Minggu, 05 April 2009

KA(E)PUJANGGAANNYA PAHLAWAN DIPONEGORO

Nurel Javissyarqi*
http://pustakapujangga.com/?p=478

Sebelum jauh merambah pada karya Beliau. Terus terang saya terusik dengan ejaan Diponegoro menjadi Dipanegara. Kenapa Bojonegoro tidak dirubah menjelma Bajanegara? Dst. Bagi saya tetap menggunakan logat aslinya (:jawa) yakni Diponegoro, disamping mengukuhkan literatur yang terakhir ada. Berangkat dari asal dialek, daya pamornya dapat disadap lebih mantab, saat mengejawantahkan suatu kalimah, apalagi kerja bersastra.

Di tanah Jawa, sebutan Pangeran yang kesohorannya melebihi raja-raja kecil ialah Pangeran Diponegoro. Padahal jauh di benaknya tiada membanggakan titel itu, ia lebih nyaman sebagai rakyat biasa, lebih berasa mengunyah asin garam kehidupan jelata. Tak ada pantulan lain, selain kesadaran berontak-lah hal tersebut terbit, menyunggi matahari bencah Dwipa kala itu.

Saat membaca roman sejarah karangan J.H. Tarumetor TS. yang bertitel “Aku Pangeran Dipanegara” penerbit Gunung Agung Djakarta 1966. Saya merasakan betapa sengit pergolakan kemerdekaan, yang berkumandang terang mewujudkan idealitas kebebasan, dari kungkungan rezim penjajahan, yang sewenang-wenang mengadu-domba darah biru, darah merah bumiputra. Adalah berdasar niat suci, perlawanan terus dikibarkan, bergerilya menculik musuh dengan panah api, sekali waktu berhadap muka meriam dengan tombak, keris dan bambu runcing.

Tiap-tiap laluan parit, tebing curam, kaki bukit, semak belukar, hutan rimba, batu licin derasnya air sungai, padang amis darah rumput, merupakan referensi dalam meningkatkan mutu pemberontakan dikemudian hari. Maka ingatan senantiasa harus terawat, terbasuh kucuran kesadaran, semisal kelembutan air bersanggup menelusup ke serat-serat batu, mendenting melobangi bebatuan pada goa perenungan. Niscaya tubuh kebangsaan berteriak lantang, manakala kaki-kaki rumput terinjak sepatu besi, kuda-kuda birahi yang kesurupan serupa kompeni. Jika berkaca pada cermin masa kini, nasib tanah pertiwi terserang virus-virus korupsi.

Ontowiryo (bahasa Indonesia usil menulisnya dengan Antawirya, nama kecil Pangeran Diponegoro), ia terlahir pada tanggal 11 November 1785 di Yogyakarta, dan wafat pada tanggal 8 Januari 1855 di benteng Rotterdam kota Makasar. Sebagaimana catatan Muhammad Yamin dalam bukunya yang berjudul, Sedjarah Peperangan “Dipanegara” Pahlawan Kemerdekaan Indonesia, penerbit Jajasan Pembangunan Djakarta 1952, tjtakan ketiga. Jika menengok literatur YB. Sudarmanto, terbitan Grasindo 1996 yang berjudul “Jejak-Jejak Pahlawan dari Sultan Agung hingga Syekh Yusuf,” membubuhi puisi Chairil Anwar yang berlabel “Diponegoro”: Di depan sekali tuan menanti/ Tak gentar. Lawan banyaknya seratus kali/ Pedang di kanan, keris di kiri/ Berselempang semangat yang tak bisa mati/

Di bawah ini saya tunjuntukkan Pangeran Diponegoro sebagai Pujangga Indonesia, sebelum santri Tegalsari R. Ng. Ronggowarsito. Bermaksud menguri-uri ruhaniah pertiwi atas tumbal para pemudanya, guna jejiwa mengikuti kegigihannya. Menempa mental agar tak berkarat dimakan usia, tidak busuk dalam buih kecewa. Andai kedangkalan gurit sekadar kenangan, masih bersimpan semangat pengguratnya. Apalagi tetembangan yang dihasilkan dari jiwa-jiwa paripurna kepahlawanan; tidak tunduk harta benda, pangkat jabatan maupun gadis-gadis berambut pirang.

Demikian simaklah…

Sun amedar surasaneng ati
atembang pamijos
pan kinarjo anglipur brangtane
aneng kita Menado duk kardi
tan ana kaeksi.

Mapan katah kang keraseng galih
ing tingkah kadudon
pan mengkana ing tijas pangestine
kaja paran polahingsun iki
jen tan ana ugi
apura Ijang Agung.

Lara wirang pan wus sun lakoni
nging panuhuningong
ingkang kari dan kang dingin kabeh
kaluarga ngestokken jekti
mring Agama Nabi
oleh pitulung.

Ketika membaca bahasa asalnya, tubuh penyaksi gemetaran; bulu-bulu berdiri seolah jejarum di jemari tangan perawan, menyuntik seluruh jasad yang memendam masa silam. Sejarah dihasilkan kerja kesungguan, tak ada basa-basi tersimpan, seluruhnya meruang-waktu kejadian lampau. Perjuangan suci mengukuhkan lelangkah menjadi panutan dikemudian hari. Bahasa bukan sekadar penyampai, di dalamnya ada dinaya, sukma yang terekam membetot jatah dipertarungkan ruang-waktu pembaca. Maka usah sekali-kali menganggap remeh sikap pembacaan, agar tak terhempas gelombang kelupaan sebelum sampai tujuan.

Di bawa ini salinan maknawi karya beliau:

Hamba curahkan perasaan kalbu yang fitri
mengarang syair menghibur duka-nestapa
menyusun karangan di kota Manado
ketika tak kelihatan pandangan mata
selain daripada Tuhan Yang Maha Esa.

Banyaklah yang terasa dalam hati
berbuat kelakuan yang salah arah
sampai timbul jantung berfikiran:
apakah jadinya hamba hina ini,
sekiranya tingkah perbuatan itu
tidak diturunkan ampun,
oleh Tuhan Yang Maha Kuasa.

Pedih-pilu, hina bencana dirasa
tetapi memohonkan sungguh,
supaya kehilafan dahulu dan kemudian
diturunkan pengampunan dari Tuhan,
kepada keluarga dan sanak saudara
yang dengan ikhlas sepenuh sungguh
menuruti ajaran Nabi pembawa sabda.

Demikian Tembang Midjil yang disusun Pangeran Diponegoro di kota Manado, sebagai Muqaddimah “Babad Diponegoro,” yang dirampungkannya di kota Makasar. Babad tersebut berisikan sejarah leluhur, tareh runtuhnya kerajaan Majapahit hingga detik-detik akhir Beliau. Perjuangan tangan-tangan baja, kaki-kaki gajah, amis darah segar, keringat berdebu, harta-nyawa melayang-layang selama lima tahun terus-menerus melawan penjajahan, dari tanggal 20 Juli 1825 sampai 28 Maret 1830. Dan seperempat abad Beliau meringkuk di benteng tawanan, mendekam terisolasi di tanah asing pembungan. Dimana kurun waktu menyimpan peristiwa, tempo suatu kenangan menjelma harmoni tetembangan, kejayaan hati bergetar dalam perjuangan.

Ontowiryo atau Pangeran Diponegoro, diberi gelar rakyaknya dengan sebutan; “Sultan Abdulhamid Herutjokro Amirul Mukminin Syaidina Panatagama Khalifatulloh Tanah Djawa.” Bersama Sentot Prawirodirdjo serta Kiai Modjo, membakar medan peperangangan di lingkup tanah tengah dwipa; Selarong, Dekso, Pleret, Lengkong, kaki Gunung Merapi, Bantul, Kedjiwan, Gawok, Bagelen, Banyumas, Pekalongan, Ledok, Semarang, Rembang, Bojonegoro, Madiun, Pengasih, Banyumeneg, Kedu, dan seluruh ruh bumi Nusantara berbangkit atas hembusan badai pemberontakannya.

Adalah tak diragukan lagi, tubuh-tubuh yang terpendam tanah pertiwi sebagai daulat kesatuan, bagi hakikat paku bumi, gunung-gunung tertancap, agar tak buyar makna ke-Indonesia-an. Dimana tiap-tiap pergolakan terangkat, embun pagi kabarkan peristiwa makna puitik, lahir dari pergumulan ruh abthin matahari. Dan sisanya tersimpan dalam resapan daun-daun sejarah. Niscaya pancaran hati, atas pantulan tekad memperjuangkan tanah sepenuh jiwa, tulus setia menghadap Ridho-Nya.

*) Pengelana asal Lamongan, Jatim, 19 Maret 2009, kamis legi Rabiul Awal 1430 H.

Geometri Tertawa

Hudan Hidayat
http://hudanhidayat.multiply.com/

Geometri Euklides bertemu dengan kepastian Descartes: “setiap dua titik dapat ditarik sebuah garis lurus”, sejajar dengan “aku berpikir maka aku ada”.

Kita bisa memasuki permainan pikiran ini dengan pernyataan lain: “setiap pikiran yang dituliskan akan menghasilkan aksara atau dunia tanda”.

Itulah hipotesis yang tak perlu berepot membawanya ke dunia laborat: kita bisa mengerjakannya sendiri dan saat ini: mengambil pena dan meletakkan dua titik secara berjauhan, lalu menghubungkan kedua titik itu dengan satu garis lurus. Saat kita melakukan itu pun pernyataan Descartes sudah dan sedang berlangsung: adanya diri kita yang sedang membuat sebuah garis lurus. Begitu juga saat kita melontarkan pikiran itu ke dalam dunia tulisan.

Tapi, apakah itu dunia kepastian, sebagaimana ilmu mengangankan untuk dirinya? Tidak. Itu tetap dalam tingkatan “hipotesa” karena belum terjadi. Berulang-ulangnya ketiga rangkaian pernyataan itu bukanlah sebuah kepastian, sesuatu yang pasti terjadi, yang kepastiannya memiliki tingkat keharusan yang abadi. Karena ketiganya adalah kepastian di tingkat nalar logis, bukanlah kepastian di tingkat kejadian yang akan dan pasti terjadi.

Sebab gampang sekali kehidupan mematahkan kepastian seperti itu: cukup dengan kematian, atau hilangnya nalar logis dalam diri seseorang. Apakah Descartes saat tidur bisa berkata: aku berpikir, maka aku ada? Bukankah dirinya sedang tidur yang berarti kesadaran pikirannya ikut tertidur – seperti benda yang dalam keadaan istrirahat dalam kalimat pertama hukum Newton yang pertama? Dengan cara yang sama kita bisa menghilangkan kata “kepastian” yang hendak dilekatkan kepada kedua pernyataan lainnya.

Maka kepastian adalah sesuatu ilusi, kehendak imperatif pada pikiran: menjangkau fenomena benda dan makna, sebagai sesuatu yang bernilai stabil dan tetap.

Bahasa matematika tak tergoyahkan, kata orang. Tapi lihatlah kita telah mematahkannya ke dalam ruang dan rentang definisi arti kepastian di tingkat logika, dengan kepastian di tingkat kejadiannya. Dunia selalu adalah dunia yang menyisakan sebuah ruang, ruang yang mungkin. Dengan kata “mungkin”, di situlah sang mahluk menjadi berendah hati atas dunia ini.

Katakanlah “mungkin”, jangan kau katakan pasti terjadi. Sebab ilmu, atau sains, betapapun digdayanya, adalah mustahil menebak apa kepastian yang akan terjadi besok. Baik pada tingkat semesta maupun dalam dunia manusia. Selalu, yang abadi itu adalah sebuah kemungkinan.

Kedigdayaan dunia mekanika Descartes dan Newton selama ratusan tahun, akhirnya berguguran ketika fisika baru menemukan sesuatu yang aneh dalam fenomena dunia atom atau subatom. Betapa di sana partikel-partikel atom menunjukkan wajah yang tak pastinya. Sifat yang paradoks yang telah membuat klaim “fisika” Newton tidak bisa dioperasikan lagi.

Selintas teringat kehendak dalam angan Kredo Puisi Tardji saat menyimak dunia atom fisika abad 20: betapa atom berloncatan tak tentu arah sebagaimana dunia puisi Tardji yang tak hendak tunduk dengan irama puisi dari sebuah tradisi puisi (setidaknya tradisi puisi di Indonesia). Bahwa atom pembentuk bahan dasar dunia itu, karena sifatnya yang berlainan dengan sifat yang dilihat oleh Newton, telah membawa implikasi yang tak terpermanai akan kenyataan dunia.

Kini kita jadi tahu bahwa, misalnya, ruang dan waktu yang absolut dalam paradigma Newton, patah oleh ruang dan waktu yang relatif dalam paradigma Einstein.

Orang bisa berkata itulah watak kebenaran ilmu dan watak kemenyingkapnya fenomena dunia: bahwa alam membukakan dirinya selapis-selapis, sedang manusia setahap demi setahap memperbarui metode ilmiahnya. Tapi bagaimana dengan fakta perdebatan legendaris antara Einstein dan Bohr – dua orang yang relatif memiliki paradigma yang sama dan peralatan metode yang sama dalam dunia fisika baru itu? – metode ilmiah.

Mengapa Einstein sampai akhir hidupnya tidak menyetujui implikasi dari kenyataan fisika kuantum?

Sayup-sayup terbaca karena Einstein tetap percaya kepada dunia eksternal yang menguasi dunia benda-benda, sedangkan fisika kuantum menolak, atau memperlihatkan sebuah gejala di mana sebab dan akibat tidak harus berlaku dan tidak harus terjadi di dunia atom. Dunia di mana dalam fisika atom partikel-partikel yang tak tunduk pada hukum tapi mengacak-ngacak hukum. Yang karena itu Heisenberg menyebutkannya sebagai prinsip ketidakpastian.

Capra mengutip Einstein, betapa fisika baru itu telah membuat dirinya terguncang.

“Semua usaha saya untuk menyelesaikan landasan teori fisika dengan pengetahuan (jenis baru) ini telah gagal sama sekali. Rasanya seolah-olah tanah tempat kita berpijak telah diambil dari bawah, tanpa ada landasan kuat lainnya yang dapat dijadikan sebagai tempat untuk mendirikan bangunan”.

Apa yang hendak kita katakan kepada klaim ilmu yang mendeklarasikan, atau sering dinyatakan, sebagai dunia yang stabil? Di mana beroperasi dunia matematika dengan bahasanya yang serba pasti, dan karena tingkat kepastian inilah maka tingkat kepastian dunia benda seolah bisa dijangkau sebagai kenyataan yang sudah dipastikan – sains, ilmu yang bisa memastikan fenomena benda-benda. Toh kenyataannya kedua pendekar ilmu itu bertengkar tak habis-habis pada pokok soal yang sama: dunia di mana keduanya ikut menyemainya selama puluhan tahun: fisika kuantum.

Saya sendiri percaya bahwa kebenaran ada dalam tiap tiap tingkatannya. Tapi kebenaran yang bukan dalam kepastian terjadinya. Tapi kebenaran logis atau kebenaran logika. Inipun bergantung dalam ruang dan dalam waktu – sebagaimana telah ditunjukkan kedua fenomena fisika klasik dengan fisik baru, atau dalam perdebatan panas kedua jagoan fisika kuantum: Bohr dan Einstein.

Dunia rasional dan moral Yunani belumlah lama, juga tahapan-tahapannya kemudian yang kita kenal sebagai lintasan tengah, abad ilmiah sampai dengan era teori Big Bang dan teori Theory Everything. Katakanlah telah berlangsung sekitar tiga ribu tahun, dengan dijumlahkannya tahun-tahun sebelum masehi – dengan membuat simplikasi tahun-tahun sebelum masehi.

Sedang alam semesta telah terentang puluhan milyar tahun dan kehidupan ratusan juta tahun. Alam semesta pun akan terentang ke depan miliaran tahun – ini pun kalau kita mengikuti kemungkinan usia matahari – benda gas yang kelak kemudian akan kehilangan panasnya dan mengerut ke dalam dirinya sendiri.

Maka apakah yang akan terjadi pada masa depan? Akan bermunculan fenoma-fenomena alam yang tak terkirakan, di mana manusia menjawabnya dan pasti akan melayaninya dengan tingkat dunia pemikiran yang lebih canggih.

Rentangan-rentangan itu, kalau dalam dunia informasi agama, telah dirangkumnya ke dalam buku induk yang memuat kabar tentang alam semesta: kitab lauh mahfuz. Kitab di mana tiap kejadian tentang semesta dan segala isinya ini telah dibuatkan olehnya dan dicatat dalam kitabnya. Karena itu ia bermetapora: kumpulkanlah tujuh lautan dan tujuh gunung dan jadikanlah batangnya sebagai pena dan air lautnya sebagai tinta, tak akan juga selesai menuliskan ilmu tuhanmu.

Maka ungkapan penemuan terbesar, atau penciptaan terbesar, baik di ranah ilmu atau di ranah sastra, bagi saya nampak menggelikan. Sama menggelikannya dengan mereka yang serupa kanak-kanak yang terpukau dengan keajaiban nalar dan ilmu, dengan melekatkannya sebagai sebuah dunia kepastian untuk menjangkau kebenaran terhadap fenomena alam. Sebab tak ada kebesaran di tengah dunia di mana tuhan menyingkapkan rahasianya dan menjawab rahasianya dengan ilmunya yang diturunkan pelan-pelan itu.

Tapi begitulah hidup ini, hidup sebagai rangkaian teka-teki di mana manusia sebagai anak-anak komedi.

Di sana tuhan geli sendiri, di sini kita bersedih hati.
Mengapa kita tidak ramai-ramai tertawa saja?

Resital Sastra dari Tanah Melayu

Sihar Ramses Simatupang
http://www.sinarharapan.co.id/

JAKARTA – Salah satu wilayah di Sumatera yang dikenal dalam perkembangan pustaka sastra dan bahasa Melayu adalah Kepulauan Riau. Enam sastrawan dari wilayah ini akan muncul di Graha Bakti Budaya, Taman Ismail Marzuki, Jakarta, Minggu (29/1).

Para penyair itu antara lain Hasan Aspahani, Hoesnizar Hood, Machzumi Dawood, Ramon Damora, Samson Rambah Pasir dan Tarmizi. Tajuknya pun unik, ”Resital Sastra dari Negeri Kata-kata”.

Penyair yang akan berekspresi, Hoesnizar Hood yang menjabat Ketua Dewan Kesenian Provinsi Kepulauan Riau itu mengatakan bahwa idiom itu setidaknya digunakan sebagai identitas terutama soal ”negeri kata-kata”.

Sebelum pembacaan puisi, akan digelar juga diskusi dengan tajuk idiom Melayu khas ”Cakap-cakap Rampai Sastra” menghadirkan pembicara Al-Azhar dan Tommy F Awuy. Acara yang diadakan atas kerja sama Yayasan Panggung Melayu dan Dewan Kesenian Kepulauan Riau bekerja sama dengan Dewan Kesenian Jakarta ini, merupakan agenda dari para penyair di wilayah Riau.

Selain pembacaan karya-karya dari lima penyair dan satu cerpenis, disuguhkan juga seni Teater Makyong, Grup Musik Adam dan Pameran Foto Seni Budaya Kepulauan Riau oleh Yatna Yuana. Rencananya, karya-karya dari enam sastrawan ini juga akan dicetak dalam bentuk buku.

Menurut Hoesnizar Hood, bila wilayah ini belakangan dinilai ada kemunduran, momen-momen penampilan bersama ini bisa dilihat sebagai kebangkitan dan dinamika. ”Biasanya, penyair (Kepulauan Riau) melawat ke beberapa kota dengan terpisah-pisah. Jarang yang satu panggung,” papar Hoesnizar yang pembacaan puisinya akan diiring dengan ilustrasi Gurindam-12, naskah bersejarah karya Raja Ali Haji.

Dinamis

Dalam sejarah, kekuatan Kepulauan Riau seperti juga beberapa daerah di sekitar yang menggunakan bahasa Melayu sebagai bahasa ibu, adalah kesusastraannya. Dari gurindam, talibun, seloka, dalam untaian syair, tipografi dan rima yang berbeda.

Karakter penyair ini pun beragam dan variatif dan jelas telah menjadi ”malin kundang” soal pola tradisi sajak Melayu. Tarmizi, misalnya, penyair berdarah Minang yang dalam separuh hidupnya gemar menggunakan idiom ”hitam” di dalam puisi, Ramon Damora yang terasa lebih keras dalam metafor puitiknya semisal ”taring” dan ”pisau”. Kesemuanya terasa lebih terkemas dalam bentuk puisi modern.

Menurut Hasan, karya para penyair pun dibebaskan dalam bahasa dan tema. Tak ada keterikatan karena fenomena individu tetap ada. Baginya, ibu budaya tiap penyair berbeda, seperti ibu budaya yang dimilikinya jelas bukan Melayu.

Kendati demikian, ungkap Hasan, di antara beberapa puisi yang lahir di dalam buku itu pasti tak berbentuk seperti sekarang kalau mereka tidak berada di geografis Kepulauan Riau. ”Itu tetap terasa dalam beberapa puisi saya, entah dalam bahasa atau tema.”

Hasan juga mengatakan, bahwa penampilan mereka di ”negeri seberang”, di Taman Ismail Marzuki Jakarta, memperlihatkan kedinamisan kehidupan bersastra di Kepulauan Riau. ”Kita terus berkarya, tak boleh mati. Ini memperlihatkan juga bahwa di kawasan Kepri sastra masih bergetar,” ujar Hasan Aspahani, dengan nada heroik.

Hasan Aspahani yang puisinya juga muncul di internet sekaligus menjabat wakil pemimpin redaksi di sebuah media harian wilayah itu, mengatakan bahwa masing-masing penyair – kecuali Samson Rambah Pasir yang direncanakan membaca cerpen – akan memperlihatkan kemampuan penciptaan dan pembacaan puisinya. Apalagi di dalam soal pembacaan puisi, lima penyair dan seorang cerpenis ini siap dipertanyakan kekuatan dan kekhasan ekspresinya.

Nippon

Goenawan Mohamad
http://www.tempointeraktif.com/

Pendiriankoe sekarang tetaplah soedah,
Berdjoeang sampai sa’at jang achir,
BERSAMA NIPPON, madjoe melangkah,
KEBESARAN ASIA MESTILAH LAHIR…

– Hamka, “Diatas Roentoehan Malaka-Lama”, dalam Pandji Poestaka, No. 25, 1943

BANYAK orang yang salah harap dan salah sasar pada tahun 1943. Hamka adalah salah satu di antaranya. Ketika itu Indonesia diduduki Jepang, negeri yang mendamik dada sebagai pembebas Asia, kekuatan yang meneriakkan slogan “Inggris kita linggis, Amerika kita setrika!” Seperti banyak sastrawan dan tokoh masyarakat di masa itu, Hamka juga menghunus kata “berdjoeang”, “madjoe” dan “Asia” dengan tangkas—terkadang terlampau tangkas.

Saya pernah bertemu dengan seorang yang ingat bahwa pada suatu hari tahun 1940-an itu ia melihat Hamka, novelis (Tenggelamnya Kapal Van der Wijk, Di Bawah Lindungan Ka’bah) yang sudah mulai diakui sebagai seorang tokoh masyarakat muslim, naik kuda ke esplanade Kota Medan, seraya diikuti orang ramai yang berlari-lari, untuk menunjukkan kesetiaan kepada Maharaja Hirohito nun jauh di negeri Nippon.

Benar atau tidak Hamka melakukan itu, tekad dalam sajaknya yang dimuat Pandji Poestaka yang saya kutip di atas menunjukkan ke mana anginnya bertiup. Itu tak sendirian. Jika kita baca sejarah dengan saksama, kita akan menemukan tokoh pergerakan nasional Bung Karno menganjurkan pemuda Indonesia masuk Romusha, hingga berduyun-duyun orang bekerja sampai ke tanah jauh, sampai mati sengsara, untuk kepentingan Jepang. Penyair Sanusi Pane, penganut theosofi, menganggap perang yang dilancarkan kaum militer dari Tokyo sebagai “Perang Suci”. Pakar hukum Supomo memandang bentuk negara fasis di bawah Maharaja Hirohito sebagai teladan.

Dilihat pada hari ini, posisi seperti itu (ada yang kemudian menyebutnya sebagai sikap para “kolaborator”) tampak tak gemilang sama sekali. Bahkan memalukan. Pandangan yang tersirat di sana sering hanya gema dari argumen kalangan cerdik pandai Jepang yang mendukung perang yang sedang berkecamuk. Perang itu memang oleh pemerintah mereka disebut dengan gagah sebagai “Perang Asia Timur Raya”, tapi bagi banyak manusia lain—terutama mereka yang hidup di Cina, di Nanking khususnya—ia sebuah keganasan yang terorganisasi.

Tapi tentu saja dapat dilihat cara lain: tekad “BERSAMA NIPPON madjoe melangkah” itu di Indonesia tumbuh dari kepedihan hidup di bawah kolonialisme Eropa, guncangnya harga diri, kebutuhan yang akut untuk punya identitas sendiri. Bahkan tanpa dijajah pun, benturan dengan apa yang sering dianggap sebagai “Eropa” atau “Barat”—atau apa yang disebut sebagai “modernitas”—amat merisaukan. Sebab itulah masa itu para cendekiawan Jepang mencoba menelaah kemungkinan jalan lain: “mengatasi modernitas” (kindai no chĂ´koku).

Pemikiran “Mazhab Kyoto”, dengan tokoh sentral Nishida Kitaro (1870-1945), berada di ujung tombak gerakan ini. Tapi pada akhirnya argumennya bisa dilihat sebagai sederet apologi bagi watak totaliter dari nasionalisme.

Dalam versi yang saya sederhanakan, pemikiran Nishida menganggap manusia tak mungkin bersifat universal. Saya ingat ucapan Mayor Okura dalam novel Kalah dan Menang S. Takdir Alisjahbana, bahwa mustahil untuk mengatakan manusia itu satu. Baginya, tempat dan komunitas menentukan subyek. Itulah inti “logika tempat” (basho no ronri), dalam filsafat Nishida. Dunia di luar sana tak terpisah dari aku di sini.

Dengan itu Nishida membantah dasar pikiran modern yang dimulai oleh Descartes. Proses yang menyebabkan Descartes bisa mengatakan cogito ergo sum dimulai dengan “aku yang berpikir” yang mempertanyakan “dunia yang dipikirkan”. Mempertanyakan, meragukan, berarti juga melepaskan diri. Dan tak hanya memisahkan diri. Dalam pemikiran modern, subyek (”aku yang berpikir”) adalah pemegang peran yang mewujudkan dan membentuk sekitarnya. Dunia dikonstruksikan dan alam dikalahkan dari sini.

Bagi Nishida, betapa salah pendirian itu. Baginya, renungan Descartes lahir dari hanya satu cara tertentu, yakni cara analitik. Padahal ada cara lain menerima dunia: bukan dengan analisis yang mengurai-memisahkan, melainkan dengan menyerapnya secara intuitif sebagai keseluruhan antara “aku di sini” dan yang lain yang di luar sana itu.

Tapi ada kritik yang bisa ditembakkan ke arah Nishida, yang menunjukkan bahwa ia sebenarnya tak berhasil “mengatasi” modernitas. Basho no ronri-nya hanya membalikkan pemikiran Descartes. Ia tak bisa melepaskan diri dari dikotomi yang ditentangnya sendiri. Ia menganggap tempat (”Jepang” atau “Asia”) sebagai sesuatu yang di luar subyek, mutlak, dan bisa didefinisikan tersendiri. Ia mengabaikan persoalan bahwa apa itu “Jepang”, apa itu “Asia”, sebagaimana apa itu “Barat”, pada akhirnya ditentukan oleh sebuah subyek dengan kekuasaannya sendiri.

Tapi Nishida tidak unik. Pikirannya sebenarnya tak banyak berbeda dengan pandangan yang sering ingar pada hari ini. Dan bukan cuma nasionalisme.

Dasar pandangan ini adalah juga sebuah ilusi geometris. Dengan kata lain, pandangan yang melihat subyek, dan caranya menghayati nilai-nilai, sebagai bagian dari identitas “tempat” atau “ruang” yang homogen (”Timur”, “Amerika”). Kalau tidak, ia dilihat sebagai bagian “waktu” yang bisa dipetak-petak sebagai ruang (”zaman jahiliah”, “Abad Pertengahan”). Dan sebagaimana layaknya ruang, subyek dan nilai-nilainya pun (”beradab”, “biadab”, “beriman”, “murtad”, dan lain-lain) seakan-akan dapat ditentukan batasnya, dapat diperbandingkan luas dan dalamnya. Seakan-akan hal-hal itu akhirnya bisa dan harus dibakukan—sebelum dibekukan.

Bukankah dari sini (dan tak hanya ketika Hamka dan lain-lain menjunjung “Perang Asia Timur Raya”) subyek yang berbeda, yang ganjil, akhirnya mati ditenggelamkan?

NASKAH KUNO DI DHARMASRAYA

Pramono*
http://www.padangekspres.co.id/

Tulisan ini merupakan catatan kecil dari observasi awal tim peneliti naskah kuno yang terdiri dari dua peneliti Fakultas Sastra Universitas Andalas dan enam peneliti Balai Bahasa Padang pada 19 Februari 2009 lalu. Observasi ini adalah permulaan dari rangkaian penelitian yang bertujuan untuk melakukan inventarisasi, katalogisasi, digitalisasi dan kajian teks terpilih naskah-naskah yang masih tersebar di tangan masyarakat Kabupaten Dharmasraya.

Baru sehari dilakukan penelusuran, tim peneliti sudah “dihidangkan” puluhan naskah di Nagari Koto Padang dan Pisang Rebus. Setidaknya, gambaran awal ini membuat kami merasa bahwa memilih Kabupaten Dharmasraya sebagai lokasi penelitian naskah-naskah kuno adalah keputusan yang tepat.

Tim peneliti baru mendatangi dua lokasi, yakni Jorong Koto Padang, Nagari Sialang Gaung, Kecamatan Koto Baru dan di Nagari Pisang Rebus Kecamatan Sitiung. Di Jorong Koto Padang dijumpai puluhan naskah kuno koleksi Hj. Nerseha yang kondisinya sudah sangat memperihatinkan. Di Nagari Pisang Rebus, tepatnya di Pondok Pesantren Nurul Iman juga ditemukan puluhan naskah dengan teks yang beragam. Menariknya, Syekh H. Buya Rijal Abbas selaku pemilik naskah dan pemimpin pesantren masih menyalin naskah hingga sekarang. Beliau banyak menulis syair dengan menggunakan aksara Jawi.

Wilayah Kabupaten Dharmasraya memang menarik untuk penelusuran naskah. Kabupaten – yang namanya diambil dari nama kerajaan Melayu di kawasan hulu sungai Batang Hari – ini merupakan wilayah penting dalam peta kebudayaan Minangkabau. Di wilayah ini pernah ditulis naskah Undang-undang Tanjung Tanah, sebuah naskah Melayu tertua yang diberikan kepada masyarakat Kerinci pada abad ke-14 (Kozok, 2006). Naskah ini merupakan dokumen penting dalam sejarah bahasa dan kesusastraan Melayu yang sekaligus membuktikan bahwa peradaban Melayu sudah memiliki aksara dan sistem hukum sendiri di zaman pra-Islam.

Dalam konteks pernaskahan di Sumatera Barat, Kabupaten Dharmasraya selama ini belum mendapat perhatian para filolog (peneliti naskah kuno). Di banyak wilayah di Sumatera Barat, sudah 500-an naskah kuno yang sudah dilakukan inventarisasi dan katalogisasi serta digitalisasinya. Naskah-naskah itu merupakan naskah kuno yang masih tersebar di tangan masyarakat.

Masih banyaknya naskah yang terdapat di tengah masyarakat sebagai milik pribadi atau suku menjadi masalah yang serius. Menjadi masalah karena umumnya naskah-naskah yang kebanyakan ditulis pada sekitar abad XVII, XVIII dan XIX tersebut terbuat dari kertas yang secara fisik tidak akan tahan lama. Sementara pemiliknya sendiri umumnya hanya mengandalkan pengetahuan tradisional untuk merawatnya, sehingga seringkali naskah yang dimiliknya itu saling bertumpuk dengan benda lain, sehingga kertasnya menjadi lapuk, robek, dan akhirnya hilang pula pengetahuan yang tersimpan di dalamnya.

Kalaupun terawat, umumnya karena naskah-naskah tersebut dianggap sebagai benda keramat yang harus disimpan rapi, kendati isinya tidak pernah diketahui dan dimanfaatkan oleh khalayak umum. Kendati telah beberapa kali dilakukan upaya inventarisasi dan pelestarian atas naskah-naskah tersebut, nyatanya hingga kini setidaknya berdasarkan penelitian yang penulis lakukan dan pengalaman kunjungan ke beberapa daerah naskah-naskah yang terdapat di masyarakat tersebut masih banyak yang belum teridentifikasi, dan apalagi tersusun dalam sebuah katalogus naskah.

Kondisi di atas diperparah dengan kecenderungan ini penelitian naskah di Indonesia yang lebih mementingkan telaah teks. Persoalan yang berkaitan dengan pengoleksian dan pemeliharaan manuskrip diabaikan. Padahal, sumber manuskrip hanya dapat diacu apabila sumber itu telah dilestarikan. Dengan kata lain, penelitian terhadap manuskrip baru dapat dilakukan apabila kondisi manuskrip baik fisik maupun tulisan tidak mengalami kerusakan. Bagaimanapun juga manuskrip-manuskrip kuno merupakan kekayaan budaya bangsa yang sangat penting artinya bagi pemahaman dan pengembangan sejarah, ilmu pengetahuan.

Banyaknya naskah yang masih tersebar di tangan masyarakat sebagai milik pribadi atau suku di Kabupaten Dharmasraya merupakan potensi besar. Hal ini terkait dengan manfaat dari naskah kuno itu sendiri. Naskah merupakan khasanah budaya yang penting baik secara akademis maupun sosial budaya. Secara akademis melalui naskah-naskah itu dapat diungkap nilai-nilai yang relevan dengan kehidupan sekarang. Secara sosial budaya, naskah-naskah itu merupakan identitas, kebanggaan dan warisan yang berharga.

Naskah merupakan hasil kegiatan intelektual dalam masyarakat tradisional (local genius). Naskah merupakan warisan budaya yang berisi beraneka ragam teks karya cipta masyarakat lama yang dapat digunakan untuk penelitian keagamaan, falsafah, kesejarahan, kesusastraan, kebahasaan, persoalan adat-istiadat, perundang-undangan, dan kajian-kajian dengan sudut pandang yang lain. Pemerintah Kabaupaten Dharmasraya semestinya segera menggali potensi ini dengan berbagai langkah strategis.

Salah satu langkah strategis yang dapat dilakukan adalah pendirian museum. Di samping kekayaan khazanah budaya berupa naskah, Kabupaten Dharmasraya juga punya khasanah peninggalan budaya yang penting. Kerajaan Padang Lawas, Siguntur, Koto Besar dan Pulau Punjung merupakan artefak budaya yang penting. Selain itu, adanya praktik jual beli naskah kuno dan benda-benda cagar (BCG) budaya lainnya menyebabkan banyak naskah dan BCG yang ke luar dari “kampungnya”. Dengan adanya museum, pemda setempat dapat melakukan pengumpulan benda-benda peninggalan budaya yang masih tersebar itu.

Selain bermanfaat untuk sektor pariwisata, dengan adanya museum juga sangat bermanfaat untuk dunia pendidikan. Langkah strategis itu sekaligus mengabarkan kepada semua peneliti bahwa Dharmasraya juga merupakan ‘pintu gerbang’ untuk melihat sejarah kebudayaan Minangkabau.

*) Dosen Fakultas Sastra Unand dan Anggota Tim Peneliti Naskah Kuno di Kabupaten Dharmasraya Kerjasama Fakultas Sastra Unand dengan Balai Bahasa Padang.

Kehilangan Jejak Sapardian

Senggrutu Singomenggolo
http://kompas.co.id/

KEHILANGAN JEJAK SAPARDIAN PADA SAJAKNYA DI KOMPAS 22 MARET 2009 - SEBILAH PISAU DAPUR YANG KAUBELI DARI PENJAJA YANG SETIDAKNYA SEMINGGU SEKALI MUNCUL BERKELILING DI KOMPLEKS, YANG SELALU BERJALAN MENUNDUK DAN HANYA SESEKALI MENAWARKAN DAGANGANNYA DENGAN SUARA YANG KADANG TERDENGAR KADANG TIDAK, YANG KALAU DITANYA BERAPA HARGANYA PASTI DIKATAKANNYA, “TERSERAH SITU SAJA…”
(KADO ULTAH SAPARDI DJOKO DAMONO KE 70)

Mengenal Sapardi Djoko Damono seperti mengenal jelas jejak kreativitas saya tigapuluh tahun yang lalu hingga terakhir mengikuti matakuliah dia secara resmi dan menghasilkan tesis yang juga atas bimbingannya. Saya murid yang bengal untuk ukuran akademis karena saya tidak menguntit seratus persen segala yang dijejaki gurunya. Saya membayanginya seperti halnya sajak dia yang monumental:

BERJALAN KE BARAT WAKTU PAGI HARI

waktu aku berjalan ke barat di waktu pagi matahari mengikutiku di belakang
aku berjalan mengikuti bayang-bayangku sendiri yang memanjang di depan
aku dan matahari tidak bertengkar tentang siapa di antara kami yang telah menciptakan bayang-bayang
aku dan bayang-bayang tidak bertengkar tentang siapa di antara kami yang harus berjalan di depan
(dari kumpulan Mata Pisau, Balai Pustaka, 1982)

Begitu tegarnya penyair bahwa barat adalah arah pasti dan bayang-bayang menunjukkan arah hingga pada kesimpulan bahwa tak ada konflik baik dari sumber ilmu bayang-bayang yang membayangi kepenyairannya dan penyair sendiri. Lengkaplah pengaruh barat yang liris dan imajis itu jadi milik pribadi penyair yang nantinya akan menjadikan panutan mereka yang dikelompokkan dalam Sapardian Poets. Jumbuhnya pangroso dan roso menjadikan warna yang lekat padanya.
Selain keyakinan penyair yang menyandang predikat hujan bulan Juni begitu kuyup penyair juga suka akan kolam berserta habitatnya dan yang memayungi seperti pohon jeruk. Jadi setelah terlepas dari DukaMu Abadi penyair nmerenangi dunia kolam dan hujan demikian tekun sampai pada saatnya akan menemukan mata pisau yang menjadi tonggak penyair setelah meraih jalan ke barat tanpa pertengkaran.

Sajak yang berkubang kolam telah termuat pada Kompas, Minggu, 10 Juni 2007. sebuah titi mangsa yang menengarai kesukaan penyair akan bulan dan hujan. Penyair imajis liris ini telah berani bermain dengan kata sederhana karena terpengaruh atas sajak-sajak mbeling asuhan Remisilado saat masih ada majalah musik Aktuil . Maka sajaknya jadi bernarasi seperti pada sajak panjang berikut:

KOLAM DI PEKARANGAN
/1/
Daun yang membusuk di dasar kolam itu masih juga tengadah ke ranting pohon jeruk yang dulu melahirkannya. la ingin sekali bisa merindukannya. Tak akan dilupakannya hari itu menjelang subuh hujan terbawa angin memutarnya pelahan, melepasnya dari ranting yang dibebani begitu banyak daun yang terus-menerus berusaha untuk tidak bergoyang. la tak sempat lagi menyaksikan matahari yang senantiasa hilang-tampak di sela-sela rimbunan yang kalau siang diharapkan lumut yang membungkus batu-batu dan menempel di dinding kolam itu. Ada sesuatu yang dirasakannya hilang di hari pertama ia terbaring di kolam itu, ada lembab angin yang tidak akan bisa dirasakannya lagi di dalam kepungan air yang berjanji akan membusukkannya segera setelah zat yang dikandungnya meresap ke pori-porinya. Ada gigil matahari yang tidak akan bisa dihayatinya lagi yang berkas-berkas sinarnya suka menyentuh-nyentuhkan hangatnya pada ranting yang hanya berbisik jika angin lewat tanpa mengatakan apa-apa. Zat itu bukan angin. Zat itu bukan cahaya matahari. Zat itu menyebabkannya menyerah saja pada air yang tak pernah bisa berhenti bergerak karena ikan-ikan yang di kolam itu diperingatkan entah oleh Siapa dulu ketika waktu masih sangat purba untuk tidak pernah tidur. Ia pun bergoyang ke sana ke mari di atas hamparan batu kerikil yang mengalasi kolam itu. Tak pernah terbayangkan olehnya bertanya kepada batu kerikil mengapa kamu selalu memejamkan mata. Ia berharap bisa mengenal satu demi satu kerikil itu sebelum sepenuhnya membusuk dan menjadi satu dengan air seperti daun-daun lain yang lebih dahulu jatuh ke kolam itu. Ia tidak suka membayangkan daun lain yang kebetulan jatuh di kaki pohon itu, membusuk dan menjadi pupuk, kalau kebetulan luput dari sapu si tukang kebun.
*
la ingin sekali bisa merindukan ranting pohon jeruk itu.
*
Ingin sekali bisa merindukan dirinya sebagai kuncup.

/2/
Ikan tidak pernah merasa terganggu setiap kali ada daun jatuh ke kolam, ia memahami bahwa air kolam tidak berhak mengeluh tentang apa saja yang jatuh di dalamnya. Air kolam, dunianya itu. Ia merasa bahagia ada sebatang pohon jeruk yang tumbuh di pinggir kolam itu yang rimbunannya selalu ditafsirkannya sebagai anugerah karena melindunginya dari matahari yang wataknya sulit ditebak. Ia senang bisa bergerak mengelilingi kolam itu sambil sesekali menyambar lumut yang terjurai kalau beberapa hari lamanya si empunya rumah lupa menebarkan makanan. Mungkin karena tidak bisa berbuat lain, mungkin karena tidak akan pernah bisa memahami betapa menggetarkannya melawan arus sungai atau terjun dari ketinggian, mungkin karena tidak pernah merasakan godaan umpan yang dikaitkan di ujung panting. Ia tahu ada daun jatuh, ia tahu daun itu akan membusuk dan bersenyawa dengan dunia yang membebaskannya bergerak ke sana ke mari, ia tahu bahwa daun itu tidak akan bisa bergerak kecuali kalau air digoyang-goyangnya. Tidak pernah dikatakannya Jangan ikut bergerak tinggal saja dipojok kolam itu sampai zat entah apa itu membusukkanmu. Ikan tidak pernah percaya bahwa kolam itu dibuat khusus untuk dirinya oleh sebab itu apa pun bisa saja berada di situ dan bergoyang-goyang seirama dengan gerak air yang disibakkannya yang tak pernah peduli ia meluncur ke mana pun. Air tidak punya pintu.
*
Kadangkala ia merasa telah melewati pintu demi pintu.
*
Merasa lega telah meninggalkan suatu tempat dan tidak hanya tetap berada di situ.

/3/
Air kolam adalah jendela yang suka menengadah menunggu kalau-kalau matahari berkelebat lewat di sela rimbunan dan dengan cerdik menembusnya karena lumut merindukannya. Air tanpa lumut? Air, matahari, lumut. Ia tahu bahwa dirinya mengandung zat yang membusukkan daun dari menumbuhkan lumut, ia juga tahu bahwa langit tempat matahari berputar itu berada jauh di luar luar luar sana, ia bahkan tahu bahwa dongeng tentang daun, ikan, dan lumut yang pernah berziarah ke jauh sana itu tak lain siratan dari rasa gamang dan kawatir akan kesia-siaan tempat yang dihuninya. Langit tak pernah firdaus baginya. Dulu langit suka bercermin padanya tetapi sekarang terhalang rimbunan pohon jeruk di pinggirnya yang semakin rapat daunnya karena matahari dan hujan tak putus-putus bergantian menyayanginya. Ia harus merawat daun yang karena tak kuat lagi bertahan lepas dari tangkainya hari itu sebelum subuh tiba. Ia harus merawatnya sampai benar-benar busuk, terurai, dan tak bisa lagi dikenali terpisah darinya. Ia pun harus habis-habisan menyayangi ikan itu agar bisa terus-menerus meluncur dan menggoyangnya. Air baru sebenar-benar air kalau ada yang terasa meluncur, kalau ada yang menggoyangnya, kalau ada yang berterima kasih karena bisa bernapas di dalamnya. Ia sama sekali tak suka bertanya siapa gerangan yang telah mempertemukan kalian di sini. Ia tak peduli lagi apakah berasal dari awan di langit yang kadang tampak bagai burung kadang bagai gugus kapas kadang bagai langit-langit kelam kelabu. Tak peduli lagi apakah berasal dari sumber jauh dalam tanah yang dulu pernah dibayangkannya kadang bagai silangan garis-garis lurus, kadang bagai kelokan tak beraturan, kadang bagai labirin.
*
Ia kini dunia.
*
Tanpa ibarat.

Dalam sajak itu penyair tidak lagi menggunakan personifikasi yang lazim muncul pada sajak-sajak dalam DukaMu Abadi, Mata Pisau, Aquarium dan Perahu Kertas yang dengan mudah melakukan hujan yang meludah, angin berbisik, kata meruncing dan sebagainya. Daya pukau sajak Sapardi Djoko Damono pada suasana yang terbentuk imajis liris dan penuh personifikasi kadang juga menjadi metaforis. Tapi sajak di atas jauh dari swasana karena gaya narasinya dan adanya karakterisasi yang mantap pada daun yang jatuh di kolam, penghuni kolam berupa ikan yang tak pernah lelap, juga air kolam itu sendiri yang menyatu dalam suatu semesta maya rekaan penyair.

Sajak yang terbaru Sapardi adalah tersiar dalam Kompas, Minggu 23 Maret 2009 tiga hari setelah Sapardi Djoko Damono menggenapi usia dengan akan mistis 69. Angka yang berkonotasi sexualitas. Angka yang menyaran pada teknik bersenggama asmara melibat menggelora. Sebuah angka fantastis, maka saya menyiapkan tulisan ini untuk menyambut angka tonggak manusia setelah selesai bekerja total dalam dunia nyata (bukan kekreatifitasan!) yakni 70. Angka yang jarang dilewati manusia dengan gagah sehat wal afiat dan lengkap. Dan tahap berikutnya adalah angka 80. Angka seratus barangkali adalah batas halusinasi manusia moderen yang tak tersengat stress.
Untuk mengawali sajak pungkasan yang tersiar di media masa ada baiknya kita toleh ke belakang pada sajak penyair dengan fokus yang sama: Mata Pisau

mata pisau itu tak berkejab menatapmu;
kau yang baru mengasahnya
berfikir: ia tajam untuk mengiris apel
yang tersedia di atas meja
sehabis makan malam;
ia berkilat ketika terbayang olehnya urat lehermu.
(dari kumpulan Mata Pisau, Balai Pustaka, 1982)

Sajak yang penuh personifikasi ini menyaran pada sikap Sapardi yang menengok ke barat seperti dalam sajak: BERJALAN KE BARAT WAKTU PAGI HARI yang menunjukkan kemampuan filosfis Sapardi yang majing ajur ajer pada dunia rekaan barat. Pada sajak “Mata Pisau” lebih tegas lagi sikap ke-barat-an penyair dengan memilih buah apel yang di meja bukan jambu, pisang, papaya, kepel ataupun kesemek. Kalau alasan mengejar rima sajak “Mata Pisau” tidak menunjukkan adanya gejala rima pada akhiran –pel (kenapa tidak buah kepel, mangga mengkel, jeruk sebulat bola bekel?). Sikap menoleh kebarat memang tidak dapat dihindari Sapardi karena memang mempunyai dasar akademis Sastra Inggris (terutama Amerika Serikat). Bahkan baris akhir sajak itu tidak terasa kengerian pembunuhan kecuali rasa seksualitas yang halus dan tinggi. Leher jenjang dan mulus mengasosiasikan kemampuan sesualitas yang asyik. Lain dengan sajak “Akuarium” yang ada pembedah terdahulu melalui kacamata semiotika yang mengundang petanda dan penanda yang diturunkan oleh Bloomfield pada pemahaman bahasa yang terwujud karena adanya respond an stimulus, sajak yang menyaran pada etalase wanita penghibur dengan nomer pinggang yang siap melayani all out di atas ranjang. Simak sajak tersebut sebelum kita menukik ke sajak pungkasan Sapardi yang tersiar di Kompas Minggu:

kau yang mengatakan: matanya ikan!
kau yang mengatakan: matanya dan rambutnya dan pundaknya ikan!
kau yang mengatakan: matanya dan rambutnya dan pundaknya dan lengannya dan dadanya dan pinggulnya dan pahanya ikan!
“Aku adalah air,” teriakmu, “adalah ganggang adalah lumut adalah gelembung udara adalah kaca adalah …”
(dari kumpulan Mata Pisau, Balai Pustaka, 1982)

Begitulah penyair yang saya curigai telah berbelok pada tikungan hidupnya dengan menyodorkan puisi dengan judul sepanjang satu alinea dan merunut jejaknya yang dulu dengan seragam baru.
Sebilah Pisau Dapur yang Kaubeli dari Penjaja
yang Setidaknya Seminggu Sekali Muncul
Berkeliling di Kompleks, yang Selalu Berjalan
Menunduk dan Hanya Sesekali Menawarkan
Dagangannya dengan Suara yang Kadang
Terdengar Kadang Tidak, yang Kalau Ditanya
Berapa Harganya Pasti Dikatakannya,
“Terserah Situ Saja…”

/1/
takdir pun dimulai
di pintu pagar
sehabis kaubayar
kita perlu sebilah
pengganti si patah
kau telah memilih pisau
berasal dari rantau
matanya yang redup
tiba-tiba hidup

/2/
bahasanya tak kaukenal
tentu saja
tapi dengan cermat
dipelajarinya bahasamu
yang berurusan
dengan mengiris
dan menyayat
yang tak lepas dari tata cara
meletakkan sayur berjajar
di talenan untuk dirajang
sebelum dimasukkan
ke panci yang mendidih airnya
dan dengan cepat
dikuasainya bahasamu
yang memiliki kosa kata lengkap
untuk mengurus bangkai ayam
membersihkan usus
memotong-motongnya
dan merajang hatinya

/3/
ia tulus dan ikhlas belajar
menerima kehadirannya
di antara barang-barang
yang telungkup
yang telentang
yang bergelantungan
yang kotor
yang retak
yang bau sabun
yang berminyak
di seantero dapur

/4/
segumpal daging merah
sedikit darah
di meja dapur
di sebelah cabe
berhimpit dengan bawang
yang menyebabkan
matanya berlinang
teringat akan mangga
yang tempo hari dikupasnya
teringat akan apel
yang kemarin dibelahnya
di meja makan

/5/
kau sangat hati-hati
memperlakukannya
waswas akan tatapannya
sangat sopan menghadapinya
meski kau yakin
seyakin-yakinnya
ia bukan keris pusaka
kau sangat hati-hati
setiap kali menaruhnya
di pinggir tempat cuci piring
takut melukai matanya

/6/
kau merasa punya tugas
untuk teratur mengasahnya
dinantinya saat-saat
yang selalu menimbulkan
rasa bahagia itu
inderanya jadi lebih jernih
jadi lebih awas
jadi lebih tegas
memilah yang manis
dari yang pedas
meraba yang lunak
di antara yang keras

/7/
apa gerangan yang dibisikkannya
kepada batu pengasah itu

/8/
ia suka berkejap-kejap
padaku, kata cucumu
kau buru-buru menyeretnya
menjauh dari dapur
yang tiba-tiba terasa gerah

/9/
ia kenal hanya selarik doa
yang selalu kauucapkan
sebelum memotong ikan
yang masih berkelejotan
kalau tanganmu gemetar
memegang tangkainya
ia pejamkan mata
mengucapkan doa

/10/
kenangannya pada api
yang dulu melahirkannya
menyusut ketika tatapannya
semakin tajam
oleh batu asah
kenangannya pada landasan
dan palu yang dulu menempanya
kenangannya pada jari-jari kasar
yang pertama kali mengelusnya
kenangannya
pada kata pertama
si pandai besi
ketika lelaki itu
melemparkannya ke air
yang mengeluarkan suara aneh
begitu tubuhnya
yang masih membara
tenggelam dan mendingin
kenangannya pada benda-benda
yang telah melahirkannya
semakin redup
ketika saat ini ia merasa
sepenuhnya tajam
seutuhnya hidup

/11/
dua sisi matanya
tak pernah terpejam
sebelah menatapmu
sebelah berkedip padaku
jangan pernah tanyakan
makna tatapan
yang melepaskan isyarat
seperti bintik-bintik cahaya
yang timbul-tenggelam
di sela-sela gema
di sela-sela larik-larik
Kitab yang menjanjikan
sorga bagi kita

/12/
ujungnya menunjuk ke Sana?
diam-diam terucap
pertanyaanmu itu
menjelang subuh
:
matanya tampak berlinang
dari sudut-sudutnya muncul
gelembung-gelembung darah
satu demi satu pecah
:
satu demi satu pecah
:
satu demi satu pecah
:
lantunan azan
Begitu bersahajanya sajak ini mengingatkan puisi-puisi mbeling tahun tujuhpuluhan di majalah musik Aktuil yang digawangi oleh 23761. Ketegasan memilih pisau rantau dengan bahasanya yang perlu dipelajari dan pengulangan penggunaan kosa kata apel lagi menjadi jembatan kekreatifan penyair walau sebagai pembaca yang pernah menguntit jejak kepenyairannya merasa kehilangan jejak liris imajis personifikasi menjadi jujur terbuka dan sederhana dengan pilihan kata yang biasa. Biasa oleh penyair mbeling yang mencoba mentak-sakralkan puisi, tapi puisi Sapardi tetap suci sesuci air perwitasari yang diburu Bima dan ketemu Dewa Ruci: Gila saya dituntun memasuki labirin baru Sapardi Djoko Damono!

Bogor Maret menjelang kampanye legislatif yang gamang 09

Seni, Imajinasi, dan Kampanye Pencitraan

M. Shoim Anwar
http://www.jawapos.com/

HARI-HARI ini di sekitar kita benar-benar dipenuhi oleh suasana dan media kampanye dengan simbol-simbol politik. Poster, baliho, spanduk, foto, selebaran, dan sejenisnya tumbuh seperti rumput liar di pinggir-pinggir jalan. Radio yang kita dengar, televisi yang kita tonton, serta koran yang kita baca telah dikepung oleh nuansa politik. Persuasi yang dimunculkan simbol-simbol itu terus berulang, mengalami repetisi dari waktu ke waktu untuk merogoh simpati kita. Ibarat menu, semua itu disajikan secara bersama-sama dan kita dipaksa untuk melahapnya. Atas nama pesta, awalnya kita memang sangat bernafsu melahapnya, tapi lama-lama kita pun muntah dibuatnya.

Kita memang selalu belajar dari sejarah. Masa lampau, hari ini, dan masa mendatang adalah ruang gerak perjalanan sejarah. Ironisnya, politik dan kekuasaan hampir selalu memberi sejarah ketidakpastian dalam kenyataan hidup. Berbagai isi media politik yang ada di sekeliling kita bukanlah kenyataan sebenarnya. Seni dengan ruang imajinasinya telah membangun politik pencitraan seperti halnya iklan kecap atau obat sakit kepala. Foto para caleg dan tayangan iklannya dengan berbagai simbol yang melekat diusahakan sedemikian rupa agar seakan-akan mendekati realita.

Pada tahap seperti ini pandangan Plato tentang mimesis dalam seni jadi relevan, seni di satu sisi telah menjauhkan kita dari realita. Bagi Plato, seni yang ideal harus mendekatkan kita pada kebenaran (truthful). Bila tidak, seni justru menjauhkan kita dari akal budi. Itulah sebabnya, seniman harus senantiasa santun (modest).

Kampanye dengan berbagai atributnya adalah seni. Dominasi ruang imajinasi di dalamnya terlalu besar jika dibanding dengan realita. Janji-janji dan impian yang disuguhkan adalah fiksi, mirip seperti the American Dream bahwa ”tukang semir dapat menjadi pemilik pabrik sepatu”. Pidato dan iklan yang ditampilkan adalah klaim sepihak, hitam putih, dan semua kebaikan diatasnamakan diri sendiri dan golongannya. Wacana yang telah dilontarkan bukanlah faktual, melainkan fiksional karena ada fakta lain yang disisihkan dan disembunyikan. Pada tataran semiotik, seperti dikatakan penyair Rusia Tyutcev, ”pikiran yang diucapkan adalah suatu kebohongan”.

Apakah dengan demikian seni dan imajinasi selalu bersifat merusak? Tentu saja tidak. Ini sangat bergantung pada siapa dan apa motivasinya. Albert Einstein pernah berkata, ”The imagination is more important than knowledge”, imajinasi lebih penting dibanding pengetahuan. Einstein adalah seorang ilmuwan. Baginya, imajinasi merupakan titik pijak untuk membangun penemuan dalam realita. Tetapi, bagi politikus, imajinasi dipakai untuk membangun kekuasaan, seperti halnya teori imajinatif Machiavelli tentang kekuasaan dalam Sang Pangeran (The Prince) yang menghalalkan segala cara. Kekuasaan dan politik secara praktis cenderung korup. Tak heran jika para pelakunya dijuluki zoon politicon, binatang yang berpolitik.

Seni bukanlah tindak tutur yang wajar (speech act). Seni tidak berbicara apa adanya. Mendengarkan iklan atau pidato kampanye bukanlah sesuatu yang aplikatif. Karena termasuk seni, keberadaannya selalu diwarnai ambiguitas atau ketidakpastian. Maka, jangan terlalu berharap pada ketidakpastian yang terlontar. Lebih dari 63 persen caleg, menurut KPU Pusat, tidak memiliki pekerjaan yang jelas. Itu artinya, ada tindak improvisasi yang dibangun. Sementara improvisasi adalah bayi yang dilahirkan oleh dunia kesenian. Pada situasi politis demikian, kita dihantui kecemasan, jangan-jangan para caleg adalah wrong man in a wrong place.

Sekarang kita berada dalam situasi ”jeruk makan jeruk”, yaitu dunia imajinatif yang dibangun lewat kampanye politik juga memanfaatkan media kesenian. Ini berarti seni makan seni. Memanfaatkan seni sebagai media pencitraan politik selalu memiliki ambivalensi. Bila dikaitkan dengan dunia politik dan kekuasaan, seni yang benar-benar seni memiliki naluri di luar pagar sebagai manivestasi kebebasannya. Seni yang isinya dipakai sebagai media kampanye politik dan kekuasaan akan jatuh pada wilayah pragmatisme.

Seorang caleg di Surabaya baru-baru ini memamerkan 23 lukisan dirinya karya 23 pelukis di Balai Pemuda, lantas disusul dengan konser musik bersama Sawung Jabo untuk memperkuat citranya. Seni model demikian akan runtuh, seperti halnya patung Karl Max, Lenin, dan Saddam Hussein yang ramai-ramai dirobohkan seiring dengan jatuhnya figur tersebut. Nasib yang sama menimpa lagu Bapak Pembangunan atau lukisan potret diri Soeharto oleh Dede Eri Supria. Bahkan uang yang bergambar potret diri Soeharto ditarik peredarannya ketika Soeharto jatuh.

Pada sisi lain, seni juga ketiban berkah saat iruk pikuk kampanye seperti ini. Tentu saja yang dimaksud adalah seni populer. Acara kampanye yang diramaikan dengan pertunjukan musik dan para artis umumnya dibanjiri orang. Tidak ada relevansi antara jumlah orang yang hadir dan besarnya dukungan terhadap caleg/partai penyelenggara. Mereka mungkin hanya menikmati hiburannya atau hadir karena diberi sesuatu. Ketika pertunjukan musik selesai dan giliran pidato kampanye para caleg, penonton pun bubar. Para artis hadir karena profesi mereka memang ditanggap. Muatan seninya umumnya tidak berkaitan dengan partai atau caleg tersebut.

Seni memang dapat ditempatkan di berbagai kemungkinan. Pada masa rezim komunis masih berkuasa di Uni Sovyet (Rusia) hampir semua karya seni diarahkan untuk pencitraan partai politik dan kekuasaan. Di samping tidak ada gaungnya, karya seni tersebut jatuh pada slogan kosong, mirip dengan karya sastra yang diproduksi oleh orang-orang Lekra di Indonesia. Sebaliknya, karya seni yang mengambil posisi berlawanan justru menjadi monumental seperti karya-karya Boris Pasternak, Solzhenitsyn, Anton Chekov, Joseph Brodsky, dan sebagainya. Maka, jika sajak-sajak perlawanan Rendra masih eksis hingga kini karena dia mengambil sikap perlawanan terhadap dunia politik dan kekuasaan yang dinilainya tidak beres: O, tatawarna fatamorgana kekuasaan!/ O, sihir berkilauan dari mahkota raja-raja!/ Dari sejak jaman Ibrahim dan Musa / Allah selalu mengingatkan/ bahwa hukum harus lebih tinggi/ dari keinginan para politisi, raja-raja, dan tentara.

Seni memang sudah lama dimanfaatkan untuk sarana pencitraan. Di masa lampau seni juga dimanfaatkan oleh penguasa dan raja-raja untuk membentengi kekuasaan agar rakyat tidak berani melawan. Tidak heran jika salah satu ciri sastra lama di berbagai negara dan daerah adalah istana sentris, di mana raja dan keluarganya selalu dikisahkan sebagai figur ideal dan keturunan dewa-dewa. Tidak heran bila para penguasa lebih suka menanggap wayang kulit. Ini adalah model kampanye istana. Di sisi lain, muncul pula seni perlawanan seperti ludruk yang egaliter. Penguasa umumnya tidak suka dengan kesenian rakyat karena sering bernada kritis.

Di tengah-tengah iruk pikuk kampanye caleg dan partai politik, lagu Wakil Rakyat dari Iwan Fals menjadi segar kembali. Citra legislatif semakin terpuruk karena para anggotanya di berbagai wilayah tanah air sering terlibat berbagai kasus pelanggaran etika dan hukum, khususnya perkara korupsi. Bila Iwan Fals di masa Orde Baru melontarkan kritik ”wakil rakyat seharusnya merakyat, jangan tidur waktu sidang soal rakyat”, atau cuplikan novel Belantik karya Ahmad Tohari yang menyatakan bahwa anggota parlemen kalau sidang ”ngantuk melulu” dan ”mereka bermusyawarah-mufakat sambil guyon”, kini kondisinya jauh lebih parah. Korupsi berjamaah yang dilakukan para wakil rakyat terjadi hampir merata di seluruh tanah air. Cocok dengan judul drama Parlemen Gombal yang pernah dipentaskan di Balai Pemuda Surabaya.

Di pengujung 1990-an, pelukis Yusuf Susilo Hartono memamerkan sebuah lukisannya yang berjudul Bebek-Bebek Senayan. Lukisan berobjek gerombolan bebek dengan latar belakang gedung DPR/MPR itu sangat jelas pesannya, bahwa anggota parlemen perilakunya seperti bebek, penurut, dan tidak memiliki integritas. Ini mirip dengan cerpen Jurdil karya Yudhistira A.N.M. Massardi yang menggambarkan ketragisan fungsi anggota legislatif yang mengabdikan dirinya kepada kepentingan raja serta sesekali menyuarakan aspirasi segenap keluarga dan kerabat. Sebuah kaca benggala legislatif yang buram. Sama juga seperti drama atau monolog Butet Kartarajasa Lidah Masih Pingsan atau Mayat Terhormat.

Politik pencitraan lewat seni yang dilakukan para politikus dan caleg telah menemukan tandingannya. Jika janji-janji imajinatif dalam kampanye selalu memberi angin surga, Danarto justru mematahkannya lewat puisi ”Negeri Bandit”: Tuhan tinggal pajangan di dinding-dinding hotel berbintang, meja seminar, gedung DPR/MPR, dan rak-rak file dari kebobrokan ekonomi dan moral para pejabat.

Rakyat memang semakin pandai. Perilaku para politisi dan janji para caleg yang tidak masuk akal akan dibiarkan di alam imajinasi. Rakyat akan menilai dengan logikanya sendiri, seperti bunyi sajak Darmanto Jatman ”Hukuman Karto”: Atas asma Allah. Kuhukum kamu dengan mendiamkan tanda gambarmu / Sekalipun katamu kamu memihakku, membebaskan kami dari biaya edukasi apalagi korupsi / Tapi pada masa putaran kampanye, perilakumu tak mengundang simpatiku/ Kamu gasak rokok daganganku, kamu geber saudara-saudaraku!

Politik praktis berorientasi kekuasaan. Ideologinya adalah pragmatisme atau tergantung kepentingan sesaat. Lihatlah ulah para politisi yang loncat sana loncat sini. Omongannya juga susah dipegang. Sementara seni (man), yang juga tak dapat melepaskan diri dari ideologi, memiliki ikatan sangat kuat dengan ideologi yang dianutnya. Maka, ketegangan ideologis antara seni dan politik akan selalu terjadi. Kata-kata John F. Kennedy akan selalu aktual, ”Ketika politik menjadi bengkok, maka puisi akan meluruskannya.” (*)

Label

`Atiqurrahman A Muttaqin A Rodhi Murtadho A. Iwan Kapit A. Purwantara A. Qorib Hidayatullah A. Zakky Zulhazmi A.H.J Khuzaini A.S. Laksana Aang Fatihul Islam Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi WM Abdul Kadir Ibrahim Abdul Lathief Abdul Malik Abdul Wachid B.S. Abdurrahman El Husaini Abidah El Khalieqy Abu Salman Acep Zamzam Noor Achdiat K. Mihardja Adek Alwi Adi Suhara Adnyana Ole Adreas Anggit W. Afrion Afrizal Malna Aguk Irawan MN Agung Dwi Ertato Agus B. Harianto Agus Buchori Agus Himawan Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sulton Agusri Junaidi Agustinus Wahyono Ahda Imran Ahmad Badrus Sholihin Ahmad Fanani Mosah Ahmad Fatoni Ahmad Ikhwan Susilo Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musabbih Ahmad Rofiq Ahmad Sahidah Ahmad Tohari Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sekhu Alex R. Nainggolan Alex Suban Alunk Estohank Ami Herman Amien Kamil Amien Wangsitalaja Aminudin R Wangsitalaja Anastasya Andriarti Andreas Maryoto Anes Prabu Sadjarwo Angela Angga Wijaya Angkie Yudistia Anindita S Thayf Anis Ceha Anjrah Lelono Broto Anton Kurnia Anton Kurniawan Anton Wahyudi Anugrah Gio Pratama Anwar Nuris Aprinus Salam Arie MP Tamba Arif B. Prasetyo Arif Bagus Prasetyo Arif Hidayat Arman A.Z. Arti Bumi Intaran Arys Hilman AS Sumbawi Asarpin Asef Umar Fakhruddin Asep Sambodja Asrama Mahasiswa Aceh SABENA Astrikusuma Asvi Warman Adam Atep Kurnia Awalludin GD Mualif Aziz Abdul Gofar Azizah Hefni Badrut Tamam Gaffas Bagja Hidayat Bagus Takwin Balada Bale Aksara Baltasar Koi Bambang Agung Bambang Kempling Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Bayu Insani Beni Setia Benny Arnas Benny Benke Berita Berita Duka Berita Utama Bernando J. Sujibto Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Blambangan Brunel University London BSW Adjikoesoemo Budaya Budhi Setyawan Budi Darma Budi Saputra Budi Suwarna Bung Tomo Cak Kandar Catatan Cerpen Chairil Anwar Chavchay Syaifullah Cucuk Espe Cunong N. Suraja D. Zawawi Imron Dadang Ari Murtono Daisuke Miyoshi Damanhuri Damhuri Muhammad Damiri Mahmud Danarto Daniel Dhakidae Dante Alighieri Deddy Arsya Dedy Tri Riyadi Denny Mizhar Deny Tri Aryanti Detti Febrina Dharmadi Diah Hadaning Dian Hartati Dian Sukarno Diana A.V. Sasa Dicky Fadiar Djuhud Didi Arsandi Dimas Dina Oktaviani Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Djadjat Sudradjat Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Doddy Hidayatullah Donny Anggoro Dony P. Herwanto Dorothea Rosa Herliany Dr. Muhammad Zafar Iqbal Dr. Simuh Dwi Arjanto Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwicipta Dwijo Maksum Edy A. Effendi Edy Firmansyah Efri Ritonga Egidius Patnistik Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Hendri Saiful Elik Elsya Crownia Emha Ainun Nadjib Endah Sulawesi Endah Wahyuningsih Endang Suryadinata Endhiq Anang P Endri Y Eriyandi Budiman Ernest Hemingway Esai Esha Tegar Putra Eva Dwi Kurniawan Evi Dana Setia Ningrum Evi Idawati Evieta Fadjar F Rahardi Fabiola D. Kurnia Fadelan Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Faisal Kamandobat Faisal Syahreza Faizal Syahreza Fajar Alayubi Fandy Hutari Fany Chotimah Fatah Yasin Noor Fathor Lt Fathurrahman Karyadi Fatih Kudus Jaelani Fatma Dwi Rachmawati Fauzi Absal Festival Sastra Gresik Fikri. MS Fina Sato Fitri Susila Galih Pandu Adi Gde Agung Lontar Geger Riyanto Gerakan Literasi Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Ginanjar Rahadian Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gunoto Saparie Gus Martin Gus tf Sakai Gusti Eka Hadi Napster Haji Misbach Halim HD Halimi Zuhdy Hamberan Syahbana Hamdy Salad Han Gagas Handoko F. Zainsam Hari Santoso Haris del Hakim Hartono Harimurti Hary B. Kori’un Hasan Gauk Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Helwatin Najwa Hepi Andi Bastoni Heri C Santoso Heri KLM Heri Latief Heri Listianto Hermien Y. Kleden Hernadi Tanzil Heru Emka Heru Kurniawan Heru Prasetya Hesti Sartika Hudan Hidayat Humaidiy AS I Made Asdhiana I Made Prabaswara I Nyoman Suaka IBM. Dharma Palguna Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Ida Ahdiah Idayati Ignas Kleden Ihsan Taufik Ilenk Rembulan Ilham Khoiri Ilham Yusardi Imam Cahyono Imam Jahrudin Priyanto Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indah Darmastuti Indiar Manggara Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indrian Koto Irma Safitri Irman Syah Iskandar Noe Istiqomatul Hayati Ita Siregar Iwan Kurniawan Iwan Nurdaya-Djafar Iyut FItra Jadid Al Farisy Jafar M. Sidik Jakob Sumardjo Jamal D Rahman Janual Aidi Javed Paul Syatha Jayaning S.A Jefri al Malay Jihan Fauziah JJ. Kusni Jo Pakagula Johan Edy Raharjo Joko Pinurbo Jokowi Undercover Joni Ariadinata Joss Wibisono Jual Buku Paket Hemat Judyane Koz Juli Sastrawan Junaidi Abdul Munif Jusuf AN Juwairiyah Mawardy Kadir Ruslan Kasnadi Katrin Bandel Kedung Darma Romansha Khairul Mufid Jr Khamami Zada Khrisna Pabichara Kikin Kuswandi Koh Young Hun Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Komunitas Sastra Ilalang Indonesia (KSII) Korrie Layun Rampan Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan) Kristianto Batuadji Kritik Sastra Kunni Masrohanti Kunthi Hastorini Kuntowijoyo Kurie Suditomo Kurnia EF Kurniawan Kuswaidi Syafi'ie Kuswinarto Lan Fang Landung Rusyanto Simatupang Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Liestyo Ambarwati Khohar Linda Sarmili Liston P. Siregar Liza Wahyuninto LN Idayanie Lucia Idayani Lukman Asya Lusiana Indriasari Lynglieastrid Isabellita M Hari Atmoko M. Aan Mansyur M. Arman A.Z M. Bagus Pribadi M. Fadjroel Rachman M. Harya Ramdhoni Julizarsyah M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S M. Luthfi Aziz M. Nahdiansyah Abdi M. Raudah Jambak M. Shoim Anwar M. Yoesoef M.D. Atmaja Maghfur Saan Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Majalah Sastra Horison Maklumat Sastra Profetik Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Serenade Sinurat Mario F. Lawi Marluwi Marsel Robot Martin Aleida Martin Suryajaya Mashuri Matdon Mega Vristian Melani Budianta Melayu Riau Memoar MG. Sungatno Mh Zaelani Tammaka Miftah Fadhli Miftahul Abrori Misbahus Surur Miziansyah J Mochtar Lubis Mohamad Ali Hisyam Mohammad Eri Irawan MT Arifin Mugy Riskiana Halalia Muhajir Arrosyid Muhamad Rifai Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Al-Mubassyir Muhammad Qodari Muhammad Rain Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun A.S Muhidin M. Dahlan Muhlis Al-Firmany Mujtahid Mulyadi SA Munawir Aziz Murniati Tanjung Murnierida Pram Musa Ismail Musfi Efrizal Mustaan Mustafa Ismail N. Mursidi Nafsul Latifah Naskah Teater Nasrullah Nara Nelson Alwi Nenden Lilis A Nh. Anfalah Ni Made Purnama Sari Nina Mussolini-Hansson Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Noura Nova Christina Noval Jubbek Novela Nian Nugroho Notosusanto Nugroho Pandhu Sukmono Nur Faizah Nurdin F. Joes Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nurul Komariyah Nuryana Asmaudi SA Nyoman Tusthi Eddy Nyoman Wirata Oka Rusmini Oktamandjaya Wiguna Oky Sanjaya Olanama Olivia Kristina Sinaga Otto Sukatno CR Pagelaran Musim Tandur Pamusuk Eneste Patricia Pawestri PDS H.B. Jassin PDS. H.B. Jassin Penghargaan Hadiah Sastra Pusat Bahasa Persda Network Pipiet Senja Pramoedya Ananta Toer Pramono Pranita Dewi Pringadi AS Prita Daneswari Prof. Tamim Pardede sebut Bambang Tri Prosa Pudyo Saptono Puisi Puisi Kesunyian Puisi Sufi Puji Santosa PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Wijaya Qaris Tajudin R. Sugiarti Rachmad Djoko Pradopo Radhar Panca Dahana Ragdi F. Daye Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Ramadhan Batubara Ramadhan KH Ratih Kumala Ratna Indraswari Ibrahim Ratna Sarumpaet Raudal Tanjung Banua Remy Sylado Reni Susanti Renny Meita Widjajanti Resensi Restu Kurniawan Retno Sulistyowati RF. Dhonna Rian Sindu Ribut Wijoto Ridwan Munawwar Riki Utomi Riris K. Toha-Sarumpaet Risang Anom Pujayanto Riza Multazam Luthfy Robin Al Kautsar Rodli TL Rofiqi Hasan Rohman Abdullah Rosidi Rosihan Anwar Rukardi S Yoga S. Jai S. Sinansari Ecip S.I. Poeradisastra S.W. Teofani Sabam Siagian Sabrank Suparno Saiful Anam Assyaibani Sainul Hermawan Sajak Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sanggar Rumah Ilalang Sanggar Teater Jerit Sapardi Djoko Damono Sartika Dian Sartika Dian Nuraini Sastra Tanah Air Sastra Using Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sayyid Fahmi Alathas Sazano Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo Seli Desmiarti Selo Soemardjan Senggrutu Singomenggolo Seno Joko Suyono SH Mintardja Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sipri Senda Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Sobih Adnan Sofian Dwi Sofie Dewayani Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sri Ruwanti Sri Wintala Achmad St Sularto Stefanus P. Elu Sukron Abdilah Sulaiman Djaya Suminto A. Sayuti Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sungging Raga Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Suryansyah Suryanto Sastroatmodjo Susanto Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suyadi Suyadi San Syaifuddin Gani Syaiful Amin Syamsiar Hidayah Syarbaini Syifa Amori Syifa Aulia Tajuddin Noor Ganie Taufik Abdullah Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat TE. Priyono Teguh Afandi Teguh Ranusastra Asmara Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Theresia Purbandini Tita Tjindarbumi Titik Alva-Alvi Choiriyah Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tjoet Nyak Dhien Tosa Poetra Tri Lestari Sustiyana Triyanto Triwikromo TS Pinang Tu-ngang Iskandar Tulus S Tulus Wijanarko Udo Z. Karzi Ugoran Prasad Umar Fauzi Ballah Umar Kayam Umbu Landu Paranggi Universitas Indonesia Universitas Jember Utada Kamaru UU Hamidy Vera Ernawati Veronika Ninik W.S. Rendra Wahjudi Djaja Wahyu Hidayat Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Budiartha Widya Karima Wijaya Herlambang Wiji Thukul Willem B Berybe Wilson Nadeak Winarni R. Wiratmo Soekito Wita Lestari Wiwik Widayaningtias Y. Thendra BP Y. Wibowo Yasser Arafat Yeni Ratnaningsih Yohanes Sehandi Yonatan Raharjo Yonathan Rahardjo Yopi Setia Umbara Yos Rizal S Yos Rizal Suriaji Yudhi Herwibowo Yuka Fainka Putra Yurnaldi Yushifull Ilmy Yusri Fajar Yusuf Suharto Zainal Abidin Zainal Arifin Thoha Zawawi Se Zen Hae