Selasa, 19 Oktober 2010

MENYUSURI SERAT KALA TIDA MELALUI PUISI ATHAN

Nurel Javissyarqi
http://www.sastra-indonesia.com/

Dapat dikatakan hampir seluruh diriku, memulai mengeluarkan tulisan dari tubuh dengan sugesti. Di sinilah sebuah cara memunculkan nilai puitik yang bergelayutan dengan ringan. Kala melangkahkan segala kenangan, ingatan pun gejolak jiwa terus menggemuruh berharap dihaturkan melalui kalimah-kalimah. Pada lain tempat aku pernah mengatakan, sugesti suci ialah cinta.

Seolah kata-kataku, anak yang kulayarkan ingin selalu dimanja, apalagi saat perbaikan atau revisi. Berbondong dengan wajah riang memohon dimandikan dengan air kembang pengertian dalam bau-bauan harum wewarna di ruangan.

Di antara kata-kata bergandengan erat, kadang menjelma sepasukan tentara siap melabrak faham yang menghalangi. Segelombang laut berkelembutan hanyutkan pelena. Pun sesosok hantu hingga diriku ketakutan menyentuhnya, merinding bulu-bulu juga mengajak menangis dalam diam. Pula bermusuhan dengan kata-kata sendiri, seakan pesaing yang sulit ditundukkan.

Sebelum jauh kuucapkan terimaksih bung Athan, yang merelakan puisi indahnya kudedah dengan ngelanturing pesti, pestineng ngerti, titineng mongso. Ketika akan kusentuh puisi itu, kuambil buku sekenanya. Itulah cara jemariku berbicara, tanpa hasrat lebih dari dalam.

Terambillah Kitab Injil Barnabas untuk membongkar puisinya, tentu mencari kesesuai soal kematian. Namun saat membaca baru halaman pengantar berisi kesaksian, diriku tertidur lelap. Seakan Barnabas di sisiku dan kala terjaga berkata ia; kau sudah faham?

Lalu aku berfikir; bagaimana faham, membaca saja belum. Kitab itu masih di sampingku, diriku terus merasai ucapan Barnabas. Sampailah ke titik temu yang diterangkannya tidur itu saudara kematian. Ini sudah lumpah dalam filosofis Timur sampai merambahi dunia Barat. Lantas kita mengenali, ternyata Timur dan Barat dapat bersatu dalam kalimah hikmah.

Terjemahan Injil Barnabas kubeli ditahun-tahun lalu, kalau tak keliru aku pun terhanyut membacanya. Kitab-kitab Suci memang indah kalimahnya, disamping dalam maknanya. Tetapi bagiku yang menceritakan keadaan surga lebih mempesona, saat membaca Kitab Bhagawadgita, dimana angin pun berwarna.

Kitab Barnabas kubeli di kota Babat, termasuk wilayah kabupaten Lamongan. Kota tua yang mengedarkan buku-buku klasik, tiada di toko-toko umum, penyebarannya juga terbatas, pun dimasuki buku-buku dari kota. Terbitan buku-buku dari Mesir pula masuk ke sana, melewati lorong aneh bagi tidak faham jalurnya.

Semacam lorong rahasia melalui para kulir, seolah menebarkan misi tertentu. Itu bagi buku-buku khusus yang hanya pemesan dan penjual yang tahu. Dan jangan harap orang asing dapat buku langkah. Maka setiap kali aku membaca buku dari pembelian di kota Babat, diriku berusaha obyektif tidak terprofokasi kalimahnya.

Bagi pembaca sastra tidak fanatik, tentu sampai keliaran menerkan yang kujabarkan, setidaknya begitulah caraku membaca peristiwa di buku-buku. Memasuki kota-kota rahasia yang setiap gangnya menyimpan cerita, demikian juga menyimak puisi; penggalan kata menyerupai jalan pertigaan, perempatan dan jalan buntu. Kini marilah melihat puisi Athan:

MENGENANG MATI
Athan Wira Bangsa

disini.
ruang hampa
sebuah almanak usang didinding
terpajang sudah dua puluh enam ribu dua ratus delapan puluh jam
masih tetap seperti itu tak beranjak dari tempatnya
kutandai beberapa angka
hitam putih
untuk mengenang awal kematian ku.

Membaca puisi Athan di atas, ada tarikan nafas besar yang purna keluarnya. Ruh membuncah, hingga keringat tak terasa menetes menyempurnakan makna yang terbaca. Ada ruapan halus bersinambung meremajakan tubuh dalam sekali nafas.

Dan marilah menyimak Kala Tida (Sinom) karangan R. Ng. Ronggowarsito, di akhir seratnya menuturkan:

XII.
Sageda sabar santosa, Mati sajroning ngaurip, Kalis ing reh aruhara, Murka angkara sumingkir, Tarlen meleng malat sih, Sanityaseng tyas mematuh, Badaring sapu denda, Antuk mayar sawetawis, Barong angga sawarga mesi martaya.

Terjemahan bebasnya:
XII.
Semoga kami bersabar sentausa. Seolah dapat mati di dalam hidup ini, lepas dari kerepotan dan jauhkan dari angkara murka. Biarkan kami hanya memohon kepada-Mu, agar mendapatkan ampunan sekadarnya. Kemudian kami serahkan jiwa raga ke tangan-Mu ya Tuhan yang di surga.

Sajian ini tidak kendak membandingkan puisi Athan dengan serat Ronggowarsito, tapi dapat ambil ruh catatan ini lewat tangga keduanya. Sejenis mencoba manaiki eskalator, dan melihat eskalator di sampingnya juga bergerak naik. Lalu berpindah ke terlihat pula melihat yang barusan dinaiki.

Di ruang hampa atau mati dalam hidup menyadarkan, betapa hayat cuman sak pecak selangkah dalam keheningan pencarian hakiki. Almanak ataupun lepas dari kerepotan membelenggu saat berfikir membathin, merasai diri di batas-batas sulit diterjemah. Namun betapa tergambar hati-nalar bening menerima bergulirnya masa. Kenangan kematian nilai-nilai hidup tak tersentuh, dipulangkan tapi juga tak beranjak.

Dedoa mampu menghantarkan suara-suara menjelma makhluk dengan memohon kejelasan hitam-putih demi mengenal awal kematian nilai. Berupa timbangan baik-buruk atas perjalanan lalu. Kematian berulang di hadapan, dan aku lirik keduanya bersaksi bersegenap harap menyerahkan jiwa-raga kepada-Nya. Yang menjanjikan kesucian lelaku dalam kehidupan.

Pula menginginkan makna el-maut terus bertengger di jasad. Menguliti perasaan memperjelas hakiki. Membeningkan kilauan cahaya dari puisi maupun serat yang terjabarkan, sebagai jalan dikehendaki. Terus mengenang kematian, mengenang hidup tak hidup. Seperti ditaburi kembang ketulusan kalbu, menyerupai sejuknya salju meresapi kulitan ruh perasaan terdalam.

RAJA ALI HAJI: BAPAK KESUSASTRAAN MELAYU

Maman S. Mahayana *
 
Kalau bahasa Indonesia berasal dari bahasa Melayu Klasik, maka kesusastraan Indonesia lahir karena dukungan sastra klasik yang tersebar di kepulauan Nusantara, seperti Bali, Jawa, Sunda, atau Melayu. Khusus dalam pembicaraan yang menyangkut kesusastraan Melayu Klasik, tentu saja Abdullah bin Abdulkadir Munsyi tidak dapat dilewatkan. Beberapa karyanya yang terkenal, antara lain Syair Singapura Dimakan Api, Kisah Pelayaran Abdullah dari Singapura ke Kelantan, Hikayat Abdullah bin Abdulkadir Munsyi, dan Kisah Pelayaran Abdullah ke Negeri Jedah.

Ruang Anak-anak Peradaban Masa Depan

I Made Prabaswara
http://www.balipost.co.id/

DI MANAKAH ruang bagi anak-anak dalam bangun peradaban yang dominan ditentukan manusia dewasa usia? Pertanyaan begini dipastikan tiada seberapa mengusik kalangan politisi negara maupun daerah yang kini berasyik-masyuk riuh-rendah dengan suksesi gubernur hingga pemilu, lanjut mengincar-incar kursi puncak kepresidenan buat peneguhan kuasa. Tak perlu heran bila Hari Anak Nasional 23 Juli nanti bakal lewat sepi-sepi saja, kalah gaung dengung tinimbang perdebatan egosentris kader–nonkader balon pemimpin tanpa standar kriteria jelas, kecuali kepentingan pribadi dan kelompok.

Tarik-ulur kepentingan dalam UU Sistem Pendidikan Nasional yang baru, ribut-ribut protes para orangtua siswa baru terkait hasil penyaringan masuk sekolah, kegiatan orientasi di sekolah-sekolah bagi siswa baru –sebentar lagi menyusul mahasiswa baru di perguruan-perguruan tinggi berbiaya mahal– sama sekali tidak dipahami sebagai masalah mendasar, karena pendidikan anak-anak tidak kunjung dipahami sebagai penentu keunggulan peradaban masa depan negeri. Di negeri “bertradisi” suksesi kepemimpinan berdendam kesumat berdarah-darah ini, pendidikan anak-anak negeri yang seharus-harusnya diletakkan di hulu justru dihanyut-hanyutkan menjadi nomor ke-sekian di hilir. Maka, di manakah ruang bagi anak-anak dalam bangun peradaban masa depan negeri yang belum usai dirajam konflik demi konflik ini? Meskipun tiada mewariskan lembaga sekolahan formal berijasah, namun tradisi Bali lampau memberi gambaran, konsep, dan pemahaman amat benderang: betapa mutlak posisi anak-anak dalam penentuan peradaban dan alam semesta masa depan. Justru karena sebagai penentu masa depan itu, maka anak-anak mesti direbut diselamatkan nun jauh ke hulu: bukan cuma sebatas masa batita (bawah tiga tahun) balita (bawah lima tahun) prasekolah, melainkan jauh ke sebelum masa lahir, terutama untuk pengaliran genetika perwatakan nan kuat dan berkecerdasan. Dalam visi ini menjadi jelas terang: hanya generasi manusia berperwatakan kukuh dan berkecerdasan andal menjaga merawat kelangsungan tatanan hukum alam semesta.

Tugas membentuk watak kuat dan kecerdasan tangguh anak ber-putra sasana, karena itu, bukan semata tugas kewajiban hidup para orangtua, tapi lebih daripada itu adalah tugas kesemestaan. Itu berarti, dapat menyumbangkan anak ber-putra sasana menjadi kebahagiaan utama hidup para orangtua, karena dengan begitu sejatinya si orangtua telah turut menyerahkan “saham” kemuliaan bagi sang Hidup dan alam semestaraya ini. Sebaliknya, andai sang orangtua lalai membentuk anak ber-putra sasana, maka itulah kegagalan dan kesalahan terbesarnya terhadap sang Hidup sekaligus alam semestaraya, karena anak lemah watak dan tiada berkecerdasan ini sangat potensial akan berlaku destruktif bagi sang Hidup maupun alam semestaraya seisinya.

Pada simpul itulah renungan filsof Kuan Tsu menemu relevansi dan urgensinya manakala dia mengingatkan, “Bila Anda hanya memprihatinkan keadaan setahun ke depan, cukuplah Anda taburkan benih. Jika Anda memprihatinkan keadaan sepuluh tahun mendatang, tanamlah sebatang pohon. Namun jika Anda memprihatinkan keadaan seratus tahun mendatang, berikanlah pendidikan yang benar kepada rakyat.”

Seratus tahun ke depan itulah panjang usia yang senantiasa dimohonkan para maharsi agung berpencerahan berkesadaran menyemesta dalam tradisi Veda, yang di Bali dibahasakan sebagai momentum siklus seabad: Ekadasa Rudra. Ini momentum tepat dan berkewajiban untuk dilakukan penataan ulang tatanan sosial, budaya, ekonomi, ekologi, hingga tradisi berkeagamaan oleh anak-anak generasi zaman masa depan. Anak-anak, karena itu, adalah energi peradaban masa depan yang mesti disiapkan dengan matang justru agar si anak zaman ini dapat mengendalikan perubahan dan menentukan peradaban masa depan dengan benar gemilang, bukan justru malah dikoyak-moyakkan perubahan liar tiada terkendali karena tidak berakar kukuh.

Untuk pematangan dan pengukuhan akar itulah maka anak-anak direbut sejak dalam kandungan, prenatal, bukan cuma prasekolah, dengan pengkalbuan sastra-gending sebagai representasi nada-nada semestaraya. Tahapan proses pematangan dan kematangan itu dimulai nun di hulu sejak pemilihan pasangan calon ayah-ibu, lalu hari-hari perintiman suami-istri, magedong-gedongan setelah janin berindera lengkap sempurna dalam guagarba sang ibu, penciptaan suasana lingkungan nan tenang, tiada riuh berisik. Lalu berlanjut sampai bayi lahir dengan tradisi dapetan penyambutan penuh syukur dengan rangkaian penanda momentum-momentum peralihan usia perkembangan syaraf-syaraf motorik (dari usia tanggal tali pusar, 42 hari abulan pitung dina, 105 hari telu bulan, 210 satu oton/satu semester, 630 hari telung oton/tiga semester), kognitif-afektif-psikis maupun ragawi (menek kelih, menek bajang).

Pada tahapan bayi hingga kanak-kanak usia 10 tahun itulah menjadi titik paling peka penempaan watak dan kecerdasan si anak zaman masa depan, sehingga pengkalbuan kepekaan rasa hati lewat gending rare menjadi penting —belakangan ilmiah medis Barat membuktikan urgensi dan relevansi efek musik Mozart pada pematangan watak dan kecerdasan anak. Dalan visi dan persepsi domestik Bali, gending di situ justru dipersamakan dengan sekar, bunga, dalam metafora maknawi kesegaran, keharuman, kemekaran, dan semacamnya, sebagaimana dapat disusuri dari persamaan istilah gending rare dengan sekar rare.

Dalam metafora sekar itu, rare (kanak-kanak) jadinya, adalah kemekaran harapan masa depan, seperti juga Kahlil Gibran memetaforakan sang anak layaknya anak panah yang melesat cemerlang ke masa depan, menjadi milik sang Hidup, bukan milikmu orangtua. Dalam konvensi keberaksaraan dan kebersastraan Bali lampau, sekar, puspa, bunga, menjadi simbolik kesegaran, keharuman, kesejatian, ketulusan, kemuliaan, bahkan juga kesuci-murnian sekaligus denyut tiada henti Sang Mahahidup Nan Tak Pernah Layu (puspa tan alum). Dalam imaji itulah rare diberikan pemahaman pemaknaan yang sublim, dari fisikal-ragawi sampai abstraksi kesemestaan, sebagaimana dimaksudkan kanda pat rare yang bertransformasi tiada henti dari fisik-ragawi catursanak berwadag air ketuban (yeh nyom), ari-ari, talenta, dan darah berlanjut ke bajang papah, bajang colong, bajang regek, dan bajang pusuh, hingga abstraksi-konsepsional energi meruang-mewaktu anta, preta, kala, dan dengen, dan seterusnya.

Proses pertumbuhan pematangan anak, karena itu, bukanlah tugas parsial, sebagian-sebagian, sepotong-sepotong, melainkan total-utuh sebagai holistic human building (HHB) ragawi-mental-psikis-rohani terus-menerus, dengan tetap mengapresiasi keunikan masing-masing anak. Dalam formula kakawin Nitisastra: balita hingga 10 tahun itu layaknya dewa-raja, sehingga patut dituruti maunya dengan sabar, telaten, mengikuti proses menjadikan mereka sesuai potensi uniknya. Ini adalah masa anak menikmati dunia bermain dengan sungguh-sungguh, pemekaran kreativitas, sehingga anak sepatutnya dibiarkan menjelajah alternatif ke ranah-ranah ruang baru, layaknya Marcopollo berlayar menemu daratan benua baru.

Usia 10 tahun, menjelang remaja, barulah anak mulai diajari aksara, dalam arti menimbang-nimbang pengertian baik-buruk, benar-salah, sehingga sang anak mesti dikendalikan dengan benar. Usia 16 tahun saatnya sang anak dijadikan sahabat karib, dididik dengan keteladanan, nayeng gita, karena saat itu sang anak sudah mulai bisa bersikap. Tahapan pola ajar dan pola asuh versi Nitisastra ini jelas mengedepankan keholistikan sekaligus keunikan sang anak lewat pertimbangan matang sisi organ ragawi, kognisi, afeksi, psikologi, kapasitas otak dan hati.

Tapi, ketika kini peran orangtua sebagai guru pertama kerap digantikan, dicuri, atau malah sengaja direlakan diserahkan dengan mudah pada media-media massal berkeseragaman, seperti televisi, selain guru-guru taman bermain, sekolah taman kanak-kanak, kerap dengan pengingkaran terhadap naluri alamiah bermain sang anak, pematangan itu tidak terelakkan justru dipercepat, tanpa pematangan holistik-utuh sang catursanak. Di Bali, itu menjadi kian gamang rapuh manakala proses yang semula bertahap dalam lingkup keluarga dari tanah natah umah, ke sosialisasi meluas natar dan wantilan pura serta kalangan bale banjar secara tiba-tiba dipotong tajam membabi-buta: tanah umah tanpa natah, natar dan wantilan pura kian sibuk dijadikan arena tajen, dan kalangan bale banjar yang berkeramik mengkilap pun disewakan sebagai tempat parkir kendaraan, pusat perdagangan, dan semacamnya, bukan buat penempaan pengakaran dan pemekaran kecerdasan budi anak. Padahal, media-media dan ruang-ruang sosialisasi dan pemekaran pencerdasan baru budi anak belum lagi diciptakan holistik-utuh.

Di mana ruang-ruang anak Bali baru berkesempatan mengalih generasi dalam peradaban masa depan, manakala siklus ngenteg linggih sebagai simbolik alih generasi saban 30 tahun itu pun tiada lagi beraturan? Peluang otonomi daerah yang memberi ruang seluas-luasnya bagi muatan lokal dalam kurikulum pendidikan di sekolah, apa mau dikata, kini baru “sukses” meriuhkan protes orangtua siswa anak sekolah, bukan menuai Marcopollo-Marcopollo yang berani menjelajah ke ranah-ranah ruang baru, seperti diteladankan putra-putri tradisi utama generasi Lempad, Tjokot, Gede Manik, Ketut Maria, Pan Wandres, Kyang Gliduh. Di tengah perseteruan internal Bali akut sejak abad ke-17 dan kian kuatnya arus penyeragaman Bali di segala sisi dan dimensi seabad terakhir, betapa penting arti ruang jelajah alternatif kreatif itu, sesungguhnya.

Ruang-ruang alternatif itulah sangat dipelitkan di Bali kini, dengan mantra melenakan “ajeg Bali”. Padahal, realitas senyata-nyatanya yang terjadi justru adalah ajeng Bali, karena kebanyakan orang tidak jejeg, mengabaikan anak-anak sebagai pemilik sah peradaban masa depan.

Kupu-kupu Gereja

Utada Kamaru
http://www.sinarharapan.co.id/

…. Ingat! Kerajaan Allah sudah dekat! Ratakanlah jalan. Ratakanlah jalan. Bertobatlah…!

Suara pendeta Jeffrey lantang berteriak-teriak di atas mimbar. Tangannya sibuk menunjuk-nunjuk ke arah depannya. Mengarah tajam. Membuat orang-orang merasa telunjuk itu diperuntukkan baginya seorang. Atau bagi suami di sampingnya. Atau buat anak lelakinya yang terkantuk-kantuk di sisinya. Kebaktian pertama di ” gereja subuh”. Jam masih pukul setengah 6 pagi.

Di ujung sebuah kursi panjang, tak jauh dari mimbar, seorang anak laki-laki duduk sambil terkantuk-kantuk. Tiba-tiba makhluk cantik hadir di sebelahnya. Namanya Sophie.

” Iya, aku memang terlambat, maafkan,” ungkap Sophie setelah mengulurkan tangan dan menyebutkan nama kepada anak lelaki itu. Lembut benar terasa di tangan si anak. Membuat mata ngantuknya mengerjap-ngerjap. Saat dia sadar, makhluk cantik itu sudah tak di sebelahnya lagi. Makhluk cantik itu diam-diam mengepak-ngepakkan sayapnya mengitari ruangan ibadah. Hinggap di pintu jendela. Lalu ke dinding-dinding. Ke lampu megah gereja. Sesekali ke baju indah gadis-gadis yang sedang berkhayal. Dan akhirnya ke wilayah mimbar tempat pendeta berceramah.

Jeffrey melihatnya, lalu terhenti sebentar. Bagi jemaat, dia lebih terlihat seperti sedang memikirkan tema ayat yang baru saja dibacakannya. Jidatnya berkerut. Jubah kebesarannya yang longgar tampak mencekik ketat di leher. Dalam hatinya, Jeffrey malah sedang berbincang bahasa batin dengan Sophie.

” Ah, Sophie. Kamu datang juga akhirnya.”

Sophie menjawab dan melengos, ” Kamu kira aku datang untukmu?!” Jeffrey tak peduli. Baginya sungguh suatu pertanda yang terlalu nyata. Persis doa yang diucapkannya dengan amat sungguh tadi malam. Agar kalau bayi yang dikandung istrinya Paula perempuan, sesuai keinginannya, dia minta Tuhan mengirimkan kupu-kupu padanya. Kupu-kupu itu akan dipanggilnya Sophie. Karena si jabang bayi bakal dinamai Sophie. Nama yang indah, bagi Jeff dan Paula. Mereka tak sabar menimang Sophie: sebuah harapan yang telah dinanti belasan tahun lamanya.

” Kenapa tidak di-USG saja Jeff?” tanya ibunya suatu hari.

” Tidak perlu, Mam. Toh, apa pun jenisnya, aku dan Paula terima aja.”

***
Kupu-kupu juga bertandang ke sebuah kursi saat Pastor Rudy yang mantan penari latar berceramah di depan sepasang mempelai. Sebuah pernikahan indah di sehampar tanah lapang berumput hijau dengan kolam di tengahnya. Bunga bakung kuning berjuntaian di sepanjang lorong masuk tempat itu.

Setiap tamu mengenakan tiara indah di kepala. Yang anak-anak kelihatan seperti malaikat dengan gaun putihnya. Para tetamu tua-muda, pria-wanita mengenakan baju terbaiknya. Di mana-mana ada minuman lezat. Anggur Prancis, Tequila Mexico, Sake Jepang, induk Tuak. Makanan serba manis. Penganan, kue-kue Eropa, permen, cokelat. Mmmm. Semua tersaji sesuai selera mempelai perempuan. Si bintang pelaminan yang pipinya bersemu merah, kala Pastor Rudy melontarkan kalimat yang sudah dihafalnya amat sangat.

” Danu, maukah kau menerima Shinta dalam keadaan susah maupun senang, sakit atau sehat, sampai maut memisahkan?”

” I do,” Danu menjawab bersemangat, seakan kekuatan ‘I do’, lebih besar daripada ” ya”.

” Shinta, maukah kau menerima Danu dalam keadaan susah maupun senang, sakit atau sehat, sampai maut memi…?

” Ya. Ya Pastur. Pasti!” perempuan muda ini menyambar sebelum Pastur Rudy selesai berbicara. Di sebuah sandaran kursi, mata Sophie meneteskan sebutir air. Air mata. Mengenang tuannya yang tak kunjung menemuinya. Hhhhh. Helaan napasnya dalam, penuh kesesakan.

Begitulah Sophie. Dari minggu ke minggu, entah sudah berapa lama, dikepakkan sayapnya ke pintu-pintu gereja. Hinggap di kursi-kursi. Menyentuh bahu banyak orang. Menghangatkan, kadang mengejutkan. Sebagian orang menyangka kehadirannya pertanda bakal ketiban rezeki, ada juga yang mengira akan sial. Sophie menghias dinding-dinding gereja dengan warnanya yang indah. Membuat semua orang berpikir, dia memang selalu ada di situ. Padahal di hari-hari lain, Sophie sibuk mengumpulkan segala harta dan kekuatan agar bisa kembali berkelana di hari Minggu-minggu lain.

Yang pasti, Sophie hanya menggapai dinding-dinding di mana ditemukannya orang berdoa. Dan cuma hari Minggu. Ya, karena Sophie mencari tuannya.

Alkisah, Sophie terlahir sempurna. Kupu-kupu yang indah, cantik, memesona setiap orang. Badannya cukup besar dibanding makhluk sejenis. Sungutnya lembut melambai berwarna kuning gading. Dua pasang sayapnya, ….indah nian. Bintik-bintik cokelat di sekeliling pinggirnya. Sekelim warna kuning gading menggores menyelingi bulatan-bulatan itu. Semakin ke tengah lembaran tipis yang rapuh itu berwarna biru, lalu semakin biru hingga perlahan menghitam di tengahnya, tepat di pusat raga Sophie. Matanya perpaduan antara tajam dan lembut alam. Sophie cantik sekali!

Ketika sedang menggapai-gapai serbuk sari bunga di belakang rumah nenek Lisa, Sophie bertemu peri Jelita. Keduanya berkenalan. Dikira Sophie, peri Jelita hanya kebetulan ada di situ. Padahal tidak. Peri Jelita diutus kupu-kupu raksasa Kano, penguasa Negeri Kupu. Sophie yang kesepian terpekik senang saat peri Jelita mengatakan, Kano akan membawanya ke Negeri Kupu.

” Tapi kamu terlalu cantik.”

” Apa salah?”

” Ya. Semua kupu akan membencimu. Karena mereka harus berjuang dulu untuk dapat tinggal di Negeri Kupu.”

” Jadi bagaimana?”

” Datangilah tempat tuan Kano sering berkelana. Kalau kebetulan dia melihatmu, ingat! Harus kebetulan. Dia akan membawamu pulang ke negerinya dan menyebutmu sebagai ratu yang selama ini dicari. Persis seperti yang diceritakannya pada rakyat kupu selama ini.” Peri Jelita lalu menyebutkan tempat yang dimaksud kepada Sophie. Di benaknya, terbayang dunia yang tak pernah sepi. Karena Sophie sendirian.

Gereja lain, pukul 9 pagi. Sophie hinggap lagi di kursi sebuah ruangan. Mendengar sepenggal dua penggal khotbah pendeta Baron, berharap tersebut nama yang dicari-carinya. Berkenalan dengan beberapa orang. Melayang-layang sebentar, lalu beterbangan mengitari ruang. Tapi, kali ini ada yang berbeda. Di gereja ini, tak ada orang yang tertarik berkenalan dengannya. Semuanya serius. Seakan tersihir oleh isi pesan yang disampaikan pembawa pesan. Tak ada yang matanya ” lima watt”. Daya magis yang luar biasa memang.

” Pak…Pak…! Bu! Halo. Halo…..!” Halo….! Suara Sophie melengking tinggi. Tubuhnya digoyang-goyangkan sekuat tenaga. Sungutnya bergetar hebat. Serbuk warna di sayapnya berguguran. Tapi tak ada yang menoleh. Tak ada yang menggubris. Tak ada yang mendengar. Cuma pendeta Baron. Karena dia selalu percaya, kupu-kupu itu, kupu-kupu yang selalu datang setiap Minggu itu, adalah gadis kecilnya yang cantik. Yang meninggal bersama temannya tahun kemarin. Sepeda motor yang mereka kendarai terseret truk gandeng besar.

Badannya utuh. Tapi dokter bilang, Lita mengalami luka dalam yang parah. Anak penolong umat itu tak tertolong.

” Terima kasih tetap setia datang, Sophie…Duduklah dengan manis. Nanti tuan yang kau cari datang juga.”

Sophie diam saja. Dia tidak menjawab. Hanya tertunduk-tunduk berjalan tanpa memikirkan apa pun. Badannya lemah sekali. Semangatnya menyusut. Dia lalu keluar.

Di depan pintu gereja, dalam kesunyian hati dan kelelahan jiwa, suaranya lirih membisik, ” Tuan kau di manakah?”

Sophie lalu masuk hutan, tropis. Rimbun. Basah. Lembab. Dia terbang menyelang-nyeling pepohonan. Kesana-kemari. Melayang tinggi, menukik ke bawah.

Melayang lagi, membumbung sampai ke atas, tinggi. Terus ke atas, terus, dan terus…. Tinggi sekali. Sophie tidak pernah tahu, dirinya terus melesat, bahkan sampai terlalu tinggi. Dia tidak tahu, dia tak pernah kembali. Di hutan itu, tuannya telah menjemput.

Di dalam gerbong kereta api, Jeffrey termenung sendirian. Mereka-reka, akan seperti apa jabang bayinya nanti. Perjalanan Solo-Jakarta sehabis undangan berkhotbah masih lima jam lagi.

Di rumah sakit, Paula tengah berjuang antara hidup dan mati. Dia tak menyangka, bayinya lahir secepat itu. Baru 7 bulan belum genap tiga minggu, namun manusia mungil itu sudah mendesak keluar. Jam 2 subuh tadi dia sudah menendang-nendang tak beraturan. Perut Paula serasa dililit-lilit. Sakitnya tak terkira. Ambulance segera datang setelah Paula dengan susah payah menelepon sambil mengejan-ngejan. Anak ini begitu memaksa mendesak keluar. Membuat angannya bersalin ditemani Jeffrey di sisinya, buyar.

Jeffrey…..! Lengkingan suara Paula membelah pagi.

Dua jam setelah berjuang kesakitan, derita Paula mengejan-ngejan akhirnya selesai. Dia tergolek lunglai. Tak sempat menanyakan apa-apa pada dokter. Energinya terkuras habis. Rasa lemah luar biasa menyergapnya. Tapi Paula lega.

Di pintu masuk ruang bersalin, Jeffrey masuk tergopoh-gopoh.

Dokter…Dok…Anak saya apa? Dia disambut senyum bangga khas dokter yang sukses menangani persalinan pasiennya.

” Selamat Pak Jeff. Anak Anda cantik sekali. Ibunya juga selamat,” dokter menyambut Jeffrey sambil mengulurkan bayi dalam dekap lengannya.

Si bayi cantik, cantik sekali. Kulitnya lembut. Tatapannya masih membayang. Tangannya bergoyang lembut, seperti mengepak. Yah, tepatnya memang mengepak. Si bayi terus mengepak, lalu perlahan terlepas dari genggaman dokter lalu hinggap di lengan Jeffrey.” Sophie…” Jeffrey menyambut, haru.

Kain Batik Sidomukti

Sunaryono Basuki Ks
http://www.sinarharapan.co.id/

Pada ulang tahunku yang ke tujuh puluh dua, saat musim dingin belum juga pergi, aku menerima bingkisan dari seorang teman lama, yang syukur berusia panjang pula seperti diriku. Sebuah bungkusan kertas kado sederhana berwarna hijau tua berhiaskan kembang-kembang berwarna putih bagaikan untaian melati. Di luar bungkusan menempel sebuah amplop, dilekatkan dengan selotip tipis. Amplop itu lebih dulu aku buka. Isinya sebaris puisi:

Di hari bahagia ini/Kenanglah kami/Yang jauh/Namun tetap terengkuh/Oleh jiwamu/ Kenanglah tanah/ tempat darah tumpah/tempat kita/kan bertemu kembali.

Aku tersenyum. Pasti dia tak pernah berhasil menjadi seorang penyair, namun semangatnya yang menggebu untuk menjadi penyair membuatnya mampu menghafalkan sajak-sajak karya Asrul Sani, seperti ”Surat Dari Ibu” atau seluruh sajak Sitor Situmorang yang terkumpul dalam ”Surat Kertas Hijau”: lonceng gereja bukit Itali. Atau: cherchez la femme, cherchez la femme. Atau: bunga di atas batu/dibakar sepi/mengatas indera/dia menanti/bunga di atas batu/dibakar sepi.

Dia tentu saja tidak setua diriku. Mungkin delapan atau tujuh tahun lebih muda. Namun, karena aku lebih dulu menjadi cerpenis terkenal, maka dia sering datang ke rumah atau bersurat, sebab aku tinggal di Surabaya dan dia di Malang. Banyak yang dia tanyakan sampai kadang aku kewalahan menjawabnya. Dia mencoba menulis cerpen atau puisi namun tetap saja karyanya membuat aku tertawa dalam hati. Tampaknya dia tak pernah putus asa. Dia juga dengan bersemangat mengirimkan lewat pos buku tulis penuh dengan puisi yang ditulis dengan tulisan tangannya yang indah.

”Ini, Mas. Saya serahkan sajak-sajakku, siapa tahu bisa dimuat,” begitu bunyi suratnya, seolah menyala di tanganku.

Dia masih duduk di kelas satu SMA Bagian Sastra. Itu pilihannya sendiri, tidak dipaksa siapa-siapa, padahal dia berasal dari SMP Bagian B dan nilai ujian akhirnya rata-rata delapan seperdelapan, tertinggi di kelas III B/1. Toh dia memaksa masuk SMA Jurusan sastra. Saat dia mendaftarkan diri, loket kosong, dan petugas yang menerimanya setelah memeriksa berkasnya mengatakan:

”Bukan di sini, Dik. Di situ SMA III. ”

”Saya memang melamar ke sini, Mas.”

”Tapi SMA Pasti di situ. Gedungnya memang satu kompleks di sini.”

***

Salju tiba-tiba turun, namun aku tak harus bergegas ke tempat kerja. Tempatku bekerja sekarang adalah ruang kecil yang jendelanya menghadap ke sebuah tanah lapang kecil yang ditumbuhi rerumputan. Dan kali ini rerumputan itu diselimuti salju seluruhnya. Salju yang jatuh ditiup angin, kembali melayang ke udara lalu seolah mencari-cari di sela-sela gedung, tempat untuk menjatuhkan diri ke tanah atau menubruk tembok bangunan di seberang.

Di jendela istriku meletakkan pot bunga dari plastik yang ditumbuhi bunga berwarna merah menyala, tentu kesukaan istriku. Kalau bunga itu sudah layu, maka pot itu harus dibuang dan istriku akan menggantinya dengan pot bunga berwarna kuning kesukaanku.

Musim dingin selalu membawa keindahannya tersendiri. Pertama aku merasakannya justru di negeri Cina, saat ketenteraman hati dan harapan ke masa depan gelap bagai malam-malam musim dingin itu. Aku menggigil sendirian. Teman-teman juga. Seperti diriku, mereka tidak pernah bepergian ke luar negeri, dan berita-berita di radio mewartakan harapan yang putus untuk kembali ke tanah air. Aku tahu bahwa musim dingin akan berganti dengan musim semi, musim harapan dengan bunga-bunga yang mulai kuncup. Hal itu mungkin terjadi di alam lain, tidak di negeri asing ini, negeri asing pertama yang aku injak, bersama-sama rekan wartawan yang semuanya harus menerima kemandegan perjalanan hidup masing-masing. Kapan kami bisa pulang, tak seorang pun yang tahu.

”Sebaiknya kita tidak pulang,” pemimpin rombongan memberi saran. Dia bukan menghibur kami, sebab dia juga tak mampu menghibur dirinya sendiri. Baginya urat nadi kehidupan juga sudah putus, seperti urat nadi kami. Kami benar-benar tak tahu apa yang harus diperbuat.

Kami harus tunduk kepada hukum lokal, dan sering mendapat caci-maki sebab sudah berbuat kesalahan. Tetapi, apakah itu memang salah kami? Kami tidak tahu apa-apa. Ketika kami berangkat, semua baik-baik saja Tidak ada tanda-tanda yang mengkhawatirkan. Memang, beberapa bulan sebelumnya koran kami mendapat surat edaran, yang menyatakan bahwa kami harus berafiliasi dengan partai atau ormas tertentu. Menurut perasaanku, surat itu biasa saja. Sudah semestinya kami meletakkan diri di mana. Dan tanpa kecurigaan, Pemimpin Perusahaan kami mengirim keputusan rapat yang menyatakan bahwa kami berafiliasi dengan sebuah ormas tertentu. Itulah ujungnya.

***

Sudah lama berlalu. Dari satu negeri ke negeri lain, bertemu dengan teman-teman lain yang semuanya merindukan gudeg Yogya, atau rujak cingur, atau rendang, atau empek-empek Palembang, atau…..

Namun, tetap saja kami terlunta-lunta. Untung aku mendapat pekerjaan mengajar di universitas setelah berpindah-pindah dari satu negara ke negara lain. Dan istri serta anakku menyusul, hampir sewindu kemudian. Aneh memang, dalam ketiadaan harapan, istriku bertahan hidup, dan justru menyusulku ke negeri orang, bukan memutuskan untuk menikah lagi dan melupakan masa lalu. Masa lalu adalah masa kami berdua, dan itulah kunci ketulusan hati istriku.

***

Kubuka bungkusan kertas hijau itu. Di dalamnya ada selembar kain batik. Kain batik sidomukti. Dan masih ada sebaris puisi:

Mukti di usia senja

Aku tiba-tiba teringat ibu. Ibu pernah bercerita, bahkan ketika aku dilahirkan, ibu meminta nenek membungkusku dalam kain batik sidomukti. Katanya, aku tidur dengan tenang setiap saat, hanya terbangun ketika minta minum serta kencing. Kata ibu:

Lahir mukti

Aku benar-benar dilahirkan mukti. Di Pare, Kediri, bapakku yang guru tak kekurangan apa. Gajinya uang gulden dan ibu pandai mengatur rumah tangga. Sampai Jepang datang ketika aku berusia sembilan tahun lebih dua bulan, hidup kami memang sejahtera. Lalu saudara tua mempropagandakan kemakmuran Asia Timur Raya dan kami mulai tergencet dalam keseharian antara makan dan tidak makan. Banyak yang jatuh sakit dan meninggal, banyak yang dikirim kerja paksa demi membela tanah air.

Ketika zaman susah aku menikah dengan Jeng Retnowulan, kami mengenakan kain batik sidomukti. Ibuku, juga ibu mertuaku mengatakan:

Hidup mukti.

Jangan sampai mengenakan kain batik dengan corak parang rusak, sebab segalanya akan hancur berantakan. Kado yang kami terima cuma gelas minum beberapa biji. Tidak ada kado kain sutera atau cangkir keramik yang bagus. Tapi mertuaku menghidangkan nasi rawon dengan daging pilihan pada resepsi pernikahan yang meriah.

Aku bekerja sebagai guru di sebuah SMA Swasta dan juga sebagai wartawan budaya di sebuah koran yang cukup besar untuk ukuran saat itu, sementara aku juga menulis cerita pendek yang diterbitklan di dalam majalah Sastra. Tapi kehidupan pengarang saat itu sangat memprihatinkan, sebab honor mengarang sangat kecil. Hanya satu koran Berita Minggu yang berani membayar mahal, sampai Rp 500,- satu cerita pendek, padahal gajiku sebagai wartawan tak sampai Rp 2000,-

Toh kami bertahan hidup. Orang lain makan bulgur, kami masih sanggup makan nasi bercampur ketela. Kami masih mampu memelihara kelinci dan istriku kadang memasak sate kelinci.

Hidup mukti.

Sampai berita gembira itu tiba. Aku dan beberapa orang teman wartawan dari seluruh Indonesia akan diberangkatkan ke luar negeri. Istriku mulai mencari hutangan buat membeli kain bahan jas yang akan kukenakan. Kain mohair warna coklat yang tak begitu bermutu, tapi aku harus punya sepasang jas untuk sebuah pertemuan internasional. Dan dengan menenteng kopor seng peninggalan ayahku, aku diantar ke stasiun kereta api menuju Jakarta. Dari Jakarta rombongan akan berangkat bersama.

”Mas, semoga selamat kembali ke rumah.”

”Doakan Jeng Retno.”

Dan itu hanyalah sepotong harapan dan sebisik doa. Kami harus berpisah sewindu lamanya.

***

Salju masih turun, namun musim dingin sebentar lagi berlalu. Tanganku sudah lama terasa ngilu bila musim dingin tiba. Bila musim berganti, bukan harapan baru yang muncul. Sebelas hari lagi anak-anak muda yang penuh rasa cinta merayakan Valentine Day, hari kasih sayang. Adakah kasih sayang ketika teman-temanku menghilang dari peredaran, sebagian konon sudah menjadi korban kemarahan rakyat? Dengan perih Eliot menyitir keyakinan orang Hindu:

”April is the cruellest month…”1

Dan kain sidomukti yang aku terima dititipkan Gede Budasi, anak dari bekas murid temanku yang datang ke negeri ini untuk mengkonsultasikan disertasinya tentang sistem kekerabatan bahasa Sumba, salah satu bagian dari bahasa besar bahasa Austronesia, bidang linguistik historis komparatif. Dosen pembimbingnya di UGM Dr Inyo Fernandes pernah dikirim ke Leiden. Profesor Northofer yang ahli bahasa-bahasa Austronesia itu memang mengajar di Universitas negeri ini.

Di usia baruku nanti, di kedatangan musim semi, apakah siklus sedih akan kumulai? Aku tidak tahu. Dan aku juga tak tahu makna kado istimewa untuk ulang tahunku yang ke tujuh puluh dua ini. Siapakah yang dapat meramalkan kehidupan seseorang? Siapakah yang dapat mengatakan padaku bahwa sudah hampir empat puluh tahun meninggalkan Kediri, meninggalkan tahu yang kurindukan, dan apa yang akan terjadi?

Aku teringat ibu, teringat mertuaku, dan teringat temanku:

Lahir mukti
Hidup mukti
Mati pun mukti.

Benarkah? Salju makin deras menerpa jendela, melayang seolah ingin menyapu dinding dengan kuas raksasanya. Salju telah turun, dan musim semi akan segera tiba. Musim yang paling kejam, yang justru tampak memunculkan bunga-bunga aneka warna, warna-warna semu dari sela-sela tanah yang sebelumnya diselimuti salju. Dan tanganku makin terasa ngilu.

Lahir mukti, hidup mukti, mati mukti
Shantih, shantih, shantih2

Tergetar giring-giring berdenting jauh ke dinding hati: shantih, shantih, shantih. Damai di dunia. Mukti saat mati.***

Singaraja, Dua minggu pertama September 2004

1 Larik pertama puisi panjang The WasteLand karangan TS Eliot
2 Shantih, shantih, shantih= larik terakhir sajak The Waste Land

Cerita Siti Jenar dalam Dongeng Wali Sanga

SYEKH SITI JENAR
Pergumulan Islam-Jawa
Penulis : Abdul Munir Mulkan
Penerbit : Yayasan Bentang Budaya, Yogyakarta
Peresensi: Dr. Simuh *
http://majalah.tempointeraktif.com/

Syekh Siti Jenar karya Abdul Munir Mulkan menarik dicermati karena beberapa hal. Buku setebal 353 halaman yang dilengkapi dengan salinan teks asli dan terjemahan bahasa Indonesia ini ditulis oleh Abdul Munir Mulkan, yang dikenal sebagai dosen IAIN Sunan Kalijaga yang bukan hanya mendalami ilmu agama, tetapi juga menggeluti ilmu-ilmu sosial. Karena itu, dalam karyanya ini, Munir Mulkan mendekati karya sastra Jawa dari sudut ilmu sosial-politik. Atas dasar alur cerita dalam karya sastra itu, Munir Mulkan dapat menyingkap adanya oposisi dari kelompok Syekh Siti Jenar beserta murid-muridnya terhadap penguasa kerajaan dan Kesultanan Demak yang didukung oleh Wali Sanga.

Dalam buku ini, Syekh Siti Jenar didudukkan sebagai pengikut Kerajaan Majapahit yang mbalela. Dari alur cerita, Munir Mulkan dapat membuka satu aspek karya-karya satra. Namun, perlu diingat bahwa karya sastra bukan ilmu sejarah. Karena itu, perlu dicermati pula aspek-aspek lain yang cukup kompleks dalam kritik sastra, misalnya aspek kebahasaan.

Pada garis besarnya, bahasa Jawa berkembang dari bahasa Jawa kuna, dan bahasa itu kemudian menjadi bahasa Jawa tengahan. Pada zaman perkembangan Kerajaan Majapahit hingga Kesultanan Demak, pada abad ke-16, bahasa Jawa kuna kemudian menjadi bahasa Jawa tengahan. Pada zaman Mataram, bahasa itu kemudian berkembang menjadi bahasa Jawa baru, yang amat halus dan bersifat feodal dengan stratifikasi bahasa ngoko, kromo, dan kromo inggil. Bahasa Jawa menjadi semakin feodal terutama sesudah kekuasaan sosial-politik kesultanan-kesultanan Mataram dirampas penjajah Belanda.

Sebagai kompensasinya, para priayi Jawa hanya bisa menekuni untuk mengembangkan bahasa dan sastra budaya Jawa baru, yang makin diperhalus dan dicanggihkan dengan menyadap dan menjawakan unsur-unsur agama Islam, terutama filsafat moral dan kebatinan dari ajaran sufismenya. Sastra budaya Jawa baru demikian berkembangnya dan mencapai puncak kehalusan dan kecanggihannya pada zaman Surakarta. Ini merupakan awal krida sastrawan-sastrawan dan pujangga-pujangga istana Surakarta dan Yogyakarta. Pencapaian sastra budaya Jawa untuk mencapai puncak kehalusan ini kemudian diikuti oleh zaman pengaruh budaya Barat, suatu budaya rasional ilmiah yang berwatak dinamis, dan bukan lagi budaya mistik dan mitologi. Makin membanjirnya pengaruh Barat terutama ditandai sesudah peristiwa politik etis. Inilah saat penjajah Belanda mulai membuka sekolah model Barat, yang terkenal sebagai sekolah umum, yakni yang mengajarkan ilmu pengetahuan umum dan bukan sekolah agama. Perkembangan seterusnya adalah sesudah peristiwa Sumpah Pemuda, yang mengangkat bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional, menyebabkan perkembangan sastra budaya Jawa mengalami kiamat dan kemunduran yang tragis.

Ditinjau dari segi bahasa, cerita tentang Siti Jenar dan dongeng-dongeng tentang Wali Sanga atau wali tanah Jawa bisa dikategorikan sebagai cerita berbahasa Jawa baru yang halus. Para peninjau sastra Jawa umumnya berkesimpulan, munculnya cerita tentang Wali Sanga dalam serat-serat babad, seperti halnya Babad Demak dan Babad Tanah Jawa, diperkirakan pada abad ke-17 Masehi, yakni zaman Mataram. Karena itu, para sastrawannya tidak mengalami dan tidak menyaksikan proses peralihan dari zaman Majapahit ke zaman Demak. Sayangnya, masyarakat Jawa pada umumnya dan para santri khususnya belum bisa membedakan antara sejarah dan serat babad, yang berupa cerita rekaan para sastrawan Jawa seperti halnya cerita dalam serat-serat babad dan dalam serat suluk Jawa. Mereka masih saja percaya bahwa pengislaman di Jawa ini bisa disulap atas jasa sembilan orang wali. Anehnya, serat-serat babad seperti Babad Demak menceritakan bahwa wali-wali dari pesantren, misalnya Sunan Bonang, Sunan Drajat, diimani oleh wali kejawen, yaitu Sunan Kalijaga. Mengapa demikian? Sebab, dalam Serat Babad Demak, misalnya, dikisahkan bahwa sesudah Masjid Demak dibangun, adalah Sunan Kalijaga yang mendapat anugerah baju Ontrokusumo dari langit, yaitu wahyu untuk menjadi imam para wali tanah Jawa.

Para sastrawan Jawa menyebut peralihan dari Kerajaan Majapahit ke Kesultanan Demak sebagai peralihan zaman, yakni dari zaman “Kabudan” ke zaman Islam. Pada zaman Kabudan, seorang satria yang bertapa lazimnya mendapat petunjuk atau wahyu dari Batara Nerada, sementara pada zaman Islam, adalah Sunan Kalijaga yang menjadi pemberi wahyu para satria yang bertapa.

Jadi, Sunan Kalijaga difungsikan sebagai pimpinan para wali tanah Jawa. Itulah strategi kebudayaan yang dicanangkan oleh para pujangga ilmu kejawen dalam upaya menjalin keserasian hubungan antara lingkungan budaya Istana Mataram, yang ditegakkan atas fondasi sastra budaya warisan kejawen, dan lingkungan sastra budaya pesantren. Itu pula kelihaian para cendekiawan Istana Mataram dalam mengotak-atik strategi sastra budaya untuk membangun jembatan budaya guna menutup jurang perbedaan, agar perbedaan antara lingkungan budaya kejawen lama dan lingkungan budaya pesantren tidak menajam.

Maklum, pada zaman Kesultanan Mataram masa itu hingga zaman penjajahan Belanda, para cendekiawan pengolah sastra budaya adalah para priayi Jawa di lingkungan istana. Para kiai pesantren, sebagai guru-guru tarekat (sufi), tidak memikirkan atau tidak mampu mengotak-atik pembinaan strategi kebudayaan dan tidak butuh memikirkan masalah-masalah sosial-politik.

Hal ini wajar lantaran para priayi Jawa-lah yang masa itu berkepentingan untuk menjembatani jurang perbedaan antara lingkungan budaya pesantren dan kejawen, demi stabilitas kekuasaan kerajaan dan kesatuan dan perdamaian antara masyarakat pesantren dan kejawen. Maka, untuk menunjukkan keunggulan dan kecanggihan warisan sastra budaya kejawen yang halus inilah diciptakan cerita-cerita tentang Wali Sanga seperti Syekh Siti Jenar, Serat Gatholoco, Serat Darmogandhul, Suluk Lebe Lonthang, Serat Wedhatama, Centhini, dan lain-lain. Dongeng Syekh Siti Jenar berkisah dengan gamblang tentang kelebihan dan kehalusan tasawuf kejawen, yang menganut paham manunggaling kawula-Gusti seperti halnya al-Hallaj, dibandingkan dengan tasawuf pesantren yang dianut kedelapan wali lainnya, yang masih terikat lekat pada syariat.

Dalam cerita Siti Jenar ini ditunjukkan, ilmu dan tingkatan makrifat Syekh Siti Jenar lebih sempurna dan benar karena sewaktu leher Siti Jenar dipenggal, keluar darah yang putih. Tampaknya ini kemudian diartikan bahwa Siti Jenar putih hatinya dan benar. Pada zaman Mataram hingga zaman penjajahan, paham tasawuf Siti Jenar menjadi pegangan keislaman para priayi dan raja-raja Jawa. Dalam masa penjajahan, tidak ada raja Jawa dari Mataram yang berani berhaji atau menjadi muslim yang taat. Sebab, masa itu, Islam jadi lambang antipenjajahan dan pendukung setiap pemberontakan. Hal itu wajar karena para kiai pesantren didukung para santri yang taat, sehingga para priayi yang sakit hati dan memberontak melawan Belanda menggunakan atribut Islam, seperti Pangeran Diponegoro dengan sorbannya.

Cerita Syekh Siti Jenar ternyata mengilhami para sastrawan lain untuk menyusun cerita yang mirip penghukuman mati Siti Jenar ini. Hal ini bisa dibaca dalam disertasi S. Soebardi yang berjudul The Book of Cabolek. Inilah petikan serat Cabolek karya pujangga Yasadipura:

Paman payo ucapena / kojah ereh tanah jawi /apa ana kuna-kuna / panjenenganing nrepati /Demak Pajang Mantawis / nglahirken ngelmu Kak kukum /Mas Ketib Anom turnya / Pamirseng kawula ngalit /inggih angger wonten sami anyapisan //Kang kukum ing Giripura / Seh Siti Jenar ing nguni /kukum inggih saking pedhang / Alam Pademak ing nguni /

kukumipun binasmi / pan inggih Pangeran Panggung /

Dene duk alam Pajang / Ki Bebeluk dipun-warih /sami denten traping api lawan toya //

Dene karaton Mantaram / Panembahan senapati /lan Panembahan Karapyak / dereng wonten kang marengi /Nunten kang wayah wayah gusti /anjenengan Sultan Agung /wonten kukum satunggal / angrusak sarak anenggih /mila duka Sultan Mukhamad Mantaram //Linabuh wonten Tunjungbang / wong saking mancanegari /pandhusunan Wirasaba / dhukuh ing Wanamarteki /mantunipun Kiyahi / Bayipanurta pukulun /Lakine Tambang Raras / gustine nyai Centhini /abubuka warana Seh Among Raga //
…….

Ketib Anom aturira / Sunan kang sumare Tegil /Mangkurat Paku Buwana / dereng wonten kang nglampahi /mung Kaji Mutamakin / inggih ajeng sisinahu /Gumer ingkang miyarsa / sadaya sami ningali /Ki Cabolek kang pinandeng ing ngakathah //

Ringkasan kisah serat itu adalah: Haji Mutamakin dari Desa Cabolek, Karesidenan Pati, dihadapkan dalam sidang para ulama. Ia dituduh karena mengaku sama dengan Tuhan sesudah mendalami Serat Dewaruci. Sidang ini dipimpin oleh Damang Urawan dan Ketib Anom dan diselenggarakan di Pagelaran Istana Kartasura. Dalam sidang ini, Demang Urawan bertanya kepada Ketib Anom, apakah pada masa lalu para sultan di Jawa juga menghadapi masalah adanya orang yang dihukum karena dipersalahkan mengaku sama dengan Tuhan dan meninggalkan syariat. Ketib Anom menjawab, kerajaan-kerajaan Jawa zaman Islam selalu menghadapi masalah ini satu kali setiap periode. Ketib Anom menjelaskan, pada zaman kasunanan di Giripura, adalah Syekh Siti Jenar yang dihukum pancung dengan pedang lantaran dipersalahkan mengaku sama (manunggal) dengan Tuhan. Pada masa Kesultanan Demak, adalah Sunan (Pangeran) Panggung yang dihukum bakar (dibakar hidup-hidup) lantaran mengaku sama dengan Tuhan, sedangkan dalam Kesultanan Pajang, Ki Bebeluk dihukum mati dengan jalan ditenggelamkan di dalam air.

Syahdan, pada zaman Mataram, pada masa pemerintahan Sultan Agung, tersebutlah Amongraga, yang mengaku sama dengan Tuhan. Maka, Sultan Agung sangat marah dan Amongraga ditenggelamkan di laut Tunjungbang. Sementara itu, pada masa pemerintahan Sultan Mangkurat di Kartasura, Haji Mutamakin ingin mencoba menyiarkan ajaran seperti Syekh Siti Jenar, tapi kemudian bertobat sehingga dibebaskan dari hukuman.

Dalam menghadapi dan menganalisis kandungan sastra Islam kejawen seperti halnya Serat Syekh Siti Jenar, Serat Cabolek, Centhini, dan serat-serat suluk Jawa pada umumnya, kita bersikap cermat dan hati-hati. Mengapa? Sebab, para “dhalang” (sastrawan) penulis cerita Siti Jenar, cerita Haji Mutamakin dalam Serat Cabolek ataupun Centhini, cerita Amir Hamzah dalam serat-serat Menak Jayeng Rana umumnya adalah para pujangga atau sastrawan Jawa di lingkungan Istana Mataram. Disertasi S. Soebardi menjelaskan bahwa Serat Cabolek ditulis oleh Yasadipura I, seorang pujangga Istana Mataram, yang semula beribu kota di Kartasura dan kemudian berpindah ke Surakarta (Solo). Kelemahan analisis Abdul Munir Mulkan dalam Bab I Pasal 2 dan 3 adalah karena dia hanya mencantumkan alur cerita dalam teks yang tersurat. Sementara itu, dalam kritik sastra, kita masih perlu menyingkap siapa “dhalang” penulis cerita itu, dan kapan kira-kira Serat Syekh Siti Jenar ditulis, dan lingkup suasana bagaimana yang ditulisnya. Jadi, masih banyak misteri yang harus dikuaknya. Ditinjau dari segi kehalusan sastra bahasanya, Serat Siti Jenar termasuk dalam lingkungan bahasa Jawa baru, yang berkembang pada zaman Mataram. Atau, bahkan para penulisnya jelas orang Solo dan Yogyakarta. Apalagi, tembang Macapat yang dipakai memang berkembang pada zaman Mataram hingga masa pembaruan dan pengislaman sastra Jawa kuna ke dalam sastra Jawa baru. Inilah masa yang oleh Poerbatjaraka dalam Kepustakaan Jawa disebut zaman Surakarta awal. Jadi, kalau dilacak dari kehalusan bahasanya, Serat Syekh Siti Jenar ditulis pada zaman Mataram.

Karena itu pula, bisa diperkirakan, penulis yang mengotak-atik munculnya cerita Siti Jenar tentu tidak menghayati zaman peralihan dari Majapahit ke Demak. Hal ini berarti Serat Siti Jenar, seperti halnya cerita-cerita Wali Sanga dalam serat-serat babad, adalah cerita rekaan para sastrawan Jawa, bukan karya para kiai di pesantren.

Jadi, cerita para wali, termasuk di dalamnya Siti Jenar, tak bisa dianggap sebagai buku sejarah. Para pujangga Jawa hingga zaman Ranggawarsita, yang dijuluki sebagai pujangga penutup, belum punya rasa kesejahteraan dan belum menguasai ilmu sejarah. Masa itu, mistik dan mitologi masih dominan sehingga jika pembaca menganalisis, alur cerita yang hidup adalah sebuah kisah yang beroposisi terhadap Kerajaan Demak. Sedangkan jika pembaca mampu membaca yang tersirat, cerita itu lebih menyiratkan keunggulan paham manunggaling kawula-Gusti yang dianut Siti Jenar, Syekh Amongraga, Syekh Bebeluk, dan Pangeran Panggung, yang dianut lingkungan budaya Islam-kejawen di Mataram, daripada tasawuf pesantren yang ketat terikat pada syariat.

Walaupun alur cerita yang tersurat dalam Siti Jenar dan cerita Wali Sanga pada umumnya menggambarkan pergulatan dalam peralihan dari kerajaan Hindu-kejawen Majapahit ke Kesultanan Demak, bila dicermati, sindiran yang tersirat menggambarkan pergulatan antara paham tasawuf pesantren dan kejawen pada zaman Mataram hingga masa penjajahan Belanda. Paham tasawuf manunggaling kawula-Gusti yang dianut Siti Jenar menggambarkan paham yang diunggulkan oleh para priayi kejawen, dan berpusat di lingkungan Istana Mataram, sedangkan tasawuf para wali delapan atau wali sembilan dalam buku Abdul Munir Mulkan mewakili tasawuf pesantren.

Pihak kejawen memandang paham Siti Jenar, walaupun dipersalahkan dan dihukum mati, sebagai ajaran tasawuf yang lebih sempurna dan lebih unggul. Hal itu tampak jelas disiratkan dalam dialog antara Sunan Kudus, sebagai utusan pihak wali pesantren, dan Ki Ageng Pengging, sebagai murid setia Syekh Siti Jenar. Paham keislaman para priayi Jawa pada zaman penjajahan Belanda tergambar jelas dalam Wedhatama karya K.G.P.A.A. Mangkunegoro IV.

Sikap keagamaan dalam Wedhatama menggambarkan sikap para raja dan priayi Jawa semenjak zaman Hindu kejawen hingga zaman Islam sebelum masa kemerdekaan. Bagi para priayi Jawa, yang nomor satu adalah nilai kekuasaan (kedudukan). Adapun agama adalah nomor dua dan dijadikan pendukung kekuasaan politik.

Hal ini tampak dalam sejarah semenjak Raja Erlangga hingga Kerajaan Majapahit, ketika demi stabilitas negara, mereka menyatakan menganut agama rangkap, yakni Siwa-Buddha. Dua agama yang di negeri asalnya bermusuhan itu di Jawa bisa disinkretisasi. Maka, dalam menghadapi ajaran mistik Hindu-Buddha dan mistik Islam, para priayi Jawa memilih paham seperti Syekh Siti Jenar, yakni paham yang cenderung ke arah panteisme atau manunggaling kawula-Gusti. Mengapa? Sebab, paham manunggaling kawula-Gusti ini mempunyai beberapa ciri istimewa, di antaranya pemahaman paham panteisme yang bisa disebarkan konsep God king, yakni menyembah raja berarti menyembah Tuhan juga. Jadi, paham Syekh Siti Jenar bisa dijadikan dukungan bagi kekuasaan politik kerajaan-kerajaan Jawa. Maka, wajar bahwa dalam sejarah kerajaan-kerajaan Jawa semenjak zaman pengaruh Hindu-Buddha hingga zaman kejawen, paham mistik yang panteistis atau paham Siti Jenarlah yang dikembangkan para raja-raja Jawa. Hal ini bisa dipahami dari disertasi Zoetmulder tentang satra suluk Jawa yang diterjemahkan Dick Hartoko dengan judul Manunggaling Kawula-Gusti. Dan dari kenyataan ini, orang yang mau menjelajahi sastra Jawa zaman Islam akan mudah mengerti mengapa dalam hal ajaran ketuhanan, para pujangga Jawa lebih memilih menyadap dan mengembangkan paham wujudiyah atau martabat tujuh dari sastra sufi Melayu Aceh, sementara dalam hal filsafat kejiwaan dan ajaran moral, mereka menyadap ajaran tasawuf al-Ghazali dari pesantren Jawa.

Membahas buku Syekh Siti Jenar karya Munir Mulkan ini memang sangat mengasyikkan karena buku ini mewakili keunikan sikap para satrawan Jawa dalam mempertahankan warisan tradisi budaya lama dalam perumahan baru, yaitu perumahan Islam. Ternyata, untuk sementara waktu, mereka berhasil menyusun bentuk kompromi yang cukup unik yang melahirkan bentuk keislaman baru yang dinamai Islam-kejawen. Dalam buku Syekh Siti Jenar ini, Islam-kejawen dihadapkan dengan bentuk Islam sufi, yang berkembang dalam masyarakat pesantren. Keunikan Islam sufi adalah ajaran mistik yang dikembangkan dalam perumahan Islam. Maka, lahirlah bentuk baru yang unik pula, yaitu Islam-sufi. Di samping itu, pada abad ke-20, sebuah bentuk Islam baru di Jawa telah lahir, yakni Islam reformasi, yang diwakili oleh golongan Muhammadiyah. Islam reformasi ialah gerakan Islam yang ingin mengembalikan ke Islam sunni yang asli, atas dasar pedoman Alquran dan Sunah. Dalam Islam suni, Islam dipandang sebagai way of life yang khusus sehingga tidak bisa dikompromikan dengan tradisi kejawen dan ajaran mistik yang bertentangan dengan way of life Islam. Maka, pergulatan tiga bentuk keislaman ini menjadi bahan penelitian yang sangat penting.

*) Dosen IAIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta.

Yonatan Raharjo Persembahkan Novel “Lanang”

Novel Yonatan Raharjo “Lanang” Pemenang Sayembara Novel DKJ 2006
http://sastra-bojonegoro.blogspot.com/

SINOPSIS:
Doktor Dewi seorang antek korporasi asing. Berkepentingan memasok produk rekayasa genetika dari luar negeri, dia ciptakanlah hewan transgenik penyebar virus penyakit, Burung Babi Hutan. Sejak kemunculan makhluk aneh ini, area peternakan sapi perah tempat Lanang bekerja tiba-tiba terserang penyakit gaib. Ribuan sapi mati. Warga pun gempar.
Bersama pemerintah dan masyarakat, Lanang, dokter hewan yang cerdas, obsesif, dan melankolis, sibuk mencari tahu sebab kematian sapi perah. Seminar dan penelitian dilakukan, tapi penyakit misterius tak kunjung ketemu. Usaha ilmiah pun menemui jalan buntu. Lalu, mengemukalah isu dari seorang dukun hewan bahwa biang keladi kematian sapi adalah Burung Babi Hutan, makhluk jadi-jadian. Polemik mistikisme tradisional versus bioteknologi modern pun menambah ruwet persoalan. Akankah proyek Doktor Dewi berjalan mulus?
Ditulis dalam gaya thriller, plot cerita novel ini sungguh menegangkan. Karakter tokoh-tokohnya pun rumit dan penuh intrik. Dengan pendekatan konspirasi, karya ini menjadi bacaan kritis bagi yang tertarik pada isu-isu sosial, psikologi, bioteknologi, dan politik kesehatan.

KUTIPAN PUJIAN:

”Membaca novel ini, saya segera merasakan kemiripannya dengan kesusastraan Eropa abad ke-20, misalnya novel Prancis Plague (Penyakit Pes) karya Albert Camus atau karya-karya Géza Csáth dalam kesusastraan Hungaria: kita harus menghadapi kehadiran simbolik, mistik, rasional, dan irasional secara bersamaan. Sebagai ”pemula” dalam kesusastraan Indonesia, saya membandingkannya dengan Harimau–Harimau karya Mochtar Lubis. Musikalitas dan plastisitas deskripsi dalam novel ini luar biasa, seperti skenario film!”
—Mihaly Illes, Duta Besar Hungaria untuk Indonesia

“Yonathan seperti Taufiq Ismail yang juga dokter hewan, sama dengan Asrul Sani idem ditto dokter hewan. Ditarik lebih jauh ke masa lampau, Marah Rusli, pengarang roman Siti Nurbaya, pun dokter hewan. Saya pikir, tentu ada sesuatu yang “spesial” dengan dokter hewan. Bisa bersajak, bisa mengarang.
… Saya pikir, Yonathan ini wong edan, gendheng, gilo-gilo baso, sifat yang melahirkan kreativitas, orisinalitas. Kukirim sajakku padamu Yonathan. Bunyinya: Katakan beta/manatah batas/antara gila/dengan waras.”
—Rosihan Anwar, Tabloid Cek & Ricek

“Kekuatan utama novel ini terletak pada wawasan baru yang mewarnainya. Rumit tapi…. Sangat menarik.”
—Ahmad Tohari, novelis
“Novel yang kaya dan dalam, menampilkan berbagai wajah dan genre yang beberapa di antaranya belum dirambah pengarang Indonesia lain: sains, thriller, sosial, psikologi.”
—Prof. Dr. Apsanti Djokosujatno, Guru Besar Sastra Universitas Indonesia
”Ada beberapa dokter hewan yang terjun dan bergelut di dunia sastra. Tetapi, agaknya, hanya (Dokter Hewan) Yonathan Rahardjo yang coba memperkaya sastra Indonesia dengan rekayasa genetika sebagai bagian dari pengucapan literernya melalui novel Lanang.”
—Martin Aleida, wartawan Tempo 1971-1984

“Penyair yang dokter hewan ini dikenal dengan puisi-puisi kontekstual dan sosialnya. Kritik-kritiknya tajam, kendati dibalut dengan bahasa yang telanjang.”
—Kompas

“Lanang adalah perpaduan mengejutkan antara eksperimen biologi mutakhir dengan alam spiritual tradisional. Kerumitan alur cerita, keterampilan bahasa, dan kompleksitas psikologi yang ditampilkannya adalah tawaran gelagat baru yang menakjubkan dalam denyut sastra Indonesia mutakhir.”
—Prof. Dr. I. Bambang Sugiharto, Guru Besar Filsafat Universitas Parahyangan

“Jalinan cerita dan tokohnya memang buah imajinasi, tapi latar belakang teknologi dan konspirasi global (yang jadi setting ceritanya) boleh jadi mendekati kenyataan. Gabungan fiksi dan kenyataan yang membuat masyarakat perlu berpikir ulang ihwal teknologi!”
—Hira Jhamtani, pengamat kehidupan, Gianyar, Bali

“Cara bercerita dalam novel Lanang memperkaya khazanah susastra Indonesia, sebuah cara penceritaan yang baru, rinci, telaten, merayap, namun arahnya pasti dan penuh kejutan.
Penceritaan hal-hal sensitif, yang menjadi kontroversi berbagai pihak dalam konteks sastra dan moralitas sastra Indonesia, mampu disampaikan secara terbuka dan terus terang namun tidak blak-blakan dan vulgar, dikemas dalam kata dan kalimat indah khas susastra, dengan tetap menjaga dan mempertahankan greget suasana dan makna.
Konflik kejiwaan dan karakter tokoh utama ditampilkan secara mendalam, menghadirkan konflik itu terasa nyata, dan memang sebetulnya mewakili kondisi kejiwaan dan spiritualitas manusia Indonesia pada umumnya dalam menghadapi masalah yang menyangkut kepentingan bangsa.”
—Ahmadun Yosi Herfanda, Redaktur Budaya Harian Republika

“Novel ini menggarap satu tema yang sangat menantang: rekayasa genetika. Sebuah tema yang memerlukan pengetahuan khusus dan kecakapan menulis yang lebih dari cukup. Dalam beberapa hal, sang pengarang telah memenuhinya. Selebihnya, biar sidang pembaca yang menilai.”
—Zen Hae, penulis sastra, Ketua Komite Sastra Dewan Kesenian Jakarta

“Yonathan Rahardjo, seorang dokter hewan lulusan Universitas Airlangga Surabaya, memilih berkecimpung di dunia tulis-menulis ketimbang berpraktek sebagai dokter hewan….
Dari semua tulisan yang dibuatnya, Yonathan menyadari dirinya cenderung menyukai tulisan-tulisan yang mengungkap rasa, yaitu tulisan sastra, bukan berita ilmiah ataupun laporan, tapi bahasa indah yang di dalamnya ada prosa dan puisi, yang punya benang merah dengan apa yang ia lakukan waktu kecil.”
—Bisnis Indonesia

”Novel (Dokter Hewan) Lanang mengangkat kisah kemanusiaan dokter hewan dan seluk-beluknya secara rinci, gamblang dan imajinatif dalam menyelidiki misteri kematian hewan dalam jumlah besar, yang memengaruhi hajat hidup masyarakat dan bangsa.
Jatuh bangunnya Drh. Lanang dalam menyelidiki kasus penyakit penyebab kematian hewan itu merupakan cermin apa yang sesungguhnya terjadi di bidang kedokteran hewan dan peternakan di tanah air, dengan menggunakan dasar ilmiah dan dikembangkan sebagai fiksi dengan berbagai kemungkinan yang bisa terjadi.
Novel yang patut menjadi bacaan “wajib” bagi kalangan kedokteran hewan dan peternakan serta peminat seni sastra pada umumnya. Penyajiannya sangat inspiratif dan menjadi jembatan emas antara dunia ilmiah kedokteran hewan dan dunia kemanusiaan (humaniora).”
—Prof. Drh. Charles Ranggatabbu, MSc, PhD, pakar Kedokteran Hewan, Guru Besar dan Dekan Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Gajah Mada Jogjakarta

“’Kita kembali pada karya sastra saja,’ ujar Yonathan Rahardjo, salah satu pemenang sayembara novel Dewan Kesenian Jakarta. Karyanya adalah salah satu di antara pilihan juri yang mencengangkan publik sastra karena realisme hampir nampak dalam karya para pemenang ini.”
—Sihar Ramses Simatupang, Sinar Harapan

“Yonathan Rahardjo selama ini mencermati berbagai tema kehidupan, seperti kehidupan politik yang bobrok, porak porandanya lingkungan, dan berbagai kenyataan sosial lainnya. Semua itu dicurahkannya….”
—Warta Kota

“Sebuah roman yang akan membawa kita meruntuhkan blokade terhadap orang lain sebagai impersonalitas menuju sesuatu yang personal dengan menciptakan ruang intim. Orang lain hadir dengan berbagai “cara memahami” sebagai warisan budaya dalam menetapkan berbagai definisi berikut batas-batas kategori dan klasifikasi yang kaku. Roman ini mendobrak batas-batas itu dan menjadikan semua tokoh ceritanya sebagai cermin yang dalam untuk menjenguk diri kita sebagai manusia dengan kecemasan, harapan, rasa sakit, dan cinta.”
—Wicaksono Adi, kritikus seni, Juara I Lomba Kritik Sastra Dewan Kesenian Jakarta 2004

Tak Mudah hanya Bermodalkan Idealisme

Jurnal “CAK” Terbit Kembali
Nuryana Asmaudi SA
http://www.balipost.co.id/

SETELAH sekitar enam tahun menghilang dari peredaran dan tiada kabar, jurnal CAK (Catatan Kebudayaan) kini hadir lagi. Peluncuran edisi terbaru (Nomor 6 Th. IV Januari - April 2002) diadakan di Kantor Redaksi CAK, di Peguyangan Kangin Denpasar, baru-baru lalu. Berbagai kalangan hadir pada kesempatan itu. Undangan yang hadir boleh dibilang sudah cukup mewakili beragam kalangan mulai dari sastra, seni rupa, musik, seni pertunjukan, budayawan, intelektual, akademisi, kalangan kampus, hingga kalangan jurnalis. Beragam kalangan tersebut, agaknya, mendukung dan menyambut gembira penerbitan kembali CAK. Dalam acara peluncuran tersebut juga ditampilkan musik-musik alternatif karya Wayan Gde Yudane, pembacaan puisi, dan diskusi tentang “Media Alternatif” yang menampilkan Haryo Prasetyo Hartanto.

Jurnal CAK pertama kali terbit pada November 1994, digagas dan diterbitkan oleh anak-anak muda Sanggar Minum Kopi (SMK) Bali. CAK, oleh para penggagasnya — antara lain tokoh-tokoh muda yang kemudian menjadi staf redaksi CAK seperti Tan Lioe Ie, Putu Fajar Arcana, Warih Wisatsana, Putu Wirata Dwikora, K. Landras Syaelendra, serta Putu Satria Kusuma — dimaksudkan sebagai media untuk bertukar pikiran, etalase karya kreatif, dan tentu saja juga sebagai “ladang” persemaian harapan suatu kehidupan kebudayaan yang lebih cerdas.

Sebagaimana diungkap dalam pengantar (”Secangkir Kopi”) penerbitan CAK edisi perdana (No.1/1994), “Awal mulanya, boleh jadi cuma obrolan iseng, percakapan berbau mimpi — kami pemuda-pemudi Sanggar Minum Kopi — untuk memiliki sebuah jurnal, buat menampung karya-karya — puisi, cerpen, esei, liputan kebudayaan dari seluruh tanah air — kami, kemudian menjadikannya sebagai media untuk saling mengasah ketajaman intelektual. Sebab, obsesi kita ternyata tak seluruhnya bisa disalurkan, dan juga ditampung, oleh banyak media massa yang bertebaran di Indonesia. Kerinduan kami seperti kelangenan anak-anak jalanan yang ingin saling ketemu di warung kopi, untuk bertukar gagasan, dan ketika kelangenan itu merangsang kami untuk mengikat janji, kami lalu sepakat untuk membangun semacam terminal buat para seniman.”

Kutipan tersebut — sebuah pengakuan yang jujur, lugu, dan mengharukan — sengaja disertakan dalam tulisan ini, sekadar untuk mengenang kembali, meniti jejak sebelum hilang terhapus kealpaan, bagaimana asal-mula lahir-terbitnya CAK. Jika kini ia terbit lagi, sepertinya ini adalah sebuah reinkarnasi setelah mati. Pun telah berkali-kali dikatakan oleh awak redaksinya, bahwa CAK hidup kembali, bereinkarnasi setelah beberapa tahun mati. Tapi, agaknya akan lebih “menghibur’ jika kata “mati” itu diganti dengan istilah “masa jeda” atau “semedhi/tapabrata” menuju proses reinkarnasi yang lebih sempurna.

Dua Jurnal
Menurut sejarahnya, CAK memang sejak awalnya lahir dari proses reinkarnasi dua buah jurnal sebelumnya yang juga diterbitkan oleh SMK Bali, yakni jurnal Lahar dan Canang. Dua jurnal itu “dilebur”, sehingga jadilah CAK. Dan, seperti sudah jadi suratan, perjalanan CAK memang agak berliku. Ia mesti “berpindah kamar” setelah edisi 1 dan edisi 2 (1995) terbit, dari SMK Bali ke Yayasan CAK. Yayasan ini sempat menerbitkannya hingga tiga nomor mulai edisi 3 (1995) hingga 5 (1996). Para pengelola Yayasan CAK adalah orang-orang SMK juga. Namun belakangan, apa daya, setelah edisi 5-nya, CAK tak kuasa lagi memperjuangkan keberadaannya. Ia tak mampu terbit lagi.

“Tidak mudah memang hanya bermodalkan idealisme semata dan tanpa dukungan finansial yang memadai, sebuah jurnal kebudayaan dapat terus bertahan di tengah kecenderungan masyarakat yang lebih menggandrungi segala sesuatu yang serba instan dan permukaan. Padahal CAK dengan segala keterbatasannya, dikelola dan disikapi justru untuk melawan keverbalan itu,” papar Warih Wisatsana dalam pengantar peneritan CAK edisi terbaru — No. 6 Th. IV 2003.

Kini, jurnal yang sejak awal diformat terbit tiap empat bulan ini, hadir dengan “dilapis” tenaga pengelola baru, para awak redaksi yang berusia muda tapi tetap sama idealisme dan semangatnya sebagaimana para “pendahulu”-nya. Para awak muda yang juga telah punya prestasi, dedikasi, kemampuan, dan tentunya juga pengalaman yang layak untuk diandalkan, khususnya dalam bidang sastra, seni dan budaya. Para awak muda yang kini menerima tongkat estafet “memangku” CAK itu antara lain Wayan Sunarta, Putu Vivi Lestari, Luh Suwita Utami, serta Ngurah Suryawan. Hal yang barangkali harus terus dicarikan jalan keluarnya adalah bagaimana agar CAK tetap bertahan hidup. Oleh karenanya, tentu tidak cukup hanya dengan modal nekat para awak CAK, tapi dukungan yang lebih kongkret pembacanya sungguh sangat dinantikan. Agar jurnal ini bisa terus eksis hadir ke kantong-kantong budaya, tidak hanya sampai ke tangan seniman di tanah air, tetapi juga ke tangan para pemerhati seni dan budaya di seluruh pelosok dunia. Pada edisi terbarunya, pada kolom “Altar”, redaksi menutup kata pengantarnya dengan “Kami sadar, CAK ada dan mengada, bersama Anda.” Nah.

Minggu, 17 Oktober 2010

Vagina yang Haus Sperma:

Heteronormatifitas dan Falosentrisme dalam Novel Ayu Utami
Katrin Bandel
http://www.facebook.com/group.php?gid=38840078585

Beberapa waktu yang lalu saya sempat berdebat dengan seorang kawan mengenai karya Ayu Utami. Setelah membaca beberapa tulisan saya yang mengkritik karya itu dan mempertanyakan politik sastra seputarnya, kawan saya tersebut dapat memahami pandangan saya. Tapi meskipun demikian, baginya novel Ayu Utami tetap memiliki sebuah kelebihan: Menurut pengamatannya, novel Saman merupakan karya pertama yang dengan cukup tepat merepresentasikan gaya hidup kelompok masyarakat tertentu, yaitu gaya hidup yang dipilih sebagian perempuan kelas menengah perkotaan di Indonesia (terutama Jakarta). “Memang seperti itulah gaya hidup dan pergaulan sebagian kerabat dan kenalan saya di Jakarta”, jelas kawan saya itu dengan merujuk pada deskripsi kehidupan keempat tokoh perempuan muda dalam novel Saman dan Larung. “Baru dalam novel Ayu Utami saya menemukan representasi realitas yang saya kenal tersebut.”

Mungkin penilaian kawan saya tersebut ada benarnya. Tidak banyak novel yang menggambarkan kehidupan perempuan kelas menengah perkotaan Indonesia sebelum terbitnya Saman (1998), apalagi dengan fokus perilaku seks. Menurut pandangan saya, pada dasarnya gaya hidup perempuan kelas menengah bukan tema yang tidak menarik atau tidak relevan sebagai tema utama sebuah novel Indonesia. Namun ada hal yang bagi saya terasa sangat mengganggu pada novel Saman/Larung dan wacana seputarnya. Baik di Indonesia maupun di luar Indonesia, novel Ayu Utami tersebut umumnya tidak diperkenalkan dan dibicarakan sekadar sebagai representasi gaya hidup sekelompok perempuan perkotaan (yaitu kelompok masyarakat yang relatif kecil). Karya Ayu Utami kerapkali diperkenalkan sebagai karya feminis yang dengan berani dan subversif menyuarakan perlawanan baik terhadap tabu seputar seksualitas maupun terhadap rejim Orde Baru. Disamping itu, bahasa dan gaya tulisnya konon mengandung pembaharuan yang mengagumkan.

Sejauh ini saya belum pernah membaca pembahasan yang dapat menerangkan secara argumentatif mengapa karya Ayu Utami dapat disebut feminis atau pembaharuan bahasa dan gaya tulis apa yang dilakukannya. Tulisan yang saya baca sering begitu saja mengasumsikan kelebihan-kelebihan tersebut. Dalam pembahasan berikut saya ingin menjelaskan mengapa penilaian tersebut, khususnya penilaian bahwa karya Ayu Utami adalah karya feminis, merupakan penilaian yang salah dan menyesatkan. Disamping itu saya ingin menunjukkan bahwa kesan yang menyesatkan tersebut bukanlah hal yang bisa dilepaskan dari tanggung jawab Ayu Utami dan komunitasnya. Baik dalam novelnya, maupun dalam sebuah esei seputar proses kreatifnya, Ayu Utami sendiri dengan cukup jelas menyampaikan harapannya agar novelnya dibaca sebagai karya feminis dan sebagai pembaharuan gaya tulis. Pesan serupa juga disampaikan dalam sebuah tulisan yang mengawali resepsi novel Ayu Utami di luar Indonesia, yaitu tulisan Goenawan Mohamad berjudul “Ayu Utami – The Body Is Heard” dalam buku 2000 Prince Claus Awards.

Saya sudah cukup sering menulis dan berbicara tentang Ayu Utami dan Komunitas Utan Kayu. Masih perlukah pembahasan itu diperpanjang? Bukankah masih banyak karya sastra lain yang lebih menarik dibahas?

Bagi saya, Ayu Utami tetap relevan dibahas bukan karena karyanya luar biasa menarik atau karena tidak ada karya lain yang pantas dibahas, tapi karena sampai saat ini penilaian menyesatkan yang saya sebut di atas tetap memiliki pengaruh yang cukup besar. Tidak jarang saya menjumpai orang yang secara spontan menghubungkan feminisme dengan Ayu Utami, kadang-kadang bahkan sambil menyamakan feminisme dengan pembebasan seksual atau dengan seks bebas. Definisi feminisme yang keliru tersebut cukup merugikan menurut pandangan saya karena menimbulkan kesan seakan-akan “maju” atau “terbelakang”nya seorang perempuan tergantung terutama pada perilaku seksualnya. Disamping itu, di dunia sastra dan kritik sastra (termasuk dunia akademis) pun pandangan tentang kelebihan-kelebihan karya Ayu Utami tetap kuat. Hal itu bukan hanya menguntungkan Ayu Utami dan komunitasnya secara finansial dan dari segi reputasi, tapi juga mempengaruhi penilaian terhadap karya sastra lain.

***

Pada bulan Maret-April 2008 sebuah esei saya yang berjudul “Politik Sastra Komunitas Utan Kayu di Eropa” diterbitkan di koran Republika. Esei tersebut menimbulkan perdebatan yang cukup sengit di sebuah mailing list, yaitu mailing list jurnalperempuan@yahoogroups.com. Di sini saya tidak bermaksud melanjutkan perdebatan tersebut secara keseluruhan, tapi saya ingin menggunakan kesempatan ini untuk secara khusus membahas salah satu teks yang memiliki peran penting dalam wacana seputar representasi Ayu Utami dan karyanya di Eropa. Teks tersebut adalah tulisan “Ayu Utami – The Body Is Heard” oleh Goenawan Mohamad yang dimuat di buku 2000 Prince Claus Awards.

Buku yang diterbitkan dalam rangka merayakan dan mendokumentasikan pemberian penghargaan Prince Claus kepada ke-11 pemenang (satu pemenang utama dan 10 pemenang lainnya, di antaranya Ayu Utami) pada tahun 2000 tersebut tidak dijual secara bebas, juga tidak dapat diakses lewat internet. Karena keterbatasan akses itu, dalam esei “Politik Sastra Komunitas Utan Kayu di Eropa” saya terpaksa hanya menggunakan beberapa bagian dari teks tersebut, yaitu bagian yang sempat dikutip oleh penulis lain. Namun saat ini buku 2000 Prince Claus Awards sudah berhasil saya dapatkan. Maka kesempatan ini akan saya manfaatkan untuk membahas teks tersebut secara lebih menyeluruh.

Tulisan Goenawan tersebut relatif pendek (2 halaman), tidak jauh berbeda daripada tulisan-tulisan lain dalam buku itu (kecuali tulisan tentang pemenang utama). Novel Saman (yaitu satu-satunya karya fiksi Ayu Utami yang sudah terbit pada saat itu) hanya dibahas secara amat singkat di akhir tulisan tersebut. Selain itu Goenawan merujuk pada beberapa esei Ayu Utami, namun tidak menyebut judulnya dan di mana esei tersebut diterbitkan. Oleh karena itu, pembacaan Goenawan terhadap esei tersebut sulit dinilai. Referensi lengkap juga tidak disebut untuk buku bawah tanah tentang Suharto (“a readable booklet on Suharto’s business empire”) yang konon ditulis Ayu Utami. Yang pasti, penyebutan tulisan-tulisan tersebut menimbulkan kesan bahwa Ayu Utami sudah cukup lama aktif di dunia penulisan pada saat dirinya menerima Prince Claus Award. Hal itu berseberangan dengan kenyataan bahwa Ayu Utami tidak dikenal di dunia sastra Indonesia sebelum novel Saman memenangkan sayembara roman DKJ pada tahun 1998.

Fokus utama tulisan Goenawan Mohamad adalah posisi Ayu Utami di masa Orde Baru, khusunya hubungannya dengan kekuasaan. Goenawan menggambarkan Ayu Utami sebagai penulis muda yang aktif dalam perlawanan terhadap rejim Orde Baru. Sebagian besar dari tulisan Goenawan yang pendek itu menggambarkan keterlibatan Ayu Utami di AJI dan ISAI . Sejauh mana deskripsi tersebut tepat dan sesuai dengan kenyataan, sulit saya nilai. Yang pasti, representasi Ayu Utami sebagai disiden politis tersebut kemudian dikutip dan direproduksi oleh beberapa penulis dan institusi di Eropa.

Secara khusus, Goenawan Mohamad kemudian berfokus pada persoalan bahasa dalam kaitannya dengan kekuasaan dan dengan tubuh perempuan. Sayang sekali pembahasan tersebut bersifat sangat abstrak dan umum, sehingga sulit dipahami secara konkret apa yang dimaksudkan oleh Goenawan. Menurut pandangannya, di bawah rejim Orde Baru dimana kata-kata sering “dikorbankan” (“words [...] became victims of sacrifice”), manusia selalu terancam “kehilangan diri” dalam menggunakan bahasa (“The speaker [...] loses his selfhood.”) Ayu Utami, begitu penjelasan Goenawan selanjutnya, menggeluti dunia penulisan agar tidak kehilangan diri (“Not to lose her selfhood, that is what pushes Ayu further into writing.”). Mengenai cara Ayu Utami melakukan hal itu Goenawan Mohamad mengatakan:

“For a writer, however, there was a risk that the first casualty of such a confrontation would be his or her own relation with words. She or he could be drawn into imitating the regime’s practice – i.e. treating language as a mere sequence of messages. Ayu was one of the very few Indonesian writers who resisted the prevailing trend. The literary is political only when it stays ‘literary’, meaning that it is free from what she calls ‘functional language’.” (Goenawan Mohamad 2000, hlm. 81)
(Yang dimaksudkan dengan “confrontation” di kalimat pertama adalah konfrontasi dengan rejim Orde Baru.)

Argumentasi tersebut terkesan ganjil bagi saya. Mengapa Goenawan berpendapat bahwa rejim Orde Baru menggunakan bahasa “sekadar sebagai rangkaian pesan”? Bukankah justru sebaliknya, yaitu rejim Orde Baru dengan sengaja dan terencana menggunakan bahasa sebagai alat ideologis, dalam arti bahwa bahasa Orde Baru sering sama sekali tidak menyampaikan sebuah pesan secara apa adanya? Bukankah misalnya kata “pembangunan” sering bermakna penggusuran dan korupsi, “persatuan dan kesatuan” bermakna kekerasan dan pembungkaman, dan sebagainya? Bukankah bahasa Orde Baru penuh eufemisme (misalnya istilah seperti “lembaga pemasyarakatan”) dan kebohongan (misalnya pemalsuan sejarah seputar peristiwa 65)?

Menurut pengamatan saya, tulisan yang menjadi ancaman bagi rejim Orde Baru justru tulisan yang menggambarkan realitas sehari-hari di Indonesia secara apa adanya. Maka tidak mengherankan bahwa karya sastra yang dilarang atau disensor umumnya karya realis yang menyampaikan secara terbuka apa yang umumnya disembunyikan dalam wacana publik. Contohnya adalah karya Pramoedya Ananta Toer dan puisi Wiji Thukul, juga trilogi Ahmad Tohari yang sempat disensor.

Sebelum menyampaikan argumen di atas seputar bahasa yang digunakan Ayu Utami, Goenawan Mohamad menyebut usahanya bersama kawan-kawan (termasuk Ayu Utami) untuk “tidak membiarkan rejim meraih kemenangan total dalam perang informasi” (“not to give the regime the pleasure of getting a total victory in the information war”). Perang informasi itulah yang kemudian, menurut argumentasi Goenawan dalam kutipan di atas, mengandung risiko bagi penulis. Saya dapat menerima argumen Goenawan Mohamad bahwa ideologi yang dominan, dalam hal ini ideologi Orde Baru, sulit ditolak. Ideologi dominan umumnya hadir dalam kegiatan dan bahasa sehari-hari tanpa kita sadari. Mengambil jarak dan membangun sikap kritis terhadap ideologi itu adalah pekerjaan yang cukup berat.

Namum lompatan argumentasi seputar gaya tulis Ayu Utami sulit saya ikuti. Goenawan tidak menjelaskan apa yang dimaksudkannya dengan sastra yang “tetap ‘sastrawi’” dan “bebas dari ‘bahasa fungsional’”. Disamping itu, kalau memang gaya bahasa Ayu Utami memiliki kelebihan tertentu yang membuatnya lebih subversif atau lebih ampuh dalam perlawanan terhadap rejim Orde Baru, seharusnya hal itu dijelaskan, bukan sekadar diasumsikan. Dan saya tidak menemukan penjelasan semacam itu dalam tulisan Goenawan Mohamad tersebut.

Karena itu, menurut pandangan saya, pernyataan bahwa Ayu Utami merupakan “salah satu dari sangat sedikit penulis Indonesia yang melawan kecenderungan umum” adalah pernyataan yang sangat berlebihan. Bukankah banyak penulis, mungkin bahkan sebagian besar sastrawan Indonesia, bersikap kritis pada rejim Orde Baru – terutama sekali pada tahun-tahun terakhir rejim tersebut? Dan bukankah dalam situasi dimana kebebasan berpendapat sangat terbatas, banyak penulis memilih untuk tidak menyampaikan kritik mereka bukan sebagai protes yang lantang dan apa adanya, tapi mencari gaya dan cara penyampaian yang berbeda? Dalam hal apakah gaya tulis Ayu Utami begitu khas sehingga pantas disebut “melawan kecenderungan umum”?

Lebih jauh lagi, Goenawan Mohamad kemudian menghubungkan persoalan perlawanan terhadap rejim Orde Baru dan persoalan bahasa Ayu Utami yang konon menjadi terobosan baru tersebut dengan keperempuanan Ayu Utami:

“For this reason, I believe, she wrote a novel that uses words differently; making a paradigm of, as she puts it in an essay, kudangan. Kudangan is a moment when a Javanese mother, holding and touching her baby joyously and excitedly, sings words that carry nonverbal signification and sensuousness. In Ayu Utami’s highly acclaimed novel, ‘Saman’, one can feel the sensuous materiality of the words in its syntaxes. My impression is that her experience as a woman in today’s Indonesia has urged her to reinstall the presence of the body in language, as if insisting, to paraphrase Hélène Cixous’s slogan of 1974, that her body ‘must be heard’.” (Goenawan Mohamad 2000, hlm. 81)

Feminis Perancis Hélène Cixous terkenal terutama karena tulisan-tulisannya mengenai écriture féminine, “penulisan feminin”. Salah satu esei Cixous seputar tema tersebut yang paling sering disebut adalah “Le rire de la Méduse” (“The Laugh of the Medusa”, 1975 ). Dari esei itulah Goenawan mengutip pandangan Cixous mengenai tubuh dan bahasa.

Écriture feminine merupakan konsep yang cukup rumit dan sulit dipahami. Menurut Cixous dan beberapa pemikir pascastrukturalis lainnya, bahasa yang umumnya kita gunakan adalah bahasa yang maskulin dan logosentris, atau “phallogosentris”. Kebiasaan berbahasa yang dominan membuat kita berbicara/menulis seakan-akan kebenaran bersifat tunggal dan bisa diekspresikan secara linear, berjarak (objektif) dan terstuktur. Écriture féminine adalah usaha untuk mencari dan mengembangkan bahasa yang berbeda, yaitu bahasa yang mampu mengakomodasi dorongan-dorongan bawah sadar, yang tidak mengharuskan rasio menguasai atau menindas tubuh, dan yang lebih menghormati pluralitas dan ambiguitas. Seperti apakah “bahasa feminin” tersebut? Sudah adakah penulis yang berhasil menciptakannya? Sampai saat ini pertanyaan tersebut tetap terbuka.

Maka pernyataan Goenawan Mohamad tentang bahasa Ayu Utami di atas merupakan klaim yang luar biasa! Menurut pandangan Goenawan, Ayu Utami terdorong untuk “menghadirkan kembali tubuh dalam bahasa” (“reinstall the presence of the body in language”), sesuai dengan harapan Cixous agar perempuan membuat “membuat tubuhnya didengar”. Lebih jauh lagi, di mata Goenawan, Ayu Utami bukan hanya berusaha menciptakan bahasa baru yang diimpikan Cixous tersebut tapi dia benar-benar sudah berhasil menciptakannya! Paling tidak itu yang disampaikan oleh judul tulisan Goenawan, yaitu “The Body Is Heard” – tubuh bukan lagi mesti didengar, tapi sudah didengar!

Klaim tersebut sangat berlebihan menurut pandangan saya, terutama karena Goenawan Mohamad sama sekali tidak memberikan argumentasi yang lebih mendetil ketimbang sekadar asumsi-asumsi abstrak dan sulit diikuti dalam alinea yang saya kutip di atas. Apa yang dimaksudkan dengan “sensuous materiality of the words in its syntaxes” yang konon bisa dirasakan dalam novel Saman? Dengan cara apakah Ayu Utami menghadirkan tubuh dalam bahasa?

Seperti apa sebetulnya bahasa yang digunakan Ayu Utami dalam novel Saman? Ayu Utami sering memakai kata atau ekspresi yang kurang lazim digunakan (misalnya “selarit matahari”, “ceruk jalan” , dsb.), atau yang bahkan sama sekali tidak biasa digunakan dalam bahasa Indonesia (misalnya “bujet” ). Dia sering menggunakan perbandingan yang unik atau ganjil, misalnya “pucat bagai cicak” atau “wajahnya padam seperti api sumbu yang ditangkupkan stoples bening” . Disamping itu, dalam novel tersebut kita sering menemukan kalimat-kalimat “berfilsafat” yang terkesan abstrak atau “puitis”, tapi tidak begitu jelas maksudnya (paling tidak bagi saya), misalnya: “Tak pernah ada yang salah dengan cinta. Ia mengisi sesuatu yang tidak kosong. Tapi yang terjadi di sini adalah asmara, yang mengosongkan sesuatu yang semula ceper. Dengan rindu. Belum tentu nafsu.”

Itukah écriture féminine? Ciri khas apa yang membuat bahasa Ayu Utami tersebut “lebih perempuan” daripada bahasa penulis lain? Dan di manakah perlawanan terhadap rejim Orde Baru yang konon hadir dalam bahasa Ayu Utami?

Tulisan Goenawan tidak memberikan jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan tersebut. Yang saya temukan di situ hanya asumsi dan renungan abstrak yang tidak dipertanggungjawabkan lewat argumentasi dan bukti.

***

Goenawan Mohamad dalam tulisannya yang saya bicarakan di atas hanya secara sekilas saja menyebut tema seksualitas dalam karya Ayu Utami. Fokusnya adalah representasi Ayu Utami sebagai peserta aktif dalam perjuangan melawan rejim Orde Baru. Mungkin fokus semacam itu dianggapnya lebih cocok dalam memperkenalkan Ayu Utami di luar negeri dan mempertanggungjawabkan pemberian Prince Claus Award.

Namun di Indonesia unsur yang paling banyak disebut seputar kedua novel Ayu Utami, Saman (1998) dan Larung (2001), adalah “keterbukaan baru” dalam representasi seksualitas. Pada bagian-bagian novel yang menceritakan keempat tokoh perempuan Shakuntala, Laila, Yasmin dan Cok, seks menjadi tema utama. Perilaku seksual yang diceritakan hampir sepenuhnya bertentangan dengan norma masyarakat (Indonesia), dalam arti bahwa yang diceritakan bukanlah hubungan heteroseksual yang disahkan oleh surat nikah. Shakuntala mempunyai kecenderungan biseksual, Laila jatuh cinta pada seorang laki-laki yang sudah menikah, namun akhirnya berhubungan seks dengan Shakuntala, Yasmin menghianati suaminya dengan sekaligus “memurtadkan” seorang pastor, lalu mewujudkan fantasi sadomasokisnya dengan bekas pastor tersebut, dan Cok gemar berganti-ganti pasangan. Kiranya tidak salah kalau kita menyimpulkan bahwa dalam kedua novel tersebut seksualitas direpresentasikan dengan cara yang provokatif.

Namun representasi seksualitas tersebut bukan hanya bersifat provokatif, tapi juga dengan sangat jelas dihubungkan dengan persoalan gender dan dengan feminisme. Seperti yang dikemukakan antara lain oleh Kris Budiman dalam bukunya Pelacur dan Pengantin Adalah Saya (2005), perlawanan terhadap ideologi patriarki alias falosentrisme terungkap dengan cukup eksplisit pada beberapa bagian kedua novel Ayu Utami tersebut. Khususnya, stereotipe perempuan sebagai pihak yang pasif di hadapan laki-laki yang aktif digugat antara lain dalam deskripsi hubungan seksual dimana vagina digambarkan sebagai bunga karnivora yang menjebak dan menghisap “binatang yang [...] bodoh, dan tak bertulang belakang” alias penis. Deskripsi itu bersama beberapa bagian novel yang lain menurut Kris Budiman “menunjukkan bahwa modus relasi seksual perempuan vis-a-vis laki-laki sebetulnya bukanlah intrusi atau secara pasif ‘di-coblos’, melainkan secara aktif mengkonsumsi, ‘meng-hisap’” .

Representasi perilaku dan orientasi seksual yang demikian beragam dan gugatan terhadap stereotipe perempuan yang pasif dengan mudah dapat membawa kita pada kesimpulan bahwa novel Ayu Utami jauh dari nilai heteronormatif dan falosentris, atau bahwa Ayu berhasil menciptakan representasi seksualitas yang berbeda (“lebih perempuan”) daripada yang kita kenal selama ini (di Indonesia). Saman dan Larung hadir sebagai novel yang jelas-jelas minta dibaca sebagai novel feminis.

Feminisme macam apakah itu? Tampak dengan cukup jelas bahwa Ayu Utami terpengaruh oleh teori yang sama atau sejalan dengan yang dikutip Goenawan Mohamad dalam tulisannya yang saya bahas di atas. Ide-ide yang diungkapkan dalam kedua novel itu tampaknya sengaja disesuaikan dengan teori-teori feminisme Perancis (feminisme pascastruktural), paling tidak secara permukaan. Seperti yang sudah saya bicarakan secara sekilas di atas, menurut pemikiran Cixous dan pemikir lain yang “sealiran” (terutama Luce Irigaray), cara berpikir yang dominan dalam masyarakat modern (Barat) bersifat maskulin atau falosentris. Cirinya antara lain kepercayaan pada kebenaran yang tunggal, hierarki yang kaku dan pandangan humanis tentang individu yang bebas dan mandiri. Bagi pemikir tersebut, femininitas menjadi semacam konsep alternatif yang dipertentangkan dengan maskulinitas yang dominan itu - sebuah sikap hidup yang dinilai lebih positif.

Salah satu adegan novel Ayu Utami yang tampaknya terpengaruh oleh konsep-konsep tersebut adalah bagian novel Larung dimana Shakuntala membandingkan sikap hidupnya sendiri dengan sikap hidup abangnya. Penggambaran sifat si abang itu merupakan semacam karikatur maskulinitas dalam pemahamannya yang paling negatif: Si abang selalu berusaha membuktikan diri, “mencoba segala hal hingga maksimal” , khususnya dalam dua wilayah yang “khas laki-laki”, yaitu kemampuan berereksi dan kebolehan membawa sepeda motor dengan kecepatan tinggi. Mengenai latihan ereksi abangnya, dengan nada sedikit mengejek Shakuntala mengatakan: “ia bisa menyuruh-nyuruh bagian-bagian tubuhnya seperti seorang komandan memerintah batalyon dan kompi” . Perbandingan dengan dunia militer itu pun tentu merupakan unsur konstruksi maskulinitas yang sangat sesuai dengan stereotipe negatif yang ingin dibangkitkan di sini. Disamping itu, si abang memiliki kepercayaan pada akal/rasio yang amat berlebihan, yakin “bahwa akal akan menaklukkan badan” , dan dia bahkan “tak mau percaya bahwa ada otot sadar dan otot tak sadar. Semua otot adalah sadar, ia bersikeras” . Berkat latihannya, dengan kekuatan akal (yaitu dengan mengulang-ulang kata “ngaceng”) dia dapat memerintah alat vitalnya untuk berdiri. Pendek kata, tokoh abang Shakuntala tampil sebagai wujud atau lambang falosentrisme par excellence. Dan penilaian yang ingin disampaikan terhadap sikap hidup semacam ini pun tampak dengan amat jelas. Karena begitu berlebihan, sifatnya terkesan konyol, dan akhirnya bahkan membawa celaka: Si abang meninggal disebabkan sebuah kecelakaan lalulintas ketika dia mencoba merealisasikan ambisinya untuk mengelingi pulau Jawa “dengan kecepatan puncak” di atas sepeda motornya.

Berseberangan dengan sikap abangnya, bagi Shakuntala “keputusan-keputusanku diperintah oleh dorongan tubuh untuk menari. Sebab bagiku menari adalah menjadi. [...] Tubuhku hanya ingin menjadi. Tapi apa salahnya menjadi tidak genap?” . Dalam sebuah esei berjudul “Membantah mantra, membantah subjek” di jurnal Kalam (edisi 12, 1998) Ayu Utami secara langsung menghubungkan sikap tokoh Shakuntala dalam novel Saman dengan sikapnya sendiri sebagai pengarang. Di bagian lain dari esei yang sama Ayu mengatakan: “Mengarang, bagi saya, adalah kesediaan melibatkan, meleburkan diri, dan menerima kemungkinan-kemungkinan yang tak direncanakan” – sangat mirip dengan ungkapan Shakuntala di atas. Dengan pilihannya untuk “menjadi tidak genap” (seperti novel Ayu yang diterbitkan sebagai “fragmen”), biseksualitasnya, dan pemberontakannya terhadap nilai-nilai patriarkal, Shakuntala menjadi semacam tokoh perempuan ideal yang sekaligus melambangkan “filsafat posmo” yang dipilih Ayu sebagai kredo kepengarangannya.

Seperti yang dilakukan Goenawan Mohamad dalam tulisan “Ayu Utami – The Body Is Heard”, Ayu Utami sendiri pun mempersoalkan gaya tulisnya dan menggambarkan gaya tulis tersebut sebagai pilihan yang istimewa dan baru. Dalam eseinya, Ayu menceritakan betapa dia “sengaja” memilih menulis “novel polifonik” dengan “diksi yang berbeda bagi masing-masing Aku”. Namun dia juga mengaku bahwa “novel itu tidak sepenuhnya menurut padaku”, kadang-kadang cerita berkembang di luar rencananya sendiri.
Pengakuan tersebut tentu sama sekali bukan sesuatu yang luar biasa. Bahwa dalam proses menulis ada hal-hal yang dengan sadar diatur dan diciptakan, dan ada pula hal yang timbul begitu saja tanpa sengaja, merupakan pengalaman yang pasti dikenal hampir setiap penulis. Yang terkesan sedikit ganjil bagi saya adalah penilaian yang secara implisit terkandung dalam ungkapan Ayu tentang pengalaman mengarangnya tersebut. Bukan saja dengan sangat percaya diri dia menilai novelnya sendiri sebagai “novel polifonik” (yang berarti memuji diri sendiri sebagai “pembaharu”, pembawa gaya tulis yang masih belum lumrah di Indonesia), juga ceritanya mengenai perkembangan alur novel yang di luar rencana semula terkesan amat tidak kritis. Menurut pengakuannya, pada titik tertentu tokoh-tokoh novelnya seakan-akan mulai memiliki hidup dan kemauannya sendiri, sehingga sebagai pengarang dia “terpaksa” “takluk [p]ada ciptaannya”. Meskipun menggunakan kata “terpaksa”, cukup jelas bahwa dia tidak menganggap kejadian itu sebagai sesuatu yang negatif. Malah timbul kesan bahwa dia sangat membanggakannya. Sepertinya dia merasa tidak perlu bersikap kritis terhadap bagian teks yang muncul “di luar rencana” itu, seakan-akan apa yang mengalir dari tangannya bersumber pada semacam “jenius” di kedalaman dirinya yang tak perlu diragukan. Padahal dalam esei yang sama, bahkan pada alinea yang sama, dia merujuk pada pemikiran Roland Barthes tentang matinya sang Pengarang!

Saya tidak percaya pada “jenius” semacam itu. Namun saya yakin bahwa dalam setiap teks pasti ada hal-hal yang disampaikan secara eksplisit, dan ada yang ikut tersampaikan dengan tersembunyi atau tanpa sengaja. Dan menurut pengalaman saya, hubungan antara kedua jenis “isi teks” itu sering penuh ambivalensi. Misalnya dalam sebuah novel dengan pesan yang jelas, mungkin saja kita menemukan bagian yang secara agak tersembunyi justru berlawanan dengan pesan tersebut. Ambivalensi semacam itu biasanya sangat menarik disoroti dan diteliti, dan itulah yang ingin saya lakukan dalam pembahasan saya terhadap novel Ayu Utami.

Dalam hal representasi seksualitas, novel Ayu Utami memiliki pesan yang cukup eksplisit, yaitu apa yang sudah saya sebut di atas: membicarakan seks dengan keterbukaan yang provokatif, memprotes stereotipe pasif perempuan, menolak falosentrisme pada umumnya, mengakui orientasi seksual yang plural. Namun ambivalensi tak terlalu sulit dicari. Berikut ini saya akan mengemukakan beberapa hal yang justru bertentangan dengan pesan eksplisit tersebut.

Dalam representasi hubungan homoseksual antar-perempuan (lesbianisme), novel Saman/Larung ternyata justru mereproduksi stereotipe yang sangat tidak menguntungkan bagi perempuan, khususnya lesbian. Tokoh Laila digambarkan sebagai seorang perempuan yang sama sekali tidak memiliki kecenderungan menjadi seorang lesbian. Dia heteroseksual 100%. Namun pada saat sedang patah hati karena dikecewakan oleh pacarnya, dia tidak menolak ketika didekati secara seksual oleh Shakuntala. Hubungan seks antara kedua perempuan itu pun terjadilah. Stereotipe yang direproduksi di sini adalah anggapan bahwa perempuan cenderung menjadi lesbian karena dikecewakan oleh laki-laki! Disamping itu, sebuah prasangka yang sering kita dengar dari orang awam tampaknya justru terbukti benar di sini, yaitu kekhawatiran bahwa lesbianisme dapat “menular” sehingga berbahayalah bagi perempuan “normal” (baca: heteroseksual) seperti Laila untuk bergaul dengan orang seperti Shakuntala.
Alasan Shakuntala mengajak Laila bercinta adalah untuk mengajari kawannya itu mengenal tubuhnya sendiri. Menurut penilaian Shakuntala, Laila belum pernah mengalami orgasme, dan keadaan itu tidak boleh dibiarkan berlangsung lebih lama. Argumentasi ini terasa janggal bagi saya: bukankah untuk mengenal tubuhnya sendiri dan mengalami orgasme seorang perempuan tidak mesti berhubungan seks, apalagi melakukan hubungan seks yang tidak sesuai dengan orientasi seksualnya sendiri? Kalau Laila memang begitu lugu atau kaku sehingga dia tidak berinisiatif untuk mengeksplorasi tubuhnya sendiri, bukankah cukup kalau Shakuntala menyarankan padanya untuk mencoba masturbasi, seperti yang misalnya dilakukan tokoh Lara pada Mei dalam situasi yang serupa dalam novel Tujuh Musim Setahun karya Clara Ng ?

Meskipun hampir seluruh kisah keempat sahabat Shakuntala, Laila, Cok dan Yasmin itu berkisar pada pengalaman seksual mereka, masturbasi hampir tidak pernah disebut, paling tidak masturbasi yang dilakukan perempuan. Misalnya pada bagian akhir Saman yang terdiri dari email Yasmin dan Saman, Saman memberitahukan bahwa dia masturbasi, dan Yasmin membalas bahwa dia membayangkan Saman pada saat dia melakukan hubungan seks dengan suaminya – hanya tokoh laki-laki yang melakukan masturbasi!

Absennya masturbasi tersebut dapat dihubungkan dengan sebuah gejala lain yang terdapat pada representasi kenikmatan seksual dan orgasme perempuan dalam novel Saman/Larung. Dalam buku hariannya, tokoh Cok menceritakan pengalamannya ketika sebagai murid SMA dia mulai melakukan hubungan seks. Karena tidak mau kehilangan keperawanannya, pada awalnya hubungan dengan pacarnya berbentuk tindakan sang pacar merangsang alat kelaminnya dengan menggosokkannya pada payudara Cok dan seks anal. “Lalu kupikir-pikir, kenapa aku harus menderita untuk menjaga selaput daraku sementara pacarku mendapat kenikmatan? Enak di dia nggak enak di gue”, begitu kesimpulan Cok mengenai pengalaman itu, dan dia pun memutuskan untuk berhenti menjaga keperawanannya . Di sini timbul kesan bahwa dalam hubungan heteroseksual, perempuan hanya dapat merasa nikmat dan mencapai orgasme apabila terjadi koitus (penetrasi penis ke dalam vagina), sedangkan laki-laki mempunyai alternatif lain untuk mencapai orgasme. Hal yang sama terjadi pada Laila saat dia berhubungan seks dengan pacarnya Sihar tanpa terjadinya penetrasi. Di sini pun Sihar mencapai orgasme, sedangkan Laila tidak .

Tentu saja kisah pengalaman seksual semacam itu dapat dikatakan cukup realistis sebab mungkin saja laki-laki, dalam hal ini pacar Cok dan Sihar, hanya mementingkan kenikmatannya sendiri dan tidak memperhatikan kebutuhan seksual pasangannya. Namun peristiwa hubungan seks yang kurang memuaskan itu sama sekali tidak dihubungkan dengan sebuah kelalaian, dalam arti bahwa seharusnya si gadis pun dirangsang, misalnya dengan jari atau mulut, sehingga tanpa terjadinya koitus pun dia dapat mencapai orgasme. Seperti juga masturbasi, praktek seks di luar koitus menjadi monopoli laki-laki.
Dalam sebuah email pada Saman, Yasmin menulis: “Orgasme dengan penis bukan sesuatu yang mutlak.” . Kalimat ini tampaknya berlawanan dengan apa yang saya kemukakan di atas. Apakah ini merupakan kalimat pembuka untuk bercerita tentang masturbasi atau tentang praktek seksual lain yang memberi kenikmatan pada perempuan tanpa terjadinya koitus, misalnya seks oral? Ternyata tidak. Yasmin melanjutkan emailnya: “Aku selalu orgasme jika membayangkan kamu. Aku orgasme karena keseluruhanmu.” Ternyata sekadar rayuan gombal untuk meredakan rasa rendah diri Saman karena tak mampu membuat Yasmin mencapai orgasme. Paling tidak, kata “orgasme” dalam konteks ini bisa dipahami sekedar sebagai ungkapan metaforis, bukan sebagai kata untuk menyebut pencapaian puncak seksual secara fisik.

Lalu bagaimana dengan hubungan seks yang terjadi antara Shakuntala dengan Laila? Jelaslah di sini tidak terjadi koitus, dan praktek seksual yang saya sebut sebagai monopoli laki-laki dalam hubungan heteroseksual di atas mestilah digunakan oleh kedua perempuan itu. Namun justru adegan itu diceritakan dengan sangat singkat dan kabur. Dengan “kesopanan” yang terasa janggal dalam sebuah karya yang begitu “terbuka” mengenai seks di bagian-bagian lain, narasi diputuskan pada saat Shakuntala membuka baju dan mulai berdekatan dengan Laila . Narasi kemudian malah dilanjutkan dengan cerita metaforis mengenai vagina sebagai bunga karnivora yang sudah saya sebut di atas, yaitu cerita yang justru mempersoalkan hubungan seksual antara perempuan dan laki-laki! Hanya kalimat terakhir yang, mungkin, dapat dibaca sebagai semacam keterangan mengenai apa yang terjadi antara Shakuntala dan Laila: “Tapi klitoris bunga ini tahu bagaimana menikmati dirinya dengan getaran yang disebabkan angin” . Apa perlunya “pengaburan” semacam itu? Mengapa misalnya cara abang Shakuntala melatih ereksinya diceritakan dengan begitu gamblang, sedangkan untuk mendeskripsikan rangsangan pada klitoris saja diperlukan metafora aneh yang kurang mengena tentang “angin” yang menggetarkannya?!

Bahwa cerita tentang bunga karnivora ditempatkan pada adegan itu bukanlah sebuah anakronisme. Setelah Shakuntala memutuskan bahwa Laila perlu diberi “pelajaran seks” sebelum menemui Sihar lagi, dia melanjutkan: “Setelah itu kamu [Laila] boleh pergi: Sebab vagina adalah sejenis bunga karnivora …” Artinya, lewat hubungan seks antar-perempuan Shakuntala bermaksud mengajari Laila mengenai hakekat hubungan seks “secara umum”, dan yang dimaksudkan dengan seks “secara umum” itu adalah hubungan heteroseksual. Heteronormatifitas yang tampak sangat jelas dalam adegan ini diperkuat oleh kenyataan bahwa Laila tertarik pada sisi maskulin dalam diri Shakuntala, dan pada saat hubungan seks dimulai, Laila “tak tahu lagi siapa dia. Apakah Tala apakah Saman apakah Sihar” . Hubungan homoseksual di sini sekadar semacam variasi dari heterosexual matrix.

Seperti yang sudah diutarakan di atas, metafora bunga karnivora dapat dipahami (dan tampaknya dimaksudkan) sebagai gugatan terhadap stereotipe kepasrahan perempuan. Perempuan yang sering diibaratkan bunga yang madunya diisap kumbang, yaitu sebagai pihak yang pasif, di sini disulap menjadi pihak yang aktif sebagai bunga penghisap “cairan dari makhluk yang terjebak dalam rongga di balik kelopak-kelopaknya yang hangat”. Tapi di sisi lain, di sini pun sekali lagi ejakulasi laki-laki menjadi pusat segala kenikmatan: “Otot-ototnya yang kuat [...] akan memeras binatang yang masuk, dalam gerakan berulang-ulang, hingga bunga ini memperoleh cairan yang ia hauskan. Nitrogen pada nepenthes. Sperma pada vagina.” . Vagina yang haus akan sperma – itukah representasi seks versi perempuan, versi yang tidak falosentris? Dilihat dari segi biologis, representasi tersebut bisa dikatakan tidak sesuai dengan anatomi tubuh dan fungsi seksual perempuan. Dalam merasakan kenikmatan seksual dan mencapai orgasme ketika berhubungan seks, bagi seorang perempuan semprotan sperma ke dalam vagina jelas tidak terlalu berpengaruh, atau mungkin bahkan bisa dikatakan tidak berarti sama sekali. Misalnya kalau si laki-laki belum/tidak berejakulasi atau berejakulasi ke dalam kondom, hal itu tentu tidak menjadi halangan bagi pasangan perempuannya untuk mencapai orgasme.

Yang terasa mengganggu pada gambaran sterotipikal tentang perempuan sebagai bunga dan laki-laki sebagai kumbang antara lain adalah implikasi yang timbul karena gambaran itu diambil dari alam. Bunga sudah secara alami diam di tempat, dan kumbang sudah secara alami berpindah dari satu bunga ke bunga lain. Jadi dalam penggunaan pengupamaan semacam itu terdapat asumsi bahwa sifat pasif pada perempuan dan sifat aktif serta tidak setia pada laki-laki pun merupakan sifat alami (kodrati). Ayu Utami mengganti bunga yang pasif itu dengan jenis bunga yang ganas dan aktif namun cerita mengenai “kehausan” bunga itu akan cairan kembali membawa kita pada persoalan kodrat. Bukankah akhirnya kontraksi otot vagina (yang terjadi ketika perempuan mengalami orgasme) terkesan sebagai semacam “naluri alam” untuk menghisap sperma, dalam arti bahwa orgasme perempuan terjadi bukanlah demi kenikmatan, tapi demi masuknya sperma ke dalam rahim, atau dengan kata lain: demi kelanjutan umat manusia?

Dari sebuah novel yang mengangkat seksualitas perempuan sebagai salah satu tema utamanya saya tentu saja mengharapkan perhatian terhadap beberapa persoalan dasar yang menjadi ciri khas pengalaman seksual perempuan. Salah satunya adalah kenyataan bahwa perempuan dapat melakukan hubungan seks, dan bisa hamil karenanya, tanpa menikmatinya dan tanpa mencapai orgasme. Cerita mengenai vagina sebagai bunga karnivora menghubungkan kenikmatan/orgasme perempuan dengan ejakulasi laki-laki. Tapi bukankah setiap perempuan menyadari bahwa tanpa “diperas” sekalipun, “binatang bodoh tak bertulang belakang” itu tetap akan memuntahkan cairannya! Dengan kata lain, pengibaratan vagina sebagai bunga karnivora hanyalah sekedar sebuah permainan imaji yang tidak sesuai dengan realitas pengalaman perempuan.

Representasi seksualitas dalam novel Saman/Larung berpusat pada hubungan heteroseksual, khususnya pada koitus. Kecenderungan itu bahkan dapat ditemukan pada representasi tingkah laku seksual yang jauh menyimpang dari norma, yaitu hubungan sadomasokis Yasmin dengan Saman. Dilihat secara sekilas, di sini sekali lagi kita menemukan pemberontakan atau pemutarbalikan terhadap relasi kekuasaan laki-laki-perempuan yang normatif: Yasmin mengambil peran sebagai penyiksa, Saman sebagai korban. Kutipan berikut ini adalah deskripsi Yasmin tentang pengalaman itu dalam sebuah suratnya kepada Saman:

“Kamu biarkan aku mengikatmu pada ranjang seperti kelinci percobaan. Kamu biarkan jari-jariku bermain-main dengan tubuhmu seperti liliput mengeksplorasi manusia yang terdampar. Kamu biarkan aku menyakitimu seperti polisi rahasia menginterogasi mata-mata yang tertangkap. Kamu tak punya pilihan selain membiarkan aku menunda orgasmemu, atau membiarkan kamu tak memperolehnya, membuatmu menderita oleh coitus interuptus yang harafiah.” (Larung, hlm. 157)

Meskipun permainan seks yang digambarkan di sini jauh dari imaji normatif tentang persetubuhan, sekali lagi pusatnya adalah koitus. Dan siksaan yang diceritakan dengan paling rinci dan jelas adalah penundaan atau pencegahan orgasme Saman, sehingga timbul kesan bahwa coitus interuptus menyebabkan penderitaan yang luar biasa bagi seorang laki-laki. Penderitaan itu terkesan jauh lebih hebat daripada misalnya penderitaan Laila atau Cok yang terangsang dan birahi, namun tidak mencapai orgasme dalam permainan seks, seperti yang sudah saya sebut di atas. Ternyata dalam hubungan seks yang didominasi oleh seorang perempuan ini pun koitus digambarkan sebagai satu-satunya cara berhubungan seks, dan orgasme laki-laki menjadi pusat perhatian. Apakah Yasmin mencapai orgasme, sama sekali tidak dipersoalkan!

Disamping Shakuntala, Laila, Yasmin dan Cok, masih ada seorang tokoh perempuan lain yang tingkah laku seksualnya dipersoalkan dengan cukup rinci. Tokoh yang saya maksudkan adalah Upi, seorang gadis cacat mental yang diberi perhatian khusus oleh Romo Wis (Saman). Upi menjadi tokoh yang cukup penting bagi representasi seksualitas dalam novel Saman/Larung. Karena cacat mental, Upi digambarkan sebagai semacam wujud seksualitas yang tidak terkekang, yang “alami”. Bahwa birahi Upi dipahami terutama sebagai persoalan alam atau persoalan biologis, terlihat misalnya pada deskripsi Upi sebagai gadis “yang mentalnya tersendat namun fisik dan estrogen dan progesteronnya tumbuh matang” (Saman, hal. 76-77), juga pada keterangan ibu Upi bahwa sang gadis biasanya mengalami semacam masa birahi, yaitu dia menjadi beringas kira-kira seminggu sebelum haid.

Representasi seksualitas yang “alami” tersebut dalam beberapa hal tidak jauh dari seksualitas tokoh perempuan yang lain. Upi mencari kepuasan seksual secara aktif dan agresif seperti Cok dan Shakuntala, dan dia menggabungkan pemuasan birahi dengan tindakan penyiksaan seperti Yasmin, yaitu penyiksaan terhadap binatang. Namun ada hal yang khas pada representasi seksualitas Upi: gadis itulah satu-satunya tokoh perempuan yang diceritakan beronani. Masturbasi dilakukannya dengan cara menggosokkan selangkangannya pada pohon, tiang listrik, pagar atau sudut tembok , dan selain itu dia gemar “memperkosa” binatang. Tidak diterangkan dengan rinci apa yang dimaksudkan dengan “memperkosa” di sini, hanya satu kasus yang digambarkan dengan jelas, yaitu “ia mengempit seekor bebek di pangkal pahanya sambil mencekik leher binatang itu” .

Seksualitas Upi awalnya digambarkan seperti berikut:

“Gadis itu terkenal di kota ini karena satu hal. Dia biasa berkeliaran di jalan-jalan dan menggosok-gosokkan selangkangannya pada benda-benda [...] seperti binatang yang merancap. Tentu saja beberapa laki-laki iseng pernah memanfaatkan tubuhnya. Konon, anak perempuan ini menikmatinya juga. Karena itu, kata orang-orang, dia selalu saja kembali ke kota ini, mencari laki-laki atau tiang listrik” (Saman, hlm. 68).

Di sini timbul kesan bahwa pada awalnya Upi tidak birahi pada laki-laki, tingkah laku seksualnya berfokus pada tubuhnya sendiri. Seks baginya bukan interaksi dengan orang lain, melainkan stimulasi tubuhnya sendiri yang memberi kenikmatan. Segala macam rangsangan psikologis yang biasanya sangat berpengaruh dalam perilaku seksual manusia yang sehat mental, tampaknya tak begitu penting baginya. Seksualitasnya sepenuhnya persoalan tubuh. Dan hubungan seks dengan laki-laki yang kemudian terjadi atas inisiatif para laki-laki yang birahi, dinikmatinya bukan karena sifat hubungan pribadinya dengan laki-laki itu tetapi semata-mata karena rangsangan seksual yang diterimanya.

Tapi interpretasi dan intervensi yang kemudian dilakukan Romo Wis sangat jauh dari gambaran awal tentang seksualitas Upi tersebut. Karena kelakuan Upi kadang-kadang agresif dan membahayakan orang lain, keluarganya menguncinya dalam sebuah bilik. Wis pun tidak mampu mencari solusi lain – pengobatan di rumah sakit terlalu mahal – tapi dia memutuskan untuk meringankan penderitaan Upi dengan membuatkan “penjara” yang lebih luas dan bersih untuknya. Dalam pembuatan tempat tinggal Upi itu, kebutuhan seksual Upi juga diperhatikan. Wis mengenal tingkah laku seksual Upi (kutipan di atas adalah cerita seseorang padanya), dan dia sendiri pun sempat dikagetkan oleh pendekatan seksual Upi: Upi tiba-tiba meraba kemaluannya . Sebagai “solusi”, tempat tinggal Upi yang baru dilengkapinya dengan sebuah patung yang dipresentasikannya pada Upi dengan kata-kata berikut: “Upi! Kenalkan, ini pacarmu! Namanya Totem. Totem Phallus. Kau boleh masturbasi dengan dia. Dia laki-laki yang baik dan setia.” . Kalau pada awalnya masturbasi digambarkan sebagai perilaku seksual Upi yang utama, sedang seks dengan laki-laki hanya kebetulan dikenalnya, maka dalam ucapan Wis ini kita temukan asumsi bahwa seksualitas Upi adalah birahi pada laki-laki.

Masturbasi mengalami degradasi, dalam arti: masturbasi hanya menjadi pengganti seks yang “sungguhan”, yaitu seks dengan seorang laki-laki. Anehnya, meskipun konon dibuat untuk keperluan masturbasi, patung itu tidak dilengkapi alat kelamin! Artinya, yang dibuatkan Wis adalah simbol laki-laki atau simbol phallus, bukan alat yang secara teknis pantas digunakan sebagai alat masturbasi. Atau mungkin Upi diharapkan menggosokkan selangkangannya pada patung yang terbuat dari batang pohon itu seperti sebelumnya dia menggosokkannya pada benda lain – hanya saja batang pohon itu kini telah disulap menjadi “laki-laki”. Mungkinkah batang pohon itu akan mampu memberikan kenikmatan yang lebih pada Upi hanya karena sudah dijadikan simbol “laki-laki baik dan setia”?

Seksualitas Upi yang pada awalnya digambarkan sebagai semacam hasrat primitif untuk memperoleh kenikmatan dengan merangsang alat kelamin, diarahkan dan dipersempit menjadi hasrat heteroseksual. Penggunaan kata “phallus” dan “totem” bisa dipahami sebagai rujukan pada psikoanalisis dan pada totemisme, kepercayaan kuno yang sering diasosiasikan dengan “manusia primitif”. Karena kedua kata itu digunakan sebagai nama patung laki-laki yang diharapkan menjadi objek birahi Upi, pesan yang tersampaikan adalah bahwa hasrat heteroseksual-lah yang paling wajar, alami dan asli. Keterpusatan psikoanalisis pada penis atau phallus yang banyak dikritik feminis di sini diulangi tanpa sifat kritis sama sekali, phallus malah dijadikan totem, pusat pemujaan!

Memang pembuatan patung “Totem Phallus” itu dan pemahaman seksualitas Upi yang terkandung di dalamnya diceritakan sebagai buah pikiran dan perbuatan Romo Wis. Namun karena dalam novel “polifon” ini tidak terdapat suara lain yang menyoroti peristiwa itu dari perspektif lain, itulah satu-satunya versi yang tersampaikan. Bahwa interpretasi Wis terhadap seksualitas Upi merupakan penyempitan, sama sekali tidak dipersoalkan, sehingga saya rasa tidak terlalu mengada-ada kalau kita menganggap penyempitan itu tidak disadari penulis.

***

Kembali pada persoalan ambivalensi yang saya sebut di atas. Saya telah memperlihatkan bahwa dalam novel Saman/Larung disamping pesan-pesan eksplisit dan provokatif yang menentang falosentrisme (menempatkan perempuan sebagai pihak yang aktif, dan mengakui berbagai macam orientasi seksual) pada banyak adegan yang membicarakan seksualitas justru terdapat kecenderungan falosentis dan heteronormatif. Tentu adanya ambivalensi semacam itu tidak bisa begitu saja dijadikan indikator kegagalan sebuah karya. Ambivalensi merupakan hal yang lumrah, dan kita akan sulit mencari karya sastra yang bebas darinya.

Dalam eseinya yang sudah saya kutip di atas, Ayu mengatakan: “Saya berharap kritikus yang mencoba mendekati novel Saman dengan mencari subjek tunggal dan utuh pengarangnya akan kecewa. Sebab bukan itu sikap saya terhadap karya”. Bukankah menolak keutuhan dan ketunggalan subjek berarti membuka diri untuk menerima segala ambivalensi dan pertentangan dalam diri dan dalam karya dengan sadar dan lapang dada? Seorang perempuan bisa saja menggabungkan feminisme dan falosentrisme dalam dirinya, misalnya dengan memperjuangkan kebebasan perempuan, tapi sekaligus justru merindukan laki-laki yang dominan. Ambivalensi semacam itu adalah bagian dari kehidupan, konsekuensi dari kenyataan bahwa hidup manusia tidak sepenuhnya dapat dikuasai oleh akal seperti abang Shakuntala memerintah alat kelaminnya. Sebagai kritikus saya kecewa pada karya Ayu Utami justru karena ambivalensi yang seharusnya dipeluk dengan sadar dalam sebuah karya yang konon tanpa subjek tunggal dan utuh itu, ternyata kurang diolah.

Saya tidak menemukan indikasi bahwa ambivalensi dalam representasi seksualitas di novel Saman/Larung merupakan ambivalensi yang disadari. Karena itu, mungkin lebih tepat kalau pesan eksplisit mengenai seksualitas yang terdapat dalam novel itu kita sebut sebagai sebuah pretensi. Kritik terhadap falosentrisme hanya terjadi di permukaan, atau dengan kata lain, kritik itu dengan sengaja dimasukkan dalam beberapa adegan. Di level yang lain, yang justru jauh lebih penting secara tekstual, novel Ayu justru sangat falosentris.

***

Apakah keluhan saya seputar representasi seksualitas dalam novel Ayu Utami tidak terlalu mengada-ada? Bukankah seperti yang saya katakan di atas, gaya hidup perempuan kelas menengah perkotaan Indonesia sebelumnya belum banyak diangkat sebagai tema novel, khususnya dengan fokus terhadap kehidupan seksual? Bukankah usaha untuk menggali tema tersebut dan untuk meninggalkan tabu seputar seksualitas, pantas dihargai?

Saya rasa kritik saya tidak mengada-ada. Bukan sayalah yang menciptakan ekspektasi yang berlebihan terhadap karya Ayu Utami, yaitu bahwa karya tersebut merupakan karya feminis yang subversif dan penuh terobosan baru. Ekspektasi tersebut dengan sengaja ditimbulkan oleh novel itu sendiri dan oleh tulisan-tulisan di seputarnya, termasuk tulisan Goenawan Mohamad yang saya bahas di awal esei ini. Maka sudah sewajarnya kalau tidak terpenuhinya ekspektasi tersebut saya keluhkan dan pemujaan yang berlebihan saya kritik.***

Daftar Pustaka

Ayu Utami, Saman, Jakarta 1998.
—, “Membantah mantra, membantah subjek” Kalam edisi 12, 1998.
—, Larung, Jakarta 2001.

Bandel, Katrin, “Politik Sastra Komunitas Utan Kayu di Eropa”, Republika 23 Maret, 30 Maret dan 6 April 2008.

Clara Ng, Tujuh Musim Setahun, Jakarta 2002

Kris Budiman, Pelacur dan Pengantin Adalah Saya, Yogyakarta 2005.

Goenawan Mohamad, “Ayu Utami – The Body Is Heard”, 2000 Prince Claus Awards, The Hague 2000, hlm. 78-81.

Label

`Atiqurrahman A Muttaqin A Rodhi Murtadho A. Iwan Kapit A. Purwantara A. Qorib Hidayatullah A. Zakky Zulhazmi A.H.J Khuzaini A.S. Laksana Aang Fatihul Islam Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi WM Abdul Kadir Ibrahim Abdul Lathief Abdul Malik Abdul Wachid B.S. Abdurrahman El Husaini Abidah El Khalieqy Abu Salman Acep Zamzam Noor Achdiat K. Mihardja Adek Alwi Adi Suhara Adnyana Ole Adreas Anggit W. Afrion Afrizal Malna Aguk Irawan MN Agung Dwi Ertato Agus B. Harianto Agus Buchori Agus Himawan Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sulton Agusri Junaidi Agustinus Wahyono Ahda Imran Ahmad Badrus Sholihin Ahmad Fanani Mosah Ahmad Fatoni Ahmad Ikhwan Susilo Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musabbih Ahmad Rofiq Ahmad Sahidah Ahmad Tohari Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sekhu Alex R. Nainggolan Alex Suban Alunk Estohank Ami Herman Amien Kamil Amien Wangsitalaja Aminudin R Wangsitalaja Anastasya Andriarti Andreas Maryoto Anes Prabu Sadjarwo Angela Angga Wijaya Angkie Yudistia Anindita S Thayf Anis Ceha Anjrah Lelono Broto Anton Kurnia Anton Kurniawan Anton Wahyudi Anugrah Gio Pratama Anwar Nuris Aprinus Salam Arie MP Tamba Arif B. Prasetyo Arif Bagus Prasetyo Arif Hidayat Arman A.Z. Arti Bumi Intaran Arys Hilman AS Sumbawi Asarpin Asef Umar Fakhruddin Asep Sambodja Asrama Mahasiswa Aceh SABENA Astrikusuma Asvi Warman Adam Atep Kurnia Awalludin GD Mualif Aziz Abdul Gofar Azizah Hefni Badrut Tamam Gaffas Bagja Hidayat Bagus Takwin Balada Bale Aksara Baltasar Koi Bambang Agung Bambang Kempling Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Bayu Insani Beni Setia Benny Arnas Benny Benke Berita Berita Duka Berita Utama Bernando J. Sujibto Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Blambangan Brunel University London BSW Adjikoesoemo Budaya Budhi Setyawan Budi Darma Budi Saputra Budi Suwarna Bung Tomo Cak Kandar Catatan Cerpen Chairil Anwar Chavchay Syaifullah Cucuk Espe Cunong N. Suraja D. Zawawi Imron Dadang Ari Murtono Daisuke Miyoshi Damanhuri Damhuri Muhammad Damiri Mahmud Danarto Daniel Dhakidae Dante Alighieri Deddy Arsya Dedy Tri Riyadi Denny Mizhar Deny Tri Aryanti Detti Febrina Dharmadi Diah Hadaning Dian Hartati Dian Sukarno Diana A.V. Sasa Dicky Fadiar Djuhud Didi Arsandi Dimas Dina Oktaviani Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Djadjat Sudradjat Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Doddy Hidayatullah Donny Anggoro Dony P. Herwanto Dorothea Rosa Herliany Dr. Muhammad Zafar Iqbal Dr. Simuh Dwi Arjanto Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwicipta Dwijo Maksum Edy A. Effendi Edy Firmansyah Efri Ritonga Egidius Patnistik Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Hendri Saiful Elik Elsya Crownia Emha Ainun Nadjib Endah Sulawesi Endah Wahyuningsih Endang Suryadinata Endhiq Anang P Endri Y Eriyandi Budiman Ernest Hemingway Esai Esha Tegar Putra Eva Dwi Kurniawan Evi Dana Setia Ningrum Evi Idawati Evieta Fadjar F Rahardi Fabiola D. Kurnia Fadelan Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Faisal Kamandobat Faisal Syahreza Faizal Syahreza Fajar Alayubi Fandy Hutari Fany Chotimah Fatah Yasin Noor Fathor Lt Fathurrahman Karyadi Fatih Kudus Jaelani Fatma Dwi Rachmawati Fauzi Absal Festival Sastra Gresik Fikri. MS Fina Sato Fitri Susila Galih Pandu Adi Gde Agung Lontar Geger Riyanto Gerakan Literasi Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Ginanjar Rahadian Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gunoto Saparie Gus Martin Gus tf Sakai Gusti Eka Hadi Napster Haji Misbach Halim HD Halimi Zuhdy Hamberan Syahbana Hamdy Salad Han Gagas Handoko F. Zainsam Hari Santoso Haris del Hakim Hartono Harimurti Hary B. Kori’un Hasan Gauk Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Helwatin Najwa Hepi Andi Bastoni Heri C Santoso Heri KLM Heri Latief Heri Listianto Hermien Y. Kleden Hernadi Tanzil Heru Emka Heru Kurniawan Heru Prasetya Hesti Sartika Hudan Hidayat Humaidiy AS I Made Asdhiana I Made Prabaswara I Nyoman Suaka IBM. Dharma Palguna Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Ida Ahdiah Idayati Ignas Kleden Ihsan Taufik Ilenk Rembulan Ilham Khoiri Ilham Yusardi Imam Cahyono Imam Jahrudin Priyanto Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indah Darmastuti Indiar Manggara Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indrian Koto Irma Safitri Irman Syah Iskandar Noe Istiqomatul Hayati Ita Siregar Iwan Kurniawan Iwan Nurdaya-Djafar Iyut FItra Jadid Al Farisy Jafar M. Sidik Jakob Sumardjo Jamal D Rahman Janual Aidi Javed Paul Syatha Jayaning S.A Jefri al Malay Jihan Fauziah JJ. Kusni Jo Pakagula Johan Edy Raharjo Joko Pinurbo Jokowi Undercover Joni Ariadinata Joss Wibisono Jual Buku Paket Hemat Judyane Koz Juli Sastrawan Junaidi Abdul Munif Jusuf AN Juwairiyah Mawardy Kadir Ruslan Kasnadi Katrin Bandel Kedung Darma Romansha Khairul Mufid Jr Khamami Zada Khrisna Pabichara Kikin Kuswandi Koh Young Hun Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Komunitas Sastra Ilalang Indonesia (KSII) Korrie Layun Rampan Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan) Kristianto Batuadji Kritik Sastra Kunni Masrohanti Kunthi Hastorini Kuntowijoyo Kurie Suditomo Kurnia EF Kurniawan Kuswaidi Syafi'ie Kuswinarto Lan Fang Landung Rusyanto Simatupang Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Liestyo Ambarwati Khohar Linda Sarmili Liston P. Siregar Liza Wahyuninto LN Idayanie Lucia Idayani Lukman Asya Lusiana Indriasari Lynglieastrid Isabellita M Hari Atmoko M. Aan Mansyur M. Arman A.Z M. Bagus Pribadi M. Fadjroel Rachman M. Harya Ramdhoni Julizarsyah M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S M. Luthfi Aziz M. Nahdiansyah Abdi M. Raudah Jambak M. Shoim Anwar M. Yoesoef M.D. Atmaja Maghfur Saan Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Majalah Sastra Horison Maklumat Sastra Profetik Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Serenade Sinurat Mario F. Lawi Marluwi Marsel Robot Martin Aleida Martin Suryajaya Mashuri Matdon Mega Vristian Melani Budianta Melayu Riau Memoar MG. Sungatno Mh Zaelani Tammaka Miftah Fadhli Miftahul Abrori Misbahus Surur Miziansyah J Mochtar Lubis Mohamad Ali Hisyam Mohammad Eri Irawan MT Arifin Mugy Riskiana Halalia Muhajir Arrosyid Muhamad Rifai Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Al-Mubassyir Muhammad Qodari Muhammad Rain Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun A.S Muhidin M. Dahlan Muhlis Al-Firmany Mujtahid Mulyadi SA Munawir Aziz Murniati Tanjung Murnierida Pram Musa Ismail Musfi Efrizal Mustaan Mustafa Ismail N. Mursidi Nafsul Latifah Naskah Teater Nasrullah Nara Nelson Alwi Nenden Lilis A Nh. Anfalah Ni Made Purnama Sari Nina Mussolini-Hansson Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Noura Nova Christina Noval Jubbek Novela Nian Nugroho Notosusanto Nugroho Pandhu Sukmono Nur Faizah Nurdin F. Joes Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nurul Komariyah Nuryana Asmaudi SA Nyoman Tusthi Eddy Nyoman Wirata Oka Rusmini Oktamandjaya Wiguna Oky Sanjaya Olanama Olivia Kristina Sinaga Otto Sukatno CR Pagelaran Musim Tandur Pamusuk Eneste Patricia Pawestri PDS H.B. Jassin PDS. H.B. Jassin Penghargaan Hadiah Sastra Pusat Bahasa Persda Network Pipiet Senja Pramoedya Ananta Toer Pramono Pranita Dewi Pringadi AS Prita Daneswari Prof. Tamim Pardede sebut Bambang Tri Prosa Pudyo Saptono Puisi Puisi Kesunyian Puisi Sufi Puji Santosa PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Wijaya Qaris Tajudin R. Sugiarti Rachmad Djoko Pradopo Radhar Panca Dahana Ragdi F. Daye Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Ramadhan Batubara Ramadhan KH Ratih Kumala Ratna Indraswari Ibrahim Ratna Sarumpaet Raudal Tanjung Banua Remy Sylado Reni Susanti Renny Meita Widjajanti Resensi Restu Kurniawan Retno Sulistyowati RF. Dhonna Rian Sindu Ribut Wijoto Ridwan Munawwar Riki Utomi Riris K. Toha-Sarumpaet Risang Anom Pujayanto Riza Multazam Luthfy Robin Al Kautsar Rodli TL Rofiqi Hasan Rohman Abdullah Rosidi Rosihan Anwar Rukardi S Yoga S. Jai S. Sinansari Ecip S.I. Poeradisastra S.W. Teofani Sabam Siagian Sabrank Suparno Saiful Anam Assyaibani Sainul Hermawan Sajak Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sanggar Rumah Ilalang Sanggar Teater Jerit Sapardi Djoko Damono Sartika Dian Sartika Dian Nuraini Sastra Tanah Air Sastra Using Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sayyid Fahmi Alathas Sazano Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo Seli Desmiarti Selo Soemardjan Senggrutu Singomenggolo Seno Joko Suyono SH Mintardja Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sipri Senda Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Sobih Adnan Sofian Dwi Sofie Dewayani Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sri Ruwanti Sri Wintala Achmad St Sularto Stefanus P. Elu Sukron Abdilah Sulaiman Djaya Suminto A. Sayuti Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sungging Raga Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Suryansyah Suryanto Sastroatmodjo Susanto Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suyadi Suyadi San Syaifuddin Gani Syaiful Amin Syamsiar Hidayah Syarbaini Syifa Amori Syifa Aulia Tajuddin Noor Ganie Taufik Abdullah Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat TE. Priyono Teguh Afandi Teguh Ranusastra Asmara Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Theresia Purbandini Tita Tjindarbumi Titik Alva-Alvi Choiriyah Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tjoet Nyak Dhien Tosa Poetra Tri Lestari Sustiyana Triyanto Triwikromo TS Pinang Tu-ngang Iskandar Tulus S Tulus Wijanarko Udo Z. Karzi Ugoran Prasad Umar Fauzi Ballah Umar Kayam Umbu Landu Paranggi Universitas Indonesia Universitas Jember Utada Kamaru UU Hamidy Vera Ernawati Veronika Ninik W.S. Rendra Wahjudi Djaja Wahyu Hidayat Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Budiartha Widya Karima Wijaya Herlambang Wiji Thukul Willem B Berybe Wilson Nadeak Winarni R. Wiratmo Soekito Wita Lestari Wiwik Widayaningtias Y. Thendra BP Y. Wibowo Yasser Arafat Yeni Ratnaningsih Yohanes Sehandi Yonatan Raharjo Yonathan Rahardjo Yopi Setia Umbara Yos Rizal S Yos Rizal Suriaji Yudhi Herwibowo Yuka Fainka Putra Yurnaldi Yushifull Ilmy Yusri Fajar Yusuf Suharto Zainal Abidin Zainal Arifin Thoha Zawawi Se Zen Hae