Sabtu, 28 Februari 2009

Sajak-Sajak Zen Hae

http://www2.kompas.com/
seseorang akan memanggilku dari kobaran api

batu-batu hijau di ladang
mengapung di riak kabut pagi
tubuhku yang separuh batu setengah kabut
tak tahu harus mendekam atau berenang
tapi aku akan menyerap segalanya
di sini—alam yang dicipta dalam tujuh tepukan
ladang yang menantang cakrawala
angin yang menggoyangkan gerumbul paci-paci
hujan yang ditenggak hantu-hantu tanah
kelak mengantarku ke inti bumi
batu-batu yang seperti diayak
tubuhku yang setua sekolah desa
yang seringan layang-layang koangan
oleng oleh seperti-suara-senapan
tulang-belulangku dibalut rasa linu
berderak-derak seakan mencari pori-pori
untuk saling meloloskan diri
tubuhku doyong ke kuburan
ah, belum pernah aku sepandir ini
menghirup pagi yang teramat murni
hingga aku kikuk dan alpa
bagaimana humus ingatanku
terusir dari rimba-rimba amnesia
meluap dari rawa-rawa mimpi buruk
merawikan kembali riwayat
antara beranda dan ladang belakang
yang pernah terkubur
di antara lapisan silsilah leluhurku
seribu tahun
separuh usiaku
semalaman
sekedipan?
aaarrrggghhh, semut-semut mahagaib
menggerogoti dinding-dinding kanal kakiku
dan kabut itu menempuhku
di antara batu-batu yang terus bergoyang
mengingatkan aku pada seekor kucing garong
dengan sorot mata pemburu sejati
dengan desah basah seorang biduanita
jangan menerkamku, ya kucing jelmaan, jangan merayu
tubuhku hanya roti tawar kering
akan hancur sekali singkur
tak menggemburkan tanah
tak menyuburkan pohon
tapi kabut itu hanya kucing rumahan, kiranya
ia mengitari sepasang kakiku
merambat hingga ke lutut reotku
seakan kangen pada si tuan tua
yang pergi ketika benih-benih masih di dalam guci
dan kembali dengan tubuh sebau pace masak
aduhai, jilatan mahalembut
pori-poriku mekar-mengerut
linu campur langu
tubuhku yang separuh batu setengah kabut
tak tahu harus menjerit atau mengerang
tapi aku menyimak erangan
—seperti disesap dua batang bambu hitam
tapi aku menghidu anyir mani
—seakan meruap dari pepucuk rumput basah
tapi aku mengecap asin keringat
—seolah menetes dari gumpalan awan
yang terus merendah
tapi aku meraba tubuhku sendiri
—gabas basah sakit
tubuhku doyong ke kuburan
zakarku sekeras gagang parang
liang kubur itu menganga—merinduku
serupa perempuan tua dengan kedua tangan terentang
segera kuingat nyanyian ibuku:
"emak akan menantimu pulang
tapi aku tak kan datang ke makam
tapi kabut lebih dulu meluncur ke rahang makam
batu-batu tertatih-tatih mengejarnya
batu-batu bertubrukan
di liang kubur mereka berpelukan
bergunjing tentang sebuah tamasya
tentang pohon-pohon yang rebah dan bangkit
pada suatu malam dan serigala melolong
digergaji cahaya purnama—tentang kemarau
yang menyergap dan akan memanggang mereka
seperti neraka yang bekerja tanpa iba
ilahi
ilahi
ilahi
tiada daya tiada upaya...
jahanam! tubuhku menggigil sendirian
zakarku mengerut serupa tahi bintang
mencari genangan sisa hujan terakhir
pada pecahan tempayan lumutan
sebentang cermin yang tiba-tiba menelanku
menggandakan segala yang mengintaiku
langit bergelombang dengan bintang-gemintang
bulan batu apung
awan-gemawan setengah padam separuh terbakar
segalanya akan bertukar topeng
pada waktunya
lihatlah, wahai sosok mayaku
wajahku separuh mayat setengah bayang-bayang
rambutku tinggal secekak
seekor katak hijau tak henti-hentinya
membuat lingkaran-lingkaran
melubangi pipiku
telah kutolak semua kubur yang merinduku
tak kuminta sorga atau neraka untuk kembali
aku hanya ingin menikmati pagi
layaknya seorang pejalan-tidur
kurasakan tubuhku yang terbakar hawa dingin
—geerrrrhhh
sungai-sungai purba di kedalaman tubuhku
debum timba di rongga dada
gelosor buaya di usus dua belas jari
seorang juru ukur yang memburu tekukur
dihadang kabut hijau disesap batu hijau
hijaunya bukan sepuhan
hijau murni dari mimpiku
aku riang sebagaimana tanah retak
menerima ciuman hujan pertama
kelak, dengan kesabaran seorang arkeolog
hujan akan mengusap semesta tubuhku
menyusup ke pori-poriku
dingin diam-diam mencengkeram jantungku
aku akan meronta selaku seekor domba
di tangan seorang tukang jagal
aku akan merangkak serupa bagal pincang
ke jalan buntu ke depan tungku
jangkrik dan belalang akan tetap di sini
mengetuk-ngetuk guguran tanah
kelak—jika aku berahi pada angin
yang berputar dan melayang tanpa halangan
ke ujung-ujung benua—aku tak akan bermimpi lagi aku akan jongkok
sebagaimana ibuku
menyalakan miniatur neraka
menunggu kiamat tiba
dan seseorang akan memanggilku
dari kobaran api

2006



sebujur sajak

tibalah aku pada sebuah fragmen
matahari pantat dandang
samudra selempengan besi karat
belantara ditinggalkan burung-burung
sebuah dentuman seringan igauan
seekor naga berlari
menuju laut, katanya
maka kuterima pagiku kali ini
kuhimpun segala yang tersisa untukmu:
segulung air
setombak api
la haula wa la quwwata
mayat dipanggul si orang buta
siang waras, aduhai, malam gila
anak-anak perlahan sirna
di antara hujan dan anjing hijau
maka kuterima pagiku kali ini
sebuah momen paling laknat untuk sajak
penaku meneteskan kata-kata duka
lembar-lembar kertas melinting
menjadi bunga-bunga kering
sebait sajak menziarahi semesta maut
sampai di mana?
sampai kapan?
tibalah aku pada sebuah fragmen
sebujur sajak di depan segerombol mayat
kata-kata beku-dingin perawan di bawah bulan merah muda
makam tak perlu lagi
maka kugeletakkan sebujur sajak
di antara auman naga
mayat-mayat merawikannya:
la haula wa la quwwata
sajak di samping si anjing gila

2006

Senin, 23 Februari 2009

FENOMENA PRESIDEN PENYAIR DAERAH SEBAGAI DAGELAN POPULER

Nurel Javissyarqi*
http://forum-sastra-lamongan.blogspot.com/

Tentu kita kenal presiden penyair Indonesia: Sutardji Calzoum Bachri! Kredo Tardji yang fenomenal itu, meluas mempengaruhi banyak penyair. Dan kita mendengar pula, seperti presiden penyair Surabaya, presiden penyair Lampung, presiden penyair Cirebon, bahkan ada presiden anak jalanan, dan sebangsanya. Dari sini terpancang jelas pengaruh Tardji, dalam belantika kepenyairan di tanah air. Apa maknawi wewarna itu, pada kaitannya dengan pribadi seorang penyair?

Penyair agung ialah sosok yang menyerap banyak pengaruh, mengolaborasikan dengan kualitas dirinya, kemudian mengungkapkan kembali secara kreatif. Bahasa Tardji, disebut mengingat dan melupa. Semacam prosesi menghindari keterpengaruhan dari karya-karya agung, pada saat itu juga menghapusnya melalui kreativitas sendiri dalam bentuk karya “yang boleh jadi lebih kokoh dari karya yang mempengaruhinya.” Itulah kedirian penyair, dayadinaya hayatnya dalam kancah penerimaan sekaligus penolakan atau perlawanan.

Berbeda dengan penyair agung, penyair medioker atau bahkan para epigon serta gerombolan pembebek, kerap mengungkapkan keterpengaruhannya dengan cara yang mentah dan artifisial. Selama kreativitasnya sebatas menjiplak, sependek itulah greget karyanya: sekadar meniru tanpa berusaha mengolahnya lebih subur dengan kesabaran tangguh. Akibatnya, karyanya mustahil menjadi karya menumental, sebab ia menempatkan dirinya dalam bayang-bayang, pada ketiak penyair yang dikaguminya. Itulah sekerdil-kerdilnya jiwa penyair.

Dalam konteks kultural, kekerdilan itu representasi dari sosok pecundang yang nyaman dihantui kelebatan bayangan yang diciptakannya sendiri. Presiden penyair ialah cita-cita luhurnya. Tetapi ia tak mampu menggapainya, maka ia gembira dengan embel-embel lokalitas yang menyertai kata presiden penyair. Ia bahagia sebagai epigon, meski bukan pelopor.

Ternyata dunia sastra Indonesia tidak lepas dari perihal lelucon. Ketika dilihatnya ada yang sukses memakai plakat tertentu, lainnya ikut-ikutan. Padahal nenek moyang pernah memberi wejangan; “usaha bisa dicontoh namun nasib tidaklah dapat.” Jika pencontekan itu yang berhembus kencang dalam wahana intelektual kepenyairan di bumi pertiwi, cocoknya para pembebek tersebut dinamai gerobak kosong yang bobrok.

Lebih menggelikan lagi, mereka mengunyah betul kenyamanan hidup dalam bayang-bayang. Padahal baju yang dipakainya tak lain kepecundangan. Sebab yang ikut-ikutan mengklaim diri presiden penyair, tidak melakukan pemberontakan. Itulah ekspresi mental kerdil yang cepat terpuaskan, lewat menghirup nafas hidupnya dalam ruang seolah-olah. Saya kira itu bentuk-bentuk pelepasan dari kepuasan konyol, karena para pecundang tidak mungkin melebihi sang pioner.

Seorang penyair seharusnya memiliki semangat membaja, membara senantiasa. Dan ketidakpuasan menjadi api perjuangan yang selalu menyala-nyala. Ketika puas sedikit saja, mentalitas jiwa berkaryanya akan tergerus, hilang amblas daya kreativitasnya. Lebih tepatnya, pamornya tidak sesegar, segarang sedia kala, oleh keterlenaan merasa sebagai “orang yang telah menjadi.” Adalah niscaya para presiden penyair bayangan itu, tidak mungkin berani memberontak kepada sang presiden penyair yang sesungguhnya.

Kalau balada ayam sayur yang kumprung ini diteruskan menjadi tradisi, semacam menyusul adanya wakil presiden penyair, atau penggantian presiden penyair sebab masanya sudah habis oleh telah tiada dan seterusnya. Padahal bentuk-bentuk ini merupakan kamuflase daripada model birokrasi, sekadar gagah-gagahan yang ingin disebut penyair. Untuk menghentikan budaya yang tidak mendidik mentalitas berbangsa serta berbahasa ini, kita seharusnya bersatupadu beramai-ramai tertawa. Saya rasa, perasaan sungkan bisa menghentikan secepatnya, agar langkah mereka berbalik melawan tidak menerima baju kebesaran semu. Lewat berkarya terus berkarya, demi pembuktian dirinya dapat hadir cemerlang, tanpa diembel-embeli titel presiden penyair daerah.

Saya raba kalau mengaku-aku saja, bocah angon yang tak tahu-menahu dunia tulis-menulis dapat menyebut dirinya Superman. Untuk mengaku presiden penyair daerah lebih gampang saya kira, daripada mengatakan dirinya Satria Baja Hitam atau Si Buta dari gua hantu. Itulah wujud mentalitas bobrok, borok yang sudah sangat parah, yang harus diamputasi sebelum menjalar ke batang tubuh, pada jantung pengetahuan bersastra dan berbudaya di bumi Nusantara.

Bayang-bayang kefrustrasian begitu kelam menguntit tubuh-tubuh rapuh mereka, serupa kayu arang yang melempem tersiram air hujam, tanpa hadirnya bara api dalam kelam. Semisal watak pembungkusan dari keterpengaruhan lugu, seperti anak kecil tersedot cerita Superhero yang berlarut-larut, lantas memakai baju impiannya, lantas jadilah Super-ho-ho.

Manakala sikap kepenyairan diibaratkan sosok kenabian, para epigon tidak bisa mengelak ketika dikutuk menjadi bebek yang keok-keok terperdaya ukuran profan, maka celakalah yang mengikuti pandangan sempit mereka. Apa yang berguna dipetik dari pemilik jengger lebar, tak lain keterbelengguan jiwa yang membosankan. Saya bayangkan saat-saat mereka mencipta karya, tidak berangkat dari kedirian murni paling dalam, dirinya memakai baju birokrat kepenyairan, lalu berusaha menulis sajak kembali. Inilah penipuan yang berangkat dari peniruan, sikap turunan yang tak patut dijadikan teladan, atas apa pun yang terpantul darinya.

Jiwa-jiwa terbelenggu tak mampu membebaskan dirinya sebagaimana kepompong menjelma kekupu, tidak sanggup menformutasikan pribadinya mengepakkan sayap-sayap pencerahan. Andai terlintas cahaya, hanya kerlap-kerlip lelampu pesta tengah malam, nafasnya kembang-kempis dirangsek sesuatu yang tak membahagiakan, tidak memerdekakan. Mending kunang-kunang yang tak menganggap dirinya lelintang, mendingan gegemintang yang tidak mengaku sebagai rembulan. Jangan-jangan mereka tak dapat membedakan malam atau siang, yang bukan bermakna peristiwa terbebasnya sedari ruang dan waktu, tetapi ketololan yang menyukai satu keadaan dekaden.

Tidakkah tindak mengamini itu cerminan dari pembonsaian diri? Tumbuh-tumbuhan begitu menarik diprekes jadi dibonsai, tetapi sangat dagelan jikalau yang tertanam dalam ruh bernama watak. Pengerdilan ke-aku-an sama persis bunuh diri perlahan-lahan. Andai disuru meloncat dari ketinggian gedung, tentunya tidak berani. Jiwa-jiwa nyaman di kamar sempit akan grogi keluar kandang, kalau tidak menyelimuti tubuhnya dengan mantel tebal atau jas hujan. Saya sebut orang-orang penakut yang menunggu redanya hujan, menanti datangnya petir saat hendak berlari dalam lebat kegelapan malam.

Kepribadian yang takut gelap, tidak mungkin menghadirkan cahaya. Andai bertarung tentu beraninya main kroyokan. Dan tidak mungkin jiwanya nekat jadi pembalap di sirkuit pancaroba, mereka jera disuruh berjalan paling depan, sebab hayatnya telah membonsai. Fenomena ini boleh saja, namun bagi pemilik jiwa muda haruslah waspada akan mental-mental kepecundangan. Mental jago kandang, teriak lawan namun lempar batu sembunyi tangan, bahasa solokotonya; onani keterusan. Maka pun berdarah-darah, tidaklah realis di dalam menerjuni kehidupan yang lapang melintang cahaya.

Hidup di awang-awang tiada kepastian turunnya hujan sebagaimana awan keraguan, andai melangit tidaklah mampu, sebab kalbunya telah tercukupi bentuk-bentuk kepuasan. Atau hatinya tercerabut dari akar keyakinan, karena tidak menyunggui dirinya sebagai sosok pemampu memikul beban. Padahal salah satu syarat kenabian dalam dunia kepenyairan ialah membelot, memberontak, mengkudeta hal-hal lapuk-jahiliah yang tampak di depan mata, yang mengungkung jamannya. Maka pembodohan (pengkerdilan) diri, otomatis berimbas pada masyarakat, oleh kedunguan sama pengertiannya dengan penipuan. Dan golongan tertipu sama persis kaum merugi dalam jual beli nilai pengetahuan, akan pertukarkan kasih damai kemerdekaan, kemanusiaan.

Jikalau kerugian demi menyokong jalannya hikayat kebudayaan, sebagai wujud peribadatan -tidaklah apa, tetapi jika kebangkrutan itu berakar dari ketololan, maka sangatlah kumprung. Kalau diniatkan sekadar dagelan, mungkin berguna mengendorkan urat-urat syaraf bagi yang sungguh-sungguh, sebab dalam kehidupan pun ada namanya banyolan. Namun bentuk-bentuk mencontek tetaplah kegagalan, dan para presiden penyair gadungan ialah sosok-sosok pecundang, mengkarbit dirinya agar dikira matang.

Sekali lagi, berhati-hatilah memakan buah yang tak masak dari tangkainya, bisa-bisa sakit perut yang berimbas keracunan.
Jangan-jangan, sebentar lagi ada antologi puisi presiden penyair daerah, hahaha... Salam.

-----------
*) Pengelana dari desa Kendal-Kemlagi, Karanggeneng, Lamongan, Jawa Timur.
Jakarta-Jogja-Lamongan, 18 Nov 2008.

Minggu, 22 Februari 2009

MOHAMMAD FUDOLI ZAINI: CERPENIS SUFISTIK YANG TERABAIKAN

Maman S. Mahayana
http://mahayana-mahadewa.com/

Jika kita mencermati dua buku A. Teuuw, Sastra Baru Indonesia I (Ende: Nusa Indah, 1980) dan Sastra Indonesia Modern II (Jakarta: Pustaka Jaya, 1989), maka kita akan sia-sia mencari nama Mohammad Fudoli Zaini. Agak mengherankan, kritikus sastra Indonesia yang berwibawa dan sangat berpengaruh itu, bisa luput menyinggung nama itu. Padahal, H.B. Jassin dalam Angkatan ’66: Prosa dan Puisi (Jakarta: Gunung Agung, 1976) pernah memuat salah satu cerpen Fudoli yang berjudul “Si Kakek dan Burung Dara” sebuah cerpen yang mendapat pujian dari redaksi majalah Horison untuk cerpen yang dimuat majalah itu tahun 1966—1967. Ajip Rosidi dalam Laut Biru Langit Biru (Jakarta: Pustaka Jaya, 1977) juga memuat cerpen Fudoli yang berjudul “Sabir dan Sepeda”. Belakangan, Abdul Hadi WM (Kembali ke Akar Kembali ke Sumber, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1999, hlm. 55—59) memuji cerpen ini –bersama cerpen “Sisifus” dan “Gelap”— sebagai cerpen yang menghadirkan kisah sufistik yang unik dan segar. Cerpen “Sisifus” sendiri tercatat sebagai pemenang Hadiah Hiburan Sayembara Cerpen Horison 1977/1978.

Sementara itu, Satyagraha Hoerip dalam Cerita Pendek Indonesia III (Jakarta: Gramedia, 1986) memuat pula cerpen Fudoli Zaini yang berjudul “Potret Manusia”. Dikatakannya, bahwa Fudoli terhitung di antara lima sastrawan Indonesia yang paling produktif, istimewa di bidang cerita pendek. Sejak 1963, ia selalu menampilkan cerpennya di majalah Sastra dan kemudian majalah Horison. Cerpen Fudoli yang lain yang berjudul “Kemarau” pada tahun 1975 tercatat pula sebagai pemenang Hadiah Hiburan Sayembara Kincir Emas Radio Wereldomroep, Belanda. Cerpen “Kemarau” bersama 14 cerpen lain pemenang sayembara itu kemudian diterbitkan dalam buku Dari Jodoh sampai Supiyah (Jakarta: Djambatan, 1976).

Wildam Yatim dalam kertas kerjanya, “Cerpen Mutakhir Kita” yang disampaikan dalam Diskusi Besar Cerita Pendek Indonesia di Bandung, 14 September 1975 (kemudian dimuat dalam Pamusuk Eneste (Ed.), Cerpen Indonesia Mutakhir, Jakarta: Gramedia, 1983, hlm. 80—118) mengulas pula sejumlah cerpen Mohammad Fudoli Zaini. Menurut Wildam Yatim, Fudoli tergolong cerpenis yang produktif. Ia banyak mengangkat tema kesepian di perantauan yang jauh dari hubungan wanita—pria atau masalah seksual dan kadang-kadang berfilsafat tentang hidup dan mati.

Bagaimanakah sesungguhnya kiprah Mohammad Fudoli –sering juga menggunakan nama M. Fudoli Zaini— dalam peta kesusastraan Indonesia? Cukup pentingkah dan sejauh manakah karya-karyanya memberi kontribusi bagi perjalanan kesusastraan –khasnya cerpen—Indonesia modern?
***

Mohammad Fudoli lahir di Sumenep, Madura, 8 Juli 1942. Sebagai anak yang dilahirkan dan dibesarkan dalam lingkungan pesantren, tentu saja ia sangat dipengaruhi oleh kehidupan tradisi pesantren. Kakeknya memang dikenal sebagai pendiri salah satu pesantren terkemuka di Sumenep. Maka, sejumlah besar cerpennya sering kali menghadirkan kisah-kisah yang hidup dan berkembang di kalangan para santri. Justru dalam hal itulah, cerpen-cerpen Fudoli kerap mengangkat persoalan yang tampak begitu bersahaja, sangat realis dengan tema kehidupan keseharian di pesantren atau kehidupan para santri yang sering kali memunculkan kisah-kisah para aulia lengkap dengan dunia gaibnya. Jadi, di antara gambaran itu, tiba-tiba saja menyelusup kisah-kisah gaib yang irasional dan memberi kesan surealis. Dalam hal itu pula, Fudoli berhasil menempatkan dirinya sangat khas yang berbeda dengan tema yang diangkat cerpenis seperti Djamil Suherman, Kuntowijoyo atau Mohammad Diponegoro.

Masa sekolah dihabiskan Fudoli di tanah kelahirannya. Selepas tamat SMA Negeri Pamekasan, ia melanjutkan kuliah di IAIN Sunan Ampel Surabaya yang diselesaikannya tahun 1966. Pada pertengahan tahun 1968, ia berangkat ke Kairo untuk melanjutkan studinya di Universitas Al-Azhar. Sambil kuliah, Fudoli bekerja sebagai staf Kedutaan Besar Republik Indonesia di Mesir. Meski sangat merepotkan, ia berhasil menyelesaikan studinya di universitas itu dan memperoleh gelar master (MA) untuk bidang syariah dan filsafat dan doktor (Ph.D.) untuk bidang sastra dan filsafat sufi serta sejarah Islam.

Di tengah kesibukannya menyelesaikan studi di Institute of Islamic Studies dan Institute of Arabic Studies di Universitas Al-Azhar, Fudoli masih sempat menghasilkan sejumlah cerpen yang kemudian banyak diterbitkan majalah Horison. Boleh jadi lantaran itu pula, H.B. Jassin, Ajip Rosidi, Wildam Yatim, dan Satyagraha Hoerip menempatkan Fudoli sebagai cerpenis yang produktif. Pada pertengahan tahun 1986, Fudoli kembali ke tanah air dan mengajar di IAIN Sunan Ampel Surabaya untuk mata kuliah Sejarah Perkembangan Pemikiran Islam dan Hadis.
***

Sebagai sastrawan, Mohammad Fudoli Zaini memulai kariernya lewat cerpen berjudul “Malam-Malam Kelabu” atas nama M. Fudhaly yang dimuat majalah Widjaja, No. 5, Th. XI, 1961, sebuah majalah yang diterbitkan di Kediri. Dengan nama yang sama, cerpen keduanya, “Kuda Kepang” dimuat Minggu Pagi, No. 13, 1964. Pada tahun yang sama, cerpennya “Si Kakek dan Burung Dara” dimuat Pustaka dan Budaja, No. 21, V, 1964 atas nama Mohammad Fudoli. Belakangan, cerpen ini dimuat lagi di majalah Horison yang kemudian mendapat hadiah dari majalah itu tahun 1967. Nama Mohammad Fudoli itulah yang kemudian dipakainya dalam cerpen-cerpen berikutnya. Majalah-majalah yang pernah memuat karyanya, antara lain, Gelora, sebuah majalah populer yang terbit di Surabaya, Sastra, Ulumul Qur’an, dan sebagian besar dimuat majalah Horison. Sampai tahun 1982, Fudoli sedikitnya telah menghasilkan 50-an cerpen.

Setakat ini, Fudoli telah menghasilkan enam buah buku kumpulan cerpen. Antologinya yang pertama berjudul Lagu dari Jalanan (Jakarta: Balai Pustaka, 1982), sebuah antologi yang menghimpun cerpen yang dihasilkan antara tahun 1962—1965. Antologi ini semula direncanakan terbit tahun 1968, tetapi entah mengapa baru diterbitkan tahun 1982. Antologinya yang kedua berjudul Potret Manusia diterbitkan Balai Pustaka tahun 1983 atas nama M. Fudoli Zaini.

Dua tahun kemudian, terbit antologi berjudul Kota Kelahiran (Balai Pustaka, 1985) yang kemudian terpilih sebagai pemenang Hadiah Yayasan Buku Utama untuk buku-buku sastra yang diterbitkan tahun 1985. Pada tahun itu pula terbit lagi kumpulan cerpennya yang berjudul Arafah (Bandung: Pustaka Salman, 1985) yang dikatakan Abdul Hadi WM sebagai antologi cerpen religius yang hendak menyampaikan pesan sufistik yang halus. Dua antologi lainnya yang terbit belakangan, yaitu Batu-Batu Setan (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1994) dan Rindu Ladang Padang Ilalang (Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya, 2002) makin memperlihatkan kecenderungan Fudoli mengangkat tema-tema religius.
***

Mencermati keenam antologi cerpen yang telah dihasilkan Mohammad Fudoli Zaini, tampak ada tiga fase penting yang menandai perjalanan kepengarangannya. Fase pertama secara jelas tergambarkan dalam antologi Lagu dari Jalanan yang mengangkat kehidupan keseharian dunia pesantren. Di sana, tak ada tema besar. Ia seperti hendak mewartakan tentang perilaku dan kepercayaan para santri berikut pergulatan hidupnya. Dalam hal ini, ajaran agama sama sekali tidak muncul secara verbalistik. Fudoli justru menyelusupkan doktrin agama itu dalam gambaran perilaku manusianya. Dengan demikian, kita seperti sengaja dibawa pada kehidupan nyata, sementara pengarang seperti sekadar bertutur tanpa pretensi hendak berdakwah. Meskipun begitu, dalam beberapa cerpennya, khususnya cerpen “Si Kakek dan Burung Dara” kita masih dapat menangkap bahwa di balik kisah yang realistik itu, ada simbol-simbol sufistik yang coba diselusupkan Fudoli secara sangat halus.

Fase kedua ditandai dengan munculnya cerpen-cerpen Fudoli dengan latar Timur Tengah, khususnya Mesir. Dalam Potret Manusia, kecuali cerpen “Kemarau” semuanya berlatarkan Timur Tengah. Dalam antologi ini, kembali kehidupan keseharian yang sesungguhnya sudah sangat biasa, menjadi luar biasa ketika Fudoli mengangkat sisi-sisi humanistiknya. Dalam hal inilah, disadari atau tidak, Fudoli telah memainkan peran sosialnya. Ia telah menunjukkan kepeduliannya terhadap lingkungan sekitar, meskipun ia berada di negeri asing.

Di dalam antologi cerpen berikutnya, Kota Kelahiran dan Arafah, latar tempat tidaklah terlalu dipentingkan lagi. Dalam hal ini, Fudoli mulai menggeser perhatiannya tidak lagi pada potret keseharian kehidupan manusia, melainkan pada hakikat di balik peristiwa-peristiwa keseharian itu. Jadi, keteguhan Sabir dalam cerpen “Sabir dan Sepeda” misalnya, hakikatnya bukanlah terletak peristiwa-peristiwa kasat mata yang dihadapi tokoh itu, melainkan pada keteguhan seseorang dalam menjalankan keimanan dan ketakwaannya.

Dalam sejumlah cerpennya yang terhimpun dalam kedua antologi itu, kita melihat, betapa tokoh-tokoh yang digambarkannya selalu dihadapkan pada pilihan-pilihan bebas. Dan ketika ia menentukan pilihan, maka yang jauh lebih penting adalah bagaimana kita berteguh pada pilihan itu. Dan hanya dengan takwa, kita akan sampai pada harapan atas pilihan itu.

Fase ketiga dari kepengarangan Fudoli tampak pada dua antologi cerpen yang terbit belakangan, Batu-Batu Setan dan Rindu Ladang Padang Ilalang. Di sini, Fudoli tidak hanya menampakkan kematangannya dalam memanfaatkan metafora dan simbol-simbol sufistik, tetapi juga cenderung mengusung tema-tema tentang hubungan manusia dengan Tuhan. Dalam cerpen “Burung Kembali ke Sarang” misalnya, peristiwa kematian anak bagi orang tua memanglah membawa pada sebuah kehilangan yang dahsyat. Tetapi, dengan kesadaran “Dari Allah kembali ke Allah. La ilaha illallah” suami-istri itu akhirnya sampai pada kerinduan ilahiah.

Dalam Batu-Batu Setan, kita dihadapkan pada sejumlah peristiwa surealis yang sengaja dihadirkan melalui pikiran-pikiran tokoh cerita. Oleh karena itu, kita seperti dihadapkan pada dunia gaib yang mencekam. Dan tiba-tiba saja –di akhir cerita—kita seperti disadarkan kembali, bahwa segala tindak pikiran dan kegelisahan tokoh-tokohnya itu, sengaja dibangun untuk sampai pada muara kerinduan ilahiah itu.
***

Di tengah derasnya cerpen-cerpen Indonesia mutakhir yang muncul dengan mengusung tema kritik sosial, Mohammad Fudoli Zaini justru mengangkat kisah-kisah sufistik yang kuat. Dan pengetahuannya yang luas tentang filsafat sufi, tentu saja sangat membantu menyelusupkan metafora dan simbol sufistik yang –menurut Abdul Hadi WM—unik dan segar. Pesan itu jadi terasa begitu halus lantaran Fudoli menyampaikannya melalui cara bertutur yang lancar mengalir seperti kita sedang mengikuti arus air anak sungai. Sebuah teknik bercerita yang sangat bersahaja, namun justru sangat mendukung tema yang hendak dihadirkannya.

Jika kita hendak menempatkan kedudukan Mohammad Fudoli Zaini dalam konstelasi cerpen Indonesia, maka sulit bagi kita untuk menafikan sumbangannya dalam memperkaya tema cerpen Indonesia modern. Fudoli seperti sengaja melengkapi tema sejenis yang disampaikan Danarto, Kuntowijoyo, Djamil Suherman atau Mohammad Diponegoro. Dengan demikian, tentu saja menjadi tidak beralasan jika kita bermaksud meniadakan namanya dalam peta kesusastraan Indonesia. Fudoli telah sangat meyakinkan membuat tonggaknya sendiri yang tidak dapat dengan mudah digantikan dengan nama cerpenis lain. Sangat disayangkan jika para pengamat sastra Indonesia mengabaikan karya-karya sufistik seorang Mohammad Fudoli Zaini!

*) Pensyarah Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia.

Dalam Tikam Kesepian

Dharmadi
http://oase.kompas.com/

Tak dapat dilupakannya kata-kata terakhir istrinya, keinginan untuk bisa mendampingi anak-anaknya sampai menjadi orang tua. Suatu ketika, beberapa tahun yang lalu, hanya beberapa menit menjelang kepergiannya, di dini hari;’Aku kepengin nunggoni bocah-bocah mentas nganti dadi wong tuwo’. Dan waktu itu ia hanya menjawab,”Jangan berpikir yang bukan-bukan, yang penting kamu sehat”.

Hanya itu saja kata-kata terakhir istrinya, yang terbaring di ranjang, ranjang yang pertama kali ditiduri bersamanya, tigapuluh tahun yang lalu, ranjang pengantin yang menjadi saksi gelora gairah di malam pertama dan di saat-saat kemudian telah mencatat bermacam adegan dan peristiwa dan menyimpannya sebagai riwayat. Begitu selesai berkata, istrinya diam, tak bergerak, kedua tangannya terlipat di dada.

Dan kemudian ia seperti mendengar suara;’bojomu wis ditunggu ibu-ibune nang swarga; ditunggu ibune, ditunggu mertuwane, ditunggu budhene; wis disediyani swarga’. Ia tergeragap, seakan terbangun dari tidur, mencari arah suara, tak ada orang lain, kecuali dirinya di ujung kaki istrinya, anaknya mbarep di sisi kanan ibunya, dan anaknya yang nomor dua, lelaki satu-satunya, di sisi kiri ibunya. Lalu suara siapa itu, yang baru saja didengarnya, yang mengatakan,‘isterimu sudah ditunggu ibu-ibunya di sorga; ditunggu ibunya, ditunggu mertuanya, ditunggu budhenya; sudah disediakan sorga’.

"Kok mung tekan semene Bu," spontan, hanya itu yang keluar dari mulutnya, begitu melihat istrinya diam untuk selama-lamanya. Ketika itu. ia tak pernah menduga, kok hanya sampai di sini istrinya mendampinginya. Meninggalkannya untuk selama-lamanya, hanya dalam sakit dua hari saja.
***

Sejak itu ia merasa kesepian; serasa pisau yang runcing tajam, kesepian menikam dalam dan sepertinya sulit sekali dicabut dari rasa hatinya, sepanjang hari-harinya. Impian yang dibangun selama ini, serasa runtuh, luluh-lantak, hanya meninggalkan puing-puing dan tak mungkin untuk dibangunnya kembali.

Selama ini ia dan istrinya sering membayang-bayang dan merancang-rancang, kalau pensiun kelak, ketika tinggal berdua, anak-anak telah menjadi orang tua; mengunjungi anak cucu, berkunjung ke teman-teman lama, silaturahmi ke sanak kerabat. Ah, betapa bahagianya.
***

Kini ia sudah pensiun; beberapa temannya menawari untuk mengajak usaha bersama; berdagang. Tak pernah terlintas dalam pikirannya tentang dagang, karena memang tak bisa dagang tak pernah dagang. Ada juga yang nawari calon istri; “Biar kamu tak kesepian; tak selalu mengingat-ingat yang telah pergi, dan nanti kalau anak-anak sudah berumah tangga, misah semua, ada yang ngrumati”. Begitu kata temannya membujuk; juga suadara-sadaranya, mendorongnya untuk mencari sisihan baru.
Ia tak banyak komentar menanggapi saran teman dan saudaranya agar nikah lagi; “Gampang nanti”, hanya itu selalu jawabnya. Tak ada niat dalam hatinya untuk nikah lagi. Di samping tak mau repot ketika ngunduri umur-semakin tua punya anak lagi, juga merasa sulit untuk melupakan istrinya.

Tak kurang tiga puluh tahun bersama, baginya bukan waktu yang singkat untuk begitu saja bisa melupakan almarhumah istrinya, yang semasa hidupnya telah menjadi teman loro-loponya, yang setia mendampinginya bersama jatuh bangun dengan sepenuh hatinya, dengan keiklasan cintanya, bersama-sama membangun keluarga, membesarkan anak-anak tanpa banyak tuntutan, tak bermacam keinginan sampai saat kematiannya.

Kuburan kini yang menjadi salah satu bagian kegiatan dari sisa hari-harinya. Setiap minggu paling tidak dua kali, yang sering tiap Senin dan Kamis, sehabis ashar sampai menjelang maghrib, malah terkadang sampai malam hari ia ziarahi kubur istrinya.
Kalau ke kubur istrinya ia akan berjalan-jalan di area kuburan, melihat-lihat sambil sesekali berhenti sejenak pada beberapa makam, membaca tulisan yang ada di nisan; apakah itu nisan kayu atau nisan batu.

Dibacanya nama, tanggal lahir dan tanggal kematian yang tertera di nisan. Dan ia akan berkata sendiri ketika melihat makam yang sepertinya tak lagi terawat, dalam rimbun ilalang. ”Di mana sanak kerabatnya? Mungkinkah sudah tak ada lagi atau telah lupa dengan si mati?”

Kalau kebetulan menemukan kubur baru, ia agak lama berada di kuburan itu, sambil membayangkan perasaan orang-orang yang ditinggal mati. Ia ingat pada awal-awal setelah kematian istrinya; pikiran serasa kosong, seperti bingung kalau di rumah; keluar masuk, tak tahu apa yang mesti dilakukan.

Merasa ada yang hilang, dan ingin dicari tapi tak tahu mesti ke mana mencarinya. Juga seperti ada yang pergi, muncul rasa rindu, ditunggu, siapa tahu kembali. ”Pasti yang ditinggal merasa sangat kehilangan, betapa sedihnya”, begitu selalu gumamnya.
Dan terkadang ia merenung ketika membaca di nisan umur si mati yang masih muda; ”Kenapa mesti dilahirkan kalau masih muda sudah dipanggil kembali; tetapi kenapa ada yang sudah berumur lanjut, renta tak lagi bisa apa-apa, sepertinya tak lagi berguna, masih diberi hidup? Apa yang Kau kehendaki Gusti?”

Dan terkadang bertanya pada diri sendiri ketika melihat makam dalam cungkup yang dibangun megah; ”Benarkah dulu ia mencintai sepenuh ketulusan hati pada si mati ketika masih hidup, seperti tulisan di nisan ini. Apa yang dapat dirasakan si mati dengan cungkup semegah ini?”

Ketika di kuburan istrinya sehabis berdoa dia selalu bertanya,”Sudah sampai di mana perjalananmu Bu?”, dan juga mengabarkan keadaan anak-anaknya juga dirinya;”anak-anak baik-baik semua; mereka sudah mandiri, sudah jadi orangtua, dan nampaknya bahagia saja.

Itu semua buah dari pohon kasih sayangmu, keiklasan berkorban seorang perempuan, sebagai istri dan sekaligus ibu. Hanya aku sekarang sendiri, merasa kesepian”.

Sesekali ia kadang merebahkan badan di samping kijing istrinya, searah dengan almarhumah ketika dulu ditidurkan di dasar liang, sambil memandang langit, memandang bintang, memandang bulan, memandang awan, memandang ke kejauhan, dan membayangkan bagaimana rasanya berada di liang kubur.

Ia juga selalu berusaha untuk dapat datang pada setiap ada berita kematian yang sampai kepadanya, yang menimpa salah satu sanak saudara, kerabat, tetangga, atau teman-temannya. Dan selalu, entah sebentar atau agak lama, ia berusaha untuk dapat ikut memikul keranda. Dalam memikul, ia selalu berkata dalam hati;”Di pundak pelayat jasad ditinggikan sesaat, di liang kubur jasad dikembalikan ke asal-usul”.

Bukan hanya memikul. Ia selalu berusaha untuk bisa membantu kayim, ikut nyirami dan merawat jenazah. Ketika ia nyirami selalu bertanya dalam hati; “Apakah bunga dan wewangian ini bisa membersihkan dosa-dosa?”

Dan ketika membantu mengafani, ia berkata sendiri dalam batin; ”Akhirnya hanya lembaran kain kafan yang dipakai dan dibawa ketika kembali pulang ke keabadian.” Dan sesekali, ia ikut menerima jenazah di dalam liang kubur.
Sering tetangganya atau para pelayat yang lain melarangnya;”Sudah sepuh Pak ndak usah, masih banyak yang muda-muda.”
***

Orang-orang mencarinya; “Ke mana ini pak Martabat?” Sebentar lagi jenazah akan diberangkatkan. “Tadi ada di sini; ngobrol-ngobrol denganku,” kata Pak Karso.
“Coba dicari ke kuburan, siapa tahu ada di sana,” selintas kata pak Mardiyo, selaku wakil ketua rt tanpa menunjuk orang; ”biasanya ngecek galian.”

Rasa tanggung jawab yang besar masih juga melekat di dirinya. Meskipun hanya sebagai ketua rt yang sekaligus ketua paguyuban kematian, ia berusaha untuk semuanya berjalan lancar dan beres. Terkadang ia datang sendiri ke kelurahan lapor adanya kematian di lingkungannya, bersama warga lain mengambil keranda yang disimpan di kuburan, dan ngecek sendiri ke tempat kubur yang sedang digali; mengukur panjangnya, mengukur kedalamannya sambil membawakan makanan dan minuman untuk para penggali.

Sampai saatnya pemberangkatan jenazah, belum juga ia kelihatan. Terpaksa pelepasan jenazah dilakukan oleh Pak Mardiyo.
Beberapa puluh meter menjelang kuburan, rombongan iring-iringan jenazah dihentikan oleh dua orang warga yang tadi secara spontan berangkat mencari Pak Martabat di kuburan. Dengan suara yang agak bergetar sepertinya disungkup rasa takut dalam batinnya, ia menemui Pak Mardiyo;”Pak, Pak, Pak Martabat tidur di dalam liang.”

Pak Mardiyo menghentikan iringan sesaat. “Tidur di dalam liang? Apa tidak ada yang tahu sejak tadi?”
“Kata orang-orang yang menggali kubur, setelah menerima nasi bungkus dari Pak Martabat, mereka pergi agak menjauh dari liang kubur mencari tempat yang teduh untuk makan sambil istirahat menunggu jenazah, tak begitu memperhatikan terus ke mana Pak Martabat”, hampir bersamaan kedua orang itu menjawab.

Pak Mardiyo sesaat berunding dengan beberapa warga; tak lama beberapa warga itu bergegas langkah mendahului ke kuburan; iring-iringan jenazah kembali berjalan dengan pelan.
***

Beberapa warga saling berpandangan di bibir liang kubur. Kemudian kembali saling mengarahkan pandang ke dalam liang. Melihat di dasar sana Pak Martabat dalam posisi seperti lazimnya jizim yang dikubur.

Miring sedikit tengkurap menghadap ke salah satu dinding liang, hidungnya mencium dasar, ujung-ujung jari kakinya mancal-menjejak tanah.

Hampir bersamaan beberapa warga yang di atas, di bibir liang kubur, beberapa kali memanggil-manggilnya, ”Pak, Pak, Pak Martabat, bangun Pak, bangun.” Tak ada sahutan, juga tak ada sedikit pun gerak dari tubuh Pak Martabat sebagai jawaban.
Iring-iringan jenazah semakin mendekati liang kubur. Orang-orang yang di sekitar bibir liang kubur belum ada yang bertindak; masih saling berpandangan dan sesekali saling memandang ke dalam liang, dan memandang ke arah iringan jenazah yang semakin mendekat.
*****

,2007

Perempuan yang Kunikahi dengan Puisi

Faisal Syahreza
http://oase.kompas.com/

Aku merasa bersalah bila menatap matamu yang bagai ceruk dalam, setelah hangus dalam ranjangmu semalam. Oh tapi aku tahu itu keinginanmu bukan? Kau bahkan sepertinya bahagia bukan kepalang bila malam-malam--ketika tak ada satu lelaki pelanggan pun yang melirikmu dan mau tidur denganmu--tiba-tiba aku datang dan menyambutmu dengan pelukan sayap lelaki bujang. Aku merasa sesat bila terjebak lagi dengan pertemuanmu, bagai menemukan beruang lapar di hutan. Dan sebaliknya anehnya jadi serba salah, bila aku tak kunjung bertemu denganmu aku malahan merasa dingin dan sepi sekali. Aku merasakan bahwa aku sedang berenang di lautan es tanpa busana. Tanpa ada rumah yang mau menyambutku dengan api unggun dan segelas susu hangat.

Aku selesaikan ciumanku denganmu begitu khdimat ketika bibirku lumat dan bibirmu masih bermain peran. Kau malah sempat menghempaskan tubuhmu lagi di kasur empuk, merubung tubuhku dengan goda. Dan sedikit-sedikit ingin kembali luruh denganku ketika jari lentikmu mengajak bercinta lagi. Tak bisa, kataku padamu. Aku harus pulang, kuliah pagi ini. Aku harus siapkan buku-buku dan makalah yang akan aku persentasikan tepat di depan dosen. Mata kuliah mengajarkanku untuk membagi waktu sebaik mungkin, cinta dan karir begitu bebarengan. Mudah-mudahan lancar, ucapku padanya. Agar ia ngerti dan mau mendoakanku.

Aku tahu dia akan pulang dan merasakan lagi kengerian yang sudah bisa aku tangkap dalam kecemasannya ketika aku mulai mengancingkan kemejaku. Dia selalu merasakan cemas yang dasyat. Padahal dia perempuan yang masih muda dan cantik dengan bibir yang tak bosan-bosan menawarkan candu. Tubuhnya ramping, dan di dadanya ada sepasang apel matang. Dia tak terlalu pintar dari bagaimana cara bercerita tentang dirinya juga hidupnya padaku, namun dengan otak yang sedemikian rupa tergambar dari perilakunya mencermati perjumpaan berkali-kali, dia sepertinya masih cukup pantas sekolah di kampus swasta yang tersebar di penjuru kota.

Aku tahu dia mempunyai kecemasan yang besar, sangat bisa aku rasakan. Namun senantiasa dia menyeruakan, tak ada apa-apa aku, karena baginya diriku tujuannya. Dia selalu seperti itu bila kutanyai ‘ada masalah?’ kurang lebih jawabnya sampai di situ.

Aku tak mau memaksa menanyainya, tak ada gunanya. Dia perempuan paling cantik dan paling bisa memahamiku dalam segala hal di usiaku yang masih muda. Aku masih ingat dengan ice cream yang ia pilihkan untukku. Bukan main mengapa dia bisa mengetahui aku menyukai rasa coklat dengan balutan selai strobery dan kacang. Bagi orang ini sepele, bagiku ini luar biasa. Ini sesuatu yang sempurna, apalagi ketika dia membelikanku baju berwarna putih dengan motif gambar anak anjing. Dia seakan dikirim Tuhan untukku. Dengan segala kekuasaan yang mampu menyihirku. Orang harus bisa menemukan pasangannya yang membuat ia merasa nyaman dan cocok, dalam hal kecil maupun hal besar.

Makanya, aku tak akan melepasnya begitu saja. Dia akan kupelihara bagai sebongkah tanah yang ditanami pepohanan jangkung. Dengan bermacam buah tumbuh bergelantungan dalam rimbun dan keteduhan daunan di hatiku. Setiap kemarau aku ada di sana. Setiap musim hujan juga aku akan di sana, menengokinya, bagai menengoki kebun siap panen di segala musim. ‘Aku cinta kau wahai kebun yang setiap saat siap kupetik’ padanya kubisiki.
***

Aku, begitu selasai kuliah dan mengerjakan tugas Filologiku, segera bergegas menuju taman parterre. Di sana aku biasa merebahkan tubuhku ke rerumputan sambil menatap kemilau cahaya senja di daunan. Aku merasa ingin menulis puisi. Akan kucari tempat biar membantu pikiranku lebih jernih lagi. Aku biasa mengingat-ingat gadis yang dulu sempat aku taksir, dini, kiki, fuji, sri, putri dan banyak lagi. Aku ingat-ingat lagi mereka. Agar membantu mencairkan perasaan yang bisa dituangkan dalam tulisan. Walaupun ujung-ujungnya puisi selalu menjadi isi curahan, ah persetan.

Aku lihat orang-orang sudah banyak yang duduk di taman. Ada anak jurusan bahasa inggris pacaran. Dia bukan temanku, hanya saja aku hapal saja wajah-wajahnya. Mengapa tiba-tiba aku lupa ingin menulis puisi. Di sini memang selalu seperti itu. Tak tentu.
Ada nyamuk-nyamuk yang mengganggu lamunanku. Aku tak sempat membuka buku catatan dan menuliskan sepatah kata pun, keburu temanku datang. Suara knalpotnya bukan main keras, merobek lengangnya sepi taman. Ah, Erik dari dulu sudah begitu, gengster motor selalu punya sikap yang semaunya. Dia mengajakku pulang ke kostanku, aku ikut saja dengannya. Setelah ia menawariku untuk membeli sebotok anggur dan sebungkus rokok. Aku setuju saja. Dan habis perkara sudah.
***

Dia malah tidur sesampainya di kost. Aku malah ingin berdiam sejenak. Aku kangen perempuan yang selalu menghanguskanku diranjangnya itu. Perempuan yang senantiasa menyimpan kenangan tentangnya di lipatan ingatanku.
Aku kemudian menyalakan komputerku dan perasaan ingin menulis puisi yang sempat hilang datang lagi. Ternyata aku ingin menulis puisi untuk seorang perempuan yang baru aku kenal. dia lebih berguna dari yang aku kira. Dari bayang dia yang coba aku raih di batas pikiranku, aku dapati potongan puisi. oh, ini sepatutnya menjadi tugas sang calon penyair. Penyair yang sedang berusaha mencari pengakuan dari masyarakat. Penyair yang kesepian.

Kemudian perlahan aku ingin terbakar oleh tubuhnya. Mungkin aku harus sedikit mengingat beberapa adegan ranjang dengannya. Seperti, bagaimana segalanya kepunyaanku habis ia hisap. Seperti menghisap sari-sari kekuatanku lalu lenyap dan lelah meliputiku, waktu itu.
***

Erik selalu pulang malam setelah merasa jalanan lengang. Ketika lalu lintas jalan mulai jarang kendaraan. Dan seribu kupu-kupu bulan, bermunculan dengan luka dan tangisan yang sangat rahasia, tak bisa didengar. Entah apa yang ia cari di suasana sepi itu. Aku kemudian keluar kost, menuju warung di jalan.
“Rokok.”
“Berapa?”
“Setengah bungkus.”
Aku hendak mencari makan, perut kelaparan. Tapi aku sempatin membeli rokok. Menghangatkan badan. Lagian angin tak enak di mulutku yang terbiasa menghisap batang rokok.

Malam sudah lumayan larut, hampir jam duabelas, aku sempat berpikir tak dapat makanan. Untung kawasan kampus, ada saja beberapa warung buka 24 jam. Meski kutahu, lauk yang dingin dan sisa tadi pagi yang tak laku dibeli orang. Ah lagi-lagi persetan.
Setelah beberapa lauk menemani nasi hangat dari aku santap habis. Aku sudah merasa kenyang dan waktunya kembali untuk pulang, tidur dan tak usah berpikiran tentang tugas Morfologi lagi, biarlah gimana nanti saja, besok pun masih sempat aku kerjakan. Aku menuju jalan. Menikung di gelap malam.
***

Oh, tidak kau, kataku setengah terkejut. Kudapati sepasang matamu lagi-lagi melukis kecemasan yang membadai. Aku tak sanggup memandangnya. Lalu kau tersenyum. Dan.
“Bahagia rasanya.”

Aku langsung memeluk tubuhnya. Tubuhnya yang sudah setengah beku. Mungkin dia sudah lama di sini. Di simpang jalan lengang tanpa lampu benderang dan hanya ada remang bulan. Dia masih memiliki tangan yang hangat dan bau parfum yang aku suka. Aku cintai dia seperti mencintai sebatang rokok satu-satunya. (rokok pada saat itu bukan main istimewanya).

Aku senang juga bisa tanpa sengaja bertemu dia. Aku seakan tak kehabisan cerita dalam obrolan yang keluar dari mulutku ini. Dia pun seakan tak bosan mendengar ocehanku meski terkadang harus menjadi obrolan yang sama sekali tak penting.
Lama juga waktu dibabat habis, dingin tak terasa lagi saat itu. Namun begitu obrolan yang sudah harus terulang lagi untuk kesekian kali, barulah aku tahu. Aku kehabisan cerita, dan dia nampak lelah mendengarkannya.
Aku harus bagaimana?
***

Kini setelah aku ambil keputusan mengajaknya ke kostan, aku sendiri bingung, apa yang bisa dilakukan di dalam ruang kotak penuh kekosongan. Tadi aku lihat sebelum masuk, kamar sebelahku lampunya mati, dan sekarang menyala. Mungkin dia terganggu oleh kedatangku dengan dia. Ah, tak apalah.

Aku segera menyuruhnya untuk tidur di kasurku yang tipis. Maaf kataku, aku tak punya kasur empuk nan hangat.
Dia malah tersenyum dan bersandar di punggungku, kau hangat. Katanya sambil terbenam begitu saja. Bagai seekor burung menemukan sarangnya di atas pohonan yang jauh tinggi dan aman.

Aku mencoba mencegahnya, aku mencegah diriku nekat lagi memberangus diri. Aku tak enak dengan kamar sebelahku bila ia ternyata mengatahui apa yang terjadi di kamarku bila lepas dari control kita berselancar lagi di lautan kasmaran, aku anggap perempuan itu dan aku sedang dilanda kasmaran berat yang tak bisa dihentikan apapun karena aku sendiri tak tahu apa sebabnya.
Perempuan itu seakan tak gelisah, malah membuka pakaiannya dan hanya menyisakan kutangnya saja dan celana dalamnya kemudian kembali meringkusku. Aku tergoda, tapi tetap tegar berusaha lepas cari cengkramannya yang membabi buta.
Dia bukan seorang yang pantang menyerah rupanya, dia malah berbisik padaku, kamu kangenkan sama hangat tubuhku, sambil mencoba meluruhkan lagi diriku.

Aku punya cara jitu, aku nyalakan komputerku. Siapa tahu dia mengerti tentang sikapku itu. Komputerku meraung suara kipas dan mesinnya, maklum komputer lama. Dia sedikit kecewa dan matanya kini terasa jenuh dengan perbuatanku, maafkan aku dalah hatiku padanya.
***

Ini puisi yang kutulis saat ingat kamu, seruku pada perempuan yang kucintai itu bagai menyukai permen manis di lidahku. Aku goyangkan tubuhnya yang kini telanjang. Aku merasa dia nyaman.
Lihat puisiku ini, bujukku, aku akan coba mengirimkannya ke koran-koran.
Dia melorot lagi dalam genggaman tanganku. Aku sedang merasa memberitahukannya bahwa ini semua karenamu aku bisa menulis. Tapi dia malah terus berpindah dari samping kananku, ke samping kiriku begitu seterusnya.
Aku tahu dia merasa tersanjung oleh ulahku. Aku segera memerhatikan lekuk tubuhnya yang penuh dengan cindramata itu. Kenangan yang manis dalam ingatan.

Oh tidak alangkah terkejutnya aku. Kutemukan berbagai luka lebam di antara tubuhnya. Di punggungnya, di dada, di dagu, di kening. Luka pukulan benda tumpul. Hatiku gusar, siapa yang berani menyakiti tubuh mulusnya ini. Aku bersumpah ingin mematikannya dalam cekikanku yang lambat agar tahu rasanya kematian.

Aku ciumi luka-lukanya dan kutemukan kisah baru. Oh aku terjun bebas di antara payudaranya lagi. Hangus sudah segalanya kembali. Menuju malam yang hangat dalam perapian. Dan pada luka-luka di tubuh perempuan itu, aku menemukan diriku, bapakku, ibuku, temanku, pamanku, orang asing, dan orang asing yang tak kukenali sebelumnya.
***

Pagi. Begitu terbangun dia sudah tak ada, hanya ada mesin komputerku dan printerku yang menyala. Ada kertas berserakan di mana-mana. Oh dia – perempuan itu – telah melakukannya sebelum aku bangun. Dia telah mengambil haknya sebagai perempuan yang kupinang malam itu, dengan beberapa puisi sebagai mahar, pengganti kebahagian yang tak kukira akan kurasa. Dan kudapatkan dari dia kenikmatan tiada tara. Aku ingat lagi dia – perempuan itu – berkata dia harus pulang ke rumah pamannya pagi sekali dan harus membawa uang setoran, sebelum matahari mencuri segalanya darinya. Dan kini kulihat matahari sudah muncul lagi dengan sinarnya yang membawa cerita usang dalam hidup yang siap dijalani lagi seperti hari sebelumnya.

00.12 PM / 18 Juni 2008 Bandung

Selasa, 17 Februari 2009

Menggagas Sastra Bertipikal Madura

`Atiqurrahman
http://www.surabayapost.co.id/

Eskapisme kultural tengah melanda susastra Madura. Hal tersebut tampak dari keseragaman eksplorasi karya-karya yang diciptakan. Lacur yang terjadi, sastrawan-sastrawan Madura tak menyadarinya. Timbul tanda tanya: bagaimana nasib susastra Madura selanjutnya?

Marilah simak bersama. Dasawarsa terakhir susastra Madura dijumbuhi karya-karya yang bertipikal pesantren. Kreatornya kebanyakan alumni-alumni pesantren. Tema yang diangkat adalah problem keagamaan, misalnya, hubungan manusia dengan Tuhan, cinta pada Tuhan, dan keinginan bersatu dengan Tuhan. Selain tema tersebut, praktis tak ada tema lain yang coba dieksplorasi oleh sastrawan-sastrawan Madura.

Mengapa hal tersebut terjadi? Mungkin semangat jaman membentuk kondisi demikian. Mungkin ada kesepahaman tentang “apa itu sastra, agama, dan sastra-agama”? Mungkin juga, keseragaman ini dilatarbelakangi oleh kesuksesan sastrawan-sastrawan pendahulu yang memokuskan problem karyanya pada wilayah yang kudus tersebut. Dari deretan sastrawan-sastrawan Madura yang bisa dikatakan sukses meniti karir sebagai sastrawan dapat disebutkan. Misalnya, Jamal D. Rahman, Abdul Hadi W. M. dan Kuswaidi Syafi’i. Secara keseluruhan karya-karya mereka mengeksplorasi persoalan-persoalan yang bertumpu pada nilai religius dan perasaan religuitas.

Namun demikian, hal yang patut dikhawatirkan dalam perkembangan susastra Madura selanjutnya adalah situasi ekologi susastranya. Di atas telah disinggung, tak ada karya-karya susastra Madura selain yang bertemakan keagamaan. Dalam pengamatan penulis, hanya segelintir—untuk tidak dikatakan tak ada—sastrawan yang mencoba ruang alternatif selain dari eksplorasi ketiga penyair tersebut di atas. Adapun sastrawan Madura yang menjajal eksplorasi karyanya tidak pada wilayah keagamaan adalah Timur Budi Raja yang memaksimalkan tema puisinya pada wacana intelektual dan Ahmad Faishal yang puisinya berpusar pada dua tema, kematian dan sejarah.

Sepintas lalu, gejala keseragaman tema itu tak menimbulkan tanda tanya jika melihat kenyataan Madura sebagai salah satu kawasan pesantren dengan masyarakat santrinya. Justru sebaliknya, hal tersebut merupakan isyarat positif. Karya sastra tak pernah hadir dalam kekosongan. Karya sastra, bagaimanapun juga, membutuhkan sebuah latar. Secara personal, sastrawan yang mempunyai pijakan regional yang jelas dapat mengongkretkan dan mentransliterasikan tranpransi kata, kalimat dan wacana. Tekstual yang dihasilkan kerapkali berhasil merengkuh keutuhan karya.

Akan tetapi keseragaman eksplorasi tema, gaya dan bentuk pada sebuah ekologi susastra bukan berarti kepaduan, keselarasan atau keunikan. Keseragaman eksplorasi, yang salah satunya dapat dilihat dari tematik karya, merupakan gejala eskapisme kultural dalam susastra di tempat bersangkutan. Pengertian eskapisme kultural di sini merunjuk pada kehendak atau kecenderungan menghindar dari kenyataan kultural yang kompleks dengan mencari hiburan dan ketentraman di dalam khayalan atau situasi rekaan (fiktif) yang diyakini si pengarang.

Jika hendak mendapatkan gejala eskapisme kultural dalam susastra, kita dapat mengetahui dengan cara memerikan karya-karya yang dihasilkan, baik dalam antologi atau yang dimuat media massa. Dari situ dapat dilihat kecenderungan eksplorasi gaya, tema dan bentuk karya sebagai situasi rekaan si pengarang. Sedang dalam menentukan adanya eskapisme atau hanya kecenderungan sastrawan yang dilatarbelakangi semangat jaman tersangkut masalah keragaman eksplorasi karya-karya. Keberagaman ini sejalan dengan pola kultur yang bersifat kompleks. Jadi, ketiadaan aneka tema pada karya-karya pada suatu ekologi sastra berarti pengingkaran atau penyimpangan (pengarang) terhadap kompleksitas problema kultur setempat sebagai latar karyanya.

Dalam susastra Madura eskapisme kultural muncul dalam wujud keseragaman tematik karya-karya yang berkutat pada problem teologi. Fenomena ini merupakan sinyalemen buruk bagi perkembangan susastra Madura. Soalnya, satrawan Madura tampak obsesif pada agama (tertentu) sebagai realitas pokok di Madura. Pengingkaran atas kultur Madura yang kompleks mengaburkan panilaian para pembaca, terutama pembaca luar Madura. Tentu, pembaca dapat menangkap kejanggalan ini. Madura adalah wilayah kebudayaan. Sebagai wilayah budaya agama merupakan satu diantara sistem-sistem budaya yang lain, sosial, hukum, sejarah, bahasa, sastra dsb.

Untuk itu, dibutuhkan susastra Madura yang tak sekedar berkonsentrasi pada tema keagamaan. Akan tetapi susastra yang dapat mereduksi keutuhan lingkungan kultural Madura yang khas. Hal ini dapat dilakukan dengan mengeksploitasi bahasa, folklor, sosial, adat, politik, sejarah dsb.

Sastra Madura sangat membutuhkan karya-karya yang bertipikal Madura. Sastra bertipikal Madura bisa diproyeksiakan dengan mengeksplorasi: (1) bahasa/ikon khas Madura, (2) problem sosial Madura, (3) sejarah Madura, (4) folklor Madura dan (4) lanskap Madura.

Dalam khasana susastra Madura tematik puisi yang diusung Timur Budi Raja berada di luar kecenderungan sastrawan-sastrawan Madura. Tekstual sajak-sajaknya berkutat pada tema intelektual. Akan tetapi dalam pengkategorian ilmu sastra, tema intelektual tak berada dalam kekhasan. Intelektual bersifat universal. Tidak khas. Jadi sajak-sajak Timur berada di luar susastra Madura yang Khas itu. Ada juga penulis-penulis dari luar Madura yang mencoba memotret lanskap dan situasi sosial Madura, misalnya S. Yoga dan Mardi Luhung. Sayang, sajak-sajak mereka berhenti pada wilayah wacana, sekedar reportase. Belum merengkuh transparansi peristiwa-peristiwa kemaduraan.

Semestinya, tematik sastra yang diolah adalah problem kultur Madura yang kompleks itu. Tidak terjebak pada satu sub sistem budaya. Pemaksimalannya dipusatkan pada strategi tekstual lewat kata, frasa, klausa, kalimat, wacana dan ikon-ikon yang khas Madura. Eksplorasi yang mengarah pada kekhasan lokal Madura adalah sajak-sajak Ahmad Faishal dalam antologi Saronen Makrifat (2004). Walaupun ornamen tekstualnya terpusat pada tema kematian dan sejarah. Tapi keberhasilan Faishal mengongkritkan transparasi kata membuat kejernihan puitikanya menjadi khas.***

Pamekasan, 05 Januari 2009

Sajak-Sajak Abdul Wachid B.S.

http://www.korantempo.com/
Malam Setelah Turun di Jalan

"pergi, sayang," suaramu
"pergi, sayang," suaramu terlalu lembut untuk yang bernama keadilan tapi itulah embun yang nyalangkan siapapun agar tetap jaga di antara jemputan batang-batang tangan yang lebih baja dari baja

ke langit kota tiga detik menatap mungkin sama juga langit jantungmu deras dalam degup tapi sunyi saja yang hingar

seorang lelaki lebih biasa pada mulut peluru sehabis suara ditegakkan di siang di jalan-jalan. orang-orang khusyuk merobohkan bendungan nurani tapi batang-batang serdadu yang lebih baja dari baja "biarkan hidup tanpa cemas apa dan siapa Tuhan di hati di jalan rakyat!" jerit lainnya "bukankah serdadu sama lahir dari ibu kenapa yang tampak hantu melulu?"

ya, itu di siang tengah malamnya toh udara kelam mencium bau peluru "pergi, sayang..." istri cuma bisa ngelus rahimnya yang mulai bergerak-gerak perlahan di langit ada bermilyar mata meneteskan embun suatu saat akan bangkit turun di jalan-jalan, menumpulkan peluru dan serdadu



Ode untuk Penyair

Lelaki hitam itu Lagi di pintu senjahari. Badannya mengeras Menambah kemarau ranggas Seperti dulu. Wajah gagu Tapi mulut karatan itu toh berkata juga "Rambut janggut kemlaratan ini Tak kunjung terawat Seperti sajak-sajak, kusisir nasib!"

Tapi seperti dulu, yang gagu justru kami Badan keras itu di mata tinggal sepenggal Syair lagu melankolis Seperti tomat yang diiris

Kami mengenalnya di penghujung tahun penuh hujan Di pintu senjahari, kuyup hujan dan mimpi Dengan teh hangat dan pisang goreng Cerita ia pun berhalaman-halaman "Kesakitan ini memang kucari Istri dan anak kukhianati Gentayangan tak tentu tuju Mengepalkan tinju pada apa yang kutemu!"

Tapi itu tujuh tahun lalu. Yang gagu justru kami Kenangan toh tersentak oleh kaing anjing Berebut tulang. Lelaki itu datang untuk pergi Ada degup jantungnya. Tapi apa hidupnya berdegup? Ada sajak terbakar di jantungnya. Tapi apa ia sungguh penyair?

Lelaki hitam, seperti dulu, menghilang di ujung jalan itu Dan lampu-lampu dan jalan itu menyiapkan terang Barangkali di dadanya ada kota terakhir Semoga



Telepon

Mas, ini Adik Mas di mana? Dua buah pir mengeras Dimatangkan rindu tak berbalas

Ya, ini Mas Emas didulang waktu Antara kerja dan ruang tunggu Keringat terus-terusan diperas

Mas, ini Adik! Kapan mampir pulang? Khuldi yang ditanam dinihari Sudah siap dipetik esok pagi

Wah! Benarkah? Ada fatamorgana antara kalender Lelaki tentu tak keder Tapi bukankah tamu tak lewat jendela?

Ah, Mas. Ini Adik Kutunggu di malam-malam berhias Tapi, lima belas menit lagi, tidurlah Jaga jiwa dan tubuhmu baik-baik

Ya, terima kasih Lelakimu di antara kabut Rumah manis lembut, malam susut Gelak anak yang mendera sayang

(Telepon putus Sinar rembulan pupus Senyap merambat Jam dinding sekarat).

Rahasia Mustika

Sri Ruwanti
http://oase.kompas.com/

Ia ingin mengucapkan sesuatu. Mulutnya tak henti-henti bergerak. Namun suaranya seperti tertahan di tenggorokkan.

Berkali-kali ia mengerang seperti menahan rasa sakit. Ia hanya bisa terbujur di atas kasur. Sudah satu bulan Bulek Tum bertahan dengan kondisi seperti itu. Ia seperti mayat, tapi nyawa masih bersarang dalam tubuhnya. Tidak merasa mati, tapi juga tidak menikmati hidup.

Kabar yang santer terdengar, bulek menanamkan sesuatu ke dalam tubuhnya. Sesuatu yang membuat dia terlihat bercahaya, sehingga orang bagaikan tersihir bila melihatnya, menuruti apa yang diucapkannya tanpa ada pemaksaan.

Aku kasihan melihat kondisi Bulek Tum. Dia seakan benar-benar akan menjemput ajal. Aku sebenarnya malas mendengarkan gosip murahan berbau tahayul tentang Bulek Tum. Tapi aku juga sudah menyerah dengan hasil pemeriksaan medis yang tidak menunjukkan apa-apa tentang kondisinya. Akhirnya, aku meminta kesediaan Mbah Darmo, orang pintar di desa ini untuk melihat kondisi Bulek Tum.

“Bulekmu menanamkan sesuatu di dalam tubuhnya, dan itu harus dicabut terlebih dahulu agar jalan menuju ajalnya tidak tersendat,” begitu penjelasan Mbah Darmo.

Terus terang, aku kurang mengerti dengan penjelasannya. Seingatku, Bulek tidak pernah menjalani operasi apapun untuk menanamkan sesuatu ke dalam tubuhnya. Mbah Darmo tersenyum mendengar tanggapanku akan hasil terawang mata batinnya.

“Kendi…Kendi….kamu itu katanya orang terpelajar. Tapi kok ya cara berpikirmu itu terlalu sederhana. Pantes saja namamu Kendi, diisi hanya untuk dikosongkan kembali,” ia seperti sedang menyindirku.

“Lho, Kendi itu memang buat nampung, Mbah. Lagipula Kendi itu merupakan bentuk kerja sama yang baik antara unsur tanah dan air. Supaya bisa dimanfaatkan oleh manusia. Kalau fungsinya buat nampung, memang harus dikosongkan dulu tho Mbah? Kalau masih ada isi terus diisi lagi, yah….bisa meluber kemana-mana, Mbah,” balasku sambil terbahak-bahak.

Dia tidak membalasku, hanya wajahnya yang dingin seakan mengutukku. Aku terdiam, kupikir memang aku terlalu berlebihan. Tak ada yang pantas ditertawakan dari ucapanku tadi. Apa yang kulakukan hanya sekedar bentuk kemenangan atas usahaku membalas sindirinya. Dan seharusnya, itu kunikmati sendiri saja. Lagipula, tiba-tiba ada sedikit kekhawatiran bila ternyata dia benar-benar membalasku dengan manteranya. Maka, jadilah aku orang yang tuli, bisu, atau orang yang kehilangan akal seperti gosip tentang orang-orang yang mendapat bala setelah berurusan dengan Mbah Darmo. Aku jadi teringat perkataan Pak Mardi, tetangga kami yang menganjurkan agar Bulek Tum diterawang oleh Mbah Darmo.

“Bila Mas Kendi bertemu Mbah Darmo, satu hal yang mesti Mas Kendi jaga, u-ca-pan. Jangan sampai ada ucapan yang menyinggung perasaannya, Mas. Kalau sampai beliaunya tersinggung, jadi panjang urusannya. Yah….saya sih bukan sok ngajarin, cuma saya paham penyakit orang-orang sini yang meninggalkan desa dalam waktu lama," kata Pak Mardi.

Mulanya aku tidak begitu perduli dengan apa yang diucapkan Pak Mardi. Karena menurutku ia terlalu cepat menyimpulkan bahwa aku terjangkit penyakit yang sama. Tapi tatapan dingin Mbah Darmo sedikit menciutkanku untuk mengingat-ingat nasehat Pak Mardi.

“Lalu apa yang harus kami lakukan, Mbah?” aku mencoba mencairkan suasana dengan meminta petunjuk darinya. Aku harap usahaku ini bisa membuat aku terlihat lebih rendah hati di matanya. Supaya dia tidak jadi mengirim manteranya untukku.
“Yah….kita harus melakukan ritual pencabutan mustika yang tertanam di tubuh bulekmu itu,” jawabnya sambil menatap tajam ke arah Bulek Tum.
“Ritual?”
“Ya, bulekmu harus menyelesaikan urusannya sebelum ajalnya tiba.”
“Maksud Mbah?”
“Mustika itu yang menjadi urusanya. Mustika itu adalah urusannya di dunia, maka dia tidak boleh membawanya ke liang lahat.”

Aku mulai mengerti apa yang diucapkannya. Aku tidak ingin Bulek Tum terus menerus tersiksa. Maka, akan kulakukan semua ini semata-mata untuk membebaskannya dari siksa itu. Menyelesaikan urusan dunianya, mencabut mustika yang tertanam dalam tubuhnya.
***

Cuma aku dan ibu kerabat satu-satunya yang mempunyai hubungan darah terdekat dengan Bulek Tum. Sehingga, yang menimpa bulek Tum kali ini adalah tanggung jawab kami.

Sejak kepergian bapakku dan suaminya, tinggal kami kerabat Bulek. Bulek sendiri tidak mempunyai anak. Sehingga akulah pengganti anak-anak yang tidak pernah lahir dari rahimnya. Kesendirian Bulek tidak membuatnya menjadi lemah. Angin emansipasi berembus juga ke desa kami. Bulek menjadi orang yang cukup disegani. Dia pandai mengolah perkebunan dan berdagang. Tidak hanya itu, bulek juga dipercaya oleh warga desa menjadi pemimpin. Warga desa percaya bahwa Bulek Tum merupakan sosok pemimpin yang dapat merangkul warga.

Selain itu Bulek juga mempunyai konsep-konsep yang jelas dengan arah pembangunan desa. Dia terbuka dengan hal-hal yang baru, tapi tidak mentah-mentah menelannya. Sehingga apa yang disampaikan kepada warganya tidak menjadi sesuatu yang bias. Itulah yang membuat Bulek Tum tampak cerdas di mata warga desa. Sehingga dianggap layak untuk menjadi Kepala desa.

Bulek sudah dua periode memimpin. Pernah ia berniat mundur pada pemilihan yang kedua. Semata-mata untuk memberikan kesempatan kepada yang lebih muda. Namun warga desa belum ingin posisinya digantikan. Itulah yang diceritakan Ibu di sela-sela keterjagaan kami menjaga Bulek Tum.

Ibu sendiri sebenarnya agak menyangsikan cerita Mbah Darmo. Beliau tidak yakin bahwa telah tertanam sebuah mestika penyebar pesona di dalam tubuh Bulek Tum. Karena Ibu mengenal bulek sejak dia masih kecil. Menurut ibu, kecerdasan dan rasa percaya diri yang tinggi dari bulek Tum memang sudah tertanam sejak kecil. Sesuatu yang secara alamiah dimiliki dan semakin terasah seiring berjalannya usia. Bukan karena pemikat apapun. Tapi demi kebaikan bulek, ibu merelakan untuk mencoba jalan ini. Dan besok, Mbah Darmo akan datang untuk melakukan ritual pencabutan itu.
****

Kami sudah mempersiapkan segala yang dibutuhkan untuk ritual itu. Kembang tujuh rupa, kelapa gading dua buah, menyan dan kain putih selebar sapu tangan dengan keempat sisinya yang berukuran sama. Itulah syarat-syarat yang diminta Mbah Darmo. Seakan tidak percaya kalau Bulek Tum menanam mustika pemikat yang bernama Mustika Kencana Ungu di dalam tubuhnya. Yah, Mustika Kencana Ungu. Menurut Mbah Darmo, itulah jenis mustika yang ditanamkan dalam tubuh Bulek Tum.

Aku dan Ibu duduk di sisi kiri dan kanan ranjang tempat Bulek terbaring. Tak ada suara yang keluar, hanya mata kami tertegun memandanginya. Sesekali, air mata ibu pecah dari matanya yang sembab.
“Bulekmu orang baik, Ndi,” perkataan ibu memecahkan keheningan.

Aku tak menjawab, hanya menganggukan kepala tanda setuju. Hanya itu yang aku lakukan menanggapi kegelisahannya yang terlihat semakin menjadi di antara sesenggukannya. Aku berjalan keluar kamar, melihat wajah malam dari balik jendela di ruang tamu. Mbah Darmo belum juga datang. Kubakar sebatang rokok dan menghirupnya cukup dalam. Lumayan, aku bisa sedikit tenang. Belum sampai hisapan ketiga, kudengar pintu diketuk dan aku bergegas membukanya. Mbah Darmo. Aku tertegun, tidak langsung mempersilakannya masuk. Sampai akhirnya dia sadar akan kebingunganku.

“Sudah dipersiapkan?” suaranya yang dalam dan wajahnya yang dingin menghentakku.
“Oh, su…su..sudah, Mbah?” bodoh sekali aku terlihat gelagapan di depannya. Aku mempersilakan dia masuk. Seperti biasa, dia mengenakan pakaian serba hitam. Aroma tubuhnya yang khas menyan dan melati. Di tangan kanannya memegang kepala kendi. Yah, benda yang sama dengan namaku.
“Sudah bisa dimulai?” tanyanya.
“Silakan, Mbah,” jawabku.

Aku menarik pelan bahu Ibu, yang sedari tadi masih duduk di bibir ranjang. Kuajak dia untuk mundur sedikit ke belakang, agar Mbah Darmo dapat lebih leluasa menjalankan ritualnya. Kulihat Mbah Darmo mengangkat kepala Bulek Tum yang terbaring sampai posisi setengah duduk. Didekatkannya kendi itu ke mulut Bulek, dan Bulek mengecap cairan yang keluar dari kendi itu pelan. Bulek dibaringkan kembali. Selanjutnya, aku tidak ingin melihatnya. Kuajak Ibu untuk menunggu di luar kamar, membiarkan Mbah Darmo yang menyelesaikannya. Menyelesaikan urusan Bulek yang tidak boleh dibawanya ke liang lahat.
***

Dua minggu setelah kepergian Bulek, kami masih merasakan luka yang mendalam. Tidak banyak warga yang hadir menjelang acara pemakamannya. Cerita tentang susuk pemikat itu telah mengubur segala usahanya untuk memajukan desa ini. Sungguh tidak berimbang. Tapi aku coba untuk mengiklaskannya. Belum selesai aku mengurai kenangan tentang Bulek, dari kejauhan, kulihat Lik Gun memanggilku berulang-ulang sambil setengah berlari. Sepertinya, carik desa itu ingin menyampaikan sesuatu yang sangat penting.

“Ada apa Lik, sepertinya buru-buru sekali?” tanyaku.
“Apa mas Kendi gak berniat ikut dalam pemilihan kepala desa?”
“Kuburan bulek saja belum kering, Lik,” jawabku sambil tersenyum tipis.
“Tapi sudah ada yang mulai menyusun kekuatan, mas,” wajahnya semakin serius. Kali ini aku tidak tersenyum, tapi tertawa terbahak-bahak. Lik Gun mengerutkan dahi, seperti heran dengan tingkahku.
“Ini serius, mas,” kali ini nadanya lebih tegas.
“Aku juga serius, Lik. Kayak mau perang saja menyusun kekuatan. Lagi pula, memang harus ada yang menggantikan Bulek Tum. Biarkanlah mereka, Lik.”
“Tapi sampean yang dianggap saingan terberat mereka, mas,” kalimatnya cukup antusias. Kali ini aku yang membelalakkan mata, mengerutkan dahi. Rasanya aku belum melakukan apa-apa, berpikir untuk maju menjadi calon kepala desa saja tidak. Mengapa ada yang berpikir aku sebagai saingan. Lalu, aku iseng bertanya, “Kira-kira kalau aku maju nanti, siapa saingan terberatku, Lik?”
“Pak Mardi,” jawabya tanpa berpikir panjang.

Aku tidak menjawab. Hanya mengarahkan telunjukku ke arah rumah yang ada di sebelah rumahku. Lik Gun pun hanya mengangguk. Aku mengepalkan kedua tanganku. Kali ini, aku benar-benar akan menyusun kekuatan.

HSH-Tanjungpinang, 3 January 2009

Senin, 09 Februari 2009

Sajak-Sajak Binhad Nurrohmat

http://www2.kompas.com/
Alienasi perempuan semua orang

Kisut bibirmu menggambar selaput cahaya, mengelupas
dari sekujur laut pasang, hitamkan seluruh tanda.
Tangan-tangan lelaki menulis surat cinta
di pesisir basah dengan huruf-huruf besar.
Di dahan bakau kau gantung gaunmu, menyelam
bersama kura-kura, tenggelamkan debar jantung
meletuskan isyarat tak diharapkan.

Seperti laut, surat cinta melulu menunggu,
kalimat-kalimat aneh di sepanjang pesisir,
sebelum digerus arus.
Kau mengerti, cinta cuma ilusi yang diagungkan.

Dan seperti laut, tak ingin pasrah pada celetuk kecil
rasa sepi, juga hasrat iseng berbagi: lalu kembali
seperti laut, kehilangan jejak kering di pantai kemarin.

Warna bibirmu tak berubah, asingkan debar jantung.
Ratusan senja berlewatan
mereka terus menulis surat cinta, seperti arus,
dan percaya: mungkin tak singkat, kelak
isyarat lain tertinggal di sebutir pasir...

Jakarta, 2001



Roman Pelarian

Tak ada di sini gugup jantungmu
hanya kecut tubuh membekas di dinding
dan pekat jelaga pertarungan di batas kota.
Kau hitungkah pedih hidup-mati
saat api kertas puisi membakar jemari
dan sebelum tenda malam-malam kau robohkan diam-diam
seperti srigala mengunci lolongan untuk malam yang lain?

Guncangan besar membuat kau debu ringkih di pojokan.
Siulmu lemah dalam rimbun daunan jati
yang rontok awal pagi.
Jantan secangkir kopi dan getir tembakau
cuma ilusi gagah di senggang hari.
"Harap tenang, hidup tak ditulis untuk kalah-menang,"
pekikmu di perempatan kota dan tengkukmu hitam dendam.

Musykilkah semua kisah cuma kebetulan?

Terkenang obrolan lama, menjelma surga dingin
penggelitik senyum kecilmu di tanah asing.
Nasib tak terduga, menghunus belati
dan birahi bidadari.

Otot jantungmu akrab semua itu.

Jakarta, 2001



ZS

Kerut peta menjepit pekarangan kecil
berserak sobekan kertas dan jejak cemas.
Dari batas daratan berpasir
kau semat bijian gulma dan tanda angkuh
menjarah sari tubuhmu
mengering di pusat kota termangu.

"Tak akan pulang sampai kota bersih
dari nama-nama besar yang gusar.
Di puncak malam, memohon doa penghangus
rambati langit bersih
menggelegar dan jatuh di alun-alun kota,"
kataku di sebuah minggu pagi yang rapuh.

Matamu pancarkan sajak tak bertidur malam
berkilat merah seperti mata hantu
kangen bidadari usiran.
Di taman kota miris menatap langit
membaca garis takdir dan firasat yang khawatir.

"Mungkin batas itu suatu isyarat arif
lembut dan mengejutkan
saat seluruh kota sedih
dan satu barisan panjang lewati sisi teluk dan tanjung
mengenang sajak-sajak lama dengan duka,"
kataku menjelang minggu terakhir.

Jakarta, 2001



Cerita Luar Kota

Tanganku gemuruh menyentuh selarik sajak
mengiris diam-diam di balik kubah malam.
Jajaran tribune sembunyikan rembetan cemas
menatapi pertunjukan
terguncang dering sebuah perbatasan.

Cinta tak sepenuhnya kelakar
juga getar percuma di sebuah luar kota.
Kau tahu, tak setiap orang lepas jangkar
di bandar-bandar, sebab laut
larutkan iseng yang menyergap di luar maut.

Di dinding kapal, rindu tumpul dan aus
loncati amukan ombak di ujung geladak
lalu mampus!

Jakarta, 2001.

Sastra, di Antara Gender dan Spiritualitas

Sihar Ramses Simatupang
http://www.sinarharapan.co.id/

Jakarta — Itulah kenangan seorang gadis cilik. Gadis cilik itu kini telah menjadi dewasa dan menulis berbagai kisah dalam bentuk novel. Dia bernama Camilla Gibb. Sastrawan yang tinggal di Toronto, Kanada ini menemukan dunia lain lewat dialog lisan. Sebuah pandangan yang dia dapat lewat komunikasi.

Gadis kecil itu menerima tamunya - seorang ibu yang menjual roti. Roti yang enak dan hangat. Lalu gadis kecil itu bertanya asal si ibu. Si ibu menjawab, “Saya dari Palestina?” Apa itu Palestina? Perempuan itu pun menjawab padanya, “Semacam sebuah negara...”

“Sastra merupakan cara untuk membuka dunia. Bukan stereotipe. Sastra dapat menjadi alat untuk menunjukkan rasa kasih sayang dari perbedaan. Sastra dapat mengubah persepsi terhadap orang lain,” tutur Gibb.

Dari negeri yang berdwibahasa itu–Inggris dan Prancis, Gibb telah menerbitkan tiga novel, yaitu Petty Details, Mouthing the Words dan Sweetness in the Belly. Novelnya yang terakhir berkisah tentang perjuangan perempuan muslim bernama Lily dalam mempertahankan keyakinan dan komitmennya kepada keluarga saat menghadapi tantangan pribadi, sosial maupun politik yang memberatkan.

Novel ini juga dilatari kekaguman Gibb pada ketabahan kaum perempuan di tengah peperangan di berbagai tempat, yang menurutnya merupakan simpati yang dia ungkapkan tanpa melihat perbedaan latar dan warna kulit.

“Rasa itu merupakan gerakan yang menjadikan jarak, perang dan perbatasan bukan lagi permasalahan,” ujarnya.

Gibb kemudian menyebutkan dua persen penduduk Kanada secara keseluruhan adalah muslim, di antara Hindu, Yahudi dan banyak lagi hal yang memperlihatkan keberagaman. Gibb menyebutkan hal tersebut jangan dilihat dari angka statistik, tapi hal yang memperlihatkan bahwa ada kondisi multikultural di masa lampau di negara ini.
Jauh sebelum 11 September – yang sempat mempengaruhi pandangan timur dan barat – Gibb ingin mengetahui apa yang terjadi di dunia. Dia belajar tentang antropologi, belajar tentang dunia Arab di Kairo, apa itu Islam sebenarnya terutama di tengah negara Islam yang lebih besar.

Eksistensi Perempuan

Dialog bertajuk “Perempuan dan Agama dalam Sastra—Pengalaman Indonesia dan Kanada” mengundang Camilla Gibb sebagai pembicara. Selain Camilla, acara yang berlangsung Kamis (22/3), dua perempuan sastrawan Indonesia, Ayu Utama dan Abidah El Khalieqy, pengamat Maman S Mahayana dan moderator Gadis Arivia.

“Tapi apa yang terjadi, perempuan masih saja dikurung secara normatif sebagai penunggu rumah, pengasuh anak dan ‘tenghak-tenghuk’ di depan tungku api. Bergelut dengan suara riuh dan sumpah serapah pasar,” ujar Abidah yang menulis novel Geni Jora dan menjadi pemenang Sayembara Penulisan Novel 2003 Dewan Kesenian Jakarta.
Dalam makalahnya, Abidah menulis: Siapakah sesungguhnya yang mempengaruhi realitas demikian? Dalam konteks Islam, Fiqh-lah yang paling berpengaruh. Karena fiqh sesungguhnya merupakan respon atas realitas persoalan sosial, yang konsekuensinya ketika persoalan sosial mengalami perubahan, maka fiqh juga harus berubah. Sebagaimana dalam tokoh Annisa dalam novel Perempuan Berkalung Sorban, perempuan akan terus bertanya, seperti Tuhan akan menanyakan kelak, atas alasan apa eksistensi perempuan dikubur hidup-hidup. Dosa apa yang telah mereka perbuat.

Bagi Ayu Utami, persoalan dasar yang menjadi penyebab penulis perempuan lebih sulit menggarap tema universal (seperti tema sosial, politik dan ekonomi dalam karya sastra, red), ketimbang masalah yang partikular karena penyebabnya adalah perempuan nyaris selalu spesifik dan lantaran persoalan perempuan terletak pada pengalaman tubuhnya. “Bukan pengalaman ide-ide belaka. Sebab, tubuh perempuan adalah medan penguasaan masyarakatnya. Hubungan kekuasaan ini bukan hanya berbasis gender, tetapi bisa berlatar kolonialisme,” kata penulis novel Saman dan Larung ini.

Sedangkan Maman S Mahayana kemudian menjelaskan isi makalahnya yang bertema “Mencari Perempuan dan Agama dalam Novel Indonesia”. Maman menyebutkan bahwa dalam sejarah, kolonialisme Belanda, Jepang, Orde Baru tegangan politik ikut mempengaruhi wacana agama dan perempuan dalam kesusastraan Indonesia. Dia kemudian menyebutkan beberapa jalur dalam kesusastraan Indonesia—seperti juga bahasa Indonesia—yang melalui tiga jalur perkembangan.

Pertama melalui penerbit swasta terutama yang dikelola oleh golongan peranakan Tionghoa belakangan golongan pribumi misalnya Hamka dan Helmi Yunan Nasution yang menerbitkan Pedoman Masjarakat (1935) juga Dian Rakyat yang didirikan oleh Sutan Takdir Alisjahbana yang menerbitkan novel Belenggu karya Armijn Pane. Jalur kedua, melalui media massa, surat kabar dan majalah yang pada media massa terbitan abad ke-20 yang melahirkan beberapa penulis wanita. Ketiga, melalui penerbitan Balai Pustaka yang merupakan bagian dari lembaga kolonial Belanda.

Pada Balai Pustaka muncul tiga pengarang wanita yaitu Paulus Supit, Selasih (nama lainnya Sariamin, Seleguri) juga pengarang Hamidah (Fatimah Hasan Delais). Tokoh utama perempuan selain pada karya Paulus Supit, kemudian terkesan jatuh sebagai pecundang. Selain itu, Maman menyebut banyak nama penulis perempuan lainnya hingga dekade terakhir dengan karakter dan fenomenanya. Seperti terhadap problem masalah di dalam sastra masa kini, yang dia tanggapi secara subjektif lebih kepada gender dan bukan lagi persoalan kualitas. “Mengapa persoalan gender yang dijadikan isu dan bukan peningkatan kualitas,” papar Maman.

Lhok Samawi

Abidah El Khalieqy
http://entertainmen.suaramerdeka.com/

TENTANG cinta? Aha! Telah berapa windu aku hidup di alam asing di sebuah negeri tanpa matahari berkota melompong tak ada telinga tak ada mata tak ada hati tempat kita merasa sebagai manusia. Dan kau bilang mau datang ke rumahku? Di mana? Coba katakan! Adakah rumah tanpa alamat nirkampung nirkota?

"Aku mau ke kamu. Di mana saja," kau bilang.

Tapi aku tak di mana-mana. Pemburu sunyi cuma. Aku sedang mendengarnya; alastu birabbik qultu balaa? Sunyi adalah sehamparan bening tempat aku mencari wajahku. Kau tahu aku amnesia. Bertahun sudah aku lupa namaku, bentuk wajahku, koleksi baju dan kaset langka yang dulu bikin cemburu. Juga film-filmku. Pun puisi-puisiku. Siapa mereka? Aku pikuni semua-mua tak ada sisa.

"Masih ada kamu. Kuingin itu," katamu.

Aku? Akukah itu yang berambut gondrong dan lupa nyisir selalu. Berjalan tanpa halte. Berlayar tanpa dermaga. Aku melayang di luar atmosfer bumi, Sayang! Jangan cari aku.

"Kau melihat tanpa mata. Mendengar tanpa telinga. Kau berjalan tanpa kaki. Aku ingin ketemu kamu."

Ah! Lupakan aku. Lebih cepat lebih bagus. Aku tak seperti yang kauduga. Cuma rerubuhan berlumpur jelaga. Ini tubuh hanyalah dokumen mimpi buruk berpuluh tahun dikibul pesulap kondang. Tak ada madu. Tak ada legen. Tinggal ampas dan sepah yang dibuang, Sayang! Pandang aku dari jalan ini. Dan kau akan lari. Melambaikan tangan dan goodbye.

"Aku akan berlari mengejarmu!"

Percuma! Aku tak ke mana-mana. Ini zaman boleh ngebut namun dingin aspal tetaplah tampangku. Karena buta. Aku tak mampu melihat apa pun. Juga kecantikanmu yang sohor itu. Mereka bilang matamu seperti bintang kejora. Pengarung laut merinduimu untuk hitungan peruntungan yang besar. Para pujangga melafalmu dengan bibir gemetar. Teman-temanmu, sahabat dan pengagummu menderap pepujian akbar. Namun aku hanyalah sesosok terkapar! Yang sial dan nanar!

Aku berjalan tertatih bak siput sakaratul maut. Lalu kancil-kancil menertawaiku. Berpuluh kali mereka mendahuluiku. Beratus kali meninggalkanku tergenang dalam masa lalu. Mungkin telah ribuan kali menertawakan jogging-ku yang tak usai-usai. Tak ada jalan lari, Sayang! Mereka mengepungku. Kancil-kancil berubah menjadi kampret yang mengerat inci per inci hutanku. Dicucup pula laut dan tambang minyakku. Juga perawan-perawanku. Aku sekarat persis di seberang lumbung bumiku yang kemilau. Inilah kisah Teluk Samawi. Jantung negeri petrogas yang kolaps diisap para zombie. Compang-camping segitu menekan. Bahkan tak ada di dunia, pengemis berjajar di bandara. Hanyalah di sini, Sayang! Di negeri penghasil minyak bumi dari lima terbesar di dunia.

"Beri aku kesempatan menatapmu."

Kau tak akan kuat. Aku tak ingin mengucur-deraikan air matamu. Cukuplah di sini berhujan tangis. Kota yang disesak kebodohan. Bikin tugu dan Freeport sepenuh kota lalu kunci dengan bedil. Maka, mati itu lebih nyaman. Hidup yang tercerabut dari akar. Anak-anak bermain dedaun gugur. Kerontang. Gunung-gunung menangis. Ladang kami sesenggukan. Burung-burung tak punya jalan pulang. Dan peta yang digulung ombak hitam.

"Biarkan aku menjamahmu."

Barangkali tidak sekarang. Barangkali ada bandul jam yang mengabarkan persuaan. Barangkali dari masa silam atau kurun mendatang, entah di mana kita bakal berjumpa. Barangkali di negeri atas angin tak berbatas awan. Barangkali saja.

"Baiklah! Aku berangkat menujumu!"

Jangan sia-siakan usia oleh mimpi keras kepala, Kekasih! Aku tak ada. Bagaimanakah cara menjumpai -yang tak ada? Sudah lama aku hilang. Klandestine. Bersama hilang para gigiku, hilang pula wajahku dari halaman buku. Tak ada sesiapa di sini. Kosong. Ini kota mati. Hanyalah tubuh-tubuh yang bergerak ke sana kemari, tanpa kepala. Beratus purnama kami raib. Dihalau taring-taring dicakar para anjing. Anjing-anjing yang mengaing.

Pesakitan yang abadi puasa ini, tak kuat muncul dan melawan. Tak mampu aku berteriak. Karena pita suara sudah dipotong oleh mereka empunya anjing loreng. Jika sesekali kami mendesah, desahan itu bakal teredam gelegar meriam. Kalah oleh amunisi yang mendesis bagai ular kobra. Bak dalam kardus pengap, kotak pandora, napas kami megap-megap oleh lubang kecil yang juga penuh mata raksasa. Lidahku putus oleh klakson yang tak terfatwa hukumnya. Klakson rimba.

"Paling tidak. Aku bisa mendengar napasmu!"

"Atau menatap sendumu."

"Sungguh! Di manakah nyaringmu yang bul-bul itu? Segitu kangennya aku..."

Nyaringku pada masa lalu. Dulu sekali, kala seribu mentari nancap tombak jingga di kota ini. Rencong agung yang tersemat di pinggang. Ayat-ayat ditebarkan. Bumi yang hijau dan panen raya. Gadis-gadis bercindai panjang. Bulan penuh di malam-malam mendaras ilmu. Para tua berhikayat dan kami menyimak penuh hikmat. Meunasah berkibar menyibak langit. Kami melenggang dalam kemegahan. Kini segalanya menyilam. Sebentuk kenangan cuma.

Tak ada lagi suara kini. Ini musim tak ada cerita. Matahari tidur. Awan hitam berarak di ubun-ubun. Ayat-ayat menjadi iklan para pejabat kapitalis. Bumi yang merah oleh leleran darah. Amis!. Kami panen tangis dan tadarus luka. Para gadis cacat jiwa. Para yatim dingin dan lapar mengetuk pintu langit, menggedor Arsy Istawa. Di ujung sana mereka berpesta. Kami mendelong depan pintu barak. Plonga-plongo kehabisan frasa.

Maka lupakan aku, sayang!

?Lupa? Bahkan andai kau tak pernah ada, aku akan mencari yang sepertimu. Begitu abadi dukamu. Jibril pun gemetar oleh tangismu. Biarkan aku merengkuhmu?

Ah! Kamu masih seperti yang dulu. Tekad tinggi dan kepala batu. Andainya kita boleh berandai. Misalkan kita boleh bermisal. Kalau saja, sayang! Kalau saja aku ini pangeran bermahkota. Dan jari-jariku punya kuasa. Lidahku kuat dan fasih menembus pesta rimba yang tuli. Seperti penyair yang mengajari raksasa bahasa manusia. Akan kusulap rimba raya menjadi negeri yang indah penuh ampunan-Nya. Tak ada anjing tak ada buaya. Apalagi longisquama. Tak ada clurut yang mengerat perbendaharaan negara dan melarikan diri ke negeri tetangga lalu bersangkar di sana dengan rakusnya membetot separoh dari lumbung tuan rumah.

Tak ada lain, sayang! Palu-palu menjadi tumpul di gedung pengadilan. Sudah lama para clurut mengembara seantero rimba dan Semar mesem membiaknya kian raksasa. Sekalipun ia suka pergi jumatan ke Istiqlal, ia bukanlah Abid tapi Brutus mendhem ora sudi mikul. Ia ternakkan clurut secara massal dan sistemik, persis di halaman tengah istananya. Lalu para clurut ditebarnya menyeluruh, dari pucuk syaraf sampai pelosok kaki. Pesta raya yang tak ada dua di jagat bumi. Lihat betapa tambunnya mereka, mengantongi 600 trilyun dalam lambungnya. Bahkan Karun tak sampai seperseratusnya.

Lalu rakyat kebagian gempa, sayang! Puting beliung dan banjir bandang. Sejuta asap mengepul dan lumpur panas memburai. Udara sumuk dan gerah menjarah nafasmu. Tak tahan. Kau lari ke puncak gunung dan dilempar pijaran lava. Rakyat panik mencari samudra. Tapi ombak hitam bangkit dari tidur lautnya. Tegak tiga tombak. Laju gulung keruk. Satu kilometer permenit. Laut mencium darat, menggulung peta berikut peradabannya. Meninggalkan sunyi maha ngungun semesta.

Dan aku bisu!

Rontok gigi lidah kelu.

Aha! Jangan berandai lagi pada pangeran dan mahkota. Ini zaman buruk bagi imaji. Bahkan mimpi pun pakai disensor. Tigapuluh tahun disesak perang adalah musim seulanga gugur di perut Hawa. Namun tak gugur jua. Adakah waktu bagi cinta?

"Tak ada lain. Cinta bakal memberimu tangga naik. Kenakan sayapnya dan mari terbang bersama!?

Ah masa? Aku tak punya strategi mendatanginya. Tak kumiliki perangkat dan aku....ku kalah, Kekasih!

"Cinta itu serupa kemenangan. Ia datang dan pergi apa adanya. Tak acuh pada kalah atau menang. Begitu sederhana. Namun ia perkasa. Tak tumbang-tumbang ia oleh gempuran masa."

Jika begitu.

"Bukan jika, tapi nyata!"

Alangkah pahit kenyataan ini. Sayapku patah mustahil tumbuh sesudahnya. Meski kau paket lagi cinta, aku tak kuat menyambutnya. Maka biarkan ia mengabadi dalam sumur keindahan mata Yusuf. Biarkan para musafir menimbanya, mencecap segar dari kucuran airmata. Aku permisi. Maaf! Kubawa serta namamu menuju Ashabul Kahfi.

"Memangnya ada apa di situ, Cintaku?"

Ada Rahasia.

Salamu'alaik!

Yogyakarta, 2006

Minggu, 08 Februari 2009

Puisi-Puisi Mahwi Air Tawar

http://sastrakarta.multiply.com/
Di Malam Lain Pada Sebuah Ujung

Malam pertama: kita bertemu di sela waktu
menyibukkan jarumnya pada setiap putaran
lalu melelehkan gerimis dari kisi jendela
tempat kamu gantung jam dinding

tahukan kamu? tirai jendela rumahmu
(hadiah ulang tahun, dari jejak usia yang fana)
waktu tak selalu merindukan tidurmu
dan terus bergerak mengarak nafasmu
melompat ke luar pagar tanpa kau duga
melewati jedah istirahatmu yang fana pula

Malam kedua: kita saling membuang pandang
ke bubungan

entah kapan, matahari melucuti lapisan awan
tak perlu lagi menunggu ketukan berulang
tanpa harus selangkan pandang
pada busur jam yang terus memburu jejakmu
di jalan setapak bercabang
kita mesti ke luar
meniti keluh: meski peluh membengkakkan sel tubuh

di malam yang lain: kita bersepakat
menyulut api, lalu memadamkannya
saat waktu menggetarkan tangga rumah
yang belum kita perbaharui warna catnya

jogja, 2006



Metamorfosa

semenit, seusai perjamuan; ada yang merayap dari sudut
retak dinding rumahmu, kau diam di sebalik pintu, terpaku
saksikan pelepasan para tamu sesudah melepas penat
kau hitung jejak satu-satu

kuyakini tak ada yang tertinggal, detak jam tanggal
tepat pukul satu ada yang ganjil, bisikmu
nafasmu, barangkali
kau pun membandingkannya dengan langsir matahari
ada yang menyusup dan berbisik lewat bebayang
semenit lalu; ke mana nafas berhembus?
kau diam menghitung jejak
tiada sisa
hanya denyutmu singgah di setangkup roti sisa perjamuan
pun di sebalik dinding rumah tatapmu tambat
dengan segala ingatan kalap, dan semenit
kau terasa kehilangan segala sesuatu yang tak nyana kau tunggu
rumah singgah, adakah telah menampung segala ingatan?

ngijo/jogja-rumahpoetika, 2006-2007



Dendang Cinta
Lima Belas Purnama

i

memantrai hari-hari dengan segenap
rahasia hembus nafas. ada yang mengapung dari ceruk laut
menjaring cahaya purnama. bukan percik api tenung. tapi kilau karang-
sesaat mengapung mengarak riak menuju muara tempat sampan dikandaskan
oh, dendang cinta lima belas purnama. saksikanlah, berdiri di tepi pantai
memahat sepi, membidik arah angin: agar asin garam lebur pada sisik kulitku-
kulitmu

agar cahaya purnama tumpah
di simpang jalan tak berujung
yang senantiasa bingar oleh erang panjang
bukan dendang cinta lima belas purnama
namun letih lantaran panen berujung malang
dan mengapa kita begitu enggan menabur bunga persembahan
di halaman panjang
rumahku
rumahmu
sebelum purnama diarak kabut
dan upacara kematian dilangsungkan?


ii

berdiri di tepi pantai, bersedekap menghimpun nafas ombak
dalam gegas langkah penabur kembang
malam semakin panjang
mengendap di gubuk-gubuk
persingahan para nelayan
ada yang bersijingkat saat angin terpintal
Dari sela tungku api ikan pindang
menisik dalam derap langkah
menoreh kisah metafora luka
tubuhku
tubuhmu
sebelum rahasia semesta
terjaring jala cinta
dan dendang cinta lima belas ditembangkan

jogja, 2007



Biografi Sunyi

sunyi, angin mensedekapkan sepi
abjad-abjad berlesatan selepas
kidung kematian didengungkan
huruf-huruf basah
nafasku-
nafasmu
hanyut dalam jejak rahasia
yang fana
pasrah-
berserah
di lubuk waktu
tanpa gumam
sebelum malam
mensedekapkan kita
pada kalam subuh
pagi, tiba-tiba menepi
dalam semadi waktuku
yang fana

ngijo, 2007



Penghujung Musim

hujan turun
di simpang jalan
bulan dihimpun angin

di tegalan
seorang lelaki menggigil
mengais tangis
hujan mengelus ubun-ubun: diam-diam
bulan menuntunnya ke ujung malam

lelaki itu, besijingkat
sekarung rumput ia jinjing
tanggalkan ladang dan semak
menghimpun harap
panen jagung tak berujung malam

ngijo, 2007

Sabtu, 07 Februari 2009

Puisi dan Batin Kebudayaan

Binhad Nurrohmat
http://www.jawapos.com/

Kamus, tata bahasa, mesin cetak, telepon, dan internet memperpesat pergaulan dan perkembangan kebudayaan modern. Pada masa lampau, jarak geografis dan perbedaan bahasa menjadi kendala interaksi antarmanusia dan kebudayaannya, tapi kemajuan peradaban membuat bentangan jarak geografis bisa disambungkan oleh teknologi komunikasi dan hambatan perbedaan bahasa dapat dijembatani oleh penerjemahan. Teknologi komunikasi memungkinkan dan mempercepat interaksi; dan penerjemahan membuka cakrawala pengetahuan antarmanusia dan kebudayaannya --buku ini salah satu contohnya.

Penerbitan buku multibahasa Antologia de Poeticas (Kumpulan Puisi Indonesia, Portugal, dan Malaysia) ini merupakan keluhuran yang melantari tiga bangsa dan kebudayaannya berhimpun dalam sebuah buku. Buku ini bermakna bagi perjumpaan dan pemahaman antarbangsa dan kebudayaannya, bahkan memungkinkan persuaan antarbatin manusia lantaran watak puisi menyibak dan menyembulkan kedalaman dan keintiman perasaan manusia, dan melalui puisi (meminjam puisi penyair Portugal Alexandre O Neil) membuat ''kata-kata mencium kita seakan bermulut''.

Indonesia dan Malaysia punya banyak persamaan kebudayaan, kedekatan geografis, dan pada masa silam pernah bersentuhan secara mendalam dengan bangsa Portugis. Karenanya puisi-puisi tiga bangsa ini bisa punya beban tak ringan. Sebab Indonesia dan Malaysia pernah dijajah oleh Portugis, Indonesia pernah berkonfrontasi dengan Malaysia, dan hubungan diplomatik Indonesia-Portugis pernah putus lantaran kasus Timor-Timur, sehingga puisi-puisi dalam buku ini bisa ''diperankan'' tak semata sebagai karya sastra dan representasi khazanah kesastraan masing-masing, tapi juga medium diplomasi kultural-politik.

Puisi-puisi dalam buku ini bisa dijadikan bahan representasi kesastraan bangsa-bangsa itu dan menjadi referensi budaya untuk saling bergaul, mengetahui, serta memahami. Kecermatan representasi itu akan turut membentuk kecermatan pergaulan, pengetahuan, dan pemahaman kesastraan dan kebudayaan antar-bangsa-bangsa itu.

Dalam buku ini representasi mengenai perpuisian Portugis menampilkan karya 50 nama penyair dari Raja Dinis (lahir pada 1265) hingga Jose Luis Poixoto (lahir pada 1974). Representasi mengenai perpuisian Indonesia menyebutkan 52 nama penyair sejak Hamzah Fansuri (hidup pada abad ke-16) sampai masa Marhalim Zaini (lahir pada 1976). Sedangkan representasi mengenai perpuisian Malaysai membubuhkan 16 nama penyair dari A. Samad Said (lahir pada 1925) hingga Rahimidin Zahari (disebut dalam biodatanya sebagai budayawan muda Malaysia, tanpa keterangan tahun lahir). Jumlah nama penyair dan rentang generasi para penyair bukan jaminan kelengkapan representasi perpuisian maupun ukuran mutunya. Peta perpuisian adalah jejak estetika, bukan cuma deretan nama-nama penyair.

Introduksi dan pembahasan mengenai perpuisian Portugis oleh Maria Emilia Irmler dan Danny Susanto menyebutkan nama-nama penyair Portugis beserta detail estetika perpuisian mereka sehingga peta perpuisian Portugis tampil relevan, esensial, dan meyakinkan. Melalui introduksi dan pembahasan itu lanskap historis dan perkembangan perpuisian Portugis memberikan informasi yang bisa membangun pengetahuan dan pemahaman mendalam dan berharga tentang perpuisian Portugis masa lampau dan kini.

Introduksi dan pembahasan mengenai perpuisian Indonesia oleh Maman S. Mahayana di sana-sini menyentuh perkara estetika, tapi masih berbaur dengan menimbang representasi etnisitas atau kultural penyair. Dan urusan representasi etnisitas dan kultural itu pun dijalankan dengan ketakkonsistenan, misalnya tak melibatkan puisi Mardi Luhung dan puisi Goenawan Mohamad yang mewakili kultur pesisiran, puisi Tan Lioe Ie yang menjadi representasi kultur Cina Peranakan, dan puisi Remy Silado yang menawarkan budaya pop dalam puisi Indonesia.

Goenawan Mohamad dan Remy Silado juga nama penting dalam perjalanan estetika perpuisian Indonesia. Melewatkan nama-nama itu berarti tak sekadar tak menghadirkan nama mereka, melainkan juga mengurangi bagian penting kelengkapan representasi budaya dan estetika perpuisian Indonesia.

Sedangkan introduksi (dan tanpa pembahasan) mengenai perpuisian Malaysia oleh Jamian Mohamad dan Maria Cristiana Casimiro memberikan informasi yang terlalu ringan dan minim untuk buku sepenting ini.

Introduksi dan pembahasan mengenai perpuisian itu merupakan bentuk pertanggungjawaban menghadirkan buku ini ke khalayak. Puisi memang bisa berbicara sendiri, tapi bila introduksi dan pembahasan yang menyertai puisi punya kekurangan di sana-sini malah akan membebani puisi dan merusak atensi khalayak.

Keluhuran yang bisa diemban buku semacam ini tak mudah meraihnya. Selain urusan representasi, introduksi, dan pembahasan mengenai perpuisian tiga bangsa itu, faktor penerjemahan juga merupakan perkara penting yang menentukan mutu atau keberhasilan kehadiran buku ini. Perbedaan bahasa bisa diatasi oleh penerjemahan, tapi hakikat puisi bukan sebatas bahasa (kata, gramatika, dan semantika). Puisi punya nuansa dan gaya khas serta kerap mengandung makna samar dan pelik.

Menerjemahkan puisi adalah menerjemahkan bahasa sekaligus batin kebudayaan yang membentuk atau melatarinya. Menerjemahkan puisi butuh kecakapan dan juga keberanian. Kekhawatiran yang timbul dalam penerjemahan puisi merupakan perkara klise dan klasik. Penyertaan puisi dalam bahasa aslinya dalam buku ini menjadi ''solusi'' yang bisa meminimalkan risiko penerjemahan.

Buku semacam ini bisa menggaulkan sebuah tradisi puisi dalam lingkungan yang lebih luas atau mendunia serta menjadi ajang yang memungkinkan untuk bisa saling-belajar. Ketertutupan sebuah tradisi puisi di tengah khazanah-khazanah perpuisian dunia bisa dibuka melalui penerjemahan, sebagaimana pandangan Jose Saramago bahwa ''Sastrawan dengan bahasanya menciptakan sastra nasional. Sastra dunia diciptakan oleh penerjemah.'' (*)

*) Penyair tinggal di Jakarta

Judul Buku: Antologia de Poeticas
(Kumpulan Puisi Indonesia, Portugal, Malaysia)
Penyusun: Maria Emilia Irmler dan Danny Susanto
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama, Jakarta
Cetakan: Pertama, 2008
Tebal: 424 halaman

Kajian Sastra dalam Masyarakat Indonesia

Aprinus Salam
http://jawapos.com/

Dalam sejumlah kesempatan, sering muncul pertanyaan apa hubungan kajian sastra dengan masalah-masalah yang dihadapi masyarakat Indonesia? Pertanyaan tersebut tentu perlu mendapat tanggapan serius, bukan saja berkaitan dengan relevansi kajian sastra terhadap masyarakat, melainkan pula terhadap orientasi dan masa depan ilmu dan kajian sastra itu sendiri.

Tidak dapat dimungkiri masih sering muncul pertanyaan apa yang dapat dipelajari dari sebuah puisi, cerpen, atau novel. Latar belakang pertanyaan tersebut muncul karena masih terpeliharanya asumsi dan persepsi bahwa mempelajari puisi seolah mempelajari keindahan olah kata. Atau mempelajari novel seolah mempelajari sebuah cerita fiktif, cerita yang mengada-ada, yang hampir tidak berhubungan dengan fakta-fakta dalam realitas kehidupan. Itu pula sebabnya, kemudian muncul pertanyaan, setelah mempelajari sastra, atau lulusan sarjana sastra itu bisa bekerja di mana? Atau instansi apa yang dapat menerima sarjana yang lulus karena mempelajari puisi, cerpen, atau novel?

Di Indonesia, pertanyaan tersebut tentu tidak sepenuhnya salah. Hingga hari ini, pelajaran dan pengertian sastra (terutama di SMP dan SMA), masih bergerak dalam penapisan struktural. Bahkan beberapa kurikulum di perguruan tinggi pun masih ''mempertahankan'' paradigma itu sehingga persoalan sastra seolah bergerak hanya dalam koridor tema, penokohan, latar, alur, sudut pandang penceritaan, gaya bahasa, dan sebagainya. Pengetahuan itu dipelihara, disimpan, dan diteruskan sehingga para pelajar (dan masyarakat) masih ''berkeyakinan'' bahwa persoalan sastra tidak lebih dari itu. Yang mengherankan, sejumlah buku (teori) yang belakangan terbit tentang kesusastraan masih meneruskan tradisi itu.

Memang, penapisan struktural penting karena bagaimanapun teori itu menjadi dasar bagi pengetahuan kesusastraan. Masalahnya, teori-teori struktural justru mulai tidak relevan karena tidak menjelaskan sejarah, konteks, dan sosiologi kehadiran sebuah karya sastra. Teori struktural juga tidak meletakkan substansi karya sastra sebagai sebuah karya yang mampu mengemas persoalan manusia dan masyarakat secara esensial. Hal yang dimaksud sebagai sesuatu yang esensial adalah bahwa berbagai persoalan faktual yang dihadapi manusia dikemas dalam suatu ''abstraksi universal'' sehingga ''fakta cerita'' (fiksi) menjadi sesuatu yang mampu menelanjangi hakikat persoalan manusia.

Belakangan ini, mengingat sejumlah persoalan yang semakin runyam, relevansi dan kontribusi kajian sastra semakin dipertanyakan dalam ikut memikirkan masalah yang dihadapi masyarakat Indonesia. Masalah-masalah itu antara lain, seperti kita sudah sangat tahu, masalah kemiskinan, kebodohan, dan ketertinggalan. Dalam perspektif yang lebih spesifik terdapat juga masalah korupsi, ketidakadilan dalam berbagai bentuknya, konflik dan kekerasan, kesemrawutan sosial, keuangan yang mahakuasa, dan sebagainya.

Memang, pertanyaan itu terkesan tidak adil ketika sastra, pengetahuan yang dianaktirikan, harus menanggung beban masalah sebesar dan seberat itu. Akan tetapi, harus ada sikap-sikap yang bersifat ideologis dan berpihak terhadap masalah bangsa dan negara, ketika ilmu-ilmu lain, seperti ekonomi, politik, atau teknologi, justru terlibat dalam persoalan (dan penyebab) kemiskinan, kebodohan, atau bahkan ketidakadilan.
***

Persoalannya adalah bagaimana sesuatu yang esensial tersebut dikaitkan dengan persoalan yang dihadapi masyarakat Indonesia. Dalam hal itu, hal yang perlu dipahami adalah bahwa karya sastra merupakan ''hasil seleksi'' dari berbagai peristiwa dan kejadian, disaring secara substansial dari berbagai motif fakta kemanusiaan, dipikirkan dengan jeli dan rumit, dan dikemas dalam satu jaringan tekstual yang berfungsi sebagai penanda. Hasilnya adalah sebuah teks yang dapat dijadikan ''sumber informasi'' dalam memahami berbagai persoalan manusia dan suatu masyarakat.

Kunci utama persoalan terletak pada adanya pengakuan bahwa pada akhirnya hal-hal yang perlu dipelajari dan ditafsirkan, baik dalam ilmu politik, hukum, sosial, ekonomi, agama, budaya, bahkan teknologi adalah kata, ungkapan, pernyataan, atau cerita. Dalam kasus-kasus politik atau agama, memang terdapat fakta-fakta di tingkat kenyataan, seperti kasus-kasus kekerasan atau pergeseran-pergeseran kecenderungan/fenomena kehidupan sosial.

Ketika kita mempelajari kasus kekerasan atau berbagai perubahan kecenderungan tersebut, yang kita pelajari adalah kata, ungkapan, cerita, atau tegasnya teks. Dalam arti, berbagai kejadian atau peristiwa itu pada akhirnya direkam (dalam berbagai cara), disampaikan, didiskusikan, dianalisis, ditafsirkan, dicarikan solusinya, berdasarkan hasil laporan, cerita, atau teks.

Kasus mutakhir yang membuat heboh, misalnya, kasus SKB tiga menteri berkaitan dengan posisi atau kedudukan Ahmadiyah. Hal yang membuat heboh adalah teks keputusan itu, yang diramaikan adalah teks. Sejumlah peneliti dalam mendapatkan informasi juga berdasarkan wawancara (cerita informan) atau berdasarkan sejumlah tulisan (teks). Lantas, apa bedanya dengan karya sastra?

Hal yang membedakan adalah karya sastra ditulis dan dikemas dalam satu abstraksi peristiwa/kejadian sehingga karya sastra menjadi sesuatu yang, seolah-olah, tidak berhubungan dengan kenyataan. Padahal, karya sastra justru mengangkat peristiwa atau kejadian tersebut secara berbeda, secara simbolik, dan dalam cara-cara tertentu justru menjadi sebuah teks yang informatif karena berbagai kejadian disajikan dalam sebuah cerita yang inspiratif dalam memahami peristiwa atau kejadian yang terjadi di masyarakat.

Dalam paradigma itulah, kajian sastra selayaknya dapat dikembangkan menjadi salah satu sumber dalam memahami apa yang sesungguhnya sedang terjadi di masyarakat. Novel Proyek karya Ahmad Tohari, misalnya, dapat dijadikan salah satu bahan bagaimana menjelaskan alur korupsi, bagaimana karakter-karakter yang terlibat, sebab-sebab terjadinya korupsi, dan bagaimana korupsi menjadi suatu budaya dalam masyarakat Indonesia.

Novel Mantra Pejinak Ular karya Kuntowijoyo dapat dijadikan informasi dan inspirasi bagaimana memahami jalannya politik di Indonesia. Bahkan juga dapat dipakai bagaimana menggerakkan masyarakat untuk lebih sadar berhadapan dengan lingkungan hidup. Novel Umar Kayam Para Priyayi dan Jalan Menikung dapat dijadikan bahan yang sangat penting dalam memahami persoalan perubahan sosial Indonesia.

Tentu banyak karya sastra lain, termasuk cerpen dan puisi, yang dapat dijadikan bahan atau sumber informasi, sumber inspirasi, dalam memahami persoalan kriminalitas, persoalan demokrasi, ketidakadilan, dan berbagai konflik dan kekerasan yang terjadi di Indonesia. Berbagai kajian itu selayaknya diapresiasi dengan kejadian di tingkat kenyataan sehingga karya sastra mendapat posisi yang lebih kontekstual dalam persoalan-persoalan yang dihadapi masyarakat Indonesia.

Saya mengira, mengingat berbagai persoalan yang dihadapi masyarakat Indonesia, kajian (sastra) yang tidak mencoba membantu menjelaskan atau memberi pemahaman baru, atau yang tidak mencoba membantu mencarikan solusi dalam mengatasi berbagai masalah yang dihadapi Indonesia, bangsa yang hampir tidak pernah keluar dari rundung kemalangan dan kemiskinan, kajian itu secara relatif mungkin tidak berguna. (*)

*)Dosen Fakultas Ilmu Budaya UGM, Jogjakarta

Label

`Atiqurrahman A Muttaqin A Rodhi Murtadho A. Iwan Kapit A. Purwantara A. Qorib Hidayatullah A. Zakky Zulhazmi A.H.J Khuzaini A.S. Laksana Aang Fatihul Islam Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi WM Abdul Kadir Ibrahim Abdul Lathief Abdul Malik Abdul Wachid B.S. Abdurrahman El Husaini Abidah El Khalieqy Abu Salman Acep Zamzam Noor Achdiat K. Mihardja Adek Alwi Adi Suhara Adnyana Ole Adreas Anggit W. Afrion Afrizal Malna Aguk Irawan MN Agung Dwi Ertato Agus B. Harianto Agus Buchori Agus Himawan Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sulton Agusri Junaidi Agustinus Wahyono Ahda Imran Ahmad Badrus Sholihin Ahmad Fanani Mosah Ahmad Fatoni Ahmad Ikhwan Susilo Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musabbih Ahmad Rofiq Ahmad Sahidah Ahmad Tohari Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sekhu Alex R. Nainggolan Alex Suban Alunk Estohank Ami Herman Amien Kamil Amien Wangsitalaja Aminudin R Wangsitalaja Anastasya Andriarti Andreas Maryoto Anes Prabu Sadjarwo Angela Angga Wijaya Angkie Yudistia Anindita S Thayf Anis Ceha Anjrah Lelono Broto Anton Kurnia Anton Kurniawan Anton Wahyudi Anugrah Gio Pratama Anwar Nuris Aprinus Salam Arie MP Tamba Arif B. Prasetyo Arif Bagus Prasetyo Arif Hidayat Arman A.Z. Arti Bumi Intaran Arys Hilman AS Sumbawi Asarpin Asef Umar Fakhruddin Asep Sambodja Asrama Mahasiswa Aceh SABENA Astrikusuma Asvi Warman Adam Atep Kurnia Awalludin GD Mualif Aziz Abdul Gofar Azizah Hefni Badrut Tamam Gaffas Bagja Hidayat Bagus Takwin Balada Bale Aksara Baltasar Koi Bambang Agung Bambang Kempling Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Bayu Insani Beni Setia Benny Arnas Benny Benke Berita Berita Duka Berita Utama Bernando J. Sujibto Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Blambangan Brunel University London BSW Adjikoesoemo Budaya Budhi Setyawan Budi Darma Budi Saputra Budi Suwarna Bung Tomo Cak Kandar Catatan Cerpen Chairil Anwar Chavchay Syaifullah Cucuk Espe Cunong N. Suraja D. Zawawi Imron Dadang Ari Murtono Daisuke Miyoshi Damanhuri Damhuri Muhammad Damiri Mahmud Danarto Daniel Dhakidae Dante Alighieri Deddy Arsya Dedy Tri Riyadi Denny Mizhar Deny Tri Aryanti Detti Febrina Dharmadi Diah Hadaning Dian Hartati Dian Sukarno Diana A.V. Sasa Dicky Fadiar Djuhud Didi Arsandi Dimas Dina Oktaviani Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Djadjat Sudradjat Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Doddy Hidayatullah Donny Anggoro Dony P. Herwanto Dorothea Rosa Herliany Dr. Muhammad Zafar Iqbal Dr. Simuh Dwi Arjanto Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwicipta Dwijo Maksum Edy A. Effendi Edy Firmansyah Efri Ritonga Egidius Patnistik Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Hendri Saiful Elik Elsya Crownia Emha Ainun Nadjib Endah Sulawesi Endah Wahyuningsih Endang Suryadinata Endhiq Anang P Endri Y Eriyandi Budiman Ernest Hemingway Esai Esha Tegar Putra Eva Dwi Kurniawan Evi Dana Setia Ningrum Evi Idawati Evieta Fadjar F Rahardi Fabiola D. Kurnia Fadelan Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Faisal Kamandobat Faisal Syahreza Faizal Syahreza Fajar Alayubi Fandy Hutari Fany Chotimah Fatah Yasin Noor Fathor Lt Fathurrahman Karyadi Fatih Kudus Jaelani Fatma Dwi Rachmawati Fauzi Absal Festival Sastra Gresik Fikri. MS Fina Sato Fitri Susila Galih Pandu Adi Gde Agung Lontar Geger Riyanto Gerakan Literasi Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Ginanjar Rahadian Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gunoto Saparie Gus Martin Gus tf Sakai Gusti Eka Hadi Napster Haji Misbach Halim HD Halimi Zuhdy Hamberan Syahbana Hamdy Salad Han Gagas Handoko F. Zainsam Hari Santoso Haris del Hakim Hartono Harimurti Hary B. Kori’un Hasan Gauk Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Helwatin Najwa Hepi Andi Bastoni Heri C Santoso Heri KLM Heri Latief Heri Listianto Hermien Y. Kleden Hernadi Tanzil Heru Emka Heru Kurniawan Heru Prasetya Hesti Sartika Hudan Hidayat Humaidiy AS I Made Asdhiana I Made Prabaswara I Nyoman Suaka IBM. Dharma Palguna Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Ida Ahdiah Idayati Ignas Kleden Ihsan Taufik Ilenk Rembulan Ilham Khoiri Ilham Yusardi Imam Cahyono Imam Jahrudin Priyanto Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indah Darmastuti Indiar Manggara Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indrian Koto Irma Safitri Irman Syah Iskandar Noe Istiqomatul Hayati Ita Siregar Iwan Kurniawan Iwan Nurdaya-Djafar Iyut FItra Jadid Al Farisy Jafar M. Sidik Jakob Sumardjo Jamal D Rahman Janual Aidi Javed Paul Syatha Jayaning S.A Jefri al Malay Jihan Fauziah JJ. Kusni Jo Pakagula Johan Edy Raharjo Joko Pinurbo Jokowi Undercover Joni Ariadinata Joss Wibisono Jual Buku Paket Hemat Judyane Koz Juli Sastrawan Junaidi Abdul Munif Jusuf AN Juwairiyah Mawardy Kadir Ruslan Kasnadi Katrin Bandel Kedung Darma Romansha Khairul Mufid Jr Khamami Zada Khrisna Pabichara Kikin Kuswandi Koh Young Hun Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Komunitas Sastra Ilalang Indonesia (KSII) Korrie Layun Rampan Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan) Kristianto Batuadji Kritik Sastra Kunni Masrohanti Kunthi Hastorini Kuntowijoyo Kurie Suditomo Kurnia EF Kurniawan Kuswaidi Syafi'ie Kuswinarto Lan Fang Landung Rusyanto Simatupang Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Liestyo Ambarwati Khohar Linda Sarmili Liston P. Siregar Liza Wahyuninto LN Idayanie Lucia Idayani Lukman Asya Lusiana Indriasari Lynglieastrid Isabellita M Hari Atmoko M. Aan Mansyur M. Arman A.Z M. Bagus Pribadi M. Fadjroel Rachman M. Harya Ramdhoni Julizarsyah M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S M. Luthfi Aziz M. Nahdiansyah Abdi M. Raudah Jambak M. Shoim Anwar M. Yoesoef M.D. Atmaja Maghfur Saan Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Majalah Sastra Horison Maklumat Sastra Profetik Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Serenade Sinurat Mario F. Lawi Marluwi Marsel Robot Martin Aleida Martin Suryajaya Mashuri Matdon Mega Vristian Melani Budianta Melayu Riau Memoar MG. Sungatno Mh Zaelani Tammaka Miftah Fadhli Miftahul Abrori Misbahus Surur Miziansyah J Mochtar Lubis Mohamad Ali Hisyam Mohammad Eri Irawan MT Arifin Mugy Riskiana Halalia Muhajir Arrosyid Muhamad Rifai Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Al-Mubassyir Muhammad Qodari Muhammad Rain Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun A.S Muhidin M. Dahlan Muhlis Al-Firmany Mujtahid Mulyadi SA Munawir Aziz Murniati Tanjung Murnierida Pram Musa Ismail Musfi Efrizal Mustaan Mustafa Ismail N. Mursidi Nafsul Latifah Naskah Teater Nasrullah Nara Nelson Alwi Nenden Lilis A Nh. Anfalah Ni Made Purnama Sari Nina Mussolini-Hansson Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Noura Nova Christina Noval Jubbek Novela Nian Nugroho Notosusanto Nugroho Pandhu Sukmono Nur Faizah Nurdin F. Joes Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nurul Komariyah Nuryana Asmaudi SA Nyoman Tusthi Eddy Nyoman Wirata Oka Rusmini Oktamandjaya Wiguna Oky Sanjaya Olanama Olivia Kristina Sinaga Otto Sukatno CR Pagelaran Musim Tandur Pamusuk Eneste Patricia Pawestri PDS H.B. Jassin PDS. H.B. Jassin Penghargaan Hadiah Sastra Pusat Bahasa Persda Network Pipiet Senja Pramoedya Ananta Toer Pramono Pranita Dewi Pringadi AS Prita Daneswari Prof. Tamim Pardede sebut Bambang Tri Prosa Pudyo Saptono Puisi Puisi Kesunyian Puisi Sufi Puji Santosa PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Wijaya Qaris Tajudin R. Sugiarti Rachmad Djoko Pradopo Radhar Panca Dahana Ragdi F. Daye Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Ramadhan Batubara Ramadhan KH Ratih Kumala Ratna Indraswari Ibrahim Ratna Sarumpaet Raudal Tanjung Banua Remy Sylado Reni Susanti Renny Meita Widjajanti Resensi Restu Kurniawan Retno Sulistyowati RF. Dhonna Rian Sindu Ribut Wijoto Ridwan Munawwar Riki Utomi Riris K. Toha-Sarumpaet Risang Anom Pujayanto Riza Multazam Luthfy Robin Al Kautsar Rodli TL Rofiqi Hasan Rohman Abdullah Rosidi Rosihan Anwar Rukardi S Yoga S. Jai S. Sinansari Ecip S.I. Poeradisastra S.W. Teofani Sabam Siagian Sabrank Suparno Saiful Anam Assyaibani Sainul Hermawan Sajak Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sanggar Rumah Ilalang Sanggar Teater Jerit Sapardi Djoko Damono Sartika Dian Sartika Dian Nuraini Sastra Tanah Air Sastra Using Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sayyid Fahmi Alathas Sazano Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo Seli Desmiarti Selo Soemardjan Senggrutu Singomenggolo Seno Joko Suyono SH Mintardja Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sipri Senda Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Sobih Adnan Sofian Dwi Sofie Dewayani Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sri Ruwanti Sri Wintala Achmad St Sularto Stefanus P. Elu Sukron Abdilah Sulaiman Djaya Suminto A. Sayuti Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sungging Raga Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Suryansyah Suryanto Sastroatmodjo Susanto Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suyadi Suyadi San Syaifuddin Gani Syaiful Amin Syamsiar Hidayah Syarbaini Syifa Amori Syifa Aulia Tajuddin Noor Ganie Taufik Abdullah Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat TE. Priyono Teguh Afandi Teguh Ranusastra Asmara Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Theresia Purbandini Tita Tjindarbumi Titik Alva-Alvi Choiriyah Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tjoet Nyak Dhien Tosa Poetra Tri Lestari Sustiyana Triyanto Triwikromo TS Pinang Tu-ngang Iskandar Tulus S Tulus Wijanarko Udo Z. Karzi Ugoran Prasad Umar Fauzi Ballah Umar Kayam Umbu Landu Paranggi Universitas Indonesia Universitas Jember Utada Kamaru UU Hamidy Vera Ernawati Veronika Ninik W.S. Rendra Wahjudi Djaja Wahyu Hidayat Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Budiartha Widya Karima Wijaya Herlambang Wiji Thukul Willem B Berybe Wilson Nadeak Winarni R. Wiratmo Soekito Wita Lestari Wiwik Widayaningtias Y. Thendra BP Y. Wibowo Yasser Arafat Yeni Ratnaningsih Yohanes Sehandi Yonatan Raharjo Yonathan Rahardjo Yopi Setia Umbara Yos Rizal S Yos Rizal Suriaji Yudhi Herwibowo Yuka Fainka Putra Yurnaldi Yushifull Ilmy Yusri Fajar Yusuf Suharto Zainal Abidin Zainal Arifin Thoha Zawawi Se Zen Hae