Senin, 21 Maret 2011

Sastra Islam dan Kearifan Lokal

Sofie Dewayani*
Republika, 3 Agus 2008

SAAT menghadiri silaturahmi nasional Forum Lingkar Pena (FLP) di Depok, beberapa waktu lalu, saya tertegun oleh semangat yang meluap dari penjuru nusantara. Semangat ini diusung oleh sosok-sosok muda dengan mengarungi laut, bermalam di bus antar kota, hingga menaiki helikopter untuk mencapai kota besar terdekat. Tak tersembunyi oleh kantuk dan penat, energi maha dahsyat ini terpaut bukan oleh kepentingan politik atau uang, melainkan oleh keinginan berkarya dan mencipta.

Anak-anak muda itu terus-terang melontarkan keinginannya untuk belajar menulis, atau sekadar berfoto bersama dan mengoleksi tanda tangan penulis-penulis yang dikenalnya. Belum pernah saya saksikan, setidaknya di Indonesia atau Amerika Serikat, semangat bening yang mengalir deras tak terkontaminasi oleh iming-iming materi atau jabatan.

Setelah sekian lama menggeliat, sastra Islam semakin melembaga. FLP yang dulu diikrarkan di ibu kota Jakarta, kini menghunjamkan cakarnya di seluruh pelosok nusantara bahkan manca negara. FLP tak hanya menjadi lembaga yang besar secara kuantitas, namun juga kaya oleh keragaman.

Multikultural

Berbicara tentang sastra dan semangat multikulturalisme, kita tak bisa mengabaikan internalisasi dan reproduksi budaya dalam proses berkarya. Karya tidak tercipta dalam ruang vakum, menurut Bakhtin, melainkan dilahirkan oleh sebuah dialog. Karya adalah produk ideologis, hasil pergulatan batin penulis, yang merupakan responnya terhadap ideologi atau situasi tertentu.

Dengan kata lain, karya terakumulasikan dari sebuah pengalaman batin, pengalaman lahir, dan pengalaman nalar penulis. Karena pengalaman personal ini sangat spesifik dan bertalian erat dengan konteks budaya, sudah selayaknya apabila sebuah karya bukan hanya mencerminkan keunikan individu, namun juga menggambarkan bagaimana seorang ‘memproduksi’ budayanya.

Budaya tidak lagi dikenal sebagai lingkungan luar (outer layer), atau pola hidup yang terlembaga dalam etnisitas yang mempengaruhi individu. Budaya telah lama dikenal sebagai sesuatu yang dinamis dan organik, sebuah jejaring yang dipintal sendiri oleh manusia (Clifford Geertz, 1969).

Dengan perspektif ini, multikulturalisme tidak saja dimaknai sebagai ruang yang mengakomodasi beragam cara pandang dan cara hidup, tetapi juga ruang yang menghargai subyektifitas manusia dalam memaknai, menafsirkan, dan menciptakan sebuah pemahaman baru dalam pengalaman budayanya.

Interpretasi keislaman pun merupakan bagian dari jejaring pengalaman budaya ini. Keberislaman bukan merupakan tindakan pasif seseorang dalam menerima nilai-nilai, melainkan merupakan upaya produksi dan reproduksi ketika seorang muslim atau muslimah secara aktif memaknai identitas diri, pengalaman budaya dan keislamannya. Keberislaman, dengan demikian merupakan suatu proses yang aktif, unik, dan tidak bisa dipisahkan dari konteks berbudaya.

Sebagai karya yang tercipta dari dialog kontekstual seperti ini, fiksi Islami seharusnya tampil dengan individualitas yang unik dan banyak wajah. Multikulturalisme dalam sastra Islam selayaknya memberi ruang kepada penerjemahan keislaman dalam konteks budaya yang beragam.

Ironisnya, sastra Islam, setidaknya fiksi Islami, masih tersaji dalam tema, gaya penyampaian, dan format fiksi yang seragam. Penyajian ini dikemas dalam budaya populer yang menjadikan genre atau tema tertentu sebagai kiblat penulisan karya. Penulis karya Islami berbondong-bondong menggarap tema yang diprediksi akan diserap dengan cepat oleh pasar. Hal ini tentunya bukan perilaku yang tabu.

Trend perbukuan adalah hal yang jamak bahkan di negara yang budaya literasinya sudah mapan seperti Amerika Serikat. Satu hal yang terabaikan dalam fenomena ini adalah terabaikannya dialog reflektif dalam proses kreatif. Menulis menjadi aktivitas terburu-buru untuk merespons selera pasar perbukuan. Yang sering terjadi adalah, pasar cepat jenuh oleh tema dan gaya penyajian yang relatif seragam, sedangkan selera pasar berubah dengan kecepatan yang tak terduga.

Ayat-ayat Cinta adalah salah satu contoh dialog antara pengalaman personal dan konteks budaya yang dituangkan dalam novel relijius yang unik. Terlepas dari jalan cerita yang bagi banyak kritikus sangat utopis dan tak realistis, novel ini menyajikan perspektif seorang muslim minoritas terhadap keyakinan dan praktek keislaman yang membudaya di sebuah negara Timur Tengah.

Orisinalitas novel ini terletak pada upaya aktif beberapa tokoh utama untuk melakukan reinterpretasi terhadap budaya Islam yang dominan. Kritik Aisha terhadap perlakuan tak adil yang diterima oleh seorang turis non-muslim di dalam kereta menjelaskan hal ini.

Prestasi Ayat-ayat Cinta seketika diikuti secara latah oleh terbitnya buku-buku bertema cinta dengan latar belakang negara-negara Timur Tengah atau setting lain yang eksotik. Sayangnya, dialog multikultural antar beragam pemahaman Islam tidak tereproduksi dengan baik. Banyak penulis yang sekadar memindahkan nama dan jalan cerita kepada setting tertentu tanpa diikuti oleh upaya riset mendalam terhadap keunikan budaya lokal.

Fenomena aktual lain adalah merebaknya kisah fiksi epik sejarah yang juga direspons dengan cukup baik oleh pasar. Buku-buku ini menyajikan kisah petualangan dalam setting sejarah tertentu yang sayangnya, tidak digarap dengan riset yang serius. Dalam genre populer, bahkan tak sedikit penulis yang memindahkan gaya bertutur, penokohan, dan plot khas ibukota ke dalam karya berlatar daerah.

Kenyataan ini menegaskan tereduksinya muatan multikultural dalam karya sastra menjadi sekadar tempelan nama dan lokasi peristiwa tanpa pemahaman dan penafsiran terhadap budaya dan pengalaman “berbudaya” yang seharusnya sarat dengan konflik subyektifitas seseorang dengan lingkungan sosialnya.

Apabila menulis dimaknai sebagai sebuah dialog personal yang merupakan proses pengalaman berbudaya, seharusnya sastra Islam bisa tampil dalam kemasan kearifan lokal yang kental dan beragam. Menulis bukan sekadar kegiatan mengarang cerita (crafting the plot) melainkan sebuah proses interpretasi dan reinterpretasi penulis terhadap fenomena sosial di sekitarnya. Penulis selayaknya menajamkan intuisi sosial ini dan menajamkan kemampuan mengemasnya untuk memikat pembaca.

*) Cerpenis dan pengamat sastra
Sumber: http://cabiklunik.blogspot.com/2008/08/wacana-sastra-islam-dan-kearifan-lokal.html

Minggu, 20 Maret 2011

DIMENSI KETUHANAN DALAM IBLIS DAN KEBINASAAN NEGERI SENJA

Puji Santosa
http://sastra-indonesia.com/

1. Pengantar

Dimensi hubungan manusia dengan Tuhan sering di­gam­barkan secara vertikal atau transendental, yakni manusia se­bagai makhluk dan Tuhan sebagai khalik atau Maha Pencipta. Ba­nyak orang membicarakan hubungan manusia dengan Tuhan sehingga menjadikan hubungan manusia dengan Tuhan sangat mendasar bagi kehidupan manusia di dunia. Sila pertama dari dasar negara Republik Indonesia adalah Ketuhanan Yang Maha Esa tentulah segala sesuatunya selalu bertumpu pada dasar ne­ga­ra tersebut. Jadi, tidaklah mengherankan apabila corak hu­bungan manusia dengan Tuhan itu lebih bersifat hakiki. Mes­kipun demikian, tidak banyak pengarang drama Indonesia modern yang menulis hubungan manusia dengan Tuhan. Hal ini disebabkan oleh adanya kondisi dan situasi politik negeri kita, khusunya pada waktu 1960-an, yakni terjadi tekanan sosial politik dan ekonomi yang lebih dirasakan dominan daripada ketenangan melaksanakan ibadah kepada Tuhan.

Penulisan sastra drama yang kurang memfokuskan pada masalah ketuhanan dalam periode tahun 1960-an itu disebabkan oleh banyak hal, antara lain, (1) tidak adanya kebebasan kreatif dari para penulis drama akibat tekanan para penguasa pada waktu itu, (2) kondisi sosial ekonomi yang belum mapan, (3) kurangnya minat masyarakat terhadap permasalahan ketuhan­an, dan (4) kepekaan masyarakat terhadap permasalahaan kea­gamaan yang dikawatirkan dapat menimbulkan perpecahan di masyarakat akibat persepsi yang salah. Akibat dari itulah se­putar tahun 1960-an hanya muncul dua naskah drama yang bertemakan ketuhanan, yaitu drama Iblis karya Mohammad Diponegoro (1963) dan drama Kebinasaan Negeri Senja karya Mansur Samin (1968). Dua drama itu bertemakan ketuhanan sehingga muncul adanya citra manusia yang beriman kepada Tuhan dan citra manusia yang ingkar dan munafik kepada Tuhan. Tipe manusia seperti itu banyak kita jumpai dalam masyarakat yang multi majemuk ini.

Di tengah kesibukan bangsa kita menghadapi teror men­tal dan politik dari Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat), yang berorientasi pada Partai Komunis Indonesia (PKI) semasa pemerintahan Orde Lama, pada tahun 1963 di majalah Budaya Nomor 1–2, Januari–Februari 1963, terbit sebuah drama yang bertema ketuhanan karya Mohammad Diponegoro berjudul Iblis. Meskipun drama ini merupakan cerita ulang atau saduran dari Kisah Nabi Ibrahim dan anaknya, Ismail (cukilan kisah dari kitab suci), isi drama tersebut cukup memberi keteguhan iman para pembaca ketika mennghadapi teror mental dan politik pada waktu itu. Kehadiran drama tersebut dapat membang­kitkan perjuangan bangsa yang mulia dan luhur berdasarkan pada asas Ketuhanan Yang Maha Esa. Selain itu, kehadiran drama yang bertema ketuhanan tersebut juga dianggap sebagai usaha untuk mengembalikan keimanan yang telah lama hilang akibat situasi sosial politik yang tidak menentu arahnya. Alternatif lain yang ditawarkan Mohammad Diponegoro dalam dramanya Iblis tersebut adalah sebagai suluh bagi masyarakat yang berada di kegelapan dalam perjalanannya atau dalam upayanya mencari dan menemukan Tuhan.

Setelah kita digemparkan oleh situasi politik atas tragedi nasional pemberontakan PKI tahun 1965, baru pada tahun 1968 di majalah sastra Horison tahun ke-3 nomor 4, bulan April, terbit drama karya Mansur Samin berjudul Kebinasaan Negeri Senja. Pada waktu karya drama ini terbit, kita telah memasuki awal pemerintahan Orde Baru yang berarti pula kita memasuki ta­tanan sosial politik dan ekonomi baru yang secara murni dan konsekuen melaksanakan Pancasila dan UUD 1945. Tema ke­tuhanan yang disajikan oleh Mansur Samin dalam karyanya tersebut sesuai dengan jiwa dan pandangan hidup bangsa kita. Mansur Samin yang dilahirkan dari keluarga kecil yang taat beribadah kepada agamanya di Tapanuli Selatan, mencoba mengingatkan kembali akan pentingnya keteguhan atas keya­kinannya kepada Tuhan. Melalui karya drama tersebut Mansur Samin menggambarkan keadaan suatu negeri akan binasa bila orang-orangnya tidak beriman kepada Tuhan. Oleh karena itu, kesombongan dan keingkaran serta kemunafikan manusia yang tanpa didasari oleh rasa keimanan kepada Tuhan akan membuat kehancuran suatu negara. Hal ini jelas bahwa Mansur Samin berniat baik mengingatkan kita agar tetap teguh beriman kepada Tuhan sesuai dengan dasar negara Pancasila.

2. Dimensi Keimanan Manusia Kepada Tuhan

Drama Iblis karya Mohammad Diponegoro berkisah hal keimanan Nabi Ibrahim ketika menerima wahyu Tuhan untuk menyembelih anaknya, Ismail. Sebelum Nabi Ibrahim melak­sanakan niat sucinya sesuai dengan perintah Tuhan, datanglah dua iblis, yaitu Iblis Perempuan dan Iblis Laki-Laki, guna membujuk dan merayu Siti Hajar (istri Ibrahim yang melahirkan Ismail). Iblis bermaksud ingin menggagalkan niat suci Ibrahim untuk menyembelih anaknya melalui bujuk-rayunya Siti Hajar. Namun, usaha demi usaha yang dilakukan Iblis tersebut selalu gagal dan tidak pernah menemui hasilnya. Siti Hajar yang semula dianggap Iblis adalah wanita yang lemah keimanannya kepada Tuhan, ternyata dia adalah seorang wanita yang saleh dan teguh imannya kepada Tuhan. Akhirnya, Iblis itu harus berhadapan dengan Ibrahim dan Ismail sendiri untuk mengga­galkan niat suci Ibrahim tersebut.

Ketika menghadapi Ibrahim dan Ismail, ternyata Iblis itu tidak dapat berbuat banyak seperti yang diinginkannya. Sebagai tokoh manusia yang taat dan teguh beriman kepada Tuhan, Ibrahim dan Ismail terlalu kokoh untuk hanya sekadar digoda oleh Iblis. Ibrahim tetap teguh beriman kepada Tuhan dengan melaksanakan perintah-Nya, yaitu menyembelih anaknya, Is­mail. Keteguhan iman Ibrahim itu diimbangi pula oleh ketaatan anaknya, Ismail. Dalam hal ini Ismail bersedia atau merelakan jiwanya untuk disembelih ayahnya demi keimanannya kepada Tuhan. Ketika menghadapi kenyataan seperti itulah, Iblis ber­tobat dan tidak mengganggu lagi keimanan Ibrahim, Ismail, dan Siti Hajar. Sia-sialah Iblis menggoda keteguhan orang-orang yang beriman kepada Tuhan.

Dari sekelumit ringkasan cerita tersebut dapat diba­yang­kan adanya dua bentuk citra, yaitu (1) citra manusia yang ber­iman kepada Tuhan, dan (2) citra makhluk yang tidak beriman atau ingkar kepada Tuhan. Kelompok pertama diwakili oleh Siti Hajar, Ibrahim, dan Ismail. Kelompok yang kedua diwakili oleh Iblis Perempuan dan Iblis Laki-laki. Sesusai dengan judul esai ini, yaitu “Dimensi Ketuhanan dalam Dra­ma Iblis dan Kebinasaan Negeri Senja”, tokoh yang digambaran atau citra yang dibicara­kan adalah tokoh manusianya, bukan tokoh makhluk yang lain­nya. Dalam pembahasan ini tokoh Iblis tidak dibicarakan karena penulis mengalami kesulitan menentukan posisi tokoh Iblis. Se­bab, tokoh Iblis itu dapat sebagai iblis yang sebenarnya, ma­khluk yang bukan manusia seperti yang diungkapkan dalam kitab suci, dan tokoh Iblis sebagai personifikasi atau lambang manusia yang memiliki watak dan perilaku seperti Iblis. Oleh karena itu, daripada menemui kebimbangan penentuan keber­adaan tokoh Iblis seperti itu maka tokoh Iblis tidak dibicarakan.

Tokoh Siti Hajar digambarkan sebagai seorang istri yang setia dan taat terhadap suami, serta teguh beriman kepada Tu­han. Pada awalnya tokoh Iblis mengganggap bahwa Siti Hajar adalah tokoh yang paling lemah, rapuh, dan mudah digoda sehingga menipis rasa keimanannya kepada Tuhan. Akan tetapi, kenyataannya tokoh Siti Hajar memiliki keteguhan iman yang tidak mudah tergoyahkan oleh bujuk rayu, hasutan, dan godaan Iblis. Setiap godaan yang dilakukan oleh Iblis kepada Siti Hajar selalu berakhir dengan kegagalan. Hal itu terlihat seperti dalam kutipan berikut.

Siti Hajar:
Bagaimana kau bisa tahu?

Iblis Perempuan:
Apa yang tak kuketahui? (Pause) Karena itu aku
datang sebagai sahabatmu, untuk memberi tahu
kau bahwa sia-sia saja kau menanti Ibrahim.
Dia akan meninggalkan kau lagi seperti dulu ia
biarkan kau di sini diserahkan kepada alam yang kejam.

Siti Harjar:
(Seperti pada diri sendiri) Dia tidak akan
berbuat begitu. Ismail ialah kecintaannya.
Lebih dari yang lain. Dia mesti datang kemari.

Iblis Perempuan:
Untuk kembali kepadamu?

Siti Hajar:
Kalau tidak kepadaku tentu kepada Ismail.

Iblis Perempuan:
Tapi Ishak sekarang sudah lahir.
(Pause) Gunakanlah pikiranmu, Hajar.

Siti Hajar:
(Siti Hajar membelakangkan Iblis Perempuan,
kemudian seperti pada diri sendiri)
Ismail dilahirkan karena kehendak Tuhan.
Dia diberi nama Ismail
karena Tuhan telah mendengar doa Ibrahim.
Dan kami ditinggalkan di sini karena kehendak Tuhan juga.
Diserahkannya kepada-Nya,
dan benar Tuhan telah merawat kami dengan karunia-Nya
sampai Ismail menjadi besar.

(Diponegoro, 1963:36) (Ejaan disesuaikan dengan EYD)

Cakapan antara Siti Hajar dan Iblis Perempuan tersebut menggambarkan betapa kuatnya dimensi keimanan Siti Hajar kepada Tuhan. Segala sesuatu yang terjadi di dunia ini tidak terlepas dari kehendak Tuhan. Ibaratnya ia hanya semata-mata sebuah wayang yang dipermainkan oleh Pak Dalang. Ismail terlahir karena kehendak Tuhan. Anak itu diberi nama Ismail juga karena kehendak Tuhan. Demikian halnya dengan dirinya, Siti Hajar, ditinggalkan oleh Ibrahim di sebuah padang pasir yang tandus dan kering juga atas kehendak Tuhan. Jadi, segala sesuatu itu terjadi atas kehendak Tuhan.

Bentuk penyerahan diri sepenuhnya kepada Tuhan me­ru­pakan wujud rasa keimanan yang nyata kepada Tuhan. De­ngan memiliki keimanan yang teguh, bulat, dan kuat itulah Siti Hajar mampu mengatasi godaan Iblis Perempuan. Ia tidak mudah ditaklukan oleh Iblis Perempuan dengan segala bujuk dan rayuannya. Iblis Perempuan kecewa kepada Siti Hajar karena usahanya untuk menggagalkan niat Ibrahim menyem­belih anaknya, Ismail, tidak tercapai. Penggalan cakapan berikut juga menggambarkan betapa kuat dan kokohnya jiwa keimanan Siti Hajar.

Siti Hajar:
(Berseru) Ibrahim! (Perkataannya terhenti setelah
menyadari bahwa ia keliru, yang datang bukan
Ibrahim. Siti Hajar surut.) Siapa kau? Kenapa kau
masuk tidak ketuk pintu terlebih dahulu?

Iblis Laki-laki:
(Tertawa) Ha…ha…ha.., pintu sudah terbuka.
Apa perlunya mengetuk lagi?

Siti Hajar:
Apa maksudmu kemari? Aku belum kenal kau!

Iblis Laki-laki:
Aku kemari karena melihat seorang perempuan cantik
yang sedang bersedih hati.

Siti Hajar:
Jangan kurang ajar padaku!

Iblis Laki-laki:
(Mendekat Siti Hajar) Oh, Hajar.., Hajar!

Siti Hajar:
(Mengancam) Kutampar mukamu yang buruk itu
kalau kau beran mendekat lagi!

(Diponegoro, 1963:37)

Rasa keimanan Siti Hajar yang tinggi itu mampu meng­usir Iblis Laki-laki dari hadapan dirinya. Hal ini dikarenakan Siti Hajar memiliki keberanian, tanpa rasa was khawatir dan takut kepada Iblis tersebut sehinggga membuat si Iblis lari terbirit-birit menjauhi Siti Hajar. Iblis laki-laki merasa kewalahan meng­hadapi Siti Hajar yang semula dianggap remeh, lemah, mudah dirayu, dan tipis keimanannya kepada Tuhan. Namun, kenya­taannya Siti Hajar adalah wanita yang tangguh, tegar, tidak mudah dirayu, dan teguh keimanannya kepada Tuhan. Oleh karena itu, Iblis laki-laki cepat meninggalkan Siti Hajar dan kemudian pergi untuk menggoda Ibrahim. Kedua iblis tersebut menganggap Ibrahim adalah musuh satu-satunya yang ada di dunia ini dan harus ditaklukan. Hal itu dapat diketahui dari ujaran Iblis Perempuan berikut.

Iblis Perempuan:
Sekarang tidak ada di duniia ini manusia
yang menjadi musuhku nomor satu selain Ibrahim.
(Menunjuk kepada Ismail) Lihat! Ayah anak ini
adalah musuhku nomor satu. Ibrahim namanya.
Ibrahim yang dahulu dilahirkan dari benih
seorang pematung berhala! Hah! Kalau kalian
semua seperti Ibrahim, sekarang ini dunia
akan akan aman, damai, dan makmur. (Pause)
Dan kalian baru pantas bisa ketawa!

(Diponegoro, 1963:30)

Ibrahim yang dianggap sebagai musuh nomor satu oleh Iblis adalah seorang yang berjiwa revolusioner. Dikatakan demi­kian karena Ibrahim terlahir dari keluarga penyembah berhala. Ayah Ibrahim adalah seorang pematung dan sekaligus pemuja berhala. Atas jiwa revolusionernya itu Ibrahim dapat mening­galkan kebiasaan ayahnya memuja berhala. Patung-patung bu­atan dan sekaligus sembahan ayahnya itu oleh Ibrahim dihan­cur­kan dan hanya disisakan satu patung besar. Ini merupakan bukti jiwa revolusioner Ibrahim. Ia hanya bertakwa dan beriman kepada Allah. Keteguhan dan keimanan kepada Allah itulah yang membuat diri Ibrahim mampu melawan godaan Iblis keti­ka hendak melaksanakan perintah Allah menyembelih anaknya, Ismail. Kutipan cakapan berikut merupakan bukti keteguhan iman Ibrahim kepada Allah.

Iblis Perempuan:
Ibrahim. Aku hanya mau bilang bahwa aku amat
kecewa dengan kau!

Ibrahim:
(Ketawa) Selamanya kau akan kecewa dengan aku.

Iblis Laki-laki:
Dulu kukira kau seorang ayah yang baik.
Yang cinta betul pada anakmu.
Tadi siang pun, waktu kau bertemu dengan Ismail,
aku masih mengira kau memang ayah yang baik.
Baik sekali. Tapi,
sekarang dengan segala bukti yang ada padamu,
kau ternyata seorang ayah yang amat, dan amat jahat!
(Pause) Ibrahim. (Pause, tiada sahutan) Ibrahim!

Ibrahim:
Teruskan, teruskan!

Iblis Laki-laki:
Ha, bagus. Jadi, kau dengarkan juga omonganku, Heh?
Perkataanmu amat manisnya siang tadi itu, Ibrahim.
Tamasya, tamasya. (Ketawa)
Tentu kau tahu apa maksudmu dengan tamasya.
Kau telah kelabuhi istri dan anakmu.
Tamasya, tamasya! Ismail senang sekali kau ajak tamasya.
Istrimu juga gembira hatinya karena kau
ternyata telah menunjukkan cinta-cintamu yang palsu itu
dengan berlebih-lebih pada Ismail.
Hajar jadi terlupa bahwa Ishak sudah lahir.
Dan ia percaya kau akan ajak Ismail bertamasya.
Ismail pun sama sekali tidak tahu sebenarnya
dia akan kau sembelih di puncak gunung.
Istrimu tidak tahu
anak kesayangannya akan kau habisi nyawanya.
Itulah jahatnya kau sebagai seorang ayah dan seorang suami!
(Pause) Tak ada yang lebih gila
dari seorang ayah yang menyembelih anaknya sendiri.
(Pause lagi, menanti jawaban Ibrahim yang tak juga datang)
Coba tanya hatimu sendiri, Ibrahim.
Hatimu sendiri—
hati seorang ayah dari anak yang tampan dan cerdas.
Tegakah engkau melakukan perbuatan keji itu Ibrahim?
(Membentak) Tegakah?!

Ibrahim:
Aku heran, kau bisa mengatakan sesuatu yang benar.

Iblis Laki-laki:
Kenapa tidak?

Ibrahim:
Biasanya omonganmu dusta melulu.

Iblis Laki-laki:
Jadi, bagaimana?

Ibrahim:
(Tenang dan tegas) Besok pasti kusembelih Ismail.

(Diponegoro, 1963:49–50)

Tokoh Ibrahim yang memiliki dimensi iman yang teguh kepada Tuhan itu tidak akan mempan oleh bujuk dan rayu Iblis untuk mengurungkan niatnya menyembelih Ismail. Meskipun pada hakikatnya omongan Iblis itu ada benarnya sesuai dengan akal sehat, tetapi iman lebih kuat dari sekadar kebenaran akal sehat. Kebenaran yang berasal dari Tuhan adalah mutlak nilai­nya, dan tidak dapat ditawar-tawar lagi. Pada umumnya orang menyebutnya dogma atau aksioma. Adapun kebenaran yang ber­asal dari makhluk lainnya, entah itu manusia atau iblis, ke­benarannya bernilai relatif. Terlebih, kata-kata Iblis berisi dusta melulu dan selalu berlawanan dengan Sabda Tuhan Yang Maha Esa. Oleh karena itu, iman kepada Tuhan yang bulat dan kokoh akan mampu mengalahkan bujuk rayu dari Iblis.

Keteguhan iman Ibrahim tersebut juga diimbangi oleh keteguhan iman Ismail. Meskipun Ismail itu masih kecil dan belum dewasa (masih lugu dan belum tahu membedakan mana yang benar dan mana yang salah berdasarkan akal sehat), tetap memiliki rasa keimanan kepada Tuhan yang teguh dan kuat sehingga mampu mengalahkan godaan Iblis. Berkat keteguhan iman Ismail itulah Tuhan menganugerahkan kebahagiaan kepa­da keduanya dengan mengganti Ismail dengan seekor domba. Gambaran keteguhan iman Ismail itu terlihat dalam cakapan diri Ismail berikut.

Ismail:
Kalau itu wahyu,
tentu Tuhan memang memerintahkan ayah berbuat begitu.
Dan kalau itu merintah Tuhan, jangan ayah ragu-ragu.
Kerjakanlah ayah. Ismail tidak takut apa-apa.
Mudah-mudahan Ismail tetap sabar….

(Diponegoro, 1963:57)

Citra tokoh Ismail yang teguh imannya kepada Tuhan itu mampu mengingatkan dan menyadarkan Ibrahim agar tidak ra­gu-ragu melaksanakan perintah Allah. Ibrahim harus berani meng­hilangkan rasa keragu-raguannya untuk melaksanakan pe­rintah Tuhan menyembelih anaknya. Ismail rela berkorban demi keteguhan imannya kepada Allah. Setiap wahyu Tuhan selalu berisi kebenaran dan akan membawa kepada kebahagiaan. Ben­tuk penyerahan diri Ismail itu akhirnya membuahkan rasa baha­gia semua umat. Ismail tidak jadi korban penyembelihan ayah­nya karena Tuhan telah menggantinya dengan seekor domba. Daging domba yang telah disembelih oleh Ibrahim itulah yang kemudian dibagi-bagikan kepada semua fakir miskin. Manusia yang beriman kepada Tuhan memang perlu pengorbanan.

3. Dimensi Keingkaran Manusia kepada Tuhan

Manusia banyak yang ingkar kepada Tuhan. Mereka ti­dak percaya akan keberadaan Tuhan, bahkan ia lebih percaya kepada dirinya sendiri. Gambaran manusia yang ingkar kepada Tuhan seperti itulah yang terdapat dalam drama Kebinasaan Negeri Senja (Samin, 1968). Dalam drama tersebut digambarkan adanya seseorang yang ingkar kepada Tuhan, yaitu tokoh Sobat dan Tokoh. Ia sama sekali tidak percaya akan keberadaan Tuhan sehingga ia termasuk orang-orang yang berdosa. Bersama dua teman yang lainnya, yaitu Tokoh dan Ulama, tokoh Sobat men­dapatkan kecelakaan ditabrak kereta api sehingga mereka me­ninggal dunia. Ketika roh mereka sadar dan sudah mening­galkan badan jasatnya, tampaknya mereka kebingungan karena tidak tahu arah dan tempatnya kini berada. Mereka hanya me­ngetahui suatu daerah yang asing dan belum pernah dikenalnya ketika masih hidup di dunia.

Ketika Tokoh dan Sobat tengah mencari salah seorang ka­wan­nya yang ikut kecelakaan kereta api dengannya, datang­lah tokoh Tamu yang diikuti oleh tokoh Ulama. Sobat dan Tokoh sudah tidak kenal lagi dengan Ulama, temannya ketika megalami kecelakaan kereta api dahulu. Hal itu disebabkan bahwa Ulama telah mati dan kini roh Ulama itu datang men­jemput kedua temannya bersama Tamu. Kedatangan Tamu adalah untuk mencabut nyawa Tokoh dan Sobat untuk dise­rahkan kepada Sang Penguasa Agung. Tamu sudah mendapat izin dari Tuhan untuk mencabut roh manusia, termasuk Sobat dan Tokoh. Jadi, Tamu adalah Malaikat Maut. Ketika akan dicabut nyawanya itulah mereka mendengarkan catatan Malai­kat atas dosa-dosa yang telah diperbuat semasa hidup di dunia.

Dosa yang paling besar bagi Tokoh dan Sobat adalah ingkar terhadap Tuhannya. Mereka tidak mengakui akan ada­nya Tuhan sebagai Maha Pencipta. Dua orang tokoh ini lebih percaya kepada suatu kenyataan, yakni benda yang dapat dili­hat oleh mata kepala, dapat diraba, dan dapat dicium baunya. Mereka lebih percaya pada sesuatu yang kongkret atau nyata. Sesuatu hal yang abstrak bagi mereka itu hanya ilusi, mimpi, dan atau khayalan. Oleh karena itu, tokoh Tamu yang mendapat delegasi dari Tuhan atas kekuasaannya berusaha membuktikan agar keduanya percaya akan keberadaan Tuhan. Agar jelasnya perhatikan kutipan cakapan berikut.

Sobat:
Lalu untuk apa Saudara datang kemari?

Tamu:
Untuk mencabut nyawa.
Saya ditugaskan untuk mencabut nyawa Saudara-saudara,
satu persatu.

Sobat:
Ditugaskan siapa?

Tamu:
Tuhan!

Sobat:
Apa Tuhan ada? (Tokoh ragu-ragu)

Tamu:
Pendapat Sobat bagaimana?

Sobat:
Saya tidak percaya ada Tuhan.

Tamu:
Itulah yang akan saya buktikan.
Inilah yang terpenting maksud kedatangan saya kemari
untuk membuktikan bahwa Tuhan selalu ada. Mari kita mulai!

(Samin, 1968:115)

Kutipan cakapan di atas menggambarkan betapa tidak per­cayanya tokoh Sobat terhadap keberadaan Tuhan. Ia menjadi seorang yang ingkar akan keberadaan Tuhan. Jadi, citra tokoh Sobat adalah manusia atheis. Selama hidupnya, ia tidak akan mengenal Tuhan. Oleh karena itu, ketika Tamu menjawab bah­wa dirinya sebagai utusan yang ditugaskan oleh Tuhan untuk mencabut nyawa mereka, Sobat bertanya ragu: Apakah Tuhan ada? Hal ini disebabkan bahwa Sobat sulit untuk menerima dengan akal pikirannya bahwa Tuhan itu ada. Terlebih, ketika Tamu menyuruh Ulama untuk membuktikan keberadaan Tu­han, tentu tokoh Sobat mengalami kesulitan menerma semua keterangan Ulama. Apalagi ia harus mengakui keberadaan Tu­han, tentu Sobat semakin mendapat kesulitan yang luar biasa.

Sobat menganggap bahwa masalah mati itu tidak dapat membuktikan akan keberadaan Tuhan. Mati hanya menjadikan manusia sengsara dan tidak bahagia. Hal ini jelas dikatakan oleh tokoh Sobat: “Mati memang sesuatu yang tidak berbahagia (Sa­min, 1968: 115). Dalam menghadapi kematiannya itu, tokoh Sobat akan sedapat mungkin melawan maut. Ia akan berusaha melawan dengan penuh kesadaran agar tidak mati. Itu sebagai suatu pertanda bahwea ia hidup, Gambaran keingkaran tokoh Sobat itu terlihat dalam kutipan berikut.

Sobat:
Saya mau melihat bukti dengan kepala mata saya sendiri.
Saya mau berhadapan dengan kenyataan.
Saya mau melawan segala bentuk yang mematikan.
Saya mau melawan maut!

Ulama:
Berarti Saudara mau menyamai Tuhan.
Itu satu hal yang mustahil. Itu pekerjaan gila!

Sobat:
Tuan menganggap saya gila?
Aku bukan mau menyamai yang bernama Tuhan.
Sebab, aku tidak pernah percaya atas adanya Tuhan.
Tegasnya aku cuma mengakui adanya kenyataan.
Segala kenyataan yang akan membahayakan hidupku,
harus kulawan dengan penuh kesadaran.
Inilah tandanya bahwa aku hidup!
Aku tidak mau menyerah sebelum mengadakan perlawanan!

(Samin, 1968:117)

Citra manusia Sobat yang tidak mempercayai adanya Tuhan itu disebabkan tidak adanya bukti yang dapat dilihat oleh mata kepalanya sendiri. Suatu hal yang keliru apabila manusia ingin membuktikan keberadaan Tuhan hanya dengan meng­andalkan bukti kenyataan yang dapat dilihat dengan mata kepa­lanya. Bagamanakah dengan orang yang buta matanya? Apakah orang yang buta matanya itu juga tidak percaya akan adanya Tuhan? Jelaslah, hal ini sangat bergantung pada pribadi manusia masing-masing. Ada manusia yang meskipun buta matanya tetap percaya bahwa Tuhan itu ada. Keberadaan Tuhan memang tidak dapat dilihat oleh mata kepala manusia. Kehadiran Tuhan hanya dapat dirasakan dalam hati atau dilihat dengan mata hati. Hal ini disebabkan bahwa Tuhan bukanlah materi, bukan unsur, melainkan sesuatu hal yang gaib, sulit dimengerti dan dipahami oleh akal pikiran manusia dan rahasia abadi yang tak pernah digapai oleh akal pikiran manusia.

Pendapat manusia Sobat yang hanya mengandalkan pa­da kenyataan yang ada di dunia seperti itu jelas salah. Padahal sesuatu kenaytaan yang ada di dunia ini sifatnya sementara, fa­na, cepat rusak, dan tidak abadi. Sebaliknya, Tuhan adalah abadi (kekal) dan tidak dapat rusak. Oleh karena itu, Ulama meng­anggap manusia Sobat adalah gila. Apalagi manusia Sobat ingin melawan maut atau melawan kodrat Tuhan yang telah ditak­dirkannya, jelas itu sesuatu hal yang keliru dan gila. Gambaran itu dikemukakan oleh manusia Ulama sebagai berikut.

Ulama:
Saudara tidak dapat mengadakan perlawanan
terhadap kekuasaan Tuhan. Sebab, Saudara tidak dapat
melarang siang supaya jangan jadi siang.
Atau melarang malam supaya jangan jadi malam.
Tegasnya Saudara tidak bisa mengadakan yang terus tiada.
Atau meniadakan yang terus ada.
Semua berlaku karena kodrat dan kekuasaan Tuhan!

Sobat:
Aku mau menciptakan dunia di mana semua rakyat bersatu.
Aku mau menjadikan sistem sama rata
bagi rakyat-rakyat di dunia.

(Samin, 1968:117)

Citra manusia Sobat tersebut jelas mengingkari pada ko­drat dan iradat Tuhan yang telah terjadi selama ini. Tokoh ma­nu­sia Sobat akan menciptakan sebuah dunia yang sama rata dan sama rasa. Di dunia ciptaan manusia Sobat itu tidak ada pendek, tidak ada panjang, tidak ada kaya, tidak ada miskin, tidak ada kurus, tidak ada gemuk, tdak ada keadilan, dan tidak kelaliman. Setiap pertentangan yang ada di dunia ini akan ia hapuskan. Rakyatlah yang akan menjadi hakim. Rakyat juga tidak akan kenal mati sebab mati hanya membawa kepada kesengsaraan dan tidak bahagia. Oleha kerana itu, tidak percaya akan keber­adaan Tuhan. Ia lebih percaya kepada dirinya sendiri. Hal itu diucapkannya sendiri oleh manusia Sobat kepada manusia Ula­ma seperti yang terlihat dalam kutipan berikut.

Sobat:
Aku lebih percaya kepada diri sendiri daripada kepada Tuhan.

Ulama:
Adanya percaya di dalam jiwa Saudara,
merupakan satu tanda adanya kodrat Tuhan.
Mengakui adanya kodrat Tuhan dalam diri
berarti mengakui adanya Tuhan.

Sobat:
Orang selalu menyembah Tuhan.
Sebab itu kuciptakan sendiri Tuhanku di dalam diriku.
Aku menjelmakan diriku sebagai tuhanku sendiri.

(Samin, 1968:117)

Perbuatan dan pikiran manusia Sobat itu bila dilihat dari kacamata keagamaan adalah seorang yang murtad, mengingkari keberadaan Tuhan, dan ingin menciptakan Tuhannya sendiri. Pikiran yang demikian itu jelas tidak sehat atau gila. Ia berani menghina akan kebenaran Tuhan dan sekaligus menghina diri sendiri. Seseorang tidak mungkin menjadikan dirinya sendiri sebagai tuhannya sendiri. Pikiran atau pendapat manusia Sobat tersebut dinilai oleh tokoh Ulama sebagai pelampiasan rasa iri hati tokoh Sobat akan kebenaran dan kekuasaan Tuhan. Namun, penilaian tokoh Ulama tersebut dibantah oleh tokoh Sobat. Ia sebenarnya tidak iri akan kekuasaan dan kebenaran Tuhan, tetapi sebenarnya ia tidak percaya akan keberadaan Tuhan.

Kemudian apa yang terjadi? Bagaimanapun pada akhir­nya manusia Sobat harus menyerah kepada kodrat Tuhan. Ia tidak akan mampu melawan maut dan ia harus mati. Sebelum manusia Sobat mati, Malaikat el maut menunjukkan dosa-dosanya ketika ia masih hidup di dunia. Salah satu dosa yang tak terampuni adalah ingkar terhadap Tuhan. Dosa yang lainnya adalah memanfaatkan rakyat untuk menjegal partai lain dan menghasut supaya benci kepada pemimpin. Dosa manusia So­bat tersebut terlihat dalam kutipan cakapan berikut.

Tamu:
Tanggal 30 Juli, bulan November, tahun sekian, jam delapan
malam lewat 15 menit. Di dalam rapat rahasia partai anu,
telah diputuskan untuk menjegal partai lain.
Dan massa rakyat harus dipe ngaruhi dengan segala cara,
supaya benci terhadap beberapa pemimpin.
Tujuan yang pokok untuk kemenangan partai.
Sobat yang baik! Apakah cara tadi dapat dikatakan persatuan?
Apakah dengan cara menjegal partai lain,
bisa memakmurkan nasib rakyat?

(Samin, 1968:115)

Kutipan cakapan di atas jelas menunjukkan dosa-dosa atas perbuatan manusia Sobat ketika semasa hidup di dunia. Dosa-dosa manusia Sobat yang dibacakan oleh Tamu itu hanya sebagian. Ketika Tamu akan membacakan semua dosa-dosa yang diperbuat manusia Sobat, ia menolaknya. Manusia Sobat malu terhadap dirinya sendiri karena semua dosa-dosa dan rahasia hidupnya diketahui oleh tokoh Tamu. Selain itu, tokoh Sobat juga malu terhadap kedua temannya, Ulama dan Tokoh. Dalam merenungkan dosa-dosa yang telah diperbuatnya itu, manusia Sobat jadi teringat kepada kawannya yang telah meng­gelapkan dana partai yang telah dengan bersusah payang ia kumpulkan. Mengingat hal itu manusia Sobat marah-marah dan tidak berniat untuk kembali lagi ke dunia. Temannya itu telah berkianat terhadap partainya. Mereka semua juga mengkorupsi uang rakyat demi kebutuhan pribadinya. Mengingat akan hal itu membuat hati manusia Sobat menjadi kecut dan tak ingin kembali lagi ke dunia. Meski ia segan kembali ke dunia, ia juga takut terhadap kematian. Manusia Sobat menjadi ragu ketika menghadapi dilema yang memojokkan dirinya. Selama hidup­nya ia tidak mengenal Tuhan. Oleh karena itu, ketika Malaikat Maut menanyakan: “Siapa Tuhanmu? (Man Rabbuka?), manusia Sobat tidak dapat menjawabnya. Ia menjadi gugup, gemetar, mengaduh, terhuyung-huyung, dan terbanting masuk ke pintu neraka. Peristiwa tersebut diungkapkan dalam kutipan cakapan berikut.

Tamu:
(Makin dekat dengan pintu) Man Rabbuka?

Sobat:
Saya tidak tahu…!

Tamu:
(Bersikap aneh dan mengambil posisi ke tempat jauh,
suaranya gurau) Man Rabbuka? Man Rabbuka?

Sobat:
(Menggigil dan terhuyung)
Tolong…! Aduh…!
Tolong Gusti…, tolong sakit! Aduh sakit!

Tamu:
(Suaranya menggemuruh)
Man amaluka! Man Rabbuka?

Sobat:
(Tersungkur) Tidak…. tahu….

Tamu:
Hai setiap manusia!
Tuhan Yang Maha Esa adalah sumber segala cipta!
Sumber segala paham. Sumber segala aliran.
Sumber segala tenaga. Dan sumber segala yang fana.
Terimalah hukum kebinasaan negeri senja,
hukum bagi setiap manusia.
Jalan terakhir telah tiba bagimu, jalan tak ada pulang.

Sobat:
(Menjerit dan meratap,
terhuyung dan terbanting ke depan pintu)
Tolong… Ampun, sakit, tolong!

(Samin, 1968:121)

Citra manusia yang ingkar terhadap Tuhan sepert tokoh Sobat tersebut akhirnya menemui ajalnya juga. Pintu neraka te­lah terbuka untuk manusia-manusia yang ingkar kepada Tuhan seperti tokoh manusia Sobat. Gambaran manusia Sobat seperti itu cukup banyak di dunia ini. Mansur Samin melukiskan keber­adaan tokoh yang ingkar kepada Tuhan itu hanya sebagai per­tanda atau peringatan bahwa hubungan manusia dengan Tuhan adalah vital, utama, dan sangat penting untuk dihayati dan dia­malkannya. Setiap manusia yang hidup di bumi persada Indo­nesia harus mampu mengenal, memahami, dan menghayati mak­na Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai sila pertama dasar negara, Pancasila. Ini bertujuan agar manusia mengenal Tuhan­nya dan jalan hidupnya tidak tersesat ke neraka.

4. Dimensi Kemunafikan Manusia Kepada Tuhan

Manusia yang penuh dosa lainnya dalam drama “Kebi­nasaan Negeri Senja” karya Mansur Samin adalah manusia Tokoh dan manusia Ulama. Mansur Samin menggambarkan kedua tokoh tersebut sebagai manusia yang munafik, yakni berkianat, tidak menepati janji, dan pembohong. Manusia Tokoh adalah seorang wanita abangan, agama hanya tercantum pada KTP, dan sama sekali tidak ada pelaksanaannya. Ia mengaku beragama Islam, tetapi ketika Tamu meminta untuk mengucap­kan dua kalimat sahadat, Tokoh tidak dapat menjawabnya. Kemunafikan Tokoh merupakan dosa besar yang tidak teram­puni oleh Tuhan. Gambaran kemunafikan Tokoh tersebut terli­hat dalam kutipan berikut.

Tokoh:
Terus terang saja, agama Islam yang saya anut,
adalah Islam abangan!

Tamu:
O, begitu! Lalu, apa hak Nyonya
menyebut diri Nyonya sebagai orang Islam?
Padahal, mengucapkan kalimat sahadat saja
Nyonya tidak bisa.
Apakah itu namanya tidak bohong?

Tokoh:
Terserah pada Tuan ….

(Samin, 1968:116)

Kutipan cakapan di atas merupakan gambaran sebagian dari dosa manusia Tokoh yang menganut Islam abangan. Seba­gai seorang pemimpin partai poltik itu manusia Tokoh juga melakukan korupsi guna memperkaya diri sendiri. Banyak per­usahaan-perusahaan milik manusia Tokoh ada di mana-mana dan itu merupakan hasil “kongkalikong” dengan beberapa peja­bat pemerintah. Persekongkolan itu membuat si Tokoh menjadi kaya raya. Uang untuk membiayai jalannya perusahaan diper­oleh dari uang rakyat. Namun, ketika menghadapi maut harus mendapat kecelakaan kereta api. Itu merupakan buah dari per­buatannya. Bentuk persekongkolan Tokoh tersebut secara jelas terlihat dalam kutipan berikut.

Sobat:
Jangan pura-pura Nyonya.
Kongkalikong. Sama-sama tahu, laaa…. (Satir).

Tokoh:
Kongkalikong apanya?

Sobat:
Baiklah, saya pun blak-blakan saja.
Mari sama-sama kartu terbuka (menarik nafas, tenang).

Tokoh:
(Marah) Ayo! Saya kongkalikong apa? (Mendesak).

Sobat:
Gedung milik Nyonya yang ada di kota X.
Kemudian PT. Nyonya yang ada di kota Z.
Harta kekayaan Nyonya yang tersebar di mana-mana.
Itu semua dari mana Nyonya dapatkan?
Uang yang diperoleh untuk membeli ini dan itu,
dari mana Nyonya garuk?

(Samin, 1968: 113–114)

Kutipan di atas menggambarkan betapa munafiknya To­koh yang tidak mengakui perbuatannya. Ia tidak mau dituduh sebagai seorang yang memanfaatkan jabatan dan korupsi uang rakyat. Harta kekayaan yang diperoleh oleh Tokoh mengaku da­ri hasil jerih payahnya bekerja keras selama ini. Padahal, keka­yaan itu semua dari hasil persekongkolan dengan para pejabat lainnya. Selan itu, Tokoh juga memanfaatkan jabatan sebagai pemimpin partai guna memperkaya diri sendiri. Dana yang rencana untuk kegiatan partai, ia pergunakan untuk kepen­tingan diri sendiri. Apabila ia ditanya mengenai dana kegiatan partai, jawaban yang diberikan selalu berputar-putar sehingga tidak memuaskan rakyat yang bertanya. Bahkan, rakyat yang berani menanyakan tentang dana kegiatan partai dianggap berani melawan kekuasaannya.

Selain dosa-dosa penyelewengan jabatan dan korupsi dana kegiatan partai, manusia Tokoh juga berdosa karena telah menelantarkan anak dan suaminya. Ia berbuat mesum dan zinah dengan orang lain dalam salah satu kamar gedung partai. Ia juga berpidato ke mana-mana, berdiskusi di mana-mana, tetapi untuk tujuan kotor sebagai pelepas nafsu belaka. Dengan demi­kian ia sungguh seorang munafik yang tidak tahu diri. Gam­baran manusia Tokoh seperti itu terlihat dalam kutiipan cakapan berikut.

Tamu:
Tidak perlu Sobat jawab.
Itu tanggung jawab pribadi Sobat sendiri.
Sekarang giliran Nyonya.(Kepada Tokoh)
Nyonya paling sering saya dengar mengucapkan kata-kata
revolusioner dan reaksioner.
Sekarang saya bertanya.
Apa perbuatan Nyonya di sebuah gedung
pada malam Selasa yang baru lalu?

Tokoh:
Biasa. Membicarakan partai.

Tamu:
(Menggeleng) Dengan peluk-pelukan?
Bercumbu dengan orang yang bukan suami Nyonya?

Tokoh:
Siapa bilang?

Tamu:
Tuhan melihatnya.
Perlu saya sebut apakah perbuatan Nyonya selanjutnya?

Tokoh:
Tuan menuduh yang bukan-bukan!

Tamu:
Di kamar nomor 19, jam 10 malam.
Dua manusia berasal dari partai Polan, melakukan ….

Tokoh:
(Menutup muka dengan kedua tangannya dan
kemudian menjerit) Sudah!

Tamu:
Nyonya akui perbuatan bejat itu?

Tokoh:
(Malu dan diam)

Tamu:
Dengan berbuat begitu, apakah Nyonya
berhak menyebut diri Nyonya seorang yang revolusioner?
Alangkah keji perbuatan Nyonya mengotori tujuan partai.
Nyonya melenggang ke sana kemari
sedang tugas sebagai ibu rumah tangga
dan teman akrab suami, jadi terlantar.
Nyonya pidato, ngomong, berdebat, diskusi di mana-mana,
tapi semua untuk pelepas nafsu kotor Nyonya!

(Samin, 1968:116)

Gambaran manusia Tokoh seperti itu memang ada di du­nia ini. Banyak ibu rumah tangga yang melalaikan kewajibannya sebagai istri, pendamping suami, dan ibu dari anak-anaknya. Manusia Tokoh hanya mementingkan kepuasan diri pribadinya, tanpa memperhatikan tanggung jawanya sebagai ibu rumah tangga. Kegiatan politik yang selama ini dilakukan hanya sebagai kedok, pelepas nafsu belaka, dan munafik dengan kenyataan yang ada. Tuhan akan selalu melihat dan tahu semua perbuatan manusia sehingga manusia tidak perlu berbohong, dusta, dan menutupi kenyataan yang terjadi. Meskipun orang lain tidak tahu atau melihat perbuatan keji kita, Tuhan pasti tahu dan pasti melihat semua perbuatan manusia.

Citra manusia munafik lainnya adalah tokoh Ulama. Ia adalah seorang ulama yang sudah sejak jauh-jauh hari mengenal akan Tuhannya. Namun, ia seorang munafik dengan cara berse­lingkuh dan perbuatannya tidak sesuai dengan ajaran Tuhan. Meskipun ia sudah menjadi seorang ulama, kadang kala ia masih berbuat dosa hanya karena tertarik pada barang-barang duniawi. Ulama pernah menyalahgunakan hak dan wewenang kaum fakir miskin. Zakat fitrah yang seharusnya diberikan ke­pa­da kaum fakir miskin oleh Ulama diselewengkan untuk kebu­tuhan partai. Citra manusia Ulama seperti itu terungkap dalam kutipan cakapan berikut.

Tamu:
Zakat dan fitrah yang Tuan kumpulkan hari raya
yang baru lalu, sudahkah Tuan serahkan kepada yang berhak?

Ulama:
Belum. Sebab, partai saya membutuhkannya.
Lalu saya serahkan kepada partai saya.

Tamu:
Begitukah seharusnya menurut agama yang Tuan anut?

Ulama:
Saya berdosa.

Tamu:
(Mengeluarkan catatan lain dari tas kecil)
Di kota N, di rumah bercat kuning, pada tanggal sekian;
apa saja perbuatan Tuan di rumah itu?

Ulama:
Saya akui semua. Saya melakukan banyak dosa.
(Rasa menyesal dan putus asa)

(Samin, 1968:116)

Manusia Ulama cepat mengakui semua dosa-dosa yang pernah dilakukannya ketika masih hidup di dunia. Ia berang­gapan bahwa tidak ada gunanya menutup-nutupi semua salah dan dosa yang pernah diperbuatnya. Malaikat mencatat semua perbuatannya itu. Berarti Tuhan tahu semua perbuatan yang pernah dikerjakannya. Sikap yang ditunjukkan Ulama itu me­mang jantan, tapi tidak bijaksana. Sifat fatalistik yang ditun­jukkan oleh manusia Ulama tidak disertai usaha bertobat atau rasa penyesalan terhadap dosa. Seharusnya perbuatan dosa itu ditebusnya dengan pengorbanan suci yang mampu menunjuk­kan kebesaran jiwa dengan menolong yang lemah serta mem­bimbing orang yang tersesat agar kembali kepada jalan kebe­naran atau jalan yang ber akhir pada kebahagiaan sejati.

5. Simpulan

Dimensi hubungan manusia dengan Tuhan dalam drama Indonesia modern tahun 1960-an merupakan masalah yang paling hakiki dari persoalan hidup manusia. Oleh karena itu, para penulis naskah drama tidak begitu saja mengabaikan per­soalan hubungan manusia dengan Tuhan ini ke dalam karya dramanya. Terlebih, semasa tahun 1960-an itu adalah masa yang penuh dengan intrik politik, sosial, mental, dan kebudayaan dari Lekra yang menolak kepercayaan kepada Tuhan. Mohammad Diponegoro dan Mansur Samin tampil ke permukaan panggung drama Indonesia modern untuk menyuarakan batinnya tentang hubungan manusia dengan Tuhan. Drama “Iblis” (Diponegoro, 1963) dan drama “Kebinasaan Negeri Senja” (Samin, 1968) merupakan bukti nyata kepedulian penulis drama Indonesia modern terhadap kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa.

Melalui karya dramanya yang berjudul “Iblis” itu Mo­ham­mad Diponegoro ingin menegakkan iman manusia kepada Tuhan. Iman manusia Indonesia haruslah kuat, tangguh, kokoh, dan bulat seperti yang dicontohkan Ibrahim, Ismail, dan Siti Hajar. Manusia yang imannya teguh, kokoh, dan bulat akan mampu melawan godaan Iblis sehingga dirinya mendapat anugerah Tuhan berwujud kebahagiaan.

Selain manusia yang beriman dan mendapatkan anu­ge­rah Tuhan yang berwujud kebahagiaan, juga ada manusia yang berbuat ingkar (tidak percaya akan adanya Tuhan), dan munafik (berkianat, tidak menepati janji, dan pembohong) sehingga me­reka penuh berlumuran dosa. Hukuman bagi mereka yang ing­kar, dan munafik itu adalah neraka jahanam. Manusia-manusa yang penuh berlumuran dosa itu digambarkan secara jelas dalam drama “Kebinasaan Negeri Senja” oleh Mansur Samin. Manusia-manusia seperti itu dicontohkan Mansur Samin secara simbolik melalui perbuatan tokoh Sobat, Tokoh, dan Ulama. Selama hidup mereka di dunia banyak berbuat dosa sehingga menjelang ajalnya harus melalui kecelakaan tabrakan kereta api. Jelas tema drama ini menggambarkan hubungan manusia dengan Tuhan. Manusia yang penuh dosa dapat sebagai lambang kehancuran suatu negeri. Apabila manusia-manusia penghuni negara itu tidak beriman kepada Tuhan, akan hancurlah suatu negara tersebut. Oleh karena itu, jika ingin negara ini tetap kuat dan kokoh harus dilandasi dengan keimanan kepada Tuhan Yang Maha Esa.

Daftar Pustaka
Asmara, Ady. 1978. Apresiasi Drama. Bandung: Timbul.
Brahim. 1968. Drama dalam Pendidikan. Jakarta: Gunung Agung.
Diponegoro, Mohammad. 1963. “Iblis” dalam Budaya XII/1–2.
Esten, Mursal. 1992. Tradisi dan Modernitas dalam Sandiwara: Teks Sandiwara “Cindua Mato” karya Wisran Hadi dalam Hu­bungan dengan Mitos Minangkabau “Cindau Mato”. Jakarta: PT. Pustaka Utama Grafiti.
Jassin, H.B. 1967. Kesusastraan Indonesia Modern dalam Kritik dan Esai IV. Jakarta: Gunung Agung.
——- 1986. Daftar Drama I. Jakarta: Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin.
Kratz, Ernst Ulrich. 1988. Bibliografi Karya Sastra Indonesia dalam Majalah: Drama, Prosa, Puisi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. 1988. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka dan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Oemarjati, Boen S. 1971. Bentuk Lakon dalam Sastra Indonesia. Jakarta: Gunung Agung.
Saleh, mBijo. 1967. Sandiwara dalam Pendidikan. Jakarta: Gunung Agung.
Samin, Mansur. 1968. “Kebinasaan Negeri Senja” dalam Horison Tahun III/ Nomor 4.
Satoto, Sudiro. 1991. Pengkajian Drama I & II. Surakarta: Sebelas Maret University Press.
Sitanggang, S.R.H., dkk. 1995. Struktur Drama Indonesia Modern 1980–1990. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa.
——- 1997. Citra Manusia dalam Drama Indonesia Modern 1960–1980. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa.
Sumardjo, Jakob. 1992. Perkembangan Teater Modern dan Sastra Drama Indonesia. Bandung: Citra Aditya Bakti.
Sumardi, dkk. 1993. Citra Manusia dalam Drama Indonesia Modern 1920–1960. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa.
Sundari, Siti, dkk. 1985. Memahami Drama Putu Wijaya: Aduh & Edan. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa.
Wasana, Sunu. 1989. “Drama Indonesia Sebelum Perang”. Jakarta: Lembaga Penelitian Universitas Indonesia.
Yundiafi, Siti Zahra, dkk. 1993. Kritik Sosial dalam Karya Drama Indonesia Modern. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa.

Sumber: http://www.facebook.com/notes/puji-santosa/dimensi-ketuhanan-dalam-iblis-dan-kebinasaan-negeri-senja/10150122606854344

MELQUIADES ITU BERNAMA PAMAN RIFKI

Dwicipta
http://sastra-indonesia.com/

“…Suatu hari nanti aku akan menulis buku dan aku akan memakai namamu untuk tokoh utamanya.”
“Sebuah buku seperti Pertev dan Peter?” aku bertanya, jantungku berdegup.
“Bukan, bukan buku bergambar, melainkan sebuah buku yang di dalamnya aku menuturkan ceritamu.” [Kehidupan Baru, hal 422]

Osman mengenang percakapannya dengan paman Rifki itu di ujung usahanya dalam mengetahui teka-teki di balik berbagai peristiwa yang telah dialaminya. Ia telah terpukau oleh sebuah buku yang dibacanya, melakukan perjalanan demi perjalanan dengan bus, mengalami dan menyaksikan berbagai kecelakaan demi mendapatkan impiannya akan kehidupan baru seperti yang dijanjikan oleh buku itu. Adakah kemungkinan bahwa ia dan hidupnya adalah ciptaan paman Rifki, orang yang di kemudian hari diketahuinya sebagai penulis buku itu?

Novel Kehidupan Baru karya Orhan Pamuk ini membuka kemungkinan pembacaan semacam itu. Untuk memuluskan skenario itu, penulisan sebuah buku yang didedikasikan bagi Osman kecil –anak cerdas teman sejawatnya di Perkeretaapian Negara– yang kelak mewujud dalam bentuk novel yang juga berjudul Kehidupan Baru, Paman Rifki ‘membunuh’ dirinya dalam novel karangannya, meskipun hampir di sepanjang novel tersebut kita merasakan kehadirannya yang terus-menerus, membayangi kehidupan Osman dari awal hingga akhir cerita. Pamuk tak berhenti hanya sampai di situ. Karyanya yang luar biasa ini seolah-olah mengembangkan lebih jauh kemungkinan-kemungkinan bercerita baru, yang kita sebut model bercerita posmodern, dengan mengeluarkan tokoh utama, Osman, dari dunia rekaan paman Rifki layaknya para keluarga Buendia dalam Seratus Tahun Kesunyian-nya Marquez merespons segala tulisan Melquiades, mengikuti dan mengomentari skenario yang telah dibuat paman Rifki untuknya.

Walaupun di akhir cerita sang tokoh tunduk pada desain besar yang telah membentuknya, namun ada fakta yang tak bisa dipungkiri di sepanjang novel ini dimana sang tokoh seperti melakukan suatu tanggapan berkesinambungan akan sosok penulis bukunya. Hasilnya adalah jalinan cerita memukau yang menggambarkan ketegangan antara kemandirian yang berusaha direbut oleh sang tokoh dan desain besar yang telah membentuknya. Pengarang yang semula ditempatkan sebagai pemegang otoritas tunggal atas tokoh-tokohnya kini harus menyerahkan sebagian otoritas itu pada tokoh-tokohnya tersebut. Ada humor segar nan intelek dalam hubungan antara tokoh dan pengarang dalam novel ini.

Pembacaan pertama

Marilah terlebih dahulu kita menelusuri alur konvensional dalam novel Kehidupan Baru karya Orhan Pamuk ini, yang memakai baju cerita detektif, sebelum melihat salah satu varian pembacaan dari sekian kemungkinan varian pembacaan yang bisa dilakukan.

Osman adalah seorang mahasiswa jurusan teknik yang tinggal bersama ibunya yang sudah menjanda. Ketika berada di kampus dan sedang memandang seorang teman perempuannya, Janan, ia terpikat pada sebuah buku misterius yang ada di tangan perempuan itu. Selagi penasaran dengan isi buku itu, dalam perjalanan pulang ke rumah dengan melewati lapak penjualan buku bekas, ia melihat buku yang semula ada dalam genggaman tangan Janan itu di sebuah lapak. Sebagai usaha untuk memikat Janan sekaligus penasaran akan isi buku yang dipegang oleh perempuan itu, ia membeli, dan membaca buku yang menjanjikan sebuah kehidupan baru bagi siapapun yang membacanya itu. Di kampus, ketika bertemu kembali dengan Janan yang telah ditemani Mehmet, Osman diberitahu bahaya yang mengancam bila membaca buku itu.

Akibat membaca buku itu, dan usahanya menemukan Janan yang dianggap menjadi belahan jiwanya, Osman meninggalkan kehidupannya di Istanbul bersama ibunya maupun pendidikannya di Universitas. Selama berbulan-bulan ia melakukan banyak perjalanan, naik turun bus yang membawanya ke berbagai tempat di pedalaman Anatolia itu sebelum akhirnya bertemu dengan Janan dan melakukan perjalanan bersama dengan perempuan yang ia cintai itu. Dalam perjalanan tersebut mereka mengalami dan melihat banyak kecelakaan lalu lintas. Kadangkala mereka menemukan diri mereka dalam suatu keadaan letih antara tertidur dan terjaga, suatu keadaan yang membuat Osman berhasrat untuk meninggal dalam suatu tabrakan maut.

Titik balik dari perjalanan panjang kedua orang itu adalah ketika mereka sampai di Tempat kediaman Dr. Fine (barangkali lebih tepat dengan nama Turki yang dipakai Pamuk dalam versi bahasa Turki-nya, Dr. Narin) dimana setelah ia meninggalkan Janan selama seminggu dan kembali ke kediaman Dr. Narin perempuan yang ia cintai telah lenyap entah kemana. Di kediaman Dr. Narin ini, Osman dan Janan mendapatkan sebuah fakta bahwa Mehmet, teman sekampus mereka yang lebih dahulu membaca buku dan mencari Kehidupan Baru yang dijanjikan oleh buku itu, adalah anak dari Dr. Narin yang kabur dari rumah. Nama aslinya adalah Nahit. Naluri Osman mengatakan bahwa Mehmet, anak Dr. Narin dengan nama asli Nahit, masih hidup dengan kemungkinan kembali berganti nama –sebuah kemungkinan yang menemukan kebenarannya yang mengagetkan karena nama baru Mehmet alias Nahit itu adalah Osman, persis seperti namanya sendiri.

Dan tak lain tak bukan, bahaya akibat membaca buku itu berasal dari Dr. Narin. Dr. Narin, yang percaya bahwa anaknya minggat dari rumah karena membaca buku ini. Ia berusaha menghancurkan semua cetakan buku ini dan berusaha menghabisi siapapun yang membacanya lewat para mata-matanya yang memakai nama alias seperti Movado, Zenith, Seiko, Serkisof –semuanya nama merk jam. Salah satu korban pembunuhan ini adalah Paman Rifki, yang merupakan pengarang buku Kehidupan Baru yang sangat mengilhami Osman dalam pencarian sebuah dunia dan kehidupan baru.

Dirundung asmara tak berkesudahan dan tanpa kepastian pada Janan, meskipun ia ditinggalkan oleh perempuan itu yang menikah dengan seorang dokter dan pindah ke Jerman, Osman memutuskan pulang ke rumah dan menikah dan hidup kembali seperti biasanya. Pada suatu waktu, panggilan pada kehidupan baru kembali merasukinya, membuatnya kembali bepergian. Kepergiannya kali ini secara mengejutkan membuatnya bertemu dengan Mehmet yang telah berganti nama menjadi Osman –persis seperti namanya sendiri. Setelah percakapan panjang dengan Mehmet yang telah berganti nama menjadi Osman itu ia membunuhnya di dalam gedung bioskop. Kembali ke dalam bus dan berniat pulang kembali menemui istri dan anaknya, ia meninggal dalam suatu kecelakaan lalu lintas dan jiwanya melayang ke dalam suatu Kehidupan Baru.

Pembacaan kedua

Jika kita mengikuti dengan seksama detil-detil yang menyempurnakan alur konvensional yang menciptakan pembacaan pertama tadi, secara mengejutkan kita akan menemukan kemungkinan pembacaan lain yang lebih menarik. Inilah yang mungkin membentuk pembacaan kedua dimana bentuk penceritaan yang konvensional dibongkar sedemikian rupa oleh Pamuk sehingga menciptakan spektrum penafsiran yang tak tunggal.

Argumen bahwa Osman adalah karakter rekaan Paman Rifki boleh jadi sebuah pembacaan kedua yang menarik dan logis. Dari kenangan Osman akan masa kecilnya, ketika pada suatu hari ia dan ayahnya berkunjung ke paman Rifki dan ditanyai berbagai nama stasiun di semenanjung Anatolia itu, dan kutipan yang ada di awal tulisan ini, nampak jelas jikalau sosok Melquiades telah menjelmakan diri pada diri paman Rifki. Kesadaran akan peran besar paman Rifki sebagai salah satu penentu jalan hidupnya baru disadari Osman dalam dialognya dengan Mehmet sebelum ia membunuh lelaki yang telah mengganti namanya dengan nama yang persis sama dengannya itu, ketika ia dan Mehmet sekedar iseng-iseng membuat generalisasi pada topik situasi mereka.

“Sebenarnya, segalanya sangat sederhana. Seorang lelaki tua fanatik yang menulis untuk majalah kereta api dan memandang hina perjalanan serta kecelakaan bus telah menulis buku yang terilhami oleh komik anak-anak goresan penanya sendiri. Lalu beberapa tahun kemudian pemuda optimistis seperti kami yang telah membaca komik tersebut dimasa kecil kebetulan membaca buku itu dan percaya bahwa seluruh hidup kami telah berubah total…” [Kehidupan Baru, hal 361].

Pegawai perkeretaapian negara ini, yang menulis seluruh kisah hidup Osman, selain menulis artikel di majalah Rail untuk para penggemar kereta api memang juga menulis dan membuat ilustrasi untuk serial komik anak-anak berjudul “Petualangan Mingguan Untuk Anak-anak” dan membuat komik berjudul Pertev dan Peter serta Kamus Berkunjung ke Amerika [hal 23-24]. Lewat gaya humornya yang khas, Pamuk menempatkan Osman pada posisi mengolok-olok otoritas besar paman Rifki selaku pencipta dirinya, yaitu pada momen ia dan Mehmet sedang membuat generalisasi pada situasi yang mereka alami, ketika Osman menyadari bahwa tempat pertemuan kembali mereka berdua adalah di Viran bag, kota kecil indah yang dan juga nama stasiun yang dulu gagal diingatnya sebelum ia mengunyah Karamel bermerk Kehidupan Baru pemberian Bibi Ratibe.

“…Kau tahu,” ujarku, dengan mengucapkan setiap suku kata dan menatap wajahnya, “berkali-kali aku menangap kesan bahwa buku itu adalah tentang diriku, bahwa ceritanya adalah cerita diriku…” [hal. 362]

Penelanjangan diri Osman tidak hanya berhenti pada diterimanya kesan bahwa dirinya adalah ciptaan paman Rifki. Setelah membunuh Mehmet atau Nahit, ia kembali ke Istambul, menjalani kehidupan baru dengan menikahi anak perempuan tetangganya. Sampai pada suatu malam, ketika sedang berjalan tanpa arah yang jelas, kedua kakinya membawa Osman ke rumah paman Rifki. Ia menelusuri asal-usul lebih detil penciptaan buku itu, yang juga merupakan penciptaan dirinya, dengan meneliti secara seksama tiga puluh tiga buku yang ada di rak buku Paman Rifki. Ia memperhatikan bahwa beberapa adegan dalam Kehidupan Baru, beberapa ungkapan dan fantasinya, diilhami oleh bahan-bahan dari buku itu atau dicomot begitu saja dari buku-buku-buku tersebut [hal. 407].

Dan barangkali inilah puncak dari olok-olok Pamuk pada superioritas pengarang atas tokoh-tokoh rekaannya dengan cara membuat si pengarang justru sebagai pihak yang dibedah secara seksama oleh tokohnya: “…saat aku membandingkan beragam fantasi dan ungkapan dalam bacaanku, aku menemukan bisikan-bisikan tersandikan di sela-sela teks yang dari sini aku dapat melacak rahasia mereka… Bangga atas kompleksitas jaringan keterkaitan yang kubuat, aku bekerja dengan penuh kesabaran seperti seseorang yang menggali sumur dengan sebatang jarum, dalam upaya untuk menebus sedemikian hal yang kuabaikan dalam hidup…” [Hal 411]

Secara indah Pamuk merangkai penggambaran malaikat dalam karangan paman Rifki dalam wilayah fiksional dan intertekstual. Pada wilayah fiksional, Osman mengenang pada gambar malaikat pada pembungkus Karamel yang bernama Kehidupan Baru yang sangat ia sukai di masa kecilnya, sebuah penggambaran yang setelah ia telusuri kepada orang yang membuatnya ternyata diilhami dari artis cantik Marlene Dietrich dari Jerman yang bermain dalam film Der Balue Engel yang diadaptasi dari novel dengan judul yang sama karya Heinrich Mann. Penggambaran malaikat secara fiksional ini kemudian dipadukan secara referensial dengan gambaran malaikat-nya Rilke –yang juga berasal dari Jerman- dalam Duino Elegies. Dalam suratnya pada Lou Salome, Rilke mengatakan bahwa malaikat dalam Duino Elegies bukanlah malaikat yang berasal dari surganya orang Kristen, namun lebih mendekati malaikat-malaikat dalam surga kaum Islam.

Puisi Dalam Prosa dan Permainan Semiotika

Membaca novel ini, kita menemukan sebuah prosa yang digarap dengan ekspresi bahasa puitik yang memikat, terutama di bagian awal cerita. Dalam suatu wawancara, Pamuk mengakui intensinya pada penghadiran sebentuk prosa puitik semacam ini, dimana sumber ilham lahirnya novel Kehidupan Baru ini adalah karya-karya para penulis romantik Jerman.

“Prosa yang dilahirkan para penulis romantik Jerman memiliki suatu tarikan yang kuat dengan kematian; mereka mencari yang absolut dan berharap menciptakan sebuah ‘puisi’ yang jauh menjangkau pencarian ini hingga ke suatu platform non eksisten. Inilah buku –Kehidupan Baru- yang ditulis dengan harapan-harapan tersebut.” [The Other Colors: Selected essays and a story, hal. 147]

Maka sejak dari awal kalimat dalam novel ini, meskipun tidak menguasai seluruh novel melainkan hanya di bagian-bagian tertentu, ekspresi bahasa yang puitik ini telah menjerat perhatian kita. Seperti Gabriel Garcia Marquez, nampaknya Pamuk menyadari arti pentingnya yang besar dari kalimat pembuka novel yang memikat dan langsung menyergap perhatian pembaca, sehingga dibukalah novelnya itu dengan sebuah kalimat yang menghentak: “Suatu hari, aku membaca sebuah buku dan seluruh kehidupanku pun berubah.” Memasuki bagian kedua novel ini, pembaca novel langsung disergap dengan sebuah kalimat lain yang membuat mereka terperangah: “Hari berikutnya aku jatuh cinta.” Jika di bagian pertama aspek puitik ini terjalin lewat sebuah perenungan mendalam akan efek sebuah buku dalam diri si tokoh, di bagian kedua kedua kita disuguhi sebuah penggambaran yang betul-betul puitik tentang pengalaman jatuh cinta Osman pada Janan, keresahannya dalam menanggung beban cinta dalam dadanya dan sebuah kehidupan baru yang terus menerus memanggilnya untuk mendekat. Semua hal ini memadat ketika Osman menempelkan keningnya di kaca jendela ruang Universitas, tempat dimana Janan menciumnya, sembari menatap butiran salju yang turun.

“Aku mengamati serpihan salju yang jatuh dalam deraian lembut hujan salju, yang berlengah-lengah tak pasti pada suatu titik mengejar serpihan salju lain, tak mampu membuat keputusan, ketika angin ringan bertiup dan menyapunya. Dan sesekali, sekeping serpihan salju lain meliuk di udara kemudian diam sesaat, lantas seakan telah berubah pikiran, ia lalu berbalik dan perlahan-lahan menuju angkasa…” [Hal. 47]

Hasrat untuk menciptakan sebuah “puisi” dalam prosa seperti pada karya-karya pengarang romantik Jerman ini tercermin kuat di dua bagian ini di samping pada penggambaran Pamuk akan kecelakaan-kecelakaan lalu lintas, perjalanan-perjalanan bus tanpa henti yang dilakukan Osman, dan kepiluannya untuk menemukan kembali Janan sebelum diakhiri secara memikat pada momen-momen akhir novel ini, ketika fajar merekah di ufuk timur dan Osman melihat wujud malaikat seperti yang digambarkan dalam buku yang dibacanya serta ‘pintu’ kehidupan baru yang telah terbuka untuknya. Maka seiramalah apa yang telah disuguhkan oleh Pamuk dalam novelnya ini dengan apa yang ia nyatakan di bawah ini:

“Ketika sedang menuliskan novel ini, aku memutuskan menjadi seorang penyair. Maksudku, aku memutuskan bertindak secara parsial dengan intuisi-intuisiku dansecara parsiap seolah-olah seseorang sedang berbisik padaku. Dalam kenyataannya, saya tidak memaksudkannya untuk keseluruhan novel ini, namun hanya beberapa bagiannya. Bagian-bagian dimana kecelakaan lalu lintas dideskripsikan, dan dimana sang protagonis jatuh cinta dan berkelanan sendirian. Pada bagian-bagian ini aku menuliskannya tanpa rencana atau program. Sebagaimana mereka mungkin bicara, dewi Musae berkata padaku “hei!” dan kemudian dengan mudah aku menuliskannya seperti itu.”

Ekspresi bahasa yang puitik ini bertumpang tindih dengan peristiwa-peristiwa surealistik yang dialami tokoh-tokohnya. Maka tidak mengherankan jika kita mendapatkan kesan dari keseluruhan alur cerita ini bahwa yang riil dan yang surreal terus bergandengan dalam novel. Perjalanan-perjalanan dengan bus ke wilayah-wilayah pedalaman Turki dan kecelakaan-kecelekaaan lalu lintas yang realistik dalam novel ini dipadukan dengan respons Osman dan Janan yang kerapkali fantastik dan tak terduga-duga. Dalam suatu kecelakaan, misalnya, ketika keningnya berdarah, Osman merasakan suatu ekstase berdiri di ambang batas kehidupan lamanya dan kehidupan baru yang sedang dicarinya. Ia merasakan alangkah sudah dekatnya ia dengan malaikat yang telah digambarkan dalam buku yang telah ia baca. Ketika perjalanan Osman mengantarkannya pada Dr. Narin yang kemudian diketahui melakukan spionase dan pembunuhan terhadap pembaca buku Kehidupan Baru karangan paman Rifki lewat mata-matanya, sekali lagi, kita dihadapkan pada sesuatu yang riil dan fantastik sekaligus. Sekalipun Pamuk telah menata detil-detil cerita ini dengan sangat rapi, pembaca akan sulit memahami, misalnya, pergantian nama Mehmet sebanyak tiga kali –dari awalnya Nahit, kemudian berganti menjadi Mehmet, sebelum akhirnya berganti lagi menjadi Osman, persis seperti nama tokoh utama-, kenapa Janan meninggalkan Osman yang tengah mempelajari arsip-arsip di kediaman Dr. Narin, dan kenapa Osman meninggalkan pencariannya akan kehidupan baru setelah ditinggalkan Janan.

Hal lain yang sangat menarik perhatian dari novel ini adalah permainan semiotik memikat yang disuguhkan Pamuk. Lihatlah judul Kehidupan Baru-nya yang memiliki banyak hubungan rumit. Judul Kehidupan Baru ini pertama-tama menunjuk pada buku yang ditulis oleh Orhan Pamuk, dan kemudian mengacu pula pada buku yang dikatakan ditulis oleh Paman Rifki dalam novel Pamuk. Judul buku ini mengingatkan kita pada La Vita Nuova karya Dante, karena Paman Rifki —dan sebagai konsekuensinya Orhan Pamuk— menyebutnya sebagai sumber inspirasi: sebuah buku yang menjanjikan kehidupan baru bagi pembacanya—yang dinarasikan oleh seseorang yang mengenang bahwa dulu ia biasa melahap Karamel Kehidupan Baru. Di sinilah kita bisa melihat Kehidupan Baru sebagai sebuah penanda dengan tetanda ganda. Salah satu dari tetanda itu adalah La Vita Nuova karya Dante, sementara tetanda yang lain adalah kehidupan baru yang dituliskan dalam kasus yang lebih rendah yang kita harapkan hidup secara faktual. Namun Pamuk dengan piawai membuat tetanda ini kerapkali berubah, bahkan saling menggantikan.

Sebuah hubungan semiotik serupa bisa dilihat dalam citra malaikat yang ditemukan dalam pembungkus Karamel Kehidupan Baru. Pemilik pabrik karamel Kehidupan Baru ini, Sureyya, begitu menggandrungi Marlene Dietrich, artis yang berperan sebagai seorang perempuan bak malaikat yang dicintai oleh Professor Unrat dalam film Der Blaue Engel. Dari sinilah kemudian citra malaikat dalam pembungkus karamel itu muncul. Citra malaikat dalam Kehidupan Baru karya paman Rifki, dan secara otomatis mengacu pada Kehidupan Baru karya Pamuk, juga bisa ditarik benangnya pada penggambaran malaikat dalam Duino Elegies karya Rilke selain pada literatur-literatur timur seperti Kunci Kebijaksanaan karya Ibnu Arabi. Pamuk mengkombinasikan citra malaikat yang suci ini dengan citra-citra malaikat yang lain sehingga menciptakan suatu paradoks. Permainan semiotik inilah yang membuat karya Pamuk ini mengusung suatu unsur posmodern dalam cerita.

Kehidupan Baru: Alegori tentang Turki

Banyak kritikus yang menilai bahwa novel Kehidupan Baru ini adalah sebuah alegori tentang Turki yang terbangun dengan baik. Di luar Istanbul yang sekuler dan modern, terdapat daerah-daerah pinggiran atau pedalaman yang kumuh dan miskin dan tengah berjuang mencapai tujuannya di tengah serangan gencar globalisasi. Karamel Kehidupan Baru hanyalah sebuah kiasan dari semakin tergusur dan matinya produk-produk lokal dan bisnis kecil akibat membanjirnya produk-produk dari luar Turki. Mereka, produk-produk dan bisnis kecil lokal, tak mampu berkompetisi dengan kekuatan besar kapitalisme Barat yang tidak hanya melanda Turki namun juga seluruh dunia. Dari cerita Dr. Narin pada Osman kita tahu bagaimana yoghurt dingin tradisional atau serbet Ceri masam telah digantikan oleh Coca Cola, terpinggirkannya lem damar lokal oleh lem UHU yang lisensinya di bawah merk dagang berlambang burung hantu kecil manis dari Jerman, dan lenyapnya sabun lempung oleh membanjirnya sabun merk Lux. Gambaran penuh kemurungan ini memunculkan dugaan adanya konspirasi besar untuk menghancurkan Turki sekaligus mengakibatkan kemarahan yang mewujud dalam fundamentalisme agama dan konservatisme yang buruk.

Akibat Westernisasi yang dijalankan sejak era Kemal Ataturk, Turki menjadi sebuah bangsa yang penuh kontradiksi. Ia ingin menjadi bagian dari Uni Eropa guna memperoleh keuntungan-keuntungan ekonomi, namun di sisi lain negeri ini masih menindas kebebasan ekspresi dan menutup pintu pada opini-opini yang kritis pada pemerintah dan kebijakan-kebijakannya. Pamuk membawa kita pada gambaran Westernisasi yang menegangkan dan penuh konflik di Turki ini secara literer, salah satunya, lewat kenangan Osman akan komik Pertev dan Peter dan Pahlawan-Pahlawan Kereta Api yang ia baca pada masa kanak-kanak, dan kemudian ia baca ulang dalam ruang arsip Dr. Narin. Namun yang paling menonjol, dan ini yang menjadi salah satu bagian utama novel Kehidupan Baru yang sangat indah, adalah curahan literer Pamuk untuk mengkritik kebebasan ekspresi di Turki lewat tindakan spionase, dokumentasi dan pembunuhan terhadap siapapun yang membaca buku Kehidupan Baru karya paman Rifki.

Penutup

Novel Kehidupan Baru ditulis oleh Pamuk ketika ia telah mengerjakan separuh dari novel My Name is Red –Namaku Merah Kirmizi. Selesai ditulis pada tahun 1994, bersama penerbitnya di Turki, Pamuk meluncurkannya dengan suatu kampanye iklan yang tak jamak. Mereka memasang papan-papan reklame di Istanbul yang bertuliskan kalimat pertama dalam novel itu: “Suatu hari, aku membaca sebuah buku dan seluruh kehidupanku pun berubah.” Saat itu, strategi pemasaran novel yang dilakukannya adalah sesuatu yang baru dalam sistem literer Turki. Namun pembaca merespons-nya dengan baik sehingga novel Kehidupan Baru menjadi buku yang terjual paling cepat dalam sejarah literer Turki –satu menit per buku dalam pekan raya buku di Istanbul.

Para pengulas buku dan kritikus pun sibuk dengan novel ini. Oleh sebagian kritikus, novel ini dianggap terlalu terpusat pada kehidupannya sendiri –Pamuk adalah bekas mahasiswa Teknik Arsitektur yang meninggalkan studinya untuk bisa berkarir penuh sebagai penulis, serebral, dan sulit. Namun para penulis terkenal seperti Salman Rushdie dan John Updike, membandingkan novel Pamuk dengan karya-karya Marcel Proust, Jorge Luis Borges, Gabriel Garcia Marquez dan Franz Kafka. Pamuk sendiri mengakui pengaruh Kafka yang besar dalam novel ini, terutama kecenderungan tokoh utama yang terserap pada dunianya sendiri.

Namun dalam terjemahan bahasa Inggrisnya yang digarap oleh Guneli Gun –penerjemah yang juga mengalihbahasakan novel Pamuk yang berjudul Black Book, novel ini cukup kontroversial dan mendapatkan dua tanggapan yang bertolak belakang di dua negara yang berbeda. Para kritikus di Inggris menganggap kualitas terjemahan Guneli Gun ini buruk sehingga novel ini mendapatkan penghargaan sebagai novel terjemahan terburuk tahun itu, sementara publik Amerika memuji tinggi terjemahan novel ini.

Terlepas dari kontroversi itu, kejeniusan Pamuk terletak pada kemampuannya untuk mengganggu konvensi-konvensi pembacaan kita. Jika bagi sebagian orang novel ini dianggap susah, namun bagi kritikus yang teliti, alih-alih terganggu, novel ini justru menyuguhkan padanya berbagai model pembacaan yang menarik. Dan yang paling utama, novel ini telah mewariskan pada kita suatu capaian literer luar biasa dimana kita bisa belajar darinya untuk melahirkan karya-karya yang lebih baik. Membaca novel ini kita seperti Osman ketika membaca buku yang mengubah seluruh hidupnya: “sudut pandang kita diubah oleh novel ini, dan novel ini diubah oleh sudut pandang kita.”

Sokawangi, Desember 2008
Untuk Ibuku tersayang

Rabu, 09 Maret 2011

Gadis Arivia Luncurkan Filsafat Berperspektif Feminis

Anastasya Andriarti
http://www.tempointeraktif.com/

Gadis Arivia, Rabu (8/10), meluncurkan buku "Filsafat Berperspektif Feminis." Buku dengan sampul bergambar seorang pemikir perempuan ini merupakan rangkuman disertasi dirinya saat menyelesaikan program doktoral Filsafat di Universitas Indonesia.

"Buku ini mengeksplorasi pemikiral filsuf-filsuf besar dari jaman Yunani sampai kontemporer," kata Gadis yang sore itu mengenakan blus berwarna krem dengan celana panjang bermotif garis-garis. Dari 14 filsuf yang diteliti, seperti Plato, Aristoteles, Agustinus John Locke, David Hum, ternyata pemikiran mereka kebanyakan meminggirkan perempuan. "Tidak ada ruang bagi pemikiran feminis dalam mainstream mereka," kata Gadis.

Perempuan yang memulai penelitiannya tahun 1996 ini menggunakan pendekatan dekonstruksi untuk memperlihatkan pola-pola pikir maskulin. Ia menemukan adanya perbedaan cara mendekati ilmu pengetahuan antara laki-laki dan perempuan. Sebagai contoh laki-laki jika berbicara masalah keadilan atau etika maka mereka bicara soal etika keadilan. Sedangkan, menurut Gadis, perempuan pada saat yang sama lebih mengedepankan etika kepedulian.

Dalam prakteknya di masyarakat, etika kepedulian lebih menguntungkan perempuan dibandingkan etika keadilan. "Nah, misalnya dalam kasus perkosaan etika keadilan akan menuntut bukti-bukti untuk menentukan pelaku dihukum atau tidak," katanya. Sedangkan dalam etika kepedulian, jelas Gadis, bukti-bukti ini akan menjadi sekunder. Bagaimana perasaan kaum perempuan yang menjadi korban lebih menjadi pemikiran utama.

08 Oktober 2003

Waktu dalam Puisi Eko Suryadi WS

Sainul Hermawan
http://www.radarbanjarmasin.co.id/

Demi Waktu

(1) Demi masa, (2) Sesungguhnya manusia itu benar-benar berada dalam kerugian, (3) kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasihat menasihati supaya menaati kebenaran dan nasihat menasihati supaya menetapi kesabaran (Al-Asr, QS 103:1-3)

Dalam konteks “demi Masa” kita dituntut beradaptasi dan melakukan penguatan dari waktu ke waktu untuk menempatkan kita sebagai bagian dari dinamika. Lebih dari sekadar wacana, kita segera diingatkan akan pentingnya memasuki wilayah-wilayah yang belum kita kuasai. Membaca puisi adalah salah satu cara memasuki wilayah mendiskusikan kebenaran. Puisi yang saya maksud di sini adalah karya penyair dari Kotabaru.

Kata kunci puisi karya Eko Suryadi WS yang terhimpun dalam buku Di Batas Laut yang diterbitkan oleh LP2M AKPB Kotabaru pada 2005 ini adalah waktu. Kumpulan puisi yang disunting oleh YS Agus Suseno ini memuat 87 puisi karya Eko yang pernah dipublikasikan di media lokal dan nasional, di antologi pribadi dan bersama. Sejumlah pihak yang membantu penyusunan buku ini, seperti Ali Syamsudin Arsy, M. Rifani Djamhari, Maman S. Tawie, Micky Hidayat, Jarkasi, dan Haderani Thalib disebut oleh penyunting dalam sekapur sirihnya. Belum ada pembicaraan lain setelah D. Zawawi Imron membahasnya di Aruh Sastra III di Kotabaru pada 2005. Apa yang dibicarakan penyair itu tak terlalu berbeda dengan apa yang ditulisnya di akhir buku ini.

Puisi Eko sebagian menempatkan waktu untuk mengingatkan dirinya sendiri atas peristiwa pribadi dan sosial dan sebagian yang lain waktu dijadikan penanda untuk mengingatkan masyarakat tentang momentum sosial yang penting sebagai bekal menghadapi masa depan. Puisinya dalam buku ini mengajak kita memahami makan waktu kebahasaan.

Waktu kebahasaan adalah perwujudan secara kebahasaan konsep waktu dengan melibatkan peristiwa dengan pengujaran. Ada tiga jenis perwujudan waktu secara kebahasaan, yakni waktu gramatikal, waktu leksikal, dan waktu dalam rangka wacana. Pengungkapan konsep waktu sifatnya deiktis atau dinamis. Artinya, unsur bahasa yang dipergunakan untuk menyatakan waktu hanya memiliki makna temporal yang jelas bila dihubungkan dengan suatu referen. Bila referennya diganti, maka muatan semantisnya juga berubah (lihat Hoed, 1992: 36-38).

Waktu dalam pengungkapan estetik puisi Eko dapat digolongkan sebagai waktu kronis (temps chronique) dan waktu kebahasaan (temps linguistique) dalam taksonomi waktu Benveniste (dalam Hoed, 1992: 2). Dalam membicarakan waktu, Berveniste membedakan waktu dalam tiga pengertian, yaitu waktu fisis (waktu yang secara alamiah kita alami, bersifat sinambung, linier, tak terhingga, dan berjalan terus tanpa dapat kita alami lagi), waktu kronis (waktu yang dipikirkan kembali atau dikonseptualisasikan oleh manusia berdasarkan suatu atau sejumlah peristiwa yang ditetapkan oleh masyarakat atau seseorang sebagai titik acuan dalam waktu fisis), dan waktu kebahasaan (waktu yang dilibatkan dalam tuturan dan sistem bahasa yang kita pakai).

Oleh karena itu waktu kronis sosial dan waktu kronis pribadi dapat kita bedakan. Waktu kronis sosial terwujud dalam kalender, tapi waktu kronis pribadi terwujud dalam pengalaman pribadi. Dengan demikian, waktu kronis sebenarnya merupakan landasan bagi penentuan waktu kebahasaan (Hoed, 1992: 40).

Waktu Anti Dehumanisasi

Bacalah sajak-sajaknya dalam dua puluh halaman pertama buku ini. Puisi itu dapat membawa pembacanya pada alam malam dan kesunyian dalam persepsi dan konsepsi penyairnya. Kesepian antara lain dihayati secara dewasa atau kesepian sebagai kemampuan diri bersahabat dengan diri sendiri. Cara ini jelas bertentangan dengan kesepian dalam konsepsi umum yang antara lain dimaknai sebagai ketakmampuan diri bersahabat dengan diri sendiri sehingga kesepian menjadi semacam siksaan saat orang-orang terdekat kita pergi. Eko menyatakan dalam sajaknya:


Dunia adalah dinding dari sejuta teka-teki
di mana manusia seperti engkau juga aku dan dia
saling butuhkan sepi

(sajak “Sebelum”, hal. 9)

Memilih sepi dalam puisi seperti mencipta waktu senggang dalam konsep Fransiscus Simon (lihat dalam Muhammad Ridha, Kompas, 2010). Waktu digunakan untuk mendiskusikan kebenaran dan upaya menjunjungnya. Waktu dipakai untuk merefleksikan gelagat peristiwa kehidupan yang telah, sedang, dan akan ada.

Waktu semacam ini telah di ambang kepunahan karena secara masif digilas oleh logika konsumsi. Seluruh waktu manusia habis tersita oleh kerja, mengejar bermacam-macam kebutuhan, ambisi, dan cita-cita. Jam kerja yang padat membuat manusia seperti robot yang dijalankan oleh mesin kerja kapitalisme. Kembali ke sepi bisa berarti menjauh dari dehumanisasi waktu.

Humanisasi waktu dalam puisi Eko diwujudkan dalam personifikasi seperti saat malam memisah mimpi (1), waktu yang berkemas (4), menatapmu lewat telunjuk waktu (5), waktu yang mencorat-coret dinding (25), dan ruhnya diburu waktu (28).

Seperti halnya Aristoteles pernah berharap agar rakyatnya memiliki waktu senggang yang seluas-luasnya. Sebab, katanya, meminjam Xenophon, ”kerja menyita seluruh waktu dan dengan kerja, orang tidak memiliki waktu luang untuk republik dan teman-temannya”. Tapi, bisakah kita berharap hal itu terjadi saat ini? Berharap agar saat-saat yang meditatif, kontemplatif, dan romantis dapat kita nikmati atau bahkan kita rayakan sebagai sebuah upacara pembebasan manusia dari penjara kerja. Memimpikan berhentinya roda kapitalisme, roda mesin penghasil uang dan laba (Ridha, Kompas, 2010).

Waktu Personal, Waktu Sosial

Salah satu momentum yang mungkin terulang dan secara tersirat diharapkan jangan terulang oleh Eko antara lain dicatat dalam sajak “Salemba” (h. 92). Dalam sajak ini waktu historis disimpan di kaca jendela, di jalan, di lorong-lorong. Lintasan waktu yang menyedihkan itu membuat ia tiba-tiba ingin pulang. Pulang bisa berarti kembali ke tempat asal, Kotabaru yang dibayangkannya sebagai negeri damai. Pulang bisa pula bermakna lain yang lebih sublim dan filosofis.

Eko menjadi salah seorang pencatat pengalaman batin masyarakat Indonesia secara umum dan Kalsel secara khusus dan Kotabaru secara lebih spesifik, memasuki abad XXI dalam sajaknya “Matahari Tahun 2000″ (h. 98). Puisi ini pun dapat menjadi tonggak pengukur untuk mengetahui setidaknya sampai tahun ini (sudah satu dekade) negeri ini belum berbuat yang berarti.

Doanya dalam sajak ini masih sangat relevan di tengah belum sinkronnya hubungan pusat dan daerah dalam memperbaiki keadaan daerah dan bangsa. Negeri ini, kata sajak ini, masih dirobek oleh tangan kita sendiri. Ini perlu digarisbawahi di tengah sikap kekanak-kanakan orang kebanyakan yang sering menuding bangsa lain sebagai perusak negeri ini tanpa menyisakan sedikit momen introspeksi atas kesalahan diri yang menahun dan akut.

Waktu dalam puisi Eko bukan substansi yang lepas dari suasana hati. Suasana sepi nyaris selalu terikat pada waktu malam, menjelang malam, atau tengah malam. Sifat malam secara universal memang memetaforkan suasana hati yang jatuh, sedih (meski tak harus cengeng). Sebaliknya suasana hati yang riang terikat pada waktu pagi.

Misalnya, ketika Eko ingin menyimpan kenangan manisnya di masa anak-anak yang penuh keriangan, menceritakan kedekatannya dengan gunung, sungai, dan laut, maka ia memilih waktu pagi untuk sajak “Kasidah Kota” (h.100).

Silakan teruskan pembacaan yang lebih serius pada kumpulan puisi ini, terutama soal sifat deiktis waktu dan metafora dan personifikasi waktu dalam puisi karena penelusuran yang sungguh-sungguh mengenai hal ini bisa menjadi ukuran objektif dari perspektif kebahasaan dan kesastraan dalam menakar kualitas puisi.

Setidaknya kita mendapatkan pelajaran dari kumpulan puisi ini bahwa waktu dalam sajak bisa menjadi penuntun kita memahami persepsi seorang penyair atau perasaan kolektif masyarakat terhadap peristiwa yang melintas dalam waktu fisis mekanis.

Waktu kronis dalam puisi tak semata konsepsi waktu dan peristiwa pribadi. Dalam konsepsi waktu yang individual, jika kita cermati lebih hati-hati, bisa juga kita temukan pertemuan antara konsepsi waktu yang personal dan sosial.

Loktara, 26.08.2010

KALEIDOSKOP SASTRA KALSEL 2010

Tajuddin Noor Ganie, M. Pd *
http://www.radarbanjarmasin.co.id/

SENIN, 4 JANUARI 2010
Puskajimastra Kalsel mulai menyebar-luaskan buku Tajuddin Noor Ganie (TNG) berjudul Antologi Biografi Sastrawan Kalsel (ABSKS) dan Sejarah Lokal Kesuastraan Indonesia di Kalsel 1930-2009 (SLKIKS 1930-2009)

ABSKS memuat profil apa dan siapa 543 sastrawan Kalsel yang terbilang menonjol prestasi, reputasi, dan dedikasi kesastrawanannya (tebal 413+26 halaman). Sedangkan SLKI-KS merupakan salah satu dari sejumlah versi sejarah lokal kesuastraan Indonesia di Kalsel. Isi kedua buku ini bersifat saling melengkapi satu sama lainnya.

Menurut versi Tajuddin Noor Ganie, sejarah lokal kesusastraan Indonesia di Kalsel 1930-2009 terdiri atas 9 kelompok generasi. Setiap kelompok generasi sastrawan Kalsel memiliki fenomena sastra pers, sastra buku, dan wawasan estetik karya sastra yang berbeda satu sama lainnya.

Buku SLKI-KS 2009 merupakan pengembangan lebih lanjut dari buku berjudul sama yang telah diterbitkan secara terbatas pada tahun 1995. Tujuan penerbitan buku SLKI-KS 2009 adalah untuk menampung data-data mutakhir yang berhasil dikumpulkan penulisnya pada tahun 1996-2009.

SENIN, 1 MARET 2010
Penerbit Atria Jakarta menerbitkan novel karangan Farah Hidayati berjudul Loversus. Farah Hidayati, lahir di Banjarmasin, Kalsel, 1981. Sarjana S.1 PTN di Bandung. Mulai menulis cerpen dan novel sejak tahun 1990-an. Tahun 2005, meraih prestasi sebagai pemenang pertama dalam lomba menulis novel remaja yang diselenggarakan oleh PT Grasindo Jakarta. Judul novelnya Rumah Tumbuh, tahun 2005 itu juga diterbitkan oleh PT Grasindo Jakarta.

KAMIS, 1 APRIL 2010
Penerbit Frame Publisihing Yogyakarta menerbitkan buku kumpulan guman karangan Ali Syamsuddin Arsi berjudul Istana Daun Retak. Ali Syamsuddin Arsi, lahir di Barabai, Kalsel, 5 Juni 1964. Namun, tempat dan tanggal lahirnya yang benar menurutnya adalah di Tubau, Kecamatan Labuhan Amas Selatan, Hulu Sungai Tengah, 23 Desember 1963. ASA sendiri cuma nama pena sebagai sastrawan saja, nama resmi yang dipergunakannya di dalam surat-surat penting miliknya adalah Syamsuddin. Ketika tinggal di Yogyakarta (1981-1984), ASA bahkan pernah mempergunakan nama pena Jack Udon (JU). Mulai menulis puisi, cerpen, dan esei sastra sejak tahun 1980-an. Tahun 2005 menerima hadiah seni bidang sastra dari Gubernur Kalsel (Drs. H. Rudy Ariffin MM).

SABTU, 1 MEI 2010
Penerbit Araska Publisher Yogyakarta menerbitkan buku kumpulan cerpen karangan Mahmud Ali Jauhari berjudul Imanku Tertelungkup di Kakinya. Majmud Jauhari Ali, lahir di Banjarmasin, 15 Januari 1982. Sejak tahun 2004 bekerja sebagai PNS dengan jabatan fungsional sebagai peneliti di Balai Bahasa Palangka Raya. Mulai menulis puisi, cerpen, dan esei sastra sejak tahun 2000-an. Publikasi karya sastranya antara lain di SKH Banjarmasin Post, SKH Radar Banjarmasin, SKH Mata Banua Banjarmasin, Tabloid Spirit Kalsel Banjarmasin, Tabloid Serambi Ummah Banjarmasin, dan Majalah Nawala (terbitan Pusat Bahasa Jakarta).

SELASA, 1 JUNI 2010
Tahura Media Banjarmasin menerbitkan antologi cerpen karangan M. Hasbi Salim berjudul Magnet Baitullah. M. Hasbi Salim, lahir di Rumpiang, Kecamatan Aluh Aluh, Kabupaten Banjar, 26 Juli 1963. Sarjana S.1 Fakultas Tarbiyah IAIN Antasari Banjarmasin. Bekerja sebagai PNS, Guru SMA Negeri I Amuntai, dan Dosen STIQ Rasyidiyah Khalidiyah Amuntai.

Mulai menulis puisi dan cerpen sejak tahun 1990-an. Publikasi karya sastranya antara lain di SKH Banjarmasin Post, Tabloid Serambi Ummah Banjarmasin, SKH Radar Banjarmasin, Majalah Al Kisah Jakarta, Majalah Kartini Jakarta, Majalah Kiblat Jakarta, SKH Kompas Jakarta, dan Majalah Mentari Surabaya.

KAMIS, 1 JULI 2010
Puskajimastra Kalsel mulai menyebar-luaskan buku kumpulan cerpen Tajuddin Noor Ganie (TNG) berjudul Tengah Malam di Kuala Lumpur. Didalamnya dimuat cerpen-cerpen TNG yang ditokohi oleh para tokoh dengan ciri-ciri sosiologis dan psikologis khas orang Banjar di Kalsel. Begitu pula halnya dengan latar tempatnya, juga merujuk kepada pelukisan alam yang khas daerah Kalsel.

KAMIS, 8 JULI 2010
Tahura Media Banjarmasin menerbitkan buku kumpulan puisi karangan Hajriansyah berjudul 99 Puisi Hajri. Hajriansyah, lahir di Banjarmasin, 10 Oktober 1979. Alumnus Pondok Pesantren Darul Hijriah Banjarbaru, Modern School of Design Yogyakarta, dan Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta. Mulai menulis puisi sejak tahun 2000-an. Publikasi puisinya antara lain di SKH Radar Banjarmasin dan SKH Media Kalimantan Banjarmasin.

KAMIS, 15 JULI 2010
Komunitas Sastrawan Indonesia (KSI) Banjarmasin menerbitkan buku kumpulan cerpen karangan Nailiya Nikmah JKF berjudul Rindu Rumpun Ilalang. Nailiya Nikmah JKF, lahir di Banjarmasin, 9 Desember 1980. Mulai menulis cerpen dan esei sastra sejak tahun 2000-an. Cerpennya ikut dimuat dalam antologi cerpen bersama Nyanyian Tanpa Nyanyian (2009). Aktif bergabung dalam organisasi Forum Lingkar Pena (FLP) Kalsel, dan Komunitas Sastrawan Indonesia (KSI) Banjarmasin.

SABTU, 21 AGUSTUS 2010
Dewan Kesenian Kota Banjarbaru menyelenggarakan acara Tadarus Puisi dan Silaturahmi Sastrawan VII di Taman Air Mancur DAWN van der Vijl, Minggu Raya, Banjarbaru. Tema yang diusung dalam acara ini adalah Capita Selekta Kepenyairan Arsyad Indradi.

JUM’AT, 27 AGUSTUS 2010
Drs. Jarkasi M.Pd, sastrawan Kalsel generasi penerus zaman orde baru 1980-1989, pukul 21.30 Wita meninggal dunia di Kertak Hanyar, Kabupaten Banjar, pada usia 50 tahun. Jarkasi lahir di Kertak Hanyar, 30 Mei 1960. Sarjana S.1 dan S.2 PBS FKIP Universitas Lambung Mangkurat Banjarmasin. Bekerja sebagai PNS, dosen FKIP Universitas Lambung Mangkurat Banjarmasin. Mulai menulis puisi, cerpen, dan esei sastra sejak tahun 1980-an. Antologi puisi bersama yang ikut memuat puisi-puisinya Publikasi puisinya antara lain di SKH Banjarmasin Post, SKH Dinamika Berita Banjarmasin, SKH Radar Banjarmasin, Tabloid Wanyi Banjarmasin, dan Tabloid Jendela Serawak, Malaysia.

SENIN, 6 SEPTEMBER 2010
Di kota Pagatan, Kabupaten Tanah Bumbu, diselenggarakan acara Malam Anugerah Seni dan Tadarus Puisi.

KAMIS, 9 SEPTEMBER 2010
Tiga sastrawan Kalsel, yakni Arsyad Indradi (Banjarbaru), Hamberan HD Syahbana (Banjarmasin), dan Maskuni (Marabahan) menerima hadiah seni bidang sastra dari Gubernur Kalsel Drs. H. Rudy Arifin MM. Hadiah seni diserahkan dalam suatu acara di Mahligai Pancasila Banjarmasin.

Arsyad Indradi, lahir di Barabai, 31 Desember 1949. Pernah kuliah di Fakultas Hukum Universitas Lambung Mangkurat Banjarmasin. Sarjana S.1 STKIP PGRI Banjarmasin. Bekerja sebagai PNS. Pernah mengemban tugas sebagai guru SMPN di Banjarbaru, dan penilik kebudayaan di Kabupaten Banjar. Tahun 2009, pensiun sebagai PNS. Mulai menulis puisi sejak tahun 1970-an.

Hamberan HD Syahbana, lahir di Banjarmasin, 14 Juli 1948. Sering mempergunakan nama pena HS Bram Dibasuwinda. Bekerja sebagai PNS, mulai-mula menjadi guru di SMP Negeri Simpur, SPG Negeri Kandangan, dan kemudian pindah ke salah satu SMTA di kota Banjarmasin. Tahun 2008 pensiun sebagai PNS. Mulai menulis puisi, cerpen, esei sastra, dan naskah drama sejak tahun 1970-an. Publikasi puisinya antara lain di Majalah Bandarmasih Banjarmasin (1974-1975), dan SKH Banjarmasin Post.

Maskuni, lahir di Amuntai, 29 Oktober 1953. Sering mempergunakan nama pena Jaka Mustika. Sarjana S.1 STKIP PGRI Banjarmasin (1996). Bekerja sebagai PNS di Dinas Pendidikan Kabupaten Barito Kuala Marabahan. Mulai menulis puisi, cerpen, esei sastra, dan naskah drama sejak tahun 1970-an. Publikasi karya sastranya antara lain di SKH Banjarmasin Post dan SKH Dinamika Berita Banjarmasin.

JUM’AT, 1 OKTOBER 2010
Tahura Media Banjarmasin menerbitkan antologi cerpen karangan Aliansyah Jumbawuya berjudul Rahasia Perkawinan Sang Bintang. Aliansyah Jumbawuya, lahir di Desa Jumba, Amuntai, 3 Juni 1973. Nama aslinya Aliansyah. Sarjana S.1 Fakultas Hukum Universitas Lambung Mangkurat di Banjarmasin. Bekerja sebagai wartawan. Tinggal di Banjarbaru. Mulai menulis puisi, cerpen, dan esei sastra sejak tahun 1990-an. Publikasi karya sastranya antara lain di SKH Banjarmasin Post,SKH Dinamika Berita Banjarmasin, Tabloid Serambi Ummah Banjarmasin, dan SKH Radar Banjarmasin.

MINGGU, 3 OKTOBER 2010
H. Rizhanuddin Rangga, S.Pd, sastrawan Kalsel generasi penerus zaman orde baru 1970-1979, meninggal dunia di Marabahan pada usia 53 tahun. Lahir di Barito Utara, Kalteng, 10 November 1957. Sarjana S.1 PBSID STKIP PGRI Banjarmasin (1994). Bekerja sebagai PNS, Guru SD (1978-2001), Dinas Pariwisata Seni dan Budaya Kabupaten Barito Kuala di Marabahan (2001-2004), dan Dinas Sosial Kesatuan Bangsa dan Perlindungan Masyarakat Kabupaten Barito Kuala di Marabahan (sejak 2004). Mulai menulis puisi dan naskah drama sejak tahun 1970-an. Publikasi karya sastranya antara lain di SKH Banjarmasin Post. Antologi puisi pribadinya lain Nyanyian Rindu Bagi Tanah Kelahiranku (Banjarmasin, 1982). Tahun 2000, menerima hadiah seni bidang sastra dari Gubernur Kalsel.

JUM’AT, 8 OKTOBER 2010
Penerbit AKAR Yogyakarta menerbitkan buku kajian puisi karangan Jamal T. Suryanata berjudul Tragika Sang Pecinta : Gayutan Sufistik Sajak-sajak Ajamuddin Tifani. Jamal T. Suryanata, lahir di Desa Taniran Selatan, Hulu Sungai Selatan, 1 September 1966. Nama aslinya Jamaluddin. Sarjana S.1 PBSID STKIP PGRI Banjarmasin (1999), dan Sarjana S.2 PBSID FKIP Universitas Lambung Mangkurat di Banjarmasin (2003). Bekerja sebagai PNS, pernah cukup lama menjadi guru di SDN Batu Ampar, Tanah Laut. Kemudian mutasi ke Dinas Pendidikan Tanah Laut di Pelaihari.

Mulai menulis puisi, cerpen, novel, dan esei sastra sejak tahun 1990-an. Publikasi karya sastranya antara lain di Majalah Basis Yogyakarta, Majalah Gong Yogyakarta, Majalah Horison Jakarta, SKH Kompas Jakarta, SKH Koran Tempo Jakarta, SKH Republika Jakarta, Majalah Matabaca Jakarta, Majalah Matra Jakarta, Majalah On/Off, Majalah Suara GuruSKM Swadesi Jakarta, Majalah Al Zaytun, SKH Bali Post Denpasar, SKH Surya Surabaya, SKH Banjarmasin Post, SKM Media Masyarakat Banjarmasin, SKH Dinamika Berita Banjarmasin, Tabloid Wanyi Banjarmasin, SKH Radar Banjarmasin, Jurnal Kandil Banjarmasin, dan Majalah Dewan Sastra Kuala Lumpur Malaysia. Tahun 2006, menerima hadiah seni bidang sastra dari Gubernur Kalsel.

SENIN, 1 NOVEMBER 2010
Dinas Tata Kota, Budaya, dan Pariwisata Kabupaten Barito Kuala menerbitkan buku syair karangan H. Rock Syamsuri Sabri berjudul Syair Rumah. H. Rock Syamsuri Sabri, lahir di Banjarmasin, 11 Juni 1949. Nama aslinya H. Syamsuri (HS). RSS juga sering mempergunakan nama pena S. Bud. Lulusan SD Negeri Banjarbaru (1963), SMP Negeri Banjarbaru (1966), SMA Negeri Banjarbaru (1969), dan PPSDA Banjarbaru (1972).

Sejak tahun 1973 bekerja sebagai PNS di Kantor Wilayah Departemen Penerangan Kalimantan Selatan di Banjarbaru, kemudian sejak tahun 1974 dipindah-tugaskan ke Kantor Departemen Penerangan Kabupaten Barito Kuala di Marabahan. Tahun 1997-1999, RSS menjadi anggota DPRD Barito Kuala. Tahun 1999-2004, terpilih kembali menjadi anggota DPRD Barito Kuala. Mulai menulis puisi, cerpen, esei sastra, dan naskah drama sejak tahun 1970-an. Publikasi karya sastranya antara lain di SKH Banjarmasin Post. Tahun 1997, menerima hadiah seni bidang teater dari Gubernur Kalsel.

JUM’AT, 26 NOVEMBER 2010
Berkenaan dengan diselenggarakannya Aruh Sastra Kalsel VII di Tanjung. Panitia pelaksana menerbitkan 2 judul buku sekaligus, yakni antologi puisi bersama Menyampir Bumi Leluhur dan antologi puisi dan cerpen bersama Manyanggar Banua.

MINGGU, 28 NOVEMBER 2010,
H. Ahmad Safwani Ibahy (ASI) bin Ismail Bakri, sastrawan Kalsel generasi penerus zaman orde lama 1960-1969, meninggal dunia di RS Pelni Jakarta dalam usia 69 tahun dan dimakamkan di Banjarmasin, Senin, 29 November 2010 (SKH Banjarmasin Post, Selasa, 30 November 2010).

Lahir di Muara Teweh, Barito Utara, Kalteng, 28 November 1941. Bekerja sebagai wartawan. Tahun 1979-1987 menjadi Kepala Cabang Lembaga Kantor Berita Nasional (LKBN) Antara Cabang Banjarmasin.

Mulai menulis puisi sejak tahun 1960-an. Publikasi puisinya antara lain di Majalah Sastra Jakarta (Jiwa Kami, Edisi 4,5,6 April, Mei, Juni 1962), Majalah Budaya Yogyakarta, dan SKH Banjarmasin Post (1971-1989).

Antologi puisi bersama yang ikut memuat puisi-puisinya antara lain Perkenalan di Dalam Sajak (Banjarmasin, 1963), dan Dengarlah Bicara Kami (Banjarmasin, 1984).

MINGGU, 12 DESEMBER 2010
Tiga sastrawan Kalsel, yakni H. Adjim Arijadi, H. Syamsiar Seman, dan Syarifuddin R, menerima gelar Datu Mangku Adat (DMA). Gelar dimaksud dianugerahkan oleh Raja Muda Kerajaan Banjar, Pangeran H. Khairul Saleh, dalam suatu upacara resmi kerajaan di Mahligai Sultan Adam Martapura.

H. Adjim Arijadi, lahir di Mali-mali, Kabupaten Banjar, 7 Juli 1940. Pendidikan formal yang pernah ditempuhnya SR, SGB, SGA dan ASDRAFI Yogyakarta. Mulai menulis puisi, cerpen, esei, naskah drama, dan naskah sinetron sejak tahun 1966. Publikasi karya sastranya antara lain di SKH Duta Masyarakat Yogyakarta (pengasuh rubrik Duta Budaya), SKH Pelopor Yogyakarta, SKH Masa Kini Yogyakarta, SKH Suara Kalimantan Banjarmasin, SKH Banjarmasin Post, SKM Media Masyarakat, Majalah Bandarmasih Banjarmasin, dan SKH Radar Banjarmasin. Sehubungan dengan prestasi, reputasi, dan dedikasinya yang luar biasa di bidang seni drama ini, maka pada tahun 1974, AA menerima hadiah seni bidang drama dari Gubernur Kalsel (Soebardjo Soerjosaroso).

H. Syamsiar Seman, lahir di Barabai, 1 April 1936. Sarjana S.1 Fakultas Sosial Politik Universitas Lambung Mangkurat Banjarmasin. Tahun 1960, SS bekerja sebagai Guru Sekolah Rakyat, Kepala Sekolah Rakyat, dan Kepala SMP Swasta. Sejak tahun 1963, SS bekerja sebagai PNS di Kantor Gubernur Kalsel di Banjarmasin, kemudian tahun 1975, SS pindah kerja (mutasi) ke Kantor BKKBN Kalsel di Banjarmasin. Tahun 1992, SS pensiun sebagai PNS. Selain sebagai PNS, SS juga menjadi dosen luar biasa di sejumlah PTN/PTS yang ada di kota Banjarmasin, yakni di (1) Fakultas Sosial Politik Universitas Lambung Mangkurat Banjarmasin (1977-1979), (2) IAIN Antasari Banjarmasin (1979-1988), dan (3) STIA Bina Banua Banjarmasin (Dekan, 1982-1985).

Mulai menulis puisi, cerpen, esei sastra, dan naskah drama sejak tahun 1950. Publikasi karya sastra antara lain di Majalah Pancawarna Jakarta (1955), Majalah Puspa Ragam Bandung (1955-1958), Majalah Ipphos Report Jakarta (1956), Majalah Indonesia Jakarta (1957-1958), Majalah Sinar Islam Jakarta (1957-1958), Majalah Berita Minggu Bandung (1959), Majalah Konfrontasi Jakarta (1960), Majalah Tanah Air Surabaya (1961-1962), Majalah Pembina Surabaya (1962-1963), SKM Minggu Pagi Yogyakarta (1962-1963), Majalah Pesat Yogyakarta (1962-1963), Majalah Varia Jakarta (1962-1963), Majalah Bina Sejahtera Jakarta (1975-1986), Majalah Monitor (1981-1982), Majalah Warnasari (1981-1982), dan SKH Banjarmasin Post (1971-2009).

Syarifuddin R, lahir di Amuntai, 12 Pebruari 1953. Bekerja sebagai PNS di Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kalsel Banjarmasin (Pensiun 2009). Mulai menulis esei sastra sejak tahun 1970-an. Publikasi esei sastranya anatara lain di SKH Banjarmasin Post dan Tabloid Wanyi Banjarmasin.

SENIN, 20 DESEMBER 2010
Antologi cerpen Sainul Hermawan berjudul Pelajaran Membaca diluncurkan. Peluncuran ditandai dengan diselenggarakannya diskusi sastra membahas buku dimaksud. Tampil sebagai pembicara adalah M. Zainal Arifin Anis, Nailiya Nikmah, Nachdiansyah Abdi, dan Noor Cahaya.

Sainul Hermawan, lahir di Desa Brakas, Kecamatan Raas, Kabupaten Sumenep, Madura, 13 Maret 1973. Sarjana S.1 Pendidikan Bahasa dan Sastra Inggeris FKIP Universitas Islam Malang, dan Sarjana S.2 Program Pascasarjana Fakultas Sastra Universitas Gadjahmada Yogyakarta (wisuda, 2003).

Sejak Pebruari 2005, diangkat sebagai Dosen FKIP Universitas Lambung Mangkurat Banjarmasin. Sejak itu pula mulai dikenal luas sebagai sastrawan, pengamat sastra, dan kritikus sastra di Kalsel.

Publikasi karya sastranya antara lain di SKH Malang Post, SKH Posinfo Malang, SKH Warta Malang, SKH Pendidikan Malang, SKH Metro Pos Malang, SKH Kompas Jatim Malang, SKH Banjarmasin Post, SKH Radar Banjarmasin, Jurnal Pendar Solo, Jurnal Kandil Banjarmasin, Jurnal Metafor Banjarmasin, dan Jurnal Wiramartas Banjarmasin.

RABU, 22 DESEMBER 2010
Dua sastrawan Kalsel, yakni H. Amir Husaini Zamzam dan Burhanuddin Soebely, menerima Anugerah Budaya 2010 dari Pemerintah Provinsi Kalimantan Selatan.

H. Amir Husaini Zamzam, lahir di Amuntai, 10 November 1938. Sarjana Muda Jurusan Akutansi Akademi Administrasi Niaga Negeri Banjarmasin Filial Amuntai (1969-1970). Tinggal di Amuntai. Bekerja sebagai PNS di lingkungan Pemerintah Kabupaten Hulu Sungai Utara di Amuntai, Kalsel. Menjelang pensiun AHZ dimutasi ke Kantor BP7 Kalsel di Banjarmasin. Tahun 1994, AHZ pensiun, dan kembali tinggal di Amuntai.

Mulai menulis puisi dan esei sastra sejak tahun 1960-an. Publikasi karya sastranya antara lain di Majalah Merdeka Jakarta, Majalah Pembina Jakarta, Buletin Sastra Dermaga Palangka Raya, SKH Manikam Banjarmasin, SKH Upaya Banjarmasin, SKM Media Masyarakat Banjarmasin, SKH Dinamika Berita Banjarmasin, dan SKH Banjarmasin Post Banjarmasin. Tahun 2004, menerima Hadiah Seni Bidang Sastra dari Gubernur Kalsel (Drs. H. Rudi Arifin).

Burhanuddin Soebely, lahir di Kandangan, 2 Januari 1957. Sarjana S.1 FISIP Universitas Terbuka Jakarta. Bekerja sebagai PNS. Mula-mula di Kantor Departemen Penerangan Kabupaten Hulu Sungai Selatan di Kandangan, dan kemudian di Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Hulu Sungai Selatan. Mulai menulis puisi, cerpen, esei sastra, novel, naskah drama, dan skenario sinetron sejak tahun 1975. Publikasi karya sastranya di SKH Banjarmasin Post, SKH Media Masyarakat Banjarmasin, Tabloid Wanyi Banjarmasin, Tabloid Gerbang Kandangan, SKH Berita Nasional Yogyakarta, SKH Pelopor Yogyakarta, SKH Masa Kini Yogyakarta, SKH Kedaulatan Rakyat Yogyakarta, SKH Terbit Jakarta, SKH Pelita Jakarta, SKH Berita Buana Jakarta, Majalah Anita Jakarta, Majalah Femina Jakarta, dan SKH SKH Radar Banjarmasin.

KAMIS, 30 DESEMBER 2010
Surat Kabar Radar Banjarmasin menggelar acara bertajuk Refleksi Akhir Tahun 2010 bertempat di Taman Air Mancur DAWN van der Vijl, Minggu Raya, Banjarbaru.

Sabtu, 1 Januari 2011
*) Puskajimastra Kalsel Banjarmasin

Label

`Atiqurrahman A Muttaqin A Rodhi Murtadho A. Iwan Kapit A. Purwantara A. Qorib Hidayatullah A. Zakky Zulhazmi A.H.J Khuzaini A.S. Laksana Aang Fatihul Islam Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi WM Abdul Kadir Ibrahim Abdul Lathief Abdul Malik Abdul Wachid B.S. Abdurrahman El Husaini Abidah El Khalieqy Abu Salman Acep Zamzam Noor Achdiat K. Mihardja Adek Alwi Adi Suhara Adnyana Ole Adreas Anggit W. Afrion Afrizal Malna Aguk Irawan MN Agung Dwi Ertato Agus B. Harianto Agus Buchori Agus Himawan Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sulton Agusri Junaidi Agustinus Wahyono Ahda Imran Ahmad Badrus Sholihin Ahmad Fanani Mosah Ahmad Fatoni Ahmad Ikhwan Susilo Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musabbih Ahmad Rofiq Ahmad Sahidah Ahmad Tohari Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sekhu Alex R. Nainggolan Alex Suban Alunk Estohank Ami Herman Amien Kamil Amien Wangsitalaja Aminudin R Wangsitalaja Anastasya Andriarti Andreas Maryoto Anes Prabu Sadjarwo Angela Angga Wijaya Angkie Yudistia Anindita S Thayf Anis Ceha Anjrah Lelono Broto Anton Kurnia Anton Kurniawan Anton Wahyudi Anugrah Gio Pratama Anwar Nuris Aprinus Salam Arie MP Tamba Arif B. Prasetyo Arif Bagus Prasetyo Arif Hidayat Arman A.Z. Arti Bumi Intaran Arys Hilman AS Sumbawi Asarpin Asef Umar Fakhruddin Asep Sambodja Asrama Mahasiswa Aceh SABENA Astrikusuma Asvi Warman Adam Atep Kurnia Awalludin GD Mualif Aziz Abdul Gofar Azizah Hefni Badrut Tamam Gaffas Bagja Hidayat Bagus Takwin Balada Bale Aksara Baltasar Koi Bambang Agung Bambang Kempling Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Bayu Insani Beni Setia Benny Arnas Benny Benke Berita Berita Duka Berita Utama Bernando J. Sujibto Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Blambangan Brunel University London BSW Adjikoesoemo Budaya Budhi Setyawan Budi Darma Budi Saputra Budi Suwarna Bung Tomo Cak Kandar Catatan Cerpen Chairil Anwar Chavchay Syaifullah Cucuk Espe Cunong N. Suraja D. Zawawi Imron Dadang Ari Murtono Daisuke Miyoshi Damanhuri Damhuri Muhammad Damiri Mahmud Danarto Daniel Dhakidae Dante Alighieri Deddy Arsya Dedy Tri Riyadi Denny Mizhar Deny Tri Aryanti Detti Febrina Dharmadi Diah Hadaning Dian Hartati Dian Sukarno Diana A.V. Sasa Dicky Fadiar Djuhud Didi Arsandi Dimas Dina Oktaviani Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Djadjat Sudradjat Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Doddy Hidayatullah Donny Anggoro Dony P. Herwanto Dorothea Rosa Herliany Dr. Muhammad Zafar Iqbal Dr. Simuh Dwi Arjanto Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwicipta Dwijo Maksum Edy A. Effendi Edy Firmansyah Efri Ritonga Egidius Patnistik Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Hendri Saiful Elik Elsya Crownia Emha Ainun Nadjib Endah Sulawesi Endah Wahyuningsih Endang Suryadinata Endhiq Anang P Endri Y Eriyandi Budiman Ernest Hemingway Esai Esha Tegar Putra Eva Dwi Kurniawan Evi Dana Setia Ningrum Evi Idawati Evieta Fadjar F Rahardi Fabiola D. Kurnia Fadelan Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Faisal Kamandobat Faisal Syahreza Faizal Syahreza Fajar Alayubi Fandy Hutari Fany Chotimah Fatah Yasin Noor Fathor Lt Fathurrahman Karyadi Fatih Kudus Jaelani Fatma Dwi Rachmawati Fauzi Absal Festival Sastra Gresik Fikri. MS Fina Sato Fitri Susila Galih Pandu Adi Gde Agung Lontar Geger Riyanto Gerakan Literasi Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Ginanjar Rahadian Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gunoto Saparie Gus Martin Gus tf Sakai Gusti Eka Hadi Napster Haji Misbach Halim HD Halimi Zuhdy Hamberan Syahbana Hamdy Salad Han Gagas Handoko F. Zainsam Hari Santoso Haris del Hakim Hartono Harimurti Hary B. Kori’un Hasan Gauk Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Helwatin Najwa Hepi Andi Bastoni Heri C Santoso Heri KLM Heri Latief Heri Listianto Hermien Y. Kleden Hernadi Tanzil Heru Emka Heru Kurniawan Heru Prasetya Hesti Sartika Hudan Hidayat Humaidiy AS I Made Asdhiana I Made Prabaswara I Nyoman Suaka IBM. Dharma Palguna Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Ida Ahdiah Idayati Ignas Kleden Ihsan Taufik Ilenk Rembulan Ilham Khoiri Ilham Yusardi Imam Cahyono Imam Jahrudin Priyanto Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indah Darmastuti Indiar Manggara Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indrian Koto Irma Safitri Irman Syah Iskandar Noe Istiqomatul Hayati Ita Siregar Iwan Kurniawan Iwan Nurdaya-Djafar Iyut FItra Jadid Al Farisy Jafar M. Sidik Jakob Sumardjo Jamal D Rahman Janual Aidi Javed Paul Syatha Jayaning S.A Jefri al Malay Jihan Fauziah JJ. Kusni Jo Pakagula Johan Edy Raharjo Joko Pinurbo Jokowi Undercover Joni Ariadinata Joss Wibisono Jual Buku Paket Hemat Judyane Koz Juli Sastrawan Junaidi Abdul Munif Jusuf AN Juwairiyah Mawardy Kadir Ruslan Kasnadi Katrin Bandel Kedung Darma Romansha Khairul Mufid Jr Khamami Zada Khrisna Pabichara Kikin Kuswandi Koh Young Hun Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Komunitas Sastra Ilalang Indonesia (KSII) Korrie Layun Rampan Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan) Kristianto Batuadji Kritik Sastra Kunni Masrohanti Kunthi Hastorini Kuntowijoyo Kurie Suditomo Kurnia EF Kurniawan Kuswaidi Syafi'ie Kuswinarto Lan Fang Landung Rusyanto Simatupang Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Liestyo Ambarwati Khohar Linda Sarmili Liston P. Siregar Liza Wahyuninto LN Idayanie Lucia Idayani Lukman Asya Lusiana Indriasari Lynglieastrid Isabellita M Hari Atmoko M. Aan Mansyur M. Arman A.Z M. Bagus Pribadi M. Fadjroel Rachman M. Harya Ramdhoni Julizarsyah M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S M. Luthfi Aziz M. Nahdiansyah Abdi M. Raudah Jambak M. Shoim Anwar M. Yoesoef M.D. Atmaja Maghfur Saan Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Majalah Sastra Horison Maklumat Sastra Profetik Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Serenade Sinurat Mario F. Lawi Marluwi Marsel Robot Martin Aleida Martin Suryajaya Mashuri Matdon Mega Vristian Melani Budianta Melayu Riau Memoar MG. Sungatno Mh Zaelani Tammaka Miftah Fadhli Miftahul Abrori Misbahus Surur Miziansyah J Mochtar Lubis Mohamad Ali Hisyam Mohammad Eri Irawan MT Arifin Mugy Riskiana Halalia Muhajir Arrosyid Muhamad Rifai Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Al-Mubassyir Muhammad Qodari Muhammad Rain Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun A.S Muhidin M. Dahlan Muhlis Al-Firmany Mujtahid Mulyadi SA Munawir Aziz Murniati Tanjung Murnierida Pram Musa Ismail Musfi Efrizal Mustaan Mustafa Ismail N. Mursidi Nafsul Latifah Naskah Teater Nasrullah Nara Nelson Alwi Nenden Lilis A Nh. Anfalah Ni Made Purnama Sari Nina Mussolini-Hansson Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Noura Nova Christina Noval Jubbek Novela Nian Nugroho Notosusanto Nugroho Pandhu Sukmono Nur Faizah Nurdin F. Joes Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nurul Komariyah Nuryana Asmaudi SA Nyoman Tusthi Eddy Nyoman Wirata Oka Rusmini Oktamandjaya Wiguna Oky Sanjaya Olanama Olivia Kristina Sinaga Otto Sukatno CR Pagelaran Musim Tandur Pamusuk Eneste Patricia Pawestri PDS H.B. Jassin PDS. H.B. Jassin Penghargaan Hadiah Sastra Pusat Bahasa Persda Network Pipiet Senja Pramoedya Ananta Toer Pramono Pranita Dewi Pringadi AS Prita Daneswari Prof. Tamim Pardede sebut Bambang Tri Prosa Pudyo Saptono Puisi Puisi Kesunyian Puisi Sufi Puji Santosa PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Wijaya Qaris Tajudin R. Sugiarti Rachmad Djoko Pradopo Radhar Panca Dahana Ragdi F. Daye Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Ramadhan Batubara Ramadhan KH Ratih Kumala Ratna Indraswari Ibrahim Ratna Sarumpaet Raudal Tanjung Banua Remy Sylado Reni Susanti Renny Meita Widjajanti Resensi Restu Kurniawan Retno Sulistyowati RF. Dhonna Rian Sindu Ribut Wijoto Ridwan Munawwar Riki Utomi Riris K. Toha-Sarumpaet Risang Anom Pujayanto Riza Multazam Luthfy Robin Al Kautsar Rodli TL Rofiqi Hasan Rohman Abdullah Rosidi Rosihan Anwar Rukardi S Yoga S. Jai S. Sinansari Ecip S.I. Poeradisastra S.W. Teofani Sabam Siagian Sabrank Suparno Saiful Anam Assyaibani Sainul Hermawan Sajak Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sanggar Rumah Ilalang Sanggar Teater Jerit Sapardi Djoko Damono Sartika Dian Sartika Dian Nuraini Sastra Tanah Air Sastra Using Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sayyid Fahmi Alathas Sazano Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo Seli Desmiarti Selo Soemardjan Senggrutu Singomenggolo Seno Joko Suyono SH Mintardja Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sipri Senda Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Sobih Adnan Sofian Dwi Sofie Dewayani Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sri Ruwanti Sri Wintala Achmad St Sularto Stefanus P. Elu Sukron Abdilah Sulaiman Djaya Suminto A. Sayuti Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sungging Raga Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Suryansyah Suryanto Sastroatmodjo Susanto Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suyadi Suyadi San Syaifuddin Gani Syaiful Amin Syamsiar Hidayah Syarbaini Syifa Amori Syifa Aulia Tajuddin Noor Ganie Taufik Abdullah Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat TE. Priyono Teguh Afandi Teguh Ranusastra Asmara Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Theresia Purbandini Tita Tjindarbumi Titik Alva-Alvi Choiriyah Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tjoet Nyak Dhien Tosa Poetra Tri Lestari Sustiyana Triyanto Triwikromo TS Pinang Tu-ngang Iskandar Tulus S Tulus Wijanarko Udo Z. Karzi Ugoran Prasad Umar Fauzi Ballah Umar Kayam Umbu Landu Paranggi Universitas Indonesia Universitas Jember Utada Kamaru UU Hamidy Vera Ernawati Veronika Ninik W.S. Rendra Wahjudi Djaja Wahyu Hidayat Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Budiartha Widya Karima Wijaya Herlambang Wiji Thukul Willem B Berybe Wilson Nadeak Winarni R. Wiratmo Soekito Wita Lestari Wiwik Widayaningtias Y. Thendra BP Y. Wibowo Yasser Arafat Yeni Ratnaningsih Yohanes Sehandi Yonatan Raharjo Yonathan Rahardjo Yopi Setia Umbara Yos Rizal S Yos Rizal Suriaji Yudhi Herwibowo Yuka Fainka Putra Yurnaldi Yushifull Ilmy Yusri Fajar Yusuf Suharto Zainal Abidin Zainal Arifin Thoha Zawawi Se Zen Hae