Jumat, 30 April 2010

Puisi-Puisi Landung Rusyanto Simatupang

http://sastrakarta.multiply.com/
KATANYA IA

Katanya ia pernah menyusup Merah dan merah ia kelupas jadi cokelat, putih, kuning, dan beberapa golongan minoritas warna lainnya. Konon ia pernah masuk Hijau dan hijau ia sayat-sayat hingga jadi birunya hijau, kuningnya hijau, putihnya hijau, bahkan cokelatnya hijau, bahkan juga hitampekatnya hijau. Dan ia masuk putih dan si putih diserpih-serpih jadi biru laut si putih, kuning emas si putih, coklattanah si putih, kelaburambut si putih dan ribuan serat nuansa tanpa nama. Kabarnya ia sangat sangsi sekaligus amat pasti ketika menekur, bersila, menghimpun dan menghembuskan tatapan mata pada pucuk hidung yang membulat hamil beribu cakrawala. Kabarnya ia tiba di terang yang hari-hari ini menghampiri kita sebagai warna-warni nyala lampu, papan nama, spanduk, panji, pataka, kerudung, celana mini, bikini. Semuanya cuma tertangkap oleh kita sebagai isyarat-isyarat sederhana untuk berhenti, berjalan, menghitung, menandatangan, sembahyang, membeli, menghantam, mundur, maling, kawin, protes, memperkosa, mengkotbahkan solidaritas, kasih dan surga kepada siapa saja kecuali diri sendiri. Konon ia masuk kita yang saling tatap sebagai kelompok-kelompok warna; ia masuk kita, selalu dengan kerjanya yang sama dan diam-diamnya yang sama pula.

1991



LARI

kuda lari dari kereta
tak lagi budak
kuda lari dari kota
tak lagi hamba
kuda lari
dan lari saja
masuk keluar rimba
padang dan padang saja
kaki-kaki lari dari kuda
tak lagi budak
kuku-kuku lari dari kaki
tak lagi abdi
lari lari dari lari
menuju Kau
siksa dan harap ini
Engkaulah

1982



BATU

ada batu
tenggelam
jauh
di dasar
sudah lama
sangat lama

tapi barangkali masih diingatkan sore itu
waktu tanganku yang marah penuh cemburu
menjumput dan melemparkannya
mencabut dia dari menungnya di bawah pohon nangka

sungguh kuingin dia, karena alasan yang begitu saja,
ingat saat itu malam ini, sama terusik gerimis panjang

penjara airnya gelap berat dan dingin
sementara sekap risauku lembab dan asing

dalam gigil udara yang aneh
waktu mengulurkan sesuatu kembali
dan aku takut menyambutnya hanya sendiri
kuingat sobatku, batuku:
maka kulepas tanganku kanan lalu kiri
mereka berenang dan menyelam
maka kuceburkan kaki, kanan dan kiri
mereka menyelam dan mencari
maka kuselamkan tubuh, kubenamkan kepala
- hanya lumpur lumut ganggang
di tepian kolam waktu membeku. sombong membisu
tangannya terlipat, tak terulur lagi padaku
di atas meja dalam kamar kutemu batu
merenung nyala lampu.
tanganku yang gatal dan geram melemparkannya keluar.
kudengar jerit lalu suara tubuh mencebur kolam:
aku
tak lain tak bukan. kuyup dan sendiri. menggapai. pelan
tenggelam. dalam gigil waktu yang ganjil kau ulurkan
tangan padaku.
sepi yang teka-teki
tariklah aku
ke lubukmu

1979

Puisi-Puisi Fauzi Absal

http://sastrakarta.multiply.com/
CATATAN DARI KASONGAN

Membangun wilayah, menekuni tanah liat
Ada ia, menyambung sejarah warisan leluhur, yakni
Memahami impian bumi pertiwi
Sembari bertegur sapa dengan irama pariwisata
Atau kata Gibran: “Mencintai kehidupan dengan bekerja”
dalam ayunan sang nasib yang beringas
Ia rumuskan kehendak zaman elektronik-informatika
dalam bentuk-bentuk patung gerabah komuditas
Ada naga ada jago ada gajah ada katak
atau celengan masa depan dipoles aksesori
namun betapa aroma tanah liatnya:
Bertautan antara kerajinan dan cocok tanam
Superman atau ksatria baja hitam tidak menjadi obsesinya
Barangkali karena tidak perlu
mengganggap zaman ini penuh dusta dan kekerasan
Sumeh saja seperti menghadapi tustel-tustel dari kota besar
yang banyak maunya
Lakoni saja pandom kehidupan yang nyasar-nyasar mau ke mana

Di tengah-tengah jagad manusia yang ngendon polutan
Masa depan toh masih terjaga dalam semilir setiap adzan
menghampar ladang dan pebukitan dengan
palawija dan jewawud padi-padian
‘Palagi perjuangan mengisi kemerdekaan
tak ‘kan pernah ada habisnya
Dan jantung kota Malioboro yang jauh di sana
Bukanlah puncak nomor gencet-gencetan.
Ya, membangun wilayahnya, membangun jiwanya
memahami tanah litany

1995



MENGAJARI KUPU-KUPU

Kita benamkan dalam air
Kolam tujuh bidadari mandi
Lalu kita angkat
Kita goreng di bawah terik matahari telanjang
Sampai klojotan
Kita ajari ia
Patah hati
Kita bawa bertamu
Pada sahabat di negeri sukses
Kita remas-remas
Lantas masukkan dalam kulkas
Sementara kita ngoborol tentang kehidupan
Yang hangat penuh kasih lagi mesra
Kita ajari ia menggigil
Kedinginan

Kita seret ke dunia industri
Sementara gusur-menggusur terus belangsung
Kita biarkan kandas hingga kuyub
Biar terolah lalu tertempa lalu tercor
Lalu terbeton
Lalu kita sekolahkan mendalami mata pelajaran dia
Agar terbiasa mengolah jeritan
Hingga sorotan matanya keras dan rasional
Belum, belum selesai
Kita ikat ia dengan benang merah
Pada gema adzan yang membersamai reputasi zaman
Agar terbawa terbang
Ke mana angin bertiup

1996



MELIHAT KUPU-KUPU

hati siapa terkirim lewat kupu-kupu
ia terbang kian kemari di udara wening.
sunyi melintasi pesta bisik
merendah, meninggi, meliuk dan menukik
menari-nari hanya berbekal cahya mentari
sedang cinta kasihnya menunggu di sayap
tak kenal cuaca dan waktu.
ia menggiring siapa mata yang memandang
dalam kelelahan

2007

Puisi-Puisi Ahmad Muchlish Amrin

http://sastrakarta.multiply.com/
SENANDUNG LERENG BUKIT RANTANI
-Non torno vibo alcun, s’iodo il vero
senza tema d’infamia it rispondo – Dante

a/
Siapa tahu, di lereng bukit rantani itu ada seribu gubuk menyalakan senja
di antara batu-batu kecil sekeras rinduku dan pintu-pintu terbuka
bagi perempuan-perempuan yang melongok ke luar jendela; menatap
kering setapak meliuk dan mekar kembang jagung bagai awan-awan tipis
digesek angin.

(Konon, perempuan-perempuan itu tinggal di tirai bambu dan memakai
sandal kayu. Kini, memasang antena parabola dan rumah kaca)

Siapa tahu, di lereng bukit rantani itu kudengar suara dari dalam gua
memanggil anak rantau yang hilang dan perempuan-perempuan kencing
di atas lobang dan burung-burung turun ke lembah bertekukur di atas
bunga solang. Aku menumbang ilalang yang menusuk bulan.

(Memang, anak bukan bermimpi pulang ke bulan,
anak matahari pulang ke matahari)

Siapa tahu, di lereng bukit rantani itu ada anak-anak lempung lempang
berjalan menuju puncak. gerak serak beranak pinak di gubuk; anak padi
pada merunduk dan lenggak lenggok angin gili manuk. Siapa tahu o siapa
tahu! siapa tahu o siapa tahu! Anak-anak bermata berlian itu berdiri di
atas tanah kelahirannya menjunjung langit pitam bagai malaikat
bertangan sunyi.

(Lereng menjelang petang, di jambang kumandang
rindu ambang berselang gamang, lir sa’alir alir alirgung!)

b/
Siapa tahu, di bukit rantani itu, terbit matahari,
matahari yang punya bayang-bayang lebih panjang dari batang-batang.
Dan kamu mendekati kakek yang sedang bertani, kakek yang ingin
memanen harapan.
“Ah! tolol! goblok!” umpatmu setelah datang dari seberang
memanggul tas dan tumpukan buku di amben.

(Pahit tembakau,
pahit keringat tak di rantau)

Bila anak-anak menyusuri setapak meliuk dan tembus di jantungku,
ia tengah meluruskan garis garusuk yang membusuk ke jantung ibu,
Bila ia membasuh kakinya dan mencium jejak yang telah tiada
dan memagarinya dengan warna cinta, ia telah membangun surga rahasia.

c/
Akulah anak solang yang meluruskan pandang
dan menoleh pada kakek yang mati
sebelum kamu sulut tubuhku dan kamu susun dan kamu bakar,
jadilah aku arang
kamu menghirupnya di hari kedua yang terasing

Madura-Yogyakarta, 2004/2006

Catatan:
1. Bukit Rantani adalah bukit yang dimitoskan terdiri dari dodol yang dipikul oleh Landaur (bangsa Jin). Bukit ini merupakan bukit gembar yang terkenal dengan bukit pekol, terletak di ujung timur Kabupaten Sumenep Madura
2. Solang daun tembakau setelah panen (Madura)
3. Paesan adalah nisan (Madura)
4. Garusuk adalah daun tembakau yang kering (Madura)



Berdiam di Makam Mbah Mutamakin
-bersama yunus, hasan dan umam

1/
Memasuki gerbang berwarna kuning keemasan
menyibak setapak sesak orangorang datang dari
mimpi silam,
sebuah lorong panjang masih rahasia
menembus gerbang lain,
gerbang yang siapapun tak boleh memasukinya.
Aroma melati dan kembang kecubung
merubung udara siang itu
dan setangkup senyum Mbah Mutamakin mulai
terlukis di lubukku.

O, kita bukan Syaikhana Khalil
yang berjongkok sepanjang waktu,
bukan pula Hasyim Asy’ari yang menerbangkan
merpati awan siang itu.
Mereka bagai parade karnaval menaiki angkasa
dengan tangga kata-kata usang penuh nyawa.

Kedatangan kita sekadar menjemput kangen
yang tertunda lima bulan yang lalu
dan memperbaiki krah baju yang terlipat

Angin berdiam di mata, memilah warna hitam dan putihnya
mengembus tipis dan berbisik pesan langit:
“Sampaikan pada Zawawi, Kuswaidi dan Jamal
bahwa di atas angkasa itu ada angkasa yang lebih sempurna”
angin meliut ke bukit, ke lembah-lembah, ke pematang dan sawah-sawah
kemudian mencipta rimbun kata yang lebih rahasia.

2/
Kita berdiam di makam mbah Mutamakin siang itu
menyaksikan matahari terbit dari randu
juga ada sebuah ruang terang
yang tak seorang pun duduk di sana,
Bila memaksa, akan terbakar kenangannya
lewat huruf-huruf usang lukisan kaligrafi.

Kita menunduk di dekat nisan berwarna putih bersih
dan lelaki berserban bulan mengusap ubun-ubun
yang melenyapkan bayang-bayang.
Tak ada yang dapat bertanya tentang impian cuaca hari ini
Tak ada yang dapat menafsir air mata musafir
yang terkulai di lantai ini.

“Kalian hanya dapat bermimpi
selebihnya puisi”

Kita menghirup wangi kembang yang ke sekian kalinya
berharap kata-kta melesat melansir segala derita:
semakin mengerti makna rahasia, perjalanan semakin panjang saja
dan tak akan pernah ditemukan ujungnya.

Kajen Pati, Juni 2007



Epigon Penunggang Kuda
-kepada Muhammad zuhri

Penunggang kuda putih
turun dari gurun waktu,
mukanya yang gersang dan hitam
seperti kuburan para nabi,
ia menggali lubang di sisi hari,
mengukir nisan dengan lukisan kaligrafi
dan pintu gerbang sederhana
di lubuk hati

Keringat begitu urai melerai kesangsian
matahari pada cerita silam.
Napak tilas tanpa alas kaki
adalah warna nyawa yang hijau
adalah kata-kata yang dirasakan.
Dan di matanya, tumbuh dua puluh ranjau
bagi yang menatapnya dengan gelombang.

Penunggang kuda putih menoleh ke belakang
dan udara masih segar:
kata-kata berlesatan seperti burung
bertekukur di atas dahan rahasia
bagai abjad-abjad melesat yang tak sempat dicatat,
lalu burung-burung pelan-pelan pergi
menuju bukit-bukit dan lembah-lembah,
diikuti penunggang kuda putih.

Ah, tekukur tak terdengar lagi,
entah kapan menderu kembali?
Sementara pagi telah usai
dan penunggang kuda telah pergi
menyelesaikan bait puisi.

Yogyakarta/Tang Lebun, Juni 2007

Puisi-Puisi Zainal Arifin Thoha

http://sastrakarta.multiply.com/
ZIARAH DOA

Dan doa adalah
Persembahyangan dalam ziarah
Menali hasrat penuh sedekap
Bersujud diri merambah akrab

Lalu salam sewangi kembang
Bagi kiri kanan tiada pandang
Dan zikir senantiasa sumilir
Mengalirkan cinta dari hulu hingga hilir

Dalam doa ada senyum shalawat
Kepada sesama erat berjabat
Itulah ziarah sepanjang shalat
Pinta dan rahmat diaminkan para malaikat



DARI SEBUAH JENDELA

Jendela yang mengetukketuk deras hujan
Adalah bayangmu yang tibatiba bersalam
Lalu kau buka mantel dan memeras
Gerai rambut yang bercucuran

Adakah yang lebih puitik
Ketimbang senyummu yang gemetar
Lalu binar mata dan bening suaramu
Menghaluskan ini jiwa dalam dingin yang nanar

Duduklah, nikmati kopi
Dan jangan dulu berkata-kata
Biarkan sejarah yang barusan berputar
Mengheningkan resah sembari
Memijit-mijit kalbu yang kepegalan

Oleh daundaun yang menempelkan tangan di kaca
Jendela itu kembali terbuka

Mempersilakan tangismu menerobos
Bersama luruh angin yang luka



HIDUP ATAU MAUT

Perjalanan ini begitu mencengangkan
Pendakian ini begitu mengerikan
Berenang ke laut tak berpantai
Menyelam ke dasar samudera tak bertanda
Bergayut di pohon tak berdaun
Kehidupan adalah pengejaran
Dari huruf-huruf kematian
Kematian adalah mata-rantai
Yang selalu membelenggu dan mengintai
Pengembangan hanya menatah
Langkah-langkah maut yang tercecer
Sedang kerongkongan kita
Selalau dahaga akan rasa dan laba
Apa makna serta hakikat rumput-rumput kering
Dan bebatuan lebur jadi kerikil
Sedang lautan dan gunung-gunung tak pernah akrab
Dan menyapa pada langit
Bintang planit serta gugusan bimasaksi
Hanya selalau kita uji tanpa taburan maknawi
Hidup atau mautkah ini



ODE KETEGUHAN

Seperti barisan semut
Engkau tak menemukan Sulaiman
Kapal Nuh telah lama pula karam
Hanya tanah dan sisa keyakinan
Meski itu pun kerap digerus gundah
Engkau menanam rasa pasrah
Sembari berharap esok tak panen air bah

Seperti kerumunan rayap
Orang-orang akan menganggapmu tak ubahnya kurap
Menggerogoti tiang dan dinding diam-diam
Menggelontorkan nanar dan waswas di lantai pualam
Disemprotnya dengan gas dan api
Namun engkau mempersilakan diri
Dan tak sejangkah pun berkehendak pergi

Yogya, 1998



PERBURUAN DI HATI

Banyak yang tak kita pahami
Dari putaran waktu, seperti
Gerak putingbeliung di hati
Lalu kita lari menghindar
Atau jika kalah, segera nasib
Begitu saja kan tersambar

Tetapi terhadap hidup
Tiada lelah-lelah kita berburu
Seperti awan mengejar musim
Hanya sesekali tertidur
Selebihnya kelana laksana angin

Begitulah, dari rahim waktu
Senantiasa berlahiran hujan
Membasahi hati
Mengubur kemenangan-kemenangan

Yogya, 1999

Sabtu, 03 April 2010

SENYUM PUN BERKEMBANG

KRT. Suryanto Sastroatmodjo
http://www.sastra-indonesia.com/

Baik, baik, lebih baik kita simak lebih lanjut, apakah pikir dan kegelisahan yang mencucuk-cucuk dada itu masih meninggalkan bekas, ataukah sudah sirna sama sekali. Jikalau sulit untuk dihapus, lebih baik kita sendiri yang menyembunyikan ke balik baju kaos, baju-dalam, ataupun sesuatu yang tersembunyi di sini.

MEMBANGUN PENDIDIKAN, MELAKSANAKAN OTONOMI DAERAH

Catatan Kecil atas Berbagai Gagasan Besar

Maman S. Mahayana
http://mahayana-mahadewa.com/

“Kunci kemajuan sebuah bangsa terletak pada pendidikan” (Fukuzawa Yukichi (1835—1901), Bapak Pendidikan Modern Jepang)

Membaca sebuah buku antologi, boleh jadi kita merasa laksana dibawa masuk ke sebuah lanskap yang penuh panorama. Dari sana, tema-tema yang beragam seperti hendak saling menyerbu dan memaksa kita (pembaca) melakukan pilihan-pilihan. Jika keberagaman tema yang dihadirkan itu mengesankan berbagai gagasan yang fragmentaris, maka tugas pembaca kemudian mencoba mencari benang merahnya. Mencoba pula menemukan pesan keseluruhan yang hendak disampaikannya. Bagaimana hubungan dan keterkaitan antara tema yang satu dan tema yang lain. Bagaimana pula masing-masing tema itu menyatakan diri dan menyampaikan pesan sponsornya. Apakah ada pesan holistik atau ideologis yang melatarbelakangi dan melatardepani keseluruhan tulisan-tulisan itu.

Dalam hal itulah, buku antologi kerapkali menghadirkan dua hal yang seperti berjalan sendiri-sendiri. Di satu pihak, pembaca disodori oleh tema yang beraneka ragam yang tentu saja memberi hal, wawasan, atau bahkan masalah baru. Jika disikapi secara arif, niscaya ia menjadi penting untuk meluaskan cakrawala pengetahuan kita. Tetapi, di lain pihak, ia cenderung diminati oleh pembaca yang merasa mempunyai kepentingan dengan satu atau beberapa tema saja dari sejumlah tulisan yang ada di sana. Akibatnya, tulisan lain yang tidak menjadi minatnya, cenderung diabaikan. Di sinilah kita (pembaca) dituntut kearifannya untuk membuka diri dan menyikapi buku antologi yang bersangkutan secara proporsional. Kita harus senantiasa siap menerima gagasan apapun, meski mungkin kita belum menemukan kepentingan dan manfaatnya secara langsung.

Demikianlah, menghadapi buku antologi Pendidikan dalam Semangat Otonomi Daerah (atau judul lain yang lebih provokatif) ini pun, eloklah kita melihatnya dalam perspektif mengusung semangat hendak menempatkan dunia pendidikan sebagai ujung tombak pembangunan nilai-nilai dan karakter suatu komunitas. Pendidikan sesungguhnya bukanlah sekadar transfer ilmu pengetahuan dari pendidik ke anak didik, melainkan juga sebuah proses pembentukan karakter, sikap, dan nilai-nilai. Ada optimisme yang tidak dapat ditutupi atas terjadinya perubahan sosial-politik yang terjadi di negeri ini. Sebuah optimisme yang didasari oleh kesadaran menempatkan dunia pendidikan sebagai basis pembangunan bangsa. Hanya dengan menempatkan dunia pendidikan itulah, niscaya bangsa ini akan bangkit kembali dari keterpurukan.

Bukankah hal itu pula yang dilakukan Jepang ketika negerinya hancur akibat kekalahan dalam Perang Dunia II. Apa yang dikatakan Kaisar Jepang waktu itu sesaat setelah melihat negaranya hancur akibat dua bom atom yang dijatuhkan di sana? “Di manakah para guru dan tinggal tersisa berapa banyak lagi guru yang masih hidup?” Sebuah pertanyaan retoris dari seorang kaisar yang sekaligus menunjukkan betapa pentingnya peranan guru (baca: dunia pendidikan). Melalui dunia pendidikan, Jepang kemudian membangun kembali negerinya hingga menjadi bangsa yang secara ekonomi dapat menempatkan diri menjadi kekuatan yang disegani di dunia. Jepang tidak perlu lagi membangun kembali kebesaran militernya, karena yang diperlukan adalah memperkuat basis SDM-nya melalui pembangunan di bidang pendidikan.

Menempatkan dunia pendidikan sebagai ujung tombak itulah yang justru tidak dilakukan para pemimpin bangsa Indonesia. Jika selepas merdeka sampai pada pemerintahan Orde Lama kehidupan politik begitu pentingnya, maka pada masa Orde Baru, politik diperlakukan sebagai “barang haram”. Masyarakat tidak diberi peluang yang lebih luas untuk mengembangkan kehidupan politik. Politik menjadi semacam kamuflase untuk menutupi usaha melanggengkan kekuasaan.

Sementara itu, pembangunan ekonomi melalui utang luar negeri yang menggunung dan bertumpuk-tumpuk, seperti sebuah jawaban Sim Salabim yang seketika dapat mengangkat martabat bangsa ini menjadi bangsa yang makmur dan sejahtera. Memang kemudian terjadi kemakmuran dan kesejahteraan. Tetapi itu hanya dirasakan segelintir orang. Ada kemajuan yang selalu dapat diukur secara fisikal. Gedung-gedung menjulang dan mobil berderet-deret. Pembangunan ekonomi telah berdampak menceburkan bangsa Indonesia sebagai bangsa yang konsumtif. Keberhasilan seseorang selalu ditentukan oleh seberapa banyak ia berhasil mengeruk uang, memamerkan kekayaan fisik. Akibatnya luar biasa. Pembangunan yang menghasilkan kekayaan psikis, pencerahan intelektual, keagungan moral, dan harga diri yang menjunjung tinggi kebenaran dan kejujuran, tidak mendapat tempat yang sepatutnya. Dunia pendidikan dibiarkan carut-marut. Dunia pendidikan seperti sengaja dibiarkan menggelinding, terbentur-bentur dalam lingkaran masalah yang tidak berujung pangkal. Dunia pendidikan menjelma menjadi benang kusut yang ruwet dan penuh virus.

Dalam situasi seperti itu, status sosial guru di tengah masyarakat cukuplah dibujuk-rayu dan dihibur melalui slogan: “Pahlawan tanpa tanda jasa!” Guru sebagai bagian dari agen ilmu pengetahuan, sebagai pembawa pesan-pesan kemanusiaan dan kebudayaan, dan sebagai perintis perubahan, dibiarkan hidup dengan penghasilan serba kekurangan. Guru yang bertugas memberikan pencerahan, menyampaikan ilmu pengetahuan kepada anak didik, diperlakukan sebagai sebagai sapi perahan dengan penghasilan yang buruk. Akibat perlakuan itu, profesi guru seperti tiada arti, tiada guna. Pada gilirannya, ilmu pengetahuan menjadi sesuatu yang juga tidak berguna, karena tidak secara langsung dapat menghasilkan uang yang berlimpah. Masyarakat pun kemudian cenderung berorientasi pada materi, uang atau segala sesuatu yang bersifat fisik, daripada ilmu pengetahuan. Padahal, menuntut ilmu adalah kewajiban umat manusia, begitu pesan setiap agama kepada umatnya. “Pengetahuan adalah kunci keberhasilan hidup dan tidak seorang pun boleh mengabaikannya,” begitulah Fukuzawa Yukichi menyampaikan pesannya lebih dari seabad yang lalu.

Setelah rezim yang penuh kamuflase itu tumbang, euforia politik seperti sebuah sihir yang membius berbagai aspek kehidupan dalam bidang-bidang lainnya, termasuk di dalamnya dunia pendidikan. Departemen Pendidikan Nasional (Diknas) masih saja tergoda berkutat dalam persoalan perubahan kurikulum dan harapan ideal Ujian Akhir Nasional (UAN) yang sebenarnya malah mendatangkan musibah bagi guru-guru di daerah. Gonta-ganti kurikulum seperti sebuah permainan yang mengasyikkan elite penentu kebijakan, tetapi malapetaka bagi para guru lantaran tidak dibarengi dengan peningkatan kualitas mereka sebagai ujung tombak dunia pendidikan. Oleh karena itu, ketika diberlakukan Otonomi Daerah, kebijakan-kebijakan Diknas yang tak membumi bagi daerah-daerah mestilah disikapi sebagai sebuah tantangan dan sekaligus peluang. Maka, diberlakukannya otonomi daerah yang secara praktis mengubah sistem pemerintahan yang sentralistik menjadi desentralistik, tidak hanya memungkinkan pemerintah daerah lebih leluasa mengatur berbagai rencana membangun daerahnya sendiri, melainkan juga sebagai sebuah kepercayaan bagi pemerintah daerah untuk mengangkat martabat dan harkat masyarakat di daerahnya tidak lagi terbelakang, baik secara ekonomi, maupun pendidikan: dua bidang yang harus menjadi prioritas utama.

Sebuah komunitas atau bangsa secara keseluruhan yang mempunyai harta kekayaan berlimpah, tetapi miskin ilmu, terbelakang, dan bodoh, hanya akan menjadi bulan-bulanan penipuan bangsa lain. Itulah yang dilakukan bangsa Belanda terhadap bangsa kita selama berabad-abad. Yang tersisa sebagai warisan bagi generasi berikutnya adalah sikap rendah diri, inferior, dan mental kacung. Sikap dan mental yang seperti itu, terus terpelihara dengan baik, lantaran tidak ada usaha untuk menempatkan dunia pendidikan sebagai basis, pondasi pembangunan bangsa. Justru melalui pendidikan itulah, sikap dan mental buruk yang seperti itu, akan terkikis secara meyakinkan. Jika ada kesadaran yang seperti itu, maka langkah yang tidak dapat diabaikan adalah memperkuat basis peningkatan Sumber Daya Manusia (SDM) melalui pembangunan dunia pendidikan.

Bagaimanapun juga, keberlimpahan sumber daya alam hanya mungkin dapat mendatangkan manfaat yang sebesar-besarnya bagi kepentingan umat manusia jika manusia itu sendiri mempu mengelolanya secara baik dan benar. Di sinilah perhatian pada SDM menjadi sangat sentral dan strategis. Ia boleh dikatakan merupakan investasi atau saham untuk masa depan. Ia akan menjadi harta warisan yang luar biasa berharganya lantaran ia telah menempatkan dirinya sebagai khalifah di bumi. Salah satu bidang yang bertanggung jawab atas peningkatan SDM ini tidak lain adalah dunia pendidikan. Buku ini, sungguh seperti hendak mewartakan itu. Tanggung jawab dunia akademik atas masyarakat di sekitarnya, atau bahkan masyarakat bangsa ini. Semangat itulah yang tampak mendasari gagasan-gagasan yang menyeruak dalam berbagai tulisan dalam buku antologi ini. Serangkaian gagasan atau pemikiran penting dalam buku ini, sungguh relevan dalam konteks menempatkan pelaksanaan otonomi daerah sebagai sebuah peluang dan tantangan.
***

Ada sepuluh tulisan yang terhimpun dalam buku antologi ini, dan sebagian besar memusatkan perhatian pada dunia pendidikan. Dari sudut itu, kita (pembaca) disuguhi berbagai gagasan yang cerdas mengenai peluang-peluang yang mungkin dijalankan sebagai bagian dari pelaksanaan otonomi daerah. Dari sudut yang lain, ia seperti menawarkan sebuah dialog untuk membincangkan lebih lanjut mengenai dunia pendidikan dan kaitannya dengan pelaksanaan otonomi daerah.

Tulisan Asnawi Syarbini, “Politik Pendidikan Indonesia” mencoba mengungkapkan sejumlah undang-undang yang berkaitan dengan pendidikan yang membentuk sebuah sistem pendidikan Indonesia. Bagaimana mekanisme pelaksanaannya ketika diberlakukan otonomi daerah? Meski belum begitu jelas, langkah-langkah konkret yang bagaimana yang harus dilakukan dalam pelaksanaan sistem pendidikan Indonesia, Syarbini coba menawarkan pendidikan dalam peranannya sebagai bagian integral dari visi politik yang dijalankan pemerintah. Gagasan itu memang ideal jika pemerintah –siapapun yang berkuasa kelak—menjalankan politik dengan basis pendidikan. Dengan begitu, pendidikan ditempatkan dalam arti yang seluas-luasnya dan dapat memasuki berbagai bidang dalam tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara.

Pendidikan sebagai basis peningkatan dan pengembangan kualitas sumber daya manusia tentu saja akan bermuara pada apa yang disebut profesionalisme. Dengan demikian, penghargaan pada profesi, keahlian, dan prestasi, akan menempatkan profesi apapun dalam proporsi yang sejajar, setara, dan sama penting dalam sistem besar kehidupan sebuah bangsa. Tidak ada satu profesi yang dipandang lebih penting atau lebih rendah dari profesi lain. Yang menjadi ukuran adalah prestasi dan kinerja orang per orang dalam profesinya, dan bukan institusi atau organisasi profesinya. Seorang perajin atau nelayan yang berdedikasi pada profesinya, bertindak profesional dalam menjalankan pekerjaannya, akan lebih bermakna bagi masyarakat dibandingkan dokter atau pengusaha yang bekerja tidak profesional. Dalam pengertian politik pendidikan, pendidikan (di Indonesia) mestinya tidak hanya bertujuan menjadikan seseorang berpengetahuan dan mempunyai keterampilan, tetapi juga menumbuhkan loyalitas dan pengabdian kepada bangsa dan negara. Dengan demikian, pendidikan dibangun dan dijalankan semata-mata untuk kemajuan negara dan mengangkat harkat dan martabat bangsa.

Tulisan Anwar Syarbini sebagai sebuah gagasan yang coba menawarkan politik pendidikan dalam tata pemerintahan kita, tentu saja dapat dianggap merupakan sumbangan penting, meskipun sesungguhnya belum begitu jelas, bagaimana implementasi dalam dunia pendidikan kita. Demikian juga, keterjebakan Syarbini untuk memaparkan berbagai konsep pendidikan telah menyeretnya pada kelalaian membuat analisis kritis, bagaimana politik pendidikan dijalankan pemerintah selama ini. Meskipun demikian, pemerintah kiranya memang patut memikirkan adanya politik pendidikan yang jelas yang memang diarahkan untuk memberi manfaat yang sebesar-besarnya bagi kemajuan bangsa dan negara

Dalam tulisan Sudadio, “Pendidikan di Era Otonomi Daerah” pembicaraan mengenai “politik pendidikan” tampak lebih fokus mengingat ia membatasi diri pada pelaksanaannya dengan otonomi daerah. Dalam kaitan itu, pembicaraan Sudadio dapat lebih leluasa mengungkapkan pentingnya mutu pendidikan, termasuk pengertian, kriteria, syarat, serta alat ukur untuk membuat kualifikasi mutu pendidikan. Jadi, pada hakikatnya ia hendak menekankan, bagaimana meningkatkan mutu pendidikan ketika suatu daerah mulai melaksanakan otonomi daerah. Meskipun perbicangannya cenderung konseptual dan bermain dalam tataran teoretis, setidaknya kita disuguhi berbagai pemikiran mengenai langkah-langkah teoretis, bagaimana seharusnya usaha meningkatkan mutu pendidikan.

Lalu, bagaimana kaitannya dengan pelaksanaan otonomi daerah? Tidak begitu jelas, bagaimana langkah-langkah konkret dan strategis, bagaimana operasionalisasi upaya meningkatkan mutu pendidikan di satu wilayah tertentu. Justru di situlah, kita seolah-olah “diajak” untuk juga memikirkan, bagaimana dunia pendidikan harus dibangun, bagaimana meningkatkan mutunya, dan bagaimana pula membuat semacam parameter sebagai alat ukur dalam menentukan kualifikasi sebuah institusi menyelenggarakan pendidikan.

Tulisan Muhyi Mohas dengan titik perhatian otonomi daerah, mengungkapkan sejumlah peluang yang dapat dimasuki dalam usaha membangun dunia pendidikan. Deskripsinya tentang manfaat penyelenggaraan otonomi daerah menyodorkan optimisme, bahwa desentralisasi memberi peluang yang begitu luas bagi daerah mengembangkan diri, menggali berbagai potensi, dan tentu saja mengatur rumah tangganya sendiri sesuai dengan skala prioritas. Dengan itu, peranan pemerintah daerah menjadi sangat menentukan untuk melakukan restorasi bagi daerahnya sendiri. Tetapi, jika yang diprioritaskan hanya pembangunan fisik, maka ia akan tergelincir dan masyarakat dijerumuskan kepada pola berpikir yang mengukur segala sesuatu berdasarkan pencapaian material; konsumtif dan materistik. Maka, pembangunan pendidikan sebagai dasar, basis peningkatan kualitas SDM mestinya menjadi prioritas utama.

Muhyi Mohas ternyata melihatnya dari perspektif lain. Paling tidak, ada tiga bidang yang disoroti secara ringkas, yaitu pembangunan pendidikan, hukum dan ekonomi. Namun ketika pembicaraannya memasuki wilayah pembangunan hukum, ia seperti kehabisan napas, dan segera menutup perbincangannya tanpa ada kejelasan, bagaimana pembangunan hukum harus dilakukan. Meskipun demikian, uraiannya mengenai sejumlah peluang dan sekaligus tantangan diberlakukannya desentralisasi, cukup alasan bagi kita untuk optimis bahwa otonomi daerah (desentralisasi) akan membawa pengaruh positif bagi peningkatan taraf hidup masyarakat, jika pemerintah daerah menjalankan peranan, fungsi dan tanggung jawabnya yang berpihak kepada kemaslahatan masyarakat.

Sementara itu, tulisan Aris Suhadi, “Mazhab Sejarah, Pembentukan Hukum, dan Otonomi Daerah” seperti memaksakan diri agar pembicaraan mengenai mazhab sejarah (dalam ilmu hukum), ada hubungannya dengan otonomi daerah. Memang ada beberapa contoh kasus mengenai pengaruh mazhab sejarah dalam pembentukan hukum nasional maupun hukum adat. Tetapi contoh tersebut terkesan seperti kasusistis, dan tidak cukup representatif untuk mengatakan betapa besarnya pengaruh mazhab sejarah dalam pembentukan hukum nasional dan hukum adat (di Indonesia). Akibatnya, di satu pihak, Suhadi seperti hendak mengungkap panjang lebar mengenai ihwal mazhab sejarah dalam bidang hukum secara meyakinkan, di pihak lain, ia tidak cukup meyakinkan menyodorkan beberapa kasus sebagai bukti adanya pengaruh aliran itu dalam pembentukan hukum di Indonesia.

Yang justru cukup menarik dari tulisan Aris Suhadi adalah uraiannya mengenai mazhab sejarah hukum. Menarik lantaran ia cukup mendalam membicarakannya. Sampai di situ, sesungguhnya tulisan itu menyampaikan wawasan yang relatif luas. Tetapi, kesimpulannya yang dihubungkan dengan otonomi daerah, terkesan tiba-tiba saja muncul dan seperti ada kesengajaan harus diadakan dan dikait-kaitkan begitu saja.

Dua tulisan yang berkaitan dengan muatan lokal disampaikan Yoyo Mulyana “Pengembangan Kompetensi Dasar Bahasa Daerah Banten” dan Syafrizal “Bahasa Inggris sebagai Muatan Lokal Sekolah Dasar”. Kedua tulisan itu tentu saja penting mengingat konteksnya dalam pelaksanaan otonomi daerah. Jika tulisan Mulyana berorientasi pada bahasa setempat (lokal) yang di banyak kasus di berbagai daerah, cenderung diabaikan, maka tulisan Syafrizal berorientasi pada upaya mengantisipasi dan sekaligus menyiapkan SDM agar berperan aktif dalam proses globalisasi.

Mengenai keberadaan bahasa daerah, bagaimanapun juga, keberadaannya harus dipertahankan mengingat fungsinya sebagai alat komunikasi lokal. Di samping itu, ia juga merupakan alat refleksi kultural. Dengan demikian, pemahaman bahasa daerah dapat digunakan sebagai pintu masuk untuk memahami kebudayaannya. Di sinilah sosialisasi kebijakan pemerintah daerah akan lebih mudah diterima masyarakat jika dilakukan melalui pendekatan kultural. Maka, melalui bahasa daerah itulah salah satu sarana yang efektif bagi pemerintah daerah untuk mensosialisasikan berbagai kebijakan yang akan dijalankannya. Oleh karena itu, pengajaran bahasa daerah menempati kedudukan yang cukup penting dalam pelaksanaan otonomi daerah. Dalam kaitan itu, perlu kiranya dipikirkan penyusunan kamus bahasa daerah Banten sebagai salah satu usaha mempertahankan bahasa daerah itu.

Bahasa Inggris sebagai muatan lokal di sekolah, di banyak daerah sesungguhnya sudah dilaksanakan sejak beberapa tahun belakangan ini. Tulisan Syafrizal sangat boleh jadi merupakan masukan yang mestinya menjadi catatan penting bagi pemerintah daerah.

Selain masalah muatan lokal di sekolah yang mesti dipikirkan kemanfaatannya dalam hubungannya dengan pelaksanaan otonomi daerah, juga patut dicatat keberadaan pesantren-pesantren yang bertebaran di wilayah Banten. Tulisan Nandang Faturohman yang mencatat sebagian kecil keberadaan pesantren di wilayah Banten, boleh dikatakan memberi informasi berharga mengingat usahanya yang mencoba membuat klasifikasi antara pesantren tradisional dan pesantren modern (terpadu). Sejumlah karakteristik yang dikemukakannya menunjukkan betapa arus modernisme mulai memasuki wilayah dunia pesantren yang sebelumnya cenderung eksklusif. Bagi pemerintah daerah, keberadaan pasantren-pesantren itu sesungguhnya juga aset pendidikan, karena dari sanalah diharapkan SDM yang menjunjung tinggi moralitas dan ketakwaan, di samping kualitas yang andal, dapat dilahirkan.

Tiga tulisan berikutnya boleh jadi seperti tidak ada hubungannya dengan otonomi daerah. Tentu saja ketiganya masih ada kaitannya dengan itu, meskipun konteksnya dapat diperluas memasuki wilayah kepentingan nasional. Tulisan Wan Anwar “Pendekar Akademis di Jalan Raya Sastra Indonesia, misalnya, dapat disikapi sebagai sebuah bentuk evaluasi atas mundurnya peranan kritikus sastra di Indonesia. Meskipun ia melakukan semacam simplifikasi atas problem di tingkat fakultas (sastra) sebagai problem mata kuliah, yang seolah-olah harus melahirkan kritikus (sastra), setidak-tidaknya gagasannya dapat kita tempatkan sebagai ekspresi dari pengharapan yang begitu besar kepada institusi itu. Agak mengherankan, Wan Anwar kurang dapat mencermati pengembangan ilmu di institusi-institusi seperti itu. Di sana ada usaha untuk mengembangkan ilmu sebagai ilmu dan ilmu sebagai keterampilan yang dapat bermanfaat secara praktis.

Dikotomi yang dilakukan Anwar yang secara tegas membedakan kalangan akademis dengan praktisi, tentu saja tidak relevan mengingat wilayah dan kerangka berpikir keduanya berbeda satu sama lain. Para sarjana yang bekerja di lingkungan akademis, misalnya, “terpaksa” harus berkutat dengan cara pandang ilmiah yang sering tak sejalan dengan tuntutan masyarakat. Di sisi yang lain, kaum praktisi –yang diisitilahkan sebagai pendekar di jalan raya— tentu saja harus berpikir untuk kepentingan yang praktis mengingat sasarannya masyarakat luas. Jadi, sarjana (pendidikan) sastra, tidak harus menjadi kritikus, mengingat ia dididik untuk menjadi seseorang yang dapat berpikir kritis, komprehensif, objektif, dan argumentatif. Oleh karena itu, bolehlah ia menjadi pegawai negeri, guru, pegawai bank, wartawan, atau apapun, termasuk kritikus (sastra). Dengan begitu, profesi sebagai kritikus hanya salah satu saja. Ia ibarat sebuah sekrup dari mesin raksasa yang bernama kehidupan.

Meskipun demikian, catatan kritis yang dilakukan Wan Anwar tentu saja penting dan relevan dalam hubungannya dengan otonomi daerah. Ia menyadarkan kita bahwa idealnya, seorang sarjana yang bekerja di lingkungan dunia akademis, hendaknya tidak menjadi jago kandang di lingkungannya sendiri. Ia jangan sekadar cemerlang di menara gading. Ia harus juga mampu mengaplikasikan ilmua untuk kepentingan masyarakat. Oleh karena itu, gagasan-gagasannya juga harus dapat dipahami dan diterima masyarakat luas. Setidak-tidaknya, gagasan Wan Anwar menggambarkan sebuah problem kultural yang juga terjadi di dalam dunia pendidikan kita.

Dua tulisan lainnya, “Gaya Kepemimpinan” (Romli Ardie) dan “Peranan Supervisi dalam Pendidikan” (Suherman), seperti dua tulisan yang saling melengkapi, komplementer. Romli Ardie lebih mencermati pentingnya gaya kepemimpinan dan kecerdasan emosional bagi seseorang yang diberi kepercayaan mengelola institusi pendidikan. Boleh dikatakan, Ardie seperti memberi semacam panduan yang baik, bagaimana seseorang menjadi manajer dalam institusi pendidikan. Sebuah uraian yang niscaya dapat dimanfaatkan bagi siapa pun yang ingin atau sedang menjalankan tugasnya sebagai pemimpin.

Dalam wilayah yang lebih khusus, terutama yang menyangkut bidang studi, peranan supervisi, pada hakikatnya tidak jauh berbeda dengan seorang pemimpin. Ia harus terus-menerus melakukan komunikasi dengan guru bidang-bidang studi agar pengajaran di dalam kelas dan kualifikasi guru menjalankan tugasnya dapat berjalan dengan baik dan optimal. Sebuah sumbangan pemikiran yang sangat baik bagi usaha peningkatan kualitas guru dan pengajaran di sekolah.
***

Uraian ringkas mengenai ke-10 tulisan tadi, tentu saja sangat tidak memadai jika dibandingkan dengan kualitas tulisan-tulisan itu sendiri. Dalam hal ini, ada banyak gagasan dan pemikiran yang dapat ditindaklanjuti, baik untuk kepentingan memberi masukan bagi pemerintah daerah, maupun untuk kepentingan pengembangan dunia pendidikan itu sendiri. Di situlah, kontribusi –meminjam istilah Wan Anwar— “pendekar akademis” tidak sekadar sebagai “jago kandang” melainkan mencoba pula menawarkannya ke wilayah yang lebih luas: masyarakat! Apapun tanggapan masyarakat, tentu saja patut diperhatikan sebagai masukan yang berharga.

Bagaimanapun juga, penerbitan buku ini, mestilah ditempatkan sebagai bagian dari perhatian pendekar akademis terhadap perkembangan sosial-politik yang terjadi di sekitarnya. Bahwa mereka “hanya dapat” menyumbangkan gagasannya, justru di situ peranan dan fungsinya sebagai pendekar akademis, intelektual yang juga ikut bertanggung jawab atas maju-mundurnya dunia pendidikan di negeri Indonesia.

Kehadiran buku ini, juga harus dipandang sebagai bentuk komunikasi –kaum intelektual—yang berkecimpung di dunia pendidikan, dengan masyarakat yang lebih luas. Oleh karena itu, jika kita cermati benar berbagai gagasan yang terhimpun dalam buku ini, banyak hal yang sesungguhnya menyodorkan sesuatu yang baru. Setidak-tidaknya, jika kita menganganggap berbagai tulisan itu belum memadai, maka tugas kitalah untuk memperbaiki dan menyempurnakannya lebih lanjut. Jadi, komunikasi yang ditawarkannya berupa kajian kritis atau penelitian lanjutan mengenai berbagai problem yang dapat kita tangkap dari gagasan-gagasan yang ditawarkan buku ini. Itulah salah satu bentuk komunikasi pendekar akademis dalam menawarkan gagasannya kepada masyarakat. Satu tindakan yang sungguh terpuji dan elegan!

Bojonggede, 9 Mei 2004

Max Dauthendey (1867-1918)

Penyair Jerman yang Meninggal di Kota Malang

Nurel Javissyarqi
http://pustakapujangga.com/?p=447

Tatkala insan dari tlatah jauh memasuki alam tropis Jawa Dwipa, meyakini keberadaannya, akan diserap suara-suara gaib.

Kehadiran suara merambahi sekujur badan jiwa, naluriah berkecambah meresapi aura keganjilan.

Nalarnya ditelan pusaran keagungan, yang dicari tapak kehakikian. Kesantausaan hayat ketulusan menebarkan budhi mengembangkan pekerti.

Mendapati restu leluhur atas bencah dipijaknya. Dinaya meruh didengarnya, bisikan tak terlihat namun sangat dekat, melebihi denyutan nadi.

Dibawa terbang menuju pengetahuan tak terhingga, pengajaran tiada di negerinya.

Hingga yakin nasib kata-katanya membuncah hadir, kala anak bangsa yang didiami melestarikan.
***

Ku persembahkan sastrawan Max Dauthendey, dari buku “Malam Biru di Berlin” penerjemah Berthold Damshäuser dan Ramadhan K.H., penerbit PT. Star Motors Indonesia, 1989:

Dialah penyair, pengarang prosa impresionistis, yang seringkali latar belakang karyanya eksotis. Dua kali menempuh perjalanan ke Asia, kedua di tahun 1914. Di tanah Jawa sebagai orang Jerman ditangkap tentara Belanda, sewaktu itu keadaan perang dengan Jerman. Karena terpaksa tinggal di Jawa dan merindu istrinya, Max Dauthendey meninggal di kota Malang. Marilah simak salah satu puisinya:

KEPADA CIKURAI

Oh gunung, yang nyundul angkasa,
Puncakmu nyaksikan jaman segala,
Engkau yang abadi, yang tak dapat menjadi tua,
Tahun-tahun yang berlalu tak mengganggumu jua.
Dan abad-abad yang lewat tiada pula kaurasa
Bila kau sejukkan dahi di angkasa.
Kau telah hidup waktu lelaki pertama
Merebut hati wanita yang semula.
Kau tetap akan hidup bila pasangan penghabisan
Lenyap pada peradaban penutupan.

Betapa penting kuanggap kesusahanku.
Betapa penting hari kemarin, hari ini dan esok.
Kau mengajar melihat jauh di atas keseharian,
Kau mengajar untuk percaya pada keabadian.

Garut 1915
***

Membacanya; tubuhku merinding kepercayaanku terbit, gunung paku bumi bagi orang Jawa, tertancap sudah sampai akhir masa.

Laksana badan dewata berkasih sayang diselimuti kabut dataran tinggi, melahirkan bulir-bulir iman kehidupan.

Menjadi kehendak sah tercapailah awan sebayang-bayang di mata, mengagumi pesona Dwipa.

Ukuran penerimaan nyata dari kehadiran naluri mengejawantah, disadap dirinya merindu rasa.

Jika pulang tak terbilang hari-hari di atas kapal, menyeberangi lautan derita asin garam angkasa.

Tentu merasakan air pertiwi ini betapa murni, bagaikan belaian ibunda bagi anak-anaknya.

Max diguyur derasnya perasaan, seakan lupa sekejapan seperti di negerinya sendiri.

Bathin teridamkan menggetarkan bulu-bulu, merangkum keseluruhan indra pengetahuan.

Aku saksikan kerling bola matanya pada gadis-gadis desa. Senyumnya membumi, sapaannya seperti panji-panji pujangga negeri ini.

Menorehkan kata-kata kalbu kemerah, melihat kaki-kaki lincah menanjaki pebukitan. Dirinya terpanah jantung blingsaran, rindu menggayuh.

Max masih khidmat mencium harum bunga, meski tangannya diborgol penjajah dalam penjara masa.

Mengabdikan seluruh kepada negerinya tercinta. Angin Dwipa kabarkan ketentramannya dilindungi dewata.

Jemari lembut begitu santun membelai kertas, demi mengguratkan selarik kisah. Atas segala deritanya, sampailah ke tanganku.

Pengelana yang setiap hari menuruti nafas kata dari ruh merubah maknawi, sedari getar sukma menetas balada.

Max tak kenali diriku, tapi percaya layangnya menuju naluri diugemi bencah ini, yang dirasa hingga tandas diakhir masa.

Adakah kegembiraan kali itu? Manakala dirinya menyatu getaran jiwaku. Auranya tidak kurang merambahi setiap kalbu.

Demi kabarkan negeri ini menyimpan angin semerbak wangi, anak-anaknya menghiasi kekisah penuh legenda.

Kata-kata Max menandaskan kesadaran hari-hari patut dikaji, selepas dijalani bagi tempaan lelaku jaman sejati.

Setatap mata elang mengeruk pengertian, yang hadir kesuburan faham bau kembang keadaban.

Menyaksikan kaum pribumi berjuang ke medan tempur, demi sedepa-depa ingatan sejarah;

darah air mata bumi putra, menjadi perhitungan kelak di kemudian hari merdeka.

Max tak menyangka di usianya baru enam tahun (1867-1918) di Jerman, pujangga agung tanah Jawa R. Ng. Ronggowarsito (1802-1873) meninggal dunia.

Dirinya seakan diawasi, lelangkah mungilnya diperhatikan; yang tertanda kali ini hembusan moyang terkisahkan.

Dedaun tropis gugur dihantarkan pulang, kering keemasan pengabdian, pepohon tegar bercerita jaman berulang.

Burung-burung menembangkan kepiluan dalam sangkar kepahitan, deritanya padaku, dan pada puncaknya berabadi.

Hatur salam dariku atas guruku, KRT. Suryanto Sastroatmodjo (1957-2007), semoga tuan bersahabat guyub dan damai di sisi-Nya…

MENEGUK SEJARAH DAN FALSAFAH

Judul Buku : Bung Sultan
Pengarang : RPA Suryanto Sastroatmodjo
Jenis Buku : Bunga Rampai Esai
Penerbit : Adi Wacana, Juni 2008
Tebal Buku : xxxiv + 230 hlm; 15 x 21 cm
Peresensi : Imamuddin SA.
http://forum-sastra-lamongan.blogspot.com/

Wartawan, penulis, sastrawan, budayawan dan siapa saja yang mengabdikan diri dalam bidang tulis-menulis, semuanya pastilah memunguti batu-batu peristiwa yang berserakan di tepian hidupnya untuk dijadikan konsep dasar karyanya dan sebagai suatu kesaksian kecil dalam sejarah kehidupan umat manusia. Meskipun bersikap kecil, jika batu-batu itu dikumpulkan secara terus-menerus, seseorang akan mampu membuat rumah sejarah, bukit sejarah, bahkan gunung sejarah.

Bung Sultan merupakan sebuah karya yang patut kita selami dan kita teguk setetes demi setetes bening air kesaksian serta pemikiran pengarangnya. Karya ini digurat dari serpihan peristiwa yang tertangkap oleh indrawi pengarangnya. Pengarangnya tidak lain adalah seorang tokoh yang fenomenal yang dimiliki bangsa ini, terlebih-lebih bagi keraton Yogyakarta. Dialah KRT. RPA. Suryanto Sastroatmodjo (Mas Sur).

Mas Sur adalah seorang redaktur surat kabar, sastrawan, serta budayawan. Dalam buku bunga rampai esai ini, beliau banyak menggoreskan falsafah hidup sebagai suatu wacana kehidupan bagi umat manusia. Selain itu, di dalamnya merupakan saksi sejarah bagi daerah Yogyakarta dan sekitarnya kala bergerak mengikuti siklus modernisasi. Falsafah-falsafah hidup dalam buku ini diracik sedemikian rupa yang diarahkan dan dibenturkan dengan kepribadian manusia, realitas fisik daerah Yogyakarta dan sekitarnya serta masyarakatnya. Fenomena tersebut juga dibumbui dengan khasanah kejawen pengarangnya selaku seorang Kanjeng Raden Tumenggung (KRT) dan Raden Panji Anom (RPA).

Mas Sur dalam bunga rampai esai ini seolah mengingatkan kita semua akan hakekat hidup yang semestinya. Beliau menyatakan bahwa “Aja lali marang tetenger sing ana. Yen wus gumathok pathoke, yo ing kono kiwi kena digoleki punjere” (Jangan melupakan peninggalan yang ada. Manakala sudah jelas letak nisan yang dicari, maka akan lebih gampang mencari pusatnya. Apa yang disebut “tetenger” pada kalimat di atas adalah berarti sesuatu monumen yang ditinggalkan oleh tokoh tertentu yang dibanggakan oleh dunia seputar. “Pathok” yang divisualkan dalam bentuk batu nisan yang kukuh, secara langsung merupakan penunjuk dalam kehidupan di jagad ini, yang darinya suatu keturunan menapaki. Sedangkan “punjer” berarti pusat alias teleng dari nukilan sejarah yang berlangsung. Jika kita ingin sesuatu dari rantauan hakiki istilah ini, maka akan kita temukan perkataan “panjer” yang artinya senantiasa dipasang, digantungkan, dicantelkan, ditayangkan di pokoknya. Selain itu, dalam esainya yang berjudul “Jejak Menuju Cagak” beliau menegaskan definisi cagak yang gimaksus. Baginya, cagak merupakan suatu tiang-pancangan, bahkan juga berarti tonggak yang menandai suatu rangkaian peristiwa dalam kehidupan ini. Dengan kata lain, dengan menyebut adanya cagak pada kehidupan ini, agaknya manusia harus menyadari dua hal. Pertama, suatu kenangan terhadap sejarah yang berada di latar belakang, yang sekaligus sebagai kerangka tindaknya. Sedangkan yang kedua, suatu kesadaran yang lebih substansial, bahwasanya hidup ini berlangsung dari periode yang satu ke periode berikutnya, seraya mengembangkan jalur-jalur “kenerdekaan ruh”-nya”. Dengan kata lain, Mas Sur dalam nuku ini mengisyarahkan akan dua hal, yaitu kesejatian hidup dan sejarah kehidupan.

Buku Bung Sultan ini cocok dinikmati oleh mereka yang gandrung dengan wacana kebudayaan serta nilai-nilai falsafah hidup. Meskipun demikian, buku ini kurang cocok dikonsumsi oleh mereka yang berusia SLTA ke bahwah. Hal itu disebabkan oleh muatan buku ini yang terlalu berat dicerna oleh mereka yang seusia itu. Bisa jadi buku ini akan terasa membosankan bagi mereka dan malah memampatkan daya minat baca mereka terhadap buku ini.

Ada tujuh belas pokok bahasan dalam buku ini yang dirangkai dalam tujuh belas judul esai. Ketujuh belas judul tersebut adalah: “Tetenger, Punjer, dan Panjer”, Tapa Wuda Asinjang Rikma, Dari Tikungan yang Menuju Pertigaan, Sandiwara dan Sambiwara, Jejak-Jejak Menuju Cagak, Yang Melahap dan Yang Menggilas, Si Cacat yang Tanpa Cela, Ciri-Cira di Tengah Upacara, Tiada yang Hilang di Balik Watugilang, “Wara Ratna” Sri Pakubuwono IX, Desa Mawa Cara, Negara Mawa Tata, Yang Lingsir di Pesisir, Yang Semi di Praja Kejawen, “Sawingka Sih-ing Nugraha, Saretna Gurit Kuwasa”, “Bocah Among Pradah, Sepuh Angon Kewuh”, R.A. Kartini dan Kebudayaan, Sang Sinuwun dalam Buhul-Buhul Dimensi, Malioborodan Siklus Lingkungan: Dapatkah Model Penataan Renggaprajan Awet Bertahan?”. Selanjutnya; pemahaman tanpa rasa segalanya kan terengkuh tanpa makna. Dan akhirnya, selamat meneguk kedalaman bening air telaganya.

KEMBANG KERTAS

Judul : Kembang Kertas
Penulis : Kurniasih
Penerbit: Jalasutra, cet 1 2005
Tebal : 200 hal
ISBN : 979-3684-37-2
Peresensi: Hernadi Tanzil
http://www.ruangbaca.com/

Kurniasih adalah bibit baru yang menjanjikan sesuatu (hal 13), demikian komentar Bambang Sugiharto, filsuf dan pengamat sastra “jebolan” Unpar (Universitas Parahyangan) Bandung dalam menutup kata pengantarnya di buku ini. Kurniasih, penulis muda kelahiran Bandung ini, tercatat sebagai mahasiswa tingkat akhir di Sastra Inggris IAIN Sunan Gunung Djati Bandung. Kini ia aktif di FSK (Forum Studi Kebudayaaan) ITB, sebuah forum yang bergiat dalam pengkajian berbagai permasalahan budaya kontemporer. Di FSK inilah ia sering mendiskusikan dan menuliskan kajiannya tentang sastra. Kegiatan hariannya saat ini adalah menjadi editor buku fiksi dan nonfiksi di penerbit Jalasutra, Aktifitasnya yang dekat dengan dunia baca-tulis inilah yang mendorongnya untuk menulis fiksi yang antara lain tertuang dalam buku kumpulan cerpen ini.

Kembang Kertas adalah kumpulan cerpen pertamanya yang ditulis dan dikumpulkannya sejak 2003 hingga 2004. Cerpen-cerpennya ini menurut pengakuan penulisnya berangkat dari kebingungan-kebingungannya yang kompleks dan tak berujung. (hal 46). Mungkin inilah yang menjadikan cerpen-cerpennya dalam buku ini menggunakan gaya bahasa yang melambung-lambung, puitis dan metaforik. Buku ini memuat 13 cerpen, pada cerpen-cerpen awal seperti TabikLoreda, Kembang Kertas, Musafir, Anak Kesunyian, Sang Pelaut, pembaca akan dibawa pada kisah-kisah surealistik dengan metafor-metafor indah yang akan membawa pembacanya menukik kedalam imaji-imaji bawah sadarnya. Beberapa cerpen menggunakan imaji-imaji sadistik dan berdarah-darah, hal ini antara lain tampak dalam cerpen Musafir yang tertulis : Menjelang malam kapalku berlabuh di pantai yang digenangi air laut berwarna darah. Lidah-lidah para penduduk terapung-apung seperti anak ikan yang telah mati. (hal73). Dalam cerpen-cerpen awalnya pembaca melalui metafor-metafornya akan dibawa pada tema-tema penting dan filosofis seperti kekerasan patriaki (Kembang Kertas), hubungan anak dengan ibunya (Musafir), gugatan terhadap lembaga negara (Anak Kesunyian), dan sebagainya

Namun tak semua cerpen dalam buku ini berkisah dalam kepekatan alam surealistik, beberapa cerpen seperti MataMati, Cecilia, dan Mouli ditulis dengan pelukisan yang lebih realis dan sederhana yang memotret suasana-suasana batin para tokoh-tokohnya. Tema-tema ceritapun berangkat dari keseharian seperti rasa kehilangan kekasih, kerinduan terhadap sosok idola yang tak tergapai(MataMati) hingga soal kekasih gelap(Sesaat Saja).

Penjelajahan imaji dan penggunaan metafor-metafor dalam buku ini setidaknya akan mengingatkan pembaca pada karya-karya awal Danarto dan Nukila Amal. Tak dapat dipungkiri dalam beberapa cerpen di buku ini pengaruh dan jejak-jejak Nukila Amal pun tak terhindarkan.

Bagi beberapa pembaca, seperti diakui Kurniasih dalam kata pengantarnya, mungkin akan menemui kesulitan dalam memahami apa makna dari cerpen-cerpen yang terdapat dalam buku ini. Memang pengisahan dalam gaya surealistik yang kaya akan imaji membuat kalimat-kalimat dalam sebuah kisah menjadi terasa indah oleh metafor-metafornya. Namun kadang hal ini dapat mengakibatkan sebuah cerita menjadi absurd dan sulit untuk dipahami. Beberapa cerpen dalam buku ini mungkin berpotensi menjadi demikian, namun hal ini juga membuat cerpen-cerpen dalam buku ini menjadi lebih bebas untuk ditafsirkan secara luas oleh masing-masing pembacanya.

Buku ini juga diperkaya oleh 3 buah kata pengantar yang ditulis oleh filsuf Bambang Sugiharto, pemerhati masalah Feminisme Aquarini Priyatna P, dan Himawijaya, editor pada kumpulan cerpen ini. Masing-masing menulis dari sudut pandangnya masing-masing, Bambang Sugiharto mengamati cerpen-cerpen Kurniasih dari sudut permainan Imaji dan Simbolisme, Aguarini memberikan pengertian baru mengenai Abjek dan Perempuan yang terdapat dalam buku ini, sementara Himawijaya meninjau buku ini dari sudut pandangnya yang sarat dengan muatan filsafat.

Akhirnya buku ini memang sangat layak untuk diapresiasi, keseluruhan cerpen-cerpennya menjanjikan ‘sesuatu’ dalam khazanah sastra kita. Tak berlebihan jika Bambang Sugiharto mengatakan bahwa Kurniasih adalah bibit baru yang menjanjikan. Kini dunia sastra tanah air tinggal menunggu apakah bibit baru ini akan tumbuh menjadi salah satu penulis yang namanya akan diperhitungkan dalam khazanah sastra nasional? Kita tunggu apresiasi para pengamat sastra terhadap kehadiran karya ini. Asal saja Kurniasih tetap konsisten dalam berkarya sesuai dengan jalur yang kini tengah ditekuninya. Bukan tak mungkin jika bibit baru itu memang sedang bertumbuh.

Hamsad Rangkuti, Kereta Api dan Pohon Jati

Dimas
http://www.poskota.co.id/

Hamsad Rangkuti kembali bikin ulah unik. Dia menikahkan putranya dengan mengundang menteri kehutanan RI.
Sebagai penghormatan atas hadirnya Menhut, yang secara pribadi merupakan temannya, dia memberikan mas kawin 500 batang pohon jati unggulan kepada mantunya, yang langsung ditanam.

Mas kawin berupa 500 bibit pohon jati unggulan ini diberikan dalam ijab kabul Girindra Rangkuti dan Sitti Samrotul Fuadah yang disaksikan Menteri Kehutanan, MS Ka’ban, di Kampung Cimayang III RT 12 RW 05, Desa Cimayang, Pamijahan, Leuwiliang, Bogor, Minggu (5/7).

Dalam ijab tersebut, diserahkan sejumlah seserahan termasuk cara simbolik mempelai pria menyerahkan satu pot bibit pohon jati tersebut.

Usai prosesi kedua mempelai itu, seperti dilaporkan detik.com, beserta orang tua, kerabat dan MS Ka’ban, mereka menanam bibit pohon jati di sebuah hutan yang berjarak sekitar 500 meter dari tempat acara.

Menurut MS Ka’ban, bila 500 bibit jati ini tumbuh dan kemudian mencapai 10 tahun, diperkirakan hargannya akan mencapai Rp 1,5 miliar. “Pohon jati tersebut kalau berumur 8 tahun diameternya bisa mencapai 60 centimeter. Jadi, pohon tersebut bisa jadi tabungan kedua mempelai,” ujarnya.

“Ide pemberian bibit pohon sebagai mahar sangat unik dan positif. Karena bisa jadi wahana untuk membudayakan penanaman pohon oleh masyarakat. Dan, itu sesuai dengan program Dephut selama ini, yakni one man one tree. Jadi, mahar bibit ini mengandung banyak dimensi, terutama untuk melindungi bumi dari pemanasan global,” tandasnya.

KERETA API
Ini gebrakan Hamsad yang ke dua. Saat mantu anaknya yang pertama, beberapa waktu lalu, dia menyewa Kereta Api Listrik Bogor - Jakarta, yang biasa dinaikinya, sebagai tempat akad nikah dan resepsi pernikahan putrinya.

Hamsad Rangkuti, 66, dikenal sebagai maestro cerpen Indonesia. Sudah 47 tahun dia berkarya di dunia sastra tanah air. Kehebatannya diakui internasional, dengan peraih penghargaan SEA World Award dari Raja Thailand (2008), Anugerah Sastra Khatulistiwa 2003.

Di jajaran penulis cerpen, sastrawan kelahiran Tikuning, Medan Sumatera Utara ini masuk jajaran papan atas dan disegani, bersama-sama AA Navis, Gerson Poyk, Danarto, Seno Gumira Adjidarma, Radhar panca Dahana, Jujur Prananto, dll.

Sejumlah cerpennya telah diterjemahkan ke dalam bahasa asing, seperti Sampah Bulan Desember yang diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dan Sukri Membawa Pisau Belati yang diterjemahkan kedalam bahasa Jerman.

Novel anak-anak yang ditulisnya, Kereta Pagi Jam 5 menduduki peringkat pertama kategori buku bacaan fiksi SD berdasarkan penilaian Departemen P dan K (1994) .

Dua cerpen dari pemenang Cerita Anak Terbaik 75 Tahun Balai Pustaka tahun 2001, Umur Panjang Untuk Tuan Joyokoroyo dan Senyum Seorang Jenderal pada 17 Agustus dimuat dalam Beyond the Horizon, Short Stories from Contemporary Indonesia yang diterbitkan oleh Monash Asia Institute, Australia. Kumpulan cerpennya, Bibir dalam Pispot meraih Sastra Khatuliswita 2003.

Tiga kumpulan cerpennya Lukisan Perkawinan dan Cemara (1982) serta Sampah Bulan Desember di tahun 2000, masing-masing diterbitkan oleh Pustaka Sinar Harapan, Grafiti Pers, dan Kompas. Salahsatu cerpennya difilmkan oleh mahasiswa IKJ, dimana dia ikut main.

Sebagaimana cerita-cerita yang ditulisnya dalam cerpen, yang realis, unik dan kocak, dengan mengeksploitasi kehidupan rakyat kecil, demikianlah dalam kehidupan sehari-hari. Dia merupakan sosok seniman Medan yang santun.

Kepada penulis, dia pernah bercerita ketika kulit kepalanya melepuh lantaran tersiram air panas. Dia mengisahkan, menjelang pulang malam, dan isterinya memanaskan air untuknya buat mandi.

“Saat itu Abang lagi mikirin bagian akhir dari cerpen yang lagi abang tulis. Eh, lupa mencampur air panas di ember dengan di kulah. Langsung siram saja ke kepala, ” katanya. Bayangkan rasanya!

Ramah, bersuara lembut dan rendah hati, Bang Hamsad akrab dengan kemiskinan dan penderitaan. Di Sumatra Utara, dia dibesarkan sebagai pedagang buah yang hidup di pasar.

Dalam seminar proses kreatif, dimana dia jadi pembicaranya, Bang Hamsad pernah mengungkapkan menulis cerpen baginya seperti berbohong. Apa yang ditulis sering merupakan khayalannya, mimpinya dan kebohongannya. Hamsad lalu menunjuk proses penciptaaan salahsatu contoh cerpen yang menghebohkan : Maukah Kau Menghapus Bekas Bibirnya di Bibirku dengan Bibirmu.

Tak lulus SMA, tapi pernah menjadi Pemimpin Redaksi majalah Horizon yang disegani penulis se-Tanah Air, Bang Hamsad memiliki keinginan yang sederhana di hari tuanya. Saat memperoleh uang tunai sebesar Rp70 juta sebagai peraih Anugerah Sastra Khatulistiwa 2003, dia ingin membeli angkot untuk anak-anaknya yang sudah dewasa tapi masih menganggur.

Ayah empat anak tersebut menyadari bahwa saat ini mencari pekerjaan tidaklah mudah. Oleh karena itu ia memilih membeli kendaraan angkot sebagai modal kerja anak-anaknya untuk bisa lebih mandiri.

Keinginan ayah 4 anak, kelahiran 7 Mei 1943 ini tak muluk-muluk. Dia mengolah keadaannya dengan kreatif. Dan dia berhasil.

Pencarian Kesejatian Adlawi

Mohammad Eri Irawan*
http://www.jawapos.com/

Puisi, pada mulanya, adalah ikhtiar penyair menyampaikan ide (dan nubuat) lewat imaji-imaji yang ia representasikan dalam huruf-huruf di puisinya. Imaji itu ada berserakan di mana-mana lalu ditangkap oleh indra penyair. Tantangan utama sang penyair adalah mengolah imaji itu untuk dikonkretkan menjadi ide (dan nubuat) ke dalam puisi, terkadang lewat hal-hal yang simbolik.

Persoalan menghadirkan kekuatan ide yang implisit dalam kata-kata di puisi yang sesungguhnya eksplisit setidaknya menjadi salah satu parameter keberhasilan rekam jejak kepenyairan seseorang.

Samsudin Adlawi hadir lewat buku sajaknya, Jaran Goyang. Sebelum ini, jejak kepenyairan Adlawi (khalayak memanggilnya Sam atau Udi) sudah lumayan panjang. Sejumlah sajaknya hadir di beberapa antologi, seperti Interupsi (1994), Cadik (1998), Wirid Muharram (2001), dan Dzikir (2001). Dari jejak kepenyairan itu, buku ini tetaplah menjadi milestone bagi Adlawi dalam menghidupi dunia sastra tanah air.

Tak cukup mudah menelaah sajak-sajak penyair kelahiran Banyuwangi ini. Sajak-sajaknya berpretensi melampaui makna harfiah hal-hal fisikal -kendati dalam beberapa sajak hal tersebut kurang bisa digapai. Di tangan Adlawi, bahasa menjadi teramat problematis (di sampul buku Arif Bagus Prasetyo menyebutnya sebagai ”problematisasi bahasa”), rentan, namun sekaligus mencerahkan atau setidaknya menghadirkan kesegaran baru dalam jagat perpuisian kontemporer di tanah air; seperti bisa kita simak dalam sajak Ci Pinang Ta, Am dan I Mengapit Bis, Mata Mati Mati Mata, Na Belahan Jiwa Nak, Petualangan Se, Sus Mencari U, Sel Imut, Esa, atau Angin Angan Angan Angin.

Mayoritas sajak Adlawi di antologi ini ditatah dengan semangat religiusitas yang menggebu. Adlawi mencoba mendedah sebuah pencarian makhluk yang tak pernah usai terhadap ”Kesejatian”, karena hidup memang sesak dengan hal aksiden-superfisial: lapar-dahaga hanyalah permainan (sajak Menggapai Akhir).

Kendati hadir dengan semangat spiritualitas yang tinggi, sajak-sajak Adlawi bukanlah traktat yang final. Ia tidak secara diametral mempertentangkan antara sakral dan profan. Artinya, ”Kesejatian” di sini menjadi sesuatu yang tak selesai digamit, selalu urung direngkuh, melulu sesak dengan berbagai kemungkinan. ”Kesejatian” menjadi sesuatu yang remang: ia diafirmasi oleh Adlawi tapi anehnya kemudian dinegasi, begitu seterusnya.

Di sajak Mencari Arah, misalnya, aku-lirik seolah berada di gurun luas yang tak jelas mana pangkalnya. Aku-lirik terus berjalan menuju pangkal, menuju ”Kesejatian”. Ia temui banyak kesejatian (”k” kecil) dalam setiap depa perjalanannya, siang dan malam. Tapi belum pernah dijumpainya ”Kesejatian” (”K” besar): kerna tanpa bulan kau hanyalah kelam, duhai malamku…//kerna tanpa matahari kau hanyalah senja, duhai siangku.

Aku-lirik di sini tampil gahar, keras kepala, dan tak kenal surut melangkah. Ia terus laju melawan badai, sebab hidup memang sebentuk ikhtiar yang tak pernah sudah mendekap yang hakiki, yang kudus, yang sejati. Aku-lirik seolah menjadi majnun: di malam tanpa bulan di bulan tanpa malam/di siang tanpa matahari di matahari tanpa siang/aku terus berjalan mencari arah bertuhan.

Dalam pencarian yang sarat nafas religi semacam itu, agaknya Adlawi teramat larut menggemakan kesunyian. Hampir terasa klise, sebenarnya, jika pencarian ”Kesejatian” melulu diasosiasikan dengan suasana yang hening, seperti dalam sajak Istana Bunyi, Rumah Sepi, dan Kesaksian Malam I.

Namun, tangan dingin Adlawi membuat sajaknya terasa lebih kukuh dan tegar, sehingga kesunyian makin asyik digumuli: jalan ini setapak berundak/menuju gunung sepi/tak eloklah kau menapak/jika karib kau bukan sunyi (sajak Istana Bunyi).

Dalam pencarian panjang menuju yang hakiki, bagi Adlawi, jika kelak sudah menemukan ”Jalan”, maka pertautan manusia dengan yang hakiki bukan bermakna fisikal, melainkan lebih merupakan pengalaman spiritual yang teramat individual: …kali ini aku datang/ke surau hanya membawa jiwa/kerna badanku dipakai sajadah/musafir yang baru kembali menemukan arah menuju (sajak Sajadah).

Sajak-sajak Adlawi secara umum berfokus pada kegelisahan eksistensial, sehingga puisi dibawa pada situasi yang cenderung senyap. Tak heran, kebanyakan puisi Adlawi serupa dialog-dalam-diri: menggumam meski terkadang disampaikan dengan ungkapan yang lantang.

Namun, bukan berarti sajak-sajak Adlawi melulu berisi tema tersebut. Ada kalanya Adlawi, seperti kebanyakan manusia kini, merasa gelisah dengan zaman yang kian centang-perenang. Mata batin Adlawi sebagai penyair mencoba menanggapi dunia yang berderak dengan kebopengannya. Maka, penyair ingin dunia tak merupa conveyor yang melaju cepat tanpa henti mengagungkan progress sebagai mantra andalan manusia modern.

Kendati demikian, sajak-sajak Adlawi secara umum tetap segar dan kuat. Metafora yang tak klise membuat pembaca benar-benar dimanjakan untuk mencapai ekstase ketika membacanya -sekaligus membikin pembaca bekerja keras untuk meraba dan menelaah sajak-sajaknya. (*)

*) Peresensi :Penikmat sastra, alumnus Unej.
Judul Buku : Jaran Goyang
Penulis : Samsudin Adlawi
Penerbit : Pustaka Pujangga
Cetakan : I, 2009
Tebal : 103 halaman

Di Balik Penerbitan Buku Sastra Swadaya

Adek Alwi
http://www.suarakarya-online.com/

BULAN-bulan terakhir saya menerima beberapa antologi cerpen dan puisi. Buku-buku itu tak cuma karya pengarang/penyair yang tinggal di Ibu Kota dan terbit di Jakarta, akan tetapi juga karya pengarang/penyair yang berdomisili di daerah, dan diterbitkan di daerah.

Dari Jakarta, saya terima antologi cerpen Papirus, berisi cerpen 24 mahasiswa/i Jurusan Teknik Grafika & Penerbitan Politeknik Universitas Indonesia. Lantas kumpulan puisi Di Antara Kita karya Salimi Ahmad; Antologi 20 Penyair yang berisi puisi 20 penyair usia 50-60 tahun; kumpulan cerpen Tina K Laki-laki Beroma Rempah-Rempah yang diterbitkan Kutubuku (milik Kurniawan Junaedhie, yang juga menerbitkan antologi cerpen saya, Nasihat-nasihat Cinta); dan Cerpen Kompas Pilihan 2008 Smokol yang memuat 15 cerpen dari 15 pengarang.

Dari daerah, ada antologi puisi Redi Lawu, memuat sajak-sajak 19 penyair yang tinggal di sekitar Gunung Lawu, diantaranya Beni Setia (Caruban), Hardho Sayoko SPB, Kusprihyanto Namma, Tjahjono Widarmanto, Tjahjono Widijanto (Ngawi), Jo Pakagula (Karanganyar), UE Wriasasmita (Ponorogo), juga Danarto (berdomisili di Jakarta lahir di Klaten). Lalu antologi cerpen Mimpi Jelang Pemilu berisi 10 cerpen dari 10 pengarang, yaitu Andi Dwi Handoko, Atmo Kanjeng, Dian Hartati, Gatot Prakosa, Gusmel Riyadh, Indrian Koto, Joko Purwanto/Jo Pakagula, Kusprihyanto Namma, Titik Andarwati, serta Yuditeha.

Selain buku-buku itu, saya percaya, tentu banyak lagi karya sastra terbit di paruh pertama 2009 dan tidak semua diterbitkan penerbit profesional. Buku-buku tadi misalnya, cuma Laki-laki Beraroma Rempah-rempah, Antologi 20 Penyair, dan Smokol yang terbit lewat penerbit benaran. Lainnya diterbitkan sendiri oleh para sastrawan, dibiaya sendiri atau patungan ramai-ramai, ataupun didanai sponsor tak mengikat.

Dan, bagi saya itu menarik, menggirangkan, mengharukan. Pertama, sebab hal itu melihatkan kehidupan sastra tetap ajek, bergairah, di Ibu Kota dan daerah. Frekuensinya tidak turun oleh aktivitas politik terkait pileg-pilpres, konsentrasi media cetak/ elektronik yang dijejali berita politik, cuapan pakar yang bak pengamat sepak bola. Di mata saya, itu sekaligus melihatkan buramnya visi media, lantaran lupa melihat manfaat yang disimpan sastra; pembangunan manusia dengan menyuburkan apa yang ada di dalam dada.

Tapi, itu pun tak aneh. Di zaman Orde Baru manusia Indonesia dibiasakan supaya pragmatis saja, berorientasi raga, sehingga jangan pula pelaku pers muda usia (lahir pada masa Orde Baru), elit politik/kekuasaan pun tidak akrab dengan kebudayaan, seni, sastra. Lain dengan pemimpin Indonesia tempo lalu (founding fathers); Sjahrir, Sukarno, banyak lagi, termasuk nama-nama yang bisa kita ikuti di Polemik Kebudayaan tahun 1930-an.

Para pelaku sastra sadar betul hal itu. Jauh dari berkecil hati, mereka justru terus berkarya; tulis puisi, cerpen, novel, galang dana lantas terbitkan sendiri atau ramai-ramai. Langkah ini ditempuh karena saat ini penerbit pun berorientasi laba melulu. Laba penting bagi penerbit. Tetapi kalau laba sama sekali meniadakan idealisme (sampai menerapkan subsidi silang buku yang bisa raup untung dan yang kurang pun tak sudi), maka tertutup pintu bagi buku puisi untuk diterbitkan. Itu yang kini terjadi, seperti jarum dalam jerami penerbit yang mau menerbitkan buku-buku puisi.

Nah, para sastrawan/penyair sisihkan penghasilan (sebagai guru, wartawan, dosen dll), atau cari donatur yang masih melek melihat makna di balik sajak, lalu terbitkan buku puisi. Buku itu dibagi-bagi gratis pada khalayak, karena mungkin hanya 99 koma sekian persen saja manusia Indonesia yang sadar guna puisi.

Proses terus berkarya itu, jelas tak sebatas ekspresi belaka. Dan menerbitkan buku sastra lalu membaginya secara gratis, jelas pula bukan didasari ingin populer. Keduanya dilandasi makna itu tadi: karena sastra berdampak pada pertumbuhan jiwa, menggetarkan dada, menggetarkan rasa.

Dada yang tidak mudah lagi bergetar, atau keringnya rasa, adalah persoalan gawat bangsa kita dewasa ini. Di kota-kota besar macam Jakarta, orang kini tak merasa apa-apa dengan kemewahan melimpah-ruah, sedang orang lain (yang tidak lain saudara sebangsa) buat makan apalagi untuk bersekolah, susah. Orang pun senyum terus di televisi, padahal jelas-jelas dia divonis korupsi, merampok uang negara, uang rakyat yang kini nestapa. Banyak lagi hal aneh, ganjil, mencemaskan, akibat jiwa yang tidak bisa lagi bergetar, rasa yang makin hari hilang dari dada.

Kedua, yang bikin saya girang sekaligus haru melihat beterbitannya antologi puisi dan cerpen dibiayai sendiri atau disponsori (akibat penerbit ogah sebab tak hasilkan laba), hal itu tidak saja terjadi di Ibu Kota, tapi juga di daerah-daerah. Malah, daerah tampaknya lebih bergairah, lebih ikhlas, misalnya sastrawan-sastrawan di lereng Gunung Lawu tadi. Di Ngawi, mukim Kusprihyanto Namma yang dulu aktif meneriakkan revitalisasi sastra pedalaman, dan hingga kini tampaknya tidak putus dengan menerbitkan buku-buku sastra berswadaya.

Ngawi, Caruban, di catatan saya memang telah tertera dengan bulatan merah di peta sastra Indonesia, seperti juga Payakumbuh, ataupun beberapa kota/daerah lainnya. Tahun 1970-an lebih-lebih sebelumnya, kota-kota seperti Ngawi, Caruban, Payakumbuh, belum terlihat di peta sastra Tanah Air. Para sastrawan di Nangroe Aceh Darussalam, dan Depok yang sepelemparan batu dari Jakarta, dari buku-buku mereka yang saya terima pada 2008, juga terlihat melakukan hal serupa. Menerbitkan buku sastra, sajak/cerpen, didanai sponsor, bagi-bagikan gratis.

Saya sendiri di Ibu Kota sudah dua kali melakukan itu. Pertama November 2008, untuk kumpulan cerpen Suara Rimba, disponsori pihak Departemen Kehutanan. Kedua, Agustus 2009, untuk kumpulan cerpen Rumah Yang Bercahaya dengan 6 sponsor: Bank BTN, PT Belaputra Intiland, PT Arwana Citamulia Tbk, Bapertarum-PNS, Perum Perumnas, DPP REI. Buku-buku itu dihadiahkan sponsor kepada relasi. Saya sendiri membagikan buku-buku itu ke berbagai pihak; teman-teman, relasi, perpustakaan, media massa, pejabat, rupa-rupa lembaga, dan sebagainya. Langkah itu akan saya tempuh terus sejauh penerbit profesional berorientasi laba melulu, tidak sudi kasih subsidi silang untuk buku-buku sastra.

Ada beberapa manfaat saya rasakan dengan langkah di atas. Pertama, karya-karya saya, yang selama ini bertaburan di berbagai media massa, terdokumentasi dalam wujud buku. Kedua, banyak-sedikit tentu saya dapat duit; bahkan berkali lipat dari royalti kalau buku itu ditangani penerbit. Ketiga, jalan ini akan merapatkan jarak antara pihak sponsor dan karya sastra (dan ini penting sekali, menurut saya). Keempat (kiranya ini tidak kalah penting dari yang ketiga), karya sastra saya dapat tersebar ke berbagai pihak, melalui sponsor dan saya. Moga-moga saja mereka yang kebagian serta membacanya (khususnya mereka yang selama ini masih awam sastra) bisa memetik manfaat yang dikandung karya sastra tadi, yaitu menyuburkan rasa, menghalangi kematian getar dalam dada.

*) Pengarang, wartawan, dan dosen.

Label

`Atiqurrahman A Muttaqin A Rodhi Murtadho A. Iwan Kapit A. Purwantara A. Qorib Hidayatullah A. Zakky Zulhazmi A.H.J Khuzaini A.S. Laksana Aang Fatihul Islam Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi WM Abdul Kadir Ibrahim Abdul Lathief Abdul Malik Abdul Wachid B.S. Abdurrahman El Husaini Abidah El Khalieqy Abu Salman Acep Zamzam Noor Achdiat K. Mihardja Adek Alwi Adi Suhara Adnyana Ole Adreas Anggit W. Afrion Afrizal Malna Aguk Irawan MN Agung Dwi Ertato Agus B. Harianto Agus Buchori Agus Himawan Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sulton Agusri Junaidi Agustinus Wahyono Ahda Imran Ahmad Badrus Sholihin Ahmad Fanani Mosah Ahmad Fatoni Ahmad Ikhwan Susilo Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musabbih Ahmad Rofiq Ahmad Sahidah Ahmad Tohari Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sekhu Alex R. Nainggolan Alex Suban Alunk Estohank Ami Herman Amien Kamil Amien Wangsitalaja Aminudin R Wangsitalaja Anastasya Andriarti Andreas Maryoto Anes Prabu Sadjarwo Angela Angga Wijaya Angkie Yudistia Anindita S Thayf Anis Ceha Anjrah Lelono Broto Anton Kurnia Anton Kurniawan Anton Wahyudi Anugrah Gio Pratama Anwar Nuris Aprinus Salam Arie MP Tamba Arif B. Prasetyo Arif Bagus Prasetyo Arif Hidayat Arman A.Z. Arti Bumi Intaran Arys Hilman AS Sumbawi Asarpin Asef Umar Fakhruddin Asep Sambodja Asrama Mahasiswa Aceh SABENA Astrikusuma Asvi Warman Adam Atep Kurnia Awalludin GD Mualif Aziz Abdul Gofar Azizah Hefni Badrut Tamam Gaffas Bagja Hidayat Bagus Takwin Balada Bale Aksara Baltasar Koi Bambang Agung Bambang Kempling Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Bayu Insani Beni Setia Benny Arnas Benny Benke Berita Berita Duka Berita Utama Bernando J. Sujibto Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Blambangan Brunel University London BSW Adjikoesoemo Budaya Budhi Setyawan Budi Darma Budi Saputra Budi Suwarna Bung Tomo Cak Kandar Catatan Cerpen Chairil Anwar Chavchay Syaifullah Cucuk Espe Cunong N. Suraja D. Zawawi Imron Dadang Ari Murtono Daisuke Miyoshi Damanhuri Damhuri Muhammad Damiri Mahmud Danarto Daniel Dhakidae Dante Alighieri Deddy Arsya Dedy Tri Riyadi Denny Mizhar Deny Tri Aryanti Detti Febrina Dharmadi Diah Hadaning Dian Hartati Dian Sukarno Diana A.V. Sasa Dicky Fadiar Djuhud Didi Arsandi Dimas Dina Oktaviani Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Djadjat Sudradjat Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Doddy Hidayatullah Donny Anggoro Dony P. Herwanto Dorothea Rosa Herliany Dr. Muhammad Zafar Iqbal Dr. Simuh Dwi Arjanto Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwicipta Dwijo Maksum Edy A. Effendi Edy Firmansyah Efri Ritonga Egidius Patnistik Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Hendri Saiful Elik Elsya Crownia Emha Ainun Nadjib Endah Sulawesi Endah Wahyuningsih Endang Suryadinata Endhiq Anang P Endri Y Eriyandi Budiman Ernest Hemingway Esai Esha Tegar Putra Eva Dwi Kurniawan Evi Dana Setia Ningrum Evi Idawati Evieta Fadjar F Rahardi Fabiola D. Kurnia Fadelan Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Faisal Kamandobat Faisal Syahreza Faizal Syahreza Fajar Alayubi Fandy Hutari Fany Chotimah Fatah Yasin Noor Fathor Lt Fathurrahman Karyadi Fatih Kudus Jaelani Fatma Dwi Rachmawati Fauzi Absal Festival Sastra Gresik Fikri. MS Fina Sato Fitri Susila Galih Pandu Adi Gde Agung Lontar Geger Riyanto Gerakan Literasi Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Ginanjar Rahadian Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gunoto Saparie Gus Martin Gus tf Sakai Gusti Eka Hadi Napster Haji Misbach Halim HD Halimi Zuhdy Hamberan Syahbana Hamdy Salad Han Gagas Handoko F. Zainsam Hari Santoso Haris del Hakim Hartono Harimurti Hary B. Kori’un Hasan Gauk Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Helwatin Najwa Hepi Andi Bastoni Heri C Santoso Heri KLM Heri Latief Heri Listianto Hermien Y. Kleden Hernadi Tanzil Heru Emka Heru Kurniawan Heru Prasetya Hesti Sartika Hudan Hidayat Humaidiy AS I Made Asdhiana I Made Prabaswara I Nyoman Suaka IBM. Dharma Palguna Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Ida Ahdiah Idayati Ignas Kleden Ihsan Taufik Ilenk Rembulan Ilham Khoiri Ilham Yusardi Imam Cahyono Imam Jahrudin Priyanto Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indah Darmastuti Indiar Manggara Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indrian Koto Irma Safitri Irman Syah Iskandar Noe Istiqomatul Hayati Ita Siregar Iwan Kurniawan Iwan Nurdaya-Djafar Iyut FItra Jadid Al Farisy Jafar M. Sidik Jakob Sumardjo Jamal D Rahman Janual Aidi Javed Paul Syatha Jayaning S.A Jefri al Malay Jihan Fauziah JJ. Kusni Jo Pakagula Johan Edy Raharjo Joko Pinurbo Jokowi Undercover Joni Ariadinata Joss Wibisono Jual Buku Paket Hemat Judyane Koz Juli Sastrawan Junaidi Abdul Munif Jusuf AN Juwairiyah Mawardy Kadir Ruslan Kasnadi Katrin Bandel Kedung Darma Romansha Khairul Mufid Jr Khamami Zada Khrisna Pabichara Kikin Kuswandi Koh Young Hun Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Komunitas Sastra Ilalang Indonesia (KSII) Korrie Layun Rampan Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan) Kristianto Batuadji Kritik Sastra Kunni Masrohanti Kunthi Hastorini Kuntowijoyo Kurie Suditomo Kurnia EF Kurniawan Kuswaidi Syafi'ie Kuswinarto Lan Fang Landung Rusyanto Simatupang Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Liestyo Ambarwati Khohar Linda Sarmili Liston P. Siregar Liza Wahyuninto LN Idayanie Lucia Idayani Lukman Asya Lusiana Indriasari Lynglieastrid Isabellita M Hari Atmoko M. Aan Mansyur M. Arman A.Z M. Bagus Pribadi M. Fadjroel Rachman M. Harya Ramdhoni Julizarsyah M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S M. Luthfi Aziz M. Nahdiansyah Abdi M. Raudah Jambak M. Shoim Anwar M. Yoesoef M.D. Atmaja Maghfur Saan Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Majalah Sastra Horison Maklumat Sastra Profetik Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Serenade Sinurat Mario F. Lawi Marluwi Marsel Robot Martin Aleida Martin Suryajaya Mashuri Matdon Mega Vristian Melani Budianta Melayu Riau Memoar MG. Sungatno Mh Zaelani Tammaka Miftah Fadhli Miftahul Abrori Misbahus Surur Miziansyah J Mochtar Lubis Mohamad Ali Hisyam Mohammad Eri Irawan MT Arifin Mugy Riskiana Halalia Muhajir Arrosyid Muhamad Rifai Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Al-Mubassyir Muhammad Qodari Muhammad Rain Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun A.S Muhidin M. Dahlan Muhlis Al-Firmany Mujtahid Mulyadi SA Munawir Aziz Murniati Tanjung Murnierida Pram Musa Ismail Musfi Efrizal Mustaan Mustafa Ismail N. Mursidi Nafsul Latifah Naskah Teater Nasrullah Nara Nelson Alwi Nenden Lilis A Nh. Anfalah Ni Made Purnama Sari Nina Mussolini-Hansson Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Noura Nova Christina Noval Jubbek Novela Nian Nugroho Notosusanto Nugroho Pandhu Sukmono Nur Faizah Nurdin F. Joes Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nurul Komariyah Nuryana Asmaudi SA Nyoman Tusthi Eddy Nyoman Wirata Oka Rusmini Oktamandjaya Wiguna Oky Sanjaya Olanama Olivia Kristina Sinaga Otto Sukatno CR Pagelaran Musim Tandur Pamusuk Eneste Patricia Pawestri PDS H.B. Jassin PDS. H.B. Jassin Penghargaan Hadiah Sastra Pusat Bahasa Persda Network Pipiet Senja Pramoedya Ananta Toer Pramono Pranita Dewi Pringadi AS Prita Daneswari Prof. Tamim Pardede sebut Bambang Tri Prosa Pudyo Saptono Puisi Puisi Kesunyian Puisi Sufi Puji Santosa PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Wijaya Qaris Tajudin R. Sugiarti Rachmad Djoko Pradopo Radhar Panca Dahana Ragdi F. Daye Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Ramadhan Batubara Ramadhan KH Ratih Kumala Ratna Indraswari Ibrahim Ratna Sarumpaet Raudal Tanjung Banua Remy Sylado Reni Susanti Renny Meita Widjajanti Resensi Restu Kurniawan Retno Sulistyowati RF. Dhonna Rian Sindu Ribut Wijoto Ridwan Munawwar Riki Utomi Riris K. Toha-Sarumpaet Risang Anom Pujayanto Riza Multazam Luthfy Robin Al Kautsar Rodli TL Rofiqi Hasan Rohman Abdullah Rosidi Rosihan Anwar Rukardi S Yoga S. Jai S. Sinansari Ecip S.I. Poeradisastra S.W. Teofani Sabam Siagian Sabrank Suparno Saiful Anam Assyaibani Sainul Hermawan Sajak Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sanggar Rumah Ilalang Sanggar Teater Jerit Sapardi Djoko Damono Sartika Dian Sartika Dian Nuraini Sastra Tanah Air Sastra Using Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sayyid Fahmi Alathas Sazano Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo Seli Desmiarti Selo Soemardjan Senggrutu Singomenggolo Seno Joko Suyono SH Mintardja Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sipri Senda Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Sobih Adnan Sofian Dwi Sofie Dewayani Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sri Ruwanti Sri Wintala Achmad St Sularto Stefanus P. Elu Sukron Abdilah Sulaiman Djaya Suminto A. Sayuti Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sungging Raga Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Suryansyah Suryanto Sastroatmodjo Susanto Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suyadi Suyadi San Syaifuddin Gani Syaiful Amin Syamsiar Hidayah Syarbaini Syifa Amori Syifa Aulia Tajuddin Noor Ganie Taufik Abdullah Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat TE. Priyono Teguh Afandi Teguh Ranusastra Asmara Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Theresia Purbandini Tita Tjindarbumi Titik Alva-Alvi Choiriyah Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tjoet Nyak Dhien Tosa Poetra Tri Lestari Sustiyana Triyanto Triwikromo TS Pinang Tu-ngang Iskandar Tulus S Tulus Wijanarko Udo Z. Karzi Ugoran Prasad Umar Fauzi Ballah Umar Kayam Umbu Landu Paranggi Universitas Indonesia Universitas Jember Utada Kamaru UU Hamidy Vera Ernawati Veronika Ninik W.S. Rendra Wahjudi Djaja Wahyu Hidayat Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Budiartha Widya Karima Wijaya Herlambang Wiji Thukul Willem B Berybe Wilson Nadeak Winarni R. Wiratmo Soekito Wita Lestari Wiwik Widayaningtias Y. Thendra BP Y. Wibowo Yasser Arafat Yeni Ratnaningsih Yohanes Sehandi Yonatan Raharjo Yonathan Rahardjo Yopi Setia Umbara Yos Rizal S Yos Rizal Suriaji Yudhi Herwibowo Yuka Fainka Putra Yurnaldi Yushifull Ilmy Yusri Fajar Yusuf Suharto Zainal Abidin Zainal Arifin Thoha Zawawi Se Zen Hae