Selasa, 28 Desember 2010

KORELASI SOSIOLOGI DENGAN BUDAYA

CORELATION BETWEEN SOCIOLOGY AND CULTURE’
Janual Aidi
http://sastra-indonesia.com/

(063 80 102) VI. C
“Apa yang terjadi apabila masa kini adalah dunia tadi malam?”
(John Donne, Devotions upon Energent Occasions)

Jika berbicara mengenai ‘sosiologi’ dan ‘budaya’, maka dua ranah kajian ini seperti mata uang logam yang tak bisa di pisahkan. Untuk mengetahui korelasi kedua kajian ini maka ada baiknya jikalau kita kembali menukil definisi dari kedua kajian ini. Sosiologi yang dikenal pada abad ke-19 dengan nama yang berasal dari Auguste Comte (1798-1857) jika dilihat dari segi etimologinya yakni, sosiologi (Latin: socius yang berarti kawan, social yang berarti berteman, berkawan, berserikat) bermaksud untuk mengerti kejadian-kejadian dalam masyarakat yaitu persekutuan manusia, dan selanjutnya dengan pengertian itu untuk dapat berusaha mendatangkan perbaikan dalam kehidupan bersama. Atau definisi lain sosiologi yang saya (penulis) pernah dengar dari salah seorang dosen STKIP yakni Bapak Nurun Sholeh, M. Hum yang mengatakan bahwa “sosiologi adalah ilmu yang mempelajari dan mengkaji masalah (tentu yang ada dalam tubuh masyarakat) supaya bagaimana kemudian masalah tersebut dapat terselesaikan atau ditemukan problem solving-nya”. (wawancara saat tes ujian masuk STKIP, Mei 2006). Atau definisi konvensional sosiologi yang secara implisit dibuka dalam berbagai buku teks seperti dalam bukunya Anthony Giddens yaitu Konsekuensi-konsekuensi Modernitas (The Consquences of Modernity ) bahwa “sosiologi adalah studi tentang masyarakat manusia”. Jelasnya, sosiologi mempelajari segala sesuatu yang bersangkutan dengan masyarakat yang menitik beratkan pada nalar-nalar sosial, termasuk juga budaya. Sedangkan budaya adalah konsep ide yang melandasi perilaku seseorang, kelompok ataupun sosial. Jadi, ‘budaya’ memiliki pengaruh besar terhadap eksistensi masyarakat.

Mempelajari sosiologi sesungguhnya mempelajari budaya, dan sebaliknya mempelajari budaya sesungguhnya juga mempelajari sosiologi. Budaya lahir dari ide masyarakat yang kemudian dimanifestasikan lewat wujud-wujud budaya. Lalu, manifestasi budaya tersebut mempengaruhi masyarakat sehingga muncullah ‘konsep’ tatanan sosial seperti perangkat aturan-aturan sosial, nilai-nilai sosial, tradisi masyarakat, peradaban dan yang lainnya. Nah, konsep dan perangkat sosial yang telah terbentuk tersebutlah yang kemudian dijadikan sebagai acuan oleh masyrakat dalam menjalani kehidupan.

Kajian sosiologi memasuki ranah kajian budaya dan kajian budaya merasuki ranah sosiologi. Gambaran kebudayaan pada suatu masyarakat merupakan ‘fhoto copy’ karakteristik masyarakat tersebut. Dalam kebudayaannya tersebutlah tertuang nilai dan norma. Maka, oleh sebagian budayawan mengatakan bahwa jalan pintas untuk mengetahui atau mempelajari suatu masyarakat cukuplah menggaulinya lewat kebudayaan yang dimiliki. Misalnya, John Ryan Bartholomew dalam bukunya yang berjudul Alif Lam Mim Kearifan Masyarakat Sasak, yang mengkaji tentang budaya suku Sasak (kawin lari-pen). Pada akhirnya John Ryan menemukan karakteristik sosial masyakat Sasak yang erat dengan ‘budaya maling’. Lalu, konon terkuaklah psikologi masyarakat Sasak yang dikenal memiliki ‘maling-maling’ yang handal. Proses ‘pengkayaan diri’ pun dengan berprofesi sebagai ‘maling’. Dalam karangan Edi Sedyawati mengenai Islam Wetu Telu dan Wetu Lima di Lombok pun memberitahukan akulturasi nilai-nilai agama yang di anut masyarakat Lombok dengan tradisi-tradisi kebudayaan. Melihat perbedaan ‘Islam Wetu Telu’ dan ‘Islam Wetu Lima’, oleh sebagian kalangan juga mengidentifikasikan dan menafsirkan bahwa masyarakat Sasak doyan dengan perbedaan dan konflik.

Nah, dari ulasan di atas menandakan korelasi yang sangat jelas dan kuat antara ‘sosiologi’ yang mengkaji tentang masyarakat dengan ‘budaya’. Setiap masyarakat memiliki budaya dan masyarakat tidak bisa dilepaskan dengan budaya, karena sesungguhnya masyarakat adalah ‘mahluk berbudaya’. Dalam masyarakat kita kenal istilah budaya klasik, budaya pop atau budaya yang lainnya. Ini pula memberi pemahaman pada kita bahwa sejarah manusia adalah sejarah budaya. Adapaun adjusment terhadap bagusnya suatu budaya, jeleknya suatu budaya, unik dan eloknya suatu budaya merupakan bangunan dari kekuatan budaya yang dibentuk oleh masyarakat sendiri.

Ulasan di atas cukuplah memberitahukan kita tentang ‘the power of corelation between sociology and culture’. Namun penulis ingin menambahkan sedikit argumentasi kajian kontemporer korelasi antar keduanya bahwa kini masyarakat terlihat kembali pada budaya ataupun peradaban lama. Ini tertuang juga dalam pikiran serang tokoh yang bernama Paul Ricoeur, “Civilisations and National Culture” dalam History and Truth. Ia mengatakan: “Ketika kita mendapati bahwa ada beberapa kebudayaan, bukan hanya satu dari itu-itu saja, pada saat kita mengetahui akhir dari monopoli budaya itu, baik dia ilusi atau nyata, kita terancam oleh kehancuran temuan kita sendiri. Tiba-tiba ada kemungkinan bahwa ada yang lain, dan bahwa kita sendiri adalah ’yang lain’ diantara uang lain itu. Setelah semua makna dan setiap tujuan musnah ada kemungkinan untuk menjelajahi peradaban seolah-oleh dilakukan dengan melewati jejak dan reruntuhan. Selutuh umat manusia menjadi museum imajiner: kemana kita pergi diakhir pekan ini-mengunjungi reruntuhan Angkor atau berjalan-jalan santai Tivoli Copenhagen?

Memaknai Karya Seni Berkualitas

Nelson Alwi
http://www.suarakarya-online.com/

Kesenian adalah satu dari sekian banyak lapangan kegiatan, yang tak mungkin diberi batasan secara konkret. Sedang hidup menyeni atau aktivitas serta kreativitas seniman kurang lebih menyerupai sebuah perkalian menuju abstraksi-abstraksi kesimpulan. Suatu perkiraan yang bermuara pada ciri-ciri, yang mencuat menandai kualitas karya yang dihasilkan.

Karya yang dihasilkan, di satu sisi, tidak lebih dari sejenis hiburan yang melelapkan dan untuk seketika mampu mengalihkan perhatian dari rutinitas hidup sehari-hari – sehingga terbebas dari berbagai kegelisahan yang berpijak pada identitas diri selaku makhluk berakal budi. Sementara di sisi lain, selain memiliki sifat dan peran menghibur, karya yang dihasilkan juga akan menuntun sang penikmat ke lingkungan kesadaran untuk bereksistensi.

Masalahnya sekarang, di manakah seorang pekerja seni berdiri? Untuk menjawabnya diperlukan sikap tegas dan visi yang jelas mengenai hidup berkesenian! Apakah ia hendak melacurkan atau cuma memperkedok kesenian, atau sebaliknya ingin menghormatinya?!

Kadang-kadang seniman sendiri memang harus menghadapi problem fundamental menyangkut keyakinan (ke)hidup(an) yang dianggap baik dan wajar. Dan, ini sering menjebak serta menggiring sang seniman ke lingkar permasalahan yang tiada bertali-temali dengan pandangan kesenian berorientasi jauh ke depan. Dengan kata lain, seorang seniman seakan sudah merasa puas mengutak-atik alias memanfaatkan instrumen kesenian untuk mencapai kemajuan (finansial) dan perbaikan diri pribadi, lalu melangkah menuju kondisi dunia seni yang vulgar.

Dalam keadaan demikian, bukan tidak mungkin, seorang seniman melancarkan pelecehan nilai-nilai: menyetarakan atau mencampuradukkan pengertian seni yang berkualitas dengan seni yang semata-mata bersifat menghibur – seperti pernah dilakukan Deddy “Miing” Gumelar (1991).

Sebagaimana diketahui, “Pelawak bermobil MBW” itu pernah mengungkapkan bahwa kegagalan karya seni selama ini disebabkan senimannya tidak mengerti selera masyarakat. Pernyataan tersebut menyiratkan fatwa bahwa “pasar”lah yang menentukan keberhasilan karya seni. Padahal, esensinya justru seniman melalui karyanya yang harus berperan mengubah atau memperbaiki selera rendahan masyarakat.

(Mengingat kapabilitas dan kredibilitas Miing saya jadi curiga, jangan-jangan dia cuma sekadar membanyol atau meledek seniman yang hijau matanya melihat uang. Dan, itu sah-sah saja kiranya. Siapa pun wajib mengarifi adanya ketidakpastian arah dan cita-cita yang mempengaruhi seseorang – seniman).

Matthew Arnold, pemikir kebudayaan asal Inggris, memandang keutamaan (per)puisi(an) sebagai kritik kehidupan yang disampaikan melalui kata serta kalimat terseleksi yang serba ringkas. Sementara Herbert Read, lewat bukunya yang masyhur, The Politics of the Unpolitical berpendapat, kesenian (pada umumnya) adalah sejenis kegiatan intelektual. Selanjutnya bisa dikatakan, kesenian merupakan ekspresi dari emosi dan insting jiwa (manusia) seniman yang paling dalam, suatu aktivitas sungguh-sungguh yang senantiasa membuat orang hidup bergairah sepanjang masa.

Pada gilirannya kesenian (baca: karya seni) memang jadi begitu berarti dan mengharukan. Kadarnya ditentukan oleh takaran nilai-nilai yang dikandungnya, yang selalu survive.

Sejarah membuktikan, para pakar tidak dapat membedakan peradaban kecuali dengan meneliti karya seni-karya seni yang mewakilinya. Barang-barang dari tanah liat, lempengan koin atau mata uang logam, pahatan atau goresan berupa huruf, flora, fauna dan lain sebagainya, yang dipatrikan di dinding gua maupun batu mejan, jauh lebih awet lagi mengesankan ketimbang sejumlah nama kaisar, pahlawan atau medan pertempuran.

Artinya, karya seni tampil lebih langsung melalui bentuk dan style yang diketengahkannya – yang akan menjadi ukuran bagi kemurnian suatu peradaban. Di samping itu, karya seni “bicara” dengan bahasa yang jernih, menceritakan status serta karakter zaman tertentu. Karya seni tidak hanya mengabari kita tentang pemujaan masyarakat terhadap bulan, bintang dan matahari atau (telah) adanya kepercayaan atas hidup sesudah mati, akan tetapi juga menawarkan pengertian-pengertian, ilmu pengetahuan berikut segala sesuatu yang, karena faktor-faktor keterbatasan, belum tentu dapat diperoleh dari sumber-sumber lain.

Namun golongan yang sinis boleh jadi berkomentar, umpamanya, nilai apakah yang akan tetap survive dari sajak-sajaknya Sutardji Calzoum Bachri atau cerpen-cerpen Danarto maupun novel-novel Iwan Simatupang?! Apakah elemen-elemen atau gayanya? Ya, apakah yang hendak dipetik dari sajak berikut cerita absurd dan tidak memenuhi kaidah-kaidah perpuisian dan penceritaan yang berlaku umum itu?

Kita semua barangkali perlu menyadari, bahwa substansi dan kelebihan karya seni mencakup gagasan-gagasan serta tindakan-tindakan yang unik alias lain dari pada yang lain. Pada mulanya, ada kalanya orang mencurigai atau membenci, katakanlah, misalnya, arsitektur Gothic yang seabad setelah diproklamasi dan dipresentasikan baru diserbu para pengagum yang berlomba-lomba mengagung-agungkan gayanya yang memang khas dan unik. Sementara di hadapan kita sendiri juga pernah terjadi, betapa menggemparkan sejarah roman Belenggu karya Armijn Pane: ditolak oleh Penerbit Balai Pustaka, dicela berbagai kalangan (intelektual) zamannya, namun akhirnya tak urung dipuji dan disanjung serta dipandang sebagai salah satu karya sastra Indonesia modern yang paling monumental.

Pada hemat saya, memang demikianlah skala prioritas atau ukuran nilai-nilai estetika karya seni yang ideal. Kesenian toh bukan cuma tergantung pada keahlian teknis maupun kepopuleran (sesaat) sebagaimana disinyalisasi Eugene Johnson lewat The Encyclopedia Americana (1980).

Kesenian atau karya seni lahir dari dan berdasarkan suatu panggilan serta kebutuhan situasi. Kesenian atau karya seni adalah budi bahasa, keikhlasan, keluwesan dan juga form. Dan karya seni yang berkualitas lagi takkan dilupakan dibangun di atas berbagai pondasi kemungkinan: kreativitas, cara, gaya, sikap, tingkah-laku dan sopan-santun tindakan dalam berkesenian. ***

Penulis, peminat sastra budaya, tinggal di Padang.

Rabu, 22 Desember 2010

Refrein di Sudut Dam, Puisi D. Zawawi Imron

Abu Salman
http://dunia-awie.blogspot.com/

Dulu, mungkin sekitar delapan atau tujuh tahun yang lalu, saya masih teringat betapa saya merasa seperti membaca sebuah narasi yang memprovokasi batin saya ketika menikmati “Panggil Aku Kartini Saja” nya Pramoedya Ananta Toer (PAT), meskipun bukan sebuah provokasi, hanya batin saya saja yang mudah terpengaruh dan tidak dapat menahan gemuruh dan geram di dada hingga akhirnya seperti terdengar terikan yang tertahan “kejam!!”

Barangkali bagi saya pribadi adalah salah apa yang dikatakan bahwa “One man death is a tragedy, but million death is a statistic” (Nikita Khruschev). Justru pada paragraph-paragraf “data-data statistik” itulah yang membuat saya tak henti-henti berpikir ketika itu, saat membaca angka-angka statistic yang dinarasikan oleh PAT dalam karyanya tersebut, yaitu angka-angka jumlah penduduk pulau Jawa semasa zaman colonial Belanda saat menerapkan culture stelsel atau tanam paksa.

Betapa untuk membangun negeri Dam(ed) harus dengan menggunakan tidak hanya kekayaan nusantara, namun juga darah dan air mata manusia di bumi nusantara. Seperti tercermin dari data-data yang disajikan dalam karya tersebut yang dari waktu ke waktu mengalami penurunan drastis saat sebelum sampai dengan diterapkannya kebijakan tanam paksa. Akibat kebijakan tak manusiawi dari colonial Belanda tersebut banyak rakyat yang meninggal baik akibat didera kelaparan karena tanah para penduduk harus ditanami dengan tanaman yang ditetapkan oleh Belanda sehingga tidak dapat bercocok tanam tanaman pangan sesuai kebutuhan mereka.

Dengan membaca saja rasanya saya seperti memikul beban sejarah yang memilukan dan menyesakkan dada. Saya tidak dapat membayangkan bagaimana bila saya menyaksikan dengan mata kepala sendiri jejak-jejak kemewahan dan kemegahan yang dibangun dari keringat darah rakyat Indonesia ditempat sumber keserakahan itu berasal.

Apalagi bagi seorang penyair yang katanya berhati peka ketika menyaksikan jejak sejarah yang pernah membuat bangsanya menderita selama beberapa abad.
Lalu bagaimanakah seorang D. Zawawi Imron menyikapi momen tersebut. Yaitu momen ketika sang penyair asal Madura tersebut berinteraksi langsung dengan alam dan generasi keturunan orang-orang dari bangsa yang pernah menyengsarakan bangsanya.

Refleksi itulah yang diungkapkan penyair yang terkenal dengan sebutan Celurit Emas dalam sebuah buku kumpulan puisi bertajuk “Refrein di Sudut Dam”. Sebuah buku kumpulan puisi yang diterbitkan oleh Bentang Budaya, Juni 2003 yang terdiri dari XIV + 104 halaman, memuat 101 sajak.

Sebagaimana yang dikemukakan sang penyair dalam pengantarnya bahwa terciptanya sajak-sajak dalam buku kumpulan puisi ini merupakan salah satu hasil dari memenuhi undangan pembacaan puisi dalam festival Winternachten, sebuah festival internasional sastra dan seni musim dingin yang berpusat di Den Haag. Tanpa menghadiri acara tersebut, maka puisi-puisi dalam buku ini tidak akan pernah lahir.

Sang penyair tak sendiri dalam menghadiri undangan acara tersebut. Bersama sejawat sastrawan/penyair lain seperti: Joko Pinurbo, Ayu Utami, Dorothea Rosa Herliany. Secara bersama-sama mereka berangkat ke Den Haag menghadiri festival Winternachten sebuah festival sastra dan seni musim dingin berpusat di Den Haag yang bertaraf internasional tersebut..

Menyebut nama Festival Winternachten, saya jadi teringat sebuah catatan dari penyair/esseis Yogyakarta, Saut Situmorang dalam esainya/artikelnya di mailing list yang “memprotes” kehadiran orang-orang dari kelompok tertentu saja yang mewakili sastrawan Indonesia menghadiri festival tersebut atau festival internasional lainnya.

Bagi D. Zawawi Imron puisi merupakan sesuatu yang digunakan sebagai proses pembelajarannya dalam menyelami jiwa kemanusian dan ayat-ayat Tuhan, maka tak heran banyak sajak-sajaknya yang bernuansa religius atau pembacaan atas sikap batinnya sendiri. Puisi bagi sang penyair tersebut juga merupakan salah satu jendela untuk melihat kehidupan dan mengakrabi semangat hidup.

Diawali dengan sebuah sajak bertajuk ”Jakarta – Amsterdam, 10 Januari 2002” seolah-olah membuka karya ini dengan sebuah sikap kepasrahan kepada Tuhan, kepasrahan atas permainan pikiran yang diusik oleh berbagai kekhawatiran yang dipicu oleh berbagai peristiwa kehidupan yang didengar atau dilihat atau dialami oleh sang penyair.

Pesawat pun melesat
Menuju entah berentah
Tapi di atas segala entah
Ada pangkuan keabadian

Menilik dari judul sajak tersebut yang tidak jauh waktunya dengan peristiwa 11 September 2001 saat dihancurkannya Menara WTC di Amerika oleh para teroris yang dipimpin oleh Osamah bin Ladin dengan membajak dua buah pesawat, maka saja tersebut merupakan bentuk rasa khawatir bila peristiwa tragis serupa juga menimpanya.

”Bagaimana kalau pesawat ini dibajak
atau digunakan menghantam gedung raksasa?

Permainan pikiran memang telah menjadi bagian dari kehidupan manusia ”Kekhawatiran mungkin, hanya awan hitam pada khayal” katanya.

Namun hal itu dapat memicu manusia untuk berperilaku negatif. Betapa rasa khawatir itu telah menjadikan manusia sebagai makhluk serakah. Karena takut kehilangan, takut kelaparan, takut sengsara dan seabrek rasa ketakutan lainnya membuat manusia memproteksi diri dengan egoismenya tak ingin berbagi kepada manusia sesamanya.

Disisi lain ketakutan juga dapat memicu perilaku positif yaitu kepasrahan kepada Yang Mahatahu segala sesuatu. Seperti tercermin dari kutipan sajak diatas ”Tapi diatas segala entah / Ada pengkuan keabadian”

Sebagai orang asing yang berkunjung ke suatu tempat yang baru dilihat ada kekaguman-kekaguman pada alam sekelilingnya seperti salju dan merpati seperti tertuang dalam sajak “Pertama Datang”

Pertama datang aku bertanya
Siapa yang menyapu salju sebelum waktunya
Kelepak merpati di udara
menerjemahkan musim yang layak jenuh
Yang penting zaman berjalan utuh

Sebagai sebuah pertemuan seni/sastra internasional tentu merupakan momen berkumpulnya para sastrawan dari berbagai penjuru dunia.
Berkumpulnya sastrawan dari berbagai belahan dunia berarti membawa warna budaya lokal dari asal masing-masing negara.

Hal menarik terjadi ketika dalam acara ramah tamah saat sang penyair ditanya kenapa dia tidak minum anggur dalam jamuan yang telah disediakan namun hanya menikmati air putih dalam acara tersebut. Peristiwa tersebut dituangkan dalam sajak “Ramah Tamah”

setelah tiba saatnya
gelas-gelas bersentuhan di udara
Ting, bunyinya. Kami semua minum
Persaudaraan memekarkan senyum
“Mengapa kau minum air bukan anggur merah?”
tanya sahabat Karibia
Aku jadi tertuduh. Lalu jawabku:
“Yang kuminum barusan ini
adalah anggur murni
yang belum dicemari warna dan aroma”

Sebagai negara yang pernah menduduki dan mengusung kekayaan alam dan budaya Nusantara selama ratusan tahun ke negerinya, jejak-jejak itu dapat dilihat di museum-museum negeri Belanda yang memang sebagai negara maju sangat terawat dan diperhatikan dengan baik. Persentuhan sang penyair dengan jejak-jejak itu direkam dalam sajak Museum.

Sajak-sajak tersebut seperti menyajikan kembali penderitaan-penderitaan yang dialami oleh Orang-Orang Jajahan yang harus kehilangan harta, harapan, dan diri sendiri sebagai martir untuk kehidupan mewah para penjajah.

Waktukah yang keramat
atau pelaku sejarah?
Tentu saja keringat
yang sesekali lebih mahal dari darah
(Museum I)

Disini museum
Bukan untuk orang kagum
Tapi sejenis sumur untuk mengulur
atau mengukur
Kental darah pada anggur
(Museum II)

Dan pedang algojo itu
tak cuma bikin gagah
juga bikin nurani malu
sampai nanti
ada permulaan sehabis letih
Harus dibayar semua yang ditagih
(Museum III)

Sajak lain yang serupa yang menarik angan sang penyair pada penderitaan masa lalu dimasa penjajahan adalah pada sajak Di Simpang Jalan.

Mungkin yang kumiliki sejenis trauma
yang diwariskan narasi hati yang luka
Mengingat Daendels
jadi teringat kakek moyangku
yang mati kerja rodi
membuat jalan dari Anyer ke Panarukan
Masih di simpang jalan
Aku tegak
tapi tak mampu menghitung lada dan pala
yang dulu diangkut kemari

Memang tidak semua persinggungannya dengan Negeri Belanda mengorek pada luka lama. Ada juga semacam jeda yang membawa sang penyair pada Tuhan, kedamaian, keindahan, persahabatan, simbol kerja keras dan disiplin, mengingat ibu dan kerinduan pada tanah air yang tercermin dalam sajak-sajaknya.

Seperti dalam sajak “Bertemu Gadis Negro” mengguratkan kesan damai dari orang tak dikenal yang ditemui dalam perjalanan: Mata begitu / adalah kedalaman samudra / paduan embun lima benua.

Sedangkan dalam sajak lainnya mengusung tema persahabatan dengan sastrawan lain sebagai orang yang senasib, sama-sama berasal dari dunia ketiga.

“apakah itu kerinduan jiwa dunia ketiga?
Selamat malam!” katamu
“Sekarang sudah pagi, Frank!
kenapa selamat malam?”
“Aku novelis dan kau penyair
Malam selalu ada dalam diri kita
Begitu senja tiba dan senyap cahaya
Kata-kata kita nyalakan sebagai ganti cahaya.
(Frank Martinus Arion)

Dalam hal kedisiplinan dan menghargai waktu, negara semaju Belanda memang patut ditiru. Dalam masalah tersebut sang penyair bisa merasakannya betapa “hanya” terlambat lima detiksaja harus tertinggal oleh kereta dan harus menuggu jadwal kereta berikutnya.
“kita terlambat lima detik”
ujar Joko Pinurbo
Kami hanya bisa tersenyum kecut
dan harus menuggu kereta berikutnya
dengan waktu setengah jam lagi”
“Keterlambatan ini”,
kata seorang tua,
“agar kamu bisa memaknai lima detik”
dengan hukuman setengah jam.

Tentu akan kontras bila dibandingkan dengan jadwal kereta di negeri sang penyair berasal, seperti dalam petikan lagu Iwan Fals: ……kereta tiba pukul berapa? / biasanya terlambat tiga jam…..

Demikian pula soal penegakan aturan atau hukum, tentu bagai bumi dan langit dengan negeri Indonesia raya tercinta sebagaiman tercermin dalam sajak “Percakapan Tak Enak”.

“Sebagai tamu, aku telah berupaya mematuhi aturan. Di mana sepatu menapak di situ gedung kusanjung. Bungkus permen, puntung rokok dan sampah-sampah kecil kuselamatkan ke dalam saku. Kebersihan di sini bukan tulisan di tembok-tembok, tapi memang bagian dari iman”

“Untuk itu periksalah paspormu. Hukum di sini bukan tanah lempung, tak kenal sajak apalagi pantun. Kalau visamu berakhir hari ini, pulanglah! Jangan tunda sampai besok pagi”

Mendapat pengalaman tak mengenakkan tersebut, penyair seolah-olah seperti melayangkan protes sebagaimana dalam lanjutan sajak tersebut: “Moyangmu dulu lebih tiga abad menempati tanahku, dan melakukan segala yang tidak kumau, tanpa paspor dan visa”

Sajak lain yang seolah-olah menyajikanironi atas negeri yang dikunjungi adalah potret seorang pemuda pengemis yang diambil oleh sang penyair lewat kamera puisinya dalam sajak “Pengemis”.

Seolah-olah seperti mengabarkan ironi ditengah kemajuan bangsa Belanda masih saja tersisas Orang-Orang Kalah sebagaimana juga terjadi di negeri-negeri lain baik negara maju maupun berkembang.

musim dingin tapi siang cerah
membuat anak muda itu semakin gagah
Ia mengemis
karena menolak untuk menangis
senyumnya, apa benar minta dikasihani
atau sekedar mengejek orang-orang kaya?
(Pengemis, hal 83)

Meskipun sebagai anggota masyarakat dari sebuah negeri yang pernah dijajah oleh Belanda dengan luka lama yang dapat muncul kembali ketika melihat jejak-jejaknya toh Penyair D. Zawawi Imron tidak mau berlarut-larut dalam dendam kesumat sejarah. Karena sang penyair yakin adanya keadilan Tuhan yang akan membalas segala yang ditabur oleh semua makhluk didunia. Semua yang ditabur anak manusia akan dituai suatu saat dikemudian hari.

Begitulah sikap sang penyair yang religius ini dalam menyikapi apa yang telah terjadi pada bangsanya pada masa lalu dengan menyerahkannya pada pangkuan keabadian, yaitu Tuhan Yang Mahaesa. Rasa dendam dan benci memang tidak dapat mengembalikan penderitaan-penderitaan yang telah dialami bangsanya menjadi sebuah kebahagiaan. Mengubur dendam sejarah, menghapus narasi luka karena adalah sia-sia memberhalakan duka dan derita. Luka dan derita ditanah asing itu akan lebur dengan menyemai cinta di hati yang suci.

Sikap itu tercermin dalam Sajak Refrain di Sudut Dam yang juga sebagai judul buku kumpulan puisi karya penyair ini.

Refrein di Sudut Dam

Amsterdam bagiku
memang sebuah terminal
dengan detik-detik yang terasa mahal
Masa silam dan masa depan
di sini bergumpal
menyesali titik-titik gagal
Matahari yang juga mata waktu
mendesakku menjadi kaca manggala
untuk menerjemahkan cahayanya
menjadi api dan nyala
Di udara menari kapak, senapan, sapu
biola, gendang dan sejenis debu
Menyanyi buku-buku, kertas arsip
hendak turut memutar tasbihku
Jangan dulu! Di sini Amsterdam
Akan kukubur dendam sejarah
Sia-sia memberhalakan derita
Ibu dan kampungku selaksa kilometer jauhnya
tapi terasa berbatas tabir saja
Segenap keasingan akan lebur
dengan menyemai cintake hati salju
Terbayang pohon pinang dekat sumur dulu tempatku mandi
menyuruhku jangan sembunyi
Olle ollang
darahku makin bergelombang.

Buku kumpulan puisi ini ditutup dengan Sajak Di Atas Angkasa yang juga masih membuat was-was pada sang penyair ketika dalam perjalanan pulang ke Indonesia dengan pesawat terbang.

Senyum pramugari yang menyajikan kopi itu
Tak mampu mencerminkan kedalaman laut
E, sorri, kedalaman Maut

Tidak seperti dalam buku kumpulan puisi lain yang pernah penulis baca seperti Di Pamor Badik, dalam kumpulan puisi ini D. Zawawi Imron seperti menyajikan sajak-sajak terang dengan sedikit metafora-metafora yang dipergunakan sehingga tidak sulit untuk dipahami.

Gresik, September 2009

Air Terjun

Denny Mizhar *
Malang Post, 19 Des 2010

“Baiknya kau tak bepergian dahulu. Umur pernikahanmu baru memasuki selapan. Di sini saja, sampai kau punya anak. Biarkan suamimu saja yang pergi sendiri mengunjungi rumahnya. Toh, tak akan lama. Mungkin hanya seminggu atau dua minggu. Kami khawatir denganmu. Bila di jalan terjadi sesuatu denganmu”.

“Mak, aku juga berharap begitu. Tapi aku ingin menemani Kang Mas. Aku juga ingin menikmati daerah perbukitan di daerah Kang Mas. Aku tetap berangkat. Boleh kan kang Mas?”

Sajak-Sajak Heri Listianto

http://forum-sastra-lamongan.blogspot.com/
JALAN HATI

Baru saja ku tutup
Satu jalan dari selatan desa kenangan

bumbu rindu pada keagungan nama Negara

dan seratus teriakan masa
melihat gumpal tanpa isi
terkupas siulan raja.

ku lihat tetes air mata
menelusur sungai abadi dari dalam qolbunya
menangisi Surabaya.

Perlis Selatan, 31 Mei 2010



KETIKA TANAH MASIH UTUH

Satu butir debu tampak depan muka ini
Pada siang gersang
yang mengelucut rumput kota.

Dulu…
ketika tanah masih utuh,
dan kaki berjalan tanpa alas

Masihkah ingat?
burung berjinjing selaksa putri
dari danau utara
dengan sepatu kacanya.

adakah bunga merekah di dataran sejuk?
seperti rumput memanjang
ke sungai bengawan solo

Hingga ujung-ujungnya
Hilang dalam semak.

Perlis, 31 Mei 2010



DAUN TANPA NAMA

Seperti musim lalu
Engkau membius sukma
dengan sehelai kain suci saat itu.

Lagu indah yang bertasbih
menemani setiap jengkal langkah
rasaku kepadamu

dari ujung rumputan sawah ujung desa
hingga pohon kering di pinggir jalan kota
satu asma berjalan
lewat hati kecil ini.

tapi sayang,
tak ada jejak kaki kambing
dan embun pagi saat itu.

Hanya angin dan sehelai daun tanpa nama
Ada dalam kantongku.

Surabaya , 13 juni 2010



Andai dulu …

Sungguh tak tertulis pada takdir ini,
Sebuah pertemuan
dalam tragedi maya
yang selalu ada dalam benak ini

engkau bersiul memanggil angin
sebagai sajak rindu
dari kedalaman samudera tanya

adakah lembut benih tumbuhan
senja saat ini
seperti benih kapas yang lembut
selembut namamu.

Surabaya , 22 Juni 2010



HEMBUS ANGIN DAUN SEROJA

Adalah seputih buga seroja
Lembut kebatinan mu
Pada sungai kasih ini dinda.

Walau …
Aku bagai terkurung
Dalam samudera ranjau
dan kuncup duri di padang rumput

Semoga bertahan dalam jiwa.
Dlikir perenunganku pada bumi
dan pertemuanku padamu
dalam dunia mimpi

Surabaya , 23 Juni 2010

Puisi-Puisi Diah Hadaning

http://www.suarakarya-online.com/
Doa I

doa mengabut asap
mengapung dalam udara serat
mencari nuansa sentuh NYA
di tikungan waktu
sirna belati pun batu

doa melubuk hening
memasir di dasar Sungai Hidup
meresap renung hakikat
di ruang tembus pandang
sirna pedang pun guncang

sempurna malam
sempurna angin
sempurna bisik syahdu batin



Doa II

doa menyusup senyap fajar
sebelum bangun suara adzan
sebelum dentang layar kaca
sebelum angin timur menyapa beburung
sebelum bangkit jiwa murka amuk masa
doa berdenyut sendiri
doa berdesir menari

tak gapura yang poranda
tak wajah lukisan darah
tak raga hilang bilang
sepi menyapa sepi
jauh dari patung tani
jauh dari pendar mercury
tiba-tiba hadir Engkau menyapa diri

Engkau ada, aku ada
sempurna dalam doa yang bunga



Perempuan dan Matahari

namanya perempuan
lengkap sempurna dengan tanda-tanda alam
perempuan airmata batu akik
keluh kesiur angin sepanjang gisik
menembang dari musim ke musim
namanya perempuan
pandang nerawang ngantar mentari senja
saat langit merah jingga
berjanji tak pernah henti
menimang matahari
sampai hutan ranggas hijau kembali
sampai orang agung tuntaskan doa Semanggi
lalu matahari merah simpan kidungnya
dalam lembayung senja silhuet cinta
matahari bertanya:
benarkah dalam kenangan ada segala
bahkan saat jiwa dalam gaib penjara

namanya perempuan
senja mulai sembunyikan bayangnya
semakin hitam menyatu tanah merdeka
semakin gelap diam-diam meditasi cinta
akhirnya mentari bersarang di dada



Catatan Yang Tertinggal

menghitung langkah ke langkah
memasuki ruang dan waktu
menata jejak ke jejak
menjadi peta perjalanan umur
tak peduli jaman tebar api
langit tebar hujan belati

ada bunga-bunga kecil
di beranda kehidupan
mekar wangi pagi senja
petik harumnya simpan dalam kalbu
jadi pengantar kidung persembahan
setiap purnama lingkar sempurna

sadarnya hadir di puncak musim
bukan lagi pasang teratak bicara-bicara
tapi melakukan yang bisa dilakukan
memasuki ruang dan waktu



Catatan Jam di Antara Hujan

I.
sebusur abad
seruas abad
tak lagi belenggu melekat
alihnya musim itu
selalu berupa nyanyian waktu
dalam nada-nada berat
garpu tala mengetuk lambat
pada sendi-sendi berkarat
o, detik-detik yang jimat

II.
sesosok bocah samar
menatap nanar dunia nyata
ingin memasukinya
niup terompet dan tawa bersama
juga ingin bisa jadi dewasa
menyapa alam dengan bahasa cinta
mencium bebunga menjelang senja
tapi entah apabila
sementara jam waktumanusia
memburu isi dunia

III.
kota raya tabur selaksa cahaya
makin benderang waktu ke waktu
gemerlap sayap impian urban

milik siapa sebenarnya?
milik kau, aku?
milik wajah-wajah tak terjamah?
melepas tanya ke udara
terjaring nyanyian sembilu

jangan mengeluh lagi, urbanis
atau jangan datang lagi nantang mimis
sebelum keburu hujan sembilu

Tentang Penulis:
Diah Hadaning tinggal di Cimanggis, Bogor. Karya-karyanya, baik puisi, cerpen maupun esai tersebar di berbagai media. Pendiri Warung Sastra Diha ini juga aktif se penggiat sastra Komunitas Dialog Jarak Jauh.

Selasa, 14 Desember 2010

Cermin

Agus B. Harianto
http://sastra-indonesia.com/

Cermin itu telah retak. Retakannya membentuk garis tak beraturan. Layaknya pantulan petir menyambar pepohonan. Sebuah garis tak beraturan memisahkan dua sisi retakannya. Dari pojok kanan atas. Memecah keutuhan cermin hingga kiri bawah. Tak ayal lagi, bias sebelah kanan menjadi lebih tinggi. Cermin itu layak tak terpakai. Seharusnya dibuang. Untuk mengaca pun, cermin itu terasa kurang pas. Apalagi mengamati pantulan kekurangan riasan diri.

Cermin itu kubeli tiga bulan lalu. Tukang loakan yang kebetulan lewat membawanya. Tawar menawar pun terjadi. Hasil akhir dicapai. Sebuah cermin untuk menghiasi kamar. Pelengkap ruangan tempat melihat-lihat diri. Dan kala ingin keluar, tiada lagi perasaan kekurangan dengan dandanan.

Aku melangkah tergopoh melawan kejamnya waktu. Tak pernah kudapati ia mau berhenti dan tak pernah dapat mengerti. Terlambat bangun adalah kebiasaan yang tak mampu kupatahkan begitu saja. Saat begadang semalaman menjadi idaman semenjak sore. Berkejaran dengan jadwal jam masuk kerja menjadikanku terbatah melawan kantuk. Kamar tempatku ngekos menjadi mau memahami. Kepanikan sebagai akibat keterlambatan bangun pagi. Dua kamar terpisah seakan telah hafal dengan peristiwa yang jarang terjadi, bangun telat. Dapat ditengarai. Hampir setiap jum’at pagi, hal ini terjadi. Gedubrak barang-barang. Langkah tergesa ataupun senggolan tangan menjadi penyebab. Jatuh dari tempatnya semula atau terguling menjadi akrab pada telinga sekitar. Tawa kawan-kawan sekitar tak bisa menyurutkan kepanikanku.

Aku mandi sekenanya. Air yang membatasi dirinya mengalir pelan. Hingga tak menetes setitik pun. Kuguyurkan sedikit pada kepalaku. Otakku masih terasa penat dengan diskusi semalam. Keesaan dan pengesaan Tuhan. Pening kepalaku memikirkannya.

Senyum-senyum kecut kulewati. Tampang-tampang menertawakan kulalui. Wajah-wajah sok usil tak kuhiraukan. Mereka hanya berniat menggoda dan mengendurkan semangatku mencumbui kehidupan yang keras. What the hell! Aku tak perduli. Aku mainkan saja peran sok penting. Sok sibuk. Dalam benakku hanyalah jam masuk kantor yang terus meneror.

Kamar kontrakan yang tidak begitu luas dapat menghemat gerakku. Tiga kali empat merupakan ukuran umum di Ciputat. Sebuah pintu menghadap ke utara menjadikannya terhindar dari panas menyengat. Kala liburan dan ingin istirahat dari penat pekerjaan. Kaca bening dan jendela krepyak di sebelahnya membuatku dapat melihat keluar dengan leluasa. Hanya dengan menyibakkan sedikit kelambu usang yang menempel padanya.

Lemari plastik yang terpampang di balik pintu adalah perkakas yang kubeli dengan cicilan. Buku-buku tertumpuk rapi menyebelahi lemari itu, hampir semuanya pernah terbaca. Di sisi satunya dari lemari itu, sebuah kardus yang terisi pakaian kotor yang kerapiannya melebihi ombak lautan. Tiga inchi dari buku-buku itu kasur kecil, tempatku meregangkan penat, terburai tak sedap dipandang mata. Dan, di sebelah pintu bagian dalam kugantungkan cermin yang retak tersebut. Jika pagiku longgar, seringkali aku memandangi cermin itu. Ataukah memandangi diriku sendiri dalam cermin?

Semenjak cermin itu tergantung di sana, dan jika pintu terbuka, selalu saja ada yang memanfaatkannya. Aku sendiri memakainya sebelum berangkat kerja, ataupun kawan-kawan sekitar.Walaupun murah dan kubeli dari tukang loakan, ia tak pernah sepi dari kegunaannya. Ia tak pernah lepas dari bayangan wajah orang-orang sekitar.

Seragam kerja telah terpakai di badan. Kesiapan kerja untuk hari jum’at ini telah di tangan. Tinggal kunci motor dan berangkat. Seperti biasa, aku pun berdiri mematung. Diam sebentar sebagai pelaksanaan pemasrahan diri dan doa sebelum berangkat. Sebagaimana pesan kedua orangtuaku. Berdoa sebelum melaksanakan segala sesuatu.

Tawa anak kosan yang lain beriringan melaju ke areal parkir. Deru suara motor dipanasi telah terdengar. Bersaingan. Berselingan dengan canda dan obrolan ringan tentang demo kemarin. Anak-anak kampus mengusut korupsi. Jalanan macet. Suara-suara jahil anak majikan merasa berisik. Sayup-sayup terdengar ke telingaku. Mengalun lamban untuk akhirnya hilang di telan angin pagi. Menguap musnah dipanggang hangat mentari pagi.

Sejak tiga bulan lalu, kunci motor aku gantung di bawah cermin itu. Untuk kemudahan dan kecepatan. Bercermin sebentar sambil meraih kunci dan pergi. Dengan sigap, aku pun melangkah ke depan cermin. Maksud hati meraih kunci dan helm di atasnya. Mengamati dandanan dan membenahi yang kurang sedap dipandang.

Aku tersentak kaget. Kulihat gerakanku tidaklah demikian. Tiba-tiba cermin itu memantulkan bayangan yang gerakannya berbeda sedikit dengan gerakanku. Otakku berputar cepat. Analisa masalah sedang berlangsung. Sambil. Mataku terus menatap cermin retak itu. Kugerakkan sedikit lain tanganku kini.

Cermin itu retak memanjang. Tentunya bayangan sebelah kanan lebih tinggi. Hanya aku yang berada di depan cermin. Dan pastinya segala macam gerakan yang ada di dalam sana akan sama dengan gerakan yang kubuat. Tetapi kenapa tangan yang ada dalam cermin itu bergerak berbeda?

Tanganku sebelah kanan kugerakkan menyamping. Tangan kiri tergerai memegang kunci. Sedangkan tangan-tangan yang ada dalam cermin itu bersilang di depan dada. Ia membentuk silangan pertapa. Tak ayal lagi, aku bingung. Kacau otakku memikirkannya.

Istirahatku kurang. Mataku belum terpejam cukup. Perih. Berkaca-kaca. Benakku berusaha keras menelaah kejadian itu. Kupejamkan mata dan kubuka kembali berulang-ulang. Kedipannya tak terhitung lagi. Sembari kugerakkan kepala memahami yang sedang terjadi. Tetap saja gerakan dalam cermin itu tidak juga sesuai dengan gerakanku.

Kubuka mulutku. Ia tidak menirukannya. Kupegang hidungku. Ia masih mematung. Matanya melotot menatapku. Nanar. Jalang. Tetapi, kepasrahan dan penuh pengharapan dapat kurasakan dari tatapan mata itu.

Kutelisik wajahnya. Ia sama mirip dengan gambar wajahku yang kuhapal dari foto-fotoku. Codetan memanjang di pipi sebelah kiri pun terbentang di wajah itu juga. Buru-buru aku memegangnya. Ia tetap mematung. Bagai pertapa-pertapa yang tidak mendapatkan gizi berbulan-bulan. Namun kini matanya memejam. Mulutnya berkomat-kamit. Entah yang ia gumamkan.

“Hei, kamu!” teriakku pada bayangan di cermin itu.

Mendengar teriakanku, bayangan manusia dalam cermin itu membuka matanya. Mulutnya tidak lagi berkomat-kamit. Mata itu sendu menatapku. Rasa memelas dapat kutengarai darinya. Tangannya tetap bersilang di depan dada.

“Iya, Baginda!”
“Siapa kamu?”
“Saya adalah engkau, Baginda!”

Aku semakin bingung dengan suaranya. Jawabnya. Cermin bisa bicara? Apakah ini hanya mimpi? Kucubit pipiku. Sakit dapat kurasakan dari bekasnya. Bayangan itu masih menatapku sayu. Mulutnya bungkam. Wajahnya menyiratkan penantian. Kuputar otakku keras. Aku tak percaya fenomena di hadapanku.

Aku menoleh ke belakang. Harapanku akan orang lain yang mirip diriku berada di belakangku berdiri. Sedang ingin bercanda denganku. Seperti saat-saat istirahat sore sepulang kerja dengan kawan sekosan. Mataku mulai menyapu sekeliling kamar kosan. Tak seorang pun. Kosong. Hamparan tembok beku masih berdiri kokoh di belakangku. Bersih dari tempelan gambar. Kasur kecil berserak di dasar tembok itu.

Jam dinding tergantung menempel di tembok samping kanan. Dapat kulihat pula ia di dalam cermin itu. Detakannya terdengar miris. Aku beringsrut dari tempatku semula. Mundur selangkah. Bulu kudukku semakin tidak sabar untuk berdiri. Satu persatu mereka berkejaran untuk berdiri. Hingga puncak ubun-ubunku. Terkesiap aku dibuatnya. Merinding.

Kutatap lagi cermin itu dalam-dalam. Retakannya masih sama. bayangan yang ada di dalamnya masih membisu. Kini, matanya mengamati gerak-gerikku. Ia menelisik setiap lekuk tubuhku. Tiap helai rambutku. Aku merasa ditelanjangi.

“Siapa kamu sebenarnya?”
“Maaf, Baginda! Saya adalah engkau!”
“Jadi benar! Kamu adalah aku?”
“Benar Baginda!”
“Kalau kamu adalah aku, maka seharusnya aku adalah kamu!”
“Benar, Baginda!”
“Tapi kenapa kamu tidak mengikuti setiap gerakanku?”

Suasana lengang. Seperti biasa, jam masuk kerja. Kawan-kawan pasti sudah berangkat. Deru motor tiada lagi kudengar. Kota metropolitan ini membuat kami harus berjuang keras melawan kejamnya waktu. Tinggal caci maki ibu-ibu pada anak-anaknya, yang sebentar kemudian menghilang. Sepoi panas angin Jakarta menelusuk celah-celah bangunan.

Bayangan dalam cermin itu diam. Ia tiada menjawab pertanyaanku. Kesunyian pagi sungguh terasa. Kutajamkan telingaku. Barangkali ada langkah datang, setelah aku membentak keras pada bayangan dalam cermin itu. Tak satu pun. Sunyi. Tik-tak jam dinding ikut hanyut dalam kesunyian.

“Baiklah! Jika kamu adalah aku, aku ingin menanyakan suatu hal! Jikalau aku berkata ‘A’, maka seharusnya kamu pun berkata ‘A’. Jika aku mengangkat tangan kiriku, seharusnyalah kamu juga mengangkat tangan kirimu. Apakah karena kamu berhadapan denganku sekarang, yang itu berarti kiriku adala kananmu, hingga kamu tidak mau mengangkatnya dan hanya menyilangkannya? Dan, itu berarti kamu bukanlah aku!”

Bayangan dalam cermin itu masih diam. Malah, ia kini duduk bersila. Seperti pertapa-pertapa kesepian di atas garis-garis keramik yang terpantul dari lantai kamarku. Matanya terpejam, seakan tidak menghiraukanku. Aku mengernyitkan dahiku. Harapan hati dapat memahami yang sedang ia lakukan. Tapi, bagaimana aku bisa memahaminya tanpa sepatah kata pun darinya?

Otakku terhenyak dalam keheranan. Wajahnya adalah wajahku. Tubuhnya adalah tubuhku. Segala yang aku kenakan ia memakainya juga. Tetapi kenapa segalanya berbeda dengan semua yang aku kehendaki? Gontai aku berjalan mendekat kembali. Kuamati sekali lagi. Dari ujung rambut hingga lutut-lutut yang bersila itu. Semuanya sama persis dengan diriku. Hmmm!

“Baiklah akan kucoba menuruti kemauanmu. Kamu ada karena aku, namun aku ada bukan karena kamu. Dengan membelakangi dirimu, akankah kamu bertindak seperti yang kuperintahkan? Dengan membelakangi dirimu berarti sisi kananmu adalah sisi kananku juga. Lantas bagaimana aku dapat mengawasi kamu melaksanakan apa yang kuperintahkan dengan membelakangi dirimu?”

Ia tetap membisu. Mulutnya berkomat-kamit yang tidak bisa aku baca. Matanya terkatup rapat. Tangannya masih menyilang di depan dada. Wajahnya memancarkan keseriusan. Tiada gerak lain yang aku temukan. Kecuali dadanya yang menahan nafas keluar masuk.

Aku semakin tidak mengerti. Aku asyik mengamatinya. Tiba-tiba saja muncul dalam cermin itu. Bayangan-bayangan lain dalam sikap posisi yang sama. Satu persatu mereka bermunculan. Sepuluh. Seratus. Seribu. Jutaan. Milyaran. Hingga berjubel tak terhitung lagi. Dan suara-suara lantang menggemuruhkan telingaku. Suara-suara itu berbunyi sama.

“Aku adalah engkau!”
“Aku adalah engkau!”

Aku tersentak. Mataku liar memperhatikan mereka . Mulut-mulut itu meneriakkan yel-yel yang sama. “Aku adalah engkau!” Benakku semakin bingung. Dan, tanpa kusadari, tanganku meraih helm di atas cermin itu. Pyarrr!

Bicara Puisi pada Seorang Bayi

Zawawi Se
http://sastra-indonesia.com/

Waktu terasa beringsut seperti siput. Duduk gelisah berganti-ganti posisi di kursi paling pinggir dalam deret ke empat sebelah kanan dibelakang Sopir Bus Patas Trigaya Putra jurusan Surabaya – Semarang diantara orang-orang yang terlelap mereguk mimpi-mimpi indah mereka sambil bersandar dikursi yang memberi kenyamanan perjalanan dengan tersedianya ruang longgar untuk bebas menggerakkan kaki kedepan selonjor atau kebelakang menekuk lutut memasukkan kaki dibawah kursi. Bus melaju seolah-olah tidak memahami betapa rinduku telah membuncah kepadanya. Menelusuri liku-liku jalan Daendles dengan debur ombak yang terkadang terdengar sayup-sayup dikalahkan oleh deru mesin dan remang-remang terlihat dari balik kaca ombak – ombak kecil tak jemu -jemunya menuju ke pantai serta kerlap-kerlip lampu dari kapal-kapal para nelayan terlihat jauh dari pantai memang dapat sedikit menghibur akumulasi kegelisahanku yang beberapa hari ini selalu memikirkannya, memendam perasaan rindu kepadaya.

Tidak seperti hari-hari biasa sebelumnya, betapa tidak dalam setiap aktivitas apapun yang aku lakukan hampir setiap saat tiba-tiba dia selalu muncul dalam benakku mengisi ruang batinku menjadi semacam rindu yang membara untuk selalu bersama dengannya, bercanda ria bersama, menyanyikan lagu ”kring-kring goes-goes” kesukaannya bersama-sama, membuatkannya susu di dot bergambar seekor induk bebek dan beberapa anak-nakanya kesukaannya, menyuapinya dengan ikan ceker yang sangat ia suka, nonton kartun spongebob yang ia sebut sebagai spongbob bob bob bob dengan menambah bunyi bob, bob beberapa kali di belakangnya dan kartun casper favoritnya. Semua itu memenuhi ruang benakku dengan frekuensi yang tak terhitung jumlahnya.

Perjalananku yang kesekian kalinya ini selama hampir beberapa tahun belakanngan terasa lebih lama dari biasanya. Mungkin karena perasaan ingin segera memberikan peluk dan cium kepadanya membuat bumi seolah mengurangi kecepatan untuk berputar pada orbitnya. Dalam gundah gulana tiba-tiba mengingatkanku pada berita tadi sore tentang gempa bumi di Jakarta, kemenangan pasangan salah satu pihak dalam pemilihan Gubernur DKI Jakarta dari lawannya dalam perebutan kursi kekuasaaan daerah propinsi, dan seseorang yang kukenal lewat sebuah mailing list sebagai seorang wartawan dan budayawan senior dengan beberapa karya besar yang sudah menginternasional. Entah mengapa tiba-tiba timbul dalam benakku menghubung-hubungkan peristiwa tersebut dan ingin mengirimkan pesan pendek kepadanya. Lalu Nokia 1100 tuaku yang telah hilang semua huruf, angka, dan simbol -simbol di keypadnya pun aku keluarkan dari saku dan jari jempolku dengan lincah dan cepat mulai bergoyang mengetik pesan meskipun tidak ada ada huruf, angka, dan simbol-simbol lainnya dalam keypadnya.

”Hasil pemilihan Gubernur DKI diikuti oleh gempa bumi di Jakarta, apakah ini sebuah pertanda?”

Sekilas kulihat tulisan dalam layar hitam putih Nokiaku yang telah pudar warna biru casingnya ”Messege Deliver to 08595956xxxx” sebelum kumasukkan kembali ke saku jaket Wrangler biruku yang telah pudar pula warnanya.

Bus terasa masih merangkak seperti kura-kura. Kembali Aku mencoba menenangkan diri dan berupaya menikmati perjalanan ini. Mengalihkan perhatianku dengan menolehkan kepala ke kanan melihat remang-remang lautan, terkadang pepohonan terkadang rumah-rumah penduduk silih berganti. Tiba-tiba kembali benakku merindunya.

”Ayo Nak, jalan-jalan ke Simpang Lima”

Ajakku kepada buah hatiku Sal yang masih menginjak 2 tahun 4 bulan pada bulan Agustus ini pada suatu sore sehabis Maghrib di ruang tamu ketika Ia sedang menaiki Truck mainan kesayangannya yang sering Ia pakai berputar-putar dalam rumah dari ruang tamu sampai ruang keluarga atau bahkan sampai ke dapur. Terkadang Sal menabrakkannya pada dinding tembok yang selalu membuat aku miris melihatnya karena melihat ia hampir jatuh kebelakang. Minimnya perabotan dalam rumah membuatnya lebih leluasa bermain-main dengan trucknya tersebut. ”Jalan-jalan beli es hem, Yah. Ma!, jalan-jalan beli es hem” sambung Sal kepada aku dan bundanya dengan mimik antusias, terlihat binar mata gembira dan lesung pipit kanannya nampak indah saat tersenyum. Jagoanku semata wayang dengan rambut gondrong agak kemerahan ini memang suka banget dengan ice cream. Bila diajak (memang dia akan selalu ikut) ke swalayan setelah putar-putar mencari bahan kebutuhan termasuk susu bebas laktosanya dia akan menuju box besar berjajar dua atau tiga dengan pintu geser sebagai pembuka disudut kanan swalayan. ”Kemarin dah rasa strawberry, sekarang ambil yang coklat aja, ya nak” tawar bundanya kepada Sal. Sudah bisa kutebak Sal akan mengatakan ya, karena semua rasa Ia suka.

Dada sebelah kiriku bergetar dengan sumber getaran dari saku jaketku, ku keluarkan Nokia tuaku dari saku jaket, kubaca sebuah pesan dilayar.

”Semua telah diatur sesuai kehendakNya” sender: 08595956xxx
Sebuah jawaban yang terlalu pendek dari pertanyaan yang membutuhkan uraian panjang. Atau mungkin aku berharap terlalu jauh dengan jawaban-jawaban yang diluar akal pikiran. Namun demikian rasanya jawaban itu memiliki kedalaman makna. Suatu simbol keberpasrahan makhluk kepada Penciptanya. Mungkin seperti juga kehidupanku yang harus berjauhan dengan keluarga. Dibutuhkan banyak upaya untuk bercengkerama dan bercanda ria bersama keluarga dengan jarak ratusan kilometer. Semua telah diatur sesuai KehendakNya.

”Iya beli ice cream, sama buku puisi” kataku kepada Sal. Namun sayang kami tidak jadi jalan-jalan ke Simpang Lima pada liburan itu. Aku dan Bundanya Sal terlalu lelah, Aku lelah karena habis perjalanan jauh sedangkan Bundanya Sal capek karena harus pulang malam karena tutup bulan harus menyelesaikan pekerjaan kantor sampai rampung. Memang kalau Sal dijanjikan sesuatu dia akan terus menagih dan merajuk untuk segera direalisasikan, sepertinya Sal mungkin juga anak-anak lainnya tidak sabaran bila dijanjikan sesuatu yang menarik hatinya. Beli buku puisi, Sal sangat antusias, dan beberapa saat kemudian selalau menagih dan merajuk, ”ayo yah jalan-jalan, beli buku puici, ayo Yah, jalan-jalan beli buku puici, aa…”.

Ketika pertama kali aku bilang beli buku puisi, responnya memang lucu banget, “puisi itu yang dijalan raya” katanya berulang-ulang dengan nada masih cadel. aku pun tertawa dipikirnya Puisi itu Polisi, dia memang suka banget kalo lihat Bapak/Ibu Polisi, malahan sering memberi hormat pada setiap Bapak/Ibu Polisi yang ditemui dijalan raya, tentu saja dengan serta merta Bapak/Ibu Polisi juga membalas hormat kepada Sal. Lalu aku pun menjelaskan kepadanya bahwa Puisi itu bukan Polisi, tapi puisi itu kata-kata seperti buku cerita, kumpulan kata-kata, entahlah apa Sal memahami atau tidak penjelasanku ini. Memang kami, aku, bunda Sal, Bude/Pak De, Sepupu Sal) sering membacakan buku-buku cerita. Karya-karya Clara Regina, Arleen Amidjaja, Iwan Kuswandi, dan beberapa pengarang lain merupakan cerita balita yang akrab ditelinga Sal.

Dulu Sal sangat menikmati cerita-ceritanya. Benji Sakit Gigi, Benji’s Toothache merupakan cerita favoritnya bahkan pernah Sal terbangun jam 01.00 dinihari minta dibacakan cerita Benji’s Toothache, maka dengan setengah mengantuk aku pun membacakan cerita tersebut pada buah hati semata wayangku ini. Mungkin karena sering dibacakan cerita yang sudah pernah didengarkan antusiasme Sal berkurang. Sal lebih menyukai main mobil-mobilan sambil berbaring dilantai atau menaiki truck mainan kesayangannya, Meskipun kadang-kadang menjelang boboknya Sal minta dibacakan cerita-cerita kesukaan yang lainnya seperti ”Aku Tidak Makan Sembarangan, Aku Tidak Tidur Sembarangan, Aku Tidak Main Pisau Sembarangan, dan Aku Tidak Nonton Tivi Sembarangan.

Dari rasa antusiasme yang berkurang yang kuperhatikan pada Sal atas buku-buku cerita itu lalu aku berinisiatif ingin mencoba memperkenalkannya pada puisi, barangkali Sal bisa menikmati.

Aku tidak tahu bagaimana menjelaskan apa itu puisi kepada seorang Sal yang masih balita. Apakah membacakan karya sajak atau puisi kepadanya dapat memberikan manfaat baginya. Apakah Puisi dapat mempengaruhi Sal sebagaimana sastra telah mempengaruhi manusia berabad-abad lamanya sebagai simbol manusia berbudaya.

”Bang Ijo, Semarang terakhir” suara kondektur bus menyadarkanku dari lamunan. Aku pun bersiap-siap untuk turun di pemberhentian dekat lampu merah. Memang sebetulnya dilarang tapi kalau sudah larut begini kondisi jalan raya tidak begitu ramai dan sopir bus mau memberhentikan didekat lampu merah untuk menurunkan penumpang. Aku segera mencari angkutan kota setelah turun dari bus. Angkutan kota memang mudah didapatkan diwilayah ini. Mereka beroperasi selama 24 jam sepertinya. Tidak sampai sepuluh menit aku pun telah sampai di pertigaan jalan menuju rumahku. Tukang becak pun sudah menyambutku untuk mengantar meski hari telah dini. Aku sungguh kagum atas ketahanan mereka. Bertahan dalam udara malam yang dingin dengan hanya bersandar di becaknya masing-masing.

Aku langsung naik ke becak yang sudah direndahkan posisinya oleh tukang becak untuk mempermudah aku menaikinya.

”Kemana ini, Om” tanya tukang becak setelah dia memedal becaknya.
”Gang Pasar, Pak”

Jjawabku pada tukang becak tersebut sambil terheran-heran, tidak biasanya mereka memanggilku Om, biasanya mas adalah sapaan yang akrab sering aku dengar, dan aku lebih suka dipanggil seperti ini, lebih sosial bila dengarkan, entahlah mungkin ini hanya persepsiku saja.

”Nggih, Om” jawabnya.

Sebenarnya aku ingin menelepon Bundanya Sal untuk menyuruh keponakan-keponakan kami yang berada dirumah, tapi aku berpikir daripada harus membangunkan mereka di dini hari lebih baik aku naik becak saja. Kunikmati perjalanan dengan menumpang becak ini sambil melihat kekanan dan kekiri, aku jadi ingat salah satu lagu kesukaan Sal, Becak yang sering juga Sal senangdungkan sambil menirukan suara dikaset.

”Berhenti sini, Pak” kataku pada Tukang Becak.
”Nggih” jawabnya pendek.

Dua pohon bambu kuning dengan daun hijau muda jarang-jarang depan pagar disudut kanan rumahku akan menyambutmu bila engkau bertamu ke rumahku disamping angin dingin dan kadang sepoi-sepoi semilir berhembus dari telaga di seberang jalan depan rumahku.

Aku memukul-mukulkan Gembok pintu pagar sebagai tanda kedatanganku untuk dibukakan pintu. Keluargaku sudah hafal memang, bila pintu pagar dipukul-pukul dilarut malam. Salah satu keponakanku membukan pintu.

”Kok dalu, Mas”
Tanyanya, basa-basi yang sering kudengarkan bila aku datang pada larut malam. Memang keponakanku yang satu ini aneh, memanggil aku, Om-nya dengan sebutan mas, rasanya ganjil juga, tapi hal itu tidak menggangguku dan aku biarkan saja.
”Adek gak rewel” pertanyaan yang sama pula yang sering aku tanyakan bila aku baru datang.

Setelah membersihkan diri dan berganti, kubuka pintu kamar dan kulihat jagoanku semata wayang lelap tidur memeluk guling kecil kesayangannya yang bergambar spongebob. Aku dekati dia kupandangi dengan seksama dari ujung rambut sampai ujung kaki. Lalu kucium pipi kiri dan kanan serta keningnya.

”Oh permataku, akankah aku tega membiarkanmu menangis bila suatu saat kelak engkau menjadi nakal, merengek-rengek, sebagaimana anak-anak lain yang selalu merajuk meminta sesuatu dengan tangisan”
”Oh buah hatiku, akankah aku suatu saat tega membiarkanmu kecewa dan nelangsa bila engkau remaja kelak engkau menjadi liar sebagaimana anak muda lainnya yang sedang mencari jati diri”

”Tuhanku alirilah dadaku dengan penuh rasa kesabaran dan kecintaan dalam mengemban amanatmu” desahku dalam hati.

Jumat, 10 Desember 2010

Sajak-Sajak Oky Sanjaya, Ahmad Musabbih, Widya Karima

[Sajak-sajak ini secara berurut adalah juara I, II, dan III Batu Bedil Award yang diselenggarakan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Tanggamus dalam rangkaian Festival Teluk Semaka].

http://www.lampungpost.com/
Pukau Kampung Semaka
Oky Sanjaya

baru semalam aku pulang
subuh mulai menyulut tubuhku
namun siapa yang tak lekas pukau

Anjing menyalan Azan!

Di ujung jalan batas marga, dulu,
orang-orang pulas
selalu berkisah
tentang dengung kampung
tentang jimat penolak bala
yang ditanam waktu purnama
senggikhi kutti di tanoh sinji 1

Dan kami, pewaris marga, tinggal menjaga lada
mengunyahnya bila subuh menyulut.

Tapi lada hanya penyedap rasa.

Aku mulai melangkah
ingin membasuh muka
di sungai Semaka
Dan air sungai berwarna cadas.

Catatan:
1. seganlah kalian di tanah ini



Menjaga Cinta di Teluk Kiluan
Ahmad Musabbih

Kalau cinta ingin tetap terjaga
tengolah teluk berbunga
yang mengasingkan jantung
dari denyut kota

Di lubuk yang dijaga bukit-bukit
di teluk permohonan
tak ada yang dapat kucatat
juga kugambar
selain hati yang terus bergetar
berdebar oleh angin yang berpusar
dari hulu ke hilir
seperti sebelum kukulum bibir
yang rindu.

Di sini ada yang begitu terasa
ketika kau sisir pasir
pada pantai yang terus melambai
dengan barisan pohon kelapa
lalu degup jantungmu
dalam sajak
meluncur ke labiring laut
memanggil lumba-lumba
dan betapa cinta benar-benar
berakar dari pesoalan gelombang
yang berdebar antara bibir dan labirin.

Kemudian sekeping hatimu
juga hatinya nampak
pada kiluan laut
yang tak ingin surut
meski tersimpan dalam
dadamu yang berbaju
tetapi cinta akan tetap terjaga
di lubuk teluk
yang dijaga bukit-bukit

2010



Kenangan Bersama Ibu
Widya Karima

Way Lalaan, Way Lalaan
Aku pernah melihat di matanya ada bulan
Way Lalaan, Way Lalaan
Bulan isyarat cinta laksana intan

Airmu deras terjun mengucur sukma rasa rindu
Ketika dulu aku kecil bermain di sana bersama ibu.

===========
Oky Sanjaya, lahir di Pekon Sanggi, Bandarnegeri Semuong, Tanggamus, 13 Oktober 1988. Kini sedang belajar di FKIP MIPA Unila. Buku puisinya: Di Lawok, Nyak Nelepon Pelabuhan (BE Press, 2009).

Ahmad Musabbih, lahir di Tegal, 9 September 1985. Alumnus Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia, FBS Universitas Negeri Yogyakarta. Beberapa puisinya masuk ke dalam berbagai antologi bersama.

Widya Karima, nama pena dari Dini Widya Herlinda, lahir di Curup, 28 Februari 1989. Mahasiswi Teknik Radiodiagnostik dan Radioterapi Kemenkes Semarang. Karya-karyanya dimuat berbagai media.

GELIAT SASTRA LOKAL

[Khususon Jombang, Wabil khusus Fahrudin Nasrulloh]
Nurel Javissyarqi*
http://sastra-indonesia.com/

Sebelum jauh menelusuri judul di atas, diriku teringat awalkali melangkahkan kaki ke tanah Jombang, tahun 1993. Dari rumah di Lamongan, aku persiapkan niat menimba keilmuan mengeruk ketololan demi semakin menginsyafi kebodohan. Terbayang di kepalaku sosok-sosok insan ampuh pada daerah kan kudiami, para pejuang serta penyebar ajaran Islam; KH. Hasyim Asy’ari, KH. A. Wahab Hasbullah, KH. Bisri Sansuri, dan tokoh-tokoh masih hidup dikala itu; Abdurrahman Wahid, Nurcholish Madjid, serta tidak terkecuali budayawan Emha Ainun Nadjib, yang sampai kini menyetiai lelakunya mengayomi rakyat jelata, masyarakat pedalaman.

Setiap langkah kubaca tanda kan terjadi, kusapa dedaunan terlintas di pinggir jalan; jalur ini kelak laluan sering kulewati. Pun menyimak gemawan sambil merasai apakah pribadiku tergolong dirahmati menggapai cita. Demikian memasuki kota lain, diuntit bayang-bayang masa silam; penjajahan di Bumi Pertiwi juga nasib apakah yang bakal menimpa bangsa ini. Aku lebih suka menyuntuki alam raya, ialah lelembaran catatan yang tiada membohongi. Tentu melewati lelatihan, mengidentifikasi kemungkinan atas periodisasi, sedari sanalah perkiraan tepat searah.

Aku terkagum kualitas anak-anak bangsa yang dilahirkan di bencah tandus berpasir, dataran Jombang serupa Ponorogo yang gersang atau Cirebon bagian selatan. Terus kepalaku menggeliat, mengira-ira jikalau di jaman dulu, ada sebuah gunung besar meletus, lantas tinggal sisa-sisa abunya. Pun tak kurang teringat kabar kudengar semasa sekolah dasar, semisal wilayah berbasis agamis, biasanya berdampingan kaum begundal.

Kontradiksi itu menerbitkan pemahaman, kawasan makmur pemikiran, tentu ada tirakat lahir sejenis kemiskinan, yang ditancapkan unen-unen orang utama; ilmu kan mendekati yang berpayah-payah. Juga benturan hawa religiusitas tak berhembus kuat, jikalau tiada tekanan sedari kebalikannya. Lalu terngiang keramaian pasar, tempat segala keteledoran, yang di sebelahnya, syiar Keilahian ramai berkumandang.

Jombang kota santri, begitu orang-orang menyebutnya. Ini tak bisa dipungkiri, ada puluhan, bahkan ratusan pesantren jika ditelisik dari kecil-kecil sampai yang tersohor namanya. Adanya sekte-sekte atau mazhab ajaran Islam tersebar di sana, semua memakmurkan nalar iman, mengembangkan khasanah spiritual, mensejahterahkan umat demi nada-nada kebersatuan. Para penimbanya tak sekadar tetangga kota; Malang, Sidoarjo, Surabaya, Lamongan, Bojonegoro, Tuban, bahkan luar jauh; Kebumen, Jogjakarta, Jepara, Cirebon, Jakarta, Banten &ll, disamping tidak sedikit dari luar kepulauan; Aceh, Padang, Samarinda, Makassar, tak terkeculai dari Irian &st.

Fenomena itu menghantuiku yang kuandaikan kota Mesir, akan ruhaniah pengetahuannya, mencurigai kerahasiaan di dalamnya menyembulkan aroma kesturi. Membaca alam sambil memadukan orang-orangnya, menguap embun fikirku memendarkan teka-teki silang-sengkarut mengurai benang kusut. Pelahan-lahan kuamati amis sungainya, bau menyengat pabrik tebu, nuanse kota nanggung, warga etnis Cina dipastikan penggerak perekonomiannya, ini merata pada pulau Jawa, selain di Kota Gede, Jogjakarta.

Selama tiga tahun kupelajari kota tersebut demi membaca pantulan wewajah serupa, seperti daerah-daerah di pelosok Tanah Air berlabel Kauman, diambil dari kalimah; kumpulan kaum beriman. Di Jombang aku kerap jalan kaki ke dusun-dusun terpencil, memandang perkebunan tembakau, rumput pepadian kurang subur, kuburan Cina yang mewah, suara klenteng bergaung, bioskop, kadang lelah naik becak jika di kota. Orang tuaku sempat membelikanku sepeda, sehingga leluasa menyinahui pernik mistisnya. Keluar-masuk santren, salam sungkem ke setiap kuanggap ampuh, sampai kuyakini tak keliru pilihanku ke Jombang, sebelum ke Jogja menjejaki pengalaman.

Entah terpaksa atau kebetulan, di pesantren aku tak dapati ruang ekspresikan jiwa di bingkai lukisan, yang sebelumnya terbiasa kalau ada perasaan menggejalai badan, langsung mengguratkan cat minyak di kanvas. Maka bersusah payah, kupindahkan gejolak diri dalam tulisan di lelembaran kertas dengan pena. Bacaanku minim karena sering keluyuran, jelas tidak mendukung polaku menggumuli kata, olehnya tulisan awalku potretan semata, belum menghisap perihal membetot jiwa.

Jalan ini dimungkinkan sebab pangasuh pesantren yang aku diami seorang penulis, penyusun kitab, penerjemah bahasa arab, dimana sehari-harinya tiada waktu istirah; membaca, menulis. Selama tiga tahun aku amati, seakan satu jam paling banter dua jam istirah dalam sehari. Hal tersebut membuatku cemburu, sebagai anak muda tentu tertantang melampaui. Dan kucoba membaca tak henti-henti berhari-hari sampai merasakan keadaan mabuk, hingga sang kiai menyindirku; belajar ya belajar, tapi jangan sampai mabuk.

Kesastrawanan Emha Ainun Najib kian santer bergema, kabar penyair sedari Menturo, Jombang, yang tinggal di Jogjakarta itu menghisap seluruh perhatian, apalagi bagi yang tinggal di kota kelahirannya. Yang mana diriku awal menancapkan niat menggeluti sastra. Buku Emha kubaca, nadhoman pelajaran bersyair mulai menghantui, demi aku loloskan dalam khasana Indonesia, serta semua pendukung kemauanku berbelok, tepatnya menyembuhkan sedari minat lukis yang tidak tersalurkan.

Alam pesantren meraup keilmuan Islami berbalutan lokalitas menjelmakan diri se-istilah Islam Jawa. Apakah sejarah, filsafat, ilmu hitung, perbintangan, mantek &ll, sangatlah mewarnai denyutan Jombang. Tidak ketinggalan susastra sebagai sarana berbahasa dalam penyebaran ajarannya pada kitab-kitab kuning atau klasik, menjadi lagu merdu menyusupnya faham-faham diingini sang pengarangnya.

Olehnya tak dapat disangkal, pesantren salah satu gudang susatra tersembunyi, hanya yang ingin mengangkat ke alam lebih umum, khususnya dalam bahasa Indonesia, tentu tidak terbantahkan. Tak diragukan, karya sastra bercorak Islam di bumi Nusantara, tegak bergoyang rindang sepohonan tinggi tegap melambaikan dedaun hijaunya, sebagai perlambang kemakmuran atas pupuk memberkah para pendahulunya.

Di asrama Al-Aziziyah, diriku adik kelas Moammar Emka, penulis buku “Jakarta Undercover” yang tulisannya kukira kurang berfaedah, jika ditengok sisi keberangkatan dirinya meski sempat meledak, kecuali sekadar informasi bagi insan metropolis yang haus hiburan malam. Padahal dikala itu, Emka sangat tekun belajar berpidato kayak Soekarno di depan cermin, ah menjijikkan sampai terjadi baku-hantam karenanya. Sebelah kamar kami, tepatnya dihuni siswa MAN PK, ada murid bernama Fahrudin Nasrulloh yang sama-sama nantinya melanjutkan sekolah di Jogjakarta seangkatan-ku, tapi aku tak mengenalnya. Hanya selepas kuliah, namanya baru berkibar. Demikian benturan watak bersegenap intrik dalam keseharian, membetulkan nasib masing-masing atas alasan sendiri-sendiri.

Asrama itu diasuh KH. A. Aziz Masyhuri, salah satu karyanya “99 Kiai Pondok Pesantren Nusantara: Riwayat, Perjuangan dan Doa,” Penerbit Kutub, Yogyakarta, 2006. Mungkin atas pantulan keseharian beliau yang kuceritakan di atas, kami bersaing dengan keyakinan serta resiko berlainan. Entah keakrabanku dengan Fahrudin saat kapan, yang teringat sewaktu di Jogja, aku membaca puisi di sanggar Eska, dan kulihat sekelebat bayangnya. Penulis Haris del Hakim asal Lamongan di sana pula, diriku tak mengetahui, ia berkisah di kala keakraban kami berlangsung di kampung halaman, yang bercerita kegembelanku masa itu; lontang-lantung di setiap kampus, tidur di plafon sanggar, mandi di sembarang perguruan tinggi, yang jelas aku menikmatinya.

Agar tak mbelakrak, kembali ke judul semula, tepatnya Fahrudin pulang kampung, pun diriku, dan kami kerap bertemu di Mojokerto. Kegelisahan FN sampai menganggap kota Jombang seperti kuburan, karena dengungan sastrawi berbahasa Indonesia, bukan nadhoman pesantren, sangat minim. Sementara para tokoh kelahiran Jombang banyak berada di luar daerah, entah Jogja, Jakarta pun lainnya. Ia mengutuki nasib tersebut hingga mendekati titik putus-asa, untung teman-temannya masih ada di Jogja, FN bolak-balik menimba kegairahan bersastra demi bumi kelahirannya dan ditanggapi baik Jabbar Abdullah, lantas terbentuk Komunitas Lembah Pring; salah satu wadah yang kini tampak istikomah menampung, menaburkan harum sastrawi Indonesia, sedari tlatah Jombang, banyu santren dinaungi angin bertuah.

Sebenarnya aku kurang nyaman menulis ini, tiada tantangan sekadar mengenang ulang kejadian, namun siapa tahu ada guna di hari kemudian. Selama di Jogja, aku tak menemukan jejak FN, ya dapat dibilang masih untung diriku, pernah direkam surat kabar setempat atas ulasan penulis KRT. Suryanto Sastroatmodjo (almarhum), penyair Hamdy Salad membahas berdirinya KSTI (Komunitas Sastrawan Tugu Indonesia) yang kugerakkan bersama Y. Wibowo, Akhmad Muhaimin Azzet &ll, sedang penyair Edeng Samsul Maarif asal Cirebon, mengudar terbitnya buku keduaku (yang pertama stensilan bertitel “Sarang Ruh”) kedua berlabel “Balada-balada Takdir Terlalu Dini.”

Pun aku tak mengetahui persis proses kreatif novelis A. Syauqi Sumbawi di kota pelajar itu, baru aku mengenalnya disaat pertemuan sastra di tanah kelahiran kami, Lamongan. Dari jejak kuketahui, FN bukan yang pertama mengobarkan susastra di Jombang, setidaknya alumnus Pesantren Tebuireng, sastrawan Zainal Arifin Thoha (almarhum) sempat mengajakku mengisi acara di Pesantren Tambak Beras, juga kampus Unipdu, lingkungan santren Darul Ulum, Rejoso, Jombang 2004-an. Dan Gus Zainal menemukan bibit unggul sedari santren Tambak Beras, cerpenis Azizah Hefni, yang kini bersuamikan penyair Ahmad Muchlish Amrin.

Sedangkan pecahnya kegelisahan FN dengan terbentuknya Komunitas Lembah Pring baru kemarin tahun 2007-an, ada semacam sistem waktu datangnya betapa lamban, tetapi sangat kuat aromanya di setiap tikungan tajam. Ah, jadi teringat diriku bersama FN mengisi acara di UIN Malang; menyusuri jalan-jalan tanjakan penuh guncangan mawas disaat-saat embrio komunitasnya mematangkan tekad, aku hanya mengamatinya sejarak penciuman.

Kalau membahas sastra lokal sangatlah semarak, gayeng istilah Jogjanya, namun ada hal kurang kusukai, tatkala muncul bayang-bayang senioritas, pengaku-akuan yang kurang penting, terpenting wujud capaiannya; gugusan karya. Di Lamongan sendiri dapat dicatat yang berkarya kian menggeliat, novelis A. Syauqi Sumbawi, Rodli TL, A. Rodli Murtadho, penyair Imamuddin SA &ll. Mereka tergabung dalam Forum Sastra Lamongan, yang kini tak jelas nasibnya, sebagian ke luar kota meneruskan sekolah, ada yang menikah dapat luar daerah, hanya beberapa kali bertemu sapa di dunia maya.

Khususon Jombang, setelah bergulirnya agenda Geladak Sastra pada Komunitas Lembah Pring, dapat dicatat nama-nama selain Fahrudin Nasrulloh, adanya Jabbar Abdullah, Dian Sukarno, Sabrank Suparno, Agus Sulton, Siti Sa’adah, &ll. Kini izinkan diriku membatek ruhaniah geliatnya sebagai penutupnya;

Tak sia-sia bolak-baliknya Networker Kebudayaan Halim HD, sastrawan Fahmi Faqih ke Jombang sekitarnya, mengompori cerpenis Fahrudin Nasrulloh, demi membakar diri dalam api tungku pekuburannya. Kebertemuan tidak rutin tapi dijubeli debat sengit, mematangkan denyut kesusastraan di daerah, menjelma tonggak-tonggak, semoga mampu membentengi pusaran memusat menjadi lebur, tertinggal mensaktikan karya masing-masing. Sebab tiada guna meniupi nama-nama melambung, tapi nyata karyanya kacangan, tak berani dipertanggungjawabkan depan umum, mimbar pengadilan, tidak sekadar tepuk tangan panjang, yang mencipta ketawa terpingkal-pingkal di kesunyian kamar.

FN disokong bacaannya sejak di Denanyar, didukung perpustakaan pribadinya, kukira cukup untuk sementara waktu, sebab rasa haus berbaca tak kan tuntas sebelum memasuki liang lahat. Gejolak pencarian keilmuannya menghipnotis, menularkan minat baca tulis, bagi yang sudah, kian meningkatkan obor kreativitas di tiap ubun-ubun kawan-kawannya menyaksikan tingkah pakolahnya urakan, namun juntrung dalam penulisan. Aku tersenyum saja, kala ia sms padaku mengenai menumbuhkan gairah menerus, saat itu aku curiga semangatnya melemah atau diriku sangking percaya perhatian padanya.

FN yang kini dipandang, kerap diundang acara pertemuan-pertemuan sastra di JaTim, maupun luar daerah, aku kira tak perlu lagi bakar-bakaran semangat, jika masih namanya kebacut. Darinyalah, belantikan sastra Jombang untuk bumi Nusantara mendapati tempat, mulai kerap diperbincangkan, ia telah kubur mitosnya sendiri, yakni Jombang pekuburan.

Sebagai esais tak diragukan lagi, dan sosok peneliti cukup handal mengangkat pernik-pertikaian tradisi, sedari dunia pesantren hingga kesenian ludruk. Beberapa bukunya telah terbit, “Syekh Branjang Abang” Pustaka Pesantren, 2007, “Geger Kiai” Pustaka Pesantren, 2009 &ll. Hampir semuanya berdaya kontemplatif luar biasa, perasan ruang-waktu, jejalan peristiwa diselusupkan tak sekadar dalam, tapi menyusup seakaran pepohon menghisap sumber mata air kedalaman hikmah. Dapat dipastikan hasil-hasil kerjanya memberi sumbangsih penelitian kebudayaan, para penulis mendatang untuk mentafakkuri, jika Bumi Pertiwi masih mendambai nilai-nilai adi luhung.

Penulis muda yang menempa hari-harinya berbaca, senantiasa menggenggam sikap kukuh. Jika sifat ini dipelihara, Tuhan Maha Kuasa pasti mendukung langkahnya. Tidakkah bentuk-bentuk istikomah melebihi seribu karomah, para malaikat tertunduk malu kepadanya, pula orang-orang edan memiliki gelombang netral, dapat dipastikan tersetut dinayanya. Manusia-manusia unggul mampu berbicara yang mengisari sekeliling dirinya, berkah ilmu menancapkan tiang pancang, suatu hari nanti turunannya peroleh limpahannya, sedang keikhlasan menggetarkan tiap-tiap persendian jiwa.

Ia kerap berucap kata; “jangan banyak bacot” &ls, sebagai cermin betapa hari-harinya kenyang dijejali gelisah, demi terus menulis, menuntaskan tekad memakmurkan daerah. Mengenai komunitasnya aku masih melihat, sebab banyak sekali nggelimpang atas hal-hal sepele, tetapi jiwa matang tempaan hidup, realitas nalar dipukuli kepahitan, kan selalu mengobarkan juang, apalagi bangsa Indonesia baru “50% Merdeka,” menjumput istilah dari penyair Heri Latief. Dan ruhani kepatriotikan tanah pedalaman Jombang, masih mewangi, ini tak lebih darah para pahlawan tetap segar mendenyuti nadi anak-anaknya, yang taat memegang bara keadilan.

Jombang, 22 November 2010
*) Pengelana dari desa Kendal-Kemlagi, Karanggeneng, Lamongan, Indonesia.

Kisah Sejarah dalam Karya Sastra

I Nyoman Suaka
http://www.balipost.co.id/

MENELUSURI jejak-jejak sejarah perjuangan bangsa, ternyata tidak saja dipelajari dalam buku-buku sejarah, juga dapat diketahui melalui kesusastraan. Tradisi penulisan unsur-unsur sejarah dan kepahlawanan sudah dikenal sejak sastra zaman klasik sampai kesusastraan Indonesia modern. Penulisan kreatif imajinatif itu pun terus berlanjut dalam bentuk novel. Bahkan pakar sejarah Sartono Kartodirdjo mengatakan, keadaan sosial dalam cerita novel digambarkan secara realistis, lebih mendekati kehidupan konkret. Masyarakat tidak dilukiskan oleh si pengarang menurut fantasi dan imajinatif yang bebas.

Karya sastra yang mengandung unsur sejarah banyak dijumpai dalam kesusastraan nusantara dan kesusastraan Indonesia modern. Dalam sastra Jawa Kuna Bali, misalnya dikenal istilah babad yaitu silsilah atau sejarah yang ditulis dalam bentuk sastra. Pun kesusastraan Melayu melahirkan jenis hikayat yaitu sejarah dan cerita kepahlawanan para nabi yang disusun sesuai aturan sastra. Setelah kesusastraan Indonesia mondern, penulisan unsur sejarah ke dalam kesusastraan makin ramai diminati oleh para sastrawan seperti roman “Hulubalang Raja” oleh Nur Sutan Iskandar, “Ken Arok dan Ken Dedes” oleh Mohamad Yamin, “Sandyakalaning Majapahit”, “Airlangga dan Kertadjaya” oleh Sanusi Pane, “Surapati” dan “Robert Anak Surapati” (keduanya oleh Abdul Muis).

Mereka menggarap ceritanya bersumber pada penulisan sejarah sebagai tema atau latar belakang cerita, baik berupa roman, puisi, novel maupun drama. “Hulubalang Raja” adalah sastra berbentuk roman yang mengandung unsur sejarah. Kisah sejarah itu menceritakan peristiwa kedatangan orang-orang Belanda yang pertama datang ke daerah pesisir Sumatera Barat sekitar tahun 1662 sampai 1667. Dalam pendahuluan roman itu diterangkan bahwa segala keterangan dan cerita yang berhubungan dengan sejarah diambil dari buku “De Westkust en Minangkabau” oleh Kroeskamp. Selain itu juga penulisan didasarkan surat-surat kompeni yang tersimpan dalam arsip negara.

Cerita “Surapati” dan “Robert Anak Surapati” oleh Abdul Muis juga menambahkan keterangan serupa dalam bab penutup novel “Surapati”, Abdul Muis menulis, “Demikianlah riwayat kehidupan Surapati yang terambil catatan sejarahnya dari buku-buku sejarah yaitu ‘Babad Tanah Jawa’ oleh F.W. Stapel, ‘Sejarah Indonesia’ oleh Sanusi Pane dan ‘Si Untung’ oleh Melati Van Jaya.” Pengarang Sanusi Pane juga senang dan kreatif mengolah bahan-bahan sejarah sehingga sukses menyusun naskah drama “Sandyakalaning Majapahit”, “Airlangga” dan “Kertadjaja”. Demikian juga Mohamad Yamin dalam naskah “Ken Arok dan Ken Dedes” yang bersumber dari peristiwa sejarah kerajaan Singasari dan Tumapel.

Faktual dan Fiksional

Dalam membicarakan unsur sejarah dalam karya sastra, perlu diingat, tidak semua kisahnya dapat diterima sebagai fakta sejarah yang bisa dijadikan bahan penulisan sejarah. Harus dibedakan antara penulisan sejarah dan penulisan karya sastra yang memakai bahan sejarah. Pada penulisan sejarah, pembaca menemukan kenyataan faktual, sedangkan pada penulisan karya sastra yang bersumber sejarah, pembaca menemukan kenyataan fiksional. Dalam kenyataan fiksional, pengarang memegang peranan penting dalam penulisan atau penceritaan serta berimajinasi sebagaimana layaknya sebuah karya sastra. Meski begitu, fantasi dan imajinasi pengarang masih dalam batas koridor sejarah. Bukan bebas tanpa batas.

Kisah sejarah dalam karya sastra sempat mengundang polemik di media massa nasional di tahun 1972. Ketika itu dua orang produser film sama-sama ingin menggarap kisah pahlawan Untung Surapati ke karya film. Produser yang satu mengangkat kisah Surapati dari naskah yang disusun oleh Drs. Budiaman, Cs., sedangkan yang lain dari novel “Surapati” karya Abdul Muis. Kedua produser film itu sempat bersengketa karena masing-masing bertahan untuk memfilmkan cerita yang sama. Silang sengketa itu sempat ditangani pihak Persatuan Produser Film Indonesia (PPFI), namun tetap menemui jalan buntu.

Pihak PPFI selanjutnya melaporkan masalah itu kepada lembaga Sejarah dan Antropologi Depdikbud. Lembaga ini, setelah melalui diskusi panjang, menyimpulkan bahwa naskah versi Budiaman Cs. mempunyai nilai-nilai historis yang sangat kuat dan lebih murni dibandingkan naskah novel Abdul Muis. Karya Abdul Muis, menurut penilaian PPFI, lebih banyak menceritakan sejarah hidup dan tokoh Untung Surapati secara fiktif dan nonhistoris. Naskah mana yang layak difilmkan, lembaga Sejarah dan Antropologi dibawah koordinator Drs. Jemen, M.Sc tidak memberikan keputusan yang tegas. Pihaknya menyarankan agar kedua produser film itu untuk bersama-sama menggarapan film Surapati. Saran tersebut nampaknya tak digubris dan kabar film itupun akhirnya takjuga jelas.

Perbedaan itu hendaknya dapat ditinjau dari keperluan penulisan dan latar belakang kehidupan penulisnya. Naskah versi Budiaman disusun berdasarkan aturan penulisan sejarah murni, sedangkan naskah Abdul Muis ditulis dengan kriteria sebuah karya sastra. Tentunya unsur imajinatif dan kenyataan fiksional tidak bisa diabaikan begitu saja. Akhirnya wajar saja, tim penilai dari lembaga Sejarah dan Antropologi Depdikbud waktu itu menilai naskah Budiaman lebih otentik. Di samping itu, penulisnya sendiri adalah seorang staf pengajar jurusan Sejarah IKIP Bandung, bukan seorang sastrawan seperti Abdul Muis.

Akal Sastra

Penulisan unsur-unsur sejarah ke dalam karya sastra, bukanlah sekadar laporan peristiwa bersejarah. Akan tetapi, merupakan kenyataan dan rekaan yang bercampur-baur. Kenyataan sebagai fakta sejarah diceritakan dihiasi oleh pengarang agar menimbulkan greget di kalangan pembaca. Segala akal sastra yang menyangkut nilai estetis, informatif, edukatif dan moral digunakan oleh pengarang untuk meyakinkan pembaca. Tak ketinggalan juga sifat karya sastra yang menghibur selalu diperjuangkan oleh sastrawan. Dengan demikian, sidang pembaca tidak cepat bosan membaca karya sastra sejarah itu. Beberapa kriteria penulisan itu tidak dijumpai dalam penulisan sejarah murni.

Itulah sebabnya, maka sampai kini produk-produk sastra yang bernafaskan sejarah dan kepahlawanan mampu bertahan sampai di hati pembaca seperti judul-judul karya sastra yang telah disebutkan tadi. Bahkan novel “Surapati” karya Abdul Muis tidak saja terkenal di tanah air, juga populer di luar negeri. Novel sejarah itu telah diterjemahkan ke dalam bahasa Kirgis, Ubheckestan dan Kazaghstan. Masyarakat di negara-negara itu sangat simpati dengan perjuangan seorang budak yang bernama Surapati. Masyarakat setempat punya sejarah yang kelam tentang perbudakan dan punya kemiripan dengan perjuangan Untung Surapati — seorang budak belian yang berasal dari Bali.

Penulisan sejarah murni berdasarkan historiografi justru sebaliknya sering mendapat tanggapan dari masyarakat seperti sejarah G 30 S/PKI, seputar Proklamasi, Serangan Umum Kota Yogjakarta dan Supersemar. Peristiwa-peristiwa sejarah itu dinilai oleh banyak orang telah dibengkokkan dari fakta sejarah. Kejadian sejarah kemungkinan diwarnai rekayasa untuk kepentingan pihak-pihak tertentu. Ada baiknya perlu diadakan penelusuran kembali sejarah, bukan penulisan kembali, dengan menoleh karya-karya sastra sejarah.

Radikalisme Günter Grass dan Sastra Kita

Sigit Susanto *

Radikalisme Grass

Menilik karya-karya peraih nobel sastra Jerman tahun 1999, Günter Grass dan sepak terjangnya, hanya terdapat satu kesan kata: radikal. Grass yang hanya sekolah sampai di usia 15 tahun, mengaku menekuni sastra secara otodidak. Usai Perang Dunia II (1948-1952), baru ia melanjutkan sekolah jurusan pahat dan grafis di Akademi Seni Düsseldorf. Sebagai seorang penulis, punya tambahan tiga kegiatan seni lain, yakni pemahat patung, melukis dan grafis. Keempat kegiatan itu dilakukan silih berganti dan saling melengkapi. Ketika ia menggarap novelnya “Genderang Kaleng“ (Die Blechtrommel) yang memakan waktu selama 4 tahun, untuk menambal kebutuhan ekonominya dengan kerja memahat nisan di kuburan.

Puisi-Puisi Emha Ainun Nadjib

http://sastra-indonesia.com/
SELAMATAN

telah kuikhlaskan rasa sakit itu sebelum terjadi
ketika dan sesudahnya

telah kutaburkan di wajahmu wewangian kembang
dan kupanjatkan doa ampunan bagimu

tapi aku tak berhak mewakili hati rakyatmu
sebab tenaga untuk menegakkan kakiku sendiri ini
kupinjam dari mereka

aku tak memiliki harkat kedaulatan mereka
serta tak kugenggam kuara nurani mereka
yang diterima dari Tuhan

oleh karena itu
jika engkau mengharapkan keselamatan di esok hari
temuilah sendiri ruh mereka

kalau matahari digelapkan
kalau tanah titipan dirampas
kalau udara disedot
kalau malam disiangkan dan siang dimalamkan
kalau hak akal sehat dibuntu
hendaklah siapapun ingat bahwa aku tak berhak menawar
apa sikap Tuhanku atas kebodohan itu
oleh karena itu
jika engkau masih mungkin percaya
bahwa engkau butuh keselamatan esok pagi
ketuklah sendiri pintu Tuhan yang sejak lama
mengasingkan diri dirumah nurani rakyatmu

1994



AKU MABUK ALLAH

aku mabuk allah
semata-mata allah
segala-galanya allah
tak bisa lain lagi
aku mabuk allah
lainnya tak berhak dimabuki
lainnya palsu, lainnya tiada
nyamuk tak nyamuk
kalau tak mengabarkan allah
langit tak langit
kalau tak menandakan allah
debu tak debu
badai tak badai
kalau tak membuktikan allah
kembang tak mekar
api tak membakar
kalau tak allah
mabuklah aku mabuk allah
tak bisa lihat tak bisa dengar
cuma allah cuma allah
kalau matahari memancar
siapa sebenarnya yang menyinar
kalau malam legam
siapa hadir di kegelapan
kalau punggung ditikam
siapa merasa kesakitan
mabuklah aku mabuk allah
kalau jantung berdegup
siapa yang hidup
kalau menetes puisi
siapa yang abadi
allah semata
allah semata
lainnya dusta

*) Dari Kumpulan Puisi “Doa Mohon Kutukan” Risalah Gusti 1995



ANTARA TIGA KOTA

di yogya aku lelap tertidur
angin di sisiku mendengkur
seluruh kota pun bagai dalam kubur
pohon-pohon semua mengantuk
di sini kamu harus belajar berlatih
tetap hidup sambil mengantuk
kemanakah harus kuhadapkan muka
agar seimbang antara tidur dan jaga ?
Jakarta menghardik nasibku
melecut menghantam pundakku
tiada ruang bagi diamku
matahari memelototiku
bising suaranya mencampakkanku
jatuh bergelut debu
kemanakah harus juhadapkan muka
agar seimbang antara tidur dan jaga
surabaya seperti ditengahnya
tak tidur seperti kerbau tua
tak juga membelalakkan mata
tetapi di sana ada kasihku
yang hilang kembangnya
jika aku mendekatinya
kemanakah haru kuhadapkan muka
agar seimbang antara tidur dan jaga ?

Antologi Puisi XIV Penyair Yogya, MALIOBORO, 1997



BEGITU ENGKAU BERSUJUD

Begitu engakau bersujud, terbangunlah ruang
yang kau tempati itu menjadi sebuah masjid

Setiap kali engkau bersujud, setiap kali
pula telah engkau dirikan masjid

Wahai, betapa menakjubkan, berapa ribu masjid
telah kau bengun selama hidupmu?

Tak terbilang jumlahnya, menara masjidmu
meninggi, menembus langit, memasuki
alam makrifat

Setiap gedung, rumah, bilik atau tanah, seketika
bernama masjid, begitu engkau tempati untuk bersujud

Setiap lembar rupiah yang kau sodorkan kepada
ridha Tuhan, menjelma jadi sajadah kemuliaan

Setiap butir beras yang kau tanak dan kau tuangkan
ke piring ke-ilahi-an, menjadi se-rakaat sembahyang

Dan setiap tetes air yang kau taburkan untuk
cinta kasih ke-Tuhan-an, lahir menjadi kumandang suara
adzan

Kalau engkau bawa badanmu bersujud, engkaulah masjid
Kalau engkau bawa matamu memandang yang dipandang
Allah, engkaulah kiblat

Kalau engkau pandang telingamu mendengar yang
didengar Allah, engkaulah tilawah suci

Dan kalau derakkan hatimu mencintai yang dicintai
Allah, engkaulah ayatullah

Ilmu pengetahuan bersujud, pekerjaanmu bersujud,
karirmu bersujud, rumah tanggamu bersujud, sepi
dan ramaimu bersujud, duka deritamu bersujud
menjadilah engkau masjid

1987

===========
Emha Ainun Nadjib, lahir 27 Mei 1953 di desa Menturo, Jombang, Jawa Timur. Tokoh intelektual yang mengusung nafas Islami di Indonesia. Pendidikan formalnya berakhir di semester I Fakultas Ekonomi, Universitas Gadjah Mada. Sebelumnya ‘diusir’ dari Pondok Modern Gontor Ponorogo, sebab melakukan ‘demo’ melawan pemerintah, pada pertengahan tahun ketiga studinya, pindah ke Yogya dan tamat SMA Muhammadiyah I. Istrinya kini Novia Kolopaking, seorang seniman film serta penyanyi. Lima tahun menggelandang di Malioboro, Yogyakarta (1970-1975), belajar sastra kepada guru yang dikaguminya, Umbu Landu Paranggi. Mengikuti lokakarya teater di Filipina (1980), International Writing Program di Universitas Iowa, Amerika Serikat (1984), Festival Penyair Internasional di Rotterdam, Belanda (1984) dan Festival Horizonte III di Berlin Barat, Jerman (1985). Aktivitas rutin bulanan bersama komunitas Masyarakat Padhang mBulan, berkeliling ke berbagai wilayah di Nusantara [diramu dari http://id.wikipedia.org/wiki/Emha_Ainun_Nadjib]

Puisi-Puisi Eka Budianta

http://www.suarakarya-online.com/
Kenangan Pramoedya
(6 Februari 1925 – 30 April 2006)

Kamu mencintai tulang dan pori-pori
Bumi kelahiranmu dan semua bangsa
Para korban kebodohan yang terlupa

Tetapi ketika kautulis kebenaran
Kamu dijebloskan ke penjara
Buku-buku dan pembacamu teraniaya

Akan kukenang Pramoedya
Dengan seluruh keangkuhan saudaraku
Yang tidak sanggup memahami & mencintaimu

Di langit hatiku hujan telah reda
Tinggal namamu tertulis dan bersinar
Menagih cintaku pada bumi manusia

(2006)



Perjalanan Sungai

(1)
Sungai yang dulu menangis
Di antara batu-batu di pegunungan
Sekarang telah sampai di kota
Dan akan terus menuju ke laut

Tak lagi terdengar derai air terjun
Udara sejuk, nyanyian burung, semerbak bunga
Telah berganti panas terik dan polusi
Sampah, minyak bekas, ikan-ikan mati

Tapi aku terus mengalir
Menyilakan kapal-kapal berbeban berat
Masuk dari muara
Menyambut hangat hempasan ombak dunia

(2)
Sungai-sungai kecil, sungai-sungai besar
Bergelora dalam hidup singkat ini
Pegunungan dan air terjun memanggil
Burung-burung mencicit
Menyulut awan putih
Menjadi lautan menyala
Menyepuh nama-namamu

Kota-kota kecil, kota-kota besar
Gemuruh dalam sunyi hati
Burung-burung menyayat sungai
Mengalirkan cinta
Di ambang usia saat butir-butir pohon
Menunggu undangan dari langit yang kekal

(2003)



Sebelum Laut Bertemu Langit

Seekor penyu pulang ke laut
Setelah meletakkan telurnya di pantai
Malam ini kubenamkan butir-butir
Puisiku di pantai hatimu
Sebentar lagi aku akan balik ke laut.

Puisiku – telur-telur penyu itu-
mungkin bakal menetas
menjadi tukik-tukik perkasa
yang berenang beribu mil jauhnya
Mungkin juga mati
Pecah, terinjak begitu saja

Misalnya sebutir telur penyu
menetas di pantai hatimu
tukik kecilku juga kembali ke laut
Seperti penyair mudik ke sumber matahari
melalui desa dan kota, gunung dan hutan
yang menghabiskan usianya

Kalau ombak menyambutku kembali
Akan kusebut namamu pantai kasih
Tempat kutanamkan kata-kata
yang dulu melahirkan aku
bergenerasi yang lalu

Betul, suatu hari penyu itu
tak pernah datang lagi ke pantai
sebab ia tak bisa lagi bertelur
Ia hanya berenang dan menyelam
menuju laut bertemu langit
di cakrawala abadi

Jakarta, 2003

Eka Budianta lahir di Ngimbang, Lamongan, Jawa Timur, 1 Februari 1956. Penulis produktif ini mengenal secara pribadi Pramoedya Ananta Toer sejak 1983. Kedekatannya dengan Pramoedya dituangkan dalam buku “Mendengar Pramoedya” tahun 2005. Karya terakhirnya Eka Budianta Mekar di Bumi terbit tahun 2006.

Selasa, 07 Desember 2010

Beringin Cinta

Joni Ariadinata
http://joniariadinata.wordpress.com/

Langit menepi. Malam pasti basah. Suara sirine melengking dalam jauh: lamat, dan menyakitkan. Irene memindahkan chanel televisi, berisik, berpindah-pindah; lalu ia matikan. Klik. Sepi. Beranjak ke kamar, melihat kaca: tak ada senyum. Bunga kacapiring di luar jendela bergoyang-goyang. Malam pasti basah. Malam pasti…“Irene. Irene. Irene…”

Fajar merekah. Dia tak datang. Malam gelap selalu tempatnya rindu. Tapi pagi keburu datang: matahari terang tak ada hujan. Telepon di kamar Irene berdering nyaring. “Angkat Irene! Pagi belum hilang alatmu sudah berisik. Bangun, Cah Ayu!” Suara Mama menggedok pintu. Dok-dok, dok-dok. Trilili. Gadis manis terbang merajuk. Jendela terbuka blak-blak kreot dan Mang Udin tersenyum di bawah menyiram bunga. “Pagi Nona!” lugu. “Pagi,” sewotlah ia. Kring-kring telepon kembali berdering, lari, disaut Nona seenak hati: “Eh lu! Entar datang kagak? Hua-ha-ha. Jam sembilan yo? Di kantin. He’em! Yap. Sip. Sip. Gua belon mandiiii.”

“Bibiiiik,” renyah Irene memanggil di kamar mandi. Bik Zubaldah berlari zig-zag meletak sapu: “Ada apa Non?”

“Handuuuuk!”

Geleng-geleng. Bunga kacapiring digoyang Udin. Sisa bunga kemarin layu dan jatuh. Ada suara Parta memanaskan mobil. Berita televisi nyaring melengking di ruang tengah. Mama teriak. Bik Zubaldah mencuci, menakar rinso. Dan angin mendesau debu di luar jauh. Kabel-kabel listrik. Jalanan ramai sedari subuh. Tak pernah teduh.

“Mamaaah, Irene pergiii. Kuliah!”

***

“Di Florida, kampusnya sama. Ada banyak pohon, tapi bukan beringin, ha-ha! Di bawahnya, tentu, di bawah pohon saat istirahat, banyak mahasiswa berkumpul, baca buku dan diskusi. Di sini, juga sama. Ha-ha. Di bawah pohon, mahasiswa ngumpul-bergerumbul untuk ngibul dan main gaple! He-he…” Nyengingis. Segerombol orang nyekakak: “Apa lu pernah ke Florida? Mahasiswa kok rajin amat, pake baca buku di bawah pohon.”

“Nggak. Itu kata Taufiq Ismail di televisi.”

“Djancuk! Suka-suka dia lah. He, lu lihat Aida kemarin kan? Asu. Ujian baca puisi di kelas pake nungging segala. Jelas, mata Pak Dorbi tak bisa dikibulin. Pasti nilainya bagus. Alamat buruk dah. Siangnya, benar saja dugaanku: dia minta cerai! Putus. Gila. Lu dulu yang ngotot mau sama Aida kan? Ambil dah sekarang. Buntingin aja sekalian. Gua udah bosen. Sumpah!”

Bibit Gondrong penjual es dan kacang ikut nyekakak: aneh? Tidak. Beringin di tengah kampus tempat jualan paling betah; dan siapa nyana. Bibit Gondrong sepuluh tahun ngendon di tempat ini —nyaman tentu saja—; di seberang dua kantin yang makin rame. Bergaul dengan mahasiswa sastra: bangga kenal seniman top yang juga dosen bernama Pak Saudi. Sesekali ikut bikin puisi jelek, biar gaul. He-he. Maklum nyampur mahluk-mahluk aneh yang kadangkala suka nyumpah-nyumpah dosen, maka “jual kacang pun perlu strategi”. Sedikit nyentrik lah, biar akur. Sengaja rambut dibikin gondrong meskipun tetap rapi, sebab siapa tahu ada mahasiswi sastra yang tertarik lalu kawin lalu mau membantu jualan kacang di sini. Bukankah itu nyentrik? He-he. Makanya, Bibit Gondrong tak perlu rikuh untuk sekedar ikut nyekakak. Apalagi topiknya lucu. Biar ikut-ikutan dibilang nyentrik: laris, akrab merasa ikut top. Toh tetap saja tak ada apa-apanya dibanding mereka. Lihat saja: ada yang bangga celananya tak pernah dicuci dua tahun (he?), ada yang laki-laki gondrong tak perlu keramas, ada yang ngaku penyair maka jarang kuliah celana robek-robek jaket bau tak pernah bawa buku, ada cewek-cewek sukanya mamerin celana dalam belakang lalu… ada yang bunting dan tetap saja bunting tak mau kawin. Lengkap. Kayaknya, dunia memang makin asyik dan ribut. Amit-amit.

Burung pipit jatuh, plak! ditembak Amin Wangsitalaja, tersenyum bangga seperti jagoan (zaman model apa lagi ya Tuhanku yang lugu, ada mahasiswa ke kampus membawa senapan angin?). Angin menyiut dari arah perpustakaan, nun, duapuluh meter di atas puncak hampir menyentuh langit —sehingga orang dengan enggan menyebutnya “atas angin”—; dengan 257 trap tangga berkelok-kelok melewati tingkatan-tingkatan tempat terpenting semacam: (1) gedung bazar pakaian import dan alat kecantikan serta sedikit ramuan tradisional kejantanan Cina, yang dipadu dengan 8 meja biliard, mutlak milik saham para guru yang dipimpin langsung Bapak Rektor Sebagai Pembina; (2) klinik kesehatan serta kamar penerangan KB, poster-poster HIV terbalik, dan alat peraga berupa contoh-contoh kelamin sehat; (3) bersebelahan dengan klinik, adalah Cafe Mahasiswa Abadi Sukses Mandiri (CMASM), tentu, tanggal 27 Juli kemarin café legendaris itu dianggap sukses lantaran berhasil mengundang Inul lengkap beserta Orkes Dangdut Jonita pimpinan Haji Joni; kemudian (nomor 4) setingkat di atasnya adalah deretan kakus, melulu kakus: ada kakus mahasiswa, kakus dosen, kakus pegawai, tukang sapu, sampai satpam dan petugas parkir. Tentu bau tai. Nah, (nomor 5, tingkat gedung paling tinggi) persis di atas gedung kakus itulah letaknya perpustakaan, “Perpustakaan Atas Angin”, tak ada penghuninya, kecuali 2 petugas sial yang sudah peot ditimbun buku-buku yang seluruhnya rusak parah disantap tikus. Tak ada mahasiswa baca buku. Gedung perpustakaan itu lebih mirip tempat setan.

Angin aroma tai yang bertiup dari WC, menghembus pohon beringin, dan pipit kecil mati ditembak Amin Wangsitalaja. Tak ada belas kasihan. Anak-anak masih terus-terusan ketawa. Hidup untuk ketawa. Bunyi tulalat-tulalit SMS. Cup-cup mmmuuuah! Sinar matahari yang payah, debu-debu, kantin yang makin ramai.

Kantinku, kantinmu, kantin kita. Dikelola guru. Depan kampus, persis setelah pintu gerbang seperti lazimnya kantin-kantin di seluruh kampus seantero negeri yang kayaknya mewajibkan mahasiswanya makan sebelum masuk gedung belajar. Mungkin takut kalau mahasiswanya kelaparan ketika belajar sehingga mengganggu kecerdasan. “Makan sebelum belajar adalah baik,” begitu kata guru setiap memulai pelajaran kuliah. Tentu. Dan selayaknya pasar makan yang bermartabat, debat-debat penting sering terjadi di sana: lebih ribut dan agresif dibanding ruang belajar. Wow! Sambil ketawa. Tak harus ada logika. Terus ketawa. Perempuan lelaki, berkeciplak mulut ngomongin pantat mobil kek, atau apalah: handphone, sepatu, parfum ketek, susu susi, dlsb, dlsb, huuuah.

Angin tai masih terasa. Matahari payah nyenggol sedan jeep kijang-krista dan van KIA dari korea. Petugas parkir ngantuk setelah nyedot Dji Sam Soe. Pipit mati diinjak Bardi lantaran kesusu ngejar Intan Dewi Permadi yang lari lantaran marah lantaran malam tadi Bardi lupa nyium padahal Intan Dewi Permadi sudah minta dua kali padahal hari ini ada ulangan. “Heeei pacar!! Tungguuu… Akulah Bardi lelaki yang selalu hadir dalam mimpimu. Aku tulis seribu puisi dalam terik matahari! Dan bulan yang menghirup rindu dalam titik kebekuan batu. Aku cinta padamuuu…” Penyair! Penyair! Orang-orang bertepuk. Bardi terus berlari, merasa hebat seperti penyair. Pacar dipanggil tak peduli, ia ngebut naik krista terbaru. Mungkin berniat bunuh diri. Debu-debu mengepul. Mahasiswa lagi bersorak: Penyair! Penyair! Angin tai, dan matahari payah, ruang kuliah nun jauh di sana. Satmoko terlalu banyak merokok dan meludah. Ada Marno merobek kertas ulangan. Para guru sibuk mengajarkan sesuatu di kelas: entah puisi entah teori, yang jelas para guru sudah menghafalkannya sejak dua puluh tahun lalu.

***

Lelap malam lampu-lampu di jalan. Kota tak juga sunyi. Irene tiba disambut gonggong Doli. Seharian entah, pergi kuliah mampir ke Ratna. Jam dua belas. Di kantin ketemu Dodi. Masuk ruang belajar bersama Dodi. Kencan jam tiga, jam tujuh menyusur pantai. Jam delapan makan di kafe, ikutan nyanyi tralala-trilili. Beli kaos kaki, tisue, dan memilih CD. Lalu keliling, mampir lagi di Ratna. Tengah malam Ratna cuap-cuap, katanya Martin payah, tahu ultah makan malam hanya di loby Sahid.

Ia tanya apakah Irene telat haid? Menggeleng.

Malam basah Irene pulang. Mama tidur Parto membuka gerbang dengan mata rapat. Sunyi di kamar. Melempar diktat, nyetel televisi. Ingat Ratna ia buka celana. Kring-kring tilpun, tulalat-tulalit SMS. Jam tiga. Besok pagi jam sembilan ada kuliah. “Oke, oke. Kita ketemu seperti biasa. Cup-cup.” Ia harus tidur. Tidur untuk membuang umur.

Yogyakarta, 14 Agustus 2003

Label

`Atiqurrahman A Muttaqin A Rodhi Murtadho A. Iwan Kapit A. Purwantara A. Qorib Hidayatullah A. Zakky Zulhazmi A.H.J Khuzaini A.S. Laksana Aang Fatihul Islam Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi WM Abdul Kadir Ibrahim Abdul Lathief Abdul Malik Abdul Wachid B.S. Abdurrahman El Husaini Abidah El Khalieqy Abu Salman Acep Zamzam Noor Achdiat K. Mihardja Adek Alwi Adi Suhara Adnyana Ole Adreas Anggit W. Afrion Afrizal Malna Aguk Irawan MN Agung Dwi Ertato Agus B. Harianto Agus Buchori Agus Himawan Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sulton Agusri Junaidi Agustinus Wahyono Ahda Imran Ahmad Badrus Sholihin Ahmad Fanani Mosah Ahmad Fatoni Ahmad Ikhwan Susilo Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musabbih Ahmad Rofiq Ahmad Sahidah Ahmad Tohari Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sekhu Alex R. Nainggolan Alex Suban Alunk Estohank Ami Herman Amien Kamil Amien Wangsitalaja Aminudin R Wangsitalaja Anastasya Andriarti Andreas Maryoto Anes Prabu Sadjarwo Angela Angga Wijaya Angkie Yudistia Anindita S Thayf Anis Ceha Anjrah Lelono Broto Anton Kurnia Anton Kurniawan Anton Wahyudi Anugrah Gio Pratama Anwar Nuris Aprinus Salam Arie MP Tamba Arif B. Prasetyo Arif Bagus Prasetyo Arif Hidayat Arman A.Z. Arti Bumi Intaran Arys Hilman AS Sumbawi Asarpin Asef Umar Fakhruddin Asep Sambodja Asrama Mahasiswa Aceh SABENA Astrikusuma Asvi Warman Adam Atep Kurnia Awalludin GD Mualif Aziz Abdul Gofar Azizah Hefni Badrut Tamam Gaffas Bagja Hidayat Bagus Takwin Balada Bale Aksara Baltasar Koi Bambang Agung Bambang Kempling Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Bayu Insani Beni Setia Benny Arnas Benny Benke Berita Berita Duka Berita Utama Bernando J. Sujibto Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Blambangan Brunel University London BSW Adjikoesoemo Budaya Budhi Setyawan Budi Darma Budi Saputra Budi Suwarna Bung Tomo Cak Kandar Catatan Cerpen Chairil Anwar Chavchay Syaifullah Cucuk Espe Cunong N. Suraja D. Zawawi Imron Dadang Ari Murtono Daisuke Miyoshi Damanhuri Damhuri Muhammad Damiri Mahmud Danarto Daniel Dhakidae Dante Alighieri Deddy Arsya Dedy Tri Riyadi Denny Mizhar Deny Tri Aryanti Detti Febrina Dharmadi Diah Hadaning Dian Hartati Dian Sukarno Diana A.V. Sasa Dicky Fadiar Djuhud Didi Arsandi Dimas Dina Oktaviani Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Djadjat Sudradjat Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Doddy Hidayatullah Donny Anggoro Dony P. Herwanto Dorothea Rosa Herliany Dr. Muhammad Zafar Iqbal Dr. Simuh Dwi Arjanto Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwicipta Dwijo Maksum Edy A. Effendi Edy Firmansyah Efri Ritonga Egidius Patnistik Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Hendri Saiful Elik Elsya Crownia Emha Ainun Nadjib Endah Sulawesi Endah Wahyuningsih Endang Suryadinata Endhiq Anang P Endri Y Eriyandi Budiman Ernest Hemingway Esai Esha Tegar Putra Eva Dwi Kurniawan Evi Dana Setia Ningrum Evi Idawati Evieta Fadjar F Rahardi Fabiola D. Kurnia Fadelan Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Faisal Kamandobat Faisal Syahreza Faizal Syahreza Fajar Alayubi Fandy Hutari Fany Chotimah Fatah Yasin Noor Fathor Lt Fathurrahman Karyadi Fatih Kudus Jaelani Fatma Dwi Rachmawati Fauzi Absal Festival Sastra Gresik Fikri. MS Fina Sato Fitri Susila Galih Pandu Adi Gde Agung Lontar Geger Riyanto Gerakan Literasi Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Ginanjar Rahadian Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gunoto Saparie Gus Martin Gus tf Sakai Gusti Eka Hadi Napster Haji Misbach Halim HD Halimi Zuhdy Hamberan Syahbana Hamdy Salad Han Gagas Handoko F. Zainsam Hari Santoso Haris del Hakim Hartono Harimurti Hary B. Kori’un Hasan Gauk Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Helwatin Najwa Hepi Andi Bastoni Heri C Santoso Heri KLM Heri Latief Heri Listianto Hermien Y. Kleden Hernadi Tanzil Heru Emka Heru Kurniawan Heru Prasetya Hesti Sartika Hudan Hidayat Humaidiy AS I Made Asdhiana I Made Prabaswara I Nyoman Suaka IBM. Dharma Palguna Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Ida Ahdiah Idayati Ignas Kleden Ihsan Taufik Ilenk Rembulan Ilham Khoiri Ilham Yusardi Imam Cahyono Imam Jahrudin Priyanto Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indah Darmastuti Indiar Manggara Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indrian Koto Irma Safitri Irman Syah Iskandar Noe Istiqomatul Hayati Ita Siregar Iwan Kurniawan Iwan Nurdaya-Djafar Iyut FItra Jadid Al Farisy Jafar M. Sidik Jakob Sumardjo Jamal D Rahman Janual Aidi Javed Paul Syatha Jayaning S.A Jefri al Malay Jihan Fauziah JJ. Kusni Jo Pakagula Johan Edy Raharjo Joko Pinurbo Jokowi Undercover Joni Ariadinata Joss Wibisono Jual Buku Paket Hemat Judyane Koz Juli Sastrawan Junaidi Abdul Munif Jusuf AN Juwairiyah Mawardy Kadir Ruslan Kasnadi Katrin Bandel Kedung Darma Romansha Khairul Mufid Jr Khamami Zada Khrisna Pabichara Kikin Kuswandi Koh Young Hun Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Komunitas Sastra Ilalang Indonesia (KSII) Korrie Layun Rampan Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan) Kristianto Batuadji Kritik Sastra Kunni Masrohanti Kunthi Hastorini Kuntowijoyo Kurie Suditomo Kurnia EF Kurniawan Kuswaidi Syafi'ie Kuswinarto Lan Fang Landung Rusyanto Simatupang Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Liestyo Ambarwati Khohar Linda Sarmili Liston P. Siregar Liza Wahyuninto LN Idayanie Lucia Idayani Lukman Asya Lusiana Indriasari Lynglieastrid Isabellita M Hari Atmoko M. Aan Mansyur M. Arman A.Z M. Bagus Pribadi M. Fadjroel Rachman M. Harya Ramdhoni Julizarsyah M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S M. Luthfi Aziz M. Nahdiansyah Abdi M. Raudah Jambak M. Shoim Anwar M. Yoesoef M.D. Atmaja Maghfur Saan Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Majalah Sastra Horison Maklumat Sastra Profetik Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Serenade Sinurat Mario F. Lawi Marluwi Marsel Robot Martin Aleida Martin Suryajaya Mashuri Matdon Mega Vristian Melani Budianta Melayu Riau Memoar MG. Sungatno Mh Zaelani Tammaka Miftah Fadhli Miftahul Abrori Misbahus Surur Miziansyah J Mochtar Lubis Mohamad Ali Hisyam Mohammad Eri Irawan MT Arifin Mugy Riskiana Halalia Muhajir Arrosyid Muhamad Rifai Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Al-Mubassyir Muhammad Qodari Muhammad Rain Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun A.S Muhidin M. Dahlan Muhlis Al-Firmany Mujtahid Mulyadi SA Munawir Aziz Murniati Tanjung Murnierida Pram Musa Ismail Musfi Efrizal Mustaan Mustafa Ismail N. Mursidi Nafsul Latifah Naskah Teater Nasrullah Nara Nelson Alwi Nenden Lilis A Nh. Anfalah Ni Made Purnama Sari Nina Mussolini-Hansson Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Noura Nova Christina Noval Jubbek Novela Nian Nugroho Notosusanto Nugroho Pandhu Sukmono Nur Faizah Nurdin F. Joes Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nurul Komariyah Nuryana Asmaudi SA Nyoman Tusthi Eddy Nyoman Wirata Oka Rusmini Oktamandjaya Wiguna Oky Sanjaya Olanama Olivia Kristina Sinaga Otto Sukatno CR Pagelaran Musim Tandur Pamusuk Eneste Patricia Pawestri PDS H.B. Jassin PDS. H.B. Jassin Penghargaan Hadiah Sastra Pusat Bahasa Persda Network Pipiet Senja Pramoedya Ananta Toer Pramono Pranita Dewi Pringadi AS Prita Daneswari Prof. Tamim Pardede sebut Bambang Tri Prosa Pudyo Saptono Puisi Puisi Kesunyian Puisi Sufi Puji Santosa PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Wijaya Qaris Tajudin R. Sugiarti Rachmad Djoko Pradopo Radhar Panca Dahana Ragdi F. Daye Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Ramadhan Batubara Ramadhan KH Ratih Kumala Ratna Indraswari Ibrahim Ratna Sarumpaet Raudal Tanjung Banua Remy Sylado Reni Susanti Renny Meita Widjajanti Resensi Restu Kurniawan Retno Sulistyowati RF. Dhonna Rian Sindu Ribut Wijoto Ridwan Munawwar Riki Utomi Riris K. Toha-Sarumpaet Risang Anom Pujayanto Riza Multazam Luthfy Robin Al Kautsar Rodli TL Rofiqi Hasan Rohman Abdullah Rosidi Rosihan Anwar Rukardi S Yoga S. Jai S. Sinansari Ecip S.I. Poeradisastra S.W. Teofani Sabam Siagian Sabrank Suparno Saiful Anam Assyaibani Sainul Hermawan Sajak Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sanggar Rumah Ilalang Sanggar Teater Jerit Sapardi Djoko Damono Sartika Dian Sartika Dian Nuraini Sastra Tanah Air Sastra Using Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sayyid Fahmi Alathas Sazano Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo Seli Desmiarti Selo Soemardjan Senggrutu Singomenggolo Seno Joko Suyono SH Mintardja Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sipri Senda Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Sobih Adnan Sofian Dwi Sofie Dewayani Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sri Ruwanti Sri Wintala Achmad St Sularto Stefanus P. Elu Sukron Abdilah Sulaiman Djaya Suminto A. Sayuti Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sungging Raga Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Suryansyah Suryanto Sastroatmodjo Susanto Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suyadi Suyadi San Syaifuddin Gani Syaiful Amin Syamsiar Hidayah Syarbaini Syifa Amori Syifa Aulia Tajuddin Noor Ganie Taufik Abdullah Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat TE. Priyono Teguh Afandi Teguh Ranusastra Asmara Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Theresia Purbandini Tita Tjindarbumi Titik Alva-Alvi Choiriyah Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tjoet Nyak Dhien Tosa Poetra Tri Lestari Sustiyana Triyanto Triwikromo TS Pinang Tu-ngang Iskandar Tulus S Tulus Wijanarko Udo Z. Karzi Ugoran Prasad Umar Fauzi Ballah Umar Kayam Umbu Landu Paranggi Universitas Indonesia Universitas Jember Utada Kamaru UU Hamidy Vera Ernawati Veronika Ninik W.S. Rendra Wahjudi Djaja Wahyu Hidayat Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Budiartha Widya Karima Wijaya Herlambang Wiji Thukul Willem B Berybe Wilson Nadeak Winarni R. Wiratmo Soekito Wita Lestari Wiwik Widayaningtias Y. Thendra BP Y. Wibowo Yasser Arafat Yeni Ratnaningsih Yohanes Sehandi Yonatan Raharjo Yonathan Rahardjo Yopi Setia Umbara Yos Rizal S Yos Rizal Suriaji Yudhi Herwibowo Yuka Fainka Putra Yurnaldi Yushifull Ilmy Yusri Fajar Yusuf Suharto Zainal Abidin Zainal Arifin Thoha Zawawi Se Zen Hae