Selasa, 04 Mei 2010

HIKAYAT KERIS GANDRING DAN TERBUNUHNYA TUNGGUL AMETUNG

Nurel Javissyarqi
http://pustakapujangga.com/?p=467

Malam suram, tiada hadir secerca bintang pun wajah molek bulan. Ken Angrok dengan tubuh kesatria menunggangi kuda hitam, menembus alam tanpa bayangan. Menderu terjang tiada keraguan, seringkikan binatang. Menakut-nakuti kawanan srigala yang biasa bertengger di bukit kapur tua.

Hanya dedaun buta saksi geraknya. Dan angin dingin senafasan tersengal nafsu Angrok. Lewat sentakan kencang, menghabiskan malam panggang tanpa percakapan di tengah perjalanan. Bathin menggerutu nalarnya mendidih. Menguap sekabut pegunungan merapi yang mengepul seasap tobong terbakar.

Sampailah di jalanan pesisir lautan diam, batuan karang terinjang bersimpan dendam. Langkahnya terus maju menerjang, hadirkan nasibnya demi dapati ketentuan. Betapa darahnya bergolak serupa pemuda lajang tercuri hatinya, ditawan bingkai kalbu seorang wanita. Ia masih dihantui wajah cantik yang telah diperistri takdir jahannam.

Telah jauh dari tapal batas kota, pula tinggalkan bencah pasir memasuki gapura dusun. Teramat sunyi, darahnya tambah naik melampaui batas kerinduan sepi. Yang beterbangan setarikan awan-gemawan dijelmakan hujan amarah. Ia hentikan langkah kudanya di depan pendapa Empu Gandring. Sedang rumput-rumput bunga mengitari, awalnya penuh damai.

Tersentak kedatangan sang penakluk. Dengan kaki tegap turun dari kuda tanpa sungkan membuang segan, Angrok menghadap Pu Gandring. Sang Empu sudah tahu gelagat alam kurang sedap. Yang dikabarkan kembang prabusetmata atas sederet alisnya, seperti kumis kucing mengincar mangsa.
Ki Empu mencium musibah kan menimpa, pada dirinya juga pemuda tanggung yang datang tanpa sungkem.

Tapi benarkah demikian? Mari diteruskan mengikuti rekamanku kala terjaga. Ini sentakan telak menyadarkan. Bukan alur juntrung menghempas, tapi hakikat hikayat melampaui logika penembusan sejarah. Tanpa kesopanan Angrok berucap:

Buatkan aku sebilah keris terbaik kesaktiannya. Carikan batu granit demi mutu tempaan dalam, sebelum besi baja kau semat dikulitnya. Ciptakan luk tujuh, itu bilangan hari kisah kejayaan dunia. Gagangnya carikan kayu cendana yang tumbuh di tengah malam purnama. Jangan lupa rendam dengan kembang tujuh rupa, disamping taburan garam dari samudera Hindia.

Aku berharap keris tersebut tiada menandingi, setiap orang melihatnya terkesima hingga kaki-kakinya membatu setelah kesemutan. Perhatikan juga jangan lama. Setengah tahun cukup kukira. Rampung tidak aku kemari mengambilnya. Jikalau tak menurut, tentu sudah hafal siapa diriku, dan yang akan kuperbuat demi kemanusiaan kelak. Maka persiapkan keharusanmu, sebelum kunamai pengecut yang mempecundangi bakat luhur abadi.

Ki Empu minta tambahan waktu. Sebab dengan masa sesingkat itu, sebilah keris ampuh belumlah utuh. Namun perbincangan bertelingakan satu. Angrok tetap bersikeras ditepati. Dialog tidak imbang, mencederai telinga pun menjulingkan mata. Takdir berubah cepat. Angrok tinggalkan perkara tidak mudah bagi Empu juga dirinya. Yang teridam hanyalah dendam merebut Ken Dedes ke dalam pelukan.

Angrok dapat dibilang kurang gagah dibanding Tunggul Ametung. Tapi ketampanannya sanggup menyedot gravitasi para wanita, bagi memandang teriris hatinya. Semangatnya membara, menuntut keinginan jauh melampaui orang-orang sejaman.

Dengan raut kusam, Ki Empu melihat punggung Angrok tinggalkan pendapa. Seolah baru disergap malaikat maut dari segala arah, atas todongan gairah terus membuncah. Lalu Ki Empu bersemedi, menata bathiniah demi sebilah keris sakti gagasan pemuda brandal.

Siapa pembuat keris, apa benar Empu Gandring? Setiap pesanan khusus ialah sang pemesan penciptanya. Empu hanya menampilkan energi pemesan, diselusupkan dalam sebuah karya.

Denting batuan granit setempaan kekukuhan niat Angrok merebut Dedes. Olesan minyak di lempengan baja, cermin kejernihan Angrok menangkap situasi, mensiasati nasibnya menaiki gelanggang pergolakan. Setiap luk keris putaran berfikirnya Angrok dalam menyikapi tragedi jiwa, bertumpuk rindu mendendam.

Ki Empu hanyalah tangan panjangnya. Sebab tanpa keris, Ametung pun mati atas semangat Angrok. Dan perintah pembuatan senjata, sekadar penghormatan kepada keduanya. Angroklah penciptanya. Ki Empu hanya menyulap gairah Angrok menjelma lempengan bermutu sebanding sama menyala.

Siang hari, Pu Gandring mencari tetumbuhan ramuan ke hutan, malamnya melanjutkan ritual. Meliriti besi baja mengolesi minyak ajaib serta bermeditasi demi sempurna. Sebuah karya Angrok yang takkan pudar riwayatnya di tlatah Jawa Dwipa.

Di lain tempat Angrok menggalang kekuatan kudeta, agar disetujui khalayak. Para menteri ketakutan bagai tikus kali. Pengawal Ametung dianggapnya anjing-anjing lapar, sekali lempar daging memuji tuan. Angrok, insan faham meramu kesempitan berkesempatan, membalik ciut menjelma kelapangan. Selalu menilik gejala alam diri pula luaran.

Lama sudah setubuhi laguan hayat dianggapnya berdaya mengukuhkan, yang sudi menghisap makna perjalanan. Pemilik watak keras bukanlah karang, tetapi ombak melukis dinding terjal. Kesadaran bayu langkahnya. Hingga pemerhati sepak terjangnya mencemasi masa membadai tak terkendali.

Ia musikus keheningan bathin, pelukis aliran darahnya, penyair disetiap tarian lidahnya. Namun apa daya, keindahan seni mengalir di tubuhnya berasal rindu dendam paling purba. Laksana pemahat tak mapan menjadi tentara, berkesempatan terbaik mencium darah pesaingnya. Seorang ditakdirkan selalu sukses dalam suksesi. Semua jalur dilalui tertunduk nasib besarnya.

Angrok, sang revolusioner tanpa pengetahuan, referensinya tragedi sekitar dan tak diambil kecuali menggasak lebih; bibir merona, mata gemerlap, alis melengkung sepohonan bukit barisan, janggut lancip ke bawah ngarai disiram hujan. Haus percumbuannya segeraian cemara bercampur bau fajar.

Setiap malam, menghitung kalender di balik jendela remang. Sebilah keris setubuh cantik cahaya Ken Dedes, yang matanya sendu jikalau lama tak dikunjungi berkasih sayang. Enam bulan sudah menanti waktu panggilan hasrat. Di senjakala hari terakhir Pu Gandring meliritkan keris naas. Angrok menaiki kuda jantan bersuara deru mendebu beterbangan, awan-gemawan mengawasinya ketakutan.

Mengendarai kerinduan membukit pendendam akan waktu-waktu diperhitungkan. Langit makin legam, kala kalender tua tersobek hari kebangkitan. Melalui pohonan waru berkulit temali pecut, randu-randu sekapuk mayit. Melintasi pepohonan jati menegasi jati diri dan atas trembesi di bathinya membesi.

Ribuan jarak rumput terinjak, disapunya ilalang berangin juang. Batu-batu tangga kesaksian, telaga dilihatnya memalingkan air muka. Angin dingin berhembus jinakkan nyali tetumbuhan sekitar pendapa. Ki Empu gemetaran mendapati firasat pahit menjemputnya pulang, ke negeri sangat asing dari pesawahan.

Kesahajaannya runtuh atas perasaan berkecamuk tanpa tahu gerangan kan terjadi. Teringatlah siang-malam melilit keris demi pemuda deladapan menggapai keyakinan. Dan sebelum rampung menghafal raut Angrok. Turunlah sedari kuda takdir. Dehem keras seguntur menakuti langit, kilatan matanya selaksa petir menyambar ke sudut-sudut terpencil.

Sampailah suara Angrok ke telinga; wahai Ki Empu perkasa, penyimpan kearifan pendahulu utama, di manakah kerisku? Aku telah menunggu hingga membatu tekatku, penantianku menimbulkan kesurupan setiap kali mengingat.
Terngiang harapanku sejarah anak manusia tanpa penghulu, menghujam meminta seorang pujaanku. Nilai terkandung abadikan dirimu dalam catatan waktu. Bersyukurlah kuberi tugas, tak semua orang kuperintah selain yang mulia.
Itu keagunganmu, aku tak pernah mengangkat tinggi penghormatan sebelumnya. Maka di manakah hakku?

Sabar duru anak muda; kata Pu Gandring. Keris yang kau pesan itu belum kulambari asmak kepurnaan. Apa jadinya tanggung sekawanan mendung keraguan, kan mendatangkan petaka. Namun Angrok gelap mata, direbutnya keris dari tangan Gandring atas nafsu membara. Sang Empu bersikukuh memegangi.

Angrok lantang berkata; Hai Ki Empu, keris itu jiwaku. Kau tak mungkin bisa menciptanya tanpa semangatku. Itu bukan hakmu dan kewajibanmu memberikan padaku. Kau telah kuberi kebesaran mencipta apa maumu, namun kenapa sekarang angkuh. Adakah kau cemburu atas keris itu, dimana sebagai penjelmaan kepribadianku?

Kala Pu Gandring mendengar ocehan Angrok, terlena sebocah dirayu janji gula-gula. Tidak disia-siakan merebut paksa. Tapi Empu bukan sembarang orang, gesit menampilkan halau serbuan. Bertarung pun jadi. Keduanya berebut keris jati diri. Takdir telah digariskan, hari dimana Angrok membunuh. Maka segenap dinaya Gandring hanya pertahanan mencapai titik lelah. Sedang perburuan Angrok sudah tertandakan langit paling malam, pun kedalaman lautan sangat kejam.

Dalam sekarat melaknat; Angrok. Aku telah kau tikam keris itu, maka kau dan ketujuh anak turunmu, kelak binasa dengan keris itu juga. Angrok menyesali tindakannya terlalu gegabah, mencipta takdir lain dan kutukan menjadi kenyataan esok. Bukan lantaran kesaktian Gandring, tetapi sesal menghantui Angrok dibawahnya pulang terlaksana. Rasa bersalah, ialah maut bersimpan perasaan was-was gentayangan.

Angrok menemui Ken Dedes di puri. Tanpa sepengetahuan keduanya, Tunggul Ametung menyaksikan mereka saling berkasih rindu, menghabiskan waktu menjelang senja ungu. Ametung mengawasi serupa kelinci mengendap-endap. Senja larut mengumpulkan kesumatnya, tetapi tak mau menumpahkan saat itu juga. Lantas malam pun terjadi.

Malam kamis kliwon Ametung terjaga, mondar-mandir di ruang tengah. Menggaruk kepala bukan apa, serasa ada yang mau hilang darinya. Dedes tertidur pulas mengimpi hari esok bersua kembali, dengan Angrok pujaannya di puri. Malam itu Ametung tak melihat wajah istrinya, Dedes pun tak hawatir sama sekali. Seanak hilang menemui kejelasan pada raut Angrok, ialah kembang mendapati angin segar gerimis.

Ametung masih berlalu-lalang tak memasuki bilik Ken Dedes. Geramnya merencanakan pertarungan jantan, antar dirinya dengan pemuda keparat, Angrok. Dasar alur cerita telah ditentukan, Ametung tersirap ilmu megananda sang penggagas sejarah gemilang Shingosari. Tidak dapat menahan kantuk memberat, tetap tak beranjak ke pembaringan. Seolah tiada gampang menyirapnya meski sekejap.

Tapi sial, angin pagi menyergapnya dari segala penjuru. Terkantuk lelap di ruang tengah di atas kursi kuasanya. Angrok, yang menguntit sejak dari puri menyaksikan gerak-geriknya sudah mencium sedap maut. Darah Ametung telah diraup angin gerilya. Dengan leluasa, Angrok menancapkan keris Gandring atas hasratnya. Menusukkan ke uluh hati Ametung, sampai malaikat maut tak segan mencabut nyawa.

Segala endapan menerima ganjaran, yang tanggung menemui kejelasan, rindu bertemu ciuman merah. Akhirnya, penguasa tanpa diragukan takut peniruan waktu-waktu busuk, membakarnya dengan hasrat menyala. Memuji lawan sisi terang, menghargai sebagai kehormatan. Empu Gandring tanpa Ken Angrok tak kan dikenang.

Jawa, Malang – Lamongan.
Dasar tulisan dari buku “Penulisan Sejarah Jawa,” karangan C.C Berg, yang diterjemahan S. Gunawan, terbitan Bhratara Jakarta 1974.

Seorang Pembantu, Seekor Kucing, dan Sebuah Guci yang Indah

AS Sumbawi
http://www.sastra-indonesia.com/

Sore itu kami pergi ke rumah paman yang baru pulang dari Cina. Sementara Mbok Darti dan seekor kucing tinggal di rumah. Mbok Darti kira-kira berumur enam puluh lima tahun. Kata ibu, dia sudah puluhan tahun menjadi pembantu di rumah kami. Mengurus kebutuhan harian keluarga kami. Dan sejak masih bayi, aku diurus oleh Mbok Darti. Maka, bisa dikatakan bahwa keberadaan Mbok Darti sangat membantu, membikin ringan tugas seorang ibu dalam keluarga kami. Sebenarnya keluarga kami mempunyai seorang pembantu lagi, Lik Paijo. Namun, sore itu dia bersama kami, menyopir. Ya, setiap harinya ia bertugas mengurusi bidang transportasi.

Pino, begitu nama yang diberikan ibu pada kucing itu. Kalau tak salah setahun yang lalu Pino pertama kali kelihatan di rumah kami dengan salah satu kakinya yang terluka. Ibu mengobati luka itu. Setelah sembuh, Pino dilepaskan kembali ke jalanan. Namun, hampir setiap hari Pino kelihatan di halaman rumah kami. Barangkali ini disebabkan oleh perlakukan istimewa dari ibu. Entah, apa yang menjadi sebab akhirnya ibu memutuskan untuk memeliharanya. Padahal, ibu bukan tergolong pemelihara dan penyayang hewan. Dan di sisi kiri halaman rumah, Pino tinggal di sebuah rumah kayu seukurannya.***

Ketika kami tiba di depan rumah paman, seorang perempuan setengah baya segera datang membuka pintu halaman. Aku baru pertama kali melihatnya di rumah paman. Sementara di serambi depan, paman dan bibi sudah berdiri dengan wajahnya yang mekar.
“Bagaimana kabarnya, Mbakyu. Baik-baik saja toh semuanya,” kata bibi.
“O, semuanya baik-baik saja.”
“Sudah kelas berapa, Awik?” kata paman.
“Kelas 1 SMP, Om.”

Percakapan kemudian mengalir lebih dari sekedar basa-basi. Dan topik yang hangat adalah kunjungan paman ke Cina itu. Pengalaman saat di tembok Cina yang masyhur itu. Juga tentang kebiasaan baru paman yang ikut-ikutan makan mie dengan menggunakan sumpit. Katanya, ia sudah amat lincah sekarang, sebab latihan secara rutin tiga kali sehari. Ayah dan ibu antusias sekali. Mereka berencana pergi ke Cina pada tahun baru nanti. Aku diam sembari menggambar senyum sesekali. Sementara di sebuah balai di halaman, Lik Paijo tampak berbincang-bincang dengan perempuan setengah baya itu. Entah, apa yang menjadi topik utama perbincangan mereka. Aku tidak mempunyai indera keenam untuk mengetahuinya.

Percakapan di depanku mereda. Sepertinya sudah tertumpah semua pengalaman paman. Ayah dan ibu tidak antusias lagi dan kelihatan didera rasa bosan. Aku juga bosan. Berdiam diri dengan sesekali melempar senyum. Konyol memang. Tapi, ini sepertinya sudah menjadi adat-kebiasaan bagiku. Aku kerap merasa malu jika mengingat-ingat hal ini ketika mau tidur. Kemudian aku berkata sendiri dengan sungguh-sungguh bahwa kekonyolan seperti ini harus kulawan. Dan keesokan harinya, aku sudah lupa dan kembali bersikap konyol seperti itu. Aku tidak tegas. Hal ini yang membuat teman-teman sering meremehkan diriku. Kerap menjadikan diriku sebagai korban dalam sebuah permainan. Karenanya aku malas bermain dengan mereka. Sementara dalam komik, aku merasa sangat dihargai. Bahkan dilambungkan sebagai superhero. Dan tanpa sengaja menjadikan aku sebagai seorang ‘kutu komik’.

Ah, kalau saja aku punya sedikit ketegasan, pasti mereka akan sedikit menghargaiku. Aku bisa bermain dengan senang bersama mereka. Berdiri sama tinggi duduk sama rendah. Begitu juga dengan saat itu. Kalau saja aku berani berkata: “omong kosong apa ini. Semuanya penuh dengan kepura-puraan”, maka aku yakin mereka akan tercengang. Namun, hal semacam itu sudah menjadi hal biasa yang berlalu-lalang dalam kepalaku saja. Aku tetap saja terpinggirkan dalam pergaulan. Hanya dengan Mbok Darti dan Lik Paijo, aku bisa merasakan sesuatu yang sangat wajar muncul dalam diriku. Mereka kerap menceritakan sebuah dongeng-dongeng kepadaku. Tentang Prabu Ramawijaya, Laksmana adiknya, serta keluarga Pendawa.

Paman pergi ke kamarnya dan kembali dengan sebuah guci. Permukaannya yang licin dipenuhi dengan ornamen-ornamen yang menakjubkan. Ia memamerkannya di hadapan kami. Kemudian mengatakan bahwa ia membelinya dari seorang Cina ketika mengunjungi tembok Cina yang terkenal itu. Dan bibi menambahkan bahwa menurut orang Cina itu, guci tersebut adalah peninggalan seorang kaisar Dinasti Han. Entah, benar atau tidaknya, keindahan guci itu benar-benar membikin hati tertawan.

Ayah dan ibu melontarkan pujian yang berlebihan. Paman dan bibi tersenyum bangga. Mereka bergantian menimang-nimang guci tersebut seperti anaknya sendiri meski mereka belum juga mempunyai buah dari pernikahannya yang sudah berumur lima tahunan ini.

Tiba-tiba ayah dan ibu diam. Mereka tak memuji-muji lagi dan wajahnya tampak masam. Paman berhenti menimang-nimang guci tersebut. Entah, apa yang dipikirkannya ketika menatap ayah dan ibu yang demikian itu. Paman meletakkan guci tersebut di meja kemudian pergi ke kamar dan kembali dengan sebuah guci yang keindahannya tak kalah dengan yang ada di meja.

“Ini untuk Mas dan Mbakyu,” kata paman mengulurkannya ke arah ibu.
“Iya. Ini oleh-oleh dari kami,” bibi menambahkan.

Serentak wajah ayah dan ibu merona ceria dan memuji-muji kedermawanan mereka berdua. Aku diam sembari mengukir senyum di wajah.***

Guci pemberian paman itu telah terpajang di atas meja yang ada di salah satu sudut ruang tamu. Sejak adanya guci itu, aku kerap menemukan ibu duduk di sana. Wajahnya tak pernah lepas untuk memandangnya. Tersenyum bangga. Pada saat seperti itu, tak jarang aku mendengar ibu meracau sendiri, tak sabar menunggu tahun baru tiba.

Di samping itu, ibu sering mengajak teman-temannya mampir ke rumah selepas jam kerja berakhir. Ia tak bosan-bosan memamerkan guci tersebut kepada mereka. Dan anehnya, setiap kali ibu mengutarakan kelebihan-kelebihan yang ada pada guci tersebut, teman-temannya lantas memujinya. Malah terkadang berlebihan. Dan kesemuanya itu tidak hanya sering mengganggu aku yang sedang membaca, tapi juga membikin aku mau muntah. Kalau saja aku punya sedikit keberanian, ingin kupecahkan guci tersebut di hadapan mereka. Biar ibu marah, biar aku dikutuk, aku tak peduli. Sama sekali tak peduli. Namun, sampai akhirnya teman-teman ibu pulang, aku tetap saja diam. Sementara ayah, seperti biasa jarang berada di rumah.

Siang itu ibu pulang dari kantor sendiri. Segera ia menghempaskan tubuhnya ke sofa dan melihat guci kesayangannya itu berada di meja dihadapannya. Rupanya ia lupa tak menaruh guci itu di tempatnya semula setelah menimang-nimangnya seperti yang dilakukannya setiap pagi sebelum berangkat kerja.

Ia meraihnya. Tiba-tiba wajahnya memerah, matanya menyorot tajam sembari menggeram. Ia kemudian berteriak-teriak memanggil-manggil Mbok Darti.

Mbok Darti segera datang dan langsung dilempari pertanyaan-pertanyaan tentang beberapa puntung rokok yang ada di dalam guci kesayangannya itu. Mbok Darti ketakutan. Tangannya meremas-remas sebuah lap yang menggelantung di pundaknya. Baru kali ini aku melihat ibu begitu murka. Dengan suara terputus-putus Mbok Darti mengatakan bahwa tadi pagi beberapa orang tetangganya datang menjenguknya. Barangkali mereka inilah membuang puntung rokok itu ke dalam guci.

Tiba-tiba ibu menjambak rambut Mbok Darti dan menghempaskannya ke lantai. Kemudian ia menendangnya sembari terus memaki-maki. Setelah terpuaskan memuntahkan isi dadanya, ibu mengusir Mbok Darti. Aku sedih. Tapi, aku tak bisa berbuat banyak untuk menolong Mbok Darti. Aku benci ibu.***

Seminggu sudah Mbok Darti tak kulihat di rumah kami. Aku merasa kesepian. Kubayangkan wajah Mbok Darti yang menangis saat pengusiran itu. Kasihan sekali Mbok Darti. Dan kebencianku kepada ibu semakin bertambah. Kini, ibu lebih sering keluar seperti dulu. Ia tak lagi berlama-lama duduk di sofa. Tidak juga mengajak teman-temannya ke rumah.***

Siang itu hanya Pino dan aku yang menghuni rumah. Ibu belum pulang dari kantor. Sejak Mbok Darti pergi, Pino jarang kelihatan. Barangkali karena jarang diberi makan. Dan aku lebih suka merawat burung beoku. Memang, selama ini Mbok Darti yang mengurus makanan Pino. Ibu hanya kadang-kadang saja.

Kulihat Pino melongokkan kepalanya ke dalam guci itu. Mungkin karena keindahan guci itu yang membuat Pino ingin melihat apa yang ada di dalamnya. Perlahan guci itu bergerak-gerak ke pinggir meja oleh tubuh Pino. Kemudian jatuh pecah sebelum aku sempat mencegahnya.
“Pino,” teriakku. Tapi, Pino telah pergi.***

Tahun telah berlalu. Aku tak pernah melihat Pino dan Mbok Darti lagi. Namun, entah kenapa? Sampai kini aku masih beranggapan bahwa setelah guci itu pecah, Pino kemudian pergi mencari Mbok Darti. Benarkah? (*)

Memotret Singkat Perjalanan Sang Pengelana

(Catatan Kenangan Perjalanan)
Denny Mizhar
http://www.sastra-indonesia.com/

Udara panas kota Lamongan membuat gerah, waktu itu tak ada alasan untuk tidak berjumpa dengannya. Saya hubungi lewat hand phone, memastikan keberadaannya. Saya baru pertama kali jumpa dengannya waktu dia berkunjung ke kota rantau saya untuk membincang bukunya Kitab Para Malaikat kira-kira tahun 2008-an.

Gerakan “Kama Sutra” Buku

Misbahus Surur*
http://www.jawapos.com/

Kapan kegiatan membaca dianggap sebagai suatu pekerjaan yang bergengsi, yang bukan sekadar untuk mengisi waktu luang saja. Dan orang yang tidak doyan membaca dianggap sebagai orang yang tidak gaul. Mungkin hal tersebut tidak akan jauh dari angan bila kebiasaan membaca, minimal menjadi ikon bangsa yang punya kehendak untuk maju ini. Realitanya, belum banyak orang yang sadar diri untuk segera mengintimi buku. Gairah membaca belum membudaya apalagi menjadi menu sehari-hari kita. Ah, betapa menyenangkannya andai prototipe sebagai bangsa literal melekat pada jati diri bangsa ini.

Kita boleh berbangga, para penulis kita tidak sedikit yang mendapat pengakuan dunia. Nama-nama seperti Ir. Soekarno, Hatta, Tan Malaka, Gus Dur, Cak Nun, Pramudya merupakan sedikit diantara sosok penulis yang tidak hanya tenar di dalam negeri, tetapi pemikiran mereka telah menjadi produk Indonesia yang jauh lebih banyak dikonsumsi masyarakat luar negeri tinimbang oleh bangsa sendiri. Ir. Soekarno misalnya, adalah seorang tokoh yang pernah menjadi idola di kepala presiden Lybia, Khadafi. Buku-buku Pram misalnya lagi, sejak beberapa tahun lalu telah menjadi konsumsi bahkan bacaan wajib masyarakat luar negeri seperi Malaysia, Jerman, Perancis dan sebagainya. Hal itu tak sebanding dengan apresiasi beberapa bukunya di dalam negeri, yang berulang kali mengalami pembredelan.

Patutkah bila kita tenggelam dalam kesenangan dan romantisme semu atas apa yang telah dicapai pendahulu kita itu. Kita seharusnya tak melupakan ketajaman berfikir dan kepiawaian mereka. Kita tidak boleh lumpuh dan bebal untuk meniru gaya hidup mereka yang tiap jamnya berkawan dengan buku dan bercanda tawa dengan tulisan. Karena kita masih belum terlambat untuk menapaki jejak mereka.

Untuk memompa gairah dan semangat membaca, sepertinya kita layak menengok teori Barthesian mengenai teks (bacaan) dan bagaimana membaca. Teks yang selama ini sering diasumsikan sebagai tulisan/ barang yang telah jadi, ternyata tidak dikonstruk demikian dalam pandangan Barthes. Kalau melihat arti kata teks, texere, yang dalam bahasa Yunani diartikan sebagai sebuah rajutan, dimana fenomena teks ternyata dianggap sebagai barang setengah jadi. Walaupun dalam pandangan kita hal tersebut telah selesai dikerjakan; dalam arti, telah selesai penulisannya.

Dalam buku, The Pleasure of The Text, Barthes mengatakan, bahwa tulisan yang kamu tulis harus membuktikan bahwa teks tersebut memancarkan gairah atas saya (ST. Sunardi, 2004). Maksudnya adalah semangat untuk mengintimi (membaca) teks. Dalam hal ini, ada beberapa langkah yang dilakukan Barthes. Pertama, Barthes mendekati teks sebagai sebuah desire, kedua, ia membedakan antara bacaan dan tulisan, dan ia menganggap bahwa tulisan adalah kamasutranya bahasa. Dimana teks yang menggairahkan pembaca tersebut, ia sebut sebagai tulisan.

Mengapa kita tidak mencoba membangun sebuah hubungan yang intim dengan teks (bacaan). Mengapa hal ini sempat terlupakan. Padahal, sebuah keintiman tidak harus selalu dibangun atas materi yang bernyawa, tetapi juga dengan yang tak bernyawa (buku). Dalam teori kamasutra bahasa, Barthes membicarakan bagaimana kenikmatan membaca dan mengintimi sebuah teks.

Dalam berbagai ranah kenikmatan adalah puncak segala aktivitas. Begitu pula dalam teori teks, kenikmatan secara epistemologis menduduki tempat sentral. Sebuah kenikmatan di samping kadang bertentangan dengan produksi pengetahuan pada zaman klasik, juga menjadi jalan utama menuju pengetahuan pada zaman modern.

Teks merupakan sebuah jalan untuk mengalami desire. Kegiatan menulis (E’criture) merupakan jalan memproduksi teks. E’criture menjadi titik temu antara pembaca dan teks. Di sinilah kenikmatan cita rasa teks benar-benar dapat dirasakan pembaca. Karena hubungan dialektis antara pembaca dan teks ditempatkan dalam hubungan desire (saling mengingini dan saling menggairahkan). Bukan berarti menancapkan nuansa desire pada teks, dikarenakan teks tersebut berbicara tentang desire dengan kapasitasnya yang bernuansa cabul, melainkan bagaimana keberadaan suatu teks hanya bisa dirumuskan dalam kategori kenikmatan (desire) semata.

Setiap pembaca pasti pernah merasakan bagaimana kenikmatan sensasi membaca. Bagi yang punya peran besar dalam kegiatan membaca, tak jarang kita mendengar kata-kata seperti, ”Saya tidak faham dengan karya ini” atau ”Karya ini begitu berat” ataupun ”Karya ini sangat menguras pikiran saya”.

Membaca sebenarnya adalah sebuah usaha untuk menemukan makna (the meaning). Dengan begitu kegiatan membaca terasa kurang bermakna bila tak dapat menemukan makna. Walau begitu, kita harus tetap membaca, karena makna pun kadang tidak langsung kita temukan seketika itu juga. Sebab, ketika membaca, kita kurang punya sense of curiosity, yaitu sifat keingintahuan yang mendalam. Untuk itu, sense of curiosity seharusnya selalu dibangun tiap kali kita melakukan kegiatan membaca. Walhasil, kegiatan membaca akan selalu terasa menyenangkan & tak pernah mengalami rasa puas.

Jika konsep teks masih merupakan sebuah rajutan yang belum selesai, maka kegiatan membaca yang kita lakukan bukan lagi sekadar membaca dalam arti mengonsumsi teks. Tetapi juga memproduksi teks baru dari sumber bacaan yang telah lewat. Jadi, beberapa ungkapan ”absurd” di atas, hanyalah alasan bagi orang yang tidak dapat menemukan makna pada sebuah opus (karya) di hadapannya. Karena ketika kita telah dapat menemukan makna, sebenarnya baru terasa bila desire itu benar-benar ada. Sebuah buku pun akhirnya mendadak bisa menjadi kamasutra.

Kita juga harus selalu percaya bahwa tulisan yang kita baca tidak hanya menyimpan rentetan kata-kata kosong belaka. Lebih dari sekadar itu, ia memberikan sebuah kenikmatan jiwa, membangun keindahan hidup dan yang pasti selalu memberikan porsi yang bergizi untuk kecerdasan otak kita.

*) Pustakawan tinggal di Malang.

RELIGIUSITAS SANG BINATANG JALANG

Imamuddin SA
http://forum-sastra-lamongan.blogspot.com/

Chairil Anwar merupakan seorang maestro dalam perpuisian Indonesia mutakhir. Dialah pendobrak stile puitis dari gaya ortodok kepada gaya yang lebih moderen dan terkesan tidak kaku. Karya-karyanya merupakan cermin eksprisi yang begitu tinggi akan kebebasan jiwa, entah itu dari kekangan penjajajah maupun dari tradisi lama perpuisian Indonesia. Ia membawa gaya dan visi baru dalam puisinya. Puisinya tengah keluar dari aturan puitis yang serba mengikat. Atas dasar hal itulah ia membentuk genetika baru dalam kanca perpuisian Indonesia. Ia telah membentuk angkatan baru yaitu angkatan 45 dengan gaya puisi yang lebih familier. Lebih dari itu, ada yang menyatakan bahwa dengan gaya puisi yang ditawarkan Chairil Anwar, sebenarnya sastra Indonesia baru terlahir.

Chairil Anwar lahir di Medan tanggal 22 Juli 1922. Ia tidak tamat sekolah di tingkat SMP sajaknya yang terkenal berjudul AKU. Sajak ini menggambarkan semangat hidupnya yang membersit-bersit dan eksistensialisme pribadinya. Dalam sajak itu ia menyebut dirinya sebagai Binatang Jalang yang kemudian menjadikannya terkenal.

Dalam pandangan pandangan secara umum, yang dinamakan Binatang Jalang memiliki konotasi makna yang negatif, rendah, bahkan hina. Pernyataan itu Chairil seolah mengeklaim diri sebagai sesosok manusia yang liar dan tak memiliki aturan. Hal itu jika ditilik daei sudut pandang puisi AKU. Di luar hal itu, pada dasarnya Chairil memiliki aturan yang begitu kuat. Aturan itu bertumpu pada nilai religiusitas. Lihat saja pada puisinya yang berjudul DOA.

DOA
kepada pemeluk teguh

Tuhanku
Dalam termangu
Aku masih menyebut namaMu

Biar susah sungguh
menginat Kau penuh seluruh

cayaMu panas suci
tinggal kerdip lilin di kelam sunyi

Tuhanku

aku hilang bentuk
remuk

Tuhanku

Aku mengembara di negeri asing

Tuhanku
di pintuMu aku mengetuk
aku tidak bisa berpaling

Puisi ini tampaknya diperuntukkan untuk mereka yang meyakini akan adanya tuhan, terutama bagi mereka yang memiliki keyakinan kuat akan keberadaan tuhan dalam hidupnya. Puisi ini memiliki religiusitas yang sangat kental. Chairil pada dasarnya dalam puisi ini mengungkapkan akan betapa kuatnya eksistensi tuhan kepada manusia. Ia menyarankan lewat diri pribadinya bahwasanya ketika seseorang dalam suasana kalut dan bingung seyogyanya ia mengingat dan meyebut nama tuhan yang agung.

Tuhanku // Dalam termangu // Aku masih menyebut namaMu (bait 1)

Saat dalam kondisi kalut dan bingung semacam itu, Chairil masih berdzikir kepada tuhan. Ia ingat akan keagungan tuhan. Dialah yang kuasa atas segala yang ada. Ia menguasai langit dan bumi serta segala urusan yang berkaitan dengan manusia. Dialah yang memberi pertolongan bagi setiap manusia yang dalam kesusahpayahan serta membutuhkan perlindungan. Dan Allah lebih mengetahui (dari pada kamu) tentang musuh-musuhmu. Dan cukuplah Allah menjadi Pelindung (bagimu). Dan cukuplah Allah menjadi Penolong (bagimu) (An-Nisa:45).

Biar susah sungguh // mengingat Kau penuh seluruh (bait 2)

Ungkapan di atas tampaknya merupakan sebuah penegasan dari ungkapan yang sebelumnya. Dalam bait kedua tersebut pernyataan Chairil lebih diperjelas akan kondisi pribadinya. Ia sungguh dalam kesusahpayahan saat itu. Saat suasana batin semakin bertambah kalut, justru ia malah semakin mengingat akan eksistensi tuhan dalam realitas kehidupan ini. Ia merasakan betul bahwa tuhan benar-benar melungkupi alam ini. Seluruhnya dipenuhi dengan kebesaran dan keagungan tuhan sehingga tiada yang patut disebut dan dilantunkan kecuali nama tuhan. Dialah yang bakal memberi pertolongan dan jalan keluar terhadap semua permasalahan yang melingkupi dirinya saat itu.

Chairil dalam sajak ini tergambarkan sebagai sesosok yang meyakini bahwa hanya tuhanlah yang sanggup memberi petunjuk dan menunjukkan jalan keluar dari permasalahan yang sedang ia hadapi. Ia begitu bingung dan kalut sebab terhimpit beban derita hidupnya.

cayaMu panas suci // tinggal kerdip lilin di kelam sunyi (bait 3)

Kata cayaMu panas suci memiliki arti bahwa nur ketuhananlah memberikan kehidupan bagi setiap makhluk yang ada. Nur itu pulalah yang mengandung unsur kesucian. Ungkapan utu dirunut dari eksistensi panas yang tengah memberikan kehidupan bagi tumbuh-tumbuhan untuk melangsungkan pembuatan makanannya sendiri dengan jalan fotosintesis. Adapun kata tinggal kerdip lilin di kelam sunyi memiliki makna konotatif bahwa nur ketuhanan itulah yang menjadi penunjuk jalan manusia saat ia berada dalam kegelapan, saat ia dalam permasalahan dan sat dalam penderitaan. Nur itulah yang bakal menuntun ke jalan yang terang dan penuh dengan kebahagiaan.

Dalam kondisi kesusahpayahan yang dialami saat itu, Chairil benar-benar memasrahkan dirinya secara penuh kepada Tuhan Yang Maha Kuasa. Ia meyakini bahwa tak ada daya dan upaya yang sanggup dilakukan oleh dirinya kecuali atas izin dan kuasa dari Tuhan. Segala ketentuan nasib yang bakal menimpa dirinya disandarkan kepada-Nya.
Tuhanku // aku hilang bentuk // remuk (bait 4 dan 5)

Chairil saat itu benar-benar merasakan dalam kondisi terpuruk. Entah itu dari sisi kesehatan atau dari sisi permasalahan-permasalahan yang lain. Yang jelas ia tergambarkan dalam keadaan yang tidak berdaya. Saat itu ia berada di negeri asing. Ia tidak tinggal di tanah airnya. Ia tidak ada di Indonesia.

Tuhanku // Aku mengembara di negeri asing (bait 6 dan 7).

Setelah Chairil mengeluhkan diri kepada tuhan akan keberadaannya di negeri orang yang dalam kesusahpayahan, ia di akhir sajaknya terlukis melakukan pertaubatan. Ia seolah menyesali atas segala perbuatan yang telah dilakukannya. Ia berharap agar tuhan berkenan mengampuni segala dosa yang telah diukirnya dan berkenan memberi pertolongan kepadanya. Sungguh, saat itu ia tak sanggup berpaling dari-Nya.

Tuhanku // di pintuMu aku mengetuk // aku tidak bisa berpaling (bait8)

Fenomena di atas merupakan realitas gemuruh batin Chairil Anwar yang terjadi saat itu. Ia benar-benar dalam kondisi yang tidak berdaya di negeri orang. Ia berada dalam kesusahpayahan yang begitu mencekam. Sungguh, segala yang tecermin merupakan sebuah nilai religiusitas seroang Chairil Anwar yang begitu tinggi. Nilai yang patut dijadikan teladan akan hakekat ketuhanan dalam hidup dan kehidupan ini.

Label

`Atiqurrahman A Muttaqin A Rodhi Murtadho A. Iwan Kapit A. Purwantara A. Qorib Hidayatullah A. Zakky Zulhazmi A.H.J Khuzaini A.S. Laksana Aang Fatihul Islam Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi WM Abdul Kadir Ibrahim Abdul Lathief Abdul Malik Abdul Wachid B.S. Abdurrahman El Husaini Abidah El Khalieqy Abu Salman Acep Zamzam Noor Achdiat K. Mihardja Adek Alwi Adi Suhara Adnyana Ole Adreas Anggit W. Afrion Afrizal Malna Aguk Irawan MN Agung Dwi Ertato Agus B. Harianto Agus Buchori Agus Himawan Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sulton Agusri Junaidi Agustinus Wahyono Ahda Imran Ahmad Badrus Sholihin Ahmad Fanani Mosah Ahmad Fatoni Ahmad Ikhwan Susilo Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musabbih Ahmad Rofiq Ahmad Sahidah Ahmad Tohari Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sekhu Alex R. Nainggolan Alex Suban Alunk Estohank Ami Herman Amien Kamil Amien Wangsitalaja Aminudin R Wangsitalaja Anastasya Andriarti Andreas Maryoto Anes Prabu Sadjarwo Angela Angga Wijaya Angkie Yudistia Anindita S Thayf Anis Ceha Anjrah Lelono Broto Anton Kurnia Anton Kurniawan Anton Wahyudi Anugrah Gio Pratama Anwar Nuris Aprinus Salam Arie MP Tamba Arif B. Prasetyo Arif Bagus Prasetyo Arif Hidayat Arman A.Z. Arti Bumi Intaran Arys Hilman AS Sumbawi Asarpin Asef Umar Fakhruddin Asep Sambodja Asrama Mahasiswa Aceh SABENA Astrikusuma Asvi Warman Adam Atep Kurnia Awalludin GD Mualif Aziz Abdul Gofar Azizah Hefni Badrut Tamam Gaffas Bagja Hidayat Bagus Takwin Balada Bale Aksara Baltasar Koi Bambang Agung Bambang Kempling Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Bayu Insani Beni Setia Benny Arnas Benny Benke Berita Berita Duka Berita Utama Bernando J. Sujibto Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Blambangan Brunel University London BSW Adjikoesoemo Budaya Budhi Setyawan Budi Darma Budi Saputra Budi Suwarna Bung Tomo Cak Kandar Catatan Cerpen Chairil Anwar Chavchay Syaifullah Cucuk Espe Cunong N. Suraja D. Zawawi Imron Dadang Ari Murtono Daisuke Miyoshi Damanhuri Damhuri Muhammad Damiri Mahmud Danarto Daniel Dhakidae Dante Alighieri Deddy Arsya Dedy Tri Riyadi Denny Mizhar Deny Tri Aryanti Detti Febrina Dharmadi Diah Hadaning Dian Hartati Dian Sukarno Diana A.V. Sasa Dicky Fadiar Djuhud Didi Arsandi Dimas Dina Oktaviani Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Djadjat Sudradjat Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Doddy Hidayatullah Donny Anggoro Dony P. Herwanto Dorothea Rosa Herliany Dr. Muhammad Zafar Iqbal Dr. Simuh Dwi Arjanto Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwicipta Dwijo Maksum Edy A. Effendi Edy Firmansyah Efri Ritonga Egidius Patnistik Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Hendri Saiful Elik Elsya Crownia Emha Ainun Nadjib Endah Sulawesi Endah Wahyuningsih Endang Suryadinata Endhiq Anang P Endri Y Eriyandi Budiman Ernest Hemingway Esai Esha Tegar Putra Eva Dwi Kurniawan Evi Dana Setia Ningrum Evi Idawati Evieta Fadjar F Rahardi Fabiola D. Kurnia Fadelan Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Faisal Kamandobat Faisal Syahreza Faizal Syahreza Fajar Alayubi Fandy Hutari Fany Chotimah Fatah Yasin Noor Fathor Lt Fathurrahman Karyadi Fatih Kudus Jaelani Fatma Dwi Rachmawati Fauzi Absal Festival Sastra Gresik Fikri. MS Fina Sato Fitri Susila Galih Pandu Adi Gde Agung Lontar Geger Riyanto Gerakan Literasi Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Ginanjar Rahadian Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gunoto Saparie Gus Martin Gus tf Sakai Gusti Eka Hadi Napster Haji Misbach Halim HD Halimi Zuhdy Hamberan Syahbana Hamdy Salad Han Gagas Handoko F. Zainsam Hari Santoso Haris del Hakim Hartono Harimurti Hary B. Kori’un Hasan Gauk Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Helwatin Najwa Hepi Andi Bastoni Heri C Santoso Heri KLM Heri Latief Heri Listianto Hermien Y. Kleden Hernadi Tanzil Heru Emka Heru Kurniawan Heru Prasetya Hesti Sartika Hudan Hidayat Humaidiy AS I Made Asdhiana I Made Prabaswara I Nyoman Suaka IBM. Dharma Palguna Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Ida Ahdiah Idayati Ignas Kleden Ihsan Taufik Ilenk Rembulan Ilham Khoiri Ilham Yusardi Imam Cahyono Imam Jahrudin Priyanto Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indah Darmastuti Indiar Manggara Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indrian Koto Irma Safitri Irman Syah Iskandar Noe Istiqomatul Hayati Ita Siregar Iwan Kurniawan Iwan Nurdaya-Djafar Iyut FItra Jadid Al Farisy Jafar M. Sidik Jakob Sumardjo Jamal D Rahman Janual Aidi Javed Paul Syatha Jayaning S.A Jefri al Malay Jihan Fauziah JJ. Kusni Jo Pakagula Johan Edy Raharjo Joko Pinurbo Jokowi Undercover Joni Ariadinata Joss Wibisono Jual Buku Paket Hemat Judyane Koz Juli Sastrawan Junaidi Abdul Munif Jusuf AN Juwairiyah Mawardy Kadir Ruslan Kasnadi Katrin Bandel Kedung Darma Romansha Khairul Mufid Jr Khamami Zada Khrisna Pabichara Kikin Kuswandi Koh Young Hun Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Komunitas Sastra Ilalang Indonesia (KSII) Korrie Layun Rampan Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan) Kristianto Batuadji Kritik Sastra Kunni Masrohanti Kunthi Hastorini Kuntowijoyo Kurie Suditomo Kurnia EF Kurniawan Kuswaidi Syafi'ie Kuswinarto Lan Fang Landung Rusyanto Simatupang Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Liestyo Ambarwati Khohar Linda Sarmili Liston P. Siregar Liza Wahyuninto LN Idayanie Lucia Idayani Lukman Asya Lusiana Indriasari Lynglieastrid Isabellita M Hari Atmoko M. Aan Mansyur M. Arman A.Z M. Bagus Pribadi M. Fadjroel Rachman M. Harya Ramdhoni Julizarsyah M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S M. Luthfi Aziz M. Nahdiansyah Abdi M. Raudah Jambak M. Shoim Anwar M. Yoesoef M.D. Atmaja Maghfur Saan Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Majalah Sastra Horison Maklumat Sastra Profetik Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Serenade Sinurat Mario F. Lawi Marluwi Marsel Robot Martin Aleida Martin Suryajaya Mashuri Matdon Mega Vristian Melani Budianta Melayu Riau Memoar MG. Sungatno Mh Zaelani Tammaka Miftah Fadhli Miftahul Abrori Misbahus Surur Miziansyah J Mochtar Lubis Mohamad Ali Hisyam Mohammad Eri Irawan MT Arifin Mugy Riskiana Halalia Muhajir Arrosyid Muhamad Rifai Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Al-Mubassyir Muhammad Qodari Muhammad Rain Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun A.S Muhidin M. Dahlan Muhlis Al-Firmany Mujtahid Mulyadi SA Munawir Aziz Murniati Tanjung Murnierida Pram Musa Ismail Musfi Efrizal Mustaan Mustafa Ismail N. Mursidi Nafsul Latifah Naskah Teater Nasrullah Nara Nelson Alwi Nenden Lilis A Nh. Anfalah Ni Made Purnama Sari Nina Mussolini-Hansson Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Noura Nova Christina Noval Jubbek Novela Nian Nugroho Notosusanto Nugroho Pandhu Sukmono Nur Faizah Nurdin F. Joes Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nurul Komariyah Nuryana Asmaudi SA Nyoman Tusthi Eddy Nyoman Wirata Oka Rusmini Oktamandjaya Wiguna Oky Sanjaya Olanama Olivia Kristina Sinaga Otto Sukatno CR Pagelaran Musim Tandur Pamusuk Eneste Patricia Pawestri PDS H.B. Jassin PDS. H.B. Jassin Penghargaan Hadiah Sastra Pusat Bahasa Persda Network Pipiet Senja Pramoedya Ananta Toer Pramono Pranita Dewi Pringadi AS Prita Daneswari Prof. Tamim Pardede sebut Bambang Tri Prosa Pudyo Saptono Puisi Puisi Kesunyian Puisi Sufi Puji Santosa PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Wijaya Qaris Tajudin R. Sugiarti Rachmad Djoko Pradopo Radhar Panca Dahana Ragdi F. Daye Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Ramadhan Batubara Ramadhan KH Ratih Kumala Ratna Indraswari Ibrahim Ratna Sarumpaet Raudal Tanjung Banua Remy Sylado Reni Susanti Renny Meita Widjajanti Resensi Restu Kurniawan Retno Sulistyowati RF. Dhonna Rian Sindu Ribut Wijoto Ridwan Munawwar Riki Utomi Riris K. Toha-Sarumpaet Risang Anom Pujayanto Riza Multazam Luthfy Robin Al Kautsar Rodli TL Rofiqi Hasan Rohman Abdullah Rosidi Rosihan Anwar Rukardi S Yoga S. Jai S. Sinansari Ecip S.I. Poeradisastra S.W. Teofani Sabam Siagian Sabrank Suparno Saiful Anam Assyaibani Sainul Hermawan Sajak Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sanggar Rumah Ilalang Sanggar Teater Jerit Sapardi Djoko Damono Sartika Dian Sartika Dian Nuraini Sastra Tanah Air Sastra Using Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sayyid Fahmi Alathas Sazano Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo Seli Desmiarti Selo Soemardjan Senggrutu Singomenggolo Seno Joko Suyono SH Mintardja Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sipri Senda Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Sobih Adnan Sofian Dwi Sofie Dewayani Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sri Ruwanti Sri Wintala Achmad St Sularto Stefanus P. Elu Sukron Abdilah Sulaiman Djaya Suminto A. Sayuti Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sungging Raga Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Suryansyah Suryanto Sastroatmodjo Susanto Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suyadi Suyadi San Syaifuddin Gani Syaiful Amin Syamsiar Hidayah Syarbaini Syifa Amori Syifa Aulia Tajuddin Noor Ganie Taufik Abdullah Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat TE. Priyono Teguh Afandi Teguh Ranusastra Asmara Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Theresia Purbandini Tita Tjindarbumi Titik Alva-Alvi Choiriyah Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tjoet Nyak Dhien Tosa Poetra Tri Lestari Sustiyana Triyanto Triwikromo TS Pinang Tu-ngang Iskandar Tulus S Tulus Wijanarko Udo Z. Karzi Ugoran Prasad Umar Fauzi Ballah Umar Kayam Umbu Landu Paranggi Universitas Indonesia Universitas Jember Utada Kamaru UU Hamidy Vera Ernawati Veronika Ninik W.S. Rendra Wahjudi Djaja Wahyu Hidayat Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Budiartha Widya Karima Wijaya Herlambang Wiji Thukul Willem B Berybe Wilson Nadeak Winarni R. Wiratmo Soekito Wita Lestari Wiwik Widayaningtias Y. Thendra BP Y. Wibowo Yasser Arafat Yeni Ratnaningsih Yohanes Sehandi Yonatan Raharjo Yonathan Rahardjo Yopi Setia Umbara Yos Rizal S Yos Rizal Suriaji Yudhi Herwibowo Yuka Fainka Putra Yurnaldi Yushifull Ilmy Yusri Fajar Yusuf Suharto Zainal Abidin Zainal Arifin Thoha Zawawi Se Zen Hae