Senin, 04 Mei 2009

REALITAS (SEJARAH) MASA DEPAN

Nurel Javissyarqi*
http://forum-sastra-lamongan.blogspot.com/

Ini seolah dunia yang diandaikan peramal atau lagu gubahan firasat, namun tidak. Kita memiliki kemampuan tersebut, sebab memperoleh kenangan silam atas perjalanan hayat kesadaran kekinian. Posisi bertahan-menyerang atau penerimaan aktif dari dalam. Realitas masa depan itu, bayangan kemarin kepada kesadaran terkini yang hendak menggapai kemungkinan.

Awal kali bermain catur, tentu memperhatikan yang di depan. Buah catur kita dengan milik lawan dalam dunia permainan. Kesadaran posisi, ukuran jangkauan, gerak langkah atau berhenti mendadak, ialah usaha gerak kekinian menuju masa depan.

Pengetahuan menjelma ilmu saat berulangkali terjadi, menjadi bahan pelajaran pada cita kebenaran melangkah. Dan sebaiknya jebakan dihindari, agar kuda tunggangan tidak terperosok kembali. Situasi di depan itu wajah yang harus diterjemahkan, menjadi pilihan melangkah bertepatan realitas yang gemilang.

Hidup tak lebih permainan berulang, dengan ukuran tidak jauh berbeda, tinggi rendah maupun warna. Datangnya musim atas keadaan pribadi, oleh kesegaran tubuh atau sebaliknya. Bagaimana pengetahuan yang terpegang menjadi memori, bersanggup menggagalkan sandungan, lewat kehati-hatian mawas diri, tak sekadar bersumber pandangan mata.

Cara kerja berfikirnya kawan diperhatikan, dan kebertemuan ialah perwujudan yang terharapkan. Realitas masa depan mudah diterjemahkan, kalau mengambil akar-akar kesadaran tradisi. Ini semesta arus transformasi nilai, jikalau kecondongan perahu bisa terbalik karam.

Ini bukan meramal takdir yang terbeberkan anak manusia menanggapi fenomena yang berkembang, atau menyempit membetot tanggapan. Namun untuk kelanggengan eksistensi dirinya yang berharap masa akan datang.

Keterangan ini bukan pulung jatuh tanpa sebab, tapi ada arus keberaturan yang menentukan tetap menyusuri jalan yang diimpikan. Atas pengalaman tempaan hayat dalam kesadaran manfaat, laku diaktualisasikan lewat pilihan tepat menjadikan realitas.

Dalam permainan sekak (catur), gerak tangan mengambil buah catur dan ditaruh lagi untuk melawan atau bertahan. Saat itu kekuasaan tuhan berbicara. Antara pandangan mata yang menimbang kelangsungan hayat. Sejenis getar-getar penentu berbicara, mendapati respon dari lawan atau alam.

Saat menebang pohon secara serampangan, masa depan terlihat dari beberapa pengalaman silam, erosi berlebih ke lembah-lembah kemanusiaan. Kita para pemain yang sekaligus dipermainkan hasrat diri sendiri, dalam menungguhi hidup di tenggang masa-masa putusan tuhan.

Hikmah terpetik, melihat realitas sekarang akan masa kan datang, dituntut bersungguh menjalankan kereta impian pada jalur yang terharapkan. Atau memungkinkan menjalar dan berlesatannya niatan awal.

Meneliti realitas, kesungguhan kesadaran memproduksi hasil nalar-perasaan, dipersatukan dalam bingkai kefahaman, menanjaki tangga demi kemungkinan berkembang. Dan penambahan diharapkan tak sekadar kuantitas, tetapi kualitas ketabahan jiwa, kematangan-legowo menerima kenyataan esok.

Gerak kesadaran terus bertahap di setiap detik, dan penjumlahan waktu menuntut dikoreksi, seberapa jauh melangkah dari percepatan perubahan di luar diri.

Lantas bagaimana mengambil poin ternilai, guna diwujudkan pada gugusan realitas atas impian. Realitas sekarang menggiring kenyataan mendatang. Semisal buah kelapa jatuh ke tanah, tidak terbang ke awan. Ini pelajaran penting, meski sering kali tergoda imajinasi yang lebih, semacam hasrat tidak tentu arah. Bagaimana hasrat yang tak terarah, memasuki kategori nilai tambah?

Di saat melangkah, dunia sekitarnya juga sama. Kita hidup seperti dalam meja permainan bola sodok, namun bukan benda mati yang tak memiliki inisiatif. Manusia punya banyak perlengkap untuk mendatangkan dirinya menuju impian. Meski begitu, karena semuanya bergerak mengikuti alur sendiri-sendiri. Maka suatu waktu, terjalin perkenalan atau bertabrak sama keinginan.

Dan seolah penunggu aktiflah (konseptor) yang bergerak. Bagaimana pun cepatnya berlari, kalau tidak didukung dunia luar, amat sangat kepayahan mencapai yang diinginkan. Atau suatu gerak menentukan takdir lain. Sebab dalam dunia ini, adanya energi yang bergerak tarik-menarik serta jauh-menjauhi. Sebuah lemparan batu pun sanggup menentukan takdir lain. Atau disamping gerakan terlihat, yang tak tampak pun mampu menentukan nasib seseorang.

Orang gila berlalu lalang di tengah jalan, menentukan takdir lain yang kadang terjadinya kecelakaan. Ini bisa dimaknai, ruang kosong pun menjadi penentu pengisian tempat lain. Atau kekosongan ialah kepenuhan di lain sudut pandang.

Maka kehidupan adalah penjumlahan yang tidak pernah selesai. Evolusi tidak berakhir dengan meninggalkan yang tidak tahan, langgeng bagi sanggup mengikutinya, melesat menuju jaman gemilang. Olehnya, barang siapa yang tak sadar posisi akan terlibas, sebab tidak memiliki realitas kekinian, demi mengerami sejarah masa depan.

Kesadaran itu awal sebuah niatan, menarik dunia lampau yang dipersatukan dalam diri, demi menyunggi harapan mengambil bahan-bahan sekitarnya, untuk dimasukkan pada kesadaran universal.

Saat seseorang dituntut keteraturan jadwal yang ketat, realitas masa depannya pun tidak terganggu gugat, selama masih menentukan pendapatan untuk mencapai dunia yang diharapkan.

Yang tidak memiliki jadwal keinginan pun menuju perbuatan, hasilnya ialah yang tergambarkan. Seorang naturalis mengikuti struktur luaran, namun begitu menggemuruh menuruti kehendak alam hayatinya. Ini memberi kelengkapan dirinya berjiwa universal, pembuka kemungkinan atas kesadaran penerimaan aktif, kepasrahan bola sodok di tangan professional.

Ketika dalam keadaan sakit, jiwa pembuka itu tidak langsung mencari obat, namun menelik sedari mana datangnya dan untuk apa menerimanya, serta kenapa pula rasa sakit disembuhkan. Terlihat di sini, ada ruang-ruang interaksi antara dunia dalam dan luar, realitas juga non relaitas, dipersatukan demi fajar mendepan.

Kesepakatan obat menyembuhkan, semacam penghilangan rasa sakit yang mendatangkan kenikmatan. Ketika berangsur pulih atas rasa bosannya penyakit menggerogoti kepasrahan aktif. Di sini daya tahan berguna menentukan kuatnya penerimaan kesadaran, atas yang dialaminya menjadi membumi.

Memang tiada totalitas hidup jikalau menggaris bahawi hidup adanya istirah, tidur, refresing dsb. Namun karena yang terjadi itu erat terjalin, segeralah ketotalannya menanjaki realitas masa-masa.

Setelah berbaca dari muka. Terketahui realitas masa depan, bukan mimpi di siang bolong, di sini ada ruang diskusi pelaku dengan lingkungan. Kita memiliki jiwa besar yang sanggup menggerakkan diri dalam mengurangi efek buruk luaran, demi menempuh hari-hari yang lebih berarti.

Realitas masa depan ialah ungkapan pembuka, universalitas menarik peluang. Lahirannya bukan tidak tersangkakan, tetapi terjaga dari jalinan kesadaran kenangan, serpihan ingatan, kumparan waktu tergulung sebagai prosesi kemenjadian.

Bukan berarti seekor lebah kecil tidak memiliki pengalaman membuat sarang madu esok hari, yang dituntut atas kedewasaan dirinya yang sedang tertarik menciptakan karya.

Ada kasus sederhana. Seekor semut hitam di tengah cawan mencicipi sisa wedang, sisa wedang itu habis atau kering, maka kadar gula akan merekatkan kaki-kakinya di tengah cawan, tanpa bisa berbuat apa-apa.

Dalam keadaan seperti ini, kita tidak mampu menolong lewat mencukilnya dengan jemari, meski berkelembutan, tentunya ada kemungkinan bisa membunuhnya. Tapi kalau mengalirkan air wedang sedikit di kakinya, akan sanggup bergerak. Namun itu tidak cukup, sebab nantinya akan terjebak seperti sedia kala. Air wedang mengering, kaki-kaki semut tenggelam dalam kerekatan wedang berkadar gula.

Tetapi jika mengalirkan air wedang sedikit ke cawan yang ada semutnya tersebut, untuk di alirkan pada kain taplak meja. Aliran lembut wedang akan menggiring semut itu sedari cawan menuju kain taplak meja.

Dengan posisi ini, wedang sebutir embun mengalir bersama tubuh semut, ia selamat atas resapan kain taplak meja, lalu kaki mungil si semut tidak lagi terseret manisnya wedang. Maka berbahagialan semut itu.

Di sinilah realitas masa depan dengan jarak keamanan. Pengamatan selembut air, sehalus kejernihan fikir mempertimbangkan akibat, kalau pilihan dihadapan akan dijatuhkan. Yang Maha Sebab menjalankan gerak, dan kita yang digerakkan kudunya berada dalam posisi imbang. Di mana selalu belajar waspada atas musabab perbuatan, yang bisa mengecewakan bangunan perasaan.

Ini bukan mengajak tidak bergerak sama sekali atau kelewat hati-hati. Di sini ada ruang renungan, di mana berlari juga menerima saat tertatih. Ruang kendali itu respon diri atas penerimaan dalam sebuah meditasi, sehingga timbangannya tidak bergoyangan oleh was-was.

Gerak itu membutuhkan udara percernah, atas daya fikir perasaan mengamati secara detail obyek yang dipertimbangkan. Namun bukan termasuk sudah dalam memutuskan pilihan. Ada saatnya takdir mengambil pilihan, lantas menuju kesadaran yang lebih tinggi.

Tidakkah orang sehat nafasnya teratur(?). Namun ketika sakit jantung, salurang nafasnya terganjal amarah, yang tentunya menampilkan efek lain. Realitas masa depan itu kesadaran menaiki tangga mengikuti jaluran hasrat yang ditentukan waktu-waktunya.

Masa tidak bisa dimodifikasi, namun dapat dikompromi bersegala daya tarik kita limpahkan. Sampai waktu dihadapkan memberi peluang, atas respon diri dalam ruangan, yang segera diajak mengisi berita acara bernama realitas.

*) Pengelana asal Lamongan, 0609 Jatim, Indonesia.

Mengenang Kritikus Sastra Dami Toda

Gerson Poyk
http://www.suarakarya-online.com/

Penulis terhenyak ketika memperoleh berita bahwa Dami N Toda telah meninggal pada bulan November 2006 yang lalu. Perkenalan pertama kami terjadi di Sanggar Wowor milik pematung Michael Wowor di Jalan Kalibata Raya pada tahun enam puluhan ketika Menteri Perkebunan waktu itu, Frans Seda, memberi oder kepada Michael untuk membuat patung Irama Revolusi.

Dami masih kuliah di UI ketika itu dan karena ia masih punya hubungan keluarga dengan Michael (kakak perempuan Michael kawin dengan famili Dami seorang yang bergelar ‘raja muda’ atau bangsawan Manggarai yang kemudian menjadi bupati) maka sudah tentu Michael membantu Demi sekadarnya.

Kami bertiga selalu berdiskusi tentang seni-budaya termasuk bagaimana membangun NTT melalui kesenian khususnya pariwisata budaya umumnya.

Lalu saya menulis di Kompas dan Dami menulis di Suara Karya dan sebuah majalah di Flores mengenai tema pembangunan budaya ‘kampung’ dan pendidikan non formal yang dalam perkembangan studi kami selanjutnya mungkin mirip apa yang ditulis oleh Paulo Fraire, Ivan Ilich dll, tetapi tidak mengaitkannya dengan revolusi fisik-berdarah. Ada teman yang mengatakan kampung itu mirip Taman Mini tetapi kami membantah karena terbayang, kalau ada proyek maka ada pimpro dari pihak birokrasi yang mudah terserang virus KKN dengan pengusaha (pengembang-pemborong) dsb. Kami ingin agar disamping birokrasi ada adhokrasi yang sehat-bermoral Di atas segalanya lebih baik kalau dimulai dari rakyat secara swakarya. Michael membuat gambar maket mengenai kampung, tersebut dan saya membawanya ke Kupang. Gubernur menganjurkan saya ke kantor humas provinsi untuk bantu-bantu di sana. Tampaknya beliau mengira saya ingin menjadi pegawai negeri. Maka saya pun kembali ‘merantau’ ke Jakarta.

Ketika Demi menulis skripsi tentang Iwan Simatupang ia datang ke rumah untuk berdiskusi tentang eksistensialisme. Seingat saya, saya hanya mengoceh tentang absurditas, tentang kesadaran sebagai tokoh pertama dan dunia (alam, isteri, anak, orang lain, teman, massa, pemerintah) sebagai tokoh kedua Tokoh pertama penuh kerinduan untuk menyatu dengan tokoh kedua tetapi tidak mungkin dan hanya timbul kontroversi yang disebut absurd walls. Pemeliharaan atau pembiaran atas ketiga tokoh tersebut diperlukan dalam panggung kehidupan. Ide mutlak dibenak yang melahirkan aksi mutlak untuk membunuh salahsatu tokoh berarti bunuh diri secara metafisik dan historis. Yang diperlukan adalah program yang moderat-samaritan, jalan tengah yang dituntun oleh hati nurani. Walaupun dunia ini absurd, banyak anak kecil, perempuan dan lelaki sipil dan militer terkapar menjadi mayat, namun sikap moderat-samaritan perlu dipertahankan. Akan tetapi Dami tidak menyertakannya dalam skripsinya. Sya sangat merasa bersalah karena tidak memberikan buku-buku tentang eksistensialisme yang dibeli ketika tinggal di Amerika karena takut hilang. Semuanya merupakan emas. Walaupun demikian, tidak lama kemudian, muncullah buku kumpulan eseinya yang berjudul Hamba-Hamba Kebudayaan, yang isinya menunjukkan kecerdasan eksistensial Dami.

Setelah ia lulus dari UI, jami bertemu beberapa kali, antara lain di rumah kontrakannya di Matraman (dekat gedung Gramedia) dan saya di seberangnya (di sebuah lorong sempit di samping pasar Pal Meriam, ditepi sungai yang penuh sampah). Pernah ketika saya mengunjungi dia penyair Abdul Hadi WM ada di sana. Keduanya akrab sejak lama, pernah bersama-sama menulis sebuah refererat berjudul Catatan Teoretik Sekitar Penciptaan Novel 70-an. Akan tetapi Dami lebih suka menulis tentang Sutarji Calsoum Bachri. Penyair ini adalah sekali gus fenomena dan noumena. Akan tetapi dia menolak fenomena dalam berpuisi dan ingin iseng sendiri dalam dirinya sendiri yang noumenal itu dengan mantra yang hanya mempunyai arti misterius dan kemagisan yang merdu. Untungnya Mbah Dukun Mantra Riau yang membawa-bawa naluri kekuasaan ke atas panggung sastra dengan mengangkat diri sebagai Presiden Puisi, dianggap main-main saja oleh Gunawan Muhamad. (Dami Toda, Hamba-Hamba Kebudayaan, hal 26). Dami dalam satu ceramahnya di TIM menyinggung ‘bahasa diam’. Maksudnya orang yang berdiam saja bisa merupakan kawah yang berisi informasi yang penting. Akan tetapi kalau sumber informasi dalam batin yang tidak diketahui oleh orang lain itu, tidak mendorong terjadinya bentuk (poem atau bentuk seni pada umumnya), mana bisa terjadi internalisasi puitis pada orang lain yang berhadapan dengan orang yang diam itu? Memang, menurut Kant kehidupan keseharian kita merupakan bahagian dari dunia fenomena dengan substrata noumena yang bebas tidak terbuka (apiori) bagi pengentahuan kita Dunia fenomen dapat dikenal oleh logika rasional sedangkan dunia noumena hanya dapat diketuk pintunya yang tertutup itu dengan logika irasional (logika hatinurani, logika analogis-metaforis). Atau mungkin seperti yang disebut oleh Maritain, poetry intuition adalah spiritual energy yang tak berbentuk yang mendorong terjadinya art (bentuk).

Suatu malam ketika selesai makan malam dirumah saya, saya mengantarkan dia sampai ke jalan. Di tengah jalan Matraman Raya yang sunyi lengang di dini hari itu kami berbicara tentang apa saja, termasuk tentang teater sehingga kami bergerak bebas-teatrikal di jalan yang lengang itu. Kemudian ia menghilang ke gangnya.

Lalu tidak lama kemudian dia ke Jerman sedang saya menghilang dari gang tersebut dengan memakai tiga celana dan tiga kemeja sekali gus bersama buku-buku emas saya, mengembara di tanah air sendiri. Rasanya seperti memakai pakaian astronaut di bulan, malah lebih berat karena membawa buku-buku.

Setelah harian Sinar Harapan terbit kembali, ia mengirim e-mail berisi niatnya untuk kami berdua menulis buku riwayat hidup Benedictus Mboi, mantan gubernur NTT dan tulisannya yang panjang tentang Nietzsche. Saya tidak menolak dan tidak menerima karena walaupun nama saya tercantum dalam box namun hanya sebagai anggota dewan redaksi diluar ‘garis komando’ yang konon kalau harian ini sudah maju barulah ada imbalannya.

Tiba-tiba ada teman yang menghadiahkan sebuah buku tebal tentang sejarah Manggarai. Buku yang tebal yang menunjukkan kemampuan raksasa seorang Dami N. Toda!. Ia mempergunakan waktu dan tenaga sebaik-baiknya di negeri Jerman dan Belanda untuk meneliti buku sejarah kampung halamannya.

Ketika saya ke Flores dalam rangka pembuatan video sastrawan Indonesia prakarsa Yayasan Lontar (dibiayai Ford Foundation), saya ke kota Ruteng kota dimana saya menghabiskan masa kecil saya. Seperti William Saroyan yang kembali ke mata airnya untuk melepaskan rindu dengan minum sambil mencium bau tanah kesayannya, saya mencari mata air saya yang dahulu dan ternyata masih ada, masih membersitkan air yang bisa diminum langsung, air yang membesarkan saya.

Maka timbullah niat menulisi bupati untuk membuatkan sebuah kolam dan sebuah perpustakaan dimana buku-buku dan potret putra-putri terbaik Manggarai, seperti Dami N Toda, Ben Mboi, Thoby Mutis (rector Trisakti) para pastor dan uskup asal Manggarai, yang berjasa dalam dunia pendidikan yang moderat-samaritas. Saya ingin mengirimi Dami video saya itu serta novel saya ‘Enu Molas di Lembah Lingko’ tetapi selalu tertunda karena selalu menderita ‘kanker’.

Dmi hanya menerima salam saya lewat seorang pemuda Jerman bernama Thomas Zschocke yang mengadakan penelitian selama dua tahun di Indonesia dan kembali ke Jerman dengan bibliografi dan tesis S2 masing-masing mengenai tulisan dan sastra saya serta S3 mengenai program pendidikan non formal di kampong budaya yang saya kembangkan menjadi program desa informasi (millennium ketiga) dimana sarjana dan seniman belajar dari petani dan petani belajar dari sarjana dan seniman menghadapi alam (pulau dan laut), bekerja dengan tool teknologi tepat guna seperti computer/internet, taktor tangan, gergaji mesin dsb dalam wadah koperasi di atas lahan lingko (kebun di Manggarai yang berbentuk roda sepeda atau sarang laba-laba) modern. Saya doktor muda Jerman tsb bekerja pada program PBB mengenai perkebunan kentang di Peru, bukan di lembah lingko, kampung halaman kami. Pada hal dia pernah berkomenter bahwa program tsb menentukan masa depan Indonesia, Ide desa budaya kami men Doktor-kan (menghidupkan) orang asing. ***

Sastra Setelah ‘Pendidikan Ulang’

Yos Rizal S
http://www.ruangbaca.com/

Karya-karya terjemahan dari penulis generasi “pendidikan ulang” Mao hingga penulis mutakhir Cina kini gampang ditemukan di toko buku. Siapa saja mereka?

Sepotong biola itu berubah menjadi sebuah ancaman. Seorang kepala desa di kaki gunung Burung Hong dari Langit di kota Yong Jing, Cina, membolakbalik biola seperti tengah mencari bubuk heroin yang mungkin disembunyikan di alat musik itu. Ia juga mencurigai biola yang dibawa dua orang anak muda di depannya sebagai senjata.

Tapi seorang penduduk desa berseru dari balik kerumunan orang-orang yang mengerubungi Pak Kepala Desa. “Itu mainan tolol,” ucapnya. “Bukan, “ Pak Kepala Desa membetulkan, ”mainan borjuis.” Luo, salah seorang dari anak muda tertuduh itu, menjelaskan bahwa “benda aneh” yang diributkan seluruh desa itu adalah sebuah alat musik.

Luo lalu menunjuk tokoh Aku untuk memainkannya. “Apa judul lagumu?” tanya Pak Kepala Desa. “Mozart,” tokoh Aku bergumam. “Mozart apa?” “Mozart Memikirkan Ketua Mao,” Luo menyela. Kepala Desa itu pun manggutmanggut, seolah baru saja mendengar mukjizat. Orang paling berkuasa di gunung itu pun berucap, “Mozart memang selalu memikirkan Mao.”

Dengan kocak Dai Sijie menyuguhkan cerita Pak Kepala Desa yang sok pintar tapi sesungguhnya bodoh itu dalam Balzac dan Si Penjahit Cilik dari Cina yang diterbitkan Gramedia Pustaka Utama, Februari lalu. Dai menghamparkan pelbagai ketololan orangorang desa yang gigih mendukung Revolusi Kebudayaan (1966-1976) Mao Zedong, tapi amat berkuasa.

Luo dan Aku—Luo anak dokter gigi, Aku anak dokter umum— adalah anak muda yang dikirim ke Burung Hong dari Langit untuk menjalani “pendidikan ulang” ala Mao. Inilah program pembersihan kalangan intelektual di Cina antara 1971-1974. Orang-orang pintar dihukum kerja paksa, sementara anak-anak mereka dididik untuk belajar pada petani.

Dengan berbekal biola, Luo dan Aku mengikuti program pendidikan itu. Setiap hari mereka harus mengangkuti beremberember kotoran manusia dan hewan ke sawah atau bekerja di pertambangan batu bara yang sewaktu- waktu bisa rubuh. Hiburan mereka satu-satunya adalah biola—dan persahabatan dengan gadis cantik anak penjahit desa.

Namun, celakanya “para guru” mereka di gunung tak tahu bahwa biola adalah alat musik. Tak cuma biola yang tak boleh dimainkan di depan umum—kecuali jika untuk memuji Mao, bukubuku juga tak diboleh dibaca— kecuali buku karangan Mao. Buku- buku, terutama karya pengarang Barat, adalah barang terlarang dan mesti dimusnahkan.

Maka ketika keduanya menemukan buku karangan Balzac (Honore de Balzac, 1799-1850), novelis Prancis, dan setumpuk sastra Barat yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Cina, mereka seperti menemukan surga yang hilang. Luo dan Aku membagi cerita dari buku Balzac kepada si Penjahit Cilik, sembari kucing- kucingan dengan penduduk desa yang setiap saat bisa melaporkan mereka pada Kepala Desa.

Kisah getir sekaligus jenaka itu ditulis Dai dari tanah pelariannya, Prancis, pada 2000. Novel pertamanya ini dengan cepat menduduki peringkat teratas buku- buku terlaris di Prancis dan meraih lima penghargaan internasional. Hak penerbitan novel itu telah dijual ke-19 negara. Dai yang juga seorang sutradara kemudian mengangkatnya ke dalam film Balzac and the Little Chinese Seamstress (Xiao cai feng) pada 2002.

Dai yang mengungsi ke Prancis sejak 1984 itu telah melahirkan tiga film lain: Chine, ma douleur (1989), Le Mangeur de Lune (1993) dan The Eleventh Child (1998). Lewat Luo dan Aku, novelis kelahiran Cina pada 1954 itu seperti menuturkan kisahnya sendiri. Ia adalah anak seorang dokter yang juga pernah menjalani “pendidikan ulang” dari 1971 sampai 1974.

Ia masih berumur 22 tahun ketika Mao meninggal. Selain Dai, Gao Xingjian juga sastrawan produk “pendidikan ulang”. Karyanya berjudul Gunung Jiwa yang diterbitkan Jalasutra pada 2003 meraih hadiah Nobel Sastra pada 2000. Ia eksil di Prancis sejak 1988 dan menjadi warga negara Prancis.

Gunung Jiwa menceritakan perjalanan Gao mencari kebebasan dan kedamaian batin hingga ke Gunung Jiwa (Lingyan). Dalam pengembaraan itu, penulis kelahiran Ganzhou, propinsi Jiangxi, Cina pada 1940 itu mengadon lukisan alam hutan-hutan di sepanjang Sungai Yangtse dan cerita warisan leluhur dengan cerita kesengsaraan yang dihadapi penduduk akibat Revolusi Kebudayaan.

Novel itu lahir setelah pemerintah Cina melarang pementasan naskah-naskah dramanya. Stasiun Bus (1983), naskah dramanya yang absurd—terpengaruh karyakarya drama Beckett dan Brecht— dilarang dipentaskan dengan alasan “mengotori jiwa” penontonnya. Begitu pula karyanya yang lain, Pantai (1986).

Gao lahir dari keluarga kaya. Ayahnya bekerja pada bank sedangkan ibunya adalah seorang pemain sandiwara amatir. Sejak kecil, Gao sudah biasa membaca karya drama dan sastra. Pada umur 22, ia lulus ujian bahasa Prancis pada Lembaga Bahasa Asing di Beijing. Tapi ketika Revolusi Kebudayaan datang, Gao terpaksa membakar seluruh koleksi bukunya.

Ia kemudian dikirim ke pedesaan untuk “dididik kembali”. “Di negeriku sendiri, aku tak bisa mempercayai siapa pun, bahkan juga keluargaku,” ucap Gao. Kabarnya, Gao terpaksa memusnahkan buku-bukunya setelah istrinya sendiri melapor kepada penguasa. Di luar Dai dan Gao, sebenarnya pengarang Red Shorgum (1987), Mo Yan, juga datang dari generasi “pendidikan ulang”.

Mo Yan lahir di Shandong pada 1955. Minatnya pada dunia sastra tumbuh setelah penulis dari kota datang ke kampung Mo Yan untuk menjalani “pendidikan ulang” menjadi petani. Ia belajar dari para penulis pendatang itu. Sayang karya-karya Mo Yan yang sangat populer di Cina belum diterjemahkan di sini (Baca: Mo Yan dan “Posmodernisme Kampung”).

Adeline Yen Mah adalah pengarang lain yang sezaman dengan tiga sastrawan di atas. Tapi Mah tak pernah merasakan pahitnya program penyeragaman rekaan Mao. Pengarang perempuan yang lahir di Tianjin, Cina, pada 1937, ini belajar ke Inggris setelah memenangkan kompetisi menulis pada usia 14 tahun. Ia melanjutkan studi di bidang kedokteran di California, AS.

Mah berdarah Cina dari ibunya dan Prancis dari ayahnya. Ketika ibunya wafat, ayahnya yang menikah lagi. Di bawah ibu tirinya ia merasakan diperlakukan tak adil, dikekang, dan diintimidasi. Karena itu karyanya tak heran mengungkapkan kegusaran pada masalah-masalah domestik. Ia juga mengungkapkan kegelisahan dunia anak-anak di lingkungan keluarga tak kondusif.

Novel pertamanya, Falling Leaves, ditulis pada 1997 dan diterbitkan oleh Yayasan Obor tahun lalu. Karyanya ini laku lebih dari sejuta eksemplar. Setelah Falling Leaves, ia menulis Chinese Cinderella. Deretan berikutnya adalah Amy Tan, pengarang kelahiran Oakland, California, 1952, dari pasangan John Tan dan Daisy.

Ayahnya insinyur dan pembaptis menteri yang hijrah ke Cina sewaktu huru-hara perang sipil di Cina. Karakter temperamental ayahnya membuat rumah tangga keluarga Tan dipenuhi kekerasan. John dan Daisy pun bercerai. Amy dikenal sebagai pengarang yang lihai menampilkan perbenturan karakter masyarakat pendatang dari Cina dengan tanah air barunya, Amerika.

Perempuan Cina di Amerika, misalnya, harus pandai-pandai memainkan “wajah ganda”-nya untuk bisa bertahan hidup. Ia juga sangat detail menggambarkan suasana Chinatown yang bagi masyarakat Amerika susah ditembus. Novel terkenalnya, The Joy Luck Club, yang terbit pada 1989 menempati peringkat pertama bestseller New York Time selama delapan bulan.

Pundi-pundinya pun dalam waktu singkat bertambah US$ 1,23 juta dari novelnya itu. Novel ini kemudian diterjemahkan ke dalam 17 bahasa. Di Indonesia, novel-novel Amy Tan diterbitkan Gramedia Pustaka Utama. Karya terbaru Amy yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia adalah Lawan Dari Maut (The Opposite Of Fate).

Novel ini bertutur tentang Amy yang harus melepaskan diri dari ekspektasi-ekspektasi dan kutukan- kutukan masa lalunya. Ia menciptakan takdirnya sendiri. Setelah Amy, muncul Lisa See, penulis Cina-Amerika dari generasi yang lebih muda. Lahir di Paris dan besar di Los Angeles, Amerika, Lisa menghabiskan sebagian besar waktunya di Chinatown.

Buku pertamanya, On Gold Mountain: The One Hundred Year Odyssey of My Chinese-American Family yang memuat sejarah lengkap keluarga Cina-Amerikanya meraih best-seller pada 1995. Ia telah menulis lima buku.

Seri pertama detektif Liu Hulan karya Lisa, Liu Hulan: Jaring-jaring Bunga diterbitkan Qanita Januari lalu. Buku ini diterjemahkan dari Flower Net yang terbit pertama kali pada 1997. Novel ini mendapat penghargaan Edgar Awards. Selain serial Liu Hulan, mantan koresponden Publisher’s Weekly itu juga menulis tentang kisah klasik pengikatan kaki gadis-gadis Cina dalam Bunga Salju (Qanita, 2006).

Sebagian besar karya-karya sastra Cina yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia tersebut adalah sastra yang lahir dari tanah perantauan. Kenyamanan dan kebebasan menulis tampaknya tak ditemukan pengarang-pengarang itu di tanah airnya sendiri. “Di Amerika ini, aku menemukan kebebasanku: menulis,” kata Amy Tan.

Menurut Iwan Fridolin, dosen Sastra Cina di Fakultas Budaya Universitas Indonesia, penerjamahan karyakarya sastra dari Cina ke dalam bahasa Indonesia sudah berlangsung lama. Iwan menandai penerjemahan karya-karya dari Cina sudah ditemukan sejak 1930-an. “Tapi mulai ramai setelah penerbit dari Medan bermunculan pada 1950-an,” kata Iwan.

Iwan menyebut, majalah Pantja Warna yang terbit akhir 1940-an, juga Star Weekly, kerap memuat cerpen terjemahan dari Cina. “Karya-karya Lu Xun adalah salah satu yang sering diterjemahkan, selain cerita-cerita silat,” ujar Iwan yang pernah menerjemahkan kumpulan cerpen kontemporer Cina Kisah Lelaki Tua dan Seekor Anjing yang diterbitkan Yayasan Obor awal 1990-an.

Lu Xun, nama pena dari Zhou Shuren, adalah sastrawan kelahiran Provinsi Zhejiang pada 1881. Di Indonesia, buku terjemahan karya Lu Xun pernah diterbitkan oleh Yayasan Obor pada pertengahan 1980-an. Lu Xun adalah pengarang yang dikagumi Mao. “Di lapangan kebudayaan, ia adalah pahlawan nasional paling berani,” puji Mao, pemimpin tertinggi Komunis Cina pada 1940.

Meski memuja Lu Xun yang anti-penindasan, Mao ironisnya menindas para pengarang dan kaum intelektual lainnya. Ia mengirim orang-orang pandai itu ke desa-desa, di gunung-gunung, untuk “dididik ulang”. Buku-buku, bahkan sepotong biola, pun diperlakukan bak musuh berbahaya bagi revolusi.

Narasi Haji dalam Prosa Indonesia

Damanhuri
ttp://www.lampungpost.com/

Ke angkasa hitam, kulihat, jemaah itu tengadah. Langit gelap langit pekat…Ada langit lain, angkasa lain, di dalam dada. “Putih, benderang, melesat-lesat lempeng cahaya.” Lempeng! Adakah-adakah itu lempengan doa? Tuhan, tak ada hal yang ingin Kau sampaikan kecuali bahwa apa pun doa, dari hati yang bersih, adalah cahaya. Betapa. Tetapi, aku?…

Panggilan ini. Haji tahun lalu. Ingatan akan kampung. Betapa. Apakah sebenarnya makna kata “mampu” atau “sanggup”? Apakah yang telah kuperbuat di tahun lalu?

Kutipan di atas berasal dari paragraf-paragraf awal novel karya Gus tf Sakai, Ular Keempat (Kompas, 2005), yang memungut fakta sejarah seputar kisruh perhelatan haji tahun 1970 sebagai latar cerita. Sebuah novel unik dengan pilihan tematik yang juga langka: pergulatan spiritual Haji Janir, seorang pengusaha rumahmakan, yang “kecanduan” naik haji tapi sembari tetap tak menyisihkan kepedulian pada nasib sesamanya.

Gemar beribadah tapi selalu gagal menangkap pesan substansialnya. Gagal merengkuh religiositas otentik yang secara simbolik diterakan pengarang dalam sekujur novel sebagai empat ular yang terus mendesis dan bersikeras membelit tokoh utama novel: Haji Janir.

Novel Ular Keempat®MDBU¯ menarik disimak karena secara tematik menyuguhkan sengkarut persolan yang cukup “rawan” untuk diusung dalam karya sastra: pengalaman keagamaan. Tapi tentu saja bukan hanya itu penyebabnya. Sebab jika alat ukurnya berhulu di situ, Ular Keempat jelas buka satu-satunya karya dengan tema dan latar serupa. Dari khazanah sastra zaman baheula, Di Bawah Lindungan Ka’bah (1936) karya Hamka, misalnya, adalah karya tentang kisah cinta-tak-sampai Hamid-Zainab yang juga mengambil peristiwa haji sebagai latar cerita dalam bagian terpenting tubuh roman.

Dari periode yang lebih mutakhir, dua cerpen Triyanto Triwikromo (”Mata Sunyi Perempuan Takroni” dan “Sayap Anjing”) atau cerpen Mustofa Bisri, (”Mbok Yem”), dengan capaian kualitas literernya masing-masing, juga merupakan beberapa sampel prosa yang memilih peristiwa haji sebagai tema sekaligus latar yang membingkai kisah yang ditenunnya.

Dalam “Mata Sunyi Perempuan Takroni”, cerpen berpusat pada pengisahan tentang penderitaan abadi tokoh utama, perempuan buta imigran asal Afrika, yang diperlakukan sebagai warga kelas dua oleh masyarakat sekitar Masjidil Haram. Perlakuan rasis yang secara plastis diungkapkan ayah sang tokoh: “Dan, sebagai orang Takroni, wahai anakku yang malang, ibarat air kita bukanlah zamzam. Sebagaimana Bilal, pria indah yang menyeru-nyeru nama Allah dalam nada paling indah, kau hanyalah dahak yang ditumpahkan dari langit hitam yang sedang batuk”.

Sedangkan dalam “Sayap Anjing”, pusaran kisah bertumpu pada pengalaman surealistik tokoh utama selama menunaikan ibadah haji: ditampar seonggok kotoran saat berada di toilet Bandara King Abdul Aziz; juga robek selangkangannya saat melakukan sai dari Bukit Safa ke Bukit Marwah.

Cerpen “Mbok Yem”, di sisi lain, mengungkai pengalaman haji pasangan Mbok Yem-Mbah Joyo yang, setelah tirakat berpuluh-puluh tahun menabung hartanya yang terbatas, akhirnya bisa menunaikan cita-cita pergi haji meski dalam usia yang telah renta. Kejutan yang disuguhkan di ujung cerpen ini adalah cerita yang dituturkan Mbok Yem bahwa di masa mudanya ia adalah pelacur; dan sang suami, Mbah Joyo, adalah salah seorang “langganan” yang kemudian jadi “dewa penyelamat” dengan menikahinya.
***

Tapi, sekali lagi, bukan pada soal pilihan tema atau latar peristiwa itu duduk perkara sesungguhnya. Yang lebih penting ditilik dan sebab itu novel Gus tf Sakai terasa istimewa serta menarik disimak justru kepiawaiannya “menyelamatkan” karyanya dari tendensi umum karya-karya sastra bertema keagamaan yang biasanya gagal menepis godaan untuk menjelma kompilasi seruan moral atau khotbah keagamaan. Kegagapan yang umum menghinggapi para sastrawan yang mencoba peruntungan dengan menulis karya sastra bertema keagamaan.

Titik rawan yang biasanya memang paling sulit ditampik karya sastra yang sejak awal berhasrat mengusungnya sebagai tema: tak jarang justru menjelma pusara yang siap “menguburnya hidup-hidup”; karena teks sastra jadi tak beda dengan untaian pesan agama di mimbar-mimbar masjid atau di tengah altar gereja.

Padahal kerja-kerja kesusastraan–seperti pernah diingatkan oleh, misalnya, Milan Kundera–sesungguhnya bukan “untuk mengkhotbahkan” (to preach a truth) kebenaran tertentu; melainkan sekadar “menyingkapnya” (to discover). Tak lebih, tak kurang. Karena itu, meskipun terkesan berlebihan, mungkin tak begitu keliru ketika dalam sebuah wawancara bertajuk “Sastra Islam vs Penyempitan Ilmu Islam” (Horison, 7/1984), Gus Dur, mantan presiden yang pecandu karya sastra dunia itu, menunjuk cerpen “Robohnya Surau Kami” A.A. Navis sebagai satu-satunya karya yang pantas disebut sastra Islam.

Di sekujur novel Ular Keempat, bahkan sejak bab-bab pertama, tak sulit memang mencium aroma pergulatan spiritual yang diembuskannya. Malah bisa dibilang, perkara inilah ujung sekaligus pangkal, hulu sekaligus muara, yang disengketakan dalam pergulatan spiritual tokoh Haji Janir di sekujur tubuh novel. Meskipun, tentu saja, bukan sebuah pergumulan spiritual yang tak dibauri pelbagai “keganjilan” bahkan suara-suara sumbang dan subversif jika dibaca dengan kacamata Islam eksoteris yang biasanya lebih memuliakan kulit ketimbang isi, memberhalakan sisi-wadag ketimbang sisi-dalam.

Gugatan atas tendensi a-sosial dan melenceng dari praktek keagamaan otentik, misalnya, disuarakan dalam kisah guru sufi dan murid-muridnya yang hadir dalam mimpi Haji Janir di bab Ular Pertama. Sebuah kisah tentang murid-murid seorang guru sufi yang berlomba berburu Lailat al-Qodar “berbulan-bulan, bertahun-tahun, serupa kesurupan, bagai kesetanan…Ada halte ada stasiun tetapi mereka terus. Ada kehidupan ada kematian tetapi mereka ngebut di kesendirian”.

Jika sikap a-sosial, dan egois di atas merupakan ular pertama yang melilit Haji Janir, berhaji karena kebanggaan adalah ular kedua yang dengan nyaring muncul secara simbolik dalam cemooh sang ular yang terus menggangu dan juga kerap hadir dalam mimpi-mimpi Haji Janir: “Jangan menyangkal, jangan mengelak. Aku tahu isi perutmu. Aku tahu isi perut orang kampungmu. Tetapi memang begitu. Memang begitulah kondisi suatu daerah yang sejak lama seolah taat beribadah. Klaim itu, yang sering didengungkan oleh orang-orang kampungmu: adat bersendi syarak (agama), syarak (agama) bersendi kitabullah, huah-hah-haitulah tempurung itu, tempat kau meringkuk dalam dagingmu” Dan kau, si malang: yang pergi haji, dan ingin kembali berhaji, karena kebanggaan”

Ular ketiga, di titik lain, secara simbolik hadir dalam mimpi lain Haji Janir yang ajaibnya, sebagaimana kisah tentang dua ular sebelumnya, serupa dengan isi pucuk surat ketiga yang diterimanya dari Haji Muqri–tokoh surealistik yang menemui Haji Janir saat berhaji pertama kali dan berjanji akan menghadiahinya tiga kisah lain saat ia berhaji berikutnya.

Apa yang menguras rasa heran sekaligus takjub Haji Janir tentang ular ketiga dalam mimpi dan surat tersebut adalah pemahaman mendalam pemilik kisah tentang warisan budaya Minangkabau dari mana secara etnik-budaya Haji Janir berasal: tambo dan kaba. Didasarkan pada salah satu entri yang hilang tentang permainan layang-layang yang seharusnya masuk dalam bab permainan rakyat tapi anehnya ada dalam bab kepemimpinan, dalam kisah ketiga itu dinujumkan tentang masa depan negara. Kisah perlombaan berebut layang-layang yang secara simbolik menunjukkan kisah kontestasi orang-orang tanah asal Haji Janir berebut kepemimpinan: “Ketika si layang-layang hampir mencapai tanah, kayu-kayu galah itu pun lantas menghadang. Menusuk, merenggut, seolah setiap orang berhak atas si layang-layang. Tak ada yang mereka dapatkan, kecuali sisa bingkai si layang-layang. Patah-patah, remuk, cerai-berai tak tentu bentuk.”

Begitulah, seolah melengkapi dua gulungan kisah sebelumnya (sikap a-sosial dan egois sebagai ular pertama; dan berhaji karena kebanggaan sebagai ular kedua), gulungan kisah ketiga yang diterima Haji Janir adalah kisah ihwal ketamakan, kelaliman, serta kerakusan manusia berebut kepemimpinan yang tak lain adalah ular ketiga. Dan, melengkapi tiga ular yang diperolehnya selama berhaji yang kedua itu, Haji Janir ternyata masih berhasrat beroleh ular keempat: alpa akan “pesan” kisah tiga ular sebelumnya dengan bertekad kembali melakukan haji di musim haji berikutnya–Alhamdulillah, langganan yang selama dua bulan lebih entah makan di mana, kini telah kembali ke tempat kami. Jika nanti kembali terpanggil pergi berhaji (ah!), mungkin harus kupertimbangkan untuk tidak tutup”.
***

Alhasil, seolah menjawab kerisauan Gus Dur dan sebagian (besar?) para kritikus yang kerap memicingkan sebelah matanya saat membincang kualitas literer dari apa yang disebut-sebut sebagai “sastra Islam”, Ular Keempat Gus tf Sakai mungkin sebuah tangkisan.

Apalagi, novel ini pun menjelma jadi kian kompleks dengan hadirnya beragam kutipan yang–karena pelbagai kutipan tersebut merupakan bagian integral dari jejaring kisah yang disodorkan–tak mengesankan sekadar “tempelan” dan berisiko mencederai kualitas literernya. Sebuah kerja literer yang tentu saja tak mudah. Sehingga, dalam batas-batas tertentu, bisalah dikatakan bahwa Ular Keempat merupakan sebuah novel yang menyuguhkan serangkaian intertekstualitas di mana teks-teks kitab suci, aforisme Rumi dan Rabiah al-Adawiyah, mitos lokal (kaba dan tambo; ingat novel lain Gus tf Sakai: Tambo, Sebuah Pertemuan 2000), atau sejarah politik lokal (PRRI), bisa bersanding intim saling topang saling tunjang meramaikan lalu lintas kisah.

Ya, begitulah, menyebal dari tendensi besar karya sastra Indonesia mutakhir yang seolah dihipnosis gairah tanpa lelah untuk merayakan tetek-bengek seputar seks; atau para penulis yang membaptis diri dan kelompoknya sebagai penyokong “sastra Islam” tapi sebagian (besar?) gagal membedakan antara teks khotbah dengan teks sastra; novel Ular Keempat mungkin salah satu kekecualian. Gus tf Sakai tampaknya sadar sepenuhnya untuk tak latah ikut-ikutan masuk digulung dua arus besar itu. Lewat novel yang memenangi juara Harapan I lomba penulisan novel Dewan Kesenian Jakarta (2003) dan pernah dimuat bersambung di Harian Media Indonesia ini, pemenang SEA Write Award (2004) ini tampaknya tengah mengokohkan posisinya dalam belantara sastra kita dengan menyuguhkan rumbai kisah spiritual rekaannya yang bagi sebagian pembaca mungkin menerbitkan sejumput rasa waswas dan cemas.

*) Alumnus IAIN Raden Intan, Lampung; tinggal di Malang

Novel Fenomenal tanpa Resep Tunggal

Judul buku: Ayat-Ayat Cinta
Penulis: Habiburrahman El Shirazy
Penerbit: Republika dan Basmala
Tebal buku: 420 halaman
Cetakan: Pertama, Desember 2004
Halaman: 20,5 x 13,5 cm
Peresensi: Detti Febrina*
http://www.lampungpost.com/

BANYAK faktor yang melatari sebuah buku hingga bisa dikategorikan buku laris atau best seller. Namun, novel Ayat-Ayat Cinta (AAC) yang sampai Desember 2007 sudah memasuki cetakan ke-30 dengan jumlah yang terjual sekitar 300 ribu eksemplar–konon memecahkan rekor buku laris se-Asia Tenggara–memang menjadi fenomena tersendiri yang rumus suksesnya tidak bisa dipilah secara singularis.

Sukses novel bergenre sastra islami ini tidak kurang membawa dua penerbit besar Malaysia memperebutkan hak edar dalam bahasa Melayu. Dalam wawancara dengan majalah Tempo (31-12-2007), Direktur Penerbit Republika Tommy Tamtomo mengaku novel itu rencananya juga terbit di Kanada dan Australia.

Tambahan lagi, Januari 2008 ini akan ada acara Napak Tilas Ayat-Ayat Cinta ke Mesir. Dengan membayar 1.200 dolar, peserta wisata dapat mengunjungi beberapa lokasi yang dijadikan setting cerita AAC. Gilanya, paket ini laku!

Lalu, hingga tinjauan pustaka ini ditulis, ribuan penggemar novel AAC masih harap-harap cemas kapan peluncuran filmnya yang molor sejak Desember 2007, benar-benar bisa tayang. Entah ini kabar baik atau tidak, novel islami yang kental dengan bahasa fikih dan dakwah itu harus berakulturasi dengan watak kapitalis yang meminjam istilah sastrawan Prie G.S.–haus industri dan kapital materi.

Seratus Ribu hingga Seratus Juta

Di antara pusaran kutub fiksi-fiksi islami yang lebih sering dianggap sebagai buku agama ketimbang karya sastra, serta kutub novelis profan yang mengklaim diri sebagai sastrawan tulen dengan mengusung sastra mazhab selangkangan (SMS)-nya, AAC tidak pelak hadir sebagai oase yang menjadi antitesis kedua kutub. Ini disitir Hadi Susanto dalam prolog novel ini, yang menurut saya, juga menambah bobot fenomenalnya.

Bukan hal yang mudah memasukkan nilai-nilai dakwah yang sedemikian kental, sekental susu kental manis tanpa air dan mengangkatnya menjadi karya sastra yang secara mengejutkan juga memenuhi selera pasar.

Tentang penulis sendiri, sebelum AAC, Habiburrahman El Shirazy yang akrab dipanggil Kang Abik atau Kang Habib ini, bukan siapa-siapa. Bahkan, untuk publik Semarang, tempatnya menuntaskan novel yang beranak-pinak buku itu (catat kehadiran fenomena Ayat-Ayat Cinta dan novel-novel pasca-AAC seperti dwilogi Ketika Cinta Bertasbih, Pudarnya Pesona Cleopatra, dan karya-karya lain dalam daftar yang tidak pendek) juga bernasib sama dengan puaknya. Ya, jadi best seller juga.

Habib (32), bukan kebetulan seusia dengan orang yang tengah menulis resensinya ini, sekembali ke kampung halaman bergelar Sarjana Universitas Al-Azhar Kairo Mesir, hanya menjadi guru honorer dengan gaji kurang dari Rp100 ribu sebulan. AAC menjadi semacam blessing in disguise (berkah tersembunyi) karena lahir justru setelah ia mengalami kecelakaan hingga harus istirahat penuh di rumah.

Dalam tempo sebulan, ia selesaikan roman santri yang lalu dimuat surat kabar Republika dalam bentuk cerita bersambung. Begitulah, AAC kemudian dibukukan dan meledak empat bulan pascacetak pertama. Tidak hanya sekali, tapi meledak dan meledak terus. Dan pada 2005 serta 2006, ia sukses menumbangkan dominasi Harry Potter sebagai buku terlaris.

Habib menikmati royalti 12 persen dari harga jual yang jika ditotal dengan buku-bukunya yang lain berjumlah Rp1,5 miliar. Dan dalam beberapa bulan ini, tiap bulan Penerbit Republika mengirim royalti kepada bapak dua anak itu Rp100 juta. Dengan royalti yang mengalir bagai air, guru honorer bergaji tidak sampai Rp100 ribu perak itu kini bisa membangun pesantren dan sekolah di Semarang.

Bukan Roman Picisan

Tokoh utama AAC adalah pemuda Indonesia bernama Fahri, mahasiswa pascasarjana Al-Azhar Kairo nan pintar, taat beragama, aktivis kampus, pekerja keras, bijak, dan romantis. Pokoknya, Fahri sosok ikhwan tulen paripurna dambaan perempuan yang juga digambarkan jadi rebutan empat akhwat, yaitu Maria, Noura, Nurul, dan Aisha. Notabene keempatnya cantik-cantik.

Aisha, gadis peranakan Jerman-Turki-Palestina, yang kemudian menjadi istri Fahri, bahkan dilukiskan cuantiiik bagai bidadari dan kaya-raya pula. Walau dipenuhi kejutan dan di beberapa bagian menguras air mata, sebagaimana keinginan banyak pembaca fiksi, novel ini toh berakhir bahagia.

Kedengaran klise dan tidak lebih bak roman picisan? Mungkin saja. Bahkan, walau bertabur kosakata khas komunitas santri dan aktivis masjid, ada yang berpendapat novel ini lebih layak masuk genre sastra pop. Mengenai hal ini, Habib punya jawaban lugas bahwa ia menulis mengikuti “rumus umum” yang berlaku di pesantren; khotibun naas ‘ala qodri uqulihim. “Bicaralah sesuai kemampuan orang yang kamu ajak bicara. Itu kunci komunikasi,” terangnya.

Rumus komunikasi yang dipakai Habib sukses memikat hati bukan hanya ikhwan-akhwat pembaca spesifik karya-karya Forum Lingkar Pena (FLP), forum penulis fiksi islami tempatnya bernaung, yang sudah terbiasa serta fasih dengan sebutan akhi-ukhti (”saudara laki-laki”–”saudara perempuan”). Ayat-Ayat Cinta juga terbukti sukses memikat hati akademisi kelas berat seperti Prof. Laode Kamaludin atau sastrawan trilogi laris Ronggeng Dukuh Paruk, Ahmad Tohari. Novel ini juga berhasil memaksa grup media Tempo yang terkenal dengan jurnalisme sastrawi yang “angker” itu untuk memberitakannya di laporan utama. Dan jangan lupakan kelas konsumen buku snobbish yang membeli buku lebih karena alasan gaya hidup, dan tentu saja punya andil besar menahbiskan novel ini menjadi novel laris.

Buku fenomenal secara substansial maupun komersial yang menurut sebagian besar anggota milis pencinta AAC dan Habiburrahman El Shirazy ini, sempurna tanpa cacat cela, tetap membuka ruang kritik. Seperti yang dikatakan Salim A. Fillah dalam fenomena Ayat-Ayat Cinta, kekurangan novel ini adalah tokoh utamanya tidak punya kekurangan. Dan ceritanya tidak ubahnya sinetron-sinteron tanah air yang too good to be true alias hiper-realitas.

Dengan penuh hormat, kepada Kang Habib yang telah melahirkan karya dari hati ini, saya setuju bahwa tokoh Fahri telah berhasil mendobrak segenap adagium pemuda gaul ala Si Boy yang hanya meletakkan agama sebagai simbol tasbih di spion mobil atau sesekali mendirikan salat, tapi pada saat yang sama rajin ke diskotek dan memacari perempuan yang memakai rok mini.

Saya juga percaya, dari 300 ribu pembeli AAC–serta sekian ribu peminjam buku berkantong cekak seperti saya–banyak yang mendapati pencerahan bahwa di dunia nan durjana ini masih ada sosok-sosok oasis semacam Fahri, Maria, dan Aisha. Saya setuju bahwa anak-anak muda kita butuh role model seperti Fahri yang menurut Kang Habib bahkan masih kurang sempurna. Masih kurang me-malaikat (waduh!).

Saya pun setuju bahwa sosok sekarakter Fahri itu wujud di dunia nyata, bukan hanya di Kairo, melainkan juga di sudut provinsi termiskin di Sumatera maupun di relung-relung Jakarta dan Semarang. Namun, toh pada akhirnya tidak ada yang maksum (tanpa kesalahan) selain baginda Rasul saw.

Dan untuk sebuah novel yang sudah cetak berpuluh kali, sungguh sayang bila di cetakan ke 21 sekalipun masih ditemui sejumlah salah ketik, penulisan imbuhan yang tidak sesuai dengan kaidah umum berbahasa, serta lafal asing yang tak tepat kamus. Walau demikian, keindahan novel yang diinspirasi Alquran surat Az Zukhruf Ayat (67) ini, tetap sulit dicari tandingannya. Wallahualam.

*) Pencinta buku, tinggal di Bandar Lampung.

Karena Fiksi bukan Kutbah Jumat

Efri Ritonga, Oktamandjaya Wiguna, Angela
http://www.ruangbaca.com/

Fiksi bernapas Islam tumbuh tanpa peningkatan kualitas

Beberapa tahun silam, Aisyah Putri adalah bunga di musim semi. Hampir tidak ada pembaca buku remaja Islam yang tidak mengenalnya. Pintar, ramah, dan baik hati, teladan yang ia berikan meresap di hati pelajar sekolah menengah, yang menjadi pembaca utamanya.

Bak gulungan ombak, seri karya Asma Nadia ini meraup sukses di pasar fiksi Tanah Air. Keberhasilan Aisyah Putri, yang mencuri perhatian remaja hampir tujuh tahun silam, itu antara lain karena penokohan yang sangat lokal dan mengena di hati remaja Indonesia. Bak kata anak remaja, “gue banget”. Apalagi, di masa itu, fiksi remaja populer didominasi chicklit dan teenlit terjemahan yang kurang menyentuh kehidupan pembaca lokal.

Menurut Asma, ciri khas novel remaja islami terletak pada muatan nilai di dalamnya, verbal atau pun tidak. “Fiksi islami mencoba untuk memberi pencerahan bagi pembacanya,” kata penulis yang telah menghasilkan banyak karya best-seller ini. Selain itu biasanya juga terletak pada gaya bahasa dan tema yang meremaja. “Banyak pembaca melihat novel jenis ini sangat membumi, karena tokohnya tidak cantik dan sempurna fisiknya, dan mewakili gambaran umum remaja di mana-mana,” kata Asma.

Bersamaan dengan melejitnya serial Aisyah Putri, fiksi bertema serupa ikut mencecap panen. Adalah penerbit Mizan dan Lingkar Pena Publishing House yang menjadi pelopor fiksi bernapaskan Islam ini. Lewat Divisi Anak dan Remaja (DAR), Mizan kemudian menerbitkan sejumlah karya dengan nuansa Islami. Mizan melabelinya dengan istilah Nori atau Novel Remaja Islam. Sejak itu, novel remaja islami semakin populer dan penjualannya laris. Hingga kini, mereka memiliki lebih dari 200 judul.

Salah satu ciri khas fiksi ini adalah tokohnya yang mencerminkan teladan bagi remaja dan sarat nilai-nilai islami. Jika tokohnya remaja putri, biasanya mengenakan kerudung. Temanya tetap menyentuh masalah keseharian remaja; perasaan berbunga-bunga ketika jatuh cinta, persaingan antarteman, dan masalah keluarga.

Fiksi Islami mencapai puncak kejayaannya pada 2004-2005 tatkala semua rak buku memajang novel dan kumpulan cerpen dengan sampul gadis-gadis berjilbab. Karya chicklit, yang ketika itu menjadi santapan pembaca Muslim, terpaksa menahan cemburu.

Gurihnya pasar fiksi islami pada masa itu ikut memicu tumbuhnya penerbit-penerbit kecil. Tidak itu saja, penerbit besar yang sebelumnya sudah berkiprah di dunia buku-buku Islam ikut meluncurkan tema serupa. Bahkan penerbit umum seperti Gramedia pun ikut menaruh hati. Temanya pun meluas tidak hanya pada basis remaja, namun juga menyentuh persoalan orang dewasa yang lebih kompleks.

Gema Insani Press, yang sebelumnya lebih banyak menerbitkan karya nonfiksi terjemahan, belakangan juga ikut bermain di pasar ini. “Kami pada waktu itu melihat bahwa karya-karya fiksi islami memiliki prospek yang cukup baik,” kata Iwan Setiawan, General Manager GIP.

Karena GIP tidak memiliki bagian riset dan pengembangan, mereka kemudian menyewa orang-orang untuk mengevaluasi manajemen penerbitannya. “Mereka menyarankan kami untuk mengembangkan sayap ke fiksi islami,” kata Iwan.

Musim semi fiksi islami ini juga bertabur nama-nama penulis baru dan sejumlah penulis lama yang memutuskan putar kemudi. Di antara mereka ada nama Pipiet Senja yang pada era 80-an berkarya lewat novel-novel bertema umum. Di antara sekian nama yang melejit itu, kakak-beradik Helvy Tiana Rosa dan Asma Nadia yang membesarkan Forum Lingkar Pena termasuk yang tercatat melahirkan karya berbobot. Meski berbalut tema islami, karya mereka mudah dikenali lewat kemampuan bertutur yang padat dan detail. Tema yang dibidik pun beragam. Mulai dari serpihan kisah di daerah konflik hingga pertempuran batin sang tokoh yang tengah mencari jati diri.

Tema lokal juga menjadi primadona pada masa itu. Ada Novia Syahidah yang mengangkat konflik batin gadis Jawa dalam tiga bukunya Putri Kejawen (2002), Di Selubung Malam (2003), dan Mengemas Rindu (2004). Ada pula kisah tentang pergolakan batin pemuda Papua bernama Omabak, yang bersekolah di Jawa dan menemukan daya tarik Islam dalam novel Amungme (2006), atau Tasaro yang mengangkat kisah dari Aceh lewat tiga bukunya Di Serambi Mekkah (2005), Pitaloka (2006), dan Samita (2007). Menurut Helvy, di tengah impitan globalisasi yang membuat sebagian penulis enggan menggarap tema lokal, keputusan penerbit untuk menampilkan nilai lokal patut dihargai.

Sayangnya, memasuki 2006, fiksi Islami mulai mencapai titik jenuh. Manajer Redaksi Anak dan Remaja Mizan, Benny Rhamdani melihat masalah ini terjadi akibat membanjirnya novel fiksi islami yang tidak diikuti dengan peningkatan kualitas isi cerita. “Akibat booming itu banyak yang ikut menerbitkan tanpa memperhatikan kualitasnya,” kata Benny.

Benny mencontohkan banyaknya novel yang sekedar mengutip ayat-ayat Alquran kemudian dilabeli fiksi Islam. Bahkan ada, kata Benny, cerita fiksi yang nuansa Islamnya hanya sebatas percakapan para tokohnya yang mengucap assalamu alaikum atau alhamdulillah. “Islamnya cuma tempelan,” keluh Benny.

Ini berujung pada kejenuhan pasar akan fiksi islami yang, menurut Benny, kian hari kian tak terjaga kualitasnya. Pada saat yang sama muncul novel chicklit dan teenlit lokal yang semakin menggerus buku fiksi islami. Bahkan Benny melihat ada penulis fiksi Islam ikut beralih menulis chicklit.

Beruntung pada era itu muncul novel Ayat-Ayat Cinta yang kesuksesannya tetap menjaga semangat para penerbit dan penulis buku fiksi Islam untuk terus berkarya. Namun Benny menyayangkan momentum ini dipakai oleh penulis untuk kembali membangkitkan fiksi islami dengan dengan cara mengekor sukses novel karya Habiburrahman El-Shirazy ini.

Ramai-ramai para penulis mengangkat tema serupa. Benny mengakui pihaknya menerima banyak naskah dengan tema, tokoh, plot, dan seting yang mirip dengan Ayat-Ayat Cinta. “Sayang sekali karena momen ini tidak dipakai untuk membangkitkan kembali fiksi Islam,” kata Benny.

Kelangkaan bahan ini membuat Mizan sangat berhati-hati memilih. Sepanjang tahun lalu novel Mizan yang mendapat sambutan cukup baik hanyalah Lafaz Cinta karya Sinta Yudisia. Novel ini terjual sekitar seribu eksemplar per bulan dan sudah cetak ulang sebanyak tiga kali.

Karena naskah yang masuk kurang memenuhi harapan pula, Mizan memutuskan untuk mengemas ulang buku-buku yang sebelumnya pernah menjadi best-seller. Mizan menerbitkan ulang Diorama Sepasang Albana karya Ari Nur dan menyatukan buku trilogi karya Gola Gong di bawah judul Cintamu Seluas Samudera.

Langkah ini ditempuh sambil mendekati penulis agar membuat tema yang lebih beragam seraya menunggu naskah berkualitas tiba. Mizan sendiri lebih membidik pembaca yang dulu menikmati buku terbitan DAR Mizan. Benny mengatakan, pembaca setia tersebut saat ini sudah berusia 20 tahun ke atas dan sudah menikah sehingga tema novel harusnya bisa mengakomodir karakteristik itu.

Benny mengatakan, Mizan berharap nantinya fiksi islami bisa bergeser dari format populer menjadi lebih nyastra. Mizan, kata Benny, juga menginginkan nuansa islami dalam karya fiksi tersebut tidak sekedar di kulit saja tapi keseluruhan isinya memuat ajaran-ajaran Islam yang universal yang bisa diterima semua orang. “Istilahnya, fiksi Islam itu bukan hanya untuk yang berkerudung tapi yang tidak berkerudung juga bisa menikmati,” ujarnya.

Helvy Tiana Rosa juga melihat peluang fiksi Islam juga masih cerah. Apalagi, banyak pemicu bagi tumbuhnya gairah menikmati fiksi jenis ini. “Tidak lagi tertatih-taih seperti ketika dulu saya “menjajakan” tema ini pertama kali pada para pembaca,” katanya.

Helvy melihat, tumbuhnya pasar fiksi Islami karena kian banyak pembaca novel populer yang ingin mencari alternatif bagi kebutuhan ruhaniahnya. Orang butuh karya-karya yang reflektif. Masalahnya, memang tidak banyak karya menjanjikan dengan bendera Islam yang muncul di pasaran. Tidak heran jika menyebut sastra Islam, orang lebih banyak mengacu pada karya terjemahan penulis Timur Tengah dan Asia Selatan seperti Iqbal, Najib Mahfuz, dan Taufiq Al Hakim serta karya ulama seperti Buya Hamka dengan roman terkenalnya Tenggelamnya Kapal Van der Wijck.

Karya-karya yang muncul belakangan, menurut Helvy, Benny, dan Asma Nadia, sayangnya cenderung stagnan, tidak berkembang, dan basi. Boleh dibilang karya fiksi islami bernapas sama; awalnya sang tokoh jauh dari Islam, dilanda cobaan, insyaf, dan berakhir bahagia. Bagi sebagian orang, kisah sejenis ini dipandang mampu memberi penyadaran edukatif, namun bagi sebagian lainnya justru menimbulkan kejengkelan. Ini memberi kesan seolah-olah Islam itu hanya sebatas jenggot, salat sunah dan puasa komplet, bahasa Arab, dan keajaiban hidayah.

Asma melihat, fiksi islami yang berhasil adalah kisah dengan tokoh sangat beragam. Cerita islami tidak harus disampaikan melulu lewat tokoh yang baik-baik, katanya. “Misalnya, seperti hadits Rasul yang menyebut pelacur yang pernah memberi makan anjing,” katanya. “Jadi nilainya tidak melulu hitam putih, sebab dunia nyata kan memang tidak hitam putih.”

Secara pribadi, Asma menyebut ia lebih suka menyampaikan segala sesuatu dengan lebih sederhana, seberat apapun masalahnya, kalau bisa tidak mempersulit pembaca. “Kenapa kita harus bersulit2 kalau kita bisa memudahkan?” katanya.

Di satu sisi, menurut Asma, fiksi islami memiliki muatan ‘pencerahan’ atau bagi pribadinya menjadi salah satu bentuk ‘dakwah’.

“Dalam fiksi islami, sastra profetik, sastra religius, apapun istilahnya, harus ada nilai yang bisa dipetik,” katanya. “Tentu saja penyampaiannya tidak boleh verbal, sehingga pembaca, terutama pembaca remaja tidak merasa digurui.”

Menurut Asma, menjadi tugas pengarang untuk memastikan tulisan dia tidak mengajak kepada hal-hal yang buruk atau ada sesuatu yang bisa dipetik, tanpa terjebak menjadi verbal, dan di satu sisi juga memastikan bahwa sesuatu itu tidak hanya bermain di tataran pemikiran penulisnya saja, melainkan jelas-jelas bisa sampai kepada pembacanya.

Penulis fiksi islami yang kerap menjadi pembicara pada banyak diskusi bertema fiksi islami, Jonriah Ukur Ginting, yang lebih dikenal lewat nama penanya Jonru, melihat fiksi islami menjadi lari dari cita-citanya semula, yakni sebagai bacaan alternatif untuk memenuhi kebutuhan ruhaniah. “Buku-buku fiksi islami yang kemudian beredar tak lagi sarat makna tetapi hambar dan membosankan,” kata penulis Kasih Tak Terlerai dan Cowok di Seberang Jendela ini.

Pembaca tidak mendapatkan lagi pencerahan batin, tetapi sekadar hiburan yang tak begitu butuh ketajaman pikiran dan kedalaman rasa. Fiksi islami tinggal sebatas komoditas. Karena itu, banyak penerbit yang sebelumnya mendukung, kini lebih berharap pada penerbitan nonfiksi atau kisah-kisah nyata.

Jonru melihat keberadaan wakil penulis fiksi Islam Helvy Tiana Rosa di Dewan Kesenian Jakarta diharapkan bisa mendongkrak nasib fiksi Islam sehingga bisa diterima menjadi bagian dari sastra Indonesia. “Jika hendak disebut sebagai karya sastra, mau tidak mau fiksi Islam harus berkualitas, bernilai sastra dan estetika,” katanya. “Untuk ukuran ini, mungkin baru Helvy, Asma, dan Habiburrahman yang bisa memenuhinya.”

Sayang, menurut Jonru, bahkan Ayat-Ayat Cinta pun tergelincir karena unsur romantismenya yang begitu dramatis sehingga hampir menjadi roman picisan. “Padahal, dari sisi muatannya, intertekstualitas nilai-nilai Islam yang elok bisa menjadi representasi sastra Islam,” katanya. Jika sastra seksis saja bisa mengepakkan sayap dan mendapat tempat di hati pembaca, katanya, kenapa sastra Islam tidak?

Bahasa Jawa Suriname dan Belanda

Endang Suryadinata*
http://www.radarsampit.com/

KISAH Ramadan dan Lebaran di Kampung Orang-Orang Jawa di Suriname, yang saya ikuti dari situs Jawa Pos (Grup Radar Sampit) pada 20-23 Oktober 2006 lalu sungguh menjadi sajian menarik, seperti “kacang renyah” di waktu Lebaran. Bagi warga Surabaya yang tinggal di Belanda seperti saya, sajian itu seolah-olah membangkitkan nostalgia betapa unik, asyik sekaligus eksotik berlebaran di desa-desa di Magelang, Jogjakarta atau Kediri di dekade 70-an atau 80-an dulu.

Selain itu, sebagai peminat sejarah sekaligus pemakai bahasa Jawa di negeri asing, saya merasa mendapatkan air sejuk lewat tulisan wartawan Jawa Pos Arief Santosa itu. Betapa bahasa Jawa masih eksis justru di sebuah negeri asing seperti Suriname. Seperti kita tahu saat ini penutur atau pemakai bahasa Jawa sebagai bahasa pengantar sehari-hari tinggal sekitar 80 juta orang di seluruh dunia.

Meski jumlahnya tampak cukup banyak, belakangan sering muncul kekhawatiran bahasa satu ini akan musnah. Menurut Soetadi, ketua panitia Kongres Bahasa Jawa IV di Semarang, 11-14 September 2006, setiap tahun selalu ada bahasa etnis yang hilang karena berhadapan dengan arus globalisasi. Pada 2001, ada 10 bahasa etnis di dunia yang hilang. Sedangkan pada 2004 setidaknya 24 bahasa etnis yang juga raib.

Kemungkinan musnahnya bahasa Jawa itu layak dicemaskan, pasalnya banyak generasi muda Jawa sendiri justru “ora Jowo” (tidak mau mengerti) dengan bahasa warisan nenek moyangnya. Ini, misalnya, terlihat dari sebuah tulisan berjudul Bahasa Jawa? Ih, “Boring” Banget (Kompas, 25/9/2006), yang kemudian menjadi bahan diskusi cukup lama di sebuah milis.

Cerita tentang orang-orang Jawa di Suriname itu sungguh memberi harapan bahwa meskipun di sebuah tempat yang sangat jauh dari Pulau Jawa (Indonesia), ternyata generasi ketiga atau keempat dari orang-orang Jawa di Suriname tidak pernah melupakan bahasa leluhurnya.

Itu tentu beda dengan banyak generasi muda Jawa di tanah Jawa sendiri yang justru lebih suka melirik bahasa asing. Suka bahasa asing demi keilmuan atau agar bisa berkomunikasi dan berkompetisi di era globalisasi boleh-boleh saja. Tapi jika hanya sekadar untuk bergaya seperti bahasa “Indonenglish”, gado-gado bahasa Inggris dan bahasa Indonesia, yang makin marak di kota-kota besar seperti Jakarta atau Surabaya, kita layak bertanya atau menggugat. Maka, di tengah kian lakunya semua hal berbau asing seperti sekarang, kita perlu menimba keteladanan dari orang-orang Jawa di Suriname itu.

Di Belanda

Yang unik dalam kasus bahasa Jawa ini adalah minat orang asing terhadap bahasa atau sastra Jawa. Dan, Belanda sebagai negeri bekas penjajah Jawa ternyata menjadi gudang dari orang atau pakar yang punya minat khusus terhadap keberadaan bahasa Jawa. Universiteit Leiden, universitas tertua di Belanda yang didirikan 1575 merupakan salah satu gudangnya. Di universitas yang didirikan Pangeran Willem van Oranje, tempat dari sekitar 17 ribu mahasiswa menimba ilmu, kita bisa melihat naskah-naskah kuno berhuruf Jawa atau sastra Jawa kontemporer yang masih terawat.

Dalam hal ini, mudah-mudahan kita tidak terjebak pada pemikiran karena Belanda pernah menjajah kita, maka semua hal terkait Belanda adalah jahat atau buruk. Padahal tidak selalu demikian. Di Leiden, kita bisa melihat masih ada warga Belanda yang justru menjadi penyelamat bahasa Jawa. Apresiasi, perhatian, bahkan kecintaan mereka pada bahasa Jawa ada baiknya diketahui. Siapa tahu bisa menjadi inspirasi bagi generasi kita yang mulai kehilangan daya apresiasinya pada bahasa Jawa.

Salah satu nama yang mungkin kini terdengar asing di tengah generasi muda Jawa adalah nama Dr Theodoor Gautier Thomas Pigeaud. Dia adalah ahli sastra Jawa dari Belanda lahir di Leipzig, 20 Februari 1899 dan meninggal di Gouda, 6 Maret 1988. Ayah Theo adalah dokter yang pernah praktik di Mojokerto, Jawa Timur pada 1887-1898. Pada 1916 ia masuk Universitas Leiden dan kuliah “Taal- en Letterkunde van den Oostindischen archipel” (Bahasa dan Sastra Kepulauan Hindia-Timur). Mata kuliahnya waktu S1 terdiri atas bahasa Arab, Sansekerta, Islam, dan ilmu bumi Kepulauan Hindia-Timur. Kemudian Pigeaud melanjutkan studi S2 dan mempelajari bahasa Melayu, bahasa Jawa, dan bahasa Persia. Disertasi S3-nya adalah suntingan teks sebuah karya sastra Jawa Pertengahan berjudul Tantu Panggelaran yang isinya adalah mitologi Jawa Kuno.

Lulus dari Leiden, Pegeaud menjadi seorang taalambtenaar (pegawai bahasa) di Jawa. Salah satu karya monumentalnya adalah kamus Jawa-Belanda yang dia buat pada 1925 dan baru diterbitkan pada 1938. Setelah Perang Dunia II, Pigeaud pulang ke Belanda. Pada 1948 Pigeaud menerima tugas untuk menyunting ulang dan menerjemahkan kembali kakawin Nagarakretagama. Puncak dari karya monumentalnya adalah Java in the 14th Century (1960-1963), dan terdiri atas 1.500 halaman. Karya-karya Pegeaud terkait bahasa Jawa masih terdokumentasi di Perpustakaan KITLV (Koninklijk Instituut voor Taal-, Land- en Volkenkundei) yang merupakan pusat dokumentasi terbesar di dunia (www.kitlv.knaw.nl).

Orang Belanda lain yang peduli bahasa Jawa adalah Hans Ras (lahir di Rotterdam, 1 April 1926 dan wafat di Warmond, 22 Oktober 2003). Dia merupakan pakar bahasa dan sastra Jawa di Universitas Leiden. Ia bukan hanya jatuh cinta pada bahasa Jawa tapi menikahi gadis Jawa pula bernama Widjiati. Pada 1985 ia diangkat menjadi guru besar sastra dan budaya Jawa. Studi-studinya tentang budaya dan sastra Jawa sangat diakui. Secara khusus Ras sangat mencintai wayang dan sejarah perkembangannya. Ia juga pernah menerjemahkan sebuah lakon wayang ke bahasa Belanda: De schending van Soebadra (Subadra Larung atau Sembadra Larung). Lalu yang tidak kalah penting ialah studi-studinya mengenai karya penulisan, struktur, fungsi, dan kebenaran teks-teks sejarah dari Jawa, terutama Babad Tanah Jawi. Ras juga menyebarkan perasaan cinta terhadap budaya, bahasa dan orang Jawa, pada bidang ilmu pengetahuan dan bidang lainnya. Saya mengenalnya sebagai sosok yang tidak rela jika budaya Jawa, termasuk bahasa Jawa, dilecehkan.

Mungkin sebagian dari kita sudah mengenal sosok penyelamat bahasa Jawa Kuno (Kawi), Prof Dr Petrus Josephus Zoetmulder SJ. Sosok kelahiran Utrecht, 29 Januari 1906 dan wafat di Jogjakarta, 8 Juli 1995 itu adalah pakar sastra Jawa dan budayawan Indonesia. Pastor Katolik ini terkenal dengan aspek agama kejawen-nya yakni Manunggaling Kawula Gusti. Selain itu, nama Zoetmulder tidak dapat dilepaskan dari telaah sastra Jawa Kuna Kalangwan dan kamus Jawa Kuna-nya yang terbit dalam dua edisi: bahasa Inggris (1982) dan Indonesia (1995).

Secara fisik Zoetmoeldar memang orang Belanda, tetapi jiwa dan hatinya lebih Jawa dari orang Jawa manapun. Misalnya, jika banyak generasi muda Jawa tidak bisa berbahasa Jawa kromo inggil, maka mendiang justru luar biasa lancarnya. Para muridnya antara lain Prof Dr Koentjaraningrat, Dr Sukmono dan Dr S. Supomo.

Kita juga tak bisa melupakan peran sosok Tionghoa muslim bernama Prof Dr Tjan Tjoe Siem yang lahir di Surakarta pada 1909 dan wafat di Jakarta, 1978 yang dikenal sebagai pakar sastra Jawa dan guru besar Universitas Indonesia. Sosok yang punya perhatian pada hukum Islam ini promosi di Universitas Leiden, pada 1938. Judul disertasinya Hoe Koeroepati zich zijn vrouw verwerft berkisah tentang lakon wayang pernikahan Suyodana atau Duryudana, raja para Kurawa yang diambil dari Mahabharata.

Tjan Tjoe Siem mengingatkan saya pada banyak warga Tionghoa di Belanda, termasuk mereka yang datang dari Surabaya, Jogjakarta atau Semarang yang lebih suka menggunakan bahasa Jawa dalam komunikasi dengan sesama Tionghoa atau orang-orang Jawa di Belanda.

Jadi, sebenarnya masih banyak nama lain yang peduli pada bahasa Jawa, tapi terlalu banyak jika disebutkan semua.

Nah, dari sosok-sosok asing itulah diharapkan mudah-mudahan kita bisa tergugah dan menjadi sadar bahwa bahasa Jawa bukanlah bahasa yang remeh, tetapi bahasa yang eksotik, karena lahir dari sebuah tradisi tua yang sangat bernilai, sampai memesona orang asing. Langkah-langkah untuk menjaga dan melestarikan bahasa ini, yang dilakukan berbagai pihak layak dihargai dan perlu ditindaklanjuti. Siapa lagi yang mau peduli kepada bahasa Jawa kalau bukan kita sendiri? ***

*) Peminat sejarah dan bahasa Jawa, alumnus Erasmus Universiteit Rotterdam.

Label

`Atiqurrahman A Muttaqin A Rodhi Murtadho A. Iwan Kapit A. Purwantara A. Qorib Hidayatullah A. Zakky Zulhazmi A.H.J Khuzaini A.S. Laksana Aang Fatihul Islam Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi WM Abdul Kadir Ibrahim Abdul Lathief Abdul Malik Abdul Wachid B.S. Abdurrahman El Husaini Abidah El Khalieqy Abu Salman Acep Zamzam Noor Achdiat K. Mihardja Adek Alwi Adi Suhara Adnyana Ole Adreas Anggit W. Afrion Afrizal Malna Aguk Irawan MN Agung Dwi Ertato Agus B. Harianto Agus Buchori Agus Himawan Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sulton Agusri Junaidi Agustinus Wahyono Ahda Imran Ahmad Badrus Sholihin Ahmad Fanani Mosah Ahmad Fatoni Ahmad Ikhwan Susilo Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musabbih Ahmad Rofiq Ahmad Sahidah Ahmad Tohari Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sekhu Alex R. Nainggolan Alex Suban Alunk Estohank Ami Herman Amien Kamil Amien Wangsitalaja Aminudin R Wangsitalaja Anastasya Andriarti Andreas Maryoto Anes Prabu Sadjarwo Angela Angga Wijaya Angkie Yudistia Anindita S Thayf Anis Ceha Anjrah Lelono Broto Anton Kurnia Anton Kurniawan Anton Wahyudi Anugrah Gio Pratama Anwar Nuris Aprinus Salam Arie MP Tamba Arif B. Prasetyo Arif Bagus Prasetyo Arif Hidayat Arman A.Z. Arti Bumi Intaran Arys Hilman AS Sumbawi Asarpin Asef Umar Fakhruddin Asep Sambodja Asrama Mahasiswa Aceh SABENA Astrikusuma Asvi Warman Adam Atep Kurnia Awalludin GD Mualif Aziz Abdul Gofar Azizah Hefni Badrut Tamam Gaffas Bagja Hidayat Bagus Takwin Balada Bale Aksara Baltasar Koi Bambang Agung Bambang Kempling Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Bayu Insani Beni Setia Benny Arnas Benny Benke Berita Berita Duka Berita Utama Bernando J. Sujibto Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Blambangan Brunel University London BSW Adjikoesoemo Budaya Budhi Setyawan Budi Darma Budi Saputra Budi Suwarna Bung Tomo Cak Kandar Catatan Cerpen Chairil Anwar Chavchay Syaifullah Cucuk Espe Cunong N. Suraja D. Zawawi Imron Dadang Ari Murtono Daisuke Miyoshi Damanhuri Damhuri Muhammad Damiri Mahmud Danarto Daniel Dhakidae Dante Alighieri Deddy Arsya Dedy Tri Riyadi Denny Mizhar Deny Tri Aryanti Detti Febrina Dharmadi Diah Hadaning Dian Hartati Dian Sukarno Diana A.V. Sasa Dicky Fadiar Djuhud Didi Arsandi Dimas Dina Oktaviani Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Djadjat Sudradjat Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Doddy Hidayatullah Donny Anggoro Dony P. Herwanto Dorothea Rosa Herliany Dr. Muhammad Zafar Iqbal Dr. Simuh Dwi Arjanto Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwicipta Dwijo Maksum Edy A. Effendi Edy Firmansyah Efri Ritonga Egidius Patnistik Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Hendri Saiful Elik Elsya Crownia Emha Ainun Nadjib Endah Sulawesi Endah Wahyuningsih Endang Suryadinata Endhiq Anang P Endri Y Eriyandi Budiman Ernest Hemingway Esai Esha Tegar Putra Eva Dwi Kurniawan Evi Dana Setia Ningrum Evi Idawati Evieta Fadjar F Rahardi Fabiola D. Kurnia Fadelan Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Faisal Kamandobat Faisal Syahreza Faizal Syahreza Fajar Alayubi Fandy Hutari Fany Chotimah Fatah Yasin Noor Fathor Lt Fathurrahman Karyadi Fatih Kudus Jaelani Fatma Dwi Rachmawati Fauzi Absal Festival Sastra Gresik Fikri. MS Fina Sato Fitri Susila Galih Pandu Adi Gde Agung Lontar Geger Riyanto Gerakan Literasi Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Ginanjar Rahadian Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gunoto Saparie Gus Martin Gus tf Sakai Gusti Eka Hadi Napster Haji Misbach Halim HD Halimi Zuhdy Hamberan Syahbana Hamdy Salad Han Gagas Handoko F. Zainsam Hari Santoso Haris del Hakim Hartono Harimurti Hary B. Kori’un Hasan Gauk Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Helwatin Najwa Hepi Andi Bastoni Heri C Santoso Heri KLM Heri Latief Heri Listianto Hermien Y. Kleden Hernadi Tanzil Heru Emka Heru Kurniawan Heru Prasetya Hesti Sartika Hudan Hidayat Humaidiy AS I Made Asdhiana I Made Prabaswara I Nyoman Suaka IBM. Dharma Palguna Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Ida Ahdiah Idayati Ignas Kleden Ihsan Taufik Ilenk Rembulan Ilham Khoiri Ilham Yusardi Imam Cahyono Imam Jahrudin Priyanto Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indah Darmastuti Indiar Manggara Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indrian Koto Irma Safitri Irman Syah Iskandar Noe Istiqomatul Hayati Ita Siregar Iwan Kurniawan Iwan Nurdaya-Djafar Iyut FItra Jadid Al Farisy Jafar M. Sidik Jakob Sumardjo Jamal D Rahman Janual Aidi Javed Paul Syatha Jayaning S.A Jefri al Malay Jihan Fauziah JJ. Kusni Jo Pakagula Johan Edy Raharjo Joko Pinurbo Jokowi Undercover Joni Ariadinata Joss Wibisono Jual Buku Paket Hemat Judyane Koz Juli Sastrawan Junaidi Abdul Munif Jusuf AN Juwairiyah Mawardy Kadir Ruslan Kasnadi Katrin Bandel Kedung Darma Romansha Khairul Mufid Jr Khamami Zada Khrisna Pabichara Kikin Kuswandi Koh Young Hun Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Komunitas Sastra Ilalang Indonesia (KSII) Korrie Layun Rampan Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan) Kristianto Batuadji Kritik Sastra Kunni Masrohanti Kunthi Hastorini Kuntowijoyo Kurie Suditomo Kurnia EF Kurniawan Kuswaidi Syafi'ie Kuswinarto Lan Fang Landung Rusyanto Simatupang Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Liestyo Ambarwati Khohar Linda Sarmili Liston P. Siregar Liza Wahyuninto LN Idayanie Lucia Idayani Lukman Asya Lusiana Indriasari Lynglieastrid Isabellita M Hari Atmoko M. Aan Mansyur M. Arman A.Z M. Bagus Pribadi M. Fadjroel Rachman M. Harya Ramdhoni Julizarsyah M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S M. Luthfi Aziz M. Nahdiansyah Abdi M. Raudah Jambak M. Shoim Anwar M. Yoesoef M.D. Atmaja Maghfur Saan Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Majalah Sastra Horison Maklumat Sastra Profetik Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Serenade Sinurat Mario F. Lawi Marluwi Marsel Robot Martin Aleida Martin Suryajaya Mashuri Matdon Mega Vristian Melani Budianta Melayu Riau Memoar MG. Sungatno Mh Zaelani Tammaka Miftah Fadhli Miftahul Abrori Misbahus Surur Miziansyah J Mochtar Lubis Mohamad Ali Hisyam Mohammad Eri Irawan MT Arifin Mugy Riskiana Halalia Muhajir Arrosyid Muhamad Rifai Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Al-Mubassyir Muhammad Qodari Muhammad Rain Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun A.S Muhidin M. Dahlan Muhlis Al-Firmany Mujtahid Mulyadi SA Munawir Aziz Murniati Tanjung Murnierida Pram Musa Ismail Musfi Efrizal Mustaan Mustafa Ismail N. Mursidi Nafsul Latifah Naskah Teater Nasrullah Nara Nelson Alwi Nenden Lilis A Nh. Anfalah Ni Made Purnama Sari Nina Mussolini-Hansson Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Noura Nova Christina Noval Jubbek Novela Nian Nugroho Notosusanto Nugroho Pandhu Sukmono Nur Faizah Nurdin F. Joes Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nurul Komariyah Nuryana Asmaudi SA Nyoman Tusthi Eddy Nyoman Wirata Oka Rusmini Oktamandjaya Wiguna Oky Sanjaya Olanama Olivia Kristina Sinaga Otto Sukatno CR Pagelaran Musim Tandur Pamusuk Eneste Patricia Pawestri PDS H.B. Jassin PDS. H.B. Jassin Penghargaan Hadiah Sastra Pusat Bahasa Persda Network Pipiet Senja Pramoedya Ananta Toer Pramono Pranita Dewi Pringadi AS Prita Daneswari Prof. Tamim Pardede sebut Bambang Tri Prosa Pudyo Saptono Puisi Puisi Kesunyian Puisi Sufi Puji Santosa PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Wijaya Qaris Tajudin R. Sugiarti Rachmad Djoko Pradopo Radhar Panca Dahana Ragdi F. Daye Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Ramadhan Batubara Ramadhan KH Ratih Kumala Ratna Indraswari Ibrahim Ratna Sarumpaet Raudal Tanjung Banua Remy Sylado Reni Susanti Renny Meita Widjajanti Resensi Restu Kurniawan Retno Sulistyowati RF. Dhonna Rian Sindu Ribut Wijoto Ridwan Munawwar Riki Utomi Riris K. Toha-Sarumpaet Risang Anom Pujayanto Riza Multazam Luthfy Robin Al Kautsar Rodli TL Rofiqi Hasan Rohman Abdullah Rosidi Rosihan Anwar Rukardi S Yoga S. Jai S. Sinansari Ecip S.I. Poeradisastra S.W. Teofani Sabam Siagian Sabrank Suparno Saiful Anam Assyaibani Sainul Hermawan Sajak Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sanggar Rumah Ilalang Sanggar Teater Jerit Sapardi Djoko Damono Sartika Dian Sartika Dian Nuraini Sastra Tanah Air Sastra Using Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sayyid Fahmi Alathas Sazano Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo Seli Desmiarti Selo Soemardjan Senggrutu Singomenggolo Seno Joko Suyono SH Mintardja Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sipri Senda Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Sobih Adnan Sofian Dwi Sofie Dewayani Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sri Ruwanti Sri Wintala Achmad St Sularto Stefanus P. Elu Sukron Abdilah Sulaiman Djaya Suminto A. Sayuti Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sungging Raga Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Suryansyah Suryanto Sastroatmodjo Susanto Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suyadi Suyadi San Syaifuddin Gani Syaiful Amin Syamsiar Hidayah Syarbaini Syifa Amori Syifa Aulia Tajuddin Noor Ganie Taufik Abdullah Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat TE. Priyono Teguh Afandi Teguh Ranusastra Asmara Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Theresia Purbandini Tita Tjindarbumi Titik Alva-Alvi Choiriyah Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tjoet Nyak Dhien Tosa Poetra Tri Lestari Sustiyana Triyanto Triwikromo TS Pinang Tu-ngang Iskandar Tulus S Tulus Wijanarko Udo Z. Karzi Ugoran Prasad Umar Fauzi Ballah Umar Kayam Umbu Landu Paranggi Universitas Indonesia Universitas Jember Utada Kamaru UU Hamidy Vera Ernawati Veronika Ninik W.S. Rendra Wahjudi Djaja Wahyu Hidayat Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Budiartha Widya Karima Wijaya Herlambang Wiji Thukul Willem B Berybe Wilson Nadeak Winarni R. Wiratmo Soekito Wita Lestari Wiwik Widayaningtias Y. Thendra BP Y. Wibowo Yasser Arafat Yeni Ratnaningsih Yohanes Sehandi Yonatan Raharjo Yonathan Rahardjo Yopi Setia Umbara Yos Rizal S Yos Rizal Suriaji Yudhi Herwibowo Yuka Fainka Putra Yurnaldi Yushifull Ilmy Yusri Fajar Yusuf Suharto Zainal Abidin Zainal Arifin Thoha Zawawi Se Zen Hae