Selasa, 31 Mei 2011

YANG BERPOLA PIKIR, YANG RAJIN MENYINDIR

Suryanto Sastroatmodjo
http://sastra-indonesia.com/

1.
Sindiran boleh saja datang, dari siapapun, dan dari manapun. Namun jelas, bahwa si empunya sindiran adalah mereka yang merasa, dirinya sebagai tokoh yang merasa lebih berkepentingan dalam sesuatu persoalan, sehingga merasa pula berhak mengeluarkan pendapat. Saya teringat akanMultatuli, yang dalam “Max Havelaar”nya memperlihatkan kekuatan pena yang luar biasa, lantaran dia menyindir penguasa kolonial di Hindia Belanda, yang semena-mena itu.
Mungkin, seraya menampilkan kisah “Saijah dan Adinda” yang tragis, dengan alur cerita yang sebenarnya cuwer itu, pena Multatuli berbasah tinta, dengan sikap yang seperti seorang dari kelompok oposant. Kiranya lumrah, seperti diungkapkannya berulangkali dalam buku satirenya yang tajam sayatnya, penghisapan imperium Singa Walanda itu bukan lagi merupakan drama penghinaan kemanusiaan secara serampangan, melainkan juga menandakan bahwasanya kelompok-kelompok terpelajar Belanda yang duduk di belakang meja pemerintahan, telah lalu. Cuma saja, saya merasa mendongkol, bahwa dia menuduh ningrat-ningrat pribumi lebih kasar lagi dalam memainkan kekuasaan, sementara penguasa kulit putih “pura-pura tak melihat” praktek-praktek penghisapan yang dilakukan pegawainya. Kalau dia lebih jujur terbuka sedikit, niscaya akan terasa, tindakan-rindakan yang dilakukan ambtenar pribumi belumlah seberapa dibandingkan dengan kelaliman Belanda masa itu. Karena pola laku keijakan sebagaimana dicetuskan oleh intelektual lulusan negri kincir angin, yang berpanjikan Pax Neerlandica, seharusnya insyaf akan lalainya memberlakukan segala sesuatu yang lebih memberatkan kaum kecil, semasa Tanam Paksa dan sesudahnya.

2.
Di atas dinamika pembangunan, kendati pada masa kolonialpun, berdiri figurpenghiba hati, yang mencoba melencengkan garis wicaksana untuk memerintah negeri ini. Saya kira, kalau kita menggunakan darah dan daging, dan menggunakan pula rasa weningnya, takkan terbingkis kekejaman-kekejaman di luar kemanusiaan. Seperti diketahui, banyak benteng, penjara, kamp-kamp konsentrasi yang dibikin, atas nama imperialisme. Tanpa kita menuduh siapa pelakunya, namun harus ditandaskan, bagaimmana soal semacam ini terus menggugat hati kita di sini, hingga tak terbatas. Kacamata sejarah ini bisa berkata lain, bila diperhatikan, tentang periodisasi penjajahan ini—dan bagaimana warga desadijadikan sapi perah, untuk tugas-tugas penanaman lahan kosong. Dikatakan demikian, karena semasa penguasa pribumi memerintah, adipati, Pangeran, Sunan, Sultan, telah pula menugasi penduduk untuk mengikuti pranatan “Kering Aji” (pengerahan kawula untuk mengerajakan ladang sawah, sebagai kerja bakti), dan “Pundhutan Dalem” (penugasan para pamong dan warga desa untuk mempersembahkan hasil palawija dan ternak, sebagai persembahan bagi ritus-ritus suci di kraton). Jelas, fungsi dan kepentingan feudal-aristokratik pribumi. Namn, setelah pranatan ini kemudian dicangkokkan kepada peraturan Gubermen ( Pemerintahan Kolonial Belanda), pelaksanaannya menjadi lebih memprihatinkan. Kalau disimak dari peristiwa historis, ketaatan rakyat kepada Gustinya adalah jalaran “wedi-asih” (takut bercampur sayang) terhadap junjungan terhormat. Sedangkan kepada penguasa Belanda, rakyat justru merasa “lilah-luluh” (jadi terpaksa ikhlas, lantaran dipaksa untuk taat). Para ilmuwan Javanologi, marilah terus kita bandingkan kedua materi ini sebagai bahan ulasan. Ayo!

3.
Kesusastraan senantiasa punya kecendrungan yang aneh. Ia misalnya, punya tendensi yang tak bisa dilihat oleh mata yang kabur, yaitu tendensi seolah-olah TELAH menemukan suatu masyarakat yang ideal, yang oleh karenanya sastra mengambil langkah-langkah revolusioner. Wataknya memang sepi dari pamrih, non profitable—lantaran jangkauan yang digapainya adalah kemerdekan rohani yang lebih bersifat buani, ketimbang sesuatu “gebyar” di lingkup yang bersifat regional. Maka sastra yang bertendensi universal ini, secara tak langsung mengajak pengarangnya untuk jinjit-jinjit ke alam lebih cerah, bukan dalam artian memperoleh hadiah, melainkan agar suara jiwa yang melantun itu bisa ditangkap oleh kawula-kawula dari banyak bangsa, kaum, partai dan mazhab, di mancapraja. Pantas diakui, kesusastraan adalah salah satu urat nadi kekuatan yang menggerakkan sejarah. Seringkali malahn menciptakan sejarah—dan oleh sebab itu, orang segan dan hormat padanya.

4.
Perbendaharaan sejarah justru antara lain menekankan, adanya pengabdian yang tulus, yang dilakukan sedari usia muda. Karena di sini akan dapat ditilik, apakah kerja yang dihayati dalam langkah-langkah itu secara individual didorong oleh spirit untuk menyampaikan kebolehan yang dimiliki ataukah hanya bersandar pada ambisi tertentu (lebih-lebih lagi manakala disebabkan oleh bujukan lain orang). Manusia tumbuh keinsyafan seperti ini, justru para usia empatpuluh plus, dan jarang yang sebelumnya. Sebudi-akalnya, senantiasa dicelupkan pada ember yang penuh air, agar rambut di kepala makin kuyup, dan otak jadi lebih jernih dalam sejenak. Masyarakat menanggapi setiap lakon yang ditempuh sesuatu sosok, dengan terutama memperebutkan harga personalitas dan bukan imbas dari tumpahan-lelah yang berwujud benda-benda mewah. Karena itu, sebatas dunia intelek memungkinkan, maka orang berniat mengambil bidang “kecerdasan pikir” yang ditopang sesuatu gelar akademis, dan niscaya berikut pula semacam “ke-limpahruah-an sabda dan piwulang” dari beranda kalbu. Hanya dengan cara begini, kadar penghargaan menjadi lebih pinasti.

5.
Rasanya masih ada di antara kita yang ingat akantropenkolder –istilah yang bukan hanya secara kebetulan terbentuk di antara warga masyarakat colonial pada zaman Hindia Belanda dhulu. Ini semacam penyakit yang diderita oleh ambtener kulit putih, yang di satu pihak, dirinya merasa sebagai kaum yang superior, di atas orang-orang pribumi kulit berwarna ang diinjaknya. Peranggapan demikian hadir, sewaktu dia berkacakpinggang sebagai “ndoro tuan” atau “Kanjeng Yang Dipertuan” di sini. Tapi begitu mereka kembali ke kampung (atau mungkin hanya perlop sebentar, atau menikmati pasca pensiun), mereka dipaksa oleh keadaan, untuk mengakhiri rasa superior ini. Soalnya, warga bangsanya sendiri di sana, tak setinggi itu menghormatinya. Maka ia alami frustasi, sebagai warga Nederland, di kampung sendiri. Begitu pula, kaum intelektual Belanda, yang beranggapan, “ Lu tau apa he, pribumi goblok”, dan punya tesis-tesis gemilang tentang bidang ilmiah tertentu, menajiskan peranan pemikir di sini. Sayang, mereka keliru kelewat jauh. Karena, wawasan-wawasan orang sini genial, toh tetap memperoleh reputasi yang baik, di Nederland, sebatas semua itu berargumen kuat, ditopang data-data akurat. Maka, acapkali terjadi, bahwa dalam masyarakat kolonialis-imperialis, penghargaan atas diri sendiri didukung oleh tendensi rasial yang berkelebihan. Sedangkan penilaian sehat hanya akan terjadi, pada saat aparat-aparat penjajahan di sadarkan oleh lingkungan kampung halaman, yang menuding pada kenaifannya itu.

6.
Jikalau kita amati untaian pandang Sutan Syahrir dalam “Perjuangan Kita”, kentara bahwasanya dia memperluaskan soal-soal berikut : adakah seseorang yanmg benar-benar setia kepada persekutuan yang pernah ditaatinya, dan dilabuhinya selama bertahun-tahun, jika misalnya dia mesti menentukan cara pilih dan cara pandang, takkan mendurhaka pada teman-teman lamanya? Adakah, untuk suatu gambaran masa datang yang masih samar, ada orang atau kelompok yang merelakan dirinya sebagai kolaborator, yakni mereka yang terpaksa ataupun sukarela bekerjasama dengan musuh selama zaman penjajahan? Adakah pula, bahwa pemilihan hak serta wewenang yang lekat pada diri kita, kita secara gampang memindahkan soal ini ke kiri atau pun ke kanan, semata lantaran terdapat arus kuat yang menderu? Syahrir menginginkan, intelektualisme di satu pihak, bukan alas pijak kita sendiri, lebih-lebih jika perkataan harus satu asap dan satu api dengan pola budaya barat yang jauh di seberang sana. Apalagi, jika kita sendiri, kebanyakan belum siap dan belum mantap menjadi orang-orang intelek, karena pelabuhan masing-masing teramat dangkal dan tak memadai. Diharapkan, perkembangan lebih baik jika Masa Merdeka tiba.

7.
Dalam pertemuan antar manusia, maka implikasi yang timbul adalah bagaimana manusia saling menyampaikan makna. Apalagi jika pergulatan batin yang tengah diliyerkan dan dialihkan dalam hubungan sosial semacam ini merupakan gejala transendensi , yakni per-lewat-an batas-batas dunia empiric, di mana penguasaan atas materi oleh jiwa yang berlangsung, juga lantaran jiwa mengatur dialektik alam. Praktis, jagat kesenian merujuk kepada suasana kerja intelek, darimana orang per orang mencoba mengolah produksi kreatifnya dalam bentuk pengemongan imaginasi, dan penjabrana imaginasi, seluas-luasnya, sebangkit-bangkitnya. Trandensi ini pulalah yang merupakan habitus yang sensual dalam mengakurkan nilai praltis yang ada dengan daya muat masyarakat yang menerima wedaran-wedaran para pujangga. Kadar yang dimungkinkan oleh kerja saling mempersilahkan begini, menuju kepada synthese yang aman, kukira. Persoalannya, hidup sastrawan (yang mempergandakan seni sebaga produk humaniter) dan ilmuwan (yang membincangkan teori dan materi sekaligus, dalam rangka mengkomunikasikan ide lebih bernas suatu waktu), barangkali bisa sehaluan, sepanjang kenyataan bahwa ada kekuasaan yang menjembatani.

8.
Problema terpanjang dalam kemanusiaan ini—di mana manusia harus menjadi penentu hari esoknya sendiri, pengendali proyek hari depannya sendiri!—adalah bagaimana meniadakan ketakutan yang ada dalam dada. Adakalanya, ketakutan untuk mengeluarkan pendapat, senada dengan ketakutan untuk menyumbangkan reaksi spontan yang argumentatif. Adakalanya, ketakutan untuk menjadi penyerta dalam birokrasi kekuatan politik yang kekar, yang dia sendiri kuatir, untuk dianggap sebagai perngkritik yang sengit. Adakalanya pula, buah pikiran yang dipergelarkan pada palladium mahabijak, justru kelewat memperdengarkan kesetiakawanan sosial, dan bukan memancangkan kesetiakawanan mitra usaha, yang tengah dilandungkan. Namun demikian, pada saat orang tengah kebingungan untuk melontarkan krida pribadinya yang sejati, dan di mana terdapat kesenjangan berkemaku sekitarnya, maka lumrahnya, ada yang ditumbangkan. Artinya, salah satu harus kalah, demi kemenangan sosok lain. Bincangan, jadinya mengandung perasaan yang terbelah, sebelum pemerataan dibenahi seapik-apiknya.

* Tanggungjawab posting atas PuJa [PUstaka puJAngga]

Tidak ada komentar:

Label

`Atiqurrahman A Muttaqin A Rodhi Murtadho A. Iwan Kapit A. Purwantara A. Qorib Hidayatullah A. Zakky Zulhazmi A.H.J Khuzaini A.S. Laksana Aang Fatihul Islam Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi WM Abdul Kadir Ibrahim Abdul Lathief Abdul Malik Abdul Wachid B.S. Abdurrahman El Husaini Abidah El Khalieqy Abu Salman Acep Zamzam Noor Achdiat K. Mihardja Adek Alwi Adi Suhara Adnyana Ole Adreas Anggit W. Afrion Afrizal Malna Aguk Irawan MN Agung Dwi Ertato Agus B. Harianto Agus Buchori Agus Himawan Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sulton Agusri Junaidi Agustinus Wahyono Ahda Imran Ahmad Badrus Sholihin Ahmad Fanani Mosah Ahmad Fatoni Ahmad Ikhwan Susilo Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musabbih Ahmad Rofiq Ahmad Sahidah Ahmad Tohari Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sekhu Alex R. Nainggolan Alex Suban Alunk Estohank Ami Herman Amien Kamil Amien Wangsitalaja Aminudin R Wangsitalaja Anastasya Andriarti Andreas Maryoto Anes Prabu Sadjarwo Angela Angga Wijaya Angkie Yudistia Anindita S Thayf Anis Ceha Anjrah Lelono Broto Anton Kurnia Anton Kurniawan Anton Wahyudi Anugrah Gio Pratama Anwar Nuris Aprinus Salam Arie MP Tamba Arif B. Prasetyo Arif Bagus Prasetyo Arif Hidayat Arman A.Z. Arti Bumi Intaran Arys Hilman AS Sumbawi Asarpin Asef Umar Fakhruddin Asep Sambodja Asrama Mahasiswa Aceh SABENA Astrikusuma Asvi Warman Adam Atep Kurnia Awalludin GD Mualif Aziz Abdul Gofar Azizah Hefni Badrut Tamam Gaffas Bagja Hidayat Bagus Takwin Balada Bale Aksara Baltasar Koi Bambang Agung Bambang Kempling Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Bayu Insani Beni Setia Benny Arnas Benny Benke Berita Berita Duka Berita Utama Bernando J. Sujibto Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Blambangan Brunel University London BSW Adjikoesoemo Budaya Budhi Setyawan Budi Darma Budi Saputra Budi Suwarna Bung Tomo Cak Kandar Catatan Cerpen Chairil Anwar Chavchay Syaifullah Cucuk Espe Cunong N. Suraja D. Zawawi Imron Dadang Ari Murtono Daisuke Miyoshi Damanhuri Damhuri Muhammad Damiri Mahmud Danarto Daniel Dhakidae Dante Alighieri Deddy Arsya Dedy Tri Riyadi Denny Mizhar Deny Tri Aryanti Detti Febrina Dharmadi Diah Hadaning Dian Hartati Dian Sukarno Diana A.V. Sasa Dicky Fadiar Djuhud Didi Arsandi Dimas Dina Oktaviani Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Djadjat Sudradjat Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Doddy Hidayatullah Donny Anggoro Dony P. Herwanto Dorothea Rosa Herliany Dr. Muhammad Zafar Iqbal Dr. Simuh Dwi Arjanto Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwicipta Dwijo Maksum Edy A. Effendi Edy Firmansyah Efri Ritonga Egidius Patnistik Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Hendri Saiful Elik Elsya Crownia Emha Ainun Nadjib Endah Sulawesi Endah Wahyuningsih Endang Suryadinata Endhiq Anang P Endri Y Eriyandi Budiman Ernest Hemingway Esai Esha Tegar Putra Eva Dwi Kurniawan Evi Dana Setia Ningrum Evi Idawati Evieta Fadjar F Rahardi Fabiola D. Kurnia Fadelan Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Faisal Kamandobat Faisal Syahreza Faizal Syahreza Fajar Alayubi Fandy Hutari Fany Chotimah Fatah Yasin Noor Fathor Lt Fathurrahman Karyadi Fatih Kudus Jaelani Fatma Dwi Rachmawati Fauzi Absal Festival Sastra Gresik Fikri. MS Fina Sato Fitri Susila Galih Pandu Adi Gde Agung Lontar Geger Riyanto Gerakan Literasi Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Ginanjar Rahadian Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gunoto Saparie Gus Martin Gus tf Sakai Gusti Eka Hadi Napster Haji Misbach Halim HD Halimi Zuhdy Hamberan Syahbana Hamdy Salad Han Gagas Handoko F. Zainsam Hari Santoso Haris del Hakim Hartono Harimurti Hary B. Kori’un Hasan Gauk Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Helwatin Najwa Hepi Andi Bastoni Heri C Santoso Heri KLM Heri Latief Heri Listianto Hermien Y. Kleden Hernadi Tanzil Heru Emka Heru Kurniawan Heru Prasetya Hesti Sartika Hudan Hidayat Humaidiy AS I Made Asdhiana I Made Prabaswara I Nyoman Suaka IBM. Dharma Palguna Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Ida Ahdiah Idayati Ignas Kleden Ihsan Taufik Ilenk Rembulan Ilham Khoiri Ilham Yusardi Imam Cahyono Imam Jahrudin Priyanto Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indah Darmastuti Indiar Manggara Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indrian Koto Irma Safitri Irman Syah Iskandar Noe Istiqomatul Hayati Ita Siregar Iwan Kurniawan Iwan Nurdaya-Djafar Iyut FItra Jadid Al Farisy Jafar M. Sidik Jakob Sumardjo Jamal D Rahman Janual Aidi Javed Paul Syatha Jayaning S.A Jefri al Malay Jihan Fauziah JJ. Kusni Jo Pakagula Johan Edy Raharjo Joko Pinurbo Jokowi Undercover Joni Ariadinata Joss Wibisono Jual Buku Paket Hemat Judyane Koz Juli Sastrawan Junaidi Abdul Munif Jusuf AN Juwairiyah Mawardy Kadir Ruslan Kasnadi Katrin Bandel Kedung Darma Romansha Khairul Mufid Jr Khamami Zada Khrisna Pabichara Kikin Kuswandi Koh Young Hun Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Komunitas Sastra Ilalang Indonesia (KSII) Korrie Layun Rampan Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan) Kristianto Batuadji Kritik Sastra Kunni Masrohanti Kunthi Hastorini Kuntowijoyo Kurie Suditomo Kurnia EF Kurniawan Kuswaidi Syafi'ie Kuswinarto Lan Fang Landung Rusyanto Simatupang Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Liestyo Ambarwati Khohar Linda Sarmili Liston P. Siregar Liza Wahyuninto LN Idayanie Lucia Idayani Lukman Asya Lusiana Indriasari Lynglieastrid Isabellita M Hari Atmoko M. Aan Mansyur M. Arman A.Z M. Bagus Pribadi M. Fadjroel Rachman M. Harya Ramdhoni Julizarsyah M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S M. Luthfi Aziz M. Nahdiansyah Abdi M. Raudah Jambak M. Shoim Anwar M. Yoesoef M.D. Atmaja Maghfur Saan Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Majalah Sastra Horison Maklumat Sastra Profetik Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Serenade Sinurat Mario F. Lawi Marluwi Marsel Robot Martin Aleida Martin Suryajaya Mashuri Matdon Mega Vristian Melani Budianta Melayu Riau Memoar MG. Sungatno Mh Zaelani Tammaka Miftah Fadhli Miftahul Abrori Misbahus Surur Miziansyah J Mochtar Lubis Mohamad Ali Hisyam Mohammad Eri Irawan MT Arifin Mugy Riskiana Halalia Muhajir Arrosyid Muhamad Rifai Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Al-Mubassyir Muhammad Qodari Muhammad Rain Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun A.S Muhidin M. Dahlan Muhlis Al-Firmany Mujtahid Mulyadi SA Munawir Aziz Murniati Tanjung Murnierida Pram Musa Ismail Musfi Efrizal Mustaan Mustafa Ismail N. Mursidi Nafsul Latifah Naskah Teater Nasrullah Nara Nelson Alwi Nenden Lilis A Nh. Anfalah Ni Made Purnama Sari Nina Mussolini-Hansson Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Noura Nova Christina Noval Jubbek Novela Nian Nugroho Notosusanto Nugroho Pandhu Sukmono Nur Faizah Nurdin F. Joes Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nurul Komariyah Nuryana Asmaudi SA Nyoman Tusthi Eddy Nyoman Wirata Oka Rusmini Oktamandjaya Wiguna Oky Sanjaya Olanama Olivia Kristina Sinaga Otto Sukatno CR Pagelaran Musim Tandur Pamusuk Eneste Patricia Pawestri PDS H.B. Jassin PDS. H.B. Jassin Penghargaan Hadiah Sastra Pusat Bahasa Persda Network Pipiet Senja Pramoedya Ananta Toer Pramono Pranita Dewi Pringadi AS Prita Daneswari Prof. Tamim Pardede sebut Bambang Tri Prosa Pudyo Saptono Puisi Puisi Kesunyian Puisi Sufi Puji Santosa PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Wijaya Qaris Tajudin R. Sugiarti Rachmad Djoko Pradopo Radhar Panca Dahana Ragdi F. Daye Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Ramadhan Batubara Ramadhan KH Ratih Kumala Ratna Indraswari Ibrahim Ratna Sarumpaet Raudal Tanjung Banua Remy Sylado Reni Susanti Renny Meita Widjajanti Resensi Restu Kurniawan Retno Sulistyowati RF. Dhonna Rian Sindu Ribut Wijoto Ridwan Munawwar Riki Utomi Riris K. Toha-Sarumpaet Risang Anom Pujayanto Riza Multazam Luthfy Robin Al Kautsar Rodli TL Rofiqi Hasan Rohman Abdullah Rosidi Rosihan Anwar Rukardi S Yoga S. Jai S. Sinansari Ecip S.I. Poeradisastra S.W. Teofani Sabam Siagian Sabrank Suparno Saiful Anam Assyaibani Sainul Hermawan Sajak Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sanggar Rumah Ilalang Sanggar Teater Jerit Sapardi Djoko Damono Sartika Dian Sartika Dian Nuraini Sastra Tanah Air Sastra Using Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sayyid Fahmi Alathas Sazano Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo Seli Desmiarti Selo Soemardjan Senggrutu Singomenggolo Seno Joko Suyono SH Mintardja Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sipri Senda Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Sobih Adnan Sofian Dwi Sofie Dewayani Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sri Ruwanti Sri Wintala Achmad St Sularto Stefanus P. Elu Sukron Abdilah Sulaiman Djaya Suminto A. Sayuti Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sungging Raga Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Suryansyah Suryanto Sastroatmodjo Susanto Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suyadi Suyadi San Syaifuddin Gani Syaiful Amin Syamsiar Hidayah Syarbaini Syifa Amori Syifa Aulia Tajuddin Noor Ganie Taufik Abdullah Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat TE. Priyono Teguh Afandi Teguh Ranusastra Asmara Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Theresia Purbandini Tita Tjindarbumi Titik Alva-Alvi Choiriyah Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tjoet Nyak Dhien Tosa Poetra Tri Lestari Sustiyana Triyanto Triwikromo TS Pinang Tu-ngang Iskandar Tulus S Tulus Wijanarko Udo Z. Karzi Ugoran Prasad Umar Fauzi Ballah Umar Kayam Umbu Landu Paranggi Universitas Indonesia Universitas Jember Utada Kamaru UU Hamidy Vera Ernawati Veronika Ninik W.S. Rendra Wahjudi Djaja Wahyu Hidayat Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Budiartha Widya Karima Wijaya Herlambang Wiji Thukul Willem B Berybe Wilson Nadeak Winarni R. Wiratmo Soekito Wita Lestari Wiwik Widayaningtias Y. Thendra BP Y. Wibowo Yasser Arafat Yeni Ratnaningsih Yohanes Sehandi Yonatan Raharjo Yonathan Rahardjo Yopi Setia Umbara Yos Rizal S Yos Rizal Suriaji Yudhi Herwibowo Yuka Fainka Putra Yurnaldi Yushifull Ilmy Yusri Fajar Yusuf Suharto Zainal Abidin Zainal Arifin Thoha Zawawi Se Zen Hae