Jumat, 29 Januari 2010

GEJALA KEMUNCULAN SAJAK BERALIRAN DEKORATIF

Nurel Javissyarqi
http://pustakapujangga.com/?p=291

Seorang penyair diharuskan mencari nilai-nilai hayatnya sendiri, meski tengah belajar pun sudah pelajari keilmuan dari berbagai sumber hikmah lain.

Di kedalaman dirinya, pantas menggali yang dirasakan gejolak sehari-hari, atas pantulan hidup bermasyarakat, serta jalannya sejarah yang menggumuli.

Bukan sekadar menghayati lorong-lorong pernah dilewati para pendahulu. Di sinilah tantangannya, apakah penyair tulen atau sekadar pengekor nilai yang ada, dari agama, filsafat pun keilmuan lain.

Kita tahu Ibnu Arabi, walau mengambil ajaran Islam sebagai sungai menghanyutan jiwanya, tapi dirinya tak sekadar ikuti arus semata, ada usaha keras mengeduk relung terdalam, pada yang bergolak di kedalaman jiwa.

Al-Hallaj juga tokoh-tokoh yang menggenggam suatu nilai dengan khusyuk tawadhuk, namun tetap keimanannya tidak seperti hamba membutakan mata.

Ada pencarian sungguh dari faham dianutnya, hingga memunculkan cahaya syiar cemerlang, menjadi pandangan baru yang ditimbulkan, atas usahanya dalam penelusuran kehakikian hayat di jamannya.

Menengok dunia Barat, kujumput saja perihal kesusastraan Prancis dari pandangan Marcel Raymond, pada De Baudelaire au Surrealisme, Jose Corti 1963, yang dikutip Wing Kardjo:

“Puisi modern Prancis dapat dibilang berawal Charles Baudelaire, atas kumpulan sajaknya Les Fleurs du Mal, yang merupakan sumber inspirasi puisi masa kini, telah melahirkan dua aliran kepenyairan; para seniman dan para terus mata, yang satu mengalir ke Mallarme menuju Valery, satunya lagi menelusup pada Rimbaud menukik ke avontir, kaum surrealis.”

Tampak di sana, kaki-kaki kepenyairan menjejak kukuh perjuangan takdirnya, tidak hanya membaca buku lantas memakan mentah, tapi juga menyinahui letupan jiwanya, menyuntuki alam sekitar sampai temukan bentuk baru, yang dirasai sesuai alam diri dikandungnya.

Tidak sekadar bantahan pemikiran, ada laku atas hasil usahanya; segugus karya sebagai toggak pembenaran terjadinya kehadiran niscaya.

Entah sajak aliran dekoratif sebelumnya sudah tercium apa belum, yang jelas arusnya dari seni kerajinan, atas membiaknya revolusi industri yang sempat dialihkan, bukan dihadang-halangi William Morris (1834-1896).

Lewat mematangkan nilai modern bersentuhan kemanusiaan yang tidak terpatok prodak masal dari pabrik, ada membumikan kerja manusiawi, semisal pabrik rokok kretek yang sebagian karyanya menggunakan tenaga manusia.

Kini kuberanikan memaknai apa itu sajak beraliran dekoratif, sajak ini memperindah nilai yang sudah diterima secara umum, normatif, tepatnya mengukuhkan faham telah ada, apakah hasil keringat nilai puitik penyair pendahulu, atau ajaran agama yang dianut.

Yang terpancang di sana, gemerlap warna-warni, tapi kita mengenal oleh bacaan-bacaan sebelumnya. Sentuhan itu terasa, manakala mendalami corak ruhaniah karya tersebut tidak memiliki greget, atau tiada ruh penciptaan dari kedalaman jiwa penyair, sejenis kelincahan tangan, keahlian merakit keindahan.

Jaman sekarang, di mana informasi berlesatan, dimungkinkan terbentuk aliran sajak dekoratif, karena kurangnya pengendapan jiwa penyair, hanya mengandalkan tambal sulam warna puitis, yang di dalamnya masih mengemban suatu nilai, tapi terlihat jelas karya itu hasil olahan nalar atas jiwa distandarkan, sebab mengikuti gaya puitisasi yang sudah dikenal dalam dunia kepenyairan.

Gejala ini berawal pertemanan satu penyair dengan penyair lain, lebih jelas mencermati gerak sanggar sastra yang menghadirkan antologi puisi, terlihat kesamaan bentuk dalam pencarian cahaya puitis, di sinilah kelemahan pun kelebihannya.

Manfaatnya tentu memudahkan pemula meraup asal-asalan dari pendahulunya, bagi pemula yang cerdas dan lincah, akan mudah meneguk air bening formula puisi. Namun tidak dirasai ia tengah menenggak racun, sebab tidak berusaha mencipta wujud berbeda, dan sungguh tidak memiliki sikap jiwa pencari, karena terpuaskan hasil-hasil gemilang dari polesannya.

Sebelum jauh, kuceritakan keluhan seorang penyair nasional. Di sini tiada niatan merusak pamor yang dibangunnya, sekadar menjumput kegelisahannya. Dia bilang mau berpindah cerpen, sebelum beralih puisi lewat bentuk baru, sebab muridnya telah mengambil bentuk yang sudah dicanangkan sejak awal. Dia pun berbicara, apa yang digagasnya selama bertahun-tahun, diambil alih hanya beberapa bulan saja, begitu kurang lebih perkataannya.

Sketsa di atas dapat dipisahkan, mana penyair karbitan dan yang benar-benar matang oleh pencarian jati dirinya, atas pengalaman berkelana, hingga menemukan wajah puitis berbeda, serta melekat kuat dalam jiwanya, daripada sekadar dicetak menjelma penyair.

Ini kukira tidak mengurangi hukum bersosial, di mana insan saling pengaruh, tapi namanya pencipta, patut berusaha temukan jalan masing-masing. Dan sang pelopor tidak tertarik hasil-hasil yang sudah jadi, tetapi menampiknya sekeras menggali sumber air keindahan, dari perjuangannya merasai kenikmatan berpuisi.

Aku ambil suasana para pencipta seni di atas suara pengamat musik klasik J. Van Ackere yang diterjemahkan J. A. Dungga, dalam buku Musik Abadi:

“Kentara pada kita bahwa dalam seni lukis, sastra dan musik, terdapat aliran-aliran yang sama. Impresionisme, Simbolisme, Debussysme, ialah suara-suara dari jaman dan roh yang satu juga. Ada semacam saling pengaruh antara seniman-seniman. Mereka saling melihat melalui pagar tembok mereka dan saling memetik bunga dalam kebun mereka. Penyair main musik, musikus melukis, pelukis membikin sajak, dan membikin orkestra dengan warna-warna. Seniman-seniman muda dari aliran baru sering bertemu dalam sebuah rumah Stéphane Mallarmé di jalan Roma, Paris. Debussy memainkan preludenya yang paling baru, Whistler memperlihatkan lukisannya yang terakhir, dan Mallarmé membacakan sajaknya yang baru saja dibuatnya.”

Ackere, seakan menyaksikan orkestra atau pesta cahaya dari keindahan bertemunya para seniman itu pada suatu panggung penciptaan yang mampu membius, membuat bulu-bulu para penyimaknya merinding, di mana “saling melihat melalui pagar tembok mereka, dan saling memetik bunga dalam kebun mereka.” Sungguh suatu lukisan agung sebuah pergaulan, musik paling mulia yang tercipta, dan sajak mengharukan jiwa, atas berjumpanya bathin berbeda dalam satuan ruh daya cipta.

Kita tengok pergaulan tiga penyair jaman romantik Inggris yang bersahabat; Byron, Keats dan Shelley, ketiganya sama-sama mati muda, mereka dapat menunjukkan kemampuan masing-masing, mencuatkan jati diri perasaan gemilang dengan pamor berbeda.

Maka sepantasnya para penyair menguliti jiwanya, dari pelepasan kegelandangan pun dalam pertemanan, ialah yang diperjuangkan, digenggam kuat tidak terhanyut, tapi menciptakan sungai-sungai yang menyenangkan dari jiwa-jiwa mereka.

Pada penyair gelisah di atas, sebab dirinya penyair, membuktikan tepat ucapannya, mencipta cerpen dengan wujud lain dari pantulan alam kepenyairannya selama ini, lalu memasuki lorong dunia puisi yang merangsang jiwanya dalam bentuk beda.

Sedang pengekornya tetap semula, malah tampak kemerosotan jiwa, itulah ganjaran atau pantas, sebab jiwa seniman sejati adalah sosok pencari yang tidak puas diri sendiri, keadaan yang melingkupi, pula sejarah menaungi jamannya.

Jika balik membahas kemunculan sajak beraliran dekoratif, kurasa sah mereka, toh itu imbas menanggalkan nilai-nilai adi luhung, yang dihidupi para pencetus kemurnian pandangan, atau faham-faham.

Penyair beraliran dekoratif, hanya menghadapkan dirinya pada suatu keadaan di depan, yakni penyajian sebaik mungkin, meski lemah sisi jiwa penggalian ruh masanya, semacam mengikuti arus perubahan, tidak mencipta sungai bergolak dari kehakikian suara masa sebagai bahan pelajaran, demi terciptanya karya mempuni mewakili jaman.

SIMBOL WAKTU SEBAGAI REPRESENTASI IDEOLOGI

Maman S. Mahayana
http://mahayana-mahadewa.com/

Fantasi-fantasi yang bertebaran pada masa kanak-kanak, konon, secara tidak sadar akan muncul kembali pada masa dewasa dalam bentuk yang lain. Jika pada masa kanak-kanak kita dihinggapi ketakutan akan hantu, bayangan nenek sihir, manusia bertaring yang akan menculik anak-anak nakal yang suka menangis, makhluk raksasa pemangsa manusia, atau sesosok makhluk yang dicitrakan begitu menakutkan, misalnya, pada masa dewasa ia akan berubah wujud menjadi ketakutan terhadap sesuatu yang dibayangkan dapat menghancurkan dirinya, karier, kehidupan rumah tangga atau ketakutan lain yang muncul begitu saja tanpa dapat dipahami sebab-musababnya.

Demikian juga sebaliknya. Serangkaian fantasi tentang harapan dan keinginan pada sesuatu yang tak dapat diwujudkan pada masa kanak-kanak, prinsip kenikmatan yang direpresi, tanpa sadar akan muncul kembali dalam bentuk lain yang sebenarnya merupakan representasi dari keinginan dan harapan pada masa anak-anak itu. Pernyataan seloroh: “masa kecil tidak bahagia” yang ditujukan pada orang tua atau seorang dewasa yang senang permainan anak-anak, sesungguhnya ada benarnya juga. Problem itu mempunyai akar psikologis yang jejaknya dapat ditelusuri pada masa kanak-kanak, pada masa pradewasa. Begitulah salah satu pandangan psikoanalisis yang bersumber pada gagasan Sigmund Freud.

“Keinginan-keinginan yang direpresi namun tidak bisa hilang pada masa kanak-kanak saja, sudah cukup memberikan kekuatan dalam membentuk gejala-gejalanya dan tanpanya reaksi terhadap trauma-trauma selanjutnya kemungkinan besar akan memiliki bentuk yang berbeda.” Begitulah, Freud berkeyakinan bahwa apa yang dilakukan pada masa dewasa sesungguhnya selalu ada perkaitannya dengan masa tertentu yang disebutnya sebagai fase kanak-kanak.

Pengantar antologi cerpen karya Jamal T. Suryanata ini tidaklah bermaksud hendak mengangkat pemikiran Sigmund Freud. Tetapi, jika kita mencermati ke-15 cerpen yang terhimpun dalam antologi ini, kita menjumpai adanya sejumlah cerpen yang berkecenderungan kuat mengangkat problem psikologis tokoh-tokohnya dalam lingkaran konflik masa lalu dan masa kini. Setidak-tidaknya, sebagian besar cerpen dalam antologi ini memperlihatkan kekuatannya tidak hanya pada konflik antartokohnya –yang memunculkan problem psikologis—, melainkan juga problem kultural yang coba diselusupkan Jamal T. Suryanata. Maka kita juga dapat menangkap pesan ideologis yang berkaitan dengan sikapnya terhadap kultur.

Dalam hal itulah, salah satu pandangan Freud tentang masa kanak-kanak ada cantelannya pada psikologi manusia. Lebih khusus lagi ada perkaitannya dengan proses kreatif pengarang: “…dalam usaha sang seniman untuk memahami atau memperoleh keindahan, ada satu peran penting yang dimainkan oleh dorongan-dorongan primitif masa kanak-kanak yang tidak boleh diabaikan.”

Sastra sebagai representasi pandangan dan kegelisahan sastrawan atas kehidupan ini, pada dasarnya tidak terlepas dari fantasi-fantasi yang muncul pada masa kanak-kanak. Dan ketika fantasi-fantasi itu diwujudkan dalam bentuk karya sastra, maka transformasi atas fantasi-fantasi itu tidak hanya telah memperoleh bentuknya yang berbeda, tetapi juga di dalamnya masuk ideologi yang hendak disampaikanya dalam bentuk metafora, simbol-simbol, bahkan juga parodi, yang maknanya bermukim di belakang teks. Tempat persemayaman makna itulah yang mesti kita masuki dan coba menjelaskannya lewat perspektif yang sesuai dengan tafsir pembaca. Teks jadinya tidak berdiri sendiri sebagai sebuah wacana yang otonom, mandiri, dan tak bersentuhan dengan dunia di luar dirinya, melainkan punya cantelan dengan konteks biografi dan masa lalu pengarang.
***

Dari lima belas cerpen yang terhimpun dalam antologi ini, sedikitnya ada sembilan cerpen yang mengangkat hubungan anak—ayah atau anak—ibu yang dapat ditafsirkan sebagai simbolisasi proses perjalanan waktu masa kini yang tidak dapat melepaskan diri dari masa lalu. Simbolisasi ini juga berkaitan dengan ideologi pengarang. Kesembilan cerpen itu adalah “Telegram”, “Mata yang Bening”, “Ujung Murung”, “Cempaka”, “Lebaran”, “Hari Semakin Sunyi”, “Bulan di Pucuk Cemara”, “Plaza Airmata” dan “Tanjung Banua”. Sisanya bercerita tentang tema dunia kriminal (“Rampok” “Dunia Bandit” dan “Peluru Terakhir”), kritik terhadap birokrat (“Si Lantih” dan “Katebelece”) dan kehidupan wong cilik lengkap dengan kegetiran dan kemiskinannya (“Bayi Semangka”).

Dalam kaitannya dengan psikoanalisis Freud, cerpen “Telegram” misalnya, menggambarkan keterusiran tokoh aku dari tanah leluhurnya lantaran konflik dengan tokoh ayah. Meskipun tokoh ayah tidak ditempatkan sebagai pesaing dalam hubungan dengan ibu, posisi tokoh aku cenderung lebih dekat pada ibu dan ayah sebagai antagonis. Kisahnya dimulai dengan datangnya telegram. Dikabarkan bahwa ibu sakit keras. Berita itu menarik si tokoh aku untuk kembali ke tanah leluhur. Dari sana, terbentanglah kisah masa lalunya.

Tampak di sini hubungan segi tiga, anak—ibu—ayah. Meskipun tidak ada penggambaran yang mengarah pada kompleks Oedipus, posisi ibu menjadi penting karena ia berada di tengah konflik ayah—anak. Masa lalu dan masa kini dihubungkan oleh jembatan yang bernama ibu. Perhatikan pencitraan ibu yang merepresentasikan kebertanggungjawaban, perlindungan, dan harapan yang menawarkan kompromi. Sebuah idealisasi yang mewartakan aspek positif. Gambaran itu berbeda dengan sosok ayah yang konservatif, hitam-putih, dan bertindak atas nama tradisi yang harus dipertahankan secara ketat. Tradisi menjadi sesuatu yang eksklusif dan kebudayaan bagi si ayah menjadi kata benda. Itulah kaum masa lalu yang selalu berlindung dalam ketiak tradisi ketika ia berhadapan dengan modernitas.

Meski pada akhirnya tokoh anak—ibu dikalahkan, penyatuan tokoh ibu—anak memperlihatkan kemenangan di dunia yang lain. Jadi, harapan tak sepenuhnya kalah. Ia bukan sebagai pecundang, melainkan sebagai kearifan dari sebuah sikap kompromi. Oleh karena itu, persemayaman harapan berada di belahan dunia lain di luar sikap yang menempatkan kebudayaan sebagai kata benda. Bukankah kebudayaan itu dinamis, bergerak terus yang menyebabkan posisinya sebagai kata kerja.

Jamal T. Suryanata seperti sengaja membiarkan tradisi tetap hidup dalam dunia dan wilayahnya sendiri. Dan di luar itu bertengger harapan dan masa depan. Maka barang siapa yang hendak meraih masa depan, pergilah meninggalkan wilayah masa lalu yang tidak bergerak itu. Jadi, duduk perkaranya bukan terletak pada persoalan kalah—menang, melainkan pada kebebasan memilih. Jadi, biarkanlah tradisi dan kebudayaan masa lalu itu hidup dalam dunianya sendiri yang kemudian menjadi ingatan kolektif, dan di luar dunia itu, bersemayam harapan dan masa depan.

Bentuk kompromi yang ditawarkan Jamal T. Suryanata itu tampak jelas pada cerpen “Mata yang Bening.” Meskipun yang diangkat pengarang problem domestik, pertengkaran rumah tangga, kehadiran Dita, sang anak, berada dalam posisi penting lantaran tokoh itulah yang mempersatukan kembali suami—istri dalam lingkaran rumah tangga. Konflik suami—istri, Rizal dan Rohana, yang menyebabkan keduanya berpisah untuk sementara, dipersatukan kembali oleh sikap kompromistik keduanya ketika mereka menyadari, di depan ada masa depan. Secara simbolik masa depan itu digambarkan melalui mata bening Dita, anak mereka.

Begitulah, mempertahankan kehidupan tidaklah terjadi pada masa lalu, melainkan masa kini. Dengan masa kini, manusia dapat bergerak ke masa depan. Hanya orang-orang kalah yang berusaha hidup dengan masa lalunya. Itulah yang digambarkan dalam cerpen “Ujung Murung”. Di sana dunia masa lalu dibiarkan terus hidup sebagai masa kini. Akibatnya, ia tidak punya masa depan. Tokoh ibu dan kegilaan si gadis yang gagal jadi pengantin adalah dua contoh betapa hidup dengan masa lalu telah menceburkannya dalam dunia yang tidak punya masa depan. Salah satu bagian yang menarik dari cerpen ini adalah usaha pengarang menghadirkan mitos Si Malin Kundang, Radin Pangantin, dan Si Angui.

Rupanya, mitos-mitos anak durhaka itu sekadar mengecoh dan sekaligus membalikkan posisi ibu—anak. Di sini, kecintaan yang berlebihan pada seseorang sebagai bentuk simbolik bagi manusia yang hidup berkubang masa lalu. Kegilaan si ibu dan si gadis adalah manifestasi manusia yang tidak cukup kuat menghadapi realitas masa kini. Jika seseorang tidak dapat menerima realitas masa kini, bagaimana mungkin ia dapat melangkah dan membawa hidupnya ke masa depan? Jadi, menurut konsep Freud, trauma dan neurosis yang dialami kedua tokoh itu telah membawanya pada sebuah dunia yang menafikan prinsip realitas. Tokoh ibu yang menunggu kedatangan anaknya yang sudah meninggal dalam sebuah kecelakaan dan tokoh si gadis yang gagal melaksanakan perkawinannya, terus-menerus hidup dan menghidupi dunia masa lalunya. Keduanya tak punya masa depan karena tidak mencoba menerima realitas masa kini.

Senada dengan tema cerpen “Ujung Murung”, cerpen “Plaza Airmata” bercerita tentang penantian sia-sia seorang ibu. Ia berharap, anaknya yang semata wayang itu, datang dan mengisi kembali kehidupannya. Terjadinya huru-hara yang membawa korban orang-orang tidak berdosa, sekaligus melenyapkan harapan dan masa depan si ibu. Anaknya, Tajuddin, ikut menjadi korban sia-sia akibat kerusuhan politik yang tidak dapat dipahami orang-orang kecil macam si ibu.

Tetapi si ibu, dengan kesederhanaannya, tidak dapat menerima realitas itu. Ia masih berkeyakinan, Tajuddin masih hidup. Anaknya adalah masa depannya. Maka, ketika Tajuddin tumpas dan tak jelas lagi nasibnya, tumpas pula masa depan si ibu. Meskipun cerpen ini seperti merepresentasikan sisi gelap dari carut-marut kehidupan politik di Tanah Air, gambaran itu juga laksana potret psikologis orang-orang kecil yang tidak siap menghadapi tragedi sebagai realitas masa kini. Maka, kompensasinya adalah lari dari masa kini dan berlindung pada masa lalu.

Dengan berlindung pada masa lalu, ia seolah-olah masih dapat memelihara masa depannya. Mereka yang berusaha secara ketat memelihara tradisi dan menempatkan kebudayaan sebagai kata benda, sesungguhnya menempatkan masa lalu sebagai alat perlindungan. Ia memberi legitimasi, kemapanan, dan keajekan. Maka, ketika modernisme datang membawa perubahan, mereka –para pengusung tradisi—seperti menghadapi ancaman. Ia harus mempertahankan tradisi dengan cara apa pun. Konservatisme menjadi sikap yang harus dipegang teguh. Cerpen “ujung Murung” dan “Plaza Airmata” memperlihatkan bahwa fantasi masa kanak-kanak –menurut konsep Freud—tak mengalami transformasi, tetapi terus bergentayangan, berkembang biak membangun dunianya sendiri sebagai fantasi masa kanak-kanak yang tidak dapat menerima prinsip realitas masa kini.

Di luar persoalan itu, sebagai potret sosial, Jamal T. Suryanata seperti hendak mewartakan, bahwa kehidupan politik sering kali tidak pilih bulu. Ia dapat menggusur siapa saja, termasuk orang-orang yang tidak berdosa. Bukankah peristiwa tragis yang sejenis itu bertaburan dalam kehidupan bermasyarakat di negeri ini?

Cerpen “Lebaran” “Cempaka”, “Hari Semakin Sunyi”, “Bulan di Pucuk Cemara” dan “Tanjung Banua” pada dasarnya juga mengusung hubungan ayah—anak. Tentu saja masing-masingnya mengangkat problem yang berbeda satu dengan lainnya. Cerpen “Lebaran” misalnya, menggambarkan kerinduan tokoh ayah untuk sekadar berkumpul dengan anak-cucunya. Tetapi lantaran rindu yang tak tertahankan sebagai manifestasi dari hasrat besar untuk menghidupkan kembali masa lalu— si ayah justru menghembuskan nafasnya pada hari kemenangan itu. Pak Zul tak cukup siap menerima realitas masa kini. Bagaimanapun, zaman telah berubah, dan siapa pun harus dapat mengikuti perubahan itu. Jika tidak, ia akan tergilas oleh perubahan zaman atau ia lari dari masa kini dan membangun dunianya sendiri dengan berlindung pada masa lalu, sebagaimana yang digambarkan dalam cerpen “Ujung Murung” dan “Plaza Airmata”.

Cerpen “Cempaka” meski di sana ada tokoh Julak Hadam, sang dukun, yang menjadi penyebabnya, penggambaran tokoh ayah pada dasarnya tidak beranjak pada keterkungkungan masa lalu. Harapan dan masa depan yang hendak dibangun tokoh ayah melalui ramalan sang dukun menegaskan bahwa harapan dan masa depan tidak dapat bertumpu pada tradisi yang mendewakan intuisi dan cara berpikir irasional. Kematian tokoh ayah yang terkubur tanah ketika melakukan penggalian intan merupakan konsekuensi logis dari ketidakmampuannya melepaskan intuisi dan cara berpikir irasional. Sang ayah gagal karena usahanya membangun masa depan tidak didasari oleh keyakinan dan perhitungan rasional. Oleh karena itu, substansinya sama seperti tokoh Pak Zul (“Lebaran”), wanita tua dan si gadis (“Ujung Murung”) dan tokoh ibu (“Plaza Airmata”) yang tidak dapat menerima prinsip realitas. Maka, ketika harapan dan masa depan diperlakukan sebagai masa lalu, ia akan tergelincir jatuh: menolak masa kini dan hidup dengan dunia masa lalunya atau tergusur oleh perubahan zaman yang terus bergerak.

Nasib yang sama juga dialami tokoh Leha dalam “Bulan di Pucuk Cemara”. Ia tidak dapat menerima kenyataan, bahwa Syam, kekasihnya, tewas dalam aksi demonstrasi. Bahwa kini, Ardi, anaknya hasil hubungan gelap dengan Syam, menjadi bagian dari kehidupannya, tidaklah berarti kekasihnya itu akan hidup lagi. Kembali, Leha, seperti juga tokoh-tokoh lain dalam sejumlah cerpen yang telah disinggung tadi, terjerat oleh bayangan masa lalunya. Ia tidak mau menerima kenyataan kini, meski kenyataan itu, terlalu getir. Demikianlah, ketika seseorang hanya berkutat dengan masa lalu, ketika itu pula ia mulai membangun dunia fantasi dan harapannya, berdasarkan masa lalu yang dihadirkannya sebagai masa kini.

Keadaan itu berbeda dengan tokoh aku dalam cerpen “Tanjung Banua”. Ketika ia menyadari bahwa realitas yang dihadapinya kini, tanpa sang ayah yang tewas dalam kecelakaan di penambangan, tokoh aku tidak mau kembali ke masa lalu. Realitas yang dihadapinya kini, betapapun pahitnya lantaran ia terpaksa harus menjadi pelacur, adalah titik berangkat untuk menuju harapan dan masa depan. Maka, yang dialami tokoh aku adalah langkah menuju ke depan, dan bukan mundur ke belakang, lalu berlindung atas nama masa lalu yang baginya sekadar pemicu dan bukan alat legitimasi. Ia menyadari kekeliruannya sebagai pelacur, tetapi ia juga harus realistik. Hidup tak dapat diselesaikan dengan bermuram durja dan mendewakan masa lalu. Ketika ia sampai pada cita-citanya menjadi dokter, seketika itu pula profesinya sebagai pelacur, ia tinggalkan.

Oh, Papa, lihatlah sekarang. Lihat sekarang, Pa. Sebentar lagi aku akan menjadi seorang dokter. Seperti Bu Dokter Linda. Seperti harapanmu. Dan sebentar lagi, Pa, dunia hitam dan glamour ini pasti akan segera kutinggalkan pula. Kukubur untuk selamanya. Pasti. Tapi, janganlah kisah luka ini sampai ke telinga mama yang suci itu. Jangan sampai. Demi aku. Juga demi mimpi adik-adikku!

Dari kesembilan cerpen Jamal T. Suryanata itu, tampak bahwa di balik simbolisasi waktu, ada problem psikologis yang hendak diselimuti. Konflik anak—ayah, anak—ibu, atau suami—istri, sangat mungkin merupakan representasi ideologi pengarangnya ketika ia melihat tradisi dan kultur puaknya berhadapan dengan perkembangan zaman. Pilihan yang dilakukan Jamal adalah kompromi dan bukan ketegasan menolak atau mengingkari. Dengan demikian, simbolisasi ayah—ibu sebagai masa lalu dan anak sebagai masa kini dan masa depan sangat mungkin merupakan pandangan ideologis pengarangnya dalam menghadapi situasi sosial zamannya. Bukankah karya sastra merupakan refleksi evaluatif pengarang atas kehidupan sosial—budaya yang terjadi di sekelilingnya.
***

Cerpen-cerpen lainnya, seperti “Rampok” “Dunia Bandit” dan “Peluru Terakhir” yang berkisah tentang dunia kriminal; “Si Lantih” dan “Katebelece” yang merupakan kritik atas perilaku birokrat; dan “Bayi Semangka” yang menggambarkan kelahiran bayi yang bentuknya mirip buah semangka, menegaskan keberagaman tema.

Satu hal yang patut dicatat dalam keseluruhan cerpen dalam antologi ini adalah kecenderungan Jamal untuk memanfaatkan bentuk kilas balik. Mengingat latar waktu masa lalu, masa kini, dan harapan masa depan berjalin kelindan dengan narasi yang disampaikan pencerita, maka di satu sisi, ada potensi untuk mengembangkan kisahannya melalui model arus kesadaran (stream of consiousness), sebagaimana tampak pada cerpen “Telegram,” “Ujung Murung” dan “Rampok” dan di sisi yang lain, ketika pengarang menggunakan bentuk pencerita akuan, ia lepas kontrol dan bertindak sebagai pencerita mahatahu. Periksa misalnya, cerpen “Cempaka” dan “Tanjung Banua”. Dalam kedua cerpen itu, narasi tokoh aku seperti seorang wartawan yang terus mengikuti apa yang dilakukan tokoh ayah.
***

Akhirnya harus saya akui, bahwa di balik tema-tema yang terkesan sederhana itu, tersimpan kekayaan makna yang cukup berlimpah. Dan kekayaan itu hanya mungkin dapat didedahkan, jika kita menghubungkaitkannya dengan persoalan di luar teks. Ia mesti ditempatkan dalam konteks sosial-budaya masyarakat yang melahirkannya. Di situlah, teks tidak hanya bermakna tekstual, tetapi juga kontekstual. Bukankah sastra tidak jatuh begitu saja dari langit. Di sana bersemayam problem psikologis, sikap dan pandangan kultural, dan sekaligus juga ideologi yang mendasarinya. Dan Jamal T. Suryanata secara piawai berhasil menyelimuti kekayaan maknanya secara rapi lewat kekuatan narasinya yang mempesona. Saya bahagia menikmati cerpen-cerpen dalam antologi ini.

Bojonggede, 19 Februari 2006

Agam Wispi (1930-2003)

Goenawan Mohamad
http://majalah.tempointeraktif.com/

Di sebuah rumah jompo di Amsterdam yang dingin, tahun 2003 dibuka dengan seorang penyair yang meninggal. Ajal datang hanya beberapa menit setelah 31 Desember. Itu hari ulang tahunnya. Saya bayangkan ia, persis pada usia 72 itu, sendiri, mungkin dalam kamar yang padam lampu, ketika cuaca di luar di bawah nol.

Hampir 40 tahun lamanya ia juga praktis diletakkan dalam gelap dan dalam sunyi. Indonesia seakan-akan melupakannya, Agam Wispi, satu dari khazanah nasional yang berharga: bukan saja puisinya yang cerah dan menggugah, tapi juga hidupnya sebagai satu saksi sejarah Republik? sebuah sejarah yang tak putus-putusnya digerakkan oleh cita-cita dan dihantam kekerasan.

Ia telah mengalaminya bahkan sejak awal. Di rumah masa kecilnya pernah menginap Tan Malaka, dalam salah satu perjalanan rahasia. Ketika itu, demikianlah ia pernah bercerita kepada saya, dari Aceh orang tua Wispi pindah sebentar ke Singapura, satu migrasi yang biasa di masa kolonial tahun 1930-an itu. Si ayah seorang komunis yang tak dikenal, dan kedatangan tokoh bawah-tanah itu bukan hal yang ganjil. Bahkan ke rumahnya pula pernah singgah Muso, kurang-lebih sembilan tahun sebelum memimpin PKI dalam “Peristiwa Madiun” 1948 yang berakhir dengan pertumpahan darah dan rentetan eksekusi itu.

Wispi sendiri kemudian juga jadi anggota Partai. Tapi pada awal, dan pada akhirnya, ia seorang penyair; ia redaktur kebudayaan di Harian Kerakyatan dan Pendorong di Medan dari tahun 1952 sampai 1957. Tulisannya dapat perhatian Nyoto, pemimpin partai yang juga penulis yang cemerlang itu, yang hampir selamanya jadi pelindung para seniman yang resah dan meresahkan dalam rumah besar PKI. Di tahun 1957 Agam diminta pindah ke Jakarta untuk jadi redaktur kebudayaan Harian Rakjat, koran resmi Partai.

Tapi tak selamanya mudah, di mana pun juga, untuk hidup dengan puisi dan sekaligus dengan “politik keyakinan”. Puisi adalah kata, bunyi, nyanyi, dan imajinasi, yang ternyata tak selamanya disusun dari satu subyek yang jernih, utuh, dan sadar. “Pena-lah yang bermimpi,” kata Gaston Bachelard. Keyakinan adalah hal lain lagi.

Tapi tak berarti bahwa seorang penyair dapat dengan mudah menyerahkan pena dan mimpi itu kepada iman dan ideologi. “Politik keyakinan”?yang ingin mengubah bumi berdasarkan sebuah tafsir yang diyakini tentang hidup dan mati?sering meletakkan penyair di dalam peran yang berlebihan. Keyakinan, kita tahu, menuntut sikap sadar yang teguh dan terkendali. “Sastrawan adalah insinyur jiwa manusia,” kata Stalin. Kalimat itu terkenal, tapi juga terbukti salah, karena menulis puisi tak sama dengan merancang-bangun. Menulis puisi adalah ibarat memasuki alam serat, (dalam leksikon Jawa, puisi adalah serat), seakan-akan menempuh serabut dengan jalinan yang pilin-memilin, berbeda-beda dan majemuk lekuknya, tak lurus lempang. Dengan itu, bagaimana ia akan dapat mengawali hari “kejadian kedua”, untuk mengikuti kiasan Ilya Ehrenburg, setelah Tuhan membangun hari kejadian pertama?

Tapi ia tak bisa bilang “tidak”. Seorang penyair toh tahu bahwa dunia memang sudah saatnya “berganti rupa”, sebagaimana dimaklumkan lagu Internasionale. Bahkan dengan serat yang kusut, penyair tetap terdorong untuk memberi bentuk, atau Gestalt, kepada sengkarut dan sengketa dalam hidup?sebagai sebuah pemberontakan atas keadaan tempat ia dilemparkan. Pada suatu hari Agam Wispi menyaksikan keadaan itu di awal tahun 1960-an, ketika di Tanjung Morawa tanah garapan para petani miskin digusur dengan traktor dan bedil, dan dari kantor Barisan Tani Indonesia rakyat memprotes, dan seorang petani mati ditembak:

dia jatuh
rubuh
satu peluru
dalam kepala

ingatannya melayang
didakap siksa
tapi siksa cuma
dapat bangkainya

Ketika sajak itu terbit dalam antologi Matinja Seorang Petani (1961) ia dilarang oleh penguasa militer yang waktu itu ditegakkan bersama dengan “Demokrasi Terpimpin”. Tapi dalam memberangus puisi, seperti halnya dalam membunuh petani, kekuasaan selamanya “cuma dapat bangkainya”. Puisi dan pemberontakan adalah juga “roh”, tak pernah hanya bangkai.

Tentang kenyataan itu, kekuasaan memang acap tak sabar. Juga kekuasaan yang hendak mengubah dunia. Kekuasaan menginginkan sesuatu yang efektif. Ketika ia bertaut dengan keyakinan, ia butuh sesuatu yang mantap: puisi (yang bukan “bangkai”) tak dikehendaki melesat ke mana-mana seperti roh yang sesat. Juga pemberontakan tak boleh hanya jadi ledakan yang tak sistematik. Tentang itulah Lenin berbicara akan perlunya “teori revolusi” dan Mao menganjurkan “konsolidasi ideologis”. Segalanya harus dibariskan. Maka puisi pun jadi slogan, pemberontakan jadi program.

Agam Wispi, penyair kita, gelisah dengan pilihan yang sulit itu. Sebagai redaktur kebudayaan Harian Rakjat ia menolak puisi buruk yang sarat semboyan revolusi yang dikirim kepadanya untuk dimuat, meskipun kadang-kadang penyairnya dapat stempel dukungan dari pengurus PKI di daerah. Wispi termasuk yang tak henti-hentinya menghendaki “tinggi mutu ideologi” dan sekaligus “tinggi mutu bentuk”. Saya kira ia sering kecewa.

Saat itu memang belum ditelaah bahwa mungkin bukan soal bentuk “buruk” yang sebenarnya terjadi dalam puisi Lekra (sebagaimana juga dalam puisi perjuangan lain), melainkan keajekan. Wispi pernah menyebutnya sebagai laku “memamah-biak”. Tapi pengulang-ulangan memang tak bisa dielakkan. Sebab, apa boleh buat, “politik keyakinan” menghendaki keajekan yang konsisten, bukan kesegaran yang tak diduga-duga. Keajekan itu, ketika perjuangan kian sengit, menjadikan puisi mandek, mengeras, dan teori pun jadi doktrin dan Partai mirip takhta suci yang teguh tak bisa bersalah. Marx akan menyebutnya sebagai Verdinglichung yang menafikan kebebasan dan kesegaran.

Jika dalam diri Agam, dorongan “kesegaran” itu sulit dielakkannya, sebab ia memang penyair. Pada akhirnya ia memang memilih puisi sebagai satu-satunya rumah, juga pendamping akrab dalam menjelajah dan membebaskan:

puisi, hanya kaulah lagi tempatku pulang
puisi, hanya kaulah lagi pacarku terbang

Ada yang sunyi, tapi juga heroik, dalam pilihan seperti itu: pada akhirnya puisi dan politik justru bersenyawa ketika mobilisasi “politik keyakinan” tak ada lagi. Ia bergerak hanya dari hasrat pembebasan. Ketika Partai tak hadir, apalagi sebagai takhta suci, politik pun berjalan sendiri bersama puisi, merasuk ke dalam puisi, mengalami transformasi bersama puisi.

Jalan cukup panjang ke arah itu bagi Agam. Tragedi besar tahun 1965 membuat Partai hancur, tapi sesuatu yang lebih dalam sebenarnya berlangsung pada Wispi. Ketika peristiwa 30 September 1965 terjadi, ia tak berada di Indonesia. Sejak Mei 1965, Agam berada di Vietnam selama beberapa bulan. Di Hanoi ia sempat bertemu dengan Ho Chi-Minh. Kepada pemimpin Vietnam itu Wispi, selaku wartawan Harian Rakjat, minta izin untuk meliput kegiatan gerilya Front Nasional Pembebasan Vietnam Selatan. Ho memberinya jalan: Agam harus ke Kamboja lebih dulu, dan untuk dapat masuk Kamboja, ia harus ke Beijing, untuk dapat perkenan dari wakil pemerintahan Sihanouk.

Di Beijing dilihatnya ratusan orang Indonesia yang diundang untuk ikut dalam perayaan Revolusi Oktober. Tak disangka-sangka pada pagi 1 Oktober mereka diberi tahu bahwa sesuatu yang dramatik terjadi di Jakarta di malam sebelumnya.

Suasana politik di Indonesia pun berubah sama sekali. PKI, yang sebelumnya praktis menguasai arena politik, sejak hari itu terpojok. Pemerintah RRC memutuskan agar orang Lekra dan PKI tak kembali ke Indonesia. Mereka, sekitar 250 orang, ditempatkan di Nanking, di sebuah asrama bekas barak Tentara Nasionalis.

Mereka tak menyangka akan harus tinggal di sana begitu lama?dan bahkan tak bisa pulang seterusnya. Agam bercerita bagaimana selama itu harap sering bercampur ilusi, dan informasi yang terbatas menyebabkan arah yang rancu. Di masa itu pula Cina dilanda “Revolusi Kebudayaan”?sebuah kekacauan besar tersendiri, juga dalam pemikiran Marxisme-Leninisme. Sebab “Revolusi” yang dilancarkan Mao dengan jutaan Pengawal Merah itu adalah pemberontakan komunis melawan Partai Komunis, sesuatu yang tak terbayangkan sebelumnya oleh kaum Marxis-Leninis yang mana pun. Partai Komunis Cina praktis diganti dengan Mao yang dikultuskan, “teori” revolusi digantikan dengan Buku Merah Kecil, Marxisme-Leninisme diambil-alih oleh mantra Maois yang dihafal.

Agam Wispi menyaksikan semua itu dengan frustrasi dan, saya duga, dengan kepahitan. Selama lima tahun di asrama di Nanking itu ia melihat mencongnya perilaku dari ajaran. Terkungkung bersama di satu tempat, perangai masing-masing anggota komunitas Indonesia itu pun kian transparan. Orang Partai yang selama ini diharapkan jadi “komunis yang baik” tampak cacatnya sebagai manusia biasa. Pertengkaran terjadi. Solidaritas ternyata tak cukup. Di mana yang ideal itu, sebenarnya?

Bahkan agaknya bagi Agam, yang ideal tak terdapat di luar kamp. Dalam suasana Cina yang gemuruh itu terkadang orang-orang Indonesia itu dibawa bekerja di dusun. Banyak yang bersemangat, juga ketika mengumpulkan tahi manusia dengan tangan telanjang untuk dijadikan pupuk. Tapi Agam, sebagaimana dikatakannya kepada saya, kian skeptis. Ia kian membangkang. Ia mulai berusaha untuk pergi dari sana. Ia membayangkan indahnya Danau Baikal yang jauh.

Dengan sedikit muslihat akhirnya, di tahun 1973, ia dapat izin untuk pergi. Ia berangkat ke Moskow dengan kereta api. Tak banyak yang diceritakannya tentang hidupnya di Uni Soviet, mungkin karena ia sebenarnya ingin ke Jerman Timur, yang di tahun 1959 dikunjunginya selama setahun, masa ketika ia menuliskan kuatren-kuatrennya yang memukau, Sahabat. Akhirnya ia ke Lepizig juga. Sampai 1978 ia tinggal di sana, belajar kesusastraan Jerman, bekerja di sebuah perpustakaan, dan mulai menerjemahkan Faust, yang diterbitkan oleh Kalam, Jakarta, di tahun 1999.

Saya tak ingat benar apa yang dikisahkannya tentang hidupnya di Lepizig. Yang saya ingat ia, dengan bahasa Jermannya yang fasih, mulai menggemari media TV dan surat kabar di Berlin Barat. Ia kagum akan perdebatan intelektual yang dilangsungkan di layar dan di pagina pagi. Ia juga terkejut karena baru pertama kalinya ia menemukan apa yang dulu selama di Indonesia tak diketahuinya: misalnya tentang yang terjadi dalam kesusastraan Soviet di bawah doktrin “realisme sosialis” Zhdanov?yang di Indonesia pernah dikutip Pramoedya Ananta Toer?sebuah doktrin yang ternyata membungkam ratusan sajak dan, dengan titah Stalin, mengirim penyair Osip Mandelstam ke pembuangan di Siberia sampai mati. Dari sini pula terasa getirnya kepada “orang politik”, sebagaimana kita temukan dalam sajaknya untuk novelis Asahan Aidit:

tak ada tokoh politik berani minta maaf
kepada mendelstam
karena serangkum sajaknya mati disiksa
di siberia buangan

Ada teman lamanya di Indonesia yang kecewa bahwa Agam pernah menyebut komunisme sebagai “satu eksperimen yang gagal”. Ia memang sering menunjukkan sikap nakal dan mencemooh, dan mungkin ia, yang bertahun-tahun jauh dari Indonesia, tak cukup peka merasakan betapa sakitnya orang-orang komunis yang dianiaya dan dihina di sini. Dihancur-hitamkan oleh “kaum kanan” sudah merupakan hal yang pedih, dan kini mereka dianggap sebagai pendukung “eksperimen yang gagal” oleh kawan sendiri.?

Tapi saya kira Agam Wispi tak pernah berhenti berpikir tentang teman-teman lamanya dengan rasa rindu. “Ketemu sahabat lama mahabagia daripada di surga mana pun!” kata selarik sajaknya. Dan jika ia mengatakan komunisme sebuah “eksperimen yang gagal”, saya kira ia tak hendak menyebut komunisme sebuah kejahatan. Bagaimanapun, apa yang diperjuangkan Marx dan diteruskan Lenin dan beribu-ribu pengikutnya dalam sejarah abad ke-20 adalah sebuah pergulatan yang sengit dan harapan yang luhur untuk keadilan. PKI mati, komunisme gagal, tapi pergulatan dan harapan macam itu mustahil musnah. Apa yang dituliskan Agam di tahun 1960-an bahkan masih bisa bergema di hari ini, meskipun kata “jenderal” di bawah ini kini bisa juga diganti dengan “pejabat” atau “politikus”:

jenderal
telah kupasang bintang-bintang di dada kalian
dari rejam tuan tanah dan lintah
kutuntut bintangmu: mana tanah!

Tanah dan kemerdekaan bertaut, menjadi suatu kebutuhan asasi. Merupakan satu tanda sejarah yang sedih?sejarah yang digerakkan oleh cita-cita dan dihantam kekerasan?bahwa kebutuhan itu kini berkait bukan hanya dengan si miskin, tapi juga dengan para eksil. Sebab mereka ini, hidup “klayaban” bertahun-tahun di luar negeri, seraya tak putus-putusnya, seperti kita, mencintai Indonesia, sebenarnya mirip buruh tani dalam sajak S. Anantaguna: orang-orang “yang bertanahair, tapi tak bertanah”, orang-orang yang rindukan sebuah negeri, tapi di sana tak diberi tempat bersama lagi.

Agam Wispi adalah salah satu di antaranya, dengan akhir hayat yang pernah dituliskannya dengan sayu:

?suatu hari: kau mati
dalam sunyi
tentu! sendirian: sendiri

Jakarta, 4 Januari 2003

Evi Idawati Luncurkan Novel Teratak

Ami Herman
http://www.suarakarya-online.com/

Evi Idawati pernah populer sebagai seorang artis layar kaca. Kedalaman pemahamannya tentang peran, bisa dilihat dalam aktingnya di sinetron dan film televisi Balada Dangdut, Dongeng Dangdut, Ketulusan Kartika, Wanita Kedua, Satu Kakak Tujuh Keponakan dan lain-lain.

Evi juga aktif main drama kolosal. Trilogi Oidipus, Cabik, Titik Titik Hitam, Sumur Tanpa Dasar dan Kapai Kapai adalah beberapa diantara sejumlah drama yang pernah dimainkannya di seputar Yogyakarta dan beberapa kota lainnya di tanah air.

Tetapi itu beberapa tahun yang silam. Kini alumni Institut Seni Indonesia Yogyakarta kelahiran tahun 1973 ini lebih banyak menghabiskan waktunya dengan menulis.

Dengan menikmati dunia penulisan kreatif, Evi merasa lega karena berhasil menumpahkan ide-idenya kedalam beragam karya tulis seperti puisi, cerita pendek, novel,skenario film dan sinetron. Ia juga menulis esai.

Satu persatu karya tulis Evi kemudian mengalir ke redaksi koran-koran dan majalah di Jakarta dan daerah. Halaman sastra dan budaya harian umum Suara Karya termasuk diantara sejumlah media nasional yang kerap memuat karya-karyanya.

Baru-baru ini, Evi meluncurkan novel terbarunya bertajuk Teratak. Novel 207 halaman itu diterbitkan oleh Puri Sewon Asri, Yogyakarta, sebuah penerbitan yang belakangan banyak merilis buku-buku sastra.

“Teratak mengisahkan tentang semangat berjuang seorang ibu yang hidup penuh dengan penderitaan,” ujar Evi.

Novel itu ditulis dalam bahasa gaul yang mudah dipahami warga pedalaman Jawa, khususnya Jawa Tengah dan Yogyakarta. Terdapat banyak dialek-dialek khas bahasa gaul wong Jogja di buku itu.

“Saya menghabiskan banyak waktu untuk menyelesaikan novel tersebut. Bahkan, selama menulis novel itu, banyak order Cerita Pendek dari sejumlah redaktur budaya nggak sempat tertangani,” ujar Evi yang untuk menulis Teratak ia sempat melakukan survei langsung ke beberapa lokasi yang ditulisnya.

“Mesti begitu agar ada kedalaman, ada hal-hal baru yang perlu dikabarkan kepada pembaca,” cerita Evi kemudian.

Teratak adalah buku kesekian instruktur drama ini. Beberapa waktu sebelumnya Ia juga merilis Mahar, buku kumpulan cerita pendeknya yang pernah dipublikasikan di sejumlah media nasional. Buku kumpulan cerpen Evi lainnya Dokumen Jibril (diterbitkan Republika) kemudian Malam Perkawinan (diterbitkan Grasindo) dan Perempuan Kedua (diterbitkan Pilar Media).

Jauh sebelum itu, ia juga meluncurkan beberapa antologi puisi seperti Pengantin Sepi, Puisi Tak Pernah Pergi (diterbitkan Kompas), Malioboro (diterbitkan Bulan Bahasa) dan banyak lainnya.

Anda ingin memiliki buku novel Teratak? Sejak beberapa watu yang silam buku tersebut sudah diedarkan di banyak toko buku, termasuk toko-toko buku Gramedia.

“Tetapi jangan buru-buru mengeluh jika tak lagi mendapatkan novel itu di Gramedia Blok-M, Jakarta Selatan. Soalnya sejak dalam proses pembuatannya, pesanan dari sejumlah kalangan terhadap novel itu deras sekali. Jadi,kalau nggak dapet di Gramedia cari di toko buku yang lain,” lanjutnya.

Lalu, apa yang dipetik Evi dari ketekunannya menggeluti dunia penulisan kreatif?

Ditanya demikian, enteng saja Evi menjelaskan bahwa dunia penulisan akan menjadi dunia yang paling menyenengkannya karena selalu memberikan kepuasan batin.

Penyair Rendra

Jakob Sumardjo*
http://newspaper.pikiran-rakyat.com/

UNTUK masa-masa mendatang, Rendra akan lebih banyak dibicarakan sebagai penyair. Karya-karyanya di bidang ini lebih monumental dibandingkan dengan karya-karya drama dan fiksinya (cerpen-cerpen). Sekurang-kurangnya, ia telah menerbitkan sepuluh kumpulan puisi dalam bentuk buku. Memang sejak 1970-an dia dikenal pula sebagai orang teater. Akan tetapi, karier awalnya sebagai penyair sudah dimulai sejak 1950-an.

Saya mulai membaca sajak-sajaknya dalam majalah sastra Kisah yang terbit tahun 1953. Kumpulan sajaknya yang pertama adalah Ballada Orang-orang Tercinta yang terbit pada 1957 dan langsung dihargai hadiah Sastra Nasional dari Badan Musyawarah Kebudayaan Nasional (BMKN). Sejak itu, mengalir sajak-sajaknya yang lebih personal sehingga karya-karyanya menjadi saksi zamannya.

Pendidikan Rendra adalah sastra Barat meskipun dia tidak menamatkannya. Ini gejala umum di tanah air bahwa mereka yang kritis dan kreatif sejak masa mahasiswa, jarang yang berhasil mendapatkan gelar kesarjanaannya. Akhirnya, Rendra dihormati dengan pemberian gelar doktor oleh almamaternya. Seniman pada dasarnya seorang penjelajah alam pikiran yang terus-menerus menggali realitas untuk menemukan pola-pola kehidupan budaya zamannya. Karya-karyanya selalu merupakan temuan tesis makna kehidupan bangsanya.

Rendra jelas seorang intelektual yang banyak membaca literatur dunia. Namun, ia selalu bersih dari pengetahuan buku-buku dan berusaha menemukan keautentikan dirinya dalam membaca gejala-gejala zaman. Saya ingat komentarnya ketika pementasan Bip Bop ramai dibicarakan kaum cendekia Indonesia, yakni ketika seorang pengamat tanpa malu-malu menggunakan pendapat Martin Esselin sebagai pendapat pribadinya. “Kalau saya sudah terkencing-kencing di celana,” kata Rendra, yang menunjukkan bahwa dia menguasai medan wacana dunia.

Seperti angkatannya era 1950-an, Rendra bertolak dari pengalaman nyata lokalitasnya. Ia menulis karena dia mengalami, melihat, dan membaca lingkungan hidupnya yang nyata, dan menemukan makna hubungan-hubungan dari struktur realitas. Dia melahirkan semacam “teori” dari realitasnya, dan bukan bermodel teori yang dikunyah dari bacaan-bacaan mondialnya.

Pada awalnya, Rendra memang bersyair agak berdasarkan buku, yakni dalam sajak-sajak baladanya. Bahkan, Subagio Sastrowadoyo menunjukkan banyak kemiripan sajak-sajaknya dengan Fredico Garcia Lorca yang pada 1950-an banyak diterjemahkan oleh Ramadhan K.H. Akan tetapi, dalam Empat Kumpulan Sajak, Rendra menggali makna pengalaman pacaran dan pernikahannya dengan Sunarti. Sajak-sajak itu begitu Indonesia. Ada peniti, bunga kemuning, kampung Bintaran, dengan peristiwa pacaran dan perkawinan yang biasa kita saksikan dalam kehidupan sehari-hari.

Kemudian, sajak-sajak “Sepatu Tua” berisi kesaksiannya ketika berkeliling dunia sebagai perjalanan penyair, termasuk ke Rusia di zaman Perang Dingin. Dengan satu sajak saja, dia bisa bicara tentang Rusia di bawah Uni Soviet ketika itu, yakni “Gereja Ostankino, Moscow” yang “pintunya mulut sepi, rapat terkunci, derita lumat dikunyahnya”. Juga sajak-sajak sederhana dalam lingkup pergaulannya di Yogya. Semua itu bertolak dari pengalaman-pengalaman sehari-hari kita juga, namun selalu luput dari makna. Dan, Rendra tiba-tiba memperlihatkan nilai-nilai tersembunyi yang muncul dari apa yang biasa kita lihat.

Ketika dia lebih banyak aktif di ibu kota sejak 1970-an, sajak-sajaknya menjelajah pengalaman-pengalaman nasional. “Nyanyian Angsa” dan “Bersatulah Pelacur Kota Jakarta” disatukan dengan pengalaman dan pemaknaan ketika dia di Amerika Serikat. Puncak dari Rendra Menggugat Indonesia terjadi pada 1980-an, ketika sajak-sajaknya syarat dengan kritik ketimpangan kekuasaan Orde Baru. Saya kira di sinilah, dalam karya-karyanya ini, seperti Nyanyian Orang Urakan, Disebabkan oleh Angin, Orang-orang Rangkasbitung, Mencari Bapa, di samping karya-karya teaternya yang subur zaman itu. Rendra seorang sastrawan-cendekiawan yang berani menggugat ketidakadilan, kesemena-menaan, dan kepalsuan yang dilakukan rezim kekuasaan sehingga ia menjadi semacam “musuh negara”, seperti dilakukan Boris Pasternak atau Alexander Solzhenitsyn. Rendra berkali-kali berurusan dengan penguasa dan ditahan.

Penyair Rendra pada waktu itu sering dikecam oleh sesama penyair sebagai mengorbankan estetika-puitika demi masalah-masalah sosiopolitik. Dia termasuk kategori “sastra terlibat”. Akan tetapi, bukankah begitu banyak sastrawan dan penyair di dunia ini yang berkarya lantaran kepedulian mereka yang intens terhadap nasib dirinya dan nasib bangsanya yang sedang menderita tindasan-tindasan kekuasaan? Masalah-masalah psikologi-personal memang pernah juga dilakukan Rendra di masa-masa mudanya, tetapi setelah itu, masalah psikologi-personalnya lebih berkaitan dengan nasib rakyat umumnya.

Renda pernah menyatakan bahwa dirinya makhluk “di atas angin”. Memang dia di awang-awang kekosongan, dunia ide-ide yang diperasnya dari hidupnya yang lelah dan berkeringat di bumi Indonesia ini. Penyair, intelektual, mencari “pola-pola kosong” itu dari kenyataan yang dikenalnya. Dan, pola-pola inilah yang kemudian diwujudkan dalam karya-karyanya, baik sajak maupun teater. Karya-karya itu sekadar “pengisian wujud” agar muncul struktur-struktur yang mudah dikenali.

Selamat jalan, Mas Willy.***

*) Penulis, budayawan.

Sastra Sunda di Mata Seorang Batak

Wilson Nadeak*
http://cetak.kompas.com/

Ketika Shahnon Ahmad (sastrawan Malaysia) memberi ceramah di Taman Ismail Marzuki, Jakarta, sekitar tahun 1970-an dalam pertemuan sastrawan Indonesia, Rustandi Kartakusumah yang duduk di sebelah kanan saya tiba-tiba berdiri dan berkata dengan lantang, “Jika Anda ingin mengetahui sastra dunia, pelajarilah sastra Sunda!” Shahnon yang agak terkejut lantas bertanya, “Anda siapa?” “Saya Rustandi Kartakusumah.” “Oh, sama dengan nama anak saya!”.

Peserta yang lain senyum-senyum. Bicara soal anak, Rustandi pastilah tidak berkutik karena sampai tua pun ia masih “kawula muda”. Lalu Rustandi merujuk kepada buah pikirannya yang pernah dicetuskan dalam diskusi di Universitas Indonesia tahun 1950-an.

Rustandi adalah sastrawan Sunda yang terkenal dengan dramanya Merah semua, Putih semua dan sangat bertolak belakang dengan kritikus HB Jassin dalam visi dan penilaian. Rustandi yang banyak berkelana seantero dunia kembali ke tanah leluhurnya dan giat menerjemahkan karya sastra dunia sambil menulis untuk majalah Mangle. Karyanya yang berupa cerita bersambung Mercedes Benz sangat diminati publik pembaca Sunda.

Dia sangat produktif dan giat memajukan pengarang muda Sunda sebagai editor budaya di harian Mandala. Dua tokoh sastrawan Sunda yang berkiprah di dua bahasa (Indonesia dan Sunda) dari tahun 1950-an sampai era 1980-an ialah Ayip Rosidi dan Rustandi Kartakusumah. Keduanya konsisten dalam kesundaannya. Artinya, kedua-duanya giat memotivasi penulis-penulis muda, baik dalam karya Sunda maupun Indonesia. Tradisi Sunda

Secara sosiologis, selepas Perang Dunia II, yang mengusung karya-karya sastra Sunda adalah majalah dan rubrik budaya di surat kabar, khususnya yang memuat puisi. Sebagian besar pengarang Sunda pernah bersentuhan dengan dapur media itu sendiri. Mereka yang terjun di dunia jurnalistik sekaligus menjadi pengasuh ruang budaya dan juga penulis kreatif.

Majalah yang menjadi sarana bagi karya puisi umumnya, pada tahun 1950-an, adalah majalah Warga. Adapun pada tahun 1960-an puisi Sunda banyak bermunculan di majalah Sari, harian Sipatahunan, Wangsit, Sunda, Cempaka, Mangle (yang sampai sekarang masih hidup dan nyaris memasuki usia setengah abad!). Kemudian pada tahun 1970-an muncul Hanjuang, Gondewa, dan sejumlah majalah yang silih berganti: Langensari, Galura, Kalawarta, Kujang, Ciwangkara, Panghegar, dan Kiwari.

Belakangan beberapa penerbit buku Sunda muncul. Sekadar contoh, penyair Rahmat Sas Karana mendirikan penerbit Rahmat Cijulang yang khusus menerbitkan karya-karya sastra Sunda. Beberapa penerbit lain juga bermunculan, yang mencari pasar di antara 30 juta orang Sunda yang kebanyakan berdomisili di Jawa Barat. Majalah dan surat kabar memang lahan yang lebih menjanjikan karena dari segi komersial, honornya lebih cepat ketimbang dari buku, dan pemuatannya lebih cepat.

Yang menjadi masalah ialah kurangnya minat pembaca sastra. Tentang hal ini, bukan saja media Sunda yang mengalaminya. Umumnya, majalah yang bernuansa sastra selalu tidak bertiras banyak. Buku-buku sastra pun pada hakikatnya tidak banyak dicetak seperti buku-buku populer. Akan tetapi, kenyataannya selalu ada pemilik modal idealis yang memberi kesempatan untuk menampung karya sastra.

Jasa para pemilik modal seperti ini tidak dapat dihitung dengan besarnya keuntungan berupa uang, tetapi dengan lahirnya para pengarang yang memberi makanan spiritual bagi setiap generasi. Mereka ini, dengan karyanya yang bermutu, memberi kekuatan moral dan kultural untuk generasi berikut.

Sumbangan dari media yang timbul, mati, dan muncul yang lain dapat kita saksikan dengan hadirnya sejumlah nama di dunia sastra Sunda dan sastra Indonesia.

Pengarang Sunda

Karya sastra Sunda tidak asing pada zaman Balai Pustaka. Tradisi ini kemudian bertumbuh di media-media yang tersebar di pelbagai tempat di Jabar dan umumnya didominasi Bandung. Para penulis generasi Balai Pustaka disambung oleh penulis yang lahir pada tahun 1940-an. Para pengarang yang berkarya dalam bahasa Sunda dan bahasa Indonesia (bahasa Indonesia dengan publik pembaca yang lebih luas), untuk menyebut sejumlah nama saja, antara lain Sayudi yang menulis banyak sajak Sunda (bahkan dianugerahi dengan Rancage tahun 1994) juga dikenal sebagai pengarang cerita anak-anak berbahasa Indonesia.

Wahyu Wibisana (seorang pendiri dan merangkap redaktur Mangle) giat memajukan sastra Sunda, juga sebagai dosen di perguruan tinggi. Surachman RM menulis sajak-sajak Sunda pada tahun 1950-an, dan mengumumkan sajak-sajaknya yang berbahasa Indonesia di Siasat, Kisah, Horison, dan sebagainya. Yus Rusyana menulis sajak-sajak Sunda dan memperoleh hadiah Rancage tahun 2000. Apip Mustopa menulis puisi Sunda dan Indonesia.

Ayat Rohaedi menulis sajak dan cerpen, baik yang berbahasa Sunda maupun Indonesia. Rachmat Sas Karana menulis karya sastra dan menerbitkan karya sastra Sunda. Abdullah Mustappa yang pernah menjadi redaktur Mangle menulis sajak dan cerpen Sunda serta memilih cerpen yang pernah dimuat di Mangle dengan judul “Sawidak Carita Pondok” (1982).

Usep Romli dengan sajak, cerita anak, bahkan menerjemahkan puisi Palestina, Eddy D Iskandar dengan karya Sunda serius, dengan karya novel pop Indonesianya, Beni Setia dan Juniarso Ridwan yang bersajak dalam bahasa Indonesia dan Sunda, Godi Suwarna (Rancage tahun 1992), Etty RS (Rancage tahun 1995 dan 2009), Acep Zamzam Noor, Karno Kartadibrata (sampai kini redaktur Mangle), dan lainnya.

Bagaimanapun, upaya Ayip Rosidi dari waktu ke waktu pantas dihargai. Ia tidak henti-hentinya mengekalkan karya sastra Sunda dan sekaligus memperkenalkannya ke dunia luar. Atas upayanya, telah terbit buku puisi Sunda modern dalam dua bahasa dan juga tiga bahasa, yaitu Indonesia, Inggris, dan Perancis, melalui penerbit Pustaka Jaya. Sekadar apresiasi, di bawah ini dimuat sajak Sunda Yus Rusyana (terjemahan Indonesia oleh Ayip Rosidi): Sarebu Bulan

Dina hiji peuting urang jalan-jalan duaan Katilu bulan
Dina hiji peuting urang jalan-jalan duaan Sarebu bulan
Dina hiji peuting urang jalan-jalan nyorangan
Kadua bulan
Dina hiji peuting taya saurang nu jalan-jalan
Ngan kari bulan
Seribu Bulan
Pada suatu malam kita berdua berjalan-jalan
Bertiga dengan bulan
Pada suatu malam kita berdua berjalan-jalan
Seribu bulan
Pada suatu malam kita berjalan-jalan sendirian
Berdua dengan bulan
Pada suatu malam tak seorangpun yang berjalan-jalan
Hanya tinggal bulan
Ke dalam bahasa Batak
Saribu Bulan
Di sada borngin hita na dua rap mardalan-dalan
Tolu mai dohot bulan
Di sada borngin hita na dua rap mardalan-dalan
Saribu bulan
Di sada borngin sahalak-halak hita mardalan
Rap hita na dua dohot bulan
Di sada borngin sahalak pe ndang adong mardalan-dalan
Tinggal holan bulan

*) Wilson Nadeak, Budayawan

Rumah Puisi, Rumah di Telapak Dua Gunung

Ahda Imran
http://www.pikiran-rakyat.com/

SELEPAS Kota Padangpanjang, di Kanagarian Ai Angek Kabupaten Tanah Datar Sumatra Barat, terdapatlah setumpak tanah di atas ketinggian yang terletak di pertemuan telapak Gunung Singgalang dan Gunung Merapi. Di situlah letaknya Rumah Puisi. Menyendiri dikelilingi areal kebun, persawahan, dan sebuah jalan kecil menurun berbatu menuju jalan besar yang menikung. Yang disebut Rumah Puisi itu adalah sebuah bangunan yang terbilang megah dan nyaman. Nyaris seluruh bagian depan dan sampingnya berdinding kaca sehingga apa yang terdapat di dalam gedung itu, yakni ruang diskusi dan perpustakaan, dan semua kegiatannya bisa tampak dari luar.

Beberapa meter dari Rumah Puisi terdapat sebuah rumah dengan dua kamar yang nyaman. Rumah itu diperuntukkan bagi sastrawan tamu (writer residence) yang merupakan salah satu program dari Rumah Puisi. Selama satu bulan, sastrawan dipersilakan tinggal di situ untuk berkarya, seperti novelis Ahmad Tohari dan penyair D. Zawawi Imron yang telah berada sebulan di situ sebagai sastrawan tamu. Tak jauh dari rumah sastrawan juga terdapat sebuah musala yang sejuk dengan bagian dinding yang ditempeli baliho besar puisi Taufiq Ismail, “Ada Sajadah Panjang”. Sementara di dinding samping rumah sastrawan juga menempel baliho lainnya, masih dengan puisi Taufiq Ismail, “Dua Gunung Kepadaku Bicara”.

Inilah Rumah Puisi yang memang dibangun penyair Dr. (HC) Taufiq Ismail. Sebuah tempat yang bermula muncul dari niatan Taufiq Ismail yang mungkin agak terasa subjektif, yakni untuk menyimpan koleksi buku-bukunya yang berjumlah 6.000 judul agar masyarakat bisa memanfaatkannya sebagai wujud rasa tanggung jawab pada kemajuan kampung halamannya. Terutama bagi anak-anak muda di daerah-daerah di Sumatra Barat yang aksesnya pada buku tidaklah semudah mereka yang ada di kota-kora besar di Pulau Jawa.

Akan tetapi, niatan penyair yang selama sepuluh tahun (1998-2008) begitu militan mengakrabkan karya sastra pada guru dan siswa di seluruh Indonesia sejak 1998 itu, kemudian berkembang lebih dari sekadar menjadikan tempat tersebut sebagai perpustakaan, bentuk sumbangsihnya pada kampung halaman. Apalagi, sekaligus demi romantisme menghabiskan hari-hari di masa tua seperti halnya Ajip Rosidi yang membuat rumah peristirahatan dan gedung perpustakaan di Pabelan Magelang, Jawa Tengah.

“Apakah ini bentuknya seperti perpustakaan tempat buku disimpan begitu saja? Itu memang bermanfaat, tetapi boleh dikatakan peminat datang pergi, meminjam mengembalikan. Nah, ketika itu kami di majalah sastra Horison sedang melakukan kegiatan besar dalam memperkenalkan karya sastra pada guru dan siswa. Jadi tempat ini akan menjadi tempat kegiatan pelatihan guru-guru dan siswa, penggunaan akses buku di perpustakaan yang nanti akan terbentuklah apresiasi sastra,” tutur Taufiq Ismail menjelaskan dalam percakapan kami malam itu (9/1) di Rumah Puisi.

Rumah Puisi yang terbilang megah ini, termasuk untuk ukuran sebuah galeri seni rupa di Jakarta atau Bandung sekalipun, mulai dibangun 20 Februari 2008. Dan hingga Desember 2008 bisa dikatakan seluruh bagian kompleks Rumah Puisi ini telah rampung, kecuali palanta (pendopo) yang rencananya akan berada di antara musala dan rumah sastrawan. Selain menghadirkan dua sastrawan tamu, selama Desember 2008 kemarin, Rumah Puisi telah memulai programnya dengan pelatihan guru bahasa dan sastra Indonesia yang datang dari sejumlah kabupaten/kota di Sumatra Barat, juga pertemuan Sanggar Sastra Siswa Indonesia (SSSI) se-Sumatra Barat, dan silaturahmi dengan sastrawan se-Sumatra Barat.

Dari seluruh sasaran yang diandaikan, terkesan Rumah Puisi lebih berkonsentrasi pada guru-guru dan siswa. Dengan kata lain, Rumah Puisi tetaplah menjadi bagian yang tak bisa disendirikan dari militansi Taufiq Ismail, bersama sejumlah sastrawan di majalah Horison yang dikomandoinya untuk meningkatkan minat baca guru-guru dan siswa pada karya sastra.

Bentuk militansi ini, misalnya, bisa dilihat dengan angka bagaimana selama sepuluh tahun Taufiq Ismail dan tim redaktur majalah Horison telah menggulirkan sepuluh program gerakan membawa sastra ke 213 SMA di 164 kota di 31 provinsi; membawa 113 sastrawan dan 11 aktor untuk membaca karya sastra dan berdiskusi dengan siswa dan guru; melatih 2.000 guru dalam program membaca, menulis, dan apresiasi sastra (MMAS); selama 11 tahun menyalurkan karya siswa dan guru dalam sisipan Kakilangit Majalah Horison; menerbitkan 8 antologi puisi, cerpen, fragmen, novel, serta, serta esai yang dikirimkan ke 4.500 perpustakaan SMA; membentuk 30 sanggar sastra siswa di seluruh Indonesia.
**

MENATAP Rumah Puisi di antara dua telapak gunung yang menjulang megah dan panorama alam Minangkabau yang elok itu, adalah menatap sebuah kerja besar dalam manajemen pengelolaannya ke depan sehingga tempat itu kelak tidak hanya akan menyerupai “kastil” yang terasing dari perkembangan sastra Indonesia. Dari mulai manajemen program, mengelola jaringan, hingga, ini yang penting, pembiayaan operasionalnya. Tentu saja seluruhnya ini telah dipikirkan jauh-jauh oleh Taufiq Ismail.

Taufiq Ismail menjelaskan bagaimana pembangunan Rumah Puisi ini berasal dari kocek pribadinya ketika ia mendapat Hadiah Sastra dari Habibie Centre senilai 25.000 dolar Amerika Serikat (dipotong pajak Rp 200 juta), ditambah bantuan dari anaknya Bram Ismail. Ihwal sumber pendanaan operasional bagi kelangsungan program Rumah Puisi mendatang, ia lebih menekankan pada strategi bagaimana hendaknya lebih dulu Rumah Puisi bisa rampung dan mulai membuat program. Rumah Puisi dan program- program yang telah berjalan itulah yang akan menjadi bekal untuk mencari sumber pendanaan.

“Kami memilih langkah mendirikan dulu Rumah Puisi, setelah itu membuat program dan rencana. Kemudian kita ‘jual’ rencana itu,” ujarnya seraya juga membayangkan betapa banyak sandungannya ke arah itu.

Namun yang tak kalah penting bagi Rumah Puisi mendatang tampaknya adalah bagaimana tempat yang “mewah” itu dikelola oleh tim manajemen pengelolaan. Bahkan, kelak inilah tulang punggung yang akan menentukan makna kehadiran Rumah Puisi, baik bagi perkembangan sastra di Sumatra Barat maupun di Indonesia. Tak hanya merancang program dalam konteks apresiasi sastra bagi dunia pendidikan, tetapi juga program bagi perkembangan sastra itu sendiri. Itu hanya bisa dimulai dengan melakukan inventarisasi komunitas-komunitas sastra yang ada di Sumatra Barat sehingga mereka bisa merasa memiliki Rumah Puisi.

Dalam percakapan bersama penyair Gus Tf dan Iyut Fitra di Payakumbuh, keduanya menyambut baik kehadiran Rumah Puisi. Namun keduanya melihat sampai sejauh ini Rumah Puisi belum menyentuh secara keseluruhan komunitas sastra yang ada di Sumatra Barat. ” Untuk program ke depan Rumah Puisi harus melakukan inventarisasi komunitas-komunitas sastra di Sumatra Barat ketimbang membuat program sendiri. Jangan sampai sastrawan Sumatra Barat hanya jadi penonton dan tamu. Mereka harus dilibatkan dan menjadi bagian di dalamnya,” ujar Iyut Fitra.***

Garin Nugroho, Menangis di Bawah Lukisan Michelangelo

Alex Suban
http://www.suarapembaruan.com/

Tahun ini genap 25 tahun Garin Nugroho (48) menapaki karier profesionalnya. Garin “tukang” membuat film, begitu ia telanjur dikenal. Lewat tangannya, lahir film-film yang meraih penghargaan di berbagai festival film di luar negeri, termasuk untuk kategori sutradara terbaik, sebagai bentuk pengakuan atas prestasinya.

Opera Jawa (2006), contohnya, meraih penghargaan kategori Best Actress dan Best Sound Track di Nantes Film Festival (2006). Film yang diproduksi SET Film dan New Crowned Hope itu, juga meraih penghargaan kategori Best Composer di Hong Kong International Film Festival (2007). Karya film dokumenternya, Tepuk Tangan (1986), meraih penghargaan Best Education Film dalam ajang Festival Film Indonesia (FFI) 1986. Karya dokumenter yang lain, Air dan Romi dinobatkan sebagai karya dokumenter terbaik di Okomedia International Ecological Film Festival, Freiburg, Jerman, 1992.

Sepanjang kariernya, Garin menelurkan 11 karya film cerita, 11 karya film dokumenter, empat klip musik video, lima iklan komersial, 13 iklan layanan masyarakat, dan 11 buku.

Masih panjang daftar aktivitasnya. Di antaranya, menulis di media massa dan menjadi penceramah. Beberapa waktu lalu, Garin juga naik panggung. Ia, bersama pemusik Franky Sahilatua, berkeliling ke berbagai tempat, naik panggung untuk mendongeng di depan beragam publik, bercerita tentang tanah Papua, tentang tanah NTT, tentang kekayaan negeri yang terkikis tanpa menyisakan kemakmuran bagi rakyatnya, dan tentang keberagaman yang tidak juga dipandang sebagai kekayaan dan kekuatan bangsa.

Tak cukup mendongeng, Garin juga membuat karya lain. Menandai 25 tahun karier profesionalnya tahun ini, ia mempersiapkan karya yang lain dari yang lain. Garin akan mementaskan Opera Jawa di Tropenmuseum di Amsterdam, Belanda, dan di beberapa kota di Eropa, September mendatang. Berbeda dengan film garapannya yang berjudul sama, Opera Jawa ia pergelarkan dengan menggabungkan langendriyan, teater, ketoprak, petikan upacara tradisi, dan seni karawitan.

Era “Post-Cinema”

Garin tidak sedang dalam proses meninggalkan dunia film. Aktivitas barunya itu justru bagian dari proses berkeseniannya. Setiap periode, menurut Garin, rata-rata setiap lima tahun, seorang pencipta dihadapkan pada tuntutan perubahan, baik dalam konsep, teknologi, penciptaan, maupun relasi dengan beragam seni, sosial, politik, serta cara mengonsumsi, menghadirkan, dan berdialog dengan masyarakat.

“Sekarang era post-cinema, era transisi, misalnya dalam teknologi dari digital ke 3D (tiga dimensi, Red). Dalam seni, film sebagai seni ketujuh yang memuat seni sastra, seni teater, seni musik, visual, dan lain-lain, menuntut peran baru sutradara film. Ia juga membuat teater, karya instalasi, dan lain-lain,” tutur Garin.

Garin, sebelum ini, telah mementaskan Opera Jawa sebagai karya teater di Zurich, Swiss, dan sebagai karya instalasi di Munich, Jerman. Kini, ia menghadirkannya sebagai karya opera. “Ini masa post-cinema yang harus dibaca gejalanya,” ia mengingatkan.

Melalui karyanya itu, Garin sekaligus membuktikan tidak terjebak dalam pusaran orientasi pasar, yang acap membuat seorang seniman mandek berkreasi karena sekadar menjadi “mesin”.

Pengalaman bertatap muka langsung dengan Paus Benediktus XVI di Kapel Sistina, Vatikan, November lalu, meneguhkan langkah Garin untuk terus berkarya dengan nurani. “Paus berbicara tentang relasi seni dan kehidupan, serta harapan di tengah dunia yang terpecah-belah. Vatikan berharap setiap artis dengan bahasanya sendiri memberi peran dan kerja pada tugas kemanusiaan, karena seni juga menjadi sarana, bukan sekadar media ekspresi,” katanya.

Ia sungguh tersentuh pesan itu. Sama tersentuhnya ketika ia mendengar lagu Domine, Quando Veneris (Tuhan, Kapan Engkau Datang) karya komposer abad ke-16 Giovanni Pierluigi da Palestrina, yang dilantunkan Paduan Suara Kapel Sistina. “Sangat menyentuh, karena lukisan Michelangelo di atas langit-langit terasa hidup,” ujar Garin , yang mengaku sempat menangis, sekaligus merasa malu ketika mengingat realitas yang terjadi di negeri ini.

Media Harus Ikut Mencerdaskan Bangsa melalui Bahasa

Prita Daneswari
http://www.mediaindonesia.com/

Di Indonesia, media massa kini mempunyai pengaruh besar bagi pemikiran dan kebahasaan masyarakatnya.

Untuk itu, melalui bahasa, media massa harus ikut serta dalam mencerdaskan bangsa ini. Hal itu dikemukakan para pemerhati bahasa Indonesia dalam sebuah diskusi bahasa bertajuk Kajian Media Massa: Mencari Kata Baku. Acara ini diselenggarakan Lembaga Pers Dr Soetomo (LPDS) dan Forum Bahasa Media Massa, bertempat di Gedung Dewan Pers di Jl Kebon Sirih, Jakarta, Rabu (16/12).

Para pembicara yang hadir yakni Redaktur Senior Majalah Tempo A Amarzan Lubis, pakar bahasa Indonesia Prof Dr Anton Moeliono, serta Ketua FBMM TD Asmadi.

FBMM adalah suatu organisasi yang terdiri atas orang-orang yang peduli terhadap bahasa Indonesia. Para anggotanya sebagian besar adalah editor bahasa dari beberapa media massa di Tanah Air, seperti Tempo, Kompas, Antara, Swa, dan RCTI.

Melalui diskusi akhir tahun ini, para pakar bahasa itu bertujuan mencari kesepakatan mengenai kata-kata baku yang sering diperdebatkan di milis sepanjang 2009. “Dalam jurnalistik yang penting adalah sikap kebahasaan, ” kata Amarzan Lubis.

Saat menanggapi tujuan diskusi ini, Amarzan mengatakan, “Pembakuan itu perlu selama tidak berhenti menjadi pembekuan.” Ia pun menyampaikan keprihatinannya terhadap penggunaan bahasa Indonesia yang semakin jauh dari bahasa Indonesia yang baik.

“Jika membicarakan bahasa Indonesia, jangan berharap masyarakat Indonesia akan menggunakan bahasa Indonesia yang baik dalam waktu yang cepat,” katanya.

Hal itu, menurutnya, disebabkan masyarakat Indonesia sudah terlalu lama dibiarkan tidak terdidik sehingga terbiasa menggunakan bahasa Indonesia dengan bermain-main, bukan dengan merasionalkan bahasa itu.

Hal tersebut mengacu pada masih kurangnya orang terdidik di Indonesia. Dari data yang ada sekitar 70% masyarakat Indonesia mengantongi hanya ijazah SD. Karena itulah, menurut Anton Moeliono, ini merupakan panggilan bagi media di Indonesia untuk bisa mencerdaskan bangsa ini agar bisa bersaing di dunia.

Ia menambahkan, jika media taat menggunakan bahasa Indonesia yang baik, keluarga Indonesia pun akan terpengaruh. “Sangat disayangkan, Kamus Besar Bahasa Indonesia tidak digunakan dalam proses belajar-mengajar siswa di sekolah. Padahal dalam kamus, tercantum sejarah bangsa Indonesia dari abad 17-18 yang merupakan zaman keemasan sastra Melayu,” urainya.

Setelah itu, acara ini pun dilanjutkan dengan diskusi untuk menyepakati berbagai bentuk kata baku yang sesuai untuk ditulis atau dihadirkan di media kepada masyarakat.

Label

`Atiqurrahman A Muttaqin A Rodhi Murtadho A. Iwan Kapit A. Purwantara A. Qorib Hidayatullah A. Zakky Zulhazmi A.H.J Khuzaini A.S. Laksana Aang Fatihul Islam Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi WM Abdul Kadir Ibrahim Abdul Lathief Abdul Malik Abdul Wachid B.S. Abdurrahman El Husaini Abidah El Khalieqy Abu Salman Acep Zamzam Noor Achdiat K. Mihardja Adek Alwi Adi Suhara Adnyana Ole Adreas Anggit W. Afrion Afrizal Malna Aguk Irawan MN Agung Dwi Ertato Agus B. Harianto Agus Buchori Agus Himawan Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sulton Agusri Junaidi Agustinus Wahyono Ahda Imran Ahmad Badrus Sholihin Ahmad Fanani Mosah Ahmad Fatoni Ahmad Ikhwan Susilo Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musabbih Ahmad Rofiq Ahmad Sahidah Ahmad Tohari Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sekhu Alex R. Nainggolan Alex Suban Alunk Estohank Ami Herman Amien Kamil Amien Wangsitalaja Aminudin R Wangsitalaja Anastasya Andriarti Andreas Maryoto Anes Prabu Sadjarwo Angela Angga Wijaya Angkie Yudistia Anindita S Thayf Anis Ceha Anjrah Lelono Broto Anton Kurnia Anton Kurniawan Anton Wahyudi Anugrah Gio Pratama Anwar Nuris Aprinus Salam Arie MP Tamba Arif B. Prasetyo Arif Bagus Prasetyo Arif Hidayat Arman A.Z. Arti Bumi Intaran Arys Hilman AS Sumbawi Asarpin Asef Umar Fakhruddin Asep Sambodja Asrama Mahasiswa Aceh SABENA Astrikusuma Asvi Warman Adam Atep Kurnia Awalludin GD Mualif Aziz Abdul Gofar Azizah Hefni Badrut Tamam Gaffas Bagja Hidayat Bagus Takwin Balada Bale Aksara Baltasar Koi Bambang Agung Bambang Kempling Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Bayu Insani Beni Setia Benny Arnas Benny Benke Berita Berita Duka Berita Utama Bernando J. Sujibto Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Blambangan Brunel University London BSW Adjikoesoemo Budaya Budhi Setyawan Budi Darma Budi Saputra Budi Suwarna Bung Tomo Cak Kandar Catatan Cerpen Chairil Anwar Chavchay Syaifullah Cucuk Espe Cunong N. Suraja D. Zawawi Imron Dadang Ari Murtono Daisuke Miyoshi Damanhuri Damhuri Muhammad Damiri Mahmud Danarto Daniel Dhakidae Dante Alighieri Deddy Arsya Dedy Tri Riyadi Denny Mizhar Deny Tri Aryanti Detti Febrina Dharmadi Diah Hadaning Dian Hartati Dian Sukarno Diana A.V. Sasa Dicky Fadiar Djuhud Didi Arsandi Dimas Dina Oktaviani Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Djadjat Sudradjat Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Doddy Hidayatullah Donny Anggoro Dony P. Herwanto Dorothea Rosa Herliany Dr. Muhammad Zafar Iqbal Dr. Simuh Dwi Arjanto Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwicipta Dwijo Maksum Edy A. Effendi Edy Firmansyah Efri Ritonga Egidius Patnistik Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Hendri Saiful Elik Elsya Crownia Emha Ainun Nadjib Endah Sulawesi Endah Wahyuningsih Endang Suryadinata Endhiq Anang P Endri Y Eriyandi Budiman Ernest Hemingway Esai Esha Tegar Putra Eva Dwi Kurniawan Evi Dana Setia Ningrum Evi Idawati Evieta Fadjar F Rahardi Fabiola D. Kurnia Fadelan Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Faisal Kamandobat Faisal Syahreza Faizal Syahreza Fajar Alayubi Fandy Hutari Fany Chotimah Fatah Yasin Noor Fathor Lt Fathurrahman Karyadi Fatih Kudus Jaelani Fatma Dwi Rachmawati Fauzi Absal Festival Sastra Gresik Fikri. MS Fina Sato Fitri Susila Galih Pandu Adi Gde Agung Lontar Geger Riyanto Gerakan Literasi Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Ginanjar Rahadian Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gunoto Saparie Gus Martin Gus tf Sakai Gusti Eka Hadi Napster Haji Misbach Halim HD Halimi Zuhdy Hamberan Syahbana Hamdy Salad Han Gagas Handoko F. Zainsam Hari Santoso Haris del Hakim Hartono Harimurti Hary B. Kori’un Hasan Gauk Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Helwatin Najwa Hepi Andi Bastoni Heri C Santoso Heri KLM Heri Latief Heri Listianto Hermien Y. Kleden Hernadi Tanzil Heru Emka Heru Kurniawan Heru Prasetya Hesti Sartika Hudan Hidayat Humaidiy AS I Made Asdhiana I Made Prabaswara I Nyoman Suaka IBM. Dharma Palguna Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Ida Ahdiah Idayati Ignas Kleden Ihsan Taufik Ilenk Rembulan Ilham Khoiri Ilham Yusardi Imam Cahyono Imam Jahrudin Priyanto Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indah Darmastuti Indiar Manggara Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indrian Koto Irma Safitri Irman Syah Iskandar Noe Istiqomatul Hayati Ita Siregar Iwan Kurniawan Iwan Nurdaya-Djafar Iyut FItra Jadid Al Farisy Jafar M. Sidik Jakob Sumardjo Jamal D Rahman Janual Aidi Javed Paul Syatha Jayaning S.A Jefri al Malay Jihan Fauziah JJ. Kusni Jo Pakagula Johan Edy Raharjo Joko Pinurbo Jokowi Undercover Joni Ariadinata Joss Wibisono Jual Buku Paket Hemat Judyane Koz Juli Sastrawan Junaidi Abdul Munif Jusuf AN Juwairiyah Mawardy Kadir Ruslan Kasnadi Katrin Bandel Kedung Darma Romansha Khairul Mufid Jr Khamami Zada Khrisna Pabichara Kikin Kuswandi Koh Young Hun Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Komunitas Sastra Ilalang Indonesia (KSII) Korrie Layun Rampan Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan) Kristianto Batuadji Kritik Sastra Kunni Masrohanti Kunthi Hastorini Kuntowijoyo Kurie Suditomo Kurnia EF Kurniawan Kuswaidi Syafi'ie Kuswinarto Lan Fang Landung Rusyanto Simatupang Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Liestyo Ambarwati Khohar Linda Sarmili Liston P. Siregar Liza Wahyuninto LN Idayanie Lucia Idayani Lukman Asya Lusiana Indriasari Lynglieastrid Isabellita M Hari Atmoko M. Aan Mansyur M. Arman A.Z M. Bagus Pribadi M. Fadjroel Rachman M. Harya Ramdhoni Julizarsyah M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S M. Luthfi Aziz M. Nahdiansyah Abdi M. Raudah Jambak M. Shoim Anwar M. Yoesoef M.D. Atmaja Maghfur Saan Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Majalah Sastra Horison Maklumat Sastra Profetik Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Serenade Sinurat Mario F. Lawi Marluwi Marsel Robot Martin Aleida Martin Suryajaya Mashuri Matdon Mega Vristian Melani Budianta Melayu Riau Memoar MG. Sungatno Mh Zaelani Tammaka Miftah Fadhli Miftahul Abrori Misbahus Surur Miziansyah J Mochtar Lubis Mohamad Ali Hisyam Mohammad Eri Irawan MT Arifin Mugy Riskiana Halalia Muhajir Arrosyid Muhamad Rifai Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Al-Mubassyir Muhammad Qodari Muhammad Rain Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun A.S Muhidin M. Dahlan Muhlis Al-Firmany Mujtahid Mulyadi SA Munawir Aziz Murniati Tanjung Murnierida Pram Musa Ismail Musfi Efrizal Mustaan Mustafa Ismail N. Mursidi Nafsul Latifah Naskah Teater Nasrullah Nara Nelson Alwi Nenden Lilis A Nh. Anfalah Ni Made Purnama Sari Nina Mussolini-Hansson Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Noura Nova Christina Noval Jubbek Novela Nian Nugroho Notosusanto Nugroho Pandhu Sukmono Nur Faizah Nurdin F. Joes Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nurul Komariyah Nuryana Asmaudi SA Nyoman Tusthi Eddy Nyoman Wirata Oka Rusmini Oktamandjaya Wiguna Oky Sanjaya Olanama Olivia Kristina Sinaga Otto Sukatno CR Pagelaran Musim Tandur Pamusuk Eneste Patricia Pawestri PDS H.B. Jassin PDS. H.B. Jassin Penghargaan Hadiah Sastra Pusat Bahasa Persda Network Pipiet Senja Pramoedya Ananta Toer Pramono Pranita Dewi Pringadi AS Prita Daneswari Prof. Tamim Pardede sebut Bambang Tri Prosa Pudyo Saptono Puisi Puisi Kesunyian Puisi Sufi Puji Santosa PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Wijaya Qaris Tajudin R. Sugiarti Rachmad Djoko Pradopo Radhar Panca Dahana Ragdi F. Daye Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Ramadhan Batubara Ramadhan KH Ratih Kumala Ratna Indraswari Ibrahim Ratna Sarumpaet Raudal Tanjung Banua Remy Sylado Reni Susanti Renny Meita Widjajanti Resensi Restu Kurniawan Retno Sulistyowati RF. Dhonna Rian Sindu Ribut Wijoto Ridwan Munawwar Riki Utomi Riris K. Toha-Sarumpaet Risang Anom Pujayanto Riza Multazam Luthfy Robin Al Kautsar Rodli TL Rofiqi Hasan Rohman Abdullah Rosidi Rosihan Anwar Rukardi S Yoga S. Jai S. Sinansari Ecip S.I. Poeradisastra S.W. Teofani Sabam Siagian Sabrank Suparno Saiful Anam Assyaibani Sainul Hermawan Sajak Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sanggar Rumah Ilalang Sanggar Teater Jerit Sapardi Djoko Damono Sartika Dian Sartika Dian Nuraini Sastra Tanah Air Sastra Using Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sayyid Fahmi Alathas Sazano Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo Seli Desmiarti Selo Soemardjan Senggrutu Singomenggolo Seno Joko Suyono SH Mintardja Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sipri Senda Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Sobih Adnan Sofian Dwi Sofie Dewayani Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sri Ruwanti Sri Wintala Achmad St Sularto Stefanus P. Elu Sukron Abdilah Sulaiman Djaya Suminto A. Sayuti Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sungging Raga Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Suryansyah Suryanto Sastroatmodjo Susanto Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suyadi Suyadi San Syaifuddin Gani Syaiful Amin Syamsiar Hidayah Syarbaini Syifa Amori Syifa Aulia Tajuddin Noor Ganie Taufik Abdullah Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat TE. Priyono Teguh Afandi Teguh Ranusastra Asmara Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Theresia Purbandini Tita Tjindarbumi Titik Alva-Alvi Choiriyah Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tjoet Nyak Dhien Tosa Poetra Tri Lestari Sustiyana Triyanto Triwikromo TS Pinang Tu-ngang Iskandar Tulus S Tulus Wijanarko Udo Z. Karzi Ugoran Prasad Umar Fauzi Ballah Umar Kayam Umbu Landu Paranggi Universitas Indonesia Universitas Jember Utada Kamaru UU Hamidy Vera Ernawati Veronika Ninik W.S. Rendra Wahjudi Djaja Wahyu Hidayat Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Budiartha Widya Karima Wijaya Herlambang Wiji Thukul Willem B Berybe Wilson Nadeak Winarni R. Wiratmo Soekito Wita Lestari Wiwik Widayaningtias Y. Thendra BP Y. Wibowo Yasser Arafat Yeni Ratnaningsih Yohanes Sehandi Yonatan Raharjo Yonathan Rahardjo Yopi Setia Umbara Yos Rizal S Yos Rizal Suriaji Yudhi Herwibowo Yuka Fainka Putra Yurnaldi Yushifull Ilmy Yusri Fajar Yusuf Suharto Zainal Abidin Zainal Arifin Thoha Zawawi Se Zen Hae