Minggu, 27 Juni 2010

Bumi Asih

A Rodhi Murtadho
http://www.sastra-indonesia.com/

Bumi dan Asih terus berkasih. Di tengah jelaga malam maupun di terik siang. Jiwa beraga petang di selimut kerinduan. hayal menggelepar di senyum kecut dahaga hening. Bumi merana dalam sendiri. Terinjak-injak sepi dalam kekalutan. Apa mau dirasa hanya berpulang gelisah.

Wajah bumi melas mengeras. Batas sudah lepas. Kewajaran dari tipu daya. Kering kerontang merana. Segala isi dikeluarkan. Semburat tanpa pesan. Hanya meninggalkan sampah. Restu berpulang ketika petang. Dengan halang, terus saja menyediakan. Bumi merasa kosong. Melayang tak karuan. Rotasi dan revolusi sudah tak pada lintasan. Sering kandas dan melenceng. Kekuatan telah hilang.

Sengat gravitasi menganaktirikan. Burung-burung raksasa bermuatan manusia ditempa. Tak stabil melayang. Ada yang dipatahkan dengan tekanan. Ada yang diceburkan. Tenggelam. Pelampung-pelampung penuh daya kecurangan diguncang. Terbakar atau tenggelam. Hanya peringatan yang hendak disampaikan. Tak diindahkan. Hanya kesedihan meradang.

“Asih, kau tahu. Aku tak pernah meratap atas tindakan manusia yang dilakukan padaku. Apapun adanya. Aku hanya menjalankan tugas. Tapi sunggguh benar-benar manusia sangat keterlaluan,” Bumi serius berkata.

“Lalu bagaimana lagi Bumi. Aku sudah menebarkan auraku berupa kasih pada banyak hati kelam di kegelapan malam,” Asih merayu menenangkan.

Terjal menghempas di kegalauan. Saling memikir tak saling bertanya lagi. Hanya mencerna tindakan manusia yang gagah berdiri di atas Bumi. Mengepak-ngepakkan kaki di sembarang tempat. Mencakar-cakar dan mencarut-marutkan. Memberi lubang dan menanduskan Bumi yang sebenarnya lebih perkasa. Bumi diam.

Asih tahu kalau Bumi marah. Asih memaki manusia dengan sapaan kasih dan rayuan maut. Menaklukkan terjal dan kerasnya hati manusia. Memasuki pori-pori kebekuan. Mencairkan dengan hangat deru nafas.

“Jangan kau teruskan Manusia, Bumi akan marah. Kau tahu bukan. Bumi lebih perkasa dari dirimu. Seandainya aku tak memancarkan asih-kasihku pada Bumi, tentu emosi dahsyat akan keluar. Kalau tak kucegah, Bumi akan melibas kalian. Tentu duniamu berakhir. Aku tak bisa mencegah terus-terusan. Kau tahu bukan! Bagaimanapun aku melarang, Bumi masih saja memainkan peran emosinya. Sedikit bencana untuk peringatan, begitu kata Bumi padaku. Kau harusnya merasa malu dan menyadari kelalaianmu,” Asih pelan-pelan melarang.

“Aku tak peduli. Bumi diciptakan untukku. Bukannya pantas kalau aku menggunakan dan memanfaatkan Bumi sesuai keinginanku.”

“Kau sudah kuperingatkan dengan Welas asih yang kumiliki. Bersabar atas tingkahmu. Perbuatanmu mengubah wajah bumi sungguh tak bisa berterima. Kau gundulkan kerindangan. Kau gantikan kehijauan. Menanduskan kesuburan. Gedung-gedung pencakar langit kau dirikan. Menutup semua dataran dengan rumah. Sampai-sampai Bumi sesak bernafas. Semua demi keuntunganmu semata. Uang dan kehormatan. Aku hanya ingin kau bisa menghormati dan menghargainya. Membalas kebaikannya dengan kebaikan. Menjaga dan melestarikan. Bukan malah tambah menghina dan merusaknya.”

“Lihatlah yang akan kulakukan dan apa yang bisa dilakukan Bumi kepadaku!”

Manusia membuka celana. Memlorot. Dengan bangga mengeluarkan air seni. Bumi dikencingi. Muncrat ke sana kemari membasahi tak merata. Bau pesing dan apek membuat Bumi tak lagi bisa menahan amarah yang lama terpendam. Bumi menggoyangkan tubuh. Mengumpulkan air dalam kemihnya. Dipersiapkan untuk mengguyur manusia. Bumi ingin membalas. Mengencingi manusia. Segera muncrat. Air busuk bercampur lumpur. Tepat mengenai raut muka yang sebelumnya riang. Mendadak lesu dan terancam.

“Kau! Manusia memang tak pernah tahu diri. Aku sudah bersabar dengan apa yang selama ini kau lakukan. Tapi kau seakan tak pernah mengerti, aku juga ingin dihormati dan dihargai walaupun aku tak pernah memintanya. Kukikra kau sebagai khalifah, tahu diri. Membalas keuntungan yang kau dapat dariku dengan melestarikanku,” kata Bumi.

“Lantas apa yang akan kau lakukan?”

“Aku akan menuntutmu. Membawa perkara ini kepada Tuhan.”

“Ha! Menuntut. Memangnya apa yang bisa kau lakukan padaku setelah kau menuntut. Kau hanya bisa menuntut dan hanya menuntut. Harusnya kau sadar kalau kau diciptakan Tuhan untukku.”

“Baiklah kalau itu maumu. Ternyata kau belum juga sadar. Sedikit bencana sudah kuturunkan dari perbuatanmu menyakiti hatiku. Namun kau tak sadar juga. Aku masih bersabar, aku akan memberimu waktu. Kesabaran ini atas permintaan Asih. Sebaiknya kau perbaiki kelakuanmu dan memikirkan kembali perbuatanmu padaku. Jika kau tidak berubah, aku akan benar-benar melakukan penuntutanku dan merealisasikan bencana,” terang Bumi

“Kau mengancam.”

“Iya sebaiknya kau pikirkan,” sela Asih, “aku juga akan menuntutmu, bukan hanya bumi. Sebaiknya kau pulang dan berpikir. Aku dan Bumi sudah muak melihat tampangmu.”

Senja berlalu berkali-kali. Angin tetap saja berhembus. Matahari juga masih memekikkan panasnya. Waktu bersinggasana dan menjadi penentu. Detik berlalu. Menit dan jam otomatis ikut melagukan waktu. Hari, minggu, bulan terus berlayar mengarungi jeruji dalam atap ketidakberdayaan. Hanya berlalu tak memikir yang lalu. Hanya tahu masa depan. Tak peduli meski banyak yang meminta mereka kembali mengulang. Kembali pada masa. Kembali kepada yang ingin diperbaiki.

Bumi semakin panas. Tingkah Manusia tak juga berubah. Bumi mengumpulkan banyak unsur yang ada. Air, Angin, Api, Lumpur untuk dipanggil dan diajak merundingkan sesuatu yang akan dilakukan kepada manusia. Saling mencurahkan isi hati mereka. Uneg-uneg yang juga lama bertengger dalam benak dan jiwa mereka. Uneg-uneg yang sama mengenai kebiadaban manusia. Memperlakukan mereka seenaknya.

“Kita satukan kekuatan dan memberi bencana pada Manusia. Tentu Manusia akan merenung dan memikirkan betul-betul: Mengapa kita melakukannya? Dari situ, tentu tingkah mereka akan berubah,” usul Angin yang disambut hangat dan anggukan setuju dari semua yang hadir.

“Baiklah,” tegas Bumi menyahuti, “kalau semua setuju dengan usul Angin, kita bersama-sama akan melakukannya mulai besok. Sudah sesuai peringatan yang aku berikan dulu pada Manusia.”

Angin menghimpun kekuatan dan meniupkan dirinya kuat-kuat. Namun tak cukup menggoyahkan Manusia dengan segala pertahanan rumah-rumah. Air yang mengetahui itu, segera membantu. Rintik deras merenda Angin.

Angin memutarkan Air. Kencang menjadi bogem raksasa. Meninju-ninju liar. Menyapu habis pertahanan Manusia. Rumah-rumah roboh. Terjungkir. Manusia hanya bisa melongo. Tampak bodoh.

Bumi dan lumpur segera menggabungkan diri. Air dan Angin sengaja dibiarkan memasuki tubuh mereka dalam-dalam. Kekuatan yang biasanya menopang dan mencengkeram di bukit-bukit dan gunung sudah tak ada lagi. Habis di tebang Manusia. Bumi dan Lumpur dengan mudah merobohkan diri. Melongsorkan diri kepada Manusia.

Di satu bagian tubuh Bumi yang lain, Bumi merasa sangat tersakiti ketika bor tajam menancap. Meski cerca dan ramalan tak menguntungkan, Manusia tetap saja memperdalam tancapan bor. Ada harta minyak yang banyak diidamkan semua Manusia. Kekayaan melimpah. Harta benda sebagai imbalan keuntungan.

Bukan minyak, Bumi mengeluarkan lumpur panas berbau bangkai. Merusak segala tatanan yang memang ditata rapi Manusia. Menghancurkan perlahan. Merampas segala kewenangan atas diri Manusia sendiri, bahkan.

“Wahai kau Manusia! Apa kau sudah mengerti keberingasan kami. Kau masih akan meneruskan perlakuan biadabmu kepada kami? Bukan hanya aku, Bumi, yang menuntutmu, tetapi lihatlah sendiri. Air, Angin, Api, Lumpur juga sudah tak tahan lagi merasakan kekurangajaranmu. Semua menuntutmu.”

“Kalian menuntut dan merealisaikan bencana. Tapi tetap saja kalian tak bisa menjamahku. Kalian salah sasaran. Bukankah semestinya kalian yang seharusnya sadar. Orang-orang baik dan alim, kalian timpahi bencana. Terbunuh dengan mengenaskan. Sementara kami orang-orang yang telah merusak dan membuat sakit hati, yang seharusnya kalian timpahi bencana, masih saja selamat.”

“Kau. Ha…ha…!” ngakak bumi tertawa, “kau tidak tahu dan tak paham skenario yang sedang kami jalankan dari Tuhan. Orang-orang alim dan baik ini kami timpahi bencana lebih dulu sehingga bertemu lebih cepat kepada Tuhan. Tentu kebaikan yang dilakukan di dunia akan membawa mereka pada nikmat di alam selanjutnya. Setelah orang-orang alim habis, tinggallah kalian pembuat onar. Akan kami beri bencana tanpa halangan dan doa dari mereka, orang-orang alim. Kami leluasa memberi bencana. Mengacak-acak kalian sampai lumat. Menggulung kalian dalam kebingungan bencana. Penderitaan yang tak pernah kalian bayangkan sebelumnya. Setelah itu, Tuhan akan memerintahkan malaikat meniupkan terompetnya. Mengakhiri dunia. Tentu kami tak bisa menolak dan dengan sangat senang bisa mengakhiri tugas kami dengan baik.”

“Kalau begitu!”

“Ya, memang benar. Sebelum semuanya terlambat, umumkanlah pada semua manusia skenario ini. Jika kesadaran manusia lebih dini, tentu Tuhan akan memerintahkan kami untuk berhenti memberi bencana.”

“Tapi, bagaimana mereka bisa mempercayai saya? Lantas bagaimana saya bisa menjadi baik. Saya tidak tahu caranya. Jika kalian terus-terusan mengambil orang-orang baik, darimana saya bisa belajar baik. Siapa yang patut saya contoh.”

“Jadi kau ingin berbuat baik?”

“Sangat ingin. Sepertinya ingin mati lebih cepat. Saya ngeri dan takut menyaksikan bencana yang Tuhan janjikan. Skenario yang membuat orang, jika mendengarnya, pasti akan berhenti dari kelakuan buruk. Kembali menjalankan kebaikan. Menjaga alam dan melestarikan. Bukan mengambil keuntungan dengan jalan merusaknya.”

“Kepada Asih belajarlah kebaikan. Sifat kasihnya patut kau contoh. Dan jika kau kabarkan berita ini kepada manusia-manusia lainnya, tentu ini akan menjadi kebaikan bagimu. Yang mengabarkan kebaikan adalah manusia yang baik. Tentu saja, manusia lainnya akan mempercayaimu jika kau sendiri melakukan kebaikan itu. Dan juga menjadi teladan bagi manusia lainnya.”

“Ha…ha…siapa yang bakal percaya dengan skenario Tuhan. Siapa juga yang mau menjadi orang baik. Aku bukan lagi anak kecil. Setia mendengarkan dongeng pengantar lelap. Biarlah, kalian mampuskan semua orang-orang baik dan alim. Toh itu juga keuntungan bagiku. Tak ada yang akan menghalagiku untuk berbuat sesukaku. Tak ada yang melerai. Hah, aku akan bebas. Benar-benar bebas. Manusia utuh dan bebas.”

“Kau membohongi kami!”

“Siapa juga yang bodoh mendengar dan mempercayai ocehan kalian. Hanya kalian saja yang memang benar-benar bodoh dan dungu. Semua manusia tahu kalau aku adalah pembual dan pembohong kelas kakap. Tak ada satu pun yang tak berhasil aku perdayai. Termasuk kalian.”

Kemarahan yang tak ada tedeng aling-aling lagi. Emosi menguasai. Tangan-tangan perkasa dipersiapkan. Kaki-kaki jenjang bebukitan memperlihatkan ototnya. Bersiap menendang. Nyalang mata makin membinarkan tajam matahari. Bumi memanas. Air memanas. Udara memanas. Mencairkan dan membakar kutub.

“Manusia, kemanapun kau lari, kau takkan lepas dari kami. Akan kami urug kau hidup-hidup. Biar sebagian tubuhmu dimakan cacing. Kami akan mengentaskan tubuh busukmu yang masih hidup. Sehingga kau hanya bisa berputus asa dan kesakitan luar biasa kau rasakan. Tak ada semangat hidup. Yang terbayang adalah kematian. Namun jika kau mati, dimanapun kau dipendam atau dibakar, kami akan menolakmu. Membiarkan tubuhmu membusuk.”

Bumi, Air, Angin, Lumpur makin garang mempercepat proses tugas yang diberikan Tuhan kepada Manusia. Pukulan bertubi-tubi Angin dan Air makin mengacaubalaukan kehidupan. Manusia sudah tak mampu lagi menahan kekuatan mereka. Ada yang dibanting-banting dan hanya tersisa sebagian tubuh hidup penuh luka dan cacat. Longsor dari Lumpur langsung memendam mereka tanpa tanda pemakaman yang berarti. Namun lumpur kembali memuntahkan mereka dengan tubuh tak utuh lagi. Masih hidup. Hanya isak tangis. Berharap tubuh busuknya bisa segera menjemput ajal. Berharap tubuh-tubuh busuk segera bisa diberi wewangian.

Surabaya, 24 April 2007

Celana Pinurbo

Aminudin R Wangsitalaja
http://entertainmen.suaramerdeka.com/

LAILA masih hanya mengagumi celana pendek yang tergantung di paku kamar mandi itu. Tak berani ia menyentuhnya. Padahal ingin sekali ia membelainya.
Laila baru selesai mandi. Ia baru sadar jika di deretan paku penggantung pakaian itu tergantung sebuah celana pendek. Letaknya persis berjejer dengan pakaian Laila yang lain.
Apakah ini celana pendek Pak Pinurbo? Kenapa, jika ya, beliau lupa memakainya kembali atau membawanya ke kamar atau merendamnya di ember jika memang sudah kotor?
Laila lantas ingat bahwa Pak Pinurbo sebenarnya tidak suka memakai celana pendek. Beliau selalu bercelana panjang atau jika di dalam rumah memakai sarung. Jika Pak Pinurbo memakai sarung, sering beliau mengibasngibaskan sarung itu entah apa sebabnya, yang kemudian di pengamatan Laila sarung itu seolah berkibar-kibar. Laila kemudian sering membayangkan yang nakal-nakal, misalnya ingin berteduh di bawah kibaran sarung itu.
Sepengetahuan Laila memang Pak Pinurbo tidak pernah memakai celana pendek.
Justru Laila-lah yang sangat suka bercelana pendek di rumah karena gerak menjadi lebih leluasa. Laila tidak suka celana panjang apalagi rok.
Ini membuat Pak Pinurbo pernah meledeknya, “Laila ini perempuan, tapi kok hobinya bercelana pendek?“
“Kenapa memangnya, Pak?
Memangnya perempuan tidak boleh bercelana pendek?“ “Karena perempuan bukan lakilaki, padahal lakilaki memakai celana pendek…“
“Ah, Pak Pinurbo tak paham feminisme!“
“Saya penulis buku-buku keperempuanan, jangan salah.“
Tentu saja Laila tak ingin meneruskan percakapan itu. Ia sudah jenuh menjadi aktivis pemberdayaan perempuan.
Lagian, Pak Pinurbo tentu hanya bergurau atau sengaja memancing diskusi. Pak Pinurbo sendiri memang penulis buku-buku keperempuanan. Dan Pak Pinurbo tahu jika Laila aktivis LSM perempuan. Pak Pinurbo sering meledek Laila dengan memancing-mancing perdebatan soal laki-perempuan. Di luar itu, sebetulnya Laila sendiri memang selalu tidak mampu mendebat atau sekadar berbincang lama dengan Pak Pinurbo ini.
Laila baru selesai mandi. Tak habis pikir ia kenapa Pak Pinurbo mau juga bercelana pendek. Mungkinkah karena Pak Pinurbo tidak pernah bercelana pendek itu sehingga ketika ia memakainya dan mencopotnya saat mandi ia menjadi lupa memakainya lagi? Bahkan, Pak Pinurbo mungkin lupa jika baru saja memakai celana pendek?
Laila gugup. Tak berani ia menyentuh celana pendek itu padahal ia ingin sekali melakukannya.
Mungkin Pak Pinurbo tergesa-gesa. Tak tahu beliau jika celananya tertinggal. Ke mana gerangan sepagi ini? Setahu Laila Pak Pinurbo sudah memutuskan berhenti kerja. Ini juga melengkapi ketakpahaman Laila terhadap cara berpikir Pak Pinurbo.
Kepribadian dan cara berpikir Pak Pinurbo memang menarik, meski terkadang terkesan tidak rasional, tidak taktis, tidak pragmatis. Dalam hal kerja, misalnya, Pak Pinurbo sebetulnya sudah berada dalam posisi mapan kini. Ia adalah kepala editor di sebuah penerbit buku. Meski penerbit ini masih kecil, tapi cukup prospektif. Nah, tiba-tiba saja Pak Pinurbo bersikap hendak keluar dari pekerjaannya. Orang lain terengah-engah mencari cantolan kerja, beliau enteng saja melepas apa yang sudah di genggamannya.
“Kerja bukan hanya berkaitan dengan soal materi, Dik Laila,“ ujar Pak Pinurbo.
Laila tergagap dipanggil “dik“. Lagilagi ia tak akan bisa berdebat dengan Pak Pinurbo. Terlalu tak terjangkau sosok itu baginya. Dalam pembelaan Laila kepada dirinya sendiri, ini bukan soal ketidaktegaran perempuan di depan laki-laki. Tidak. Tidak karena Laila perempuan sehingga Laila tidak mampu mendebat Pak Pinurbo. Atau kalaupun mungkin juga karena Laila perempuan, tapi bukan dalam konteks perempuan yang berkontradiksi dengan laki-laki.
Kenyataanlah bahwa Pak Pinurbo berkarisma secara khusus bagi Laila, yang secara kebetulan Laila adalah perempuan yang menyimpan respons tersendiri terhadap laki-laki ini.
Laila sudah selesai mengeringkan tubuhnya dengan handuk. Ia mulai men genakan T-shirt setelah sebelumnya sudah dikenakannya apa-apa yang seki ranya perlu dikenakan sebelum T-shirt itu. Ia memandangi lagi celana pendek itu. Pikirannya agak kacau. Pak Pinurbo tiba-tiba mau bercelana pendek. Lebih kacau lagi pikiran Laila setelah ia sadar bahwa justru ia yang pagi itu tidak bercelana pendek. Padahal biasanya saat tidur pun Laila memilih bercelana pen dek.
Celana pendek yang tergantung di paku di dinding kamar mandi itu tampak sungguh menarik. Ia menimbulkan getaran. “Mudah-mudahan memang milik Pak Pinurbo,“ pikir Laila.
Kamar mandi ini memang dipakai bersama, untuk pemilik rumah dan Pak Pinurbo. Sudah dua tahun Pak Pinurbo indekos di salah satu kamar rumah pasangan suami istri Syubanudin-Utami. Laila anak tunggal pasangan suami istri itu.
Laila sebetulnya sudah saatnya menjadi sarjana, tapi agaknya hal itu tidak bakal kesampaian. Laila terlalu progresif dalam pikiran dan tindakan. Ia mulamula intens menjadi aktivis dalam gerakan-gerakan, terutama gerakan kiri dan perempuan. Kehidupan cintanya carutmarut karena ia selalu salah membaca cinta. Lagipula, Laila terlalu mengedepankan stigma kyriarkis setiap bergaul dengan laki-laki. Pada kemudiannya Laila tampak lebih mewakili prototipe gadis yang putus asa. Ia tak bisa berkonsentrasi meneruskan studinya padahal di satu sisi ia betul-betul mulai jenuh dengan ide-ide aktivisme.
Kehadiran Pak Pinurbo memberi santapan rohani tersendiri bagi hari-hari Laila yang mulai sepi. Pak Pinurbo sosok yang tampak pendiam, perenung, dan problematis awalnya, tapi kemudiannya ia adalah sosok yang menarik dalam joke dan statement-statemen-nya. Ia masih muda, tiga puluh usianya. Belum beristri, tapi keluarga Syubanudin tetap memanggilnya dengan sebutan “Pak“ untuk kebiasaan menghormati orang. Laila juga suka melafalkan sapaan “Pakî ini dengan intonasi yang khusus.
Permainan intonasi memunculkan permainan baru dalam hal emosi. Laila menyukai permainan semacam ini.
Pak Pinurbo seorang yang berpengalaman sebagai editor dan penulis. Beliau menulis beberapa hal, dari puisi sampai tulisan-tulisan tentang perempuan. Ini membuat Laila respek. Laila memang mulai jenuh dengan wacana perempuan dan segala wacana aktivisme, tanpa sebab yang betul-betul jelas bagi Laila sendiri. Kehadiran Pak Pinurbo dengan jokes yang menarik seputar wacana keperempuanan mengembalikan kenangan-kenangannya semasa menjadi aktivis. Kenangan ini menjadi menarik karena Pak Pinurbo memberinya cara pembacaan yang tidak politis dan tidak ideologis terhadap wacana laki-perempuan ini.
Tiba-tiba juga Laila kemudian menyukai puisi. Perasaannya yang akhirakhir ini sering kacau entah oleh apa mulai agak tenang. Bahkan Laila mulai lagi ingat sembahyang.
Oleh ketertarikannya pada puisi membuat imajinasi Laila hidup. Terlalu hidup malah. Laila mulai membayangkan rasanya jika bisa terbang, ia akan menggoda burung-burung sambil mengintip laki-laki yang dipacari perempuannya di sebuah perbukitan. Laila mulai membayangkan jika ia jadi lakilaki, ia hanya akan bercelana pendek saja tanpa pakaian lain berlari-lari memutari kampung secara bebas tanpa ada yang risih. “Oh, alangkah nyamannya hanya bercelana pendek,“ gumam Laila.
Laila tidak paham kenapa Pak Pinurbo tidak suka celana pendek. Kenapa lebih merasa nyaman bersarung? Sarung mungkin memang nyaman dipakai, tapi itu kampungan. Bagi Laila Pak Pinurbo harus disadarkan.
Laila bayangkan alangkah menariknya Pak Pinurbo dengan hanya bercelana pendek. Laila imajinasikan juga, kalau kedua-dua mereka menyukai bercelana pendek, Laila ingin tukar-menukar celana pendek dengan Pak Pinurbo. Laila ingin memakai celana pendek Pak Pinurbo dan Laila berharap Pak Pinurbo mencoba juga celana pendek Laila. Paskah?
Bagi Laila Pak Pinurbo harus disadarkan. Tapi Pak Pinurbo mungkin sama sekali tidak pernah punya celana pendek. Langkah pertama adalah Laila akan diam-diam membeli celana pendek dan diam-diam pula menghadiahkannya kepada Pak Pinurbo, entah lewat paket tak berpengirim atau biar lebih puitis taruh saja langsung di bawah bantal di kamar Pak Pinurbo.
Tapi, beranikah Laila masuk kamar Pak Pinurbo? Setiap Laila hendak ke kamar mandi memang selalu harus melewati depan kamar Pak Pinurbo dan setiap itu pula kakinya agak berat dilangkahkan. Jalannya berdebar.
Jadi, bagaimana pula ia akan berani memasuki kamar itu?
Laila sudah selesai mandi. Ia masih memandangi celana pendek yang tergan tung di paku di dinding kamar mandi itu.
Ia tak berani menyentuhnya dan hanya membayangkan Pak Pinurbo tadi telah memakai celana itu.
“Laila! Kau selalu lama jika mandi!“ terdengar suara keras ibunya dan gedoran pintu kamar mandi.
“Ya, Bu. Sudah selesai…,“ sanggah Laila gugup.
Laila keluar kamar mandi. Ia sudah memakai T-shirt dan handuk dililitkan di pinggangnya. Laila bergegas menuju kamar, tak berani menengok ke pintu kamar Pak Pinurbo ketika melewatinya.
“Laila! Celana pendekmu ketinggalan!“ omel Ibu.
Laila tidak mendengar.
“Laila! Ini celana barumu yang kaubeli kemarin itu!“ omel Ibu.
Laila tidak mendengar.
“Laila! Baru kaupakai semalam celana ini, kau sudah bosankah?“ omel Ibu.
Laila tidak mendengar.
“Laila! Ambillah dulu celanamu.
Awas kubuang nanti. Kau tak sayang dengan celana bagus ini? Kautahu, sayangku, Pak Pinurbo semalam memuji celana barumu ini!?“ omel Ibu berkepanjangan.
Dan apakah Laila mendengar?

Ferlin Mencuci Baju

Ratna Indraswari Ibrahim
http://www.jurnalnasional.com/

Hari ini Ferlin berumur dua puluh tahun.

Tidak bisa lagi melanjutkan sekolah, seperti sahabat-sahabatnya se-SMA. Bulan ke mancanegara, Lia masuk ke salah satu perguruan tinggi swasta terbaik di Jakarta. Sedang Ferlin di sini, cuma mencuci baju!

Melihat wajahnya di air yang penuh busa sabun. Buih-buih busa berwarna-warni.

Ferlin meniup buih-buih busa itu.

Dulu, waktu ulang tahun Bulan, teman sekelasnya di SMA, Ferlin (dengan baju yang dipinjamkan oleh Bulan) memasuki ruang sebuah hotel, menikmati makanan dan kue ulang tahun Bulan yang ke-17. Itu memang cuma sekali dirasakan. Suasananya persis seperti sinetron yang sering ditonton. (TV sedang macet. Bapak bilang belum punya uang untuk memperbaiki TV itu).

Dibantingnya baju kerja Bapak, yang satpam hipermart itu. TV menyala, merasuki tubuh Ferlin. Ferlin melihat dirinya dengan baju bagus yang serba-in. Bersama teman-teman mengunjungi acara ulangtahun di kafe, di sana bertemu dengan banyak lelaki yang berparfum mahal. Dia cantik. Oleh karena itu Ferlin bisa ngobrol santai dengan Tomy (pendatang baru dalam sinetron).

Tiba-tiba adik kecilnya bilang, “Mbak, saya mau kencing.” Ferlin melihat adik dengan marah dan menariknya ke kamar mandi. “Lain kali, kalau aku lagi sibuk jangan minta kencing!” Adik mengecilkan tubuh dan melihat kemarahan di mata, Ferlin.

Kembali, Ferlin mencuci baju ini. Dia merasa ada yang menekan perasaannya. Sungguh, Ferlin tidak ingin seperti Bulan, (yang bisa kuliah ke mancanegara) cukup seperti Lia saja, yang bisa kuliah di Jakarta. Yah, dia tidak lebih goblok dari mereka. Lagipula, di cermin, dirinya perempuan yang lampai. Dengan kulit kuning langsat.

Sesungguhnya, Bulan dan Lia sepakat, bahwa untuk penampilan, Ferlin sudah memiliki kulit yang mulus, rambut lurus tergerai dan baju yang in (baik Bulan maupun Lia kadang-kadang memberi dia baju, kalau mereka berdua sudah merasa lemari pakaianya harus diganti isinya). Sungguh, Ferlin selalu berdandan seperti mereka. Kadang, dia selalu bisa membujuk ibunya untuk membeli baju semodel itu. Sekalipun, ibu harus mengurangi uang jajan adik-adiknya. Ferlin selalu punya alasan.

“Ibu kan ingin, aku dapat suami yang kantoran, kalau aku tidak berbaju seperti perempuan moderen, laki-laki mana yang mau denganku? Ibu kan tidak suka aku menikah dengan Tono yang kerjanya tukang ojek itu. Aku juga merasa Tono suka kepadaku, tapi aku tidak bisa bayangkan menikah dengan Tono, yang sehari-hari penuh debu dan bau keringat. Kalau aku jadi istrinya, paling-paling nasibku sama seperti ibu, dengan uang belanja yang pas-pasan. Aku ingin seperti Bulan atau Lia yang punya pacar cakep dan anaknya orang kaya.”

Namun, ibu bilang, “Bapakmu cuma satpam, mereka pasti memilih Bulan dan Lia, bukan kamu yang anaknya orang miskin ini. Yang kaya pasti cari pasangan sama-sama kayanya, meski secantik apa pun kamu.”

Ferlin, tidak sepaham dengan ibunya. Ferlin mencuci selimut yang sudah kusam ini. Dia membanting-bantingkan pada papan cucian dan buih-buih busa bertebaran warna-warni.

Ferlin, memasuki sebuah kafe, bersama seorang lelaki yang menjemputnya tanpa perasaan risih, dari rumahnya yang kusam dan sudah tua. Lagi pula rumahnya berada di sebuah gang sempit di kota ini. “Aku tidak pernah peduli pada rumahmu. Aku lebih suka melihat apa yang ada pada dirimu.”

Ferlin, merasa tersanjung dan semakin yakin, dirinya adalah perempuan cantik, secantik bintang-bintang sinetron, sekalipun tidak dipoles dengan make up dan baju mahal. “Kamu adalah mutiara dalam lumpur. Saya tahu itu”. Ferlin merasa terloncat, dia tidak mau bertanya lagi. Mengapa harus dia yang terpilih. Bayangkan, kafe mahal ini tempat para selebriti biasa berkumpul menghabiskan hari-harinya.

Ketika Ferlin masuk, semuanya seperti terpana. Baik laki-laki maupun perempuan menyapa lelaki itu, sembari menanyakan, siapa dirinya! Seharusnya mereka tahu, Ferlin adalah Putri Lingkungan. Yang kecantikannya tidak kalah dengan para selebriti itu. Kemudian, terdengar suara pintu dibanting, ibunya datang mulai ngomel. “Kamu belum juga selesai mencuci selimut itu. Padahal, aku sudah bekerja selama sepuluh jam untuk kita semua.”

Ferlin, muak mendengarkan itu. Dia harus meneruskan cerita tentang dirinya dengan lelaki itu. Lelaki itu berbisik kepadanya. “Kamu seperti magnet-magnet yang tidak terkalahkan oleh baju bagus, parfum, dan make-up mereka. Aku punya ide, mendandani kamu seperti selebriti dan pasti akan banyak sekali produser menawari kamu untuk peran sinetron mereka yang baru.”

Memang waktu di SMA dulu, guru teaternya bilang, dia punya potensi untuk itu. Tapi untuk mengembangkan bakat, selalu membutuhkan uang, uang, uang!

Dengan sebal, Ferlin menyelesaikan mencuci selimut tua itu. Sebetulnya, dia sudah lama ingin mencampakkan selimut bapaknya. Ferlin kemudian menangis, sekali lagi, Bulan dan Lia yang tidak cantik, harusnya tidak seberuntung itu, karena kalau orang mau jujur Bulan dan Lia tidak secantik dirinya! Sejak kecil setiap orang memuja-mujinya, sebagai perempuan cantik. Banyak tetangganya bilang, “Kamu sebenarnya tidak pantas menjadi anak ibu bapakmu yang miskin dan hidup di gang sempit ini, sebab wajahmu seperti para bintang sinetron.”

Ferlin percaya itu. Oleh karenanya, waktu sekolah dulu, dia tidak terlampau resah, banyak lelaki maupun perempuan yang mau menjadi temannya. Ketika diadakan pemilihan Putri Lingkungan se-SMA (dengan baju yang dipinjamkan oleh Lia), Ferlin bisa ikut serta dan berhasil menjadi juara ketiga dari seluruh SMA di kota ini. Pada waktu itu, semua guru dan teman-temannya memberi selamat. Mereka ikut bangga ketika wajahnya terpampang di koran lokal. Jadi, apakah ini adil, nyatanya sekarang, ( Ferlin yang Putri Lingkungan ) cuma mencuci baju di rumah! Dan malam tadi ibunya bilang, “Sebaiknya kau menggantikan Mbak Tatik, yang ikut suaminya keluar Malang, agar kau mendapat uang dari hasil melinting rokok. Dengan begitu kau bisa membeli baju dan keperluan lainnya, untuk dirimu sendiri. Siapa tahu ada lelaki baik, yang akan menikahimu. Apalagi, usiamu kini sudah 20 tahun, sudah dua tahun kamu menganggur setelah lulus SMA.”

Dia benci mendengar itu, tentu saja akan diterimanya pekerjaan sebagai pramugari dengan senang hati, jika ada yang menawari. Dengan begitu, dia akan terbang dari satu kota ke kota yang lain, punya banyak kesempatan untuk lebih mengenal para lelaki tampan dan kaya.

Tentu saja, dia tidak bisa menceritakan itu kepada siapapun. Sahabatnya, Lia dan Bulan sudah tidak pernah kontak lagi dengannya. Tidak tahu lagi kabarnya, walaupun Bulan dan Lia pernah melanjutkan kontak ini dengan e-mail. Tapi, ibu tidak pernah memberi uang tiga ribu hanya untuk membalas e-mail sahabatnya itu. Menurut Ibu, itu bisa untuk membeli sepotong tempe yang akan dimakan sekeluarga. Ferlin terhenyak. Seharusnya Ibu tidak lagi mempersoalkan sepotong tempe, yang kata Lia, “Kita harus punya akses ke internet, kalau tidak ingin ketinggalan kesempatan kerja dan berkarier.”

Ferlin menyesal, seharusnya kedua orang tuanya mengerti itu. Dia ingin seperti teman-teman SMA-nya dulu. Desakan ibu untuk bekerja di pabrik rokok, sebagai buruh linting, menyakitkannya. Seharusnya, kedua orangtuanya bisa menyekolahkannya. Sungguh mengherankan teman sekelasnya, Nia, yang ekonomi keluarganya, seperti orangtuanya, bisa mengambil D3 bahasa Inggris, entah dengan cara bagaimana. Kalau, bercerita pada ibu tentang Nia, ibu akan menyahutinya dengan marah-marah.

***

Ferlin melihat dari kaca mobil, lampu yang berkedip, gedung-gedung yang indah. Di salah satu gedung itu, dia masuk (butik yang termahal di kota ini) dia menawar sebuah gaun hitam dengan kredit card, yang didapat dari calon suaminya. Gaun hitam itu, semodel seorang bintang sinetron yang sedang menghadiri ulang tahun temannya.

Ferlin melihat ibunya masuk ke kamarnya dengan wajah lega, “Aku sudah katakan pada Bu Mandor, Bu Mandor setuju, kamu menggantikan Tatik. Bu Mandor menganjurkan, mulai besok kamu harus belajar melinting dulu. Kamu harus bersyukur, banyak sekali yang ingin bekerja di sana.”

Ferlin diam saja. Dia melihat dirinya dalam gaun pengantin Eropa, serbaputih dan beberapa anak kecil terpaksa memegang ujung gaunnya yang menyapu lantai. Di sampingnya, bukan Tono atau Bambang, tetapi lelaki (yang bertemu di mal) yang menurut Lia cuma teman. Lia tidak mengatakan lelaki itu pacarnya. Jadi boleh saja, dia masuk sebagai kekasihnya.

Ferlin akhirnya mendapat lima ribu rupiah dari ibu, yang menganggap Ferlin selalu memboroskan uang belanja. Dia ingin sekali mengejar lelaki, yang bersama Lia itu. Dia menelepon ponselnya Lia, dan Lia bilang, “Lelaki itu, teman kerja kakaknya di Jakarta, atau calon suami Mbaknya!”

Pulang ke rumah, Ferlin merasa dihantam, cuciannya kali ini penuh ompol dari adiknya paling kecil. Kalau dia tidak mencuci, adiknya bisa kehabisan celana di musim hujan ini. Ferlin tiba-tiba menangis keras. Dua adiknya segera datang, “Mbak, sampeyan sakit tah?” Ferlin mengusir adiknya dengan batu-batu kecil di sekitar sumur. Apakah, dia sampai mati harus dan hanya berada di seputar sumur untuk mencuci.

Desas-desus sudah lama terdengar, walaupun bertengkar seru dengan orang tuanya (tidak sepakat) Bambang ingin melamar Ferlin, di hari dan bulan yang baik. Itu tentu saja sudah dikatakan kepada Ferlin berulang-ulang. Tapi Ferlin merasa tidak pernah menjadi pacarnya. Kalau dia mau diajak jalan-jalan, sekadar untuk menghilangkan stres dirinya. Ferlin memang paling suka makan bakso. Ferlin mengatakan kepada dirinya sendiri, dia akan menolak kalau orang tua Bambang datang dan melamarnya. Mudah-mudahan, berita ini tidak terdengar oleh ibunya. (Ibu selalu menganggap, Bambang yang tukang mebel itu pantas menjadi suaminya). Padahal Ferlin kan Putri Lingkungan!

Ferlin merasa kalau tidak ada jodohnya lagi di sini, dia harus ke mal supaya bertemu, lelaki yang punya masa depan! Tapi, ibu tidak pernah memberi uang untuk keperluan itu. Ibu selalu tidak paham bahwa semuanya itu perlu uang. Bukankah ibu sendiri pernah mengatakan, untuk mengambil menantu yang baik, kita harus punya modal. Jadi, tidak mungkin memancing kakap dengan cacing, pastinya dengan udang. Tapi ibu cuma ngomong saja. Kalau dimintai uang untuk keperluannya, Ibu selalu marah.

Dan berkata, “Aku dan bapakmu sudah bekerja keras untuk anak-anak dan embahmu. Sudah waktunya kamu bekerja membantu kami, karena tadi siang bapakmu diberhentikan dari pekerjaannya. Sekarang kita semakin miskin.” Kemudian, Ibu menangis sangat keras sekali!

***

Ferlin berada di lift plaza yang baru dibuka. Seorang lelaki menanyakan nama, alamat rumahnya dan Ferlin menjawab dengan malu-malu. Namun lelaki itu tidak pernah menghiraukan jalan menuju rumahnya, bukan daerah tempat orang kaya. Lelaki itu berkata, “Aku akan mengunjungimu. Aku seorang pangeran yang berasal dari negeri yang jauh di seberang sana. Aku sudah lama mencarimu. Orang pintar di negeriku bilang, kita akan bertemu di sini.”

Ferlin tersenyum, dia ingin menceritakan itu kepada orang-orang yang ada di rumahnya. Dan yang ini bukan sebuah mimpi lagi. Lelaki itu datang ke rumahnya mereka bercinta di sebuah tempat yang cantik, berenang di samudra biru tanpa tepi. Ferlin merasa tercekik, namun keindahan mengaliri seluruh urat nadinya. Dan pada suatu hari, ada pesta pernikahan yang megah antara Ferlin dengan lelaki yang datang dari seberang lautan itu.

Suatu kali, setelah beberapa bulan pernikahan, mereka jalan-jalan di plaza, di tempat mereka bertemu untuk pertama kalinya. Lelaki itu berkata, “Marilah kita naik lift seperti ketika kita pertama kali bertemu.” Namun, ketika berada di dalam lift, lelaki itu tidak ada lagi di sebelahnya!

Ferlin, mencuci bajunya, tadi dia cuma mendapat tujuh ribu limaratus rupiah dari hasil melinting rokok hari ini. Yang lima ribu, untuk beli lauk buat makan siang sekeluarga, dan Ibu bilang yang dua ribu limaratus harus diberikan pada bapak untuk beli rokok!

Malang, 7 Januari 2007 s/d 28 Februari 2010

Pokoknya… Tragis!

Agustinus Wahyono
http://www.sinarharapan.co.id/

Seorang pemuda menyeruak dari pekatnya kelambu kelam, melintasi jalanan remang-remang menuju warna-warni pelangi pertokoan. Matanya nyalang. Bibirnya tersungging senyuman. Gerakan tubuhnya begitu ringan.
”Siapa dia?” tanyamu.
Kamu pasti terkejut atas kemunculannya yang tiba-tiba begitu. Tak ada tanda-tanda atau aba-aba dari suara-suara atau pantulan cahaya pada tubuhnya. Sekonyong-konyong dia nongol. Tampangnya pun berbeda dengan gelandangan yang malas mandi.
”Luckyson.”
”Luckyson?” Mungkin telingamu menangkap kata ”lukisan”.
”Ya, Luckyson, si putera malam, asuhan rembulan.”
Luckyson memang putera malam. Ayahnya adalah iblis bernama Lucifer, dan ibunya adalah Fullmoon. Ia selalu berkeliaran tatkala senja telah menyingkir. Ia suka mengembara di antara belantara beton kota hanya ketika sang induk malam telah bertakhta di atas menara-menara kota. Ia membenci matahari. Ia membenci fajar sampai senja. Ia tidak pernah mau hidup normal dengan berkegiatan selagi terang alam benderang.
”Tampaknya ia telah dihasut ayahnya, sang putera fajar yang terbuang.”
”Benar sekali. Lucifer alias putera fajar memang bapa para penghasut. Ia congkak. Kecongkakannya telah mengenyahkan dirinya sendiri dari pergaulan. Ia pemberontak.”
Luckyson mewarisi jiwa pemberontak dan penghasut itu. Ia suka menghabiskan malam dengan aneka kegiatan. Ia akan mengajak kawan-kawannya dalam kegiatannya. Mereka senantiasa tampak bergairah membedah malam. Bisa dengan bersastra, berseni, belajar atau begadang. Tapi ketika jiwanya meradang, sebilah belati senantiasa terselip di pinggangnya. Belati adalah sahabat karibnya. Luckyson seperti ayahnya: bermuka dua! Kok bermuka dua? Ya tahu sendirilah!

***
Malam kian menganga. Kabut gulita kian merata. Sosok gemulai merobek selaput kelam. Wajahnya cerah, gerakannya riang. Mungkin malam telah serta selalu menyenangkan hatinya.
”Siapa pula gadis itu?” tanyamu lagi.
”Ooo… gadis itu.”
”Iya, gadis itu. Siapa dia?”
”Namanya?” aku bertanya balik sembari memandang gadis yang sedang kegirangan menyalami malam itu. Dia lincah sekali. Memukau siapa pun.
”Iya, namanya. Siapa?”
”Nama gadis itu?”
”Iya! Serius nih!”
Ah, kamu memang belum berubah. Selalu tidak sabar jika melihat seorang gadis manis melenggak-lenggok percaya diri. Terlebih… penampilannya. Dandanannya yang menggebukan. Busananya yang melelapkan. Sorot matanya yang melenakan. Bibirnya yang menggemaskan. Bentuk tubuhnya yang menghanyutkan. Aroma tubuhnya… langsung membiuskan! Pantas saja bikin kamu tidak sabar untuk mengetahui namanya.
”Aku tahu kamu serius.”
”Lantas, siapa n-a-m-a-nya?” tanyamu seraya mengeja huruf disertai matamu melotot. Menurutku, ekspresimu itu justru lucu. Lucu untuk usia kita yang bandot ini. Bisa kubayangkan mimik mukamu jadi mirip Hitler yang sadis dengan kumis cuma di tengah.
”Sebegitu pentingkah namanya bagimu?”
”Sebegitu bahayakah, sampai-sampai kamu ingin menyembunyikan namanya?”
Sialan. Sepertinya kamu merasa aku terlalu mencurigaimu, padahal aku sengaja hendak membuatmu ngambek kayak keponakanku merengek minta es bon-bon. Bagiku sih jelas tidak ada bahaya apa-apa kalau kusebutkan atau pun kusembunyikan namanya.
”Ayolah, siapa nama gadis itu? Jangan suka mempermainkan aku begitu.”
Baiklah, aku beri tahu. Toh tidak ada faedahnya juga bila kusimpan.
”Namanya Lucyson.”
”Lho, kok mirip Luckyson?” tanyamu seraya melirik kembali ke arah Luckyson, sang putera malam yang saat itu tengah asik bermain gitar diselingi menenggak air api dalam botol. Di sana juga tampak alat suntik tergeletak. Mungkin obat-obat laknat lainnya pun ada.
”Karena mereka memang saudara kembar.”
”Ooo…”
”Ssssssst, lihat.”
Lucyson melangkah gemulai. Mau ke manakah? Entahlah. Dibiarkannya angin malam menggeraikan rambut panjangnya. Pakaiannya sangat ketat melekat di tubuhnya. Tas kulit mungil menggelayuti pundak telanjangnya. Isi tasnya hanya perkakas kosmetika dan sebotol air putih. Ia menjaga kesegarannya dengan sering minum air putih.
Gadis malam itu melangkah mantap. Ia terbiasa dengan dunia malam. Tapi, kuberi tahu, malam ini Lucyson cukup berbedak tipis. Tidak menor. Sungguh! Tidak kayak solekan pelacur kampungan yang cuma lulusan sekolah menengah pertama atau menengah umum. Artinya, dia punya kelas tersendiri.
”Alangkah aduhainya dia!” pujimu dengan bola matamu mencuat seakan hendak keluar dari sarangnya. Jakunmu bergerak laksana lift di gedung jangkung sana.
”Padahal malam-malam kemarin penampilannya tidak begini. Pernah juga satu kali dia berdandan super menor, sengaja meniru gaya genit kawan-kawannya.”
”Oh iya?”
Betapa lucunya air mukamu. Aku hampir pula tertawa.
”Tapi ingat, Lucyson ini juga mewarisi jiwa iblis. Pemberontak!”
”Oh ya?”
”Kelihatan sekilas dia selayaknya perempuan kebanyakan. Lemah lembut, santun, rajin dan lain-lain. Sekilas begitu. Sekali lagi, sekilas. Buktinya, dia membiarkan tubuhnya berlumuran peluh laki-laki. Setiap malam tubuhnya menjadi bulan-bulanan berahi. Setiap malam dia berkelana memunguti zinah di mana pun dia suka. Atau cuma pamer ukiran auratnya. Dia paling mudah terlena oleh puji-pujian. Dia haus popularitas, dahaga pujian dan silau pada sanjungan orang-orang. Dia ingin sekali tersohor seperti ibunya, sang rembulan. Ingat itu!”

***
Aku nyaris saja terbahak-bahak melihat penampilanmu sore ini. Hari-hari kemarin kamu tampak parlente sekali. Pakaian rapi, penampilan trendi dan air muka selalu memancarkan kesegaran. Handphone-mu juga biasanya menggelayut mesra pada leher berlemakmu Kali ini, di perpustakaan kota tempat kita biasa berdiskusi pada waktu-waktu senggang, kelihatannya ada yang berubah pada dirimu..
”Aku dirampok habis-habisan oleh begundal kembar itu tadi malam!” katamu.
”Astaga! Kapan? Di mana?”
”Pokoknya… tragis!”
”Tragis?”
”Ya, tragis pokoknya!”
Rupanya kamu belum mau mengaku. Boleh aku tebak? Ehm. Aku akan mencoba menganalisis. Menurutku, kamu pasti malu atas sesuatu. Taruhlah kamu sempat berbincang atau nekat memeluknya, lalu adegan itu direkam, diafdruk, dan dicetak. Terus, fotonya mereka pakai untuk memerasmu. Itu analisis pertamaku.
Analisis kedua, kamu terjebak suatu skenario mereka. Entah mungkin semalam kamu di kafe mana, makanan, minuman atau bahkan parfum atau asap rokok mereka telah membius akal sehatmu. Lalu kamu melakukan sedikit adegan mesra, dipotret mereka, dan seterusnya, dan seterusnya.
Analisis ketiga, celakanya, kamu sempat mereguk anggur zinah bersama gadis malam itu. Entah di sudut taman kota, di hotel, vila di luar kota atau malah di kantormu. Nah, waktu itu kamu lengah lantaran mabuk syahwat. Kamu tidak tahu ada kamera yang merekam adegan mesum itu. Mungkin kakaknya menggrebek perbuatan kalian, lantas menodongmu dengan ancaman psikologi massa.
Atau, kalau kejadian itu di taman kota, kamu lengah, mendadak kakak kembarnya keluar dari kegelapan taman. Sang putera malam itu menempelkan ujung belati di kulit lehermu. Kamu tidak berkutik mirip kura-kura kehilangan rumahnya. Lantas uangmu dikuras, aksesori keparlenteanmu ludes bahkan kamu nyaris ditelanjangi habis-habisan oleh serigala-serigala malam, komplotan anak iblis itu.
Benarkah demikian kisah kemalanganmu? Ayo, mengaku sajalah, Bung!
Ironisnya, kamu tidak melaporkan kejadian itu kepada polisi, kamu seolah-olah sengaja menyimpan perkara itu. Hayo, kenapa? Pasti kamu malu.
Aku berani bertaruh: paling-paling karena alasan moral, bukan masalah tindak kekerasan, kriminalitas atau berapa harga barang yang tercerabut dari dirimu. Bagimu, menurutku, uang terbuang berapa juta pun tidak jadi masalah, sebab toh sesudah itu kamu sanggup meraup beberapa puluh juta dalam sekejap. Tapi kalau sudah menyangkut masalah moralitas yang niscaya berimbas pada kredibilitas dan identitas dirimu, masalahnya jelas tidak main-main.
Ya, masalah moralitasmu. Dalam moralitas itu kamu masukkan pula gengsi serta harga diri. Tentu saja hal ini berpengaruh sekali terhadap reputasimu. Reputasimu sebagai pejabat, public figure, berstatus sosial sangat mengkristal di lingkungan kota kita, di samping statusmu sebagai seorang kepala rumah tangga dengan tiga anak yang sudah remaja. Kamu juga kaya. Kamu bisa dapatkan apa saja dengan jabatan dan hartamu. Namun, ternyata harga dirimu lebih segala-galanya bagimu. Apalagi orang-orang mengenalmu sebagai manusia yang taat beribadah. Perselingkuhan jelas terkutuk sekali di mata masyarakat kita yang agamis.
Ah, terserahlah. Hak asasimu. Hanya saja aku penasaran, bagaimana kamu bisa ketemu mereka, padahal aku sudah memberi tahu bahwa siapa dalam diri mereka. Mustahil amat kamu mau sembarang berdekatan dengan gadis itu bahkan sampai nekat tersesat di taman kota atau di sela bangunan yang gelap-gulita sana. Makanya aku tadi mencoba dengan beberapa analisis.
”Pokoknya… tragis!”
”Hanya ‘pokoknya tragis’ begitu?”
”Ya!”
Aku mendiamkan dulu setelah kamu mengulang kata ”pokoknya… tragis”. Kamu masih bertahan menyimpan aib paling memalukan dalam sisa-sisa usia senjamu, berkaitan dengan kedua anak kembar iblis itu. Aku tidak tahu kenapa. Soal zinah dan naasmu tadi semata-mata terkaanku kok. Pasalnya, jawabanmu cenderung melahirkan pertanyaan.
”Pokoknya tragis!” tandasmu, menegaskan jawabanmu sendiri.
Susah nian membujukmu! Tampaknya cuma manusia semacam Lucyson itu yang bisa merayumu, seperti Samson ditekuk Delila, seperti Adam dibujuk Hawa.******

babarsariyogya, juni 2002

Dara…Dara…Dara

Kunthi Hastorini
http://www.sinarharapan.co.id/

Perempuan berkerudung malam. Dalam-dalam separuh ruhnya terembus perlahan dalam semilir dingin malam. Kelam mencumbui kurus kering tubuhnya yang setengah telanjang. Berjalan dia mengutuki sunyi.
Tenggelam barisan jejak tak pasti ditanggalkan. Di sudut kota, ia meringkuk sendiri. Ada isak tertahan menggema di sudut ruang. Ada serpihan darah tercecer di tubuhnya yang setengah telanjang.
Basah. Matanya basah terbaca sinar bulan perlahan datang. Menyisir peristiwa rahasia perempuan berdiri. Teriak mencekik lehernya, ”biadab!!!!”. Dan, dalam hitungan detik ia pun limbung jatuh tersungkur mencium aspal yang kerontang.
Malam masih pun kelam Perempuan, di sudut kota, diam tak bersuara.

***

Tiga tahun kemudian.
Gaduh suara orang pasar memekak telinga. Seorang gadis berjilbab putih tengah sibuk menawar buah apel segar. Tak lama, ia pun membawa sebungkus buah apel itu. Seulas senyum puas terbaca dari bibirnya. Agaknya ia berhasil mencapai kesepakatan dengan si penjual dengan harga yang diinginkannya.
Terhenyak ia, tiba-tiba sebuah colekan mendarat di bahunya. Bingung bercampur takut merambati bilik hatinya. Seorang perempuan berperawakan kumal tersenyum-senyum padanya, ”Mbaknya cantik deh, minta duitnya dong!” ujarnya sambil menggaruk-garuk rambutnya.
Gadis berjilbab itu terkesiap dengan tanya di kepala, ”Siapa dia?”. Namun, sebuah teriak mengusik, ”Re !!!”, kiranya perempuan tengah baya menunggunya di pintu mobilnya.
Re memandang sekali lagi ke arah perempuan itu sekilas. Perempuan yang masih senyum-senyum dengan garukan dikepalanya. ” Ayo dong!!!” rengeknya.
Re menggeleng dan melangkah pergi. Perempuan kumal itu masih tersenyum-senyum sendiri. Perempuan kumal di tengah pasar mengoceh sendiri. Dari balik jendela mobil, baru Re menyadari perut perempuan itu besar. Dia bunting!.

***

Terik menghardik.
Perempuan bunting terseok-seok di atas trotoar yang garang. Gaduh sekitar tak satukan ruhnya yang kerontang. Sunyi mengaliri darahnya. Lapar menggiris perutnya. Ke mana arah tuju, bahkan ia tak tahu. Dari mana ia, ia pun bertanya-tanya. Tiba-tiba saja ia telah diusir oleh pemilik warung yang dimintainya sesuap nasi. Dirabanya perutnya, ach! betapa beban itu semakin menjadi.
Menelusur ingatan di suatu ketika rahasia, mengejang seketika mampir pada satu malam kelam. Wajah-wajah tak dikenal berbaris. Wajah-wajah tak dikenal berceletoh dan tertawa serupa setan. Dan dia?
Seorang perempuan menjerit, meronta, mencakar-cakar udara. Serupa setan pula ia berteriak, ”Biadab!!!!’. Dan lengking tawa itu semakin menjadi.
”Diam!!!” hardik seorang perempuan tinggi besar, ”Apa-apaan kau ini?”
Perempuan bunting memandang perempuan garang di hadapannya tak mengerti. Apa yang terjadi? ”Siapa perempuan ini?” rintihnya.
”Pergi!” usirnya.
Perempuan bunting menatap perempuan garang sekali lagi. Ia pun pergi menyusuri terik yang terasa kian menghardik.

***

Di waktu yang sama, di tempat yang berbeda.
Seorang gadis berjilbab putih tengah asyik membolak-balik album fotonya. Sesekali tersungging senyum dari bibir tipisnya. Masa lalu yang tiba-tiba bermain-main di benaknya. Pada tawa lucu si gendut Mutia. Pada nyengir malu-malu si gigis Raka. Pada tangis Ani yang tidak dikasih uang jajan oleh ibunya. Semua terangkum dibenak gadis bernama Re itu. Sedesah bibirnya berucap, ”Ke manakah kalian kini berada, sahabat-sahabat kecilku? Telah jadi apakah kalian kini? Adakah hidup telah membuatmu menjadi apa yang kau cita-citakan?
Teringat pada sebuah pertemuan dengan Ragil waktu itu. Lelaki yang dulunya suka ingusan itu, kini telah jadi pebisnis. Dengan bangga diceritakannya pengalamannya. Re tahu, Ragil bukan dari keluarga kaya, tapi dia seorang anak yang cerdas. Waktu SD dulu ia selalu juara kelas. Sungguh, Re tak heran jika bocah yang suka ingusan itu kini jadi pebisnis yang sukses.
”Alhamdulillah,” desah Re memandang gambar bocah kecil dengan ingus di bawah hidungnya.
Tiba-tiba pandangan Re tertancap pada sosok kecil di sudut album. Gambar seorang gadis cilik tengah tersenyum manis. Siapa ya namanya?. Menelusur ingatan Re pada gadis itu.
Yup! Re ingat. Nama gadis kecil itu Dara. Gadis kecil yang lincah dan lugu, tapi juga cerdas. Kalau tak salah, dulu Ragil hobi sekali menggoda Dara. Dara yang sok jual mahal jika dirayu dengan sebatang coklat oleh Ragil. Katanya sih, Ragil naksir Dara. Bahkan Re pernah dengar Ragil pernah bilang, ”kalau udah besar, mau nggak jadi istriku?”
Re terkekeh tertahan. Duh! Di mana sekarang Dara berada ya? Pasti dia telah tumbuh jadi gadis cantik dan menarik. Pasti dia jadi idola. Banyak lelaki bakal melirik dan berusaha merebut perhatiannya.
Dara…Dara…Dara…

***

Senja telah turun dari peraduannya. Perempuan berjalan terseok-seok ke tepi kota yang mulai reda. Letih mukanya tersiram gerimis hujan. Berteduh ia di sebuah halte yang sepi.
Lapar mencabik-cabik perutnya yang bunting. Mulutnya kering berceloteh tak beraturan. Bicara apa? Tak jelas!. Diusap-usap perutnya bunting perlahan. Diam-diam tersungging senyum dari bibirnya. Tiba-tiba, seorang gadis kecil yang cantik dan lincah bermain-main air hujan di hadapannya. Berlarian bolak-balik menggodanya. Lincah sekali gadis itu. Ingin dipanggilnya, tapi seakan bibirnya terkunci.
Gadis kecil itu tertawa di bawah guyur hujan menderas. Berputaran menari-nari. Basah kuyup tubuhnya seolah tak rasakan dingin.
”Ibu! Ibu!” celotehnya riang.
Seorang perempuan tua tiba-tiba muncul tak tahu dari mana. Mendekap tubuh kuyup gadis kecil penuh sayang.
”Sudah Ibu bilang, jangan main air hujan! Nanti sakit, sayang!” ujar perempuan itu sambil mencium gerai rambut gadis kecil mesra.
Gadis kecil tertawa tatkala tubuh mungilnya digendong dan dibawa pergi. Pergi dari hadapan perempuan bunting. Ada yang hilang dari bayang. Tinggal hampa menghimpit dada perempuan bunting. Ke mana perginya gadis kecil itu?
Kosong merambati pembuluh napasnya. Dihirupnya udara sekuat tenaga. Seakan meminta cerita itu kembali. Tak! Diam selimutkan karam. Namun ada yang menjerit tiba-tiba, ”Jangan pergi!!!!”
Udara memanas gerah meresah. Kilat menyambar-nyambar marah. Tangis kian menggiris. Menyelinap dekap pekat. Berhenti!
Tawa mengangkasa udara tiba-tiba. Kembali gadis kecil menari-nari di bawah guyur hujan. Terkekeh dia riang berkejaran, entah dengan apa atau siapa. Perempuan bunting pun tertawa. Bahagia menelusup batinnya. ”Gadis kecilku…..,” bisiknya pada udara.
Mungkin masa mengambang cerita. Tatkala perlahan sebuah perubahan terjadi, tubuh mungil itu menunjukkan keajaibannya. Puting kecilnya tiba-tiba merekah indah. Pinggulnya membesar layak gitar yang dipetik tangan-tangan misteri. Semampai menjulang bak tarian tak henti dinyanyikan alam. Kaki mungil itu pun memanjang membentuk lekuk-lekuknya. Sampai di pelupuk, matanya bercahaya. Pancarkan jelita tak terjamah dusta. Hidung menjulang di antara tulang pipinya yang ranum dan matang. Bibir tipisnya merekah merah darah. Seulas senyum tergaris manis.
Perempuan bunting terpana. Serupa dirinyakah dia? Perlahan ditelusuri tubuh yang dibawanya sekian masa. Hitam legam kulitnya terbakar matahari. Kurus kering bak tulang tak berdaging. Dirabanya payudaranya, hanya seonggok daging dirasanya menggantung. Dan perut besar serupa balon diremasnya seketika. Wajah-wajah tiba-tiba datang….tertawa memuakkan laksana setan. Wajah-wajah penuh syahwat terbakar! Mengapi-api pelupuk perempuan ketakutan.
”Biadaaaaaaab!” makinya
Terpenggal kata dimulut selintas wajah mesum itu, ”Ayolah Dara, manisku…,”
Dara…Dara…Dara….

***

Perempuan berkerudung malam. Melintasi kejemuan waktu tak berkesudahan, sedang arah tak tahu ke mana tuju. Pulang? Pulang ke mana bahkan ia tak tahu. Yang diingat hanya sebuah rumah kecil dipinggir kali. Rumah yang menyimpan wajah sedih perempuan tua mengusap gerai rambutnya. Yang diingat wajah marah lelaki tua memegangi kepalanya. Yang diingat malu menusuk keperempuannya yang terampas…terhempas! Yang diingat hanyalah lintasan peristiwa trauma langkahnya berlari. Jauh…jauhi rumah dipinggir kali.
”Tak ingin aibku membebanimu, Bu,” bisiknya pada udara yang diam-diam mengikutinya. Sebisik malam selendangkan pejam perempuan.
Dari sebuah ujung yang lain, seorang gadis berjilbab putih melangkah terburu. Ada yang tercecer diotaknya. Agenda yang harus dituntaskannya di kampus telah pun usai, tapi tak dengan pikirannya. Karena menurutnya hasil yang ia dapat tak sesuai dengan targetnya.
”Ach…sudahlah! Mungkin inilah yang terbaik untukku!” gumamnya pada diri sendiri.
Bruk! Sebuah benda asing dirasanya menghalangi jalannya. Tertegun ia tatkala menyadari, kakinya telah menubruk setubuh perempuan berbusana hitam kumal. Jantungnya semakin berdegup kencang tatkala wajah perempuan itu terangkat dan memandang kosong ke arahnya. Ada kematian tersenyum tiba-tiba di pusara jasadnya. Seulas senyum terbata terbaca. Gadis berjilbab putih itu mendekat. Takut yang tadinya menyergap tersingkir perlahan berganti tanya berdesakan.
Bola matanya menelusur jejak tubuh perempuan. Bunting? Perempuan ini bunting? Mengejang ingatan seketika pada peristiwa terik. Bukankah? Bukankah? Bukankah dia perempuan yang dijumpainya di pasar kala itu?
”Mbak cantik deh! Minta duitnya dong!” demikian ia berucap merengek.
Tak sampai di situ ingatan mengejar. Seperti pernah lebih dari sekedar itu, gadis mengenal perempuan. Tapi, di mana? Kapan?
Hening terpecah oleh cekikan tiba-tiba dari mulut perempuan bunting, ”Dara..Dara…”
Tak salahkah telinga gadis menerima pendengaran. Dara?. Sebab yang terbayang adalah sosok mungil lincah dan lugu, tengah dirayu Ragil yang ingusan. Mata rasio gadis menolak, tidak! Dara bukanlah perempuan yang kumal seperti ini, melainkan perempuan yang cantik dan pasti menarik.
Sedesah perih tertahan di hati gadis mengeluh mengaduh. Ach…. perempuan, sekejam apakah dunia telah membuat dirimu jadi begini? Bunting begini tercecer di jalanan sunyi begini? Di manakah istana yang mestinya kau bangun dengan tawa dan air matamu? Di manakah dekap yang mestinya lindungimu dari rajam gigil kota angkuh ini?
Gadis terkatup dalam ragu. Tak tahu apa yang kan diperbuat, tatkala malam pun lingsut dari khianatnya.
Dara!

Minggu, 06 Juni 2010

Nyonya Gondo Mayit

Rakhmat Giryadi
http://sastraapakah.blogspot.com/

Ketika dinyatakan tidak jadi mati, Nyonya Sugondo seperti manusia setengah mayat. Orang-orang kampung sering memelesetkan dengan Nyonya Gondo Mayit, artinya bau mayat. Namanya sendiri sebenarnya Satemi. Sugondo adalah nama suaminya yang telah meninggal dunia.

Setiap hari pekerjaannya hanya duduk di kursi sampai senja menjemput. Ketika langit tampak merona merah, Nyonya –dimikian ia terbiasa dipanggil dalam keluarga besar Sugondo- telah siap dengan dandanannya. Ketika Lastri pembantunya yang telah bertahun-tahun merawatnya, mengajak ke kamar, Nyonya melambaikan tangan pada senja yang meredup.

Nyonya Sugondo, atau tepatnya Nyonya Satemi Sugondo, sejak empat tahun yang lalu sebenarnya sudah mati. Ia sudah mati ketika suaminya, Sugondo, meninggal bersama selesainya karir politik yang disandangnya selama berkuasa, karena serangan bertubi-tubi dari lawan-lawannya. Nyonya Sugondo sebenarnya sudah mati, ketika jasad sang suami dikubur di pemakaman tempat kelahirannya. Sementara anak-anaknya hanya mengirim ucapan bela sungkawa, hanya lewat telepon. Kemudian dengan suara sedih, mereka menyatakan tidak bisa menghadiri pemakaman bapaknya, karena sedang ada kesibukan yang tak bisa ditinggalkan. Hanya itu.

Sejak saat itu, ketika terompah penjaga kubur berderapan, sebenarnya Nyonya Sugondo sudah benar-benar mati. Tetapi entah mengapa, Tuhan masih menginjinkannya untuk hidup, meski separuh tubuhnya sudah membusuk. Dokter yang telah merawatnya satu bulan lebih, sudah angkat tangan. Tetapi kemudian, seperti mendapat bisikan Tuhan, dokter yang berkulit putih itu, menyatakan, Nyonya sembuh dari segala penyakit yang dideritanya.

“Saya akan dibawa kemana? Saya bosan tinggal di rumah seperti kuburan ini!” seru Nyonya. Lastri tidak menjawab. Ia segera menyiapkan makanan untuk Nyonya.

“Lastri kamu tahu tidak, ini bukan rumah kita. Besok pagi-pagi antarkan aku ke Jl. Musirin! Aku tidak mau makan, kalau tidak kamu antarkan!”

“Lo, ini jalan Musirin, Nyah…!”
“Bukan begitu, lo. Jalan Musirin itu, rumahnya besar, ramai dengan anak-anak. Ini sepi begitu. Yang ada cuman setan!” sahut Nyonya.

“Setan-setan gundhul….” ledek Lastri.
“Gundhulmu atos itu. Setannya kamu itu!” Lastri berlalu sambil membawa sisa makanan, sekeranjang obat dan beberapa butir obat penenang..

Suami Nyonya empat tahun lalu meninggal dunia mendadak. Tanpa diduga ia terlibat korupsi secara ‘berjamaah’. Begitulah kata orang-orang. Konon, Sugondo tidak tahu menahu, karena dia hanya terima uang saja. Namun ternyata uang yang dikira bonus dari rekanan itu, ternyata hasil penggelapan dana pembangunan dan pajak. Sugondo tidak bisa mengelak.

Waktu itu, usai menonton Berita Malam, Sugondo tiba-tiba merasakan sakit yang teramat sangat di dada kirinya. Nyonya tidak menyadari, kalau malaikat maut sedang menjemput suaminya. Meski suaminya sekarat, Nyonya asik memindah cenel televisi. Ketika Nyonya mendapatkan acara kesukaannya, tiba-tiba suaminya mengerang kesakitan. Sepontan Nyonya berteriak memanggil Lastri.

Sugondo dilarikan ke dokter terdekat. Sayang rumah dokter itu gelap gulita. Lastri menggedor-gedor pintu, ketika napas tuanya semakin megap-megap. Sedetik atau dua detik tak ada jawaban. Namun, tiba-tiba jendela sebesar kepala terbuka. Dari dalam terlihat wajah tanpa dosa dengan rambut tak teratur. “Sudah malam, besok saja!” dokter berkacamata tebal itu menutup jendela.

Lastri pantang menyerah. Ia menggedor pintu lebih keras, dan bicara amat cepat. Dokter baru membukakan pintu ketika Sugondo terkulai tak berdaya dan hampir jatuh ke tanah. Lastri menyeretnya begitu saja. Begitu dibaringkan Nyonya berteriak histeris, karena ia tahu, suaminya telah tiada.

Dokter yang hanya memakai celana kolor itu, berusaha membuat napas buatan. Sayang tangan malaikat maut begitu terampil. Tanpa menunggu waktu karir politik Sugondo yang semakin gemilang itu berhenti seketika. Begitu juga harapan-harapan Nyonya Sugondo untuk bisa berumah seperti Nyonya Suprapto yang kini suaminya berhasil menjadi wakil bupati, terjungkal ke lubang gelap tak berdasar. Sejak saat itu Nyonya memang seperti kehilangan kendali. Hidupnya hanya tinggal menunggu mati.

“Kopi Bapakmu mana?” tanya Nyonya.
“Tidak punya kopi, Nyah.”
“Kalau habis ya beli. Masak, tidak tahu kalau kesukaan Bapak kopi?” sahut Nyonya.
“Tapi..Bap…”
“Tidak usah tapi-tapian. Pergi sana dan buatkan kopi segera. Ia nanti marah!” sergah Nyonya.

Lastri segera beranjak. Nyonya diam dengan napas tersengal-sengal. Dari mulutnya keluar kata-kata yang tak sedap didengar. Ia memang suka sekali marah. Kalau marah perangainya jelek sekali. Meski tampak lemah, kalau berteriak seperti harimau kelaparan. Ia sering marah dengan kemarahan yang meledak-ledak. Bila tak segera dituruti maka ledakan itu berubah menjadi kemarahan yang merusakan.

Sejak kelakuan berubah seperti itu, anak-anaknya tak pernah menjenguk. Tidak tahu mengapa mereka tidak mau menjenguk? Apa karena kemarahan yang membikin telinga merah? Atau kerena kesibukan? Memang sejak penyakit itu berubah menjadi kemarahan, anak-anaknya memilih merantau. Maka perempuan yang malang itu, sendirian menungu sepi.

Kalau ingin bertemu Nyonya, anak-anaknya hanya telpon. Atau kalau Nyonya kangen, mereka hanya mengirim poto-poto terbaru mereka. Meskipun mereka sering telpon, sebenarnya Nyonya tak pernah menerimanya. Lastri lebih sering menerima, dan menggantikan peran Nyonya. Dari dialah semua keadaan Nyonya disampaikan. Jarang sekali, Nyonya berbicara di telpon dengan anak-anaknya. Begitu juga ketika kiriman foto-foto lucu, cucu-cucunya mata tuanya sudah tak bisa lagi mengenali siapa yang dilihatnya, Lastrilah yang menerangkan. Bahwa ini Mas Tono yang kerja di Medan, ini Mbak Rika yang kerja di Brunei, ini Dik Dina yang kerja di Arab, dan Ini Dik Urip yang kerja di Hongkong. Semua diterangkan dengan detail.

Semua yang dilakukan anak-anaknya bagai orang mengirim bunga setaman di pekuburan. Itu dilakukan hampir setiap bulan sekali. Atau bahkan terkadang tidak sama sekali. Setelah empat tahun itu, mereka hanya lebih suka mengirim surat lewat wesel. Di dalam wesel itu terdapat kata-kata yang tak bisa dibacanya sendiri. Meski kata-kata itu jelas terucap, ‘Anak-anak dirantau sehat. Semoga ibu sehat juga.’ Kata-kata itu tak pernah lupa dan sepertinya kata-kata itulah yang pantas diucapkan bagi anak di perantauan.

Dulu anak-anak Nyonya Sugondo adalah anak-anak yang sangat patuh. Karena bapaknya sendiri adalah orang yang terhormat dilingkungannya. Di rumahnya berlaku hukum ketertiban. Semua anak-anaknya tak ada yang boleh membandel. Sebagai anak pejabat, mereka harus bisa menjadi contoh. Contoh apa saja. Nyonya memang beruntung, keempat anaknya tak ada yang membandel. Bahkan mereka juga sangat menjaga nama baik keluarga.

Tetapi bagi keluarga besar Sugondo itu belum cukup. Untuk menjadi keluarga terhormat harus cukup secara ekonomi. Maka tak ayal lagi, anak-anaknya adalah para pekerja keras yang tak pernah mengenal lelah. Sepanjang siang dan malam mereka bekerja. Setiap hari, Tono yang sekarang bekerja di Medan itu, tak pernah pulang sore. Tono yang bekerja sebagai kontraktor itu, setiap hari kerja lembur. Baru menjelang pagi dia pulang, dan ketika matahari belum separuh jalan, ia terbangun kemudian bergegas pergi.

Begitu juga Mbak Rika, setiap hari pulang usai magrib. Kalau lembur bisa jadi pulang jam sebelas malam. Tak kalah hebat lagi adiknya si Dina, dua hari sekali ia pulang. Perempuan sekretaris sebuah perusahaan besar ini memang sering keluar kota. Lebih gila lagi Urip, setiap minggu ia pulang. Pekerjaannya menuntut demikian. Hampir setiap minggu ia harus pergi ke luar pulau untuk mengantar barang-barang. Ketika mereka sukses dan telah menikah, satu persatu meninggalkan rumah yang dirasakan seperti neraka.

Bahkan setelah berpisah rumah, mereka jarang sekali berkunjung ke rumah orang tuanya. Ketika bapaknya meninggal, hanya Lastri yang berada di rumah, mengurus ini itu, bahkan sampai menyambut para pejabat yang datang berta’jiah. Sementara anak-anaknya hanya mengucapkan bela sungkawa dari balik gagang telpon, kemudian berjanji akan mengirim bantuan dana untuk selamatan sampai seribu hari.

Melihat kehidupan seperti itu, sebenarnya Nyonya pantas disebut mayat hidup. Betapa tidak, selama ini Nyonya Sugondo memang tak lebih fotokopian suaminya. Ketika suaminya disebut-sebut sebagai pejabat ini-itu, ia tak lupa disebut-sebut sebagai orang yang menyebabkan suaminya menjadi ini-itu. Ketika suaminya berpidato tak pernah lupa menyebut peran istrinya itu. Semua yang dilakukan suaminya pasti pantas dan baik untuk istrinya. Dan hukum itu seperti menemukan kebenarannya. Pernah suatu kali, suaminya tersangkut penggelapan uang negara, dengan sabar dan penuh cinta kasih, Nyonya mendorong mental suaminya, sampai ia dinyatakan tak bersalah oleh pengadilan.

Itulah peristiwa yang membuat keluarga Sugondo terguncang. Hampir semua publik tidak percaya, orang yang diyakini jujur itu melakukan kejahatan korupsi. Sementara lawan-lawan politiknya terus memojokannya, sampai ke liang lahat.

Perisitiwa itu juga menjadi titik balik karir politik Sugondo. Meski hakim memutuskan Sugondo tidak bersalah, serangan demi serangan tak pernah berhenti. Bahkan sampai dirinya meninggal dunia, khasus itu belum juga tuntas, karena putusan hakim masih perlu ditinjau kembali. Bahkan baru-baru ini, rumah Sugondo dan beberapa kekayaan yang lain ditengarai hasil kejahatan selama menjadi pejabat. Maka rumah itu, perlu disita.

“Kalau misalnya Bapak masih di rumah, pasti saya tidak kesepian seperti ini.” kata Nyonya sambil membaringkan tubuhnya pelan-pelan ke tempat tidur dekat televisi. “Besok kita pulang ya, Las? Ibu kangen betul dengan Bapakmu,” lanjutnya dengan memejamkan mata.

“Iya, Nyah,” jawab Lastri.
***

“Pos! Pos!”
“Kok tumben bukan wesel, Pak?” tanya Lastri.
“Bukan itu surat dari kantor Keadilan,” kata pegawai Pos.
“Apa isinya?”

“Baca sendiri.” Kemudian pegawai Pos yang setiap kali mengantar wesel itu berlalu.
Lastri hendak membacanya, tetapi Nyonya keburu memanggilnya.
“Itu pasti wesel dari anaku?”

Lastri tak bisa menjawab. Ia membuka surat dari kantor Keadilan.
“Apa isinya? Pasti mereka kirim uang banyak. Kalau kirim uang kita bikin nyusul Bapak saja, Las,” kata Nyonya.

Lastri tidak memperhatikan kata-kata Nyonya. Ia mengeja, bunyi surat itu.
“Cepat Lastri katakan apa kata mereka? Berapa yang dikirimkan. Saya sudah kangen betul dengan, Bapak,” kata Nyonya lagi. Lastri tidak mengatakan apa-apa. Ia menyerahkan surat itu kepada Nyonyanya.

“Disita?” kata Nyonya yang kemudian jatuh tersungkur tak sadarkan diri. Lastri berteriak histeris. Kali ini mengundang para tetangga berbondong-bondong datang. Nyonya benar-benar menyusul suaminya. Orang-orang mengantarkannya ke pekuburan dengan gremeng-gremeng, bukan doa, tetapi suara-suara sumbang. “Ia mati karena banyak makan uang rakyat dari suaminya!”

Besoknya, pegawai Pos datang lagi. Kali ini ia tidak berteriak. Ia hanya meletakan ucapan bela sungkawa dari anak Nyonya Sugondo yang dikirim dari seberang. Ia menyandarkan karangan bunga kecil dekat pengumuman yang dipasang oleh petugas kantor Keadilan : ‘Rumah ini disita negara.’

Surabaya, 2006.

Perihal Puisi Cerdas

Ribut Wijoto*
http://www.surabayapost.co.id/

Ada semacam ungkapan, penulis mendapatkannya dari cerpenis asal Kediri, S. Jai, “banyak orang memiliki gagasan besar, dan sedikit orang yang mampu menuliskan kebesaran gagasannya”. Orang lain tidak bisa mengetahui gagasan besar seseorang oleh sebab bahasa yang diungkapkan tidak mengabarkan kekuatan gagasan besar. Bahasa dengan gagasan besar sama seperti puisi yang cerdas. Tidak saja secerdas penciptanya, penyair, malah lebih cerdas lagi.

Puisi yang lebih cerdas dari penyair lahir dari kenyataan “kesamaan informasi antara pembaca dan penulis adalah mustahil”. Perihal keterbatasan potensi rakitan kata. Kata-kata atas dasar pengakuan Jorge Luis Borges, pengarang dari Argentina, “kata-kata telah terkutuk untuk selalu mengkhianati penulis”. Kata-kata senantiasa menambah-reduksi pemahaman yang diproduksi penulis.

Puisi cerdas, lebih cerdas dari penyair, memanfaatkan sifat keterkutukan kata-kata. Keterbatasan kata-kata justru dipakai untuk menginformasikan pemahaman yang jauh melebihi pemahaman penyair. Kata-kata dieksplorasi agar melampaui kapasitas literal. Satu rangkaian kata-kata dapat secara serentak menginformasikan aneka hal, sungguh dilematis, yang penyairnya pun tidak tahu.

Pertanyaan sederhana perlu disorongkan kepada prestasi puisi cerdas. Mengapa kata-kata menjadi sedemikian berbinar, menyeruak ke wilayah-wilayah yang asing. Adakah sesuatu, semacam metode, yang terselip dalam tubuh puisi tersebut. Apakah risiko puisi cerdas.

Puisi diklaim cerdas tentu karena berpotensi menjelajahi banyak tema, gemar mengarungi lautan pokok persoalan. Sikap atas tema pun berlain-lainan. Karakter kata-katanya inspiratif. Ini merupakan batasan yang ambigu, sangat mungkin, alasan-alasan lain dapat disodorkan, dan alasan tersebut dapat dimaklumi akal.

Tapi perlu ditengok puisi “Meditasi” dari Acep Zamzam Noor. Angin itu hanya duduk-duduk di halaman. Merenungi bunga-bunga. Musik hanya lewat. Juga waktu. Larik-larik puitik Acep terasa menyentuh kepekaan indrawi. Pembaca ditantang memproduksi makna dari waktu karena bentuk waktu telah dikonkretkan Acep.

Perlu ditengok pula puisi “Tetua Kampung” dari W. Haryanto. Kami seperti desah pohon, pohon yang mencari hidup, di udara, hidup yang berbiji, kepura-puraan, sejarah yang lain, keyakinan kami begitu mengejutkan, membuat gerimis berhenti. Rakitan kata-kata W. Haryanto telah menciptakan konteks bagi sesuatu yang laten pada diri manusia: kepura-puraan. Penciptaan konteks tersebut menjalin komunikasi antara puisi dengan pembaca. Pengalaman puisi, semula milik penyair Haryanto, bergerak menjadi pengalaman pembaca.

Lain Acep, lain W. Haryanto, lain pula puisi Kriapur dalam menjalin komunikasi dengan pembaca. Pada puisi berjudul “Aku Ingin Menjadi Batu di Dasar Kali” terdapat pengucapan yang bersifat kultural. Aku sudah tak tahan lagi melihat burung-burung pindahan. Yang kau bunuh dengan keangkuhanmu – Yang mati terkapar di sangkar-sangkar pedih waktu. O, aku ingin jadi batu di dasar kali. Menanti datang saat abadi.

Perulangan puisi Kriapur, ditandai dengan kata pembuka yang, mengingatkan kepada bentuk perulangan mantra. Pola pengucapan yang khas, berulang-ulang, untuk mencapai situasi transendental. Perulangan pun semakin dipertajam dengan ucapan “O”. Sebuah sentakan yang membuat situasi semakin magis. Sama seperti bentuk pengucapan orang bersembahyang. Artinya, Kriapur telah mereproduksi pola-pola pengucapan yang telah ada dalam masyarakat untuk mendekatkan diri dengan pengalaman pembaca.

Dari ketiga hasil karya ketiga penyair di atas, dapat disodorkan pula tiga cerapan karakter puisi cerdas. Pertama, greget tubuh artinya rakitan kata mampu menyentuh keindraan manusia. Panorama yang dapat dibau, didengar, ataupun dicecap lidah. Gagasan menjadi mudah diterima ketika pembaca sudah meresponnya melalui keindraan. Kedua, greget kemanusiaan artinya jalinan kata-kata memasukkan unsur-unsur laten dalam kejiwaan dan perilaku manusia.

Semisal rasa sedih, kesepian, ketakutan, pengkhianatan, kerinduan, ataupun kepura-puraan. Tugas penyair tinggal memberi konteks atas kejiwaan manusia tersebut. Pertaruhannya terdapat pada “subyektivitas sikap” sekaligus “konkretisitas peristiwa”. Ketiga, gramatik tradisi artinya penyair meminjam ungkapan atau pola bahasa yang telah ada dalam tradisi. Entah tradisi pada intern puisi maupun ekstern sastra. Misalnya Kriapur yang meminjam pola mantra.

Cukup banyak pola bahasa dalam masyarakat. Kesemuanya dapat diadopsi dalam puisi. Kelisanan di Indonesia dikenal amat beragam, di sini penyair bebas menggunakan pola bahasa Indonesia dengan karakter Sunda, Jawa, atau Batak. Bahkan, penyair dapat saja menggunakan slank atau kreol.

Banyaknya adopsi pada puisi, sedangkan tujuannya bukannya adopsi tersebut, membikin karya puisi sebagai karya yang multi materi. Nasib buruk menimpa materi yang diadopsi. Bila materi adopsian diandaikan sebagai sebuah struktur maka struktur tersebut dipakai bukan untuk tujuan yang sebenarnya. Struktur dipinjam untuk menjelaskan atau menarasikan hal lain. Misalnya pola mantra dipinjam bukan untuk memantrai roh sebagaimana para dukun, tubuh disinggung bukan untuk menjelaskan tubuh.

Kinerja puisi ini menjadikan posisi kata bukan lagi literal. Kata menjadi metafor. Kecerdasan puisi pun beralih kepada kekuatan metafor. Paul Ricoeur pada buku The Rule of Metaphor (Toronto: University of Toronto Press, 1977, halaman 197-198) Recoeur menuliskan “Kekuatan metafor, tentunya adalah untuk merintis logika baru atas reruntuhan pendahulunya… Lalu dapat saja diusulkan bahwa cara bicara yang kita sebut metafor, yang awalnya dianggap penyimpangan itu, sebenarnya sama dengan yang telah melahirkan segala bentuk ‘medan semantik’. Kekuatan puisi pun terletak kepada daya jelajahnya dalam memasuki banyak tema. Puisi yang mampu merangsang pembaca untuk menciptakan aneka tema dengan aneka sikap atas tema. Itulah puisi cerdas.

Tetap perihal puisi yang kecerdasannya melampaui penyair, ada pengalaman menarik dari penyair yang puisinya pernah dipublikasikan Jurnal Kalam dan terpilih menjadi salah satu dari 5 penyair terbaik Jawa Timur versi FSS 2008: Deni Tri Aryanti. Pada suatu ketika, Deni menyelesaikan satu puisi tentang “ironi aku lirik atas realitas”. Puisi telah selesai ditulis, hanya saja judul belum ada. Dalam kebingungan, tanpa sengaja, Deni sedikit menundukkan kepala. Pandangan tertumpu pada stavol (penyelaras arus listrik) buatan Jepang bermerk Yamaguchi. Dan jadilah, kata Yamaguchi dipilih sebagai judul puisi.

Mula judul puisi Deni berupa “iseng’. Perilaku iseng yang cemerlang. Dengan pilihan judul “Yamaguchi”, tentunya berasosiasi pada identitas Jepang, pembaca akan dihadapkan pada beberapa opsi makna. Yamaguchi sebagai tanda hubungan Indonesia dengan Jepang. Mengingatkan pada trauma penjajahan Jepang terhadap Indonesia, meski 3,5 tahun tapi masih berbekas hingga kini. Puisi Deni Tri Aryanti secara lugas mengakomodasi semua opsi tema melalui konteks atas judul.

Puisi cerdas, bukan puisi yang senantiasa kaku terhadap gagasan penyair. Justru puisi dimaksudkan untuk menjelajahi tema-tema yang penyair belum tentu membayangkan. Bila ini telah tercapai, puisi jadi lebih cerdas dari penyair. Hanya saja, ada penyair lebih cerdas dari puisi. Kata-kata diperlakukan selayak kerajinan tangan. Kasus terjadi pada penyair yang ingin membentuk puisi sebagai bayang-bayang diri. Gagasan berat pun dibebankan kepada kata-kata, lantas puisi tidak lagi bebas meraih banyak medan tema.

*) Anggota Forum Studi Sastra & Seni Luar Pagar (FS3LP) Surabaya dan anggota Komunitas Teater Gapus Surabaya.

NGALOR-NGIDUL TENTANG KEBUDAYAAN

(Bukan berarti kita tidak perlu mampir ke Barat atau Timur)
Haris del Hakim
http://forum-sastra-lamongan.blogspot.com/

Corak budaya satu warna yang bertaraf nasional yang mengiringi kekuasaan Orde Baru ternyata mempunyai imbas yang signifikan terhadap tradisi dan budaya yang bercorak kedaerahan. Kisah-kisah, kearifan, ataupun dongeng asal-usul suatu daerah menjadi tertepiskan oleh jargon-jargon yang mendukung pembangunan nasional, sebagaimana dicanangkan oleh masa pemerintahan Presiden Soeharto. Contoh paling gampang adalah pudarnya kekuatan baureksa sebagai penguasa di suatu daerah.

Kondisi tersebut mengakibatkan generasi yang lahir setelah itu “kehilangan” akar tradisi. Duapuluh tahun setelah berdirinya Orde Baru muncul fenomena generasi muda yang tidak memperhatikan nilai-nilai kearifan lokal, sehingga sering terdengar istilah “malin kundang si anak hilang yang durhaka terhadap ibunda kampung halaman”. Gelombang reformasi yang turut menghembuskan otonomi daerah seakan menyentak kesadaran akan hilangnya nilai-nilai kedaerahan tersebut, tidak terkecuali di daerah Lamongan.

Kisah-kisah, warisan budaya, dan kearifan lokal, sebagai kekayaan dan sumber kebanggaan bagi generasi muda akan kedaerahannya menjadi niscaya untuk digali kembali. Kisah Panji Laras dan Panji Liris, misalnya, merupakan salah satu kekayaan daerah Lamongan yang perlahan mulai dilupakan atau tidak dipahami secara baik oleh generasi muda. Kisah yang melahirkan tradisi pinangan oleh pihak perempuan kepada pihak laki-laki menyamarkan motif-motif dan tanpa disadari termasuk salah satu faktor pendukung patriarki secara kasar, tanpa pemahaman yang matang terhadap akar persoalan. Padahal, kisah tersebut merupakan tafsir masyarakat terhadap apa saja yang membuat kaum laki-laki lebih tinggi dari kaum perempuan.
***

Kata “kebudayaan” berasal dari kata Sansekerta budhayah yang merupakan bentuk jamak dari kata “budhi”, berarti budi atau akal. Artinya, kebudayaan dapat diartikan sebagai “hal-hal yang bersangkutan dengan budi atau akal”. Sementara dalam bahasa asing dikenal dengan istilah culture yang artinya adalah kebudayaan. Kata tersebut berasal dari bahasa Latin “colere” yang berarti mengolah atau mengerjakan, lebih tepatnya mengolah tanah atau bertani dan dapat diartikan sebagai segala daya dan kegiatan manusia untuk mengolah dan mengubah alam (Soekanto, 1982: 166).

Terlepas dari definisi yang teoretis seperti di atas, kebudayaan adalah predikat-predikat atau “baju-baju” yang dipakai oleh masyarakat untuk mengungkapkan keberadaannya. Karena masyarakat cenderung majemuk dan beragam, maka tidak aneh apabila dalam suatu masyarakat timbul berbagai macam ekspresi budaya. Kebudayaan seorang anak sekolah tentu berbeda dengan mahasiswa, petani, pedagang, atau ibu rumah tangga. Lebih gampangnya begini, mengapa seringkali timbul persoalan antara adik-kakak-orang tua-dll, secara ringkas karena mereka berbeda secara budaya. Seorang anak sekolah senang dengan band, tampil di panggung-panggung, mimpi menjadi artis, tampil menarik dan menjadi bahan perhatian banyak orang, sementara kakaknya mungkin tidak lagi mempunyai perhatian di bidang seperti itu. Atau kalaupun masih perhatian tidak sebergejolak seorang remaja. Akibatnya, timbul konflik hanya karena masing-masing mempunyai bobot perhatian berbeda dalam satu bidang—saya tidak mengatakan sebagai tidak peduli, sebab semua orang pasti mempunyai rasa perhatian terhadap segala macam persoalan hanya berapa persen dia peduli dengan hal itu.

Cara berekspresi inilah yang kemudian menimbulkan pengkotak-kotakan tentang budaya Timur-Barat-Utara-Selatan tanpa ada garis batasan wilayah yang jelas. Sampai saat ini kita seringkali mendengar kekuatiran beberapa kalangan tentang budaya Barat dan masih mengagungkan budaya Timur. Di dalam benak kita sangat jelas terbentuk pandangan bahwa budaya Barat adalah budaya yang rusak atau meng-gebyah uyah semua yang berbau Barat adalah rusak, sedangkan budaya Timur adalah budaya yang adiluhung. Bahkan, ada beberapa kalangan yang mengharamkan semua hal yang bersifat Barat. Pikiran yang sederhana seperti itu membuat kita gagap menjawab persoalan apakah kemajuan teknologi bukan termasuk hasil kebudayaan orang-orang “Barat”? Di sisi lain kita juga gagap ketika ditanya apakah budaya Timur yang adiluhung itu? Jawaban yang muncul secara spontan serampangan adalah, “Pokoke Bukan Barat!”. Jawaban seperti itu belum tentu timbul dari pemahaman yang betul mengenai “Barat” itu seperti apa sehingga dapat menjlentrehkan “Bukan Barat”.**

Gugatan-gugatan seperti itu meminta kita mempertimbangkan penilaian-penilaian kita terhadap wilayah asal budaya yang terlanjur kita konsumsi. Sejarah kebudayaan dan peradaban Barat saat ini ternyata hasil dari sumbangsih peradaban Asia—kalau boleh disebut Islam adalah bagian dari Asia—yang diperoleh dari Yunani dan Rpmawi. Karena itu, menyikapi pengkotakan budaya Timur-Barat-Utara-Selatan tidak pelu ngotot-ngotot sebab bisa diselesaikan di warung kopi—di warung kopi kita menemukan teknologi hasil produksi kemajuan peradaban Barat, seperti HP, dan kita juga menemukan cangkul pak tani yang sedang istirahat setelah lelah bekerja di sawah.

Persoalan yang lebih penting sebenarnya adalah merenungkan dan berpikir apa yang ada di balik budaya Barat dan Timur atau Utara dan Selatan, sehingga kita dapat memberikan penilaian secara arif. Pada saat kita membeli HP, misalnya, kita tentu tidak menanyakan ini produk Barat atau Timur? Apalagi pertanyaan lain yang sangat penting, seperti: Apakah untungnya kita mempunyai HP dan apa kerugiannya? Berat mana antara untung dan ruginya? Dan pertanyaan paling mendasar adalah, apakah saya benar-benar membutuhkan alat komunikasi yang bernama HP atau sekadar karena teman-teman saya mempunyai HP, maka saya juga harus mempunya HP?

Pertanyaan-pertanyaan seperti itu baru lontaran-lontaran iseng yang memunculkan pembahasan lebih mendalam. Di antaranya, apakah kepentingan orang-orang menciptakan HP dan menjual sinyal yang memanfaatkan udara? Bukankah udara diciptakan untuk digunakan oleh seluruh makhluk secara umum dan tidak hanya untuk gelombang radio, sinyal hp, radar, dll. Benarkah kepentingan pembuatan teknologi murni untuk kepentingan manusia secara menyeluruh, tetapi mengapa hanya orang-orang yang berduit mempunyai alat-alat teknologi yang maju?

Saya mempunyai teman yang tidak mau disebut ketinggalan zaman, sebut saja namanya Polan. Polan berpendapat bahwa ukuran tidak ketinggalan zaman adalah apa saja yang dilakukan oleh teman-temannya, tentu saja termasuk saya. Kalau temannya membeli sepatu merk Adidas, maka dua hari kemudian dia pasti sudah memilikinya. Begitu pula dengan barang-barang lainnya. Kemudian, kami bersepakat untuk memiliki barang-barang yang berbeda merk dan jenisnya antara satu sama lain dan satu bulan kemudian kami ganti dengan merk dan jenis lain. Secara ekonomi Polan memang kaya dan dituruti segala kemauannya. Sehingga, apa yang kami miliki juga dimiliki oleh orang lain.

Pada suatu hari kami mengajak Polan ke tempat pariwisata. Polan sama sekali belum pernah ke tempat itu. Saat kami sedang asik-asiknya ngobrol, Polan kebelet untuk buang air kecil. Salah seorang teman kami mengatakan bahwa kencing di tempat ini berbeda dengan kencing di tempat lain dan harus sesuai dengan syarat-syaratnya. Kami semua pun berpendapat seperti itu. Polan minta kami untuk mengantarkannya dan memberi contoh, tetapi tak seorang pun yang mau karena tidak ada yang akan kencing dan kami memberikan jalan keluar agar dia menonton orang lain sebelum kencing. Polan sangat senang dan langsung berangkat. Sepuluh menit kemudian kami melihat Polan yang datang dengan lebam di pipi karena dipukul seorang preman.

Memang, sangat sulit untuk membedakan antara terbuka—di kalangan remaja dikenal dengan istilah “Gaul”, “Ngetrend”, “Gak Telmi”, “Pop”, dll—dengan tidak mempunyai identitas. Kalimat yang paling harus diperhatikan adalah bahwa manusia “menciptakan” kebudayaan dan kebudayaan “mempengaruhi” manusia. Seorang rocker dapat menciptakan kebudayaan rocker karena “rocker juga manusia” dan bukankah kita juga adalah manusia yang dapat menciptakan kebudayaan meskipun kita belum tentu rocker? So what gitu loh?
Ya, kita tidak bisa membiarkan sifat terbuka melindas identitas kita. Pertanyaannya kemudian, apa sih identitas kita?

Munculnya sebuah kebudayaan dari suatu kawasan tentu tidak lepas dari kepentingan-kepentingan masyarakat itu. Apakah kepentingan di balik kebudayaan masyarakat Eropa yang berpakaian terbuka? Apakah hal itu dipengaruhi oleh kondisi alam dan cuaca, stok kain yang terbatas, para pendahulu mereka yang suka telanjang, atau sebab-sebab lain? Apakah hal itu sama dengan kondisi kita sehingga harus memilih untuk berpakaian minim juga?

Pertanyaan-pertanyaan di atas akan mengajak kita berpikir tentang kondisi alam, faktor ekonomi, sejarah, dan kepentingan-kepentingan lain. Pengetahuan tentang semua itu setidaknya membuat seseorang tidak gagap memahami dan membaca suatu fenomena budaya, begitu pula ketika membaca karakter orang dari kawasan tertentu.

Sebagai penutup, kita masih sering mendengar bahwa nenek moyang kita dulu orang-orang sakti, tetapi mengapa penjajahan kolonial Belanda dapat bertahan sampai 350 tahun ditambah 3,5 tahun penjajahan Jepang? Siapakah sebenarnya yang menyebut nenek moyang kita sakti? Mengapa mereka menyebut nenek moyang kita sakti? Apakah kepentingan mereka menyebut nenek moyang kita sakti?

Begitulah, kita masih harus banyak bertanya kemudian mencari jawabannya, sebab banyak hal yang masih belum kita ketahui. Dan, Jurnal Kebudayaan “The Sandour” merupakan salah satu ikhtiar dari orang-orang Lamongan untuk mencari identitas budayanya, sebagai manusia yang tinggal di Lamongan secara khusus dan Indonesia secara umum, di tengah berbagai macam warna dan bentuk kebudayaan yang sedang berkelebat saat ini. Bacalah tulisan Raudal Ranjung Banua yang tidak menganggap sepenuhnya salah aksi teroris yang terlanjur disematkan untuk orang-orang Lamongan, bacalah tulisan Nurel Javissyarqi yang mengungkapkan bahwa filsuf dan sastrawan dunia dari India terpukau oleh negeri kita, bacalah tulisan Joko Sandur yang berbagi pengalamannya tentang tradisi Lamongan, bacalah cerpen AS Sumbawi yang namanya tidak asing di surat-surat kabar, dan masih banyak lagi penulis-penulis berkaliber nasional.
Ternyata, kita mempunyai budaya sendiri….

Onto Suwigno

A Rodhi Murtadho
http://www.sastra-indonesia.com/

Onto Suwigno. Seorang guru SMP yang cukup populer namanya di kalangan masyarakat desa Madulegi. Keramahan dan kesantunannya kepada siapa saja menumbuhkan rasa simpati tersendiri. Tak diragukan lagi, kepiawaiannya dalam mengajar membuat berjuta-juta manusia sukses. Ada yang sukses menjadi pengemis, pemulung, petani, pedagang, pejabat kota, menteri, jendral, presiden, bahkan ada yang sukses korupsi tanpa ketahuan.

Sudah lama Onto Suwigno mengajar di SMP itu. Dua puluh lima tahun. Tentu saja ia sering mengalami pergantian kurikulum pembelajaran. Dari kurikulum A ke kurikulum B ke kurikulum C kembali ke kurikulum A kemudian ke kurikulum D dan begitu seterusnya. Kali ini ia harus beralih dan menggunakan kurikulum K. Kurikulum baru. Kurikulum yang bisa membuat siswa banyak bertanya. Banyak pertanyaan dari siswa yang belum ia bisa jawab sebenarnya. Namun dengan memaksa, memelintir otak, dan mengeluarkan segala pengalaman serta kepiawaian mengajar, ia bisa menjawab pada akhirnya.

“Pak, apa sih pendidikan seks itu?” tanya Jurano, salah seorang muridnya yang terkenal pandai dan piawai dalam bertanya.

Sempat Onto Suwigno merasa kebingungan memikirkan pertanyaan itu. Memang ia jarang sekali nonton TV apalagi baca koran. Waktu di luar mengajar ia gunakan untuk mengojek di pangkalan ojek Telon. Hal itu harus dilakukan karena ia harus menghidupi dua orang istri dan ketujuh anaknya.

Semakin tercenung ia memikirkan pertanyaan itu. Ia ingat Sumini, istri keduanya. Malam yang bergairah. Senyum Sumini di sela-sela giginya yang putih. Uraian rambut ikal di antara parfum dan bedak. Membuat malam semakin berbinar. Apalagi bentuk tubuh Sumini yang tak banyak berubah meski sudah beranak tiga. Di samping desahan nafas yang tak heran lagi membuat Onto Suwigno semakin kewalahan membendung hasrat. Sangat enggan ia melewatkan malam seperti itu bersama Sumini.

“Pak! Pak Onto, kok gak dijawab?” protes Rozak di sela-sela lamunan Onto Suwigno yang kontan membuatnya kaget.

“Saya melakukannya semalam,” jawab Onto Suwigno spontan terkaget.

“Apanya pak?” tanya Dini yang makin penasaran.

“Kapan-kapan kita bisa praktik bersama. Sesuai dengan tuntutan kurikulum, jadi harus ada praktik agar kalian tahu dengan jelas.”

“Tapi kapan pak?” tanya Nuni mengejar.

Pertanyaan yang lagi-lagi membuat Onto Suwigno terpojok. Ia kembali berpikir, kapan praktek itu bisa dilaksanakan. Sementara ia ingat istri pertamanya. Jannah. Seorang wanita berperawakan besar. Onto Suwigno mengingat-ingat kembali saat ia pengantin baru sampai ia mempunyai empat orang anak. Belum pernah ia melakukan praktik itu di siang hari.

“Bagaimana kalau malam hari!” jawab Pak Guru Onto.

“Kami kan harus belajar yang lain juga dan harus istirahat, Pak. Belum lagi izin yang belum tentu diberikan ayah dan ibu kami. Siang saja ya, Pak?” timpal Jurano.

Kembali Onto Suwigno memikirkan masalah yang sebenarnya ia tak mengerti. Namun pikirnya, ia melakukan praktik itu dengan Jannah ketika waktu senggang. Saat ia tidak sedang mengajar atau tidak sedang mengojek.

“Baiklah! Tetapi, waktu istirahat saja. Besok bisa kita praktikkan,” Onto Suwigno memberi kepastian kepada murid-muridnya.

Bel pulang telah dibunyikan. Membuat siswa-siswa cepat-cepat mengemasi buku dan segenap alat tulis. Mereka pun siap untuk meluncur pulang. Tas ransel yang tadi pagi mereka bawa terasa berat, sekarang menjadi ringan ketika mereka sudah memakan bontotan yang disiapkan ibu mereka.

Siswa-siswa berbondong-bondong pulang. Begitu juga dengan para guru termasuk Onto Suwigno. Onto Suwigno langsung berganti seragam. Ia memakai seragam ojek dan langsung menuju pangkalan ojek Telon. Dalam perjalanan, ia memikirkan hal yang tak ia mengerti yang ditanyakan muridnya. Pendidikan seks. Bagaimana besok ia akan menjelaskan. Apalagi ia akan menjadikan itu sebuah praktik. Bagaimana ia akan melakukan? Dengan siapa? Semakin banyak pertanyaan yang muncul dan menghantui Onto Suwigno. Ia terdiam dalam lamunan panjang.

“Pak Onto, bagaimana kalau kita praktik ketika istirahat pertama?” tanya Jurano.

“Baik. Ide yang cukup bagus. Kamu dan teman-temanmu yang berpraktik, ya. Tentu saja atas bimbingan saya,” jawab Onto Suwigno yang sedikit tersenyum tapi kebingungan.

“Baik pak.”

Kembali Onto berpikir. Benar yang ia lakukan ini? Sementara ia mengukur dirinya sendiri. Ketika ia berumur 18 tahun, setahun sebelum ia menikah dengan Jannah, baru ia megetahuinya. Mereka baru berumur 12 tahunan. Apakah sudah layak mengetahuinya? Kembali kebimbangan membuatnya bingung untuk melakukan praktik itu.

“Kalau saja saya membaca koran atau nonton TV tentu saja saya bisa menjawab pertanyaan itu dan mengakali jawabannya,” kata Onto Suwigno dalam hati, “tapi, gaji yang saya dapat tidak cukup untuk semua keluarga. Untuk makan satu istri dan dua orang anak saja tidak cukup apalagi harus menghidupi dua orang istri dan tujuh orang anak. Kalau pembesar kota mengatakan bahwa gaji itu tidak habis saya makan satu hari itu memang benar. Tapi gaji itu habis saya makan sepuluh hari. Terus yang dua puluh hari makan apa? Terus anak istri ikut makan siapa?”

“Pak, direkam ya, Pak, pakai kamera?” tanya Siwi, anak pejabat kaya.

“Boleh.”

Pengalaman terus saja membuat Onto Suwigno meraba-raba. Tak sempat ia tercenung. Hanya memikirkan anak didik. Bagaimana murid harus diakali tanpa menjerumuskan mereka pada hal yang asusila. Namun ini pengetahuan, kalau tidak dijawab, mereka akan terus bertanya. Ia khawatir kalau murid-muridnya mencari jawaban dengan jalan yang salah. Kembali ia menebarkan mata di sela-sela teriknya mentari siang itu.

“Baiklah anak-anak, semuanya ikut saya!” ajak Pak Onto.

“Kemana Pak?” timpal murid-murid.

“Pokoknya ikut saja.”

Onto Suwigno membawa murid-murid ke padang rumput sebelah sekolah.. Layaknya bebek yang digiring pemiliknya. Murid-murid pun nampak tercenung dan belum mengerti apa yang akan dilakukan Pak Onto.

“Kalian boleh merekam sekarang,” kata Pak Onto.

“Apanya yang direkam, Pak?”

“Kalian lihat kambing di belakang kalian itu. Di situ ada banyak kambing. Beberapa kambing jantan dan juga beberapa kambing betina. Silahkan kalian amati itu dengan seksama. Sementara saya akan meminta gembalanya untuk mendekatkan kambing-kambing itu kepada kalian.”

Adegan yang sebenarnya lekat dengan keseharian murid-murid. Tak sedikit dari mereka juga gembala. Namun ketika tontonan itu dilihat bersama, menjadi suatu keasyikan tersendiri bagi mereka. Canda, tawa, dan saling gelitik tak terelakkan lagi. Nampak Onto Suwigno merasa lega paling tidak. Dia sudah menunjukkan kalau dia sudah bisa menjawab pertanyaan murid-murid. Apalagi mampu membuat mereka senang dengan cara dia menjawab. Onto Suwigno nampak bertambah lega dan sunggingan senyum lega sudah terukir di bibirnya.

“Pak, kok kambing, terus pendidikan seksnya mana?” tanya Jurano penuh penasaran dan merasa dibohongi.

Layaknya mencari barang hilang. Onto Suwigno semakin bingung dengan contoh kambing yang ia tunjukkan kepada murid-murid.

“Mas, kambing ini usianya berapa?” tanya Pak Onto kepada gembala kambing.

“Wah, saya lupa Pak Guru, cuma yang betina ini sebenarnya adalah induk dari yang jantan,” jawab si gembala.

“Jadi yang betina itu ibu dari kambing laki-laki!” timpal Rozak ingin menegaskan.

“Benar, Dik…” si penggembala menganggukkan kepala.

“Begini anak-anak, seks semacam ini biasa dalam binatang tapi tidak boleh dilakukan manusia. Semuanya sudah diatur dalam hukum agama. Kalian mengerti?” terang Pak Onto.

“Oh, jadi ini pendidikan seksnya, Pak. Jadi tidak boleh melakukan dengan keluarga, ayah, atau Ibu, atau saudara. Kalau melakukannya bisa dikatakan sebagai binatang. Kambing,” tanggap Dini melanjutkan perkataan Onto Suwigno.

“Tepat sekali,” lanjut Pak Onto.

Onto Suwigno kembali berpikir, bukan melamun. Pikirannya ingat nama sesosok guru. Oemar Bakrie. Ia melihat sekitar dirinya berubah. Ia melihat tas coklat yang ia bawa berubah menjadi mirip kulit buaya. Ia melihat sepeda motor yang didudukinya, yang biasa ia gunakan mengojek, berubah menjadi sepeda kumbang. Dirinya tiba-tiba berpeci, berkacamata. Entah darimana datangnya. Polisi pun datang menghampirinya. Ia semakin bingung kelabakan tak karuan. Onto Suwigno berpikir, apakah dirinya benar-benar berubah menjadi Oemar Bakrie.

Surabaya, 7 Desember 2005

BALADA AJI SOKO

Imamuddin SA
http://www.sastra-indonesia.com/

ada yang sulit dipikirkan
diremas akal, dibongkar mata telanjang
kala kegaiban memberantas kenyataan
jawa dwipa jadi tanah persinggahan

seribu pasang nyawa bergelantungan
mengayun lelakonan
melintas belantara
memangkas belukar, menegakkan istanah istirah

laksana guntur mencabik-cabik dada
nyawa meradang, terkulai dari jasadnya
menyelimut ia yang hampa dalam misteri alamnya;
pagi luka, senja pun tiada

aji soko terukir namanya
jadi tumbal kebengisan jawa
terbang dari bagdad mengeringkan darah
melintas batas kesadaran
lewat cahaya kesaktian
bagai peghantar misi teremban

aji soko mengheningkan cipta
menyemedikan jiwa;
ada goresan sungsang
mengerang mendambakan warna kemurahan
dari mereka yang hidup di balik pandangan
dalam gaib reruangan

seribu hewan berjalan mundur dicarinya
selaksa simbol jiwa kalah oleh gaib mayapada
dirajutkan kupat bagai saksi kelepatannya
diikatkan lepet bagai tanda keluputannya

aji soko melenggang menelisik sudut tanah jawa
mengokohkan persembahan di pusar keangkerannya
mengubur satu demi satu segala yang telah tersyariat
berharap prahara tersumbat memadat
meniti lelangkah bersama kedamaian syahadat

Maret 2008, Lamongan.

Sabtu, 05 Juni 2010

Syarah Kitab Para Malaikat

Untuk Sebuah nama: Sonia Scientia Sacra

Robin Al Kautsar
http://www.sastra-indonesia.com/

I
Penyair memberi judul sebuah puisinya (antologi puisi?) dengan memunggah kata Kitab. Salah satu kata yang memiliki bentangan makna yang cukup lebar. Kitab bernuansa sebagai kitab suci, kitab keagamaan, kitab wejangan / pedoman hidup yang harus disikapi takzim (walau belum pernah membacanya sekalipun) karena isinya menunjukkan kesucian dan kebesaran yang harus diperjuangkan dan kita tuju. Sementara di sisi lain ada sebuah kitab yang tidak kalah serius, seperti Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), namun sering dicibir orang dengan “Kasih Uang Habis Perkara.”

Judul Kitab Para Malaikat sering menggoda saya untuk menghubungkan dengan Al-Kitab Perjanjian Lama yang di dalamnya memuat judul-judul: Kitab Hakim-Hakim, Kitab Para Raja, Kitab Para Pengkhotbah. Tetapi tidak sampai di situ, Kitab Para Malaikat juga memiliki bagian yang bernama Surat Kepada Gerilyawan yang ditulis oleh orang lain, sama seperti Al-Kitab Perjanjian baru yang memiliki bagian yang bernama Surat Paulus kepada Jemaat di Roma, Surat Paulus kepada Jemaat di Galatia, Surat Paulus kepada jemaat di Efesus dan lain-lain yang juga ditulis orang lain (Paulus).

Judul itu juga mengingatkan saya pada masterpiece Iqbal yang berjudul Javid Nama (Kitab Keabadian) yang mendeskripsikan semacam mikrajnya Penyair Iqbal ke dunia lain dengan dibimbing oleh Mursyid Jalaluddin Rumi.

Apakah kemiripan judul dengan dua kitab tersebut Kitab Para Malaikat ingin menjadi “sastra serius,” “sastra profetik” atau “sastra sufi” yang berpretensi menyodorkan “posisi yang tegas” yang setelah menegasikan kebobrokan manusia kemudian menunjukkan jalan kebenaran atau paling tidak sesuatu yang paling penting secara moral kepada masyarakat luas? Mari kita kaji Kitab ini bersama-sama.

Di depan pintu kitab ini saya diminta untuk percaya bahwa kitab ini merupakan kumpulan puisi (antologi puisi). Tetapi setelah melongok kitab ini sekilas yang penuh dengan panorama judul dan bait puisi secara masif, saya memutuskan untuk menyikapinya sebagai satu puisi panjang, dan bukan antologi puisi, sebagaimana Al- Kitab, Javid Nama serta serat-serat dalam sastra Jawa. Walaupun sayang penomoran dengan angka romawi sangat mengganggu penikmatan saya. Penomoran tersebut walaupun tampak seperti epigon dari kitab suci, justru sangat mengotori layar kesadaran pembaca.

Di depan pintu kitab ini saya sangat bertanya-tanya dengan nama-nama besar filsuf, matematikus, ahli bahasa, kritikus sastra, sufi serta penyair, yang anehnya terakhir justru bukan nama orang, tapi nama sebuah isme. Apakah maksudnya ini? Apakah penyair tidak nyaman hanya sebagai penyair, sehingga harus memperluas identitasnya (kebanyakan mereka ahli fikir)? Atau sekedar kegenitan belaka bahwa penyair sangat onsesif untuk punya nama besar? Sebenarnya saya malu mempertanyakan ini. Tapi saya kira ini penting karena jerawat runyam itu terpampang mencolok di pusat wajah. Maafkan saya.

II
Sebagai sebuah kitab mula-mula terbayang bahwa kitab ini akan berisi gambaran zaman terbaru dari makluk terkutuk (Iblis, Kafir, Musyrik, Kapitalis, Nihilis, Liberalis, Hedonis) di satu sisi dan makluk beriman (pengusung wahyu yang kini tidak begitu laku) di sisi lain, yang saling berhadap-hadapan (walaupun tidak mungkin hitam putih), dan Tuhan menguji masing-masing mereka dalam situasi yang berbeda secara saingnifikan dengan masa yang sudah-susah. Tetapi perkiraan saya meleset. Saya tidak menemukan percikan api dari dua benda tajam yang berbenturan. Tidak. Justru penyair terlalu banyak bernyanyi tentang masa lampau dunia pesantren sorogan yang serba koheren, dengan idiom-idiom alam, sedang kita hidup di alam mikroelektronik-digital yang merayakan paradox dan dibayang-bayangi pemanasan global. Bahkan penyair sebenarnya lebih banyak menggumam dan menghindari pernyataan-pernyataan yang tegas-menyodok. Jadi saya tidak melihat sikap baru sebagai hasil dari penyingkapan baru. Perjalanan sang penyair yang diawali dengan bertengger di atas sayap malaikat tidak jelas mau ke masa depan yang mana, mau membawakan misi apa? Dan sayangnya perjalanan yang “menggetarkan” ini tidak didahului oleh doa yang syahdu ke hadirat Tuhan, kecuali sekadar sholawat pendek yang bernuansa agak menjaga jarak dengan Tuhan. Saya dari bawah kibasan sayap malaikat tidak bisa melihat “perbekalan unik” dan “senjata canggih” yang dibawa oleh sang penyair, kecuali butir-butir warisan sufi lama yang agak kusam.

Maafkan saya. Saya ingin melihat pergulatan sufi zaman ini, di mana kemiskinan dapat merontokkan mental masyarakat, termasuk kemiskinan para ulama dan pejabat. Saya harap bait ini bukanlah magnum opus sang penyair dalam menatap masa depan:

Sengaja mengunjungi masa silam
Puja keagungan di tengah pencarian kesejatian


Membasuh kaki-kaki kembara ke makam para wali



III
Di mata saya Nurel adalah calon penyair profetik atau sufi (santai saja, jangan dibaca terlalu serius) yang dapat kita harapkan di masa depan, karena energi juang yang dimilikinya sudah cukup terkenal dan dia juga adalah sosok “penyair pejalan jauh” yang punya nafas panjang dan istiqomah. Saya yakin karyanya yang akan datang benar-benar merupakan Kitab Para Manusia (Masa kini dan Masa Depan), karena kematangannya menyalam sampai ke inti manusia dan kemanusiaan. Manusia jelas lebih kompleks daripada Malaikat.

Ketika Baghdad dikepung oleh tentara Jengiz Khan, dan umat jatuh nyalinya. Justru seorang sufi buta turun ke pasar menyampaikan khotbah yang membakar.

Saya yakin Nurel akan mampu menunaikan tugas penyair sufi masa depan yang berani melakukan “perjalanan ke dalam” dan sekaligus “perjalanan keluar,” yang penuh dengan resiko.

Tugu, 5 Nop 09.

Label

`Atiqurrahman A Muttaqin A Rodhi Murtadho A. Iwan Kapit A. Purwantara A. Qorib Hidayatullah A. Zakky Zulhazmi A.H.J Khuzaini A.S. Laksana Aang Fatihul Islam Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi WM Abdul Kadir Ibrahim Abdul Lathief Abdul Malik Abdul Wachid B.S. Abdurrahman El Husaini Abidah El Khalieqy Abu Salman Acep Zamzam Noor Achdiat K. Mihardja Adek Alwi Adi Suhara Adnyana Ole Adreas Anggit W. Afrion Afrizal Malna Aguk Irawan MN Agung Dwi Ertato Agus B. Harianto Agus Buchori Agus Himawan Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sulton Agusri Junaidi Agustinus Wahyono Ahda Imran Ahmad Badrus Sholihin Ahmad Fanani Mosah Ahmad Fatoni Ahmad Ikhwan Susilo Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musabbih Ahmad Rofiq Ahmad Sahidah Ahmad Tohari Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sekhu Alex R. Nainggolan Alex Suban Alunk Estohank Ami Herman Amien Kamil Amien Wangsitalaja Aminudin R Wangsitalaja Anastasya Andriarti Andreas Maryoto Anes Prabu Sadjarwo Angela Angga Wijaya Angkie Yudistia Anindita S Thayf Anis Ceha Anjrah Lelono Broto Anton Kurnia Anton Kurniawan Anton Wahyudi Anugrah Gio Pratama Anwar Nuris Aprinus Salam Arie MP Tamba Arif B. Prasetyo Arif Bagus Prasetyo Arif Hidayat Arman A.Z. Arti Bumi Intaran Arys Hilman AS Sumbawi Asarpin Asef Umar Fakhruddin Asep Sambodja Asrama Mahasiswa Aceh SABENA Astrikusuma Asvi Warman Adam Atep Kurnia Awalludin GD Mualif Aziz Abdul Gofar Azizah Hefni Badrut Tamam Gaffas Bagja Hidayat Bagus Takwin Balada Bale Aksara Baltasar Koi Bambang Agung Bambang Kempling Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Bayu Insani Beni Setia Benny Arnas Benny Benke Berita Berita Duka Berita Utama Bernando J. Sujibto Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Blambangan Brunel University London BSW Adjikoesoemo Budaya Budhi Setyawan Budi Darma Budi Saputra Budi Suwarna Bung Tomo Cak Kandar Catatan Cerpen Chairil Anwar Chavchay Syaifullah Cucuk Espe Cunong N. Suraja D. Zawawi Imron Dadang Ari Murtono Daisuke Miyoshi Damanhuri Damhuri Muhammad Damiri Mahmud Danarto Daniel Dhakidae Dante Alighieri Deddy Arsya Dedy Tri Riyadi Denny Mizhar Deny Tri Aryanti Detti Febrina Dharmadi Diah Hadaning Dian Hartati Dian Sukarno Diana A.V. Sasa Dicky Fadiar Djuhud Didi Arsandi Dimas Dina Oktaviani Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Djadjat Sudradjat Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Doddy Hidayatullah Donny Anggoro Dony P. Herwanto Dorothea Rosa Herliany Dr. Muhammad Zafar Iqbal Dr. Simuh Dwi Arjanto Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwicipta Dwijo Maksum Edy A. Effendi Edy Firmansyah Efri Ritonga Egidius Patnistik Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Hendri Saiful Elik Elsya Crownia Emha Ainun Nadjib Endah Sulawesi Endah Wahyuningsih Endang Suryadinata Endhiq Anang P Endri Y Eriyandi Budiman Ernest Hemingway Esai Esha Tegar Putra Eva Dwi Kurniawan Evi Dana Setia Ningrum Evi Idawati Evieta Fadjar F Rahardi Fabiola D. Kurnia Fadelan Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Faisal Kamandobat Faisal Syahreza Faizal Syahreza Fajar Alayubi Fandy Hutari Fany Chotimah Fatah Yasin Noor Fathor Lt Fathurrahman Karyadi Fatih Kudus Jaelani Fatma Dwi Rachmawati Fauzi Absal Festival Sastra Gresik Fikri. MS Fina Sato Fitri Susila Galih Pandu Adi Gde Agung Lontar Geger Riyanto Gerakan Literasi Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Ginanjar Rahadian Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gunoto Saparie Gus Martin Gus tf Sakai Gusti Eka Hadi Napster Haji Misbach Halim HD Halimi Zuhdy Hamberan Syahbana Hamdy Salad Han Gagas Handoko F. Zainsam Hari Santoso Haris del Hakim Hartono Harimurti Hary B. Kori’un Hasan Gauk Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Helwatin Najwa Hepi Andi Bastoni Heri C Santoso Heri KLM Heri Latief Heri Listianto Hermien Y. Kleden Hernadi Tanzil Heru Emka Heru Kurniawan Heru Prasetya Hesti Sartika Hudan Hidayat Humaidiy AS I Made Asdhiana I Made Prabaswara I Nyoman Suaka IBM. Dharma Palguna Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Ida Ahdiah Idayati Ignas Kleden Ihsan Taufik Ilenk Rembulan Ilham Khoiri Ilham Yusardi Imam Cahyono Imam Jahrudin Priyanto Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indah Darmastuti Indiar Manggara Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indrian Koto Irma Safitri Irman Syah Iskandar Noe Istiqomatul Hayati Ita Siregar Iwan Kurniawan Iwan Nurdaya-Djafar Iyut FItra Jadid Al Farisy Jafar M. Sidik Jakob Sumardjo Jamal D Rahman Janual Aidi Javed Paul Syatha Jayaning S.A Jefri al Malay Jihan Fauziah JJ. Kusni Jo Pakagula Johan Edy Raharjo Joko Pinurbo Jokowi Undercover Joni Ariadinata Joss Wibisono Jual Buku Paket Hemat Judyane Koz Juli Sastrawan Junaidi Abdul Munif Jusuf AN Juwairiyah Mawardy Kadir Ruslan Kasnadi Katrin Bandel Kedung Darma Romansha Khairul Mufid Jr Khamami Zada Khrisna Pabichara Kikin Kuswandi Koh Young Hun Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Komunitas Sastra Ilalang Indonesia (KSII) Korrie Layun Rampan Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan) Kristianto Batuadji Kritik Sastra Kunni Masrohanti Kunthi Hastorini Kuntowijoyo Kurie Suditomo Kurnia EF Kurniawan Kuswaidi Syafi'ie Kuswinarto Lan Fang Landung Rusyanto Simatupang Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Liestyo Ambarwati Khohar Linda Sarmili Liston P. Siregar Liza Wahyuninto LN Idayanie Lucia Idayani Lukman Asya Lusiana Indriasari Lynglieastrid Isabellita M Hari Atmoko M. Aan Mansyur M. Arman A.Z M. Bagus Pribadi M. Fadjroel Rachman M. Harya Ramdhoni Julizarsyah M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S M. Luthfi Aziz M. Nahdiansyah Abdi M. Raudah Jambak M. Shoim Anwar M. Yoesoef M.D. Atmaja Maghfur Saan Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Majalah Sastra Horison Maklumat Sastra Profetik Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Serenade Sinurat Mario F. Lawi Marluwi Marsel Robot Martin Aleida Martin Suryajaya Mashuri Matdon Mega Vristian Melani Budianta Melayu Riau Memoar MG. Sungatno Mh Zaelani Tammaka Miftah Fadhli Miftahul Abrori Misbahus Surur Miziansyah J Mochtar Lubis Mohamad Ali Hisyam Mohammad Eri Irawan MT Arifin Mugy Riskiana Halalia Muhajir Arrosyid Muhamad Rifai Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Al-Mubassyir Muhammad Qodari Muhammad Rain Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun A.S Muhidin M. Dahlan Muhlis Al-Firmany Mujtahid Mulyadi SA Munawir Aziz Murniati Tanjung Murnierida Pram Musa Ismail Musfi Efrizal Mustaan Mustafa Ismail N. Mursidi Nafsul Latifah Naskah Teater Nasrullah Nara Nelson Alwi Nenden Lilis A Nh. Anfalah Ni Made Purnama Sari Nina Mussolini-Hansson Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Noura Nova Christina Noval Jubbek Novela Nian Nugroho Notosusanto Nugroho Pandhu Sukmono Nur Faizah Nurdin F. Joes Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nurul Komariyah Nuryana Asmaudi SA Nyoman Tusthi Eddy Nyoman Wirata Oka Rusmini Oktamandjaya Wiguna Oky Sanjaya Olanama Olivia Kristina Sinaga Otto Sukatno CR Pagelaran Musim Tandur Pamusuk Eneste Patricia Pawestri PDS H.B. Jassin PDS. H.B. Jassin Penghargaan Hadiah Sastra Pusat Bahasa Persda Network Pipiet Senja Pramoedya Ananta Toer Pramono Pranita Dewi Pringadi AS Prita Daneswari Prof. Tamim Pardede sebut Bambang Tri Prosa Pudyo Saptono Puisi Puisi Kesunyian Puisi Sufi Puji Santosa PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Wijaya Qaris Tajudin R. Sugiarti Rachmad Djoko Pradopo Radhar Panca Dahana Ragdi F. Daye Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Ramadhan Batubara Ramadhan KH Ratih Kumala Ratna Indraswari Ibrahim Ratna Sarumpaet Raudal Tanjung Banua Remy Sylado Reni Susanti Renny Meita Widjajanti Resensi Restu Kurniawan Retno Sulistyowati RF. Dhonna Rian Sindu Ribut Wijoto Ridwan Munawwar Riki Utomi Riris K. Toha-Sarumpaet Risang Anom Pujayanto Riza Multazam Luthfy Robin Al Kautsar Rodli TL Rofiqi Hasan Rohman Abdullah Rosidi Rosihan Anwar Rukardi S Yoga S. Jai S. Sinansari Ecip S.I. Poeradisastra S.W. Teofani Sabam Siagian Sabrank Suparno Saiful Anam Assyaibani Sainul Hermawan Sajak Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sanggar Rumah Ilalang Sanggar Teater Jerit Sapardi Djoko Damono Sartika Dian Sartika Dian Nuraini Sastra Tanah Air Sastra Using Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sayyid Fahmi Alathas Sazano Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo Seli Desmiarti Selo Soemardjan Senggrutu Singomenggolo Seno Joko Suyono SH Mintardja Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sipri Senda Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Sobih Adnan Sofian Dwi Sofie Dewayani Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sri Ruwanti Sri Wintala Achmad St Sularto Stefanus P. Elu Sukron Abdilah Sulaiman Djaya Suminto A. Sayuti Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sungging Raga Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Suryansyah Suryanto Sastroatmodjo Susanto Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suyadi Suyadi San Syaifuddin Gani Syaiful Amin Syamsiar Hidayah Syarbaini Syifa Amori Syifa Aulia Tajuddin Noor Ganie Taufik Abdullah Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat TE. Priyono Teguh Afandi Teguh Ranusastra Asmara Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Theresia Purbandini Tita Tjindarbumi Titik Alva-Alvi Choiriyah Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tjoet Nyak Dhien Tosa Poetra Tri Lestari Sustiyana Triyanto Triwikromo TS Pinang Tu-ngang Iskandar Tulus S Tulus Wijanarko Udo Z. Karzi Ugoran Prasad Umar Fauzi Ballah Umar Kayam Umbu Landu Paranggi Universitas Indonesia Universitas Jember Utada Kamaru UU Hamidy Vera Ernawati Veronika Ninik W.S. Rendra Wahjudi Djaja Wahyu Hidayat Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Budiartha Widya Karima Wijaya Herlambang Wiji Thukul Willem B Berybe Wilson Nadeak Winarni R. Wiratmo Soekito Wita Lestari Wiwik Widayaningtias Y. Thendra BP Y. Wibowo Yasser Arafat Yeni Ratnaningsih Yohanes Sehandi Yonatan Raharjo Yonathan Rahardjo Yopi Setia Umbara Yos Rizal S Yos Rizal Suriaji Yudhi Herwibowo Yuka Fainka Putra Yurnaldi Yushifull Ilmy Yusri Fajar Yusuf Suharto Zainal Abidin Zainal Arifin Thoha Zawawi Se Zen Hae