat kebimbangan ganjil,
sewaktu ketakutannya merengkuh (XIX: XXVI).

Yang mendatangkan dirinya tersebab kekuasaan menyamudra,
kesadarannya terpanasi, sejauh bentangan pasir pantai (XIX: XXVII).

Ternyata menjadikan diri begitu payah,
mengikuti cara berhitung di depan cermin manusia (XIX: XXVIII).

Yang berperangai melati, kelopakan mewangi setiai tangkai,
kembang tak habis harum dalam percumbuan putih (XIX: XXIX).

Sebuah apel di meja, segenggam kurma berbukah,
ada kesegaran zam-zam dalam lambung sehabis puasa (XIX: XXX).

Kidungan awan selaksa lukisan tiada menjemukan,
selalu bergerak menawan setiap dipandang (XIX: XXXI).

Bocah-bocah menebarkan senyuman, para gadis berkerumun
perbincangkan ketampananmu, dipuja di bumi diagungkan di kerajaan
langit, serta dijunjung seribu cahaya terang matahari (XIX: XXXII).

Kalian berbondongan-bondong melewati penjaga gerbang,
meramaikan alun-alun kepastian di hari kesaksian (XIX: XXXIII).

Meninggalkan legenda bergegas renungan melampaui wengi gerilya
menghaluskan tempat waktu, sejauh kepasrahan mengekalkan kesejatian rasa (XIX: XXXIV).

Abad-abad harum menawan kepakan ruh tercipta, jangan taruh penalaran,
kepercayaan ditebar di muka bumi, demi belajar temukan hakekat (XIX: XXXV).

Ketinggiannya di atas bangsa-bangsa, dan diagungkan sebagai utusan,
memberi jalan kembara, oleh cintainya sepenuh jiwa dahaga (XIX: XXXVI).

Ia membagi-bagikan upah, kedamaian hati ketenangan jiwa,
sebab pelepasan cinta, demi jalan kepada tercinta (XIX: XXXVII).

Isyarat membungkuk menata buku-buku saksi sejarah,
terambili kemudahan pelajar mencium sekar kedaton (XIX: XXXVIII).

Demi keinginan lebih istirahnya jasad-jiwa menguatkan batas usia,
rasa sakit berdemaman, berserta kantuk meringankan ruh menjelajah (XIX: XXXIX).

Bercerita kekekalan, menerbangkan sukma di kedalaman malam (XIX: XL).

Ujaran-ujaran atas ketinggian kesadaran (XIX: XLI).

Kekal dalam perbincangan agung,
mengajarkan bagaimana menerbangkan sayap nurani mencintai,
dan siapa yang abai panggilan, lalai jiwa mandiri (XIX: XLII).

Ia bersemangat melihat para pemuda gandrung kepadanya,
yang setiap hari persembahkan harum puja dari petamanan mimpi,
jati dirinya bermanfaat, bagi tak setia sedikit pun awalnya (XIX: XLIII).

Kepenuhan dilengkapi ganjil, mengerti kurang-lebihnya,
keangkuhan binasa, terakhir terlahir bersumber daya ketulusan (XIX: XLIV).

Rumah laba-laba serupa jala-jala perangkap menebarkan magnit,
mendatangi keluguan serta kesenangan hasrat jiwa (XIX: XLV).

Inilah permainan berayun, bagaikan penari tambang berlenggangan,
percik jiwanya bergerak sendiri, ke batas kuasa inti bumi (XIX: XLVI).

Inti ruh ilmu, inti ruh revolusi,
begitu tentram di antara tembang-tembang pewarnaan (XIX: XLVII).

Ke mana pun bersembunyi, masih batas tangkapannya,
ketaktenangan depan cahaya, mendapati bayang bergetaran (XIX: XLVIII).

Mengapung di lautan uap, kekupu menari menghirup jambangan hati,
berkecup syair dikokohkan niat atas nafas-nafas (XIX: XLIX).

Bacalah penuh sungguh menyadari jembatan diri, tersebab tiada ilmu
langsung ditetapkan, berbijak masa keteguhan menerima kedamaian (XIX: L).

Bukannya bimbang tercipta setelah memahami,
namun tatapan hikmah dari mempelajari kesalahan (XIX: LI).

Telah terketahui dulu pada langit rahasia mewaktu,
hadir merayu awan, bersenggol pucuk-pucuk cemara sewu (XIX: LII).

Kehormatanmu membaca bulir embun, butiran pasir keemasan,
ketika kemanusiaanmu, menuruni pantai kabut semesta bathin (XIX: LIII).

Yang tepati janji diberikan pulau cantik,
berhias pohon kebijakan, batu mulia bertata nilai (XIX: LIV).

Sebelum memukul bongkahan batu, sabar memanasi masa, malu-malu
matangkan tersembunyi, rasa abadi dalam jiwa merindu kedamaian (XIX: LV).

Belum dijumpai manisnya perasaan, kesibukan atau nganggur,
merentangkan sayap berlapis doa, meniupkan kehendak pembebasan (XIX: LVI).

Setidaknya bisa jual pebekalan jika kehabisan di tengah jalan,
namun bagaimana peristiwa serupa, dalam satu kota berbeda masa? (XIX: LVII).

Yang mendekat diam-diam makin akrab, ini kejujuran sungguh tanpa
pamrih sangat anggun, bukan berbedak angan terjemahkan diri (XIX: LVIII).

Memanggil bersegala kebesaran rindu, laron menumbuhkan sayap baru,
yang gelimpangan berkali-kali hidupnya atas kehendak (XIX: LIX).

Ia memberi kedalaman sunguh, bersayap mendekati pijar lampu,
berkasih dalam ketinggian, laksana awan dipanasi unggun (XIX: LX).

Sebagian buta sebab tak sabar juga tiada sadar,
tentang kabut yang sanggup membutakan mata (XIX: LXI).

Ia kekang gairah dipertaubatan, naluri mendewasa
adalah satu dari beberapa tangga tingkatan (XIX: LXII).

Memberi lebih bagi penilik sudut ruang peribadatan, planet-planet
serupa batu digantungkan, sebagian kalian memuja deretan bintang (XIX: LXIII).

Ia membenci kepicikan, tiada tertarik kebanggaan, sebab nantinya
memberi ruang-waktu siksa jiwa, penyayat daging bathin (XIX: LXIV).

Ialah raja di balik hati manusia, menyiarkan daun-daun muda terjatuh,
maka duduklah di segumpal batu, segenggam sepi ia warisi (XIX: LXV).

Siapa mengukur kepakan pantas dibenci,
merasa lebih tinggi dari bayu angan di masa kini (XIX: LXVI).

Wujud kehadirannya kau fahami untuk dipercayakan,
dicipta berpasangan, sebagaimana lelaki berarus pada perempuan (XIX: LXVII).

Ombak berkejaran tambah gemerincing di kakimu menjelma garam,
kasihnya diberkati bau harum kuntum-kuntum melati (XIX: LXVIII).

Kadang cepat waktu berlari, amat lamban suatu masa atas renungan diri,
syukur diberi lupa serta lelah, hingga mengetahui baik selepasnya (XIX: LXIX).

Ia lebih di hadapanmu tak lenyap atas spesiesmu,
kecuali kelemahan mengutuki diri, membunuh berputus-asa (XIX: LXX).

Suatu ketika, penjaga kabut bertanya, siapa tuan cintai di antaranya?
Hanya yang selalu mempelajari sesuatu, dari asal ketentuan waktu (XIX: LXXI).

Kalian mulai mengerti batas lemparan jala, maka naik dan duduklah,
senyum tentramkan jiwa, sedang kebengisan membuyarkan tanya (XIX: LXXII).

Berjalan kelelahan tidak memandang yang lain, jika marah terjebloskan
dalam kebimbangan, ujung pena meluruskan gugusan gugatan (XIX: LXXIII).

Bagi mengira bergundik, buyarlah pemahaman, kau tidak melihat dirinya
mengerami watas, amat kasihan yang mengikuti kebebasan arus (XIX: LXXIV).

Yang menyinggung aturan, akan dituntun denyutan air di kedalaman
gua tanjung karang, manusia unggul mencari pemahaman (XIX: LXXV).

Hadir bukan mencipta belas kasih angan, meski bersekutu
takkan mampu, ini wujud pengertian tak terkira sedurungnya (XIX: LXXVI).

Hembusan angin menyemai, ikan-ikan dalam sungai, sedang serangga
bersenandung, pada pergumulan bencah tanah liat (XIX: LXXVII).

Kuasannya bukan berasal penelitian semata, dan ia tak ambil alih
meminta, sebab jumlah akhir lebih dulu terfahami (XIX: LXXVIII).

Sang penjelajah diberi tongkat menyebrangi titian arus deras (XIX: LXXIX).

Masa mendatang bertepat-waktu, menetapkan larikan lembut hatimu
berkaca, tak sekadar penghias jemari manismu, cincin itu terbaca (XIX: LXXX).

Ialah bukan melunturkan kefanatikan, tapi guratan terindah di taman
sepi igauan, ia gemburkan tanah, serupa cacing di kedalaman (XIX: LXXXI).

Bagi menyusuri sungai kerelaan sanggup kemari, ia ombak perwakilan
demi suara tercinta, lautan kodrat jangkauannya bertepi (XIX: LXXXII)

; lahirnya pemikiranmu bersayap harum melati, atas celupan
pena bulu merak, yang menunggu malam merindu (XIX: LXXXIII).

Teramat anggun kedekatan, tunduk nafas-nafas membimbing sampai,
memberi jalan kabut di padang rumputan (XIX: LXXXIV).

Ia melewati dengan jubah berhias butiran embun kesegaran,
pengembala itu meneguk air sumur ketentraman (XIX: LXXXV).

Dengan memakai sabit kembang turi menuju bukit pencarian,
tentramkan jiwamu menghampiri dingin cahaya (XIX: LXXXVI).

Mari duduk di bangku, nanti ia bisikkan telingamu tentang kedalaman,
ketajaman pena menggurat pahatan ombak lautan (XIX: LXXXVII).

Ia suguhkan anggur bagi penyair, para filsuf dengan kesuntukan,
seyogyangan semua meminum bertampungan kalbu (XIX: LXXXVIII).

Gubahan syair memikat,
perdengarkan malam bagi anak-anak kelaparan (XIX: LXXXIX).

Ia usap rambutmu dengan perasan santan, kebaikan menyelimuti terpilih,
yang mendekat penuh kasih sayang, berpeluk keabadian hayat (XIX: XC).
-----------------------

*) Pengelana asal Lamongan, JaTim

Label

`Atiqurrahman A Muttaqin A Rodhi Murtadho A. Iwan Kapit A. Purwantara A. Qorib Hidayatullah A. Zakky Zulhazmi A.H.J Khuzaini A.S. Laksana Aang Fatihul Islam Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi WM Abdul Kadir Ibrahim Abdul Lathief Abdul Malik Abdul Wachid B.S. Abdurrahman El Husaini Abidah El Khalieqy Abu Salman Acep Zamzam Noor Achdiat K. Mihardja Adek Alwi Adi Suhara Adnyana Ole Adreas Anggit W. Afrion Afrizal Malna Aguk Irawan MN Agung Dwi Ertato Agus B. Harianto Agus Buchori Agus Himawan Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sulton Agusri Junaidi Agustinus Wahyono Ahda Imran Ahmad Badrus Sholihin Ahmad Fanani Mosah Ahmad Fatoni Ahmad Ikhwan Susilo Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musabbih Ahmad Rofiq Ahmad Sahidah Ahmad Tohari Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sekhu Alex R. Nainggolan Alex Suban Alunk Estohank Ami Herman Amien Kamil Amien Wangsitalaja Aminudin R Wangsitalaja Anastasya Andriarti Andreas Maryoto Anes Prabu Sadjarwo Angela Angga Wijaya Angkie Yudistia Anindita S Thayf Anis Ceha Anjrah Lelono Broto Anton Kurnia Anton Kurniawan Anton Wahyudi Anugrah Gio Pratama Anwar Nuris Aprinus Salam Arie MP Tamba Arif B. Prasetyo Arif Bagus Prasetyo Arif Hidayat Arman A.Z. Arti Bumi Intaran Arys Hilman AS Sumbawi Asarpin Asef Umar Fakhruddin Asep Sambodja Asrama Mahasiswa Aceh SABENA Astrikusuma Asvi Warman Adam Atep Kurnia Awalludin GD Mualif Aziz Abdul Gofar Azizah Hefni Badrut Tamam Gaffas Bagja Hidayat Bagus Takwin Balada Bale Aksara Baltasar Koi Bambang Agung Bambang Kempling Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Bayu Insani Beni Setia Benny Arnas Benny Benke Berita Berita Duka Berita Utama Bernando J. Sujibto Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Blambangan Brunel University London BSW Adjikoesoemo Budaya Budhi Setyawan Budi Darma Budi Saputra Budi Suwarna Bung Tomo Cak Kandar Catatan Cerpen Chairil Anwar Chavchay Syaifullah Cucuk Espe Cunong N. Suraja D. Zawawi Imron Dadang Ari Murtono Daisuke Miyoshi Damanhuri Damhuri Muhammad Damiri Mahmud Danarto Daniel Dhakidae Dante Alighieri Deddy Arsya Dedy Tri Riyadi Denny Mizhar Deny Tri Aryanti Detti Febrina Dharmadi Diah Hadaning Dian Hartati Dian Sukarno Diana A.V. Sasa Dicky Fadiar Djuhud Didi Arsandi Dimas Dina Oktaviani Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Djadjat Sudradjat Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Doddy Hidayatullah Donny Anggoro Dony P. Herwanto Dorothea Rosa Herliany Dr. Muhammad Zafar Iqbal Dr. Simuh Dwi Arjanto Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwicipta Dwijo Maksum Edy A. Effendi Edy Firmansyah Efri Ritonga Egidius Patnistik Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Hendri Saiful Elik Elsya Crownia Emha Ainun Nadjib Endah Sulawesi Endah Wahyuningsih Endang Suryadinata Endhiq Anang P Endri Y Eriyandi Budiman Ernest Hemingway Esai Esha Tegar Putra Eva Dwi Kurniawan Evi Dana Setia Ningrum Evi Idawati Evieta Fadjar F Rahardi Fabiola D. Kurnia Fadelan Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Faisal Kamandobat Faisal Syahreza Faizal Syahreza Fajar Alayubi Fandy Hutari Fany Chotimah Fatah Yasin Noor Fathor Lt Fathurrahman Karyadi Fatih Kudus Jaelani Fatma Dwi Rachmawati Fauzi Absal Festival Sastra Gresik Fikri. MS Fina Sato Fitri Susila Galih Pandu Adi Gde Agung Lontar Geger Riyanto Gerakan Literasi Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Ginanjar Rahadian Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gunoto Saparie Gus Martin Gus tf Sakai Gusti Eka Hadi Napster Haji Misbach Halim HD Halimi Zuhdy Hamberan Syahbana Hamdy Salad Han Gagas Handoko F. Zainsam Hari Santoso Haris del Hakim Hartono Harimurti Hary B. Kori’un Hasan Gauk Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Helwatin Najwa Hepi Andi Bastoni Heri C Santoso Heri KLM Heri Latief Heri Listianto Hermien Y. Kleden Hernadi Tanzil Heru Emka Heru Kurniawan Heru Prasetya Hesti Sartika Hudan Hidayat Humaidiy AS I Made Asdhiana I Made Prabaswara I Nyoman Suaka IBM. Dharma Palguna Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Ida Ahdiah Idayati Ignas Kleden Ihsan Taufik Ilenk Rembulan Ilham Khoiri Ilham Yusardi Imam Cahyono Imam Jahrudin Priyanto Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indah Darmastuti Indiar Manggara Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indrian Koto Irma Safitri Irman Syah Iskandar Noe Istiqomatul Hayati Ita Siregar Iwan Kurniawan Iwan Nurdaya-Djafar Iyut FItra Jadid Al Farisy Jafar M. Sidik Jakob Sumardjo Jamal D Rahman Janual Aidi Javed Paul Syatha Jayaning S.A Jefri al Malay Jihan Fauziah JJ. Kusni Jo Pakagula Johan Edy Raharjo Joko Pinurbo Jokowi Undercover Joni Ariadinata Joss Wibisono Jual Buku Paket Hemat Judyane Koz Juli Sastrawan Junaidi Abdul Munif Jusuf AN Juwairiyah Mawardy Kadir Ruslan Kasnadi Katrin Bandel Kedung Darma Romansha Khairul Mufid Jr Khamami Zada Khrisna Pabichara Kikin Kuswandi Koh Young Hun Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Komunitas Sastra Ilalang Indonesia (KSII) Korrie Layun Rampan Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan) Kristianto Batuadji Kritik Sastra Kunni Masrohanti Kunthi Hastorini Kuntowijoyo Kurie Suditomo Kurnia EF Kurniawan Kuswaidi Syafi'ie Kuswinarto Lan Fang Landung Rusyanto Simatupang Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Liestyo Ambarwati Khohar Linda Sarmili Liston P. Siregar Liza Wahyuninto LN Idayanie Lucia Idayani Lukman Asya Lusiana Indriasari Lynglieastrid Isabellita M Hari Atmoko M. Aan Mansyur M. Arman A.Z M. Bagus Pribadi M. Fadjroel Rachman M. Harya Ramdhoni Julizarsyah M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S M. Luthfi Aziz M. Nahdiansyah Abdi M. Raudah Jambak M. Shoim Anwar M. Yoesoef M.D. Atmaja Maghfur Saan Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Majalah Sastra Horison Maklumat Sastra Profetik Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Serenade Sinurat Mario F. Lawi Marluwi Marsel Robot Martin Aleida Martin Suryajaya Mashuri Matdon Mega Vristian Melani Budianta Melayu Riau Memoar MG. Sungatno Mh Zaelani Tammaka Miftah Fadhli Miftahul Abrori Misbahus Surur Miziansyah J Mochtar Lubis Mohamad Ali Hisyam Mohammad Eri Irawan MT Arifin Mugy Riskiana Halalia Muhajir Arrosyid Muhamad Rifai Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Al-Mubassyir Muhammad Qodari Muhammad Rain Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun A.S Muhidin M. Dahlan Muhlis Al-Firmany Mujtahid Mulyadi SA Munawir Aziz Murniati Tanjung Murnierida Pram Musa Ismail Musfi Efrizal Mustaan Mustafa Ismail N. Mursidi Nafsul Latifah Naskah Teater Nasrullah Nara Nelson Alwi Nenden Lilis A Nh. Anfalah Ni Made Purnama Sari Nina Mussolini-Hansson Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Noura Nova Christina Noval Jubbek Novela Nian Nugroho Notosusanto Nugroho Pandhu Sukmono Nur Faizah Nurdin F. Joes Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nurul Komariyah Nuryana Asmaudi SA Nyoman Tusthi Eddy Nyoman Wirata Oka Rusmini Oktamandjaya Wiguna Oky Sanjaya Olanama Olivia Kristina Sinaga Otto Sukatno CR Pagelaran Musim Tandur Pamusuk Eneste Patricia Pawestri PDS H.B. Jassin PDS. H.B. Jassin Penghargaan Hadiah Sastra Pusat Bahasa Persda Network Pipiet Senja Pramoedya Ananta Toer Pramono Pranita Dewi Pringadi AS Prita Daneswari Prof. Tamim Pardede sebut Bambang Tri Prosa Pudyo Saptono Puisi Puisi Kesunyian Puisi Sufi Puji Santosa PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Wijaya Qaris Tajudin R. Sugiarti Rachmad Djoko Pradopo Radhar Panca Dahana Ragdi F. Daye Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Ramadhan Batubara Ramadhan KH Ratih Kumala Ratna Indraswari Ibrahim Ratna Sarumpaet Raudal Tanjung Banua Remy Sylado Reni Susanti Renny Meita Widjajanti Resensi Restu Kurniawan Retno Sulistyowati RF. Dhonna Rian Sindu Ribut Wijoto Ridwan Munawwar Riki Utomi Riris K. Toha-Sarumpaet Risang Anom Pujayanto Riza Multazam Luthfy Robin Al Kautsar Rodli TL Rofiqi Hasan Rohman Abdullah Rosidi Rosihan Anwar Rukardi S Yoga S. Jai S. Sinansari Ecip S.I. Poeradisastra S.W. Teofani Sabam Siagian Sabrank Suparno Saiful Anam Assyaibani Sainul Hermawan Sajak Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sanggar Rumah Ilalang Sanggar Teater Jerit Sapardi Djoko Damono Sartika Dian Sartika Dian Nuraini Sastra Tanah Air Sastra Using Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sayyid Fahmi Alathas Sazano Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo Seli Desmiarti Selo Soemardjan Senggrutu Singomenggolo Seno Joko Suyono SH Mintardja Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sipri Senda Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Sobih Adnan Sofian Dwi Sofie Dewayani Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sri Ruwanti Sri Wintala Achmad St Sularto Stefanus P. Elu Sukron Abdilah Sulaiman Djaya Suminto A. Sayuti Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sungging Raga Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Suryansyah Suryanto Sastroatmodjo Susanto Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suyadi Suyadi San Syaifuddin Gani Syaiful Amin Syamsiar Hidayah Syarbaini Syifa Amori Syifa Aulia Tajuddin Noor Ganie Taufik Abdullah Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat TE. Priyono Teguh Afandi Teguh Ranusastra Asmara Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Theresia Purbandini Tita Tjindarbumi Titik Alva-Alvi Choiriyah Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tjoet Nyak Dhien Tosa Poetra Tri Lestari Sustiyana Triyanto Triwikromo TS Pinang Tu-ngang Iskandar Tulus S Tulus Wijanarko Udo Z. Karzi Ugoran Prasad Umar Fauzi Ballah Umar Kayam Umbu Landu Paranggi Universitas Indonesia Universitas Jember Utada Kamaru UU Hamidy Vera Ernawati Veronika Ninik W.S. Rendra Wahjudi Djaja Wahyu Hidayat Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Budiartha Widya Karima Wijaya Herlambang Wiji Thukul Willem B Berybe Wilson Nadeak Winarni R. Wiratmo Soekito Wita Lestari Wiwik Widayaningtias Y. Thendra BP Y. Wibowo Yasser Arafat Yeni Ratnaningsih Yohanes Sehandi Yonatan Raharjo Yonathan Rahardjo Yopi Setia Umbara Yos Rizal S Yos Rizal Suriaji Yudhi Herwibowo Yuka Fainka Putra Yurnaldi Yushifull Ilmy Yusri Fajar Yusuf Suharto Zainal Abidin Zainal Arifin Thoha Zawawi Se Zen Hae