Sabtu, 20 Maret 2010

G. J. Resink (1911-1997) di Kaliurang, Yogyakarta

Nurel Javissyarqi
http://pustakapujangga.com/?p=449

SULING DI KALIURANG
G. J. Resink

Seruas bambu merintih tinggi
semata-mata untuk rembulan,
yang nun di Timur, dari tepi
di balik lapis kejauhan,
dekat Klaten kira-kira,
mengambang: bunga-kemerahan
disepuh rintih seruling duka.

Telah lemas nafas bunyi ini;
rongga jiwa memuput isi
dan pada hembus penghabisan,
putih dan tinggi tegun rembulan
di atas kawah gemerlapan
karena gunung mengirai api.

Semua istirah malam ini,
sampai bulan pagi pelan
berdiri ditumpuk pegunungan,
dimana Borobudur setumpak maja

Lalu lurah pun berbegas kemari
dari desa di kejauhan
dan rusuh tergores pada mukanya,
kala ia berkata: “Ada bayi
mati semalam. Demikian
konon kabarnya.”

Gertrudes Johan Resink, lahir di Yogyakarta 1911, dari keturunan Belanda dan Jawa. Belajar di Sekolah Tinggi Hukum, Batavia. Tahun 1947 sebagai Guru Besar Hukum Tatanegara. Setelah penyerahan kedaulatan 1949, masuk kewarganegaraan RI. Di tahun 1950 menjadi guru besar sejarah modern, sejarah diplomasi, selain mengajar Hukum Internasional UI. Dalam dunia sastra Belanda dikenal sebagai penyair. Berhubungan kesusasteraan Indonesia sejak jaman Pujangga Baru dan Angkatan 45. Resink tertarik pengarang Inggris keturunan Polandia, Joseph Conrad (1857-1924) yang pernah berlayar di perairan Nusantara. Profesor lajang sampai akhir hayat ini memperhatikan seniman asal Prancis, Claude Debussy (1962-1918) yang memperkenalkan nada musik Jawa dalam komposisi musiknya. Sajaknya termuat di majalah De Fakkel dan Orientatie terbitan Indonesia, juga sering menulis di De nieuwe stem. Pada Vrij Nederland, terbit sajaknya bertitel Breuklijnen. Resink meninggal di Jakarta 1997. {dari buku Puisi Dunia, jilid II, susunan M. Taslim Ali, Balai Pustaka, 1952}
***

Aku bayangkan kejadian di ubun-ubun Resink, kala menuliskan sajak itu. Maka izinkan diriku mengarunginya:

Pepohonan bambu menjulang tinggi di Kaliurang tengah malam. Jemari dedaunannya menari-nari, penuh derita merintih.

Menyayat-nyayat bayangan. Hanya kepada bulan, pekabaran kembang di kejauhan, diantarkan angin membawa perasaan dalam.

Ada ikatan nasib bathin insan bersatuan gayuh dinaya, meresap melalui kaki-kaki tegak bersaksi, mendenyut-denyut ke aliran sungai alam pertiwi.

Kejelasan firasat purna dalam jiwa, keakraban memenuhi muara makna. Mengurai pengertian sejumlah penggalan kata. Menyiratkan keayuannya khasana puitika ke pelbagai bahasa.

Nafas-nafas bencah tanah air berhembusan keluar masuk, melewati hidung serta mulut anak-akaknya.

Pengabdian tulus membawakan bunyi-bunyi langgam budaya, menuju lereng lembah keadaban. Mendaki jalan berliku perbedaan pemahaman.

Tebing-tebing curam perseteruan dilalui, sekabut penalaran menanjaki dataran tinggi pengetahuan.

Sampailah puncak peradaban, keilmuan berbaur dinaungi bulan memancarkan cahaya hikmah, atas persuntingan nilai-nilai dalam kawah candradimuka.

Pergolakan serta benturan faham menandaskan jaman kian matang, atau terpuruk di jurang pertikaian perang.

Takkan pernah lekang dari muka bumi semakin merentah, menuju kehancuran umat manusia.

Ada bangsa begitu tinggi peradabannya, pula ada sedang. Ada jaman agung pencapaiannya, pun ada sekadar, atau malah merosot menerjuni kejahiliaan.

Pastinya pesona gemerlap kian semarak, namun membuyarkan keadiluhungan bathin sebelumnya.

Ada nan tergerus manakala usia menua; ketakjelasan pandang diartikan universal. Kesilapan dimaknai percepatan perubahan. Lantas kelupaan difahami puncak pencapaian.

Pada dasarnya tidak saling akrab mengenal, manakala kepentingan pribadi jauh diutamakan, sedari kebaikan melestarikan warisan nenek moyang.

Tampak masa depan benar-benar kelam, sehitam mendung menggantung di ubun-ubun pegunungan. Saat hujan deras membanjir, meledakkan untahan lahar dari kawah mendidih.

Benturan batu-batu meremuk. Kilat sambaran petir halilintar mengamuk sebadai debu, menumbangkan pohon-pohon pemikiran.

Nurani alam berontak tak terkendali. Bukan ujian tapi petaka, atas ulah tangan manusia sendiri yang terbuai nikmat duniawi.

Hingga lupa pencarian jadi diri, tangisannya sebentar gerimis. Kesedihan sebatas benda-benda, tentu sulit ditemukan jalan kembali.

Dan tiupan seruling bambu menandaskan kehakikian hayati, kepada kedalaman hati sanubari.

SEKAR AGUNG DI SANGGA LANGIT…

Membaca, Memahami dan Memaknai…

IBM. Dharma Palguna
http://www.balipost.com/

SAYA membulak-balik halaman demi halaman sebuah buku tua, berjudul: Taman Sari: Papoepoelan Gending Bali. Di bawah judul itu ada keterangan berbunyi: ”Kapoepoelan Antoek I Wajan Djirne miwah I Wajan Roema.”

Dari segi isi, buku ini luar biasa. Memuat berbagai lagu-lagu Bali jaman dahulu yang tidak banyak lagi diketahui oleh masyarakat umum. Seluruh syair lagu ditulis dalam aksara Latin, dilengkapi dengan nang-ning-nung-neng-nong dalam aksara Bali. Tapi keadaan fisik buku itu sangat memperihatinkan. Lusuh. Semua halaman terlepas. Warna kertasnya sudah menyerupai warna tanah. Beberapa lempirnya lengket karena kelembaban udara. Yang masih terbaca adalah lempir mulai halaman 2 sampai dengan lempir halaman 70. Cover belakang buku sudah tidak ada. Saya tidak berhasil menemukan angka tahun buku itu diterbitkan. Entah karena bagian lempir yang memuat angka tahun itu sudah hilang, entah karena angka tahun itu memang tidak dicantumkan sebagaimana umumnya buku-buku terbitan jaman dahulu. Tapi dari ejaan lama yang dipergunakan, dan sejumlah tulisan tangan yang ada di balik cover depan, dapat diperkirakan buku ini sudah setengah abad lebih.

GENDING KETUJUH dalam kumpulan itu, pada halaman 11, berjudul Sekar Emas. Lagu itu dimulai dengan syair pendek yang tertulis seperti berikut ini: ”Sekar di sekar emas ngara rontje. Sekar agoeng di sangga langit. Sojor kangin sojor kaoeh lajak-lajak”.

ISI SYAIR itu tentang setangkai atau beberapa tangkai bunga yang terbuat dari bahan emas yang terselip di gelung seorang atau beberapa orang penari, mungkin anak-anak, mungkin dewasa. Bunga emas itu bergerak-gerak sesuai dengan gerakan badan si penari, miring ke timur, miring ke barat, dan melengkung ke belakang.

Ketika membaca syair itulah saya berhenti cukup lama pada frase sekar agoeng di sangga langit. Apakah sekar emas itu yang imaksudkan dengan Sekar Agung? Barangkali! Saya tidak menemukan petunjuk yang meyakinkan. Saya juga tidak memiliki pengetahuan yang memadai dalam hal klasifikasi sekar emas yang biasanya dipakai menghias gelung para penari, apakah salah satunya ada yang bernama Sekar Agung. Mudah-mudahan orang yang berkompeten dalam bidang ini kelak dapat menjelaskan.

Sebagai seorang pembaca saya merasakan bahwa frase itu seperti sebuah selipan yang terpisah dari konteksnya. Namun demikian, justru pada frase itu saya merasa tertantang untuk menemukan apa kira-kira yang disembunyikan di baliknya. Jangan-jangan itulah inti yang ingin disampaikan oleh pencipta gending itu.

Saya tidak bisa menyetop pikiran yang langsung bertanya: apakah ada sejenis bunga alam yang bernama Sekar Agung, selain Sekar Agung itu adalah istilah untuk wirama kakawin, yang dibedakan dengan Sekar Alit, dan Sekar Madhya?

RASANYA tidak ada jenis bunga alam bernama atau disebut Sekar Agung sepanjang yang dapat dilacak dari berbagai sumber. Namun demikian, saya juga tidak berani langsung menyimpulkan bahwa Sekar Agoeng yang dimaksud dalam frase di atas adalah klasifikasi metrum (wirama) dalam seni suara tradisional. Jika bukan nama jenis bunga, dan jika bukan nama jenis metrum, lalu apa?

ADA BAIKNYA terlebih dahulu kita lanjutkan menyimak frase itu. Kata di dalam frase di atas, bukanlah awalan, tapi kata depan yang menunjukkan lokasi, atau tempat di mana Sekar Agung itu ada. Dengan sangat lugas kita diberitahu bahwa Sekar Agung itu ada di suatu tempat bernama Sangga Langit.

Dari keseluruhan syair yang membangun gending itu, kita tidak mendapatkan petunjuk di mana tempat bernama Sangga Langit itu. Baik dalam bahasa Bali maupun dalam bahasa Kawi, kata sangga berarti ‘’sesuatu yang memiliki fungsi menyangga”, atau ”disifatkan sebagai penyangga sesuatu yang ada di atasnya”, yaitu langit dalam kasus ini.

Dari arti kata sangga langit itu kita mendapat sedikit keterangan bahwa tempat itu kemungkinan ada di daerah gunung yang kokoh dan tinggi. Atau di bebukitan di pinggir laut. Tidaklah aneh bila gunung dan bukit itu dibahasakan oleh para penyair dan sastrawan sebagai penyangga langit. Apalagi jika gunung dan bukit itu dipandang dari kejauhan. Tidak ubahnya gunung-bukit itu seperti sendi besar yang menjulang tinggi. Ibarat tiang pancang penyangga langit, agar langit tidak ”runtuh”.

Lalu, apa yang dimaksud dengan ”Sekar Agung di Sangga Langit?” Kita tidak tahu apa yang dimaksud oleh pencipta lagu itu. Karena jangankan maksud yang disembunyikannya, kita pun tidak tahu siapa yang menciptakan gending tua itu. Kita juga tidak tahu di mana gending itu diciptakan. Tak tahu juga dalam suasana hati yang bagaimana gending itu terlahir.

Oleh karena itu, pertanyaannyalah yang mesti diubah. Bukan apa yang dimaksud, tapi bagaimana kita memaknainya. Ada beberapa pemaknaan yang bisa kita berikan pada frase itu. Jika Sekar Agung itu adalah Sekar Emas itu sendiri, maka frase itu bisa kita baca seperti ini: ada setangkai bunga emas yang disebut Sekar Agung terselip di gelungan penari yang bentuknya tidak ubahnya seperti gunung penyangga langit.

Jika Sekar Agung itu bukan Sekar Emas, maka kita bisa membaca seperti berikut ini: ”Ada sekuntum bunga yang agung, mulia, suci, indah tumbuh di pelosok gunung atau bukit yang tak ubahnya sebagai penyangga langit”.

BACAAN ini menyebabkan frase itu menjadi terpisah sama sekali dengan konteksnya. Memisahkan sesuatu dari konteksnya, bukanlah cara yang bagus dalam membaca dan memahami. Oleh karena itu kita perhatikan bacaan berikutnya ini:

”Terdengar alunan wirama Sekar Agung dari penyangga langit”. Bacaan ini tidak jauh dari konteksnya, karena pada bait ketiga gending itu ada disebutkan bahwa sambil meliak-liukkan tubuhnya, penari itu berkali-kali menoleh ke arah juru kidung.


Pertanyaan Tanpa Jawaban…
SANG(G)A LANGIT…

DI SALAH satu pelosok Buleleng bagian barat ada sebuah desa yang entah sejak kapan bernama Sanga Langit. Entah mengapa pula tetua desa itu jaman dahulu menyebut wilayahnya Sanga Langit, satu kata yang misterius.

Tulisan ini tidak serta merta tentang desa itu. Karena tidak banyak yang penulis ketahui tentang seluk beluk dan problematik desa itu. Dan penulis sendiri hanya ingat samar-samar, sekali atau mungkin beberaapa kali pernah melintas di desa itu dalam sebuah perjalanan meletihkan entah dari mana ke mana. Tidak ada yang membekas secara khusus tentang desa itu. Oleh karena itu, pembicaraan kali ini adalah tentang konsep yang “terbaca” samar-samar dari nama Sanga Langit itu: sebuah nama yang berarti “sembilan langit”.

Gagasan apa yang terbaca di balik kata sanga langit itu? Paling tidak ada tiga konsep yang terlintas dari kata itu. Pertama, kata sanga langit mengindikasikan sembilan penjuru langit. Tafsirnya, satu bagian langit yang ada di atas kepala, ditambah delapan bagian langit yang ada di delapan penjuru mata angin. Dalam konsep itu, langit dipandang sebagai sebuah lingkaran besar. Bagian langit yang ada tepat di atas kepala adalah pusatnya. Pusat langit itu dikelilingi oleh belahan langit di timur, tenggara, selatan, barat daya, dan seterusnya. Dengan pembacaan seperti ini, langit tidak selalu disebutkan ada di atas. Ada juga sebutan langit di timur tempat matahari terbit. Langit di barat tempat matahari tenggelam. Dan sebagainnya.

Memang ada konsep tentang delapan penjuru yang mengelilingi titik pusat. Misalnya, jagat diibaratkan sekuntum bunga Padma dengan delapan kelopak menghadap delapan penjur, dengan sari-sari bunga ada di titik tengah. Pembacaan sanga langit di atas meminjam konsep bumi untuk dipasangkan di langit. Jika bumi adalah sekuntum bunga mekar menghadap ke atas, maka langit dipahami sebagai sekuntum bunga mekar menghadap ke bawah, alias sungsang. Konsep bunga Sumanasa dalam Sastra Kawi adalah sekuntum Ongkara Sungsang yang turun dari langit ke bumi. Sedangkan sekuntum Ongkara Ngadeg yang ada di bumi konon bergerak naik menyongsong yang sungsang itu. Pada satu titik yang Sungsang dan yang Ngadeg itu bertemu seperti pertemuan dua ujung duri. Pada pertemuan kedua ujung kuntum bunga mstis itulah terjadi apa yang dicita-citakan oleh para yogi, yaitu kebebasan terakhir!

Seperti itulah bacaan pertama dari kata sanga langit. Ada pula bacaan yang kedua. Langit itu dipandang bertingkat-tingkat dan berlapis-lapis secara vertikal. Dari langit yang paling dekat dengan bumi terus ke atas sampai langit ke tujuh, dan kemudian ditambah dua lapis langit lagi di atasnya. Sehingga menjadi sembilan tingkatan langit.

Kita memang sering mendengar konsep tujuh tingkatan langit yang berhubungan dengan konsep tujuh tingkatan alam atas [sapta loka]. Bumi adalah alam paling bawah disebut Bhurloka. Angkasa yang menghubungkan bumi dengan matahari disebut Bhwahloka. Alam antara matahari dengan bintang Polar disebut Swahloka. Di atasnya lagi ada alam Mahaloka, Janaloka, Tapaloka. Dalam konsep itu langit ketujuh disepakati sebagai yang tertinggi. Langit atau alam tertinggi itu disebut Satyaloka.

Lalu apa kira-kira langit kedelapan dan langit kesembilan itu? Sampai di sini belum ditemukan sumber terpercaya yang dapat dirujuk. Yang ada hanya dugaan bahwa Satyaloka itu terdiri dari tiga lapis. Yang pertama adalah Satyaloka itu sendiri yang dihubungkan dengan alam Shiwa. Lapis kedua adalah alam Sadashiwa. Dan lapis tertinggi adalah alam Paramashiwa. Menurut dugaan ini, langit Sadashiwa dan langit Paramashiwa itulah yang kedelapan dan yang kesembilan.

Itulah bacaan yang kedua. Ada pula bacaan ketiga. Baik kata sanga maupun kata langit, sama-sama menunjuk pada yang tertinggi. Dalam sistem bilangan, sembilan disepakati sebagai bilangan tertinggi. Demikian pula langit dipandang sebagai yang tertinggi. Tidak ada yang lebih tinggi daripada langit. Karena di atas langit konon masih ada langit. Begitulah, kata sanga dan langit sama-sama menunjuk pada yang tertinggi.

Itulah tiga bacaan yang terlintas dari kata dan konsep sanga langit. Bacaan ini tidak serta merta bisa dihubungkan dengan nama desa Sanga Langit di Buleleng. Karena tetua desa Sanga Langit barangkali punya penjelasan lain mengapa menyebut tanahnya dengan nama seperti itu.

Saya teringat nama desa Sanga Langit justru ketika membulak-balik halaman buku tua yang berjudul Taman Sari: Papoepoelan Gending Bali, seperti yang telah dibicarakan dalam tulisan yang ada di kolom sebelah. Seperti yang diuraikan dalam tulisan itu, salah satu gending dalam kumpulan itu memuat syair yang berbunyi “Sekar Agoeng di Sangga Langit.”

Ketika membaca frase itulah saya tiba-tiba teringat desa Sanga Langit. Saya tercengang sendiri ketika pikiran menghubungkan kedua kata yang memiliki kemiripan fonetis itu, yang dibedakan hanya oleh satu fonem, yaitu - g.

Lalu muncul sejumlah kecurigaan, mungkinkah dulunya desa itu disebut Sangga Langit dan dalam perkembangannya akhirnya menjadi Sanga Langit karena masalah pelafalan? Jika kemungkinan ini benar, maka desa Sanga Langit tidak mesti dihubungkan dengan sembilan langit seperti di atas, tapi desa Sangga Langit itu diasosiasikan sebagai penyangga langit. Sangga Langit inikah yang dimaksudkan dalam frase “Sekar Agung di Sangga Langit”?

Saya memahami bahwa syair gending itu belum tentu berhubungan dengan desa Sang(g)a Langit yang ada di salah satu pelosok barat Buleleng itu. Tapi memang kata itu yang membuat saya mengalami “loncatan pikiran.” Dan loncatan pikiran seperti itu sangat umum terjadi. Yang jelas, karena syair itulah saya tergerak menulis pertanyaan-pertanyaan tanpa jawaban seperti ini.

Menjelajah Alam Mistisme Tengger

Judul Buku: Mistisme Tengger
Penulis: Capt. R.P. Suyono
Penerbit: LKiS, Yogyakarta
Cetakan: I (Pertama), Juni 2009
Tebal: x + 369 halaman
Peresensi: Humaidiy AS *)
http://oase.kompas.com/

Mistik menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah hal-hal gaib yang tidak terjangkau oleh akal manusia, tetapi ada dan nyata. Para antropolog atau sosiolog mengartikan mistik sebagai subsistem yang ada pada hampir semua sistem religi untuk memenuhi hasrat manusia dalam mengalami dan merasakan “bersatu” dengan Tuhan. Mistik merupakan keyakinan yang hidup dalam alam pikiran kolektif masyarakat. Alam pikiran kolektif akan abadi meskipun masyarakat telah berganti generasi. Demikian pula dengan dunia mistik orang Jawa. Keyakinan ini telah hidup bersamaan dengan masyarakat Jawa. Keyakinan ini telah hidup bersamaan dengan lahirnya masyarakat Jawa, diturunkan dari generasi ke generasi hingga kini.

Sebagaimana judulnya, “Mistisme Tengger”yang disusunoleh Capt. R.P. Suyono ini berusaha merekam kepercayaan orang-orang Tengger dikawasan Gunung Bromo mengenai mikrokosmos dan makrokosmos, hubungannya dengan kekuasaan para dewa dan pengaruhnya terhadap kehidupan manusia di alam dunia dan swarga. Dari pembahasan asal muasal inilah lahir berbagai kepercayaan dan keyakinan khas Tengger (Jawa) yang disebut ngelmu-ngelmu dan ramalan hidup yang hingga saat ini masih diyakini dan dijalankan oleh mereka.

Buku “Mistisme Tengger” merupakan buku ketiga dari Seri Dunia Mistik Orang Jawa yang disusun oleh Penulis, setelah sebelumnya terbit Dunia Mistik Orang Jawa; Roh, Benda dan Ritual sertaAjaran Rahasia Orang Jawa dengan penerbit yang sama. Sebagaima diakui penulis dalam kata pengantar buku ini, tiga rangkaian penerbitan buku tersebut dilatarbelakangi oleh proses panjang penelaahan naskah-naskah kuno peninggalan Belanda sebelum Perang Dunia II. Salah satunya terhadap De Javaanxche Geestenwereld, karya seorang javanologi berkebangsaan Belanda bernama Van Hien. Dalam perantauannya sekitar permulaan tahun 1900-an di pedalaman pulau Jawa, Van Hien berhasil mengumpulkan catatan mengenai kebiasaan, mistik dan kebudayaan orang-orang Jawa waktu itu. Hasil catatannya itulah – yang tentu saja berbahasa Belanda–yang masing-masing sekitar 400 halaman, dengan susah payah dialihbahasakan oleh Suyono ke dalam bahasa Indonesia.

Dalam uraiannya, Capt. r.P. Suyono membagi buku ini menjadi empatbelas bab; yakniKisah Penciptaan bumi Menurut Legenda Hindu-Jawa, Para Dewa Orang Hindu, Kegagalan Penciptaan manusia Oleh Brahma, Asal Mula Orang Tengger dan Ilmunya, Pembagian Musim, Manik Maiya, Alasan Oang Tengger Gemar Memakan Bawang, Perhitungan Musim Orang Tengger-Parsi di Jawa, Hari baik dan Buruk secara umum, Pengaruh Bintang pada Sifat Manusia dan Pekerjaan, Pergantian
Nasib Manusia, Ngelmu-Ngelmu, Versi Lain Perayaan Kasada dan Terjadinya Pohon Kapuk Randu. Dari sini, pembaca dapat memahami bahwa ternyata orang Tengger yang bermukim di kaki gunung Bromo sudah sejak lama menguasai banyak “ilmu”.

Studi tentang Kebudayaan Jawa

Studi mengenai kebudayaan Jawa memang menarik banyak kalangan. Di antaranya terdapat sejumlah buku yang dibuat oleh orang Belanda; salah satunya selain Van Hien adalah PJ Zoetmoelder yang
sudah diterjemahkan dengan judul Manunggaling Kawula Gusti, pantheisme dan Monisme dalam Sastra Suluk Jawa – Suatu Studi Filsafat (Gramedia, 2000) yang mengkaji kebudayaan Jawa dalam perspektif filsafat. Selain itu ada Niels Mulder, juga seorang Belanda yang menggeluti studi Jawa dalam perspektif mistisme. Doktor ilmu-ilmu Sosial dengan disertasi berjudul Kebatinan dan Kehidupan Sehari-hari di Jawa Dewasa Ini juga menerbitkan buku berjudul Mystism in Java Ideology in Indonesia yang memiliki kesamaan sekaligus perbedaan dengan kajian yang dilakukan oleh Van Hien.

Letak persamaannya, keduanya meletakkan ketertarikan studi yang erat pada satu titik yang sama: mistisme atau kejawen. Perbedaannya, Mulder mencoba menarik benang merah dari asal muasal orang Jawa dengan praktik sehari-hari yang terjadi dalam masyarakat Jawa, sampai pada pemakaian istilah-istilah Jawa dalam berbangsa dan bernegara (di Indonesia) dalam kisaran tahun tahun 1990-an.

Sebagai seorang antropolog, ia berusaha menguak lebih dalam “misteri orang Jawa”, khususnya Jawa Tengah bagian selatan yang merupakan tempat risetnya. Sementara buku ini, secara spesifik membahas asal muasal lahirnya berbagai fenomena mistisisme khas Tengger sebagaimana disebutkan di atas.

Ajaran

Mistisme-Kejawen dan Kesempurnaan Hidup dalam berbagai kajian yang ada, orang Jawa, termasuk orang Tengger, selalu mempertanyakan keberadaan mereka. Masyarakat Tengger percaya bahwa nenek moyang mereka adalah orang-orang Hindu Wasiya yang beragama Brahma, yang pada 100 SM mendiami di pantai-pantai sekitar Kota Pasuruan dan Probolinggo. Dengan kedatangan agama Islam di pulau Jawa pada 1426 M, orang-orang Hindu ini kemudian terdesak dari daerah pantai hingga
akhirnya menetap di daerah yang sulit dijangkau oleh para pendatang, yaitu di daerah pegunungan
Tengger. Di sana mereka membentuk kelompok tersendiri yang hingga kini masih dikenal sebagai orang atau tiang Tengger (Bab 4, hal. 23).

Lebih jauh, pada sekitar abad ke-16, para pemuja Brahma di Tengger kedatangan pelarian dari orang Hindu Parsi (Persia). Akhirnya, masyarakat Tengger yang semula beragama Brahma beralih ke agama Parsi, yakni agama “Hindu Parsi”.

Ajaran mistis dan ngelmu-ngelmu jika dirunut pada muaranya berasal dari pemujaan terhadap matahari, bulan dan bintang-bintang sebagai pengendali dari keempat unsure utama (api, air, udara dan tanah). Kenyataan ini misalnya dapat dilihat dari ngelmu hitungan, yang berkitan dengan bintang rizki, bintang celaka, bintang gelap dan sebagainya. (hal. 51, 59, 67 da 71).

Dalam tradisi mistik, seperti di Jawa, proses akulturasi agama-agama yang ada memungkinkan teknik spiritual yang ditempuh memang beragam: sebagian memakai semedi disertai mantra, ada yang memusatkan diri pada chakra (pusat okultis di dalam tubuh), , beberapa lagi menggunakan dzikr Sufiatau tirta Yoga meditasi di dalam air atau “kungkum”), demi tujuan yang beraneka pula. Juga mengenai lembaga semisal slametan, guru kebatinan dan lain sebagainya yang menjadi media untuk berhubungan dengan Sangkan Paraning Dumadi. Menurut Paul Stange (2009), semua itu bahkan mencerminkan pluralitas keagamaan di Jawa pada saat ini sekaligus mempengaruhi perjalanan sejarahnya.

Dari penelusuran bab demi bab buku ini, pembaca akan sampai pada premis bahwa masyarakat Jawa sangat kental dengan nuansa intuitif dan penuh kesahajaan dalam menelaah suatu keadaan: perasaan lebih dikedepankan daripada rasio atau pencarian bukti yang lebih konkret, atau dalam bahasa yang lain, lebih mengedepankan aspek rohani/jiwani daripada masalah-masalah yang phisik atau profan.

Begitu pula adanya ajaran bahwa keberadaan manusia di dunia ini hanyalah “mampir
ngombe” – (numpang/singgah hanya untuk sekedar minum), yang bagi orang Jawa dimaknai bahwa kehidupan dunia ini adalah sementara. Tidak lebih dari sekedar “terminal” menuju Yang Maha Kuasa. Dalam perjalanan itu, orang Jawa perlu melalui tingkatan-tingkatan guna mencapai kesempurnaan hidup. Dengan cara itu, manusia diharapkan akan kembali dan bersatu dengan Tuhan. Orang yang
menganut faham kejawen yakin, Tuhan adalah asal-usul semua yang ada di dunia ini.

Hal lain, pembaca akan menemukan masih digunakannya Bahasa Melayu kuno yang dicampur bahasa Jawa sesuai kebiasaan dahulu, terutama dalam penjelasan bagan-bagan ngelmu yang berserakan di di beberapa tempat dalam buku setebal 369 halaman ini. Tampak Suyono membiarkan sesuai aslinya agar dapat mudah dirasakan arti dan maknanya. Disamping kenyataan bahwa bahasa Jawa sendiri pun, telah bercampur dari satu daerah dengan daerah lainnya waktu itu. Yang tentu saja pada setiap daerah di Jawa tersebut, mempunyai kekhususan tersendiri dalam ucapan daerah setempat.

Mengagumi Tengger, tentu tak cukup sekedar menyeruput kenikmatan landscape gunung Bromo atau keasyikan menyaksikan perayaan Kasada, lantas mengenal Tengger seutuhnya, untuk sesaat kemudian melupakannya kembali. Hadirnya buku ini, sebagaimana buku-buku sebelumnya, diharapkan tidak hanya memberi wawasan utuh tentang segala aspek yang melingkupi kekayaan kebudayaan Tengger, tetapi juga memberi pencerahan dan kebijaksanaan bagi pembaca untuk lebih menghargai local wisdom (kearifan lokal) yang nota bene adalah milik kita sendiri. Selamat membaca!

*) Humaidi as Maidy, Pustakawan pada MTs Ali Maksum Ponpes Krapyak Yogyakarta.

Jumat, 19 Maret 2010

PERSEMBAHAN KEABADIAN

Judul Buku : Sahibul Hikayat al Hayat
Pengarang : KRT. Suryanto Sastroatmodjo
Pengantar : Nurel Javissyarqi
Jenis Buku : Kumpulan Prosa
Penerbit : PUstaka puJAngga
Tebal Buku : xxiv + 144 hlm; 14 x 20 cm
Peresensi : Imamuddin SA
http://www.sastra-indonesia.com/

Seberapa jauh perjalanan hidup manusia? Seberapa lama ia hidup untuk sesamanya? Seberapa kuat ia dikenang oleh generasinya? Pertanyaan-pertanyaan itu yang mesti direnungkan jauh lebih dalam bagi setiap orang. Fenomena yang terjadi dalam psikologi manusia, hanya dalam beberapa kurun waktu jenjang keturunan, ia masih diingat oleh generasi selanjunya. Yang jelas, seorang anak pasti masih mengingat dan mengenal orang tuanya. Ia juga pasti masih mengenal dan mengingat kakek-neneknya. Lebih jauh lagi, ia mungkin masih mengingat buyutnya. Namun yang terakhir ini intensitasnya cukup rendah. Dalam bahasa Jawa, seseorang pasti sangat sulit mengenal maupun mengingat cangga, wareng, udeg-udeg, siwur atau jenjang keturunan ke bawah lainnya.

Fenomena di atas menggambarkan bahwa betapa sulitnya perjalanan hidup seorang manusia untuk bisa tetap hidup dan abadi dalam jiwa-hati sesamanya. Ia dalam suatu masa pasti lekang terhapus oleh waktu. Dari sisi keturunun saja hanya dalam jangka waktu yang relatif singkat, apalagi dari sisi manusia secara keseluruhan. Hal itu secara mendasar bertumpu pada kenangan hidup yang ditorehkan. Tentunya kenangan itu memiliki arti yang begitu dalam bagi sesamanya. Adakalanya hal tersebut diabadikan melalui cerita-cerita heroik dan menyentuh secara turun-temurun maupun dari lisan ke lisan. Adakalanya juga melalui barang peninggalan yang diangap sebagai barang berharga maupun pusaka.

Adanya kisah, barang berhara, maupun pusaka merupakan suatu media dalam membangkitkan kembali kenangan-kenangan yang sempat terukir oleh pribadi seseorang. Hal itu sebagai bentuk perjalanan sejarah hidup seorang manusia. Dapat dikatakan, jika seseorang banyak meninggalkan sesuatu yang berharga, benda pusaka, maupun kisah-kisah yang heroik dan menyentuh kepada sesamanya, dialah yang kelak namanya bakal abadi dan rekat di jiwa-hati sesamanya. Dengan satu catatan, generasi berikutnya berkenan merumat sesuatu tersebut dengan seksama.

Sahibul Hikayat al Hayat, merupakan cerminan diri dari seorang KRT Suryanto Sastroatmodjo. Karya ini disusun sebagai bentuk pengabadian namanya dalam jiwa-hati sesamanya. Karya ini sarat akan makna yang mampu memberikan arti hidup bagi pembacanya. Selain itu, karya ini merupakan suatu rangkaian perjalanan hidup yang sempat tersapa oleh KRT Suryanto Sastroatmodjo (Mas Sur) bersama sahabat-sahabatnya. Hal itulah yang kemudian mengendap dalam batin lantas menjadi kristal-kristal kenangan yang begitu menyentuh dan patut untuk dituangkan sebagai bentuk sejarah kecil-kecilan bahkan jika tuhan berkenan, ini mampu menjadi sejarah universal. Kenagan-kenangan itu akan melampaui zamannya.

Ada nan taklebur dikubur umur
Ada nan takgugur disapur uzur
Ada nan terngiang selarut zaman
Sedayung Kasih di arus kenangan (Sahibul Hikayat al Hayat: xv)

Ungkapan tersebut pada dasarnya tertuang untuk sahabat Mas Sur, yaitu Lorenzo. Namun ini patut untuk kita renungkan secara bersama akan kedalamannya. Beliau mengisyarahkan bahwa yang akan mengabadi dan menjadi kenangan dalam kehidupan ini adalah Kasih. Konotasi maknanya cukup luas. Kasih dapat merujuk pada budi baik, kekasih, maupun tuhan. Ketiga hal inilah yang menjadi poros kenangan yang abadi dalam jiwa-hati kemanusian. Kalau kita tidak bisa menjadi idola atau kekasih kebanyakan orang, maka seyogyanya kita menorehkan budi baik kepadanya. Karena dengan melakukan hal tersebut, secara lambat-laun dalam jiwa-hati seseorang pastilah tumbuh sepercik cahaya kasih yang pada akhirnya menjadikannya kekasih yang akan dikenang terus dalam hidup ini.

Sebagai usaha pengabadian nama dalam jiwa-hati sesama, selain untuk mengenang sahabat-sahabatnya, karya ini tergurat sebagai budi baik seorang Mas Sur. Sebab di dalam karya ini menyimpan nilai-nilai luhur kemanusiaan yang patut diteladani bagi kita semua. Ini merupakan suatu persembahan besar oleh seorang Mas Sur menjelang akhir hayatnya yang kelak diharapkan mampu menjadikan namanya tetap abadi di jiwa-hati kita semua.

Karya ini sungguh luar biasa intensitas kedalamannya. Meskipun demikian, kadang-kadang pembaca secara umum akan sedikit disibukkan dengan ungkapan bahasa yang mampu mengganggu proses penyelaman isinya. Hal itu disebabkan oleh adanya penyematan bahasa Jawa di dalamnya. Bahkan tidak tanggung-tanggung, konstruksi bahasa Jawa yang disematkan adalah dari jenis kromo inggil yang notabenenya hanya dapat dipahami oleh mereka yang benar-benar dekat dan akarab dengan bahasa tersebut. Namun itu tidak mendominasi karya ini. Ungkapan tersebut kadarnya relatif kecil. Dan adanya penyematan ungkapan tersebut terbilang sangat wajar, sebab Mas Sur adalah seorang pujangga keraton Yogyakarta yang secara penuh bergulat dalam kesusastraan Jawa. Jadi tidak mustahil, unsur-unsur Jawa mewarnai dalam setiap karyanya.

Sahibul Hikayat al Hayat ini merupakan karya yang disusun melalui pundi-pundi kasih sayang. Di dalamnya mengisyarahkan suatu proses memanusiakan manusia. Sanjungan, penghargaan, maupun pernghormatan terhadap eksistensi manusia begitu kental terlukis di dalamnya. Seorang manusia benar-benar ditempatkan pada kemuliaannya. Ia diposisikan pada derajat yang sesumgguhnya; sebagai makhluk yang mulia. Tutur bahasa yang diungkapkannya begitu sejuk dan damai. Mengalir bagaikan ricik hening sungai Nil. Memberi pencerahan dan kehidupan batin bagi mereka yang berada di sisinya. Sungguh, karya ini tidak layak untuk disisihkan. Karya ini tidak patut untuk ditinggalkan. Terutama bagi jiwa-jiwa yang merindu kedamaian. Inilah pusaka yang mampu merombak peradaban batin pembacanya. Menjadi saksi, sejarah perjalanan anak manusia. Selanjutnya, selamat membaca. Semoga berolehkan guna.

Puisi, Penyair, Penjahat

S. Jai
http://ahmad-sujai.blogspot.com/

BARANGKALI ini serupa cerita misteri saja. Meski demikian, mungkin juga cerita ini justru bermaksud melampaui keberadaan manusia sebagai diri yang misterius. Sehingga boleh jadi tulisan ini sesungguhnya hendak menerobos sisi rohaniah—sebuah ruang yang tidak untuk diperdebatkan ada dan tiadanya, disoal keyakinan atau kadar ketidakpercayaan atasnya.

Inilah suatu gambaran, betapa apapun sama-sama diberi hak untuk disoal, sebagai pertanyaan atas dirinya sendiri. Karena itu boleh dikata inilah upaya menyingkap tabir alangkah sangat terbuka dan memungkinkan membedah wilayah ini. Bahkan amat mengundang gairah ketika manusia, siapapun, penyair, agamawan, orang biasa, juga penjahat berbicara dengan bahasanya masing-masing atas wilayah rohani tersebut—sepanjang tanpa meninggalkan watak misterinya.

Sebaliknya, justru sangat dapat dimengerti, dicurigai atau bila perlu dianggap makhluk asing di buminya sendiri manakala ada diantara kita manusia ini tak lagi menempatkan sisi misteri atas ruang itu. Jadi kefatalan menimpa bilamana sekelompok orang amat percaya diri bahwa seolah-olah tidak ada satupun pojok-pojok semesta ini yang misterius.

Sungguh malapetaka ini telah terjadi: berjuta-juta manusia ada di posisi yang tak manusiawi ini—orang-orang yang sangat percaya diri, seorang penjahat yang hidup sendiri di semesta ini sampai tidak pernah terungkap apakah kehadirannya di semesta ini sebentuk kejahatan ataukah justru kemuliaan. Lantas siapa yang memahami atas tragedi itu, apalagi ketika tuhan pun melakukan hal serupa? Saat tuhan tidak tahu-menahu selain dengan sangat percaya diri menurunkan ayat-ayat yang meski belum sempat dia kirim namun ia menggariskan larangan dan perintah?

Lebih dari itu tuhan juga menyisipkan ayat-ayat kompromi. Hanya beberapa gelintir ayat saja yang tak sempat direnungkan, termasuk perihal tumbuhnya kepercayaan diri yang berlebihan. Kedengarannya, hal ini terjadi oleh karena dunia batin tuhan pun seperti terjadi pada manusia. Bahwa keduanya telah bersama-sama dalam keberadaannya yaitu dalam pusaran Takdir dan Waktu. Tak satu pun yang bebas dari dua dalam satu atau satu dalam dua: Takdir dan Waktu. Dua dalam satu yang sangat misterius justru karena keadaannya, atau adanya telah dimisterikan sebagaimana tersingkap dari ayat-ayat Tuhan.

Misteri itu sepaham pertanyaan manusia mana yang menyeret dirinya Waktu atau Takdir. Atau dua-duanya dalam kesatuan yang saling seret sehingga menempatkan manusia seolah-olah tenggelam keberadaannya. Jikapun kemudian adanya sanggup menumbuhkan kepercayaan diri namun sebetulnya ia telah merenggut kuasa Tuhan itu melebihi Takdir dan Waktu.

Takdir manusia berbeda dengan takdir puisi. Kodrat penyair tidak sama dengan kodrat penjahat. Jasmani maupun rohani. Hanya saja barangkali diantara “mereka” yang memiliki takdir sendiri-sendiri perlu sesekali basa-basi untuk saling memasuki, saling merasuki, saling mempengaruhi meski itu sesuatu cara yang sia-sia: menjadi sesuatu yang lain. Kecuali bagi setiap yang punya kepercayaan diri luar biasa untuk menjadi sesuatu yang lain dan ini tragedi entah itu lucu atau tidak. Mungkinkah kita saling bertukar ruang rohaniah?

Menjawab pertanyaan ini serupa dengan bermain dalam tataran bahasa yang belum ada kosakatanya tentang kenyataan.
***

KODRAT puisi mesti ditulis atau dimantrakan. Tapi kodrat puisi tidak untuk dibaca karena kuasa puisi tak bisa dipindahtangankan, dipindahpikirkan, dipindahrasakan karena hal ini justru menyalahi ruh kehadirannya. Banyak sekali misteri yang hanya berpindah-pindah saja ketika puisi ditulis dan kemudian dibacakan. Apalagi oleh sang penyairnya sendiri. Misteri bukan untuk dipindahtangankan. Misteri untuk dipecahkan—paling tidak dicoba untuk dipecahkan meski tak sama persis dengan memecahkan teka-teki silang. Ada kejahatan, kebohongan di sana ketika puisi tengah dibacakan, bahkan oleh penyairnya sendiri. Penyair seringkali membunuh puisinya sendiri dengan kejam. Bahkan sekalipun ketika ia membaca, sebetulnya penyair sedang berbasa-basi untuk menempatkan diri selaku pembaca puisi: orang lain.

Mengherankan sungguh, mengapa manusia sampai hati melakukan demikian. Kejahatan besar manusia, pembaca, juga penyair adalah ketika tanpa ada perintah kemudian membaca puisi. Dalam sejarah umat manusia, yang diperintahkan dibaca adalah ayat-ayat Tuhan. Bukan puisi. Bahkan menurut catatan kritikus dan sastrawan, Mashuri, dalam surat Asy-Syuara, Al-Quran dengan lantang menabuh genderang perang terhadap para penyair. Terdapat peringatan yang sangat tegas bagi para penyair yang menyimpang dari jalan Tuhan. Dengan sebuah ancaman yang tidak main-main, bahwa penyair itu bakal mendapatkan siksa.

Kenyataan yang lebih fatal lagi, tidak sedikit yang kemudian mempersepsikan ayat-ayat Al-Quran adalah kata-kata yang puitis sehingga menjadi sangat kabur antara keduanya berkaitan dengan idiom dan estetika puisi. Penulisan artikel ini tidak hendak mempertegas mengatakan mana diantara keduanya yang diuntungkan dari perjumbuhan ini—yang tentu saja sudah menjadi khas manusia bisa dijawab mana yang diuntungkan.

Manusia amat sadar celah ini digunakan karena memang tidak ada tersebut di dalam ayat-ayat tentang pelajaran menulis puisi atau bagaimana puisi yang bagus dengan kadar estetik dan artistik yang tinggi dalam ayat-ayat suci Al-Quran.

Maka sangat wajar manakala puisi sangat kurang ajar, liar bahkan jahat bukan hanya karena tidak ada dalam kitab. Melainkan lantaran puisi meniru perilaku kejahatan manusia. Namun penulis artikel ini percaya, hal itu hanyalah basa-basi dari puisi. Ia punya ruh yang murni, ruang rohani yang keadaannya tak bisa sepenuhnya diungkap, disingkap. Puisi tetap menjadi misteri.

Barangkali hubungan yang benar antara puisi dan manusia itu mirip dengan jin dan manusia. Personifikasi ini juga tidak menggairahkan penulis untuk menjelaskan detail teoritisnya. Tak lain karena contoh ini kiranyaa sangat tepat justru karena penulis tidak punya kapasitas untuk menjelaskan hubungan keduanya: takdirnya, ruang waktunya, alam citanya dan sebagainya. Perkecualian bila ada kisah tentang jin yang merasuki ruang waktu manusia atau sebaliknya manusia yang berkomunikasi baik dengan jin. Perkecualian berarti keragu-raguan.

Boleh jadi benar bahwa ketika puncak-puncak pencapaian ilmu pengetahuan yang berbuah keragu-raguan, akhirnya ilmuwan mengembalikannya pada tataran yang murni, asali, sublim. Termasuk puisi. Sebut saja yang asali itu mitos atau religi. Puisi religius—terlepas dari masih terbukanya bagi para penjahat untuk mendistorsi metafora ini—mengandung arti sebagai laku religius lebih bertitik tolak pada proses menjadi, lahirnya dan seluruh takdirnya yang mendarah daging, meruang dan mewaktu padanya dalam pengertian yang rohaniah.

Sehingga barangkali benar puisi ditakdirkan lahir dari pengalaman religious penyair. Namun terus terang penulis artikel ini agak ragu dengan kata-kata tersebut karena alasan kosakata “religius” telah dipersempit dan mungkin juga kata-kata itu ditakdirkan menyempit. Satu-satunya yang menyakinkan adalah penggunaan istilah “pengalaman religious penyair” manakala adanya persyaratan rohaniah bahwa pengalaman religius tidak bisa ditranfer, dikomunikasikan kepada orang lain.

Pengalaman religius sangat personal. Bahkan boleh jadi manusia bukanlah makhluk satu-satunya yang berhak memfetakompli mendapatkan pengalaman religiusnya. Di sinilah puisi kemudian bernasib buruk ditakdirkan menjadi semacam pisau atau kapak kejahatan penyair. Apalagi penyair yang berharap lebih kepada puisi melampaui takdirnya dengan mengkomunikasikan pengalaman religius itu kepada orang lain.

Puncak dari kejahatan-kejahatan seperti ini serupa dengan konspirasi teori yang gelap yang berpeluang untuk disamarkan oleh para penyair-penyair yang sangat piawai dan menguasai jagad kepenyairan: sejarah, kritik, maupun teori puisi. Yaitu konspirasi teori para penyair cerdas. Seorang penyair cerdas, sebetulnya penyair yang cerdas tentu saja berbanding lurus dengan kejahatannya dan teori konspirasi ini sudah begitu banyak kita pelajari gejalanya di dunia perpolitikan atau kriminalisasi kekuasaan. Tidak sulit untuk membayangkan penyair yang demikian dan tentunya lagi-lagi korbannya adalah puisi.

Yang benar adalah setiap puisi senantiasa gelap bagi orang lain karena takdir puisi adalah ditulis dan bukan untuk dibaca. Ini bisa digunakan semacam kartu truf atau saksi kunci dalam upaya mengusut muasal puisi di belantara konspirasi teori, kecerdasan, dan ketika kejujuran penyair menjadi taruhannya. Betapa sulit untuk menguji perihal satu ini. Apalagi puncak-puncak atau ujung terjauh antara puisi, penyair, religiusitas, dan kejahatan semua itu justru berada di gerbang menuju ruang rohani.

Oleh karena itu, barangkali lebih tepat bila meminjam semacam asas pembuktian hukum terbalik untuk menguji ada tidaknya unsur kejahatan, kebohongan, korup atau bahkan hanya pencemaran nama baik yang menimpa diri penyair, puisi dan kemungkinan keterlibatan geng-gengnya. Sudah barangtentu salah satu alat bukti utamanya adalah puisi. Yaitu terkait ada tidaknya persyaratan setiap puisi yang senantiasa gelap bagi orang lain karena takdir puisi adalah ditulis dan bukan dibaca.

Tentu saja pembuktian ini harus dilakukan oleh para ilmuwan yang bebas dan jujur menggali spirit kemurnian puisi, paham akan kerohanian, psikologi dan juga penganut mazhab puisi sebagai ilmu sastra yang murni. Dalam bahasa penggagas Manifesto Puisi Gelap, Indra Tjahyadi tentang kemurnian, bahwa menghancurkan dunia bermakna mengembalikan kemurnian, mengembalikan kemurnian berarti mendekatkan manusia pada “surga” yang dijanjikan. Dan untuk sampai pada surga yang dijanjikan,manusia harus memahami “maut”, sebab hanya pada mautlah segala nilai-nilai kemanusiaan dapat dibangkitkan kembali dan manusia terselamatkan dari kejatuhannya yang mengerikan.

Mungkin juga sesungguhnya problem beratnya ada pada metafora itu sendiri sejak religiusitas, spiritualitas, rohaniah, alam cita yang tidak pernah selesai diperdebatkan kecuali bagi yang punya nyali untuk menghentikannya: menyakininya, mempercayainya atau mengakhiri demi tujuan-tujuan tertentu. Atau ketika yang lain memilih untuk saling bergerak diatara religi-rohani-alam cita-spiritual dan terkadang masih perlu menambah satu kosakata lagi, mitos.
***

PUISI bukanlah apa-apa bagi penyair yang sedang mengalami luka, penderitaan, siksaan tatkala menerima pengalaman “religious”. Puisi bukan obat sekalipun bagi penyair yang menyakini bahwa dalam ketersiksaan menerima pengalaman religius sang penyair menemukan kenikmatan. Mungkin tidak sedikit yang tak berhasil menemukan kenikmatan yang inhern dengan siksaan itu yang fatalnya kenikmatan seringkali dipersandingkan dengan pencerahan—sesuatu istilah yang amat khas manusiawi dalam sejarah peradaban manusia.

Walhasil, manusia, penyair, orang biasa semakin sulit untuk dibedakan. Namun sangat mudah untuk membedakan antara puisi dan penyair. Bahwa puisi bukanlah apa-apa. Puisi hanya ditulis oleh penyair karena takdirnya. Artinya, menjadi semakin sia-sia ketika mencoba menarik pemaknaan puisi yang bagus dan penyair yang luar biasa.

Bahwa satu kalimat terakhir ini tak lain merupakan usaha untuk menjawab spirit prosa. Penulis artikel ini sendiri termasuk yang ragu dan berpendapat hampir seluruh puisi-puisi yang ada jangan-jangan itulah sebetulnya spirit prosa. Atau setidaknya puisi-puisi yang sukses luar biasa menggiring pembaca untuk menjadi sesuatu yang lain: prosa. Lalu dimana puisi?

Bahkan selanjutnya, penulis artikel ini sangat percaya tidak sedikit puisi-puisi yang menjungkirbalikkan korbannya—utamanya mahasiswa sastra, sastrawan, calon penyair, ahli sastra yaitu ketika tanpa sadar dirinya sebetulnya sedang dibaca oleh yang berpura-pura sebagai puisi. Pilih mana yang benar: membaca atau dibaca?

Mengenai pertanyaan dibaca atau membaca pernah disingkap penyair F Aziz Manna, ketika menyoal banyaknya remaja yang gandrung pada karya-karya Kahlil Gibran. Bahwa sebetulnya yang terjadi adalah sebaliknya, membludaknya remaja yang tengah dibaca oleh “prosa” Kahlil Gibran. Gibran bukan apa-apa dan bisa diganti oleh siapa saja. Tapi airmata yang bercucuran, perasaan yang berlebihan, imajinasi yang sombong bukan pada tempatnya dan tetek mbengek pencitraan atas nama sastra itu adalah bukti konkret “kekayaan” hasil kejahatan, penjarahan, perampokan dan dzolim terhadap hak-hak asasi manusia.

Pendek kata, dalam kasus ini karena pembaca “prosa” Gibran tak memiliki kesanggupan menyingkap pengalaman dirinya sendiri, meski sebetulnya telah memiliki pengalaman batin yang serupa menempatkan pembaca sebagai korban dengan sosok berlumur dosa—memiliki tanpa kuasa. Dalam bahasa yang gampang dipahami tapi sulit dimengerti adalah betapa zaman sekarang semakin banyak nabi yang jahat atau kitab yang laknat—menyebarkan wahyu kepada umat adalah kejahatan terbesar yang tak terampuni karena sesungguhnya hal itu hanyalah untuk dirinya sendiri.

Manusia telah memiliki penderitaan yang sama justru karena kesempurnaannya yang puncak kekayaannya ada pada hati. Tidak perlu ditambah atau dikurangi dengan puisi. Puisi adalah puisi karena takdirnya. Puisi bukan seperti puisi. Puisi adalah puisi itu sendiri. Tetapi puisi itu seperti Rosario atau butir tasbih yang kebetulan dirangkai dalam satuan melingkar dan boleh berbeda ukuran. Sementara manusia, penyair itu doa dan sembahyangnya.

Dengan demikian, lalu dimana sebetulnya manusia berada? Analisa tajam pernah dikemukakan kritikus sastra Ribut Wijoto sebagaimana dipublikasikan media Jaringan Islam Liberal (JIL) beberapa waktu lalu. Ribut menyingkap dengan khidmat bahwa manusia tak pernah ada dalam puisi sebagaimana keterbatasan manusia yang hanya sampai pada pengetahuan menangkap tamsilan-tamsilan dunia keseharian atau dunia yang terhasilkan oleh indrawi kemanusiaan. Menurutnya, segala yang mucul di hadapan indrawi dan batin manusia hanyalah penampakan sifat-sifat Tuhan. “Manusia tak pernah ada, yang ada hanya Tuhan.”

Ketika keberadaan manusia dipastikan keraguannya, ketiadaannya tanpa terkecuali terhadap seluruh pencitraannya, perasaannya, hatinya, imajinasinya, alam citanya, maka puisi tetap sendiri dengan keindahannya yang menyendiri pula sebagaimana takdirnya. Mungkin puisi sedang melakoni kejahatannya. Barangkali lagi menebus kehormatannya. Tidak ada yang tahu.

Bukan mustahil kejahatan puisi terjadi karena menyerang pencitraannya, perasaannya, pikirannya, hatinya bahkan alam citanya. Akan tetapi siapa yang bisa menghentikan manakala justru dengan itu puisi hendak merebut kembali kehormatannya, kemurniannya?
***

BAGI penulis, menulis artikel yang dimaksudkan sebagai sebentuk gagasan perpuisian ke depan ini, tentu saja berikut menyadari peluang-peluang jebakan atas logika perihal puisi itu sendiri. Atau lebih tepatnya, menyoal setiap diterminan dan menyokong sikap apriori.

Jawaban setiap soal yang diajukan mungkin sulit dijawab (apalagi dengan kebenaran pasti) atas pertimbangan kemungkinan kesalahan logika tersebut. Barangkali hanya bisa diyakini dengan sebentuk bahasa langit belaka—yang kehadirannya bisa dirasakan meski tak perlu dibuktikan. Semisal, mengapa puisi tetap ditulis hingga kini bila mustahil dikomunikasikan? Tak lain karena sudah menjadi takdir puisi dan di luar takdirnya telah terlampau banyak campur tangan yang mendekati kecurangan, kejahatan.

Problem serupa tapi tak sama, terjadi pada masih adanya pembaca puisi yang mendeklamasikan puisi di depan publik. Kenyataan ini boleh jadi semacam “usaha keras kepala” untuk memberi makna puisi kepada orang lain—inilah usaha paling tersia-sia. Seberapa pun besar atau sekecil apapun pendengar atau pembaca puisi yang berhasil memaknai sebuah puisi, hal itu adalah masalah yang sama sekali lain. Bukan masalah puisi dan bukan pula masalah pengalaman religius yang melatari lahirnya puisi tersebut, apalagi masalah hubungan penyair, puisi dan penikmatnya.

Tepatnya hal itu adalah seberapa menyala daya tangkap penikmat, imaji, perasaan, intuisi, penafsiran dan sebagainya yang sama sekali tidak tergantung kepada sepotong puisi. Puisi yang sama dalam suasana yang lain, sanggup membawa pemaknaan yang berbeda. Apalagi sepenggal puisi yang berbeda. Artinya, tradisi pembacaan puisi sebetulnya kekonyolan yang dimaklumi demi atas nama baik puisi dan harga diri manusia ketika itu.

Sebetulnya, hal yang tak jauh berbeda bisa ditarik dengan garis lurus masalah perpuisian (berikut keragu-raguannya) adalah terkait dengan penerbitan buku-buku puisi yang masih berlangsung. Juga kritikus-kritikus yang menafsir, memberi makna atau menganalisa dan kemudian menempatkan puisi dalam sejarah perpuisian. Terhadap usaha penerbitan, tanpa mengurangi atau menambah kejahatan pada puisi, menempatkan usaha penerbitan buku puisi sebagai kegiatan paling konyol dari yang paling konyol adalah hal mudah. Setiap penerbitan senantiasa berorientasi pada usaha laba dan bukan nirlaba, tapi puisi tidak pernah bisa dijual. Tidakkah dua hal ini antara penerbitan dan penjualan puisi semata-mata hanya bermaksud mencoba menciptakan misteri yang membingungkan saja. Bukan misteri dalam arti terhadap yang asali dan senantiasa menjadi inspirasi.

Lalu kritikuslah, yang paling dekat dengan kejahatan terhadap puisi. Meski hanya kritikuslah yang sahih menggunakan bungkus keilmuannya atas nama pisau bedah puisi. Bahkan, boleh jadi yang terjadi sesungguhnya adalah kritikuslah otak dari seluruh kejahatan terhadap puisi ketika: membekukan puisi dalam aliran tertentu. Lima kata terakhir ini bisa penulis ganti dengan idiom yang pasti—inilah kejahatan.

Lantas apakah sesungguhnya puisi itu?
Barangkali takdir puisi itu serupa dengan kodrat sejarah ketika tak seorang pun yang berhak memfetakompli objektif atas namanya. Puisi adalah puisi. Pembaca puisi, kritik, tafsir itu bukanlah puisi itu sendiri.

Kecenderungan manusia untuk mempertimbangkan pengetahuan secara konseptual dan eksperimen juga menjadi hak asasi bagi puisi. Mungkin masalahnya hanya dua secara konseptual bisa serupa jalan keluar atau pintu menuju alam cita. Sebaliknya sebagai gagasan pun berpeluang bagai ruang jebakan yang menyebabkan manusia tak melakukan apa-apa—seperti penyair yang tak membuat syair. Namun, begitulah takdir puisi tetap harus ditulis. Mungkin tidak untuk dibaca apalagi untuk dimuat di media.[]

*) Penulis adalah pengarang, bergiat di Komunitas Keluarga (Kelompok Intelektual Asal Lingkungan Jalan Airlangga), Kini bekerja selaku Head of Arts and Cultural Outreach, The Center for Religious and Community Studies (CeRCS) Surabaya.

Rabu, 10 Maret 2010

Kisah Tragis Pejuang Dari Negeri Paman Sam

Muhammadun AS*
http://travel.kompas.com/
Judul buku: My Jihad
Penulis: Aukai Collins
Penerbit: Sinergi Jakarta, 2009
Tebal: 316 halaman

Dalam konsep agama Islam, jihad merupakan bukti kesungguhan keimanan Muslim dalam mentransformasikan ajaran agama dalam realitas sosial. Jihad dilakukan demi menegakkan kemaslahatan sosial kepada publik. Orang yang berjihad (Mujahid), akan mengorbankan segala yang dimiliki demi membela keimanan dan kemaslahatan. Semangat jihad umat Islam dewasa ini lebih banyak ditampakkan dalam berbagai praktek kekerasan dan bunuh diri, bukan menolong dan memberdayakan sesama manusia. Tidak salah kalau kemudian term terorisme selalu dilekatkan kepada umat Islam dewasa ini.

Dalam buku ini, semangat jihad ditunjukkan seorang muallaf asal Amerika Serikat, Aukai Collins, dalam membantu saudara Muslim yang tertindas. Muallaf keturunan Irlandia tersebut mengarungi jalan hidupnya dengan berliku-liku. Dengan kesungguhan dan niat hati yang jernih, Collins mengkhidmatkan hidupnya untuk membantu saudara seimannya di Chechnya, Kashmir, Afghanistan, dan Kosovo. Buku yang ditulis sendiri oleh Collins merupakan kisah perjalanan hidupnya menemukan cahaya agama Islam.

Pada awalnya, ia melihat Islam sebagai agama yang mengajarkan umatnya akan kekerasan dan kekejaman. Jihad yang dilakukan Muslim dipaminya sebagai bentuk terorisme yang mengancam masa depan peradaban dunia. Namun karena mendapatklan hidayah, ia justru apresiatif terhadap Islam. Collins resah, mengapa Islam diabad modern selalu dijadikan musuh besar Barat? Mengapa hanya bermodalkan sederhana, semangat jihad umat Islam membela penjajahan Barat justru malah semakin bergelora? Perenungan-perenungan inilah yang menjadikan luluh hatinya. Ia tertarik dengan Islam dan akhirnya menyerahkan diri sepenuhnya untuk mengabdi kepada kemaslahatan umat.

Mengapa Collins memilih menyelami dunia jihad dalam memahami Islam? Tak lain karena ketertindasan yang mendera umat Islam di berbagai belahan dunia. Dan ironisnya, kaum Barat seenaknya sendiri menuduh mereka sebagai kaum teroris. Melihat ketidakadilan tersebut akhirnya Collins masuk keanggotan FBI dan CIA sebagai agen antiterorisme. Selama bekerja di FBI dan CIA, Collins melihat dengan mata sendiri, bahwa berbagai konflik dan kekerasan global selalu dicampurtangani oleh Amerika. Konflik panjang yang mendera Timur Tengah dan gagalnya dunia Islam membangun alinsi global adalah contoh keterlibatan Amerika. Jargon demokrasi dan kebebasan yang selalu digelorakan AS dalam berbagai diskusi dan seminar, dalam parkteknya ternyata hanya omong kosong belaka.

Tidak hanya itu, istilah terorisme sejatinya adalah buatan FBI dan CIA. Dengan mendikte orang atau kelompok tertentu sebagai teroris atau penjahat kemanusiaan, AS dengan arogansi dan otoritarianisme menghancurkan dan meluluhlantakkan kelompok tersebut. Inilah sejatinya yang dilakukan AS dewasa ini, sehingga Afghanistan dan Irak hancur-lebur mengenaskan. Collins melihat AS sendiri sebenarnya ancaman peradaban dunia di masa depan.

Perjuangan Collins dalam buku ini terbagi dalam tiga kisah. Kisah pertama adalah perjalanan jihadnya dari San Siago (Amerika Serikat) ke Afghanistan melalui Frankfurt, Wina, Pakistan, dan Kasmir (1993), Afghanistan (musim dingin, 1993-1994) dan perjalanan pertamanya ke Chechnya (1994-1995). Di Chechnya, Collins melihat bahwa kolonialisme Rusia sangat menyiksa umat Islam.

Ironisnya, banyak sekali umat Islam yang tidak membela saudaranya, justru malah menjadi agen Rusia menghancurkan saudara sendiri. Demikian juga di Afghanistan. Collins melihat pertentangan mazhab agama masyarakat Afghanistan masih dibawa ketika Rusia menjajahnya. Bagi Collins, fenomena tersebut adalah sebuah ketimpangan, bahkan bencana yang sangat mengenaskan, karena antar sesama sendiri, saling menjatuhkan dan menyengsarakan.

Kisah kedua menceritakan kehidupannya sebelum masuk Islam. Sejak kecil, Collins hidup penuh sengsara. Sering pindah-pindah dari satu tempat ketempat lain. Berngkat dari kekelaman itulah, dia merasakan pedihnya hidup, dan akhirnya malah mendapatkan hidayah memeluk Islam. Dari latar belakang hidupnya yang kelam, tidak salah kalau keberaniannya menjadi mujahid begitu bulat denganb menyusuri berbagai belahan dunia Islam.

Kisah ketiga adalah perjalanan hidupnya meluhat pengkhiatan CIA terhadap berbagai konflik dan kekerasan global yang mendera dunia, termasuk peristiwa 11 September 2001. Lebih jelas Collins menyatakan, ''Mereka tidak ingin Anda mengetahui bahwa tak ada perang yang sebenarnya melawan terorisme. Mereka tidak ingin Anda mengetahui bahwa sebagian dari pembajak pesawat dalam serangan 9/11 telah diketahui oleh FBI sejak tahun 1999.''

Apa yang diceritakan Collins dalam perjalanan jihadnya sangatlah inspiratif. Kisah-kisahnya akan menggugah kesadaran persaudaraan sesama manusia melintasi batas negara dan asal-usulnya. Collins juga mengajarkan kita bagaimana mengarungi kehidup[an ditengah kekelaman, kemunafikan, dan kekerasan. Collins tidak lari dari beragam persoalan, dia justru menghadapi dengan gagah berani tanpa mengenal takut dan lelah. Collins juga tidak mengharapklan pujian dan sanjungan publik atas yang dilakukan.

Apa yang dituliskan dalam buku ini semata untuk berbagai pengalaman dan berbagi ilmu terhadap sesama, sehingga pembaca diharapkan tergugah kesadarannya untuk membela kekejaman dan ketidakadilan global yang mendera peradaban manusia dewasa ini.

*) Pembaca Buku, Peneliti Center for Pesantren and Democracy Studies (Cepdes) Jakarta.

Gerakan Pena Kaum Sarungan

Judul Buku : Jalan Terjal Santri Menjadi Penulis
Penulis : Rizal Mumazziq Zionis, dkk.
Editor : Tsanin A. Zuhairi, S,Hi, M.Si.
Prolog : Prof. Dr. H. Nur Syam, M.Si
Penerbit : Muara Progresif, Surabaya
Cetakan : I; 2009
Tebal : vii + 224 halaman
Peresensi : Anwar Nuris*
http://www.nu.or.id/

Verba volant, scripta manent(kata-kata akan sirna, tulisan akan membuatnya abadi)

Di tengah maraknya santri pesantren saat ini yang sindrom jejaring sosial semacam Facebook sebagai media sharing dan menulis, terdapat anekdot menarik yang berkembang dikalangan mereka. Seorang santri yang tidak mau dan mampu menulis, ibarat burung bersayap satu. Burung itu hanya mampu meloncat dari satu dahan ke dahan yang lain, atau terbang pendek dari satu pohon ke pohon lain yang jaraknya sangat dekat. Santri yang tidak mau menulis hanya mampu mengaji dan mengkaji dari satu halaqah ke halaqah yang lain. Santri yang mau menulis akan mampu mengembangkan pemikiran dan ilmu mereka lebih luas, tanpa dibatasi oleh sekat apapun, terlebih di era digital seperti sekarang ini.

Mereka (santri) sepertinya tersihir oleh lembar sejarah kepenulisan para pendahulunya. Aviecena (Ibnu Sina) yang dikenal karena kepakarannya di bidang kedokteran. Buah karyanya berjudul al-Qanuun fit-Thibb menjadi rujukan beberapa fakultas kedokteran di Barat. Bahkan dengan karyanya itu, ia dinobatkan sebagai bapak kedokteran dunia. Selain itu ada Imam al-Ghazali dengan magnum opus-nya Ihya’ Ulumiddin yang konon menjadi rujukan negeri Barat dan Eropa selama lebih kurang 7 abad lamanya. Al-Khawarizmi, Omar Khayyam, Nashir Al-Din Thusi sang profesor Matematika, Ibnu Al-Haytam yang ahli Eksprimentalis, Al-Biruni sang pegiat Fisika, Ar-Razi yang menggeluti ilmu Kimia, dan masih banyak yang lainnya.

Buah pemikiran cendikiawan yang dituangkan dalam bentuk tulisan tersebut telah merubah peradaban dunia hingga seperti sekarang. Berkat buku yang di dalamnya terdapat banyak ilmu pengetahuan telah menjadikan dunia lebih berwarna. Alam tidak lagi gelap karena Thomas Alfa Edison yang telah menemukan listrik. Manusia bisa bepergian cepat sampai tujuan dengan sarana kereta api berkat mesin uap yang ditemukan James Watt. Karya-karya mereka lah yang membuat mereka dikenal. Karya yang tidak lapuk oleh waktu, karena ditulis dalam sebuah media bernama buku atau kitab, sehingga bisa dinikmati oleh generasi yang jauh di bawahnya.

Dalam konteks Indonesia, Tradisi kepenulisan juga amat kuat. Banyak cendekiawan Islam di negeri ini yang menulis buku, kitab, atau pun karya tulis yang lain. Mayoritas dari mereka dididik dan dibesarkan oleh lingkungan pesantren.

Sebagaimana kita ketahui, pesantren memiliki tradisi unik dan unggul yang jarang didapat pada lembaga lain. Dan salah satu keunikan tersebut adalah tradisinya dalam mengembangkan warisan keilmuan ulama salaf (salafus shalih). Pola gerakan yang dilakukan ulama salaf untuk memperoleh dan mentransformasikan keilmuannya tidak hanya membaca dan mengkaji, tetapi berkontemplasi dan kemudian menerjemahkan pemikirannya dalam bentuk tulisan.

Mereka (ulama salaf) mampu melahirkan dan mewariskan karya-karya tulis yang ternyata masih dipelajari oleh berbagai pondok pesantren atau sekolah sampai sekarang. Tidak sedikit pula dari karya ulama atau kiai Indonesia yang dikenal luas di berbagai belahan bumi. Syekh Nawawi Al-Bantani, Syekh Mahfudz Al-Tirmasi, atau Syekh Yasin Al-Fadani Al-Makky adalah di antara para punggawa pesantren di Indonesia yang karyanya telah melabuhi pemikiran intelektual Islam di berbagai Negara.

Selain mereka, “santri Indonesia” yang lain juga banyak menelorkan karya-karya yang bagus dan monumental. Beberapa nama yang dapat disebut di antaranya adalah KH. Ma’shum Ali dengan al-Amtsilatut Tashrifiyah, KH. Hasyim Asy’ari dengan Adab al-Alim wa al-Muta’allim, KH Bisri Mustofa dengan Tafsir al-Ibriz dan KH. Sahal Mahfudz dengan Thariqah al-Ushul ala al-Ghayah al-Ushul. Rata-rata tulisan mereka tetap di baca saat ini bahkan menjadi referensi utama dalam setiap kajian maupun pengajian dilingkungan pesantren.

Dus, santri sebagai salah satu elemen pesantren tidak hanya ta’dzim terhadap pemikiran gurunya, tetapi juga patuh dan meniru dalam usaha mendapatkan pemikiran kreatif. Kreatifitas menulis yang dikembangkan kaum santri akan menjadi media dakwah sejati bagi umat Islam dan untuk generasi mendatang nanti. Pesantren tidak akan disebut lembaga eksklusif bila mampu melahirkan pemikiran kreatif serta ide-ide cerdas demi pengembangan dan dakwah Islam sesuai dengan visi dan misi pesantren.

Oleh karena itu, persepsi yang berkembang bahwa tradisi menulis di kalangan santri kini lengang dan seakan mati suri itu tidak benar adanya. Buku Jalan Terjal Santri menjadi Penulis ini hadir sebagai bukti bahwa kaum santri intelektual (pesantren) telah "berusaha" mengikuti gerakan pena para pendahulunya meskipun hanya sebatas tulisan pendek (opini, artikel, antologi sastra, kolom, dan lain-lain) yang tersebar di media massa maupun elektronik.

Buku ini juga sebagai antitesa terhadap anggapan mayoritas masyarakat bahwa menulis itu adalah bakat. Faktanya, menulis dapat dipelajari asal ada kemauan, keberanian, dan ketekunan berlatih. Dengan kemauan kuat, setiap orang akan mahir menulis. Membaca teori saja tidak pernah cukup. Ibarat orang belajar berenang, kalau hanya membaca teori tanpa pernah mempraktikkan, tentu dia tidak akan bisa berenang. (hal. 20-21)

Buku setebal 224 halaman ini merupakan kumpulan tulisan (curhat) tentang lika-liku penulis pemula maupun yang sudah agak tua dalam upaya mnyuratkan ide yang tersirat. Mereka yang mayoritas santri asli Jawa Timur ini sebagian besar telah menempuh Perguruan Tinggi. Mereka aktif diberbagai kajian dan aktivitas yang tak jauh dari minat mereka. Adalah Rijal Mumazziq Zionis, Noviana Herliyanti, Nur Faishal, Mohammad Suhaidi RB, Ach. Syaiful A’la, Azizah Hefni, Ahmad Muchlish Amrin, Salman Rusydi Anwar, Muhammadun AS, Ana FM, Ahmad Khotib, Fathorrahman JM, dan Hana Al-Ithriyah.

Dengan menulis mereka dapat mengatasi rasa amarah, iri, kelemahan diri, dan kebencian yang ada di hati. Menulis jelas sangat membantu mereka untuk mengatasi rasa sok tahu. Menulis dapat membuat diri lebih berhati-hati dalam memutuskan sesuatu.

Dari tulisan-tulisan mereka dalam buku ini dapat diketahui bahwa jalan terjal yang dimaksud yaitu; memelihara keinginan dan semangat yang kuat, manajemen waktu yang mapan, banyak membaca dan berfikir, optimistis, komitmen dan idealisme yang tinggi, membebaskan diri dari keterikatan rasa salah, serta mencari dan menemukan tanpa menunggu berpangku tangan.

Sebuah buku yang melelahkan hingga mata tak mau terpejam.

*) Peresensi adalah alumnus Pondok Pesantren Nasy-atul Muta’allimin Gapura Sumenep Madura, sekarang nyantri di Pondok Budaya IKON Surabaya

Selasa, 09 Maret 2010

Kritik Sastra dan Alienasi Kaum Akademisi

Fahrudin Nasrulloh*
http://www.surabayapost.co.id/

Seperti apakah perkembangan sastra mutakhir Jawa Timur? Pertanyaan ini tidak gampang dijawab dalam satu penyoalan tapi justru dari sanalah kita bisa terus berupaya menggalinya dari berbagai perspektif. Perkembangan sastra di Indonesia boleh dikatakan sangat kuat dan menggembirakan. Munculnya berbagai jenis-bentuk dan genre sastra dalam dekade terakhir ini memperkaya khasanah sastra kita; melalui beragam perspektif dari hasil riset mereka di dalam kehidupan dan perkembangan persoalan di wilayah perkotaan yang memunculkan karya-karya yang dapat diandalkan dan mampu mengisi perbendaharaan rohani. Secara khusus misalnya, munculnya para penulis perempuan yang menguakkan diri mereka ke dalam masyarakat melalui novel, cerpen, dan puisi yang nampak seiring dengan tema-teman feminisme yang juga disorot dengan berbagai perspektif lain.

Begitu pula dengan para penulis lainnya yang berusaha untuk lebih memperkaya sastra melalui sejarah lokal melahirkan karya-karya yang bukan hanya dalam perspektif sastra saja, tapi bisa juga sebagai kontribusi di dalam perkembangan pemikiran sosial, antropologi, etnografi, keagamaan, dan lain-lain. Yang menarik, kini kita temukan suatu cara kerja dari kalangan penulis yang dengan intensif melakukan riset dan studi perbandingan melalui penelitian dari perspektif sosiologis, antropologi, etnografi, nilai-nilai religius, politik, etos kerja ekonomi. Semuanya itu dijadikan sebagai bahan dalam penciptaan karya.

Marilah kita ambil contoh puisi karya Mardi Luhung, salah satu penyair Jawa Timur yang kini sangat menonjol bukan hanya di wilayahnya saja, namun juga berpengaruh dalam kehidupan sastra di Indonesia. Puisi yang dihasilkan dari pengamatan yang intensif terhadap berbagai cerita lokal, legenda, mitos, fabel, dan celoteh humor warga serta cara pandang hidup dalam kehidupan seks dan sejarah leluhur keluarga menjadi bagian dari proses penciptaan penyair yang berdomisili di Gresik ini. Sama halnya dengan Nurel Javissyarqi, penyair Lamongan, melalui proses perjalanannya dalam studi keagamaan selama 8 tahun dan proses pencarian dasar-dasar pemikiran lokal yang dipadukan dengan keyakinannya serta sejumlah arus pemikiran global dari para pemikir pos moderen hingga membentuk keunikan dan kelebihan tersendiri pada puisi-puisinya.

Pada wilayah Novel, Mashuri yang dengan tekun dan nampak kuat menciptakan suatu kerangka dan muatan lokal membuat banyak kalangan pengamat sastra di Jakarta terperangah. Sementara itu Zoya Herawati yang kini sedang menyelesaikan suatu novel yang paling tebal di wilayah Jatim dan Indonesia, sekitar 7-8 ratus halaman, merupakan hasil penelitian sepanjang 10 tahun di Madura. Novel dengan latar belakang sejarah sosial pada tahun 1960-an dan ditarik hingga kini, serta ulang-alik pada masa lampau secara terus-menerus, membuktikan, bukan hanya secara teknik, kepiawaian Zoya. Tapi juga memberikan perspektif dan membongkar posisi kaum perempuan akibat sistem politik yang tidak adil.

Itulah kilasan singkat sebagai ilustrasi dari perkembangan mutakhir sastra di Jawa Timur, yang sesungguhnya masih terdapat bukan hanya satu atau dua namun belasan atau bahkan puluhan penulis yang bisa dihandalkan. Jawa Timur sangat mungkin bisa menjadi simpul sejarah sastra seperti juga sastra Jawa lama yang pada abad ke-16 sangat kuat mempengaruhi perkembangan di wilayah Jawa Tengah (baca: Mataram), seperti yang pernah didedahkan oleh de Graaf.

Namun, perkembangan sastra Jawa Timur yang menggembirakan itu, tidaklah didukung oleh atmosfir tradisi kritik yang baik. Misalnya kita bertanya-tanya, siapakah kalangan kampus atau akademisi yang menulis kritik sastra mutakhir di Jawa Timur? Kita dapat menoleh dan mempertanyakan hal ini pada kalangan akademisi, selain kita sudah bosan disesaki akan data jumlah peminat jurusan sastra Indonesia yang setiap tahunnya meluluskan ratusan orang yang rata-rata tidak jelas orientasi spiritnya. Sementara itu kita juga menyaksikan peningkatan strata pendidikan para pengajar yang kini rata-rata magister dan tak sedikit yang meraih doktor. Lalu, untuk apakah jenjang pendidikan yang tampak tinggi dan wah itu dan berada dalam posisi sebagai akademisi jika mereka tidak melecut diri untuk menggali dan mengembangkan khasanah sastra mutakhir? Adakah mereka menganggap sastra mutakhir Jawa Timur tak layak untuk dikupas dan dijadikan bahan studi yang sebenarnya melimpah itu?

Yang menyedihkan adalah dari kalangan akademisi kita, pada sisi lain mereka tidak juga melakukan penelusuran pada masa silam, tiadanya kupasan sastra di masa lampau, dan oleh sebab itu sastra mutakhir tak pula tersentuh. Ironi lainnya, justru kalangan penulis sangat intensif melakukan penelitian kembali dalam proses penciptaan karyanya. Jadi, apa sesungguhnya tugas akademisi, selain mengajar, bukankah melakukan penelitian? Ataukah mereka mengalami sejenis disorientasi atau aborsi intelektual? Bila memang demikian, boleh jadi para akademisi telah terkubang dalam kondisi alienasi, dan tak berbeda seperti kebanyakan pegawai negeri!

*) Penggiat Komunitas Lembah Pring Jombang.

Sajak-Sajak Saut Situmorang

http://sautsitumorang.wordpress.com/
27 Mei 2006

aku kehilangan jalan pulang kepadaMu, kekasihku

tikungan jalan dan batu kerikil
yang selalu menyapaku
dengan hangat matahari tropik sore itu
sudah tak ada di tempatnya yang dulu.
begitupun rumah rumah batu sederhana
dan gang kecil berlobang
yang membawaku
ke gairah matamu
yang selalu menunggu
di anak kunci pintu.
anak anak masih ribut
main layangan,
perkutut dan cicakrawa
masih saling tukar nyanyian
tentang kampung halaman

yang hilang dari ingatan…

aku kehilangan jalan pulang kepadamu, kekasihku
dan cuma mampu berdiri
termangu
berusaha membayangkan
senyummu

harum tubuhMu pun hilang
dicuri bumi di subuh khianat itu!

Jogja, 21 Juli 2006



bantul mon amour

di antara reruntuhan
tembok tembok rumah, di ujung
malam yang hampir sudah, kita hanyut
dipacu selingkuh kata kata, seperti bulan
yang melayari tepi purnama di atas kepala. rambut kita
menari sepi di angin perbukitan
yang menyimpan sisa amis darah
& airmata.
lalu laut menyapa
dengan pasir pantai & cemburu
matahari pagi. tak ada suara
burung laut, para pelacur pun
masih di kamarnya bergelut. dalam kabut
alkohol aku biarkan kata kata
menjebakku dalam birahi
rima metafora. kemulusan kulit
kupu kupumu & garis payudaramu
yang remaja membuatku cemburu
pada para dewa yang, bisikmu,
menggilirmu di altar pura mereka. aku menciummu
karena para dewa tidak
memberimu cinta sementara aku
cuma punya kata kata
yang berusaha melahirkan makna.

jogja 2007



aku ingin

aku ingin bercinta denganmu
waktu gempa lewat

di kota kita.

saat itu
pasti tak ada
keluh cemas, sinar mata ketakutan
atau gemetar kakimu
yang membuatku termangu,

berbuat apa tak tahu.

aku ingin bercinta denganmu
waktu kematian itu
kembali,

mengusik retak retak lama
di dinding rumah
yang tegak

berusaha tetap gagah.

aku tak ingin
melihat kematian

mempermainkanMu.

Jogja, 9.8.2007

Mpu Prapanca

MT Arifin
http://suaramerdeka.com/

”Ambeg sang maparah Prapanca kapitut mihati para kawiswarang para Milwamarnna ri kastawa nrepati dura pangiket ika lumra ing sabha Aning stutya ri jong bathara Girinatha…,” demikian bunyi Pupuh XCIV/ 1 kakawin Nagarakretagama, menerangkan bahwa orang yang dengan paraban Prapanca, tergerak hati menyaksikan para pujangga besar di negara, ikut mengarang madah pujian untuk Baginda: tanpa harapan akan tersebar merata di istana. Ia hanya bermaksud memuji Baginda Bhatara Girinata….

Mpu Prapana adalah pejabat tinggi agama Buddha (dharmadhyaksa kasogatan) dan seorang kawi (sastrawan terdidik) Majapahit era Brawijaya III, yakni saat berkuasa Dyah Hayamwuruk yang bergelar Sri Rajasanagara.

Beberapa syair dalam metrum kakawin gubahannya: Parwasagara, Bhismaranantya, dan Sugataparwawarmnana, di samping Tahun Saka dan Lambang. Ia juga membabar keris Ki Nagakumaja 9 dhapur seluman, luk-13, pamor bendhasagada khadam Nagabhuwana yang dipersembahkan kepada Hayamwuruk. Namun karya puncaknya kakawin berupa Nagarakretagama (Sejarah Pembangunan Negara), yang terdiri atas 98 pupuh dengan judul asli ”Desawarnnana” (uraian tentang desa-desa) dan digubah di Desa Kamalasana yang terletak di lereng gunung, pada September-Oktober 1365. Penyebutan kata Nagarakretagama hanya tercatat pada kolophon yang ditambahkan pada akhir teks karya sastra. Kakawin ini ditemukan di Puri Cakranegara, Lombok (1894), dan jadi populer karena judul terbitan JLA Brandes: ”Nagarakretagama, Lofdicht van Prapanca opa koning Rajasanagara, Hayam Wuruk, van Majapahit, uitgegeven naar het eenige daarvan bekende handschrift aangentroffen in de puri te Tjakranegara op Lombok” (1902), dan terbitan terjemahannya oleh Prof H Kern (1905).

Nagarakretagama merupakan pujasastra, yakni suatu karya sastra yang digubah untuk menjunjung tinggi raja yang tengah berkuasa, dengan alasan cinta bakti kepada Baginda.

Karena raja adaah sang panikelan tanah (sang pelindung yang dihormati) sehingga syair-syairnya cenderung sarwanges dengan menghindari hal-hal yang negatif. Namun, berbeda dari metrum kekawin semacam yang biasanya digubah atas perintah raja yang berkuasa, Nagarakretagama justru ditulis atas inisiatif Prapanca setelah diberhentikan dari jabatan dharmadyaksa kasogatan (dalam usia muda), dan kemudian meninggalkan ibu kota menjadi seorang pertapa (kawi sunya) di pedesaan. Karena itu tidaklah tepat anggapan dari Berg (1965), yang mengira jika Nagarakretagama merupakan a priestly statement atau amandemen Prapanca yang fungsinya seperti Arjunawiwaha dan pujasastra Sanskrit lain.

Pada era itu, terdapat pula kakawin besar lain yang juga bersifat pujasastra, seperti karya Mpu Tantular: Arjunawijaya (Kemenangan Arjuna) dan Sutasoma atau Porussadasanta (Si Pelahap Manusia yang Ditundukkan). Kedua kisah dengan topografi India, sajiannya mengandung epik, didaktika agamis dan moralistik. Dibandingkan karya-karya Mpu Tantular, kekuatan Nagarakretagama terletak pada sajian mengenai masyarakat Jawa abad ke-14 sebagai contemporancity of evidence, yakni penulis adalah saksi mata dan jadi bagian dari peristiwa yang ditulis itu. Corak sosial dari diskripsi-deskripsi liris Nagarakretagama telah memberikan informasi tentang kehidupan istana Majapahit, roda pemerintahan, aktivitas kemasyarakatan dan sejarah Singasari.

Suatu gambar kesinambungan dan perubahan yang berkaitan dengan dimensi waktu dan ruang, serta aspek struktural dan proses-proses kesejarahan yang faktual. Fakta-fakta yang fragmentatif disusun dalam sistematika metrum kakawin, digubah dengan citarasa bahasa dan kidung bermutu tinggi serta indah.

Jika membandingkannya dengan kitab-kitab Babad Tanah Jawi yang sarat mitologi —unsur sejarah hanya sebagai faktor sekunder— terasa sekali Nagarakretagama menyajikan uraian reportase mendalam dengan menempatkan sejarah sebagai faktor primer sehingga kakawin itu merupakan karya sastra sejarah tertua (bersama Serat Pararaton dan Tantu Panggelaran), yang keandalan informasinya dapat dibandingkan peninggalan prasasti dan piagam seperti termuat dalam Oud-Javaansche Dorkonde, di samping berita-berita dari sumber negeri China.

Yang menggelitik pula ternyata Prapanca adalah nama samaran dari penggubah metrum kakawin Nagarakretagama. Dalam pupuh XCVI/ I dinyatakan prapanca pra cacah panca, artinya prapanca adalah pra-lima buah, bercirikan pra-cacah (bicaranya lucu), pra-pongpong (pipi sembab), pra-cacad (mata ngeliyap), pro-congcong (ketawanya ngakak). Menurut H Kern, kata prapanca artinya kesedihan rintangan untuk laku utama (penyesatan, nafsu, kesombongan). Mengapa Prapanca dijadikan nama samaran? Jawaban muncul setelah dikaitkan dengan pancaksara (lima-aksara) yang ditulis Prapanca saat mengunjungi Taman Sugara.

Tatkala Slametmulyana mengontrol sinyal Nagarakretagama dengan Piagam Trowulan (kepingan III) dan Piagam Sekar produk era Hayamwuruk, menemukan nama dharmadhyaksa kasogatan Dang Acarya Nadendra. Nadendra (Nada-Indra) merupakan pejabat saat itu, yang namanya terdiri atas lima aksara: Na, Da, Na, Da, Ra. Simpulannya, Prapanca adalah nama samaran dari Dang Adarya Nadendra, putra dharmadhyaksa kasogatan Dang Acarya Kanakamuni. Penggunaan samaran Prapanca, dimungkinkan Nadendra tengah diliputi kesedihan akibat diberhentikan dari jabatan. Ia menjadi seorang pertapa di Desa Kamalasana, yang dalam karyanya sering pula memakai nama samaran Mpu Dusun. Suatu otoritas sastra tinggi sebagai antitesis sastra-kedhaton.

Penyair Muda Yogya Sekarat?

Mahwi Air Tawar
http://www.kr.co.id/

SEBAGAIMANA pernah disinggung dalam sebuah pertemuan oleh penyair Raudal Tanjung Banua dan cerpenis Joni Ariadinata. Bahwa, kini Yogya telah kehilangan penulis puisi yang benar-benar berkualitas karyanya. Terlepas benar dan tidaknya anggapan di atas, sejauh ini karya-karya penulis muda Yogya yang kadang-kadang nampang di media, sepertinya memang biasa-biasa saja. Justru, yang sangat pesat perkembangannya, baik secara kualitas maupun produktivitas ada di daerah lain. Penyair Yogya harus mengakui hal itu, bahwa daerah lain, seperti Lampung misalnya, jauh lebih bermutu karyanya ketimbang Yogya, yang konon pernah melahirkan banyak penyair kenamaan di jagad sastra nasional.

Namun bertolak dari anggapan penyair dan cerpenis di atas, bukan berarti kesusastraan di Yogya sekarat. Justru sebaliknya. Kini, di sini semakin menjamur penulis-penulis prosa (novel maupun cerpen), yang telah banyak dibukukan. Dan tentu saja, mun-culnya prosa maupun novel dari penulis muda Yogya itu terlepas dari standar kualitas sebuah karya sastra.

Saya tidak tahu pasti, kenapa mesti novel dan cerpen yang menjamur dan seakan berlomba dibukukan. Namun sepintas, penerbitan atas prosa, terutama novel, tak lebih hanya sekadar angin-anginan saja. Asal laris terjual di pasaran, dapat dipastikan karya tersebut akan dicetak ulang. Percayalah. Menggiurkan, bukan?

Lalu puisi? Geliat penyair muda Yogya, kini di ambang kematian. Marilah kita bertandang, sebelum napas kreativitasnya benar-benar sekarat. Biar sama-sama tahu sebab musababnya, meski tidak utuh, setidaknya kita tahu, ada apa dengan penyair muda Yogya.

Tapi sebelumnya, izinkan saya menyapa mereka dulu: Hei, Penyair Muda Yogya, apa kabar? Sehat-sehatkah kalian? Semoga tidak sekarat!

Sebenarnyalah, kalau kita mau menilik lebih jauh tentang penulis-penulis muda Yogya, sangatlah tak terhitung jumlahnya. Terlepas dari kualitas. Sekadar menyebut. Ada Lingkar Sastra Lepas, yang dimotori Ahmad Muhklis Amrin. Sarkem UNY, yang rutin mengadakan sidang puisi seminggu sekali, bertindak sebagai lurahnya An Ismanto, KUTUB diasuh oleh Zainal Arifin Thoha. Bengkel Sastra Yogya, Sanggar Sastra Gunung Gamping, Rumah Poetika, Studio Pertunjukan Sastra (SPS) yang beberapa bulan lalu menggelar Mimbar Penyair Muda Yogya. Perlu juga diketahui, SPS ini dimotori oleh Hari Leo. Dan masih banyak lagi. Termasuk yang berproses secara individu, misal, Agus Munaji dan lain sebagainya.

Nah, merujuk pada beberapa kantong komunitas sastra di atas dan individu, salah kaprah bila kita beranggapan, dengan merujuk pada penerbitan buku dan media (koran) atas karya-karya mereka. Bahwa penulis muda Yogya di ambang kematian, lantaran karyanya tidak pernah nampang di media, atau diterbitkan dalam bentuk buku.

Disadari atau tidak, memang ada penulis (penyair) lebih memilih tidak mempublikasikan karyanya ke media atau menerbitkannya dalam bentuk buku. Tentu bukan berarti karya mereka tak layak muat. Sebab layak dan tidaknya itu subjektif, tergantung selera redaktur budaya sebuah media, di samping memang dari kualitasnya sendiri. (Tapi sebentar, bolehkah saya bertanya. Adakah puisi yang sering dipublikasikan di media, secara kualitas sudah teruji?) Relatif tentu saja.

Jangan-jangan dari penulis puisi yang tidak mempublikasikan karyanya itu, atau yang tak pernah dimuat, karyanya jauh lebih dahsyat ketimbang yang sudah dimuat di koran, atau dibukukan? Oleh karenanya, menarik untuk diikuti, sebuah event yang diprakarsai oleh salah satu sekumpulan penulis muda yang bernaung di Rumah Poetika.

Kegiatan itu bertema Temu Penyair Muda 4 Kota, Yogya, Bandung, Bali dan Padang, yang akan dilangsungkan di Yogyakarta, pada 29-30 Desember 2006. Agendanya: Pertama, Membaca Peta Sastra Nusantara dari 4 Kota. Melibatkan penyair-penyair muda dari 4 daerah, baik yang berproses lewat komunitas maupun individu. Kedua,: Pengaruh Sastra Daerah di kancah Sastra Nasional.

Anda berminat mengikuti? Kirimkan karya Anda, dan mari berbagi, tentang proses berkarya dalam sebentuk tulisan, kirimkan ke alamat ini: Jalan Adisucipto, Gang Kunti No 84, RT 01 RW 01, Dusun Ambarrukmo atau di email kami: rumah_poetika@yahoo.com. Lalu, berkabarlah, bahwa kita belum sekarat!

*) Penulis adalah Koordinator Penyair Muda untuk Yogya dan pelaku sastra alapola.

Ketika Waktu Jadi Beku*

Tentang ‘Sepuluh Tahun Kemudian’-nya Hadjid Hamzah

Kuswaidi Syafi'ie*
http://www.kr.co.id/

Cinta tulis Sutrimo Edy Noor dalam salah satu sajaknya, membuat segalanya mungkin. Dan pasti bahwa kalimat sang penyair dari pesisir utara Jawa itu bukanlah merupakan jalinan idiom-idiom yang kosong: kalimat itu ingin mendedahkan tentang betapa dahsyatnya kekuatan yang terkandung di dalam cinta itu sehingga ia sanggup merobek berbagai keangkuhan apapun yang selainnya. Karenanya, baju kemungkinan senantiasa menjadi kehormatan yang disandangnya.

Tapi bersamaan dengan hal itu pula, cinta bukanlah merupakan sejenis kobaran ambisi yang tidak mau mengakui tentang adanya warna-warni dan jarak. Dalam cerpen Hadjid Hamzah yang berumbul Sepuluh Tahun Kemudian (selanjutnya disebut STK, termaktub dalam buku antologi cerpen Cinta Seorang Copet, Jakarta: Progres, 2003) permakluman tentang adanya perbedaan yang tajam dalam bercinta terjuntai dengan ramah. Di dalam permakluman ini, cinta dibiarkan menjalar dari masing-masing keduanya, tapi sekaligus juga tidak memaksakan diri untuk merobohkan pagar atau batas yang berdiri di antara keduanya.

Bagaimana kita bisa tenteram dengan hidup seperti itu? Bagaimana pula jadinya anak kita nanti? Ke masjidkah ia? Atau ke gereja? kata Surti pada kekasihnya, Hari Sudarlan: suatu wujud perbedaan yang di kalangan kebanyakan masyarakat masih seringkali tampil sebagai seonggok penghalang bagi terwujudnya sebuah keluarga yang diikat oleh tali pernikahan, yaitu perbedaan agama.

Di dalam cerpen yang pernah muncul di Majalah Sastra di tahun 1964 ini, perbedaan keyakinan yang cukup kontras dan dianggap substansial oleh kebanyakan orang itu oleh Hadjid Hamzah dijadikan demarkasi. Hal ini barangkali dimaksudkan untuk mengujicoba bagaimana cinta menghadapinya. Ibarat angin atau air: ketika dihadang, ia akan mencari tempat atau celah yang lain untuk memasuki atau melewati ruang.

Di dalam cerpen yang seolah bukan fiksi ini, demarkasi yang tandas itu bukanlah merupakan penanda bagi berakhirnya percintaan antara Surti dengan Hari Sudarlan. Yang terjadi di situ adalah berubahnya titik pusat: dari degup cinta yang bertaut secara fisik beralih ke orkestrasi cinta yang berdentam secara platonik.

Cinta yang bertaut secara fisik mengandaikan berlangsungnya penghabluran masing-masing diri secara utuh sehingga kedua pencinta itu dimungkinkan untuk mendapuk kenikmatan paling maksimal, baik secara lahir maupun batin. Itulah yang disebut puncak hakiki dari perjumpaan antara dimensi maskulin (jalaliyyah) dan dimernsi feminim (jamaliyyah) yang sejatinya merupakan turunan langsung dari dua gelombang sifatNya.

Sedangkan cinta yang berdentam secara platonik hanya bisa berlangsung di gorong-gorong yang benar-benar sunyi: ia berjingkrak di kedalaman imajinasi yang paling purba, membuat si pencinta seolah melampaui gugusan-gugusan wilayah, menembus berbagai limit yang tabu, menumbuhkan bunga-bunga yang paling ideal.

Cinta platonik itu mengindikasikan adanya dua hal sekaligus: di satu sisi ia memproklamirkan kesanggupan untuk senantiasa bertahan meskipun secara terus-menerus ditikam sunyi, sementara di sisi yang lain ia memperlihatkan kelemahannya sendiri untuk merengkuh realitas sehingga yang terpampang di hadapannya tak lebih dari sekedar bayang-bayang.

Walaupun demikian, cinta platonik itu tetaplah merupakan penyangga terakhir bagi kehidupan si pencinta. Andaikan tidak ada ruang kemungkinan untuk berkolusi dengan cinta platonik, para pencinta yang sial karena tidak sanggup mendapuk rialitas mungkin akan mengakhiri hidup mereka dengan ca-ra yang barangkali tragis: bunuh diri atau tindakan-tindakan apapun yang bernuansa mengenaskan. Nauudzu billahi min dzalik.

Menurut paradigma seorang hermeneut kontemporer di bidang teks-teks suci Alquran, Muhammad Syahrur, cinta platonik itu bisa dikategorikan sebagai al-hadd al-adna (batas yang paling bawah) yang bisa disandang oleh para pencinta. Inilah sebenarnya yang dimainkan oleh Hadjid Hamzah di dalam STKnya. Di dalam cerpen yang bernuansa suram ini,tragedi berjalan maju-mundur, kenangan masa silam dan pengalaman hari ini berjalin-berkelindan dengan sedemikian sublim, dengan terajut begitu rapi. Waktu yang sesungguhnya beringas lalu berubah seakan menjadi beku. Waktu psikis melampaui waktu kosmologis. Bukan matahari atau jam atau barometer apapun yang menjadi kemudi bagi waktu, tapi gemuruh jiwa yang tidak mau dibalut layu. Simaklah petilan-petilan berikut ini:

Ya, sebetulnya mengapa pula kita bertemu waktu itu kata Darlan. Dan kau memandang padaku. Dan aku memandang padamu. Mengapa? Lalu kita kenal. Jalan-jalan. Nonton film. Dan kita tak saling mengatakan bahwa kita sebenarnya mempunyai kutub-kutub sendiri dalam hidup kita.

Percakapan-percakapan semacam itu ataupun yang sejenisnya dalam cerpen ini tidaklah semata terjadi di waktu yang sudah jauh lewat, sepuluh tahun yang lalu, tapi juga berdengung-dengung pada sepuluh tahun kemudian ketika Darlan, atas nama cintanya yang tidak kunjung kisut itu, mengunjungi sebuah rumah makan yang dulu, persisnya sepuluh tahun yang lalu, disinggahi oleh Darlan dan Surti dalam suasana cinta yang sungguh mesra.

Usia boleh beranjak tua. Kulit boleh berubah jadi keriput. Kepala boleh jadi telah ditumbuhi uban. Tapi cinta yang bersenyawa dengan keabadian tidak mudah bertekuk lutut di hadapan benda-benda atau atribut-atribut yang telah digarong oleh waktu.

Dengan gambaran semacam itu, barangkali Hadjid Hamzah secara tidak langsung ingin menandaskan bahwa melalaui jendela agung yang bernama cinta, kesejatian manusia sesungguhnya sanggup menunggang waktu dengan, bijak dan bestari. Laalli ila man qad hawaytu athir.

*) Penyair, juga dosen Tasawuf di PP Universitas Islam Indonesia Jogjakarta.

Nafas Keislaman dalam Macapat

Otto Sukatno CR
http://www.kr.co.id/

METRUM Macapat, yang dalam kebudayaan Jawa dikategorisasikan sebagai Tembang Cilik (kecil), jika dikaji secara seksama, sesungguhnya memiliki pengutuban atau mencerminkan nafas tradisi tasawuf (tarekat) Islam yang klop dan harmonis. Tarekat, yang dimaknai sebagai jalan atau stadia manusia dalam mencari kembali bentuk agregasi hubungan ‘kebersamaan Illahi’ (kemakhlukan dan Ketuhanan/Manunggaling Kawula Gusti), tercermin secara nyata dalam nama-nama genre Macapatan tersebut.

Di mana urutan kesebelas nama tembang Macapat itu, tidak lain mencerminkan perjalanan manusia dari sejak lahir hingga kembali bersatu dengan Tuhan. Artinya, urutan tembang Macapat itu tak lain merupakan dialektika sosial kemanusiaan sekaligus spiritual-religius bagi manusia Jawa dalam mencapai derajat kemanusiaannya yang lebih baik, bermakna dan bermartabat sesuai nafas ajaran (tasawuf) Islam. Karena nama-nama tembang tersebut menunjukkan arti masing-masing sesuai dengan maksud, tujuan dan karakter yang harmonis dengan stadia kehidupan (individu) manusia, berhadapan dengan dimensi keilahian (hablum minallah).

Urutan metrum Macapat itu adalah:

1. Mijil artinya lahir/kelahiran;

2. Maskumambang (seperti emas yang hanyut) mencerminkan kehidupan manusia masa bayi. Yakni sejak lahir hingga bisa berjalan. Artinya bayi masa ini ibarat ‘emas’, jika tidak dijaga dan dipelihara secara baik, ia hanya akan (hanyut) sia-sia;

3. Kinanthi atau masa kanak-kanak. Di mana masa ini biasanya, ke manapun orangtuanya pergi, ia selalu ingin ikut. Sehingga dinamakan kinanthi (selalu minta dikanthi).

4. Sinom adalah cerminan masa remaja;

5. Dhandhanggula atau masa-masa yang ‘serba manis’ laksana gula. Tidak lain mencerminkan masa pubertas awal;

6. Asmarandana atau masa percintaan, memasuki usia perkawinan (Asmarandana; berasal dari kata ‘asmara’ dan ‘dahana’/api). Jadi Asmarandana artinya berkobarnya api asmara;

7. Durma atau masa ‘berdarma’. Yakni masa memasuki realitas kerja yang konkret (usia produktif), sebagaimana seorang ksatria dalam pandangan Hindu. Di mana Durma atau darma juga bermakna berdarma (sedekah) dalam pengertian religius;

8. Pangkur atau munkar. Yakni masa memalingkan diri (masa pensiun). Di mana Pangkur dalam hal ini lebih bermakna religius ‘mungkuri’ kenikmatan duniawi, untuk lebih mengejar kenikmatan ukrowi (akhirat/spiritual). Dengan jalan lelaku suci, nggegulang kalbu (membina keutamaan jiwa), mencari kekayaan batiniah, dengan banyak beramal dan beribadah untuk bekal kehidupan sesudah mati. Pangkur ini dalam konsepsi tasawuf Islam disebut Ujlah atau memalingkan diri dari kehidupan duniawi untuk menempuh jalan spiritual (tarekat). Atau Sanyasi, bertapa ke hutan dalam konsepsi teologi Hindu;

9. Megatruh (megat, putus dan ruh/jiwa). Saatnya manusia meninggal;

10. Pucung (pocong: memasuki alam kubur). Selanjutnya yang terakhir adalah:

11. Gambuh. Yakni masa di mana ruh kembali ke haribaan Illahi. Gambuh atau Jumbuh. Yaitu Jumbuhing Kawula Gusti. Bersatunya manusia dengan Tuhan.

Namun dari urutan nama-nama tembang itu, ada beberapa pendapat yang menempatkan urutan Sekar Gambuh, sesudah Sekar Pangkur. Dengan pertimbangan bahwa Gambuh yang berarti ‘kesesuaian jiwa’ (jumbuh) manusia dengan Tuhan ‘dapat dicapai oleh manusia di dunia, baru kemudian disusul Megatruh (mati). Sedangkan Gambuh dalam urutan terakhir sebagaimana diurai di atas, bermakna sebuah ungkapan esoterik dari kesatuan kembali dengan Tuhan Manunggaling Kawula Gusti dicapai manusia di akhirat, setelah mengalami masa Megatruh dan Pucung (alam kubur).

Metrum Macapat ini muncul karena sebagaimana diungkap oleh pakar mistik-Islam Kejawen, Prof Dr Simuh dalam bukunya Sufisme Jawa (1995) bahwa para wali –mereka yang notabene diidentifikasikan menciptakan metrum Macapat ini– pada masa itu berdakwah dengan pertama-tama mengubah dan memperkenalkan konsep waktu.

Dari konsep waktu yang sirkulair (cakra manggilingan) yang bergerak dari alam pikir ajaran Hindu Buddha yang lebih dulu menguasai alam pikir Jawa, menjadi konsep waktu yang linier Newtonian yang bersifat rasional filosofis dan epistemologis sebagaimana paham modern. Adapun yang menjadi center of mind atau pusat orientasi dan kesadaran akan kewaktuan yang bersifat linier Newtonian itu adalah Makah (Kabah) yang menjadi kiblat dari seluruh identifikasi dan orientasi spiritual umat Islam.

Dengan adanya perubahan dan penggantian konsep waktu ini muaranya kebudayaan Jawa yang masa itu di tangan alam pikir Hindu-Buddha telah mengalami establisme, kembali menemukan watak fleksibilitasnya yang menjadi elemen penting dari proses dan energi budaya.

Sehingga kebudayaan Jawa kembali mengalami aktivitas yang dinamis. Terbukti sejak diperkenalkan metrum Macapat ini; kehidupan kebudayaan Jawa menjadi dinamis. Dengan metrum Macapat ini, kemudian di Jawa muncul ribuan karya sastra yang bernafaskan ajaran Islam –termasuk Serat Centhini yang legendaris itu– tidak bisa dibaca secara pas tanpa bantuan khazanah literer ajaran Islam.

Di samping lewat Macapat, kunci penting keberhasilan para Wali Sanga dalam misi dakwahnya menyebarkan Islam di tanah Jawa, karena mereka menggunakan metode yang bersifat kompromis-akomodatif. Artinya sebagaimana yang dipelopori Sunan Giri, Bonang dan Kalijaga, mereka menggunakan media, sarana dan prasarana budaya lokal yang telah berkembang sebelumnya. Seperti lewat ekspresi wayang (teater), gamelan (musik) maupun sastra. Selain itu para Wali juga menciptakan karya-karya baru berdasarkan genre yang sudah ada.

Di luar itu juga menyempurnakan dan meluruskan karya-karya yang ada untuk disesuaikan ajaran-ajaran dengan nafas keislaman. Itulah sebabnya, masa itu Islam mudah diterima dan berkembang secara signifikan, tanpa menimbulkan konflik yang berarti.

*) Penyair dan Pemerhati Sosial, Budaya dan Ketimuran (Agama dan Filsafat Jawa).

Para TKW dan Kegemaran Membaca Buku

Bayu Insani
http://www.jawapos.com/

Suatu keberuntungan tersendiri bagi para tenaga kerja wanita (TKW) di Hongkong. Sebab, kami diberi kebebasan serta mendapatkan hak-hak yang sepantasnya dari pemerintah Hongkong. Seperti hak libur setiap Minggu, tanggal merah Hongkong, asuransi kesehatan atau kecelakaan, mendapatkan tiket pesawat apabila kontrak habis, dan kebebasan beraktivitas saat di luar jam kerja. Maka, banyak TKW yang mengisi hari libur dengan kegiatan-kegiatan bermanfaat. Seperti berorganisasi, kursus, sekolah, mengelola perpustakaan, dan ada juga yang menjalankan bisnis multilevel marketing (MLM).

Ada berbagai kursus di Hongkong. Di antaranya kursus bahasa Inggris, komputer, menjahit, salon, rias pengantin, dan sebagainya. TKW juga bebas berorganisasi di bidang keagamaan, kepenulisan, sastra, dan seni. Tapi, menurut saya, yang menarik adalah mengelola perpustakaan.

Mungkin Anda tidak percaya, di Hongkong ada banyak perpustakaan yang dikelola para TKW. Hampir seluruh organisasi keagamaan dan shelter TKW memiliki perpustakaan. Misalnya FKMPU, Forum Lingkar Pena (FLP) Maratusshaliha, Birrul Walidain, Darrul Hikmah, dan sebagainya. Bahkan, juga ada perpustakaan perorangan.

Saya sendiri memiliki perpustakaan pribadi yang saya beri nama Perpustakaan Insani. Perpustakaan ini berdiri sejak awal Juni 2007. Saya yang kebetulan anggota FLP Hongkong sangat berharap, dengan koleksi buku yang ada, teman-teman sesama TKW bisa membaca serta menambah wawasan dan ilmu.

Minat membaca teman-teman TKW memang sangat tinggi. Terbukti, dari minggu ke minggu banyak pendatang baru yang meminjam buku-buku di perpustakaan. Tak hanya meminjam, juga tidak sedikit yang membeli buku-buku baru. Mendapatkan buku-buku yang kami mau memang tidak susah. Di Hongkong banyak toko besar yang menjual buku-buku asal Indonesia. Seperti Warung Malang, Toko Madiun, Koperasi Dompet Duafa, ataupun para TKW yang menjual keliling buku-buku di tempat-tempat liburan.

Anda jangan terkejut apabila mendapati seorang TKW menenteng sebuah laptop atau membaca buku biografi Rasulullah yang halamannya seribu lebih. Serta buku-buku best seller yang baru cetak di Indonesia. Jangan kaget pula bila mengetahui harga yang kami beli bisa tiga kali lipat lebih mahal daripada harga aslinya di Indonesia. Permintaan yang menggebu dari pembaca itulah yang terkadang membuat para pengepul (stockis) buku melambungkan harga dengan alasan biaya pengiriman mahal. Meski begitu, para TKW merasa puas karena bisa membeli buku yang mereka sukai.

Buku-buku yang banyak digemari para TKW Hongkong, di antaranya, novel-novel best seller karya Kang Abik (Habiburrahman El Shirazy), Andrea Hirata, Taufiqurrahman, Pipit Senja, Pramoedya Ananta Toer, Tere Liye, dan Ahmad Tohari. Juga buku-buku motivasi kepenulisan, majalah-majalah wanita, tabloid Nyata, Nova, buku-buku misteri, dan lain-lain. Tak kalah banyaknya buku-buku keagamaan, seperti La Tahzan, biografi Rasul, Riyadus Shalihin, dan berbagai macam Alquran dan CD-nya. Buku-buku tasawuf modern karya Ustad Agus Mustofa juga dilahap habis para TKW.

Untuk memperkaya wawasan, juga tersedia koran/tabloid berbahasa Indonesia khusus TKW. Di antaranya Berita Indonesia, Suara, Apa Kabar, Peduli, dan Rose Mawar. Semua bisa diambil dan dibaca secara gratis. Ada juga beberapa TKW yang berinisiatif membuat majalah sendiri, seperti majalah Iqra, Nur Muslimah, dan Holiday. Majalah-majalah itu mereka jual ke sesama TKW secara berkeliling.

Bahkan, sudah ada beberapa TKW yang berhasil menerbitkan buku sendiri. Di antaranya Eni Kusuma dengan buku motivasi Anda Luar Biasa atau Nadia Cahyani dan Niswana Ilma yang menerbitkan buku berjudul Sebutir Mutiara untuk Ayah.

Pemerintah Hongkong juga memberikan kebebasan kepada para pengunjung untuk ikut menikmati ribuan buku koleksi perpustakaannya. Perpustakaan yang terletak di depan lapangan Viktoria, misalnya, adalah perpustakaan terbesar yang dilengkapi berbagai fasilitas. Seperti ribuan buku dengan berbagai bahasa, CD-CD apa saja (musik ataupun CD pendidikan), dan ratusan komputer dengan fasilitas internet.

Bangunan gedung perpustakaan bertingkat 12 itu sangat indah dan megah. Pengunjung juga dimanjakan dengan hawa sejuk AC, lift, sofa-sofa empuk, dan para petugas ramah yang siap melayani pengunjung. Tidak hanya anak-anak muda yang gemar mengunjungi perpustakaan tersebut. Para orang tua juga sering berkunjung dan membaca koran gratis serta bacaan apa saja di dalamnya.

Begitulah kondisi nyata para TKW di Hongkong, yang sering diisukan dengan hal-hal negatif di tanah air. Memang ada segelintir TKW yang menyimpang dari kegiatan positif. Namun, kondisi pada umumnya TKW di Hongkong sangat sejahtera dan beruntung serta banyak yang berhasil. (*)

*) TKW Hongkong asal Kebumen, Jawa Tengah; perpustakaan pribadinya sering dikunjungi para TKW; aktif di FLP Hongkong.

Seni (tak) Tergantung Anggaran

Asarpin*
http://www.lampungpost.com/

DALAM beberapa bulan terakhir, ada yang unik pada diskusi sastra di Lampung. Beberapa pengarang tampaknya sedang serius merancang sebuah kredo tentang seni dan sastra yang “tergantung pada uang”. Kalau tidak ada anggaran dari pemerintah, maka seni dianggap akan mati. Seniman dan sastrawan mulai berkarya dengan mengharapkan jasa!

Memang, sejak “pahlawan tanpa tanda jasa” disematkan pada para guru, lalu dikritik di mana-mana, sekarang orang malas untuk disebut pahlawan tanpa tanda jasa. Kalau perlu jadi pengarang dengan puluhan bintang jasa dan bisa kaya raya. Para seniman kemudian mendekatkan diri pada kuasa modal dan mengorbankan integritas seni. Selain itu, upaya menginduk pada negara dianggap sah demi memperoleh suntikan modal.

Menjadi kaya tidak ada yang melarangnya. Saya bersimpati pada Pramoedya walau pun rumahnya sudah mentereng, dan amat mencolok dibandingkan dari rumah-rumah di sekitarnya. Tapi Pram tidak mengemis pada pemerintah. Tidak bikin proposal. Demikian pula Afrizal Malna. Penyair ini mungkin satu-satunya yang sudah punya nama besar dengan menghasilkan ratusan puisi yang mendapat apresiasi luas, tapi sekaligus paling melarat dan sampai sekarang tidak punya rumah. Ia tak punya uang kecuali mengharapkan hasil dari honor tulisan di koran, atau sebagai pembicara dalam diskusi tentang seni.

Dulu Afrizal masih bekerja di UPC Jakarta, dan mengandalkan honor Rp1,5 juta/bulan. Padahal Afrizal adalah salah satu pendiri UPC yang sumbangannya terhadap gerakan kaum miskin kota dengan warna budaya sangat dominan. Waktu kami masih tinggal serumah, beberapa kali Afrizal meminjam uang Rp10 ribu kepada saya untuk beli rokok. Ini cukup sering, tidak hanya kepada saya.

Afrizal sempat juga diselamatkan beberapa wartawan televisi yang memintanya membuat skenario film pendek. Tapi saya tahu betul bahwa Afrizal mau menggarap skenario film itu kalau tidak diatur dan diarahkan si pemesan. Ia ingin membuatnya dengan merdeka, agar bisa tulus.

Maka, agak ganjil kedengarannya kalau seniman dan sastrawan di Lampung meributkan soal anggaran. Kita semua sepakat bahwa pemerintah harus mengalokasikan dana untuk kegiatan seni dan sastra sama sebagaimana mereka memperlakukan politik, bahkan sudah sewajarnya jika perhatian pemerintah lebih terfokus pada soal seni, budaya, dan sastra, karena ini persoalan nilai. “Pada 2010 ini pemerintah harus memikirkan strategi kebudayaan di Lampung,” tulis Iswadi.

Sejak dulu, pemerintah kita memang tidak peka, tidak terbiasa berpikir keras, apalagi mau memikirkan strategi kebudayaan. Sementara senimannya sejak dulu “berkesenian secara melarat”, kata Taufiq Ismail. Tapi terlampau berharap pada gubernur atau wali kota, sekalipun mereka kita dukung saat pencalonan, bisa membuat ketergantungan yang tidak sehat, padahal sejak lama seniman hidup dengan memotong tali pusar ketergantungan.

Lagi pula, apa sih yang sudah dilakukan seniman dan sastrawan Lampung selama ini? Melihat cara-cara mereka mendesak pemerintah untuk memberi dana bagi perkembangan seni dan sastra di Lampung, terkesan mereka sudah banyak jasa dan perlu dihargai, seperti Sutardji dihargai oleh Pemprov Riau.

Sumbangan mereka terhadap perbaikan kualitas masyarakat Lampung tidak terlalu jelas. Selama ini mereka hanya mengharumkan nama Lampung di kancah pergaulan seni dan sastra nasional, tetapi hanya sebatas mengharumkan saja. Apanya yang harum, warganya, tradisinya, bahasanya, menjadi tidak jelas juga.

Kalau saja kegelisahan para seniman dan sastrawan Lampung itu terbit dari hati yang tulus, memikirkan seni dan sastra sampai berdarah-darah, saya sangat bangga. Tapi saya kira, tudingan yang dialamatkan kepada pemerintah selama ini, punya ekor yang panjang. Kritik yang bertubi-tubi kepada pemerintah kadang menyimpan motif yang tidak punya hubungan langsung dengan nasib seni dan sastra di tanah Lampung, tetapi lebih pada mengharapkan dana pribadi.

Munculnya puluhan sastrawan di Lampung dengan karya yang lumayan bagus, dan mendapat apresiasai nasional, justru karena mereka tidak menggantungkan hidup dengan dana dari pemerintah. Jangan-jangan kalau Pemprov atau Pemkot sudah ngasih dana, para seniman dan sastrawan kita akan bernasib sama dengan para aktivis LSM di Lampung yang kehilangan daya kritis. Tidak ada dana dari Pemprov selama ini justru sudah terbukti mampu melahirkan karya-karya dengan capaian estetika yang sip.

Harumnya nama Teater Satu di kancah nasional selama ini hampir tidak ada peran yang berarti dari pemerintah daerah. Anggaran kegiatan Teater Satu dan Kober memang tidak sepenuhnya mandiri, mereka masih menggantungkan dana dari luar. Namun keberadaan dana bagi dua komunitas teater di Lampung itu bukan persoalan pokok dan mendasar. Saya kira akan tetap lahir karya-karya hebat Iswadi dan Ari Pahala sekalipun sudah tidak ada lagi bantuan dari pihak luar.

Demikian pula Isbedy, Arman A.Z., Inggit, Lupita, Oyos, Dahta, dll., mereka sudah terbukti hebat walaupun masih sering melarat. Memang, dalam event atau acara yang tingkatnya nasional atau internasional, para sastrawan kita kadang masih harus buat proposal kepada pemerintah, walaupun akomodasi dan transportasi sudah disiapkan panitia.

Memang, dengan tidak adanya anggaran dari pemerintah, para seniman dan sastrawan kita menjadi pintar bikin proposal. Kepintaran dalam membuat proposal ini nyaris mengalahkan kepintaran para aktivis LSM. Mereka juga pandai membangun jaringan di kantor-kantor pemerintah atau swasta, yang sewaktu-waktu akan mereka “manfaatkan” untuk kepentingan mendapatkan dana. Kelebihan terakhir, adalah: kalau ada momentum pemilihan kepala daerah para sastrawan dan seniman kita menjadi tim sukses, tapi ketika jago mereka menang, hanya pahit yang mereka terima.

Uang benar-benar membutakan banyak orang. Uang juga senjata paling ampuh untuk menggerogoti idealisme para pengarang dan wartawan. Sukses tampaknya cuma bagian yang memperkokoh konspirasi dan harmoni musik dukacita. Para pengarang Lampung senantiasa menjadi biang keladi nasib dan sejarahnya sendiri.

Lagi-lagi saya teringat Pram, terutama satu kalimatnya dalam novel Bukan Pasar Malam: “Hidup di alam demokrasi membuat kita tak perlu menyembah dan menundukkan kepala pada presiden atau menteri atau paduka-paduka lainnya. Sungguh–ini pun suatu kemenangan demokrasi. Dan kita boleh berbuat sekehendak hati kita, tapi kalau kita tak punya uang, kita akan lumpuh tak bisa bergerak. Di negara demokrasi, engkau boleh membeli barang yang engkau sukai. Tapi kalau engkau tak punya uang, engkau hanya boleh menonton barang yang engkau ingini itu. Ini juga semacam kemenangan demokrasi.”

Adakah Pram sedang bicara tentang filsafat uang? Pram bisa jadi berhutang pada ajaran Marx dan Simmel tentang filsafat uang. Dalam salah satu tulisannya, The Capacity of Present-day Jews and Christians to Become Free (1843), yang pernah dikutip St. Sunardi dalam pengantar buku A.B. Widyanta tentang sosiologi kebudayaan George Simmel, kita menemukan gagasan Marx tentang uang. Uang, kata Marx, adalah “Tuhan pencemburu bangsa Israel” (The jealous god of Israel). Tak ada Tuhan lain pun yang boleh ada di hadapan Dewa Uang.

Bisa jadi “uang menurunkan derajat semua Tuhan–dan mengubah mereka menjadi komoditas”, seperti kata Marx yang sekuler. Uang terbukti menjadi nilai dari segala sesuatu yang bersifat umum, dan tidak membutuhkan nilai-nilai lainnya. Oleh karena itu, uang telah merampas nilai kesejatian pribadi, juga merampas nilai sesungguhnya dari seluruh dunia; baik dunia manusia maupun dunia alam. Uang adalah esensi terasing dari kerja dan hidup manusia, dan esensi ini menguasai dirinya saat dia memujanya.

Di sini kita tahu mengapa Georg Simmel (1858–1918) terseret bayang-bayang Marx. Salah satu tesis Simmel terkenal–sekaligus menghubungkan dirinya dengan Marx–adalah tentang segalanya adalah uang. Kalau ini juga yang sedang mengancam para seniman Lampung, maka pilihan kita sekarang tinggal, “Serulah,” kata Asrul Sani: Serulah, supaya jangan ada yang sempat merindukan anggaran dengan mengorbankan ideal-ideal kesenian! Kemudian katakan: “Ia yang hendak mencipta, menciptalah atas bumi ini. Ia yang akan tewas, tewaslah karena kehidupan.”

*) Asarpin, pembaca sastra.

Label

`Atiqurrahman A Muttaqin A Rodhi Murtadho A. Iwan Kapit A. Purwantara A. Qorib Hidayatullah A. Zakky Zulhazmi A.H.J Khuzaini A.S. Laksana Aang Fatihul Islam Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi WM Abdul Kadir Ibrahim Abdul Lathief Abdul Malik Abdul Wachid B.S. Abdurrahman El Husaini Abidah El Khalieqy Abu Salman Acep Zamzam Noor Achdiat K. Mihardja Adek Alwi Adi Suhara Adnyana Ole Adreas Anggit W. Afrion Afrizal Malna Aguk Irawan MN Agung Dwi Ertato Agus B. Harianto Agus Buchori Agus Himawan Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sulton Agusri Junaidi Agustinus Wahyono Ahda Imran Ahmad Badrus Sholihin Ahmad Fanani Mosah Ahmad Fatoni Ahmad Ikhwan Susilo Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musabbih Ahmad Rofiq Ahmad Sahidah Ahmad Tohari Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sekhu Alex R. Nainggolan Alex Suban Alunk Estohank Ami Herman Amien Kamil Amien Wangsitalaja Aminudin R Wangsitalaja Anastasya Andriarti Andreas Maryoto Anes Prabu Sadjarwo Angela Angga Wijaya Angkie Yudistia Anindita S Thayf Anis Ceha Anjrah Lelono Broto Anton Kurnia Anton Kurniawan Anton Wahyudi Anugrah Gio Pratama Anwar Nuris Aprinus Salam Arie MP Tamba Arif B. Prasetyo Arif Bagus Prasetyo Arif Hidayat Arman A.Z. Arti Bumi Intaran Arys Hilman AS Sumbawi Asarpin Asef Umar Fakhruddin Asep Sambodja Asrama Mahasiswa Aceh SABENA Astrikusuma Asvi Warman Adam Atep Kurnia Awalludin GD Mualif Aziz Abdul Gofar Azizah Hefni Badrut Tamam Gaffas Bagja Hidayat Bagus Takwin Balada Bale Aksara Baltasar Koi Bambang Agung Bambang Kempling Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Bayu Insani Beni Setia Benny Arnas Benny Benke Berita Berita Duka Berita Utama Bernando J. Sujibto Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Blambangan Brunel University London BSW Adjikoesoemo Budaya Budhi Setyawan Budi Darma Budi Saputra Budi Suwarna Bung Tomo Cak Kandar Catatan Cerpen Chairil Anwar Chavchay Syaifullah Cucuk Espe Cunong N. Suraja D. Zawawi Imron Dadang Ari Murtono Daisuke Miyoshi Damanhuri Damhuri Muhammad Damiri Mahmud Danarto Daniel Dhakidae Dante Alighieri Deddy Arsya Dedy Tri Riyadi Denny Mizhar Deny Tri Aryanti Detti Febrina Dharmadi Diah Hadaning Dian Hartati Dian Sukarno Diana A.V. Sasa Dicky Fadiar Djuhud Didi Arsandi Dimas Dina Oktaviani Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Djadjat Sudradjat Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Doddy Hidayatullah Donny Anggoro Dony P. Herwanto Dorothea Rosa Herliany Dr. Muhammad Zafar Iqbal Dr. Simuh Dwi Arjanto Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwicipta Dwijo Maksum Edy A. Effendi Edy Firmansyah Efri Ritonga Egidius Patnistik Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Hendri Saiful Elik Elsya Crownia Emha Ainun Nadjib Endah Sulawesi Endah Wahyuningsih Endang Suryadinata Endhiq Anang P Endri Y Eriyandi Budiman Ernest Hemingway Esai Esha Tegar Putra Eva Dwi Kurniawan Evi Dana Setia Ningrum Evi Idawati Evieta Fadjar F Rahardi Fabiola D. Kurnia Fadelan Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Faisal Kamandobat Faisal Syahreza Faizal Syahreza Fajar Alayubi Fandy Hutari Fany Chotimah Fatah Yasin Noor Fathor Lt Fathurrahman Karyadi Fatih Kudus Jaelani Fatma Dwi Rachmawati Fauzi Absal Festival Sastra Gresik Fikri. MS Fina Sato Fitri Susila Galih Pandu Adi Gde Agung Lontar Geger Riyanto Gerakan Literasi Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Ginanjar Rahadian Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gunoto Saparie Gus Martin Gus tf Sakai Gusti Eka Hadi Napster Haji Misbach Halim HD Halimi Zuhdy Hamberan Syahbana Hamdy Salad Han Gagas Handoko F. Zainsam Hari Santoso Haris del Hakim Hartono Harimurti Hary B. Kori’un Hasan Gauk Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Helwatin Najwa Hepi Andi Bastoni Heri C Santoso Heri KLM Heri Latief Heri Listianto Hermien Y. Kleden Hernadi Tanzil Heru Emka Heru Kurniawan Heru Prasetya Hesti Sartika Hudan Hidayat Humaidiy AS I Made Asdhiana I Made Prabaswara I Nyoman Suaka IBM. Dharma Palguna Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Ida Ahdiah Idayati Ignas Kleden Ihsan Taufik Ilenk Rembulan Ilham Khoiri Ilham Yusardi Imam Cahyono Imam Jahrudin Priyanto Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indah Darmastuti Indiar Manggara Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indrian Koto Irma Safitri Irman Syah Iskandar Noe Istiqomatul Hayati Ita Siregar Iwan Kurniawan Iwan Nurdaya-Djafar Iyut FItra Jadid Al Farisy Jafar M. Sidik Jakob Sumardjo Jamal D Rahman Janual Aidi Javed Paul Syatha Jayaning S.A Jefri al Malay Jihan Fauziah JJ. Kusni Jo Pakagula Johan Edy Raharjo Joko Pinurbo Jokowi Undercover Joni Ariadinata Joss Wibisono Jual Buku Paket Hemat Judyane Koz Juli Sastrawan Junaidi Abdul Munif Jusuf AN Juwairiyah Mawardy Kadir Ruslan Kasnadi Katrin Bandel Kedung Darma Romansha Khairul Mufid Jr Khamami Zada Khrisna Pabichara Kikin Kuswandi Koh Young Hun Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Komunitas Sastra Ilalang Indonesia (KSII) Korrie Layun Rampan Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan) Kristianto Batuadji Kritik Sastra Kunni Masrohanti Kunthi Hastorini Kuntowijoyo Kurie Suditomo Kurnia EF Kurniawan Kuswaidi Syafi'ie Kuswinarto Lan Fang Landung Rusyanto Simatupang Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Liestyo Ambarwati Khohar Linda Sarmili Liston P. Siregar Liza Wahyuninto LN Idayanie Lucia Idayani Lukman Asya Lusiana Indriasari Lynglieastrid Isabellita M Hari Atmoko M. Aan Mansyur M. Arman A.Z M. Bagus Pribadi M. Fadjroel Rachman M. Harya Ramdhoni Julizarsyah M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S M. Luthfi Aziz M. Nahdiansyah Abdi M. Raudah Jambak M. Shoim Anwar M. Yoesoef M.D. Atmaja Maghfur Saan Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Majalah Sastra Horison Maklumat Sastra Profetik Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Serenade Sinurat Mario F. Lawi Marluwi Marsel Robot Martin Aleida Martin Suryajaya Mashuri Matdon Mega Vristian Melani Budianta Melayu Riau Memoar MG. Sungatno Mh Zaelani Tammaka Miftah Fadhli Miftahul Abrori Misbahus Surur Miziansyah J Mochtar Lubis Mohamad Ali Hisyam Mohammad Eri Irawan MT Arifin Mugy Riskiana Halalia Muhajir Arrosyid Muhamad Rifai Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Al-Mubassyir Muhammad Qodari Muhammad Rain Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun A.S Muhidin M. Dahlan Muhlis Al-Firmany Mujtahid Mulyadi SA Munawir Aziz Murniati Tanjung Murnierida Pram Musa Ismail Musfi Efrizal Mustaan Mustafa Ismail N. Mursidi Nafsul Latifah Naskah Teater Nasrullah Nara Nelson Alwi Nenden Lilis A Nh. Anfalah Ni Made Purnama Sari Nina Mussolini-Hansson Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Noura Nova Christina Noval Jubbek Novela Nian Nugroho Notosusanto Nugroho Pandhu Sukmono Nur Faizah Nurdin F. Joes Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nurul Komariyah Nuryana Asmaudi SA Nyoman Tusthi Eddy Nyoman Wirata Oka Rusmini Oktamandjaya Wiguna Oky Sanjaya Olanama Olivia Kristina Sinaga Otto Sukatno CR Pagelaran Musim Tandur Pamusuk Eneste Patricia Pawestri PDS H.B. Jassin PDS. H.B. Jassin Penghargaan Hadiah Sastra Pusat Bahasa Persda Network Pipiet Senja Pramoedya Ananta Toer Pramono Pranita Dewi Pringadi AS Prita Daneswari Prof. Tamim Pardede sebut Bambang Tri Prosa Pudyo Saptono Puisi Puisi Kesunyian Puisi Sufi Puji Santosa PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Wijaya Qaris Tajudin R. Sugiarti Rachmad Djoko Pradopo Radhar Panca Dahana Ragdi F. Daye Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Ramadhan Batubara Ramadhan KH Ratih Kumala Ratna Indraswari Ibrahim Ratna Sarumpaet Raudal Tanjung Banua Remy Sylado Reni Susanti Renny Meita Widjajanti Resensi Restu Kurniawan Retno Sulistyowati RF. Dhonna Rian Sindu Ribut Wijoto Ridwan Munawwar Riki Utomi Riris K. Toha-Sarumpaet Risang Anom Pujayanto Riza Multazam Luthfy Robin Al Kautsar Rodli TL Rofiqi Hasan Rohman Abdullah Rosidi Rosihan Anwar Rukardi S Yoga S. Jai S. Sinansari Ecip S.I. Poeradisastra S.W. Teofani Sabam Siagian Sabrank Suparno Saiful Anam Assyaibani Sainul Hermawan Sajak Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sanggar Rumah Ilalang Sanggar Teater Jerit Sapardi Djoko Damono Sartika Dian Sartika Dian Nuraini Sastra Tanah Air Sastra Using Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sayyid Fahmi Alathas Sazano Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo Seli Desmiarti Selo Soemardjan Senggrutu Singomenggolo Seno Joko Suyono SH Mintardja Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sipri Senda Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Sobih Adnan Sofian Dwi Sofie Dewayani Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sri Ruwanti Sri Wintala Achmad St Sularto Stefanus P. Elu Sukron Abdilah Sulaiman Djaya Suminto A. Sayuti Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sungging Raga Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Suryansyah Suryanto Sastroatmodjo Susanto Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suyadi Suyadi San Syaifuddin Gani Syaiful Amin Syamsiar Hidayah Syarbaini Syifa Amori Syifa Aulia Tajuddin Noor Ganie Taufik Abdullah Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat TE. Priyono Teguh Afandi Teguh Ranusastra Asmara Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Theresia Purbandini Tita Tjindarbumi Titik Alva-Alvi Choiriyah Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tjoet Nyak Dhien Tosa Poetra Tri Lestari Sustiyana Triyanto Triwikromo TS Pinang Tu-ngang Iskandar Tulus S Tulus Wijanarko Udo Z. Karzi Ugoran Prasad Umar Fauzi Ballah Umar Kayam Umbu Landu Paranggi Universitas Indonesia Universitas Jember Utada Kamaru UU Hamidy Vera Ernawati Veronika Ninik W.S. Rendra Wahjudi Djaja Wahyu Hidayat Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Budiartha Widya Karima Wijaya Herlambang Wiji Thukul Willem B Berybe Wilson Nadeak Winarni R. Wiratmo Soekito Wita Lestari Wiwik Widayaningtias Y. Thendra BP Y. Wibowo Yasser Arafat Yeni Ratnaningsih Yohanes Sehandi Yonatan Raharjo Yonathan Rahardjo Yopi Setia Umbara Yos Rizal S Yos Rizal Suriaji Yudhi Herwibowo Yuka Fainka Putra Yurnaldi Yushifull Ilmy Yusri Fajar Yusuf Suharto Zainal Abidin Zainal Arifin Thoha Zawawi Se Zen Hae