Minggu, 26 Juni 2011

Sastra di Titik Persilangan

Sabrank Suparno
http://sastra-indonesia.com/

Memimpikan kata ‘perubahan’ di Indonesia, sama halnya mengidamkan hadirnya sebuah revolusi. Tentu banyak pilihan di dalamnya untuk berkiblat, ada revolusi yang berdarah-darah (simak detik-detik terhangat revolusi Mesir), ada pula revolusi ‘aman saja’ (sluman, slumun, slamet yang terjadi di Iran). Revolusi sesungguhnya bermakna membongkar keburukan ‘kita’secara menyeluruh dari berbagai segi.

Setiaknya ada dua syarat yang bisa menyebabkan terjadinya revolusi menurut pakar politik DR. Ruslan Abdul Gani. Pertama: Tingkat kesadaran masyarakat yang tinggi terhadap hukum, hak dan kewajiban sebagai warga negara. Kedua: Terjadinya gab, kesenjangan yang akut antar dua kubu. Revolusi adalah hasil perkalian dua syarat tersebut.

Kilas tahun 80-an, ketika Indonesia ingin menyamai Malaysia dengan pendapatan 2000 dolar/kapita/tahun, Polandia sudah mencapai 20.000 dolar/kapita/tahun.,Artinya secara perekonomian Polandia berada pada taraf kemapanan, namun karena terjadi gab dengan pemerintah, maka terjadilah demonstrasi buruh besar-besaran yang menggulingkan pemerintahan setempat. Samahalnya dengan Rhu Tai Wu yang berkorupsi tidak lebih dari 50 juta, beresiko digulingkan rakyat Korea Utara. Kedua permasalahan di atas, terjadi semata karena kesadaran masyarakat yang tinggi serta terjadinya suatu gab.

Indonesia yang multikultural dengan basis wilayah kepulauan terpencar, tidak memungkinkan terjadinya revolusi, ada banyak sekat yang berpotensi sebagai hambatan. Sebab, dasar revolusi sendiri bertumpu pada demokrasi, sedangkan demokrasi yang mampu diterapkan di Indonesia hanyalah demokrasi ‘godokan’ yang tak pernah matang. Jargon demokrasi perlementer atau demokrasi terpimpin yang dipopulerkan Soekarno hingga demokrasi ala orba, mokal bisa menampung aspirasi beragam pada segilintir orang. Yang terjadi kemudian adalah peluang distorsi dan penyalahgunaan kepercayaan yang disebut pseudo demokrasi. Titik kerancuhan demokarasi pada negara multikultural tersebab sistem baku, yakni adopsi menguniversal, sementara di sisi lain mempertahankan nilai lokal. Inilah kesulitan tersendiri di Indonesia.

Demokrasi godokan ialah tawaran para teoritikus seperti pengamat politik Affan Gaffar (1999) yang mengintroduksi gagasan demokrasi tak lumrah (un-common democracy). Demokrasi yang berpilar pada kekuatan dominan (partai-non partai) dengan setidaknya didukung 60% kekuatan suara. Indonesia dengan pemilahan dan segregasi aspek sosial-budaya, berbeda bentuk dengan model Amerika, Australia, Kanada, Inggris dan Perancis (Pengantar: Richard M. Ketchum. Demokrasi. Niagara 2004).

Buku ‘Indonesia Tanpa Muhammadiyah dan NU’ yang ditulis oleh Teguh Santoso dan Harianto menjadi sumbangsih besar bagi generasi muda Indonesia. Kalau Indonesia ditakdir ber-revolusi damai seperti Iran, maka Teguh Santoso-Harianto jasanya sejajar Murtadha Mutohari. Di mana ketika Ayatulloh Khomaini mengambil alih seluruh aset dan simpati masyarakat atas rezim Reza Pahlevi, adalah Murtadha Mutohari yang jauh sebelumnya menjadi rausyanfikr (intelektual muslim) dengan karya-karya bukunya.

Berangkat dari kegelisahan penulis ketika mengamati dua organisasi keislaman terbesar di Indonesia yang acapkali berseteru, berebut pengakuan sebagai ponak ane GustiAlloh, menganggap bahwa dirinyalah yang paling benar di hadapan Alloh, dan jika tidak menganut ajarannya maka tidak akan mereka (salah satu organisasi antara NU-Muhammadiya) masukkan ke surga. Sedang di sisi lain, terbentuknya NU-Muhammadiyah merupakan ekspresi masing-masing golongan untuk memaknai demokratisasi yang memuat hak asasi manusia. Berangkat dari sanalah buku ini lahir, sebagai alternatif menyisir kemubadziran kiprah ke dua belah pihak.

Buku setebal 171 halaman ini menyerupai novel yang tersusun menjadi 20 sub judul. Meski pun berupa karya ilmiah yang syarat dengan analisa dan data otientik, buku ini masuk dalam kategori sastra, sebab penulis menuangkan penceritaannya dengan gaya dialog imajiner. Penulis membangun ‘ceritanya’dengan intensitas teks ke dalam bingkai rasionalisasi sastra. Penulis apapun sesungguhnya adalah pencerita, ia menceritakan kepada pembaca dengan berbagai metode: esai, opini, artikel, puisi, cerpen, novel dll. Namun bentuk sastra semacam ini, belum berkembang di Indonesia sebagai genre.

Kelebihan buku Indonesia Tanpa Muhammadiyah dan NU ialah memuat multidisipliner, sastra dan agama (Islam) yang memungkinkan bertempat di rak pembaca. Sastra: karena disusun berdasar metode dialog imajiner. Agama Islam: karena dikhususkan bagi warga NU-Muhammadiyah yang tertulis jelas pada lembaran awal /dipersembahkan bagi semua yang merindukan bersatunya Umat Islam /(hal.ix).

Pada dialog pertama yang berjudul ‘Muhammadiyah dan NU meng-Global’, kedua penulis menghadirkan dua tokoh K.H. Ahmad Dahlan dan K.H. Hasyim Asy’ari yang hadir dalam Muktamar Muhammadiyah ke 46 di Jogja. Kedua tokoh kondang di Indonesia itu duduk dan ngobrol di angkringan (warung khas Jogja). “Selamat ber-Muktamar ya Kang. Wah, aku nggak ngira sudah seabad usia Muhammadiyah.” Kedua tokoh ini memang pernah berguru pada Syeikh Ahmad Katib Minangkabawi, ulama besar madzhab Syafi’i di Makkah. Mereka berdua bahkan pernah sekamar ketika berguru pada K.H Sholeh Darat di Semarang. “Iya Cak. Maturnuwun. Se-abad memang usianya, tapi pemikirannya, gerakannya…” “Lho, La piye to kang? (hal.9)

Dari percakapan di atas alur buku ini dimulai. Ke dua tokoh dikemas dengan rasionalisasi kebudayaan berbahasa Jawa Timuran dan Jogja dengan nuansa paseduluran yang angglek. Ke dua tokoh yang digambarkan sebagai momentum padatan ulang baik fisik maupun psikologis K.H Ahmad Dahlan dan K.H. Hasyim Asy’ari kemudian memasuki wilayah perbincangan panjang-lebar seputar carapandang mereka berdua terhadap organisasi yang meraka dirikan dari kontek (praktek) kekinian. Beberapa alur suspansi terbangun dengan perdebatan kedua tokoh yang saling mengkritisi, menyarankan, mengkaji kelemahan serta kekurangan masing-masing. Sungguh, pembuka teks dengan kemasan alur yang mengesankan.

Kedua tokoh NU-Muhammadiyah tersebut digambarkan berada di tengan kerumunan massa Muktamar. Namun penulis seperti menceritakan hal lain di luar teks, yakni baik aktivis NU maupun Muhammadiyah, tidak ada yang mengenali wajah sesepuh pendiri organisasi yang mereka takdzimkan. Ada apa sesungguhnya dengan ke dua aktivis organisasi besar NU-Muhammadiyah sekarang ini? Lebih jauh terjawab kemungkinannya adalah penyelewengan gerakan yang berorientasi pada kepentingan individu atau golongan semata. Tidak murni mengenali pemikiran KH Ahmad Dahlan dan KH Hasyim Asy’ari dengan hati nurani, jelaslah terhijab.

Buku ini menggambarkan potret ijtihat penulis yang mendamba pada dua hal pokok. Pertama: Metodologi formil sastra relegius. Kedua: Menawarkan genre sastra baru yang berbeda tekhnik penarasian dengan cerpen dan novel. Sastra relegius yang dianut penulis sedikit mencair dari sekedar kaidah Lesbumi (Lembaga Seniman Budayawan Muslim) yang menjadi poros tengah dari pertentangan kubu Lekra vc Manikebu. Lesbumi yang diproklamirkan Asrul Sani, Djamaludin Malik, Umar Ismail, tahun 1962, tegas menolak jargon’Politik sebagai Panglima (kebudayaan) . Lesbumi tidak menyepakati konsep Lekra jika sastra hanya sebagai budak tunggangan realisme sosial semata. Begitu juga tidak mengamini Manikebu dengan manipulasi tanggungjawab bahwa sastra hanya berkutat pada ‘seni untuk seni’. Keduanya dicakup Lesbumi dengan rel yang tidak melepaskan sastra dari fungsi sosial dan komunikatifnya dalam penuangan intern sastra. Lesbumi juga menegaskan bahwa’isme’dalam berkesenian tidak penting, kecuali sejauh mana berkesenian mampu menyertakan nilai ke-tuhanan (baca Lesbumi Strategi Politik Kebudayaan LKiS 2008. hal.61).

Cara tematik yang diusung penulis setelah wareg meriset berbagai kebobrokan sistem, dan khatam nyawang dedikasi yang dihasilkan para petarung aliran 60 tahun silam. Semua tahu! Bahwa dedengkot sastra hingga tahun 2000 ke atas, kelakuannya tidak kunjung menempati makom ke-tua-annya sebagai anutan generasi muda bangsa, kian tua, kian dancuk an. Al khasil, jika yang bernilai agama saja masih kebobolan nafsu, apalagi yang lepas dari tuntutan nilai, meskipun tak tentu. Andai pun terlepas dari kesusasteraan Indonesia, buku ini hanyalah upaya penulis untuk ndandani perselisihan rumahtangganya-NU-Muhammadiyah.

Ketegangan membaca alur buku ini akan terjedahkan tekhnik humor penulis. Pada dialog ke empat misalnya, perbincangan serius KH. Ahmad Dahlan dengan KH. Hasyim Asy’ari terhenti gara-gara seorang copet yang tertangkap dan digebuki beramai-ramai. Si copet, kaosnya bertuliskan Muktamar NU. Tak lama kemudian tertangkap seorang penodong, dan dikeroyok massa. Si penodong, kaosnya bertuliskan Muhammadiyah Gerkanku. Disusul anekdot berikutnya yang memerankan para pentolan NU-Muhammdiyah menjalin hubungan damai. Di mana PBNU dan PP Muhammadiya menggabungkan pertai baru bernama NUMU atau MUNU, Dien Syamsudin dan Said Agil Sirodj membentuk Partai Bumi Matahari (PBM), Ulil Abshar dan Daruqutni membentuk Partai ANUMU, Gus Mus dan Abdul Munir Mulkan membentuk Partai Independent NU Muhammadiyah, Muhaimin Iskandar dan Hatta Rajasa membentuk Partai Kebangkitan Nasional (PKN), sedang Yeni Wahid dan Hanif Rais membentuk Partai Gus Amin (PGA).

Wacana akan terus berpolah dari sekedar teks naratif. Berikutnya, nasib buku ini dihadapkan pada dua tataran. Pertama: Menjadi irama pembusukan militansi dari sekedar berorganisasi dan kemudian menuju damai. Kedua: Senasib dengan cerpen ‘Anjing dari Titwal’ karya Sa’adat Husein Manto yang diterjemahkan Anton Kurnia (Jalasutra 2003). Cerpen yang mengisahkan seekor anjing dengan aman blusukan ke kamp militer Pakistan dan kamp militer India di perbatasan. Namun ke dua moncong senapan segera saling membidik ketika anjing persis berada di garis perbatasan. Jangan-jangan! Anjing mata-mata? Padahal hewan tak sepantasnya dijadikan manusia.

*) Sabrank Suparno, esais, cerpenis Jombang. Bergiat di Lincak Sastra Dowong.
*) Makalah bedah buku Indonesia Tanpa Muhammadiyah dan NU, karya Teguh Santoso-Harianto di KOMA Tambakberas, pada 22 Juni 2011.

Sastra dan Dunia Wayang

Puji Santosa
http://sastra-indonesia.com/

Banyak pandangan dari para kritisi Barat bahwa memahami masyarakat Indonesia masa kini tidak terlepas dari warisan budaya tradisionalnya. Sebab warisan budaya tradisional tersebut telah mengondisikan keadaan sekarang yang mengajari bagaimana cara meramu penerimaan suatu gagasan dari luar, baik pengaruh dari dunia Barat maupun dunia Timur yang lain, seperti Arab, Persia, dan India. Budaya tradisional itu telah memberi pembelajaran yang sangat berharga bagi kelangsungan hidup kita kini. Salah satu warisan budaya tradisional tersebut adalah wayang.

Menurut Kabin (dalam Anderson, 2008:vi) “wayang adalah pentas bayang-bayang Jawa yang didasarkan pada adaptasi dan pengembangan tema-tema dan babak-babak utama dalam Ramayana dan Mahabharata”. Di luar daerah asal-usulnya, India, kisah Ramayana dan Mahabharata memiliki banyak versi atau saduran dengan kreasi baru seperti di Jawa ada Kakawin Ramayana (berbahasa Jawa Kuno), Serat Rama (gubahan Yasadipura I dalam bahasa Jawa Baru), Serat Kanda, Adiparwa, Wirataparwa, Bismaparwa, Kakawin Bharata Yudha, Kakawin Gatotkacasraya, dan Kakawin Arnjuna Wiwaha. Sementara itu di tanah Melayu ada Hikayat Sri Rama, Hikayat Maharaja Rawana, Hikayat Pandawa Lima, Hikayat Pandawa Jaya, Hikayat Pandawa Lebur, Hikayat Darmawangsa, dan Hikayat Angkawijaya (Fang, 1991: 49—114). Dengan kisah-kisah dalam Mahabharata dan Ramayana itu pentas wayang tersebut dimainkan dengan boneka kulit pipih yang menimpakan bayang-bayangnya secara tajam pada layar yang terbentang untuk disaksikan dari sebaliknya. Jadilah sebuah pertunjukan wayang yang dimainkan oleh seorang dalang dengan boneka-boneka itu digelar semalaman.

Sementara itu, menurut Zaidan et al. (1994:214–215) “wayang adalah kesenian Indonesia yang berasal dari Jawa dan Bali yang merupakan sandiwara atau lakon yang dibawakan atau diceritakan oleh dalang dengan menggunakan gambar (wayang beber), boneka (wayang kulit dan golek) atau manusia (wayang orang)”. Jenis wayang meliputi wayang beber, wayang gedog, wayang golek, wayang keling, wayang klitik, wayang krucil, wayang kulit, wayang sadat, wayang orang, wayang purwa, wayang topeng, dan wayang wahyu. Yang menjadi dasar perbedaan jenis wayang tersebut dapat berupa gambar, boneka, dan manusia, serta dapat pula sumber ceritanya, seperti Ramayana, Mahabharata, Pustaka Raja Purwa, Babad Tanah Jawi, Babad Demak, Babad Majapahit, Babad Blambangan, Cerita Panji, Cerita Menak, Cerita Silat Cina, dan Kitab Wahyu (Alkitab).

Meskipun banyak jenis dan kreasi serta sumber ceritanya, ternyata menurut Koentjaraningrat (1984:288—289) dalam bukunya Kebudayaan Jawa, bahwa cukup banyak orang Jawa yang tidak menaruh minat terhadap wayang atau yang pengetahuannya tentang wayang dangkal saja. Menurut perkiraan Koentjaraningrat itu hanya ada sekitar 20% saja dari golongan tua yang gaya hidupnya sangat terpengaruh oleh wayang, sebab mereka ini tidak berorientasi ke agama Islam, tetapi lebih cenderung pada budaya abangan dan priyayi.

Banyak cara dilakukan oleh para orang tua, pakar kebudayaan, dalang, dan para generasi muda di Jawa (bahkan ada orang di luar Jawa dan di luar Indonesia) yang peduli terhadap pelestarian wayang untuk memperkenalkan lebih lanjut kepada masyarakat dunia dan generasi muda kini. Media yang digunakan dalang tidak hanya pementasan wayang di panggung saja, tetapi juga melalui rekaman kaset, CD, DVD, radio, televisi, bahkan internet. Sementara itu, para pakar kebudayaan, generasi tua, dan generasi muda memperkenalkan wayang dengan salah satu caranya menuliskan di media massa, baik media massa cetak (surat kabar, majalah, dan buku) maupun media massa elektronik (internet). Berbagai artikel, makalah, cerita pendek, puisi, naskah drama, cerita bersambung dalam surat kabar, novel, bahkan karya ilmiah seperti skripsi dan disertasi pun ditulis orang berkenaan dengan usaha pelestarian wayang tersebut.

Para pakar yang menulis tentang wayang itu, antara lain: Benedict R.O’G. Anderson, Hardjowirogo, Sri Mulyono, Hazim Amir, I. Kuntara Wiryamartana, Burhan Nurgiyantoro, Dharmawan Budi Suseno, dan Sapardi Djoko Damono. Sementara itu, para sastrawan yang menulis tentang wayang, antara lain: Umar Kayam, Linus Suryadi A.G., Y.B. Mangunwijaya, Yudhistira Ardi Nugraha, Putu Wijaya, Sindhunata, Nano Riantiarno, Yanusa Nugraha, dan Seno Gumira Ajidarma. Mereka pada hakikatnya sangat peduli terhadap usaha pelestarian, inventarisasi, pendokumentasian, pembinaan, dan pengembangan budaya tradisional wayang. Oleh karena itu, pantaslah kita memberi penghargaan kepada mereka yang sangat peduli terhadap dinamika tumbuh dan berkembangnya budaya nasional bangsa Indonesia.

Penulisan dunia wayang dalam sastra Indonesia sebenarnya sudah dimulai pada tahun 1950-an, yaitu ketika N.H. Dini menulis cerita pendek “Jatayu” yang mengambil nama tokoh pewayangan dari kisah Ramayana, yakni seekor burung yang bernama Jatayu. Dalam kisah pewayangan itu tokoh Jatayu adalah raja burung yang merupakan sahabat raja Dasarata dari kerajaan Ayodya. Suatu hari di tengah hutan Dandaka, Jatayu yang tengah istirahat di sarangnya mendengar jeritan Sinta yang sungguh menyayat hati. Jatayu segera terbang ke arah jeritan suara Sinta itu. Ternyata Sinta tengah diculik oleh Rahwana dan hendak diterbangkan ke Alengka. Tentu saja Jatayu segera berusaha menghalangi Rahwana yang membawa kabur Sinta ke Alengka. Nasib sial melanda Jatayu dan akhirnya terkalahkan oleh Rahwana. Jatayu yang kalah ditinggal terbang oleh Rahwaba yang membawa Sinta ke Alengka. Ketika Jatayu dalam keadaan sakaratul maut, datanglah Rama dan Laksmana memberi tahu bahwa Sinta diculik raja Alengka bernama Rahwana. Namun, kreasi N.H. Dini yang mengacu pada kisah wayang itu tidak diikuti oleh penulis lainnya pada waktu dasawarsa 1950-an tersebut.

Memasuki tahun 1960-an, Goenawan Mohamad menulis puisi yang bertolak dari kisah Mahabharata, yaitu “Pariksit” (1963) yang tengah menunggu saat kematiannya oleh kutukan Naga Taksaka. Raja negeri Astina itu akhirnya mati dipatuk Naga Taksaka karena karmanya. Masih dalam dekade 1960-an, enam tahun kemudian, 1969, Danarto menulis cerita pendek “Nostalgia” yang didasarkan pada kisah Mahabharata pula. Cerpen tersebut dimuat dalam Horison Nomor 12 Tahun ke IV, Desember 1969, halaman 357—362. “Nostalgia” berkisah tentang kepahlawanan tokoh Abimanyu yang menjadi panglima perang Baratayuda di Padang Kurusetra dan gugur di medan perang. Malam menjelang memimpin perang di Padang Kurusetra itu, Abimanyu mendapatkan wejangan dari seekor katak tentang pengetahuan semesta dan hakikat penciptaan asal-mula makhluk.

Pada tahun 1970-an dan 1980-an mulai berkembang penulisan sastra Indonesia yang mengacu pada kisah wayang. Sajak-sajak Subagio Sastrowardojo, seperti sajak “Parasu Rama”, “Garuda”, “Kayon”, “Wayang”, “Bima”, “Matinya Pandawa yang Saleh”, “Kayal Arjuna”, “Dalang”, “Asmaradana”, dan “Batara Kala”, berbicara tentang falsafah hidup dengan referensi tokoh-tokoh wayang. Selaian itu, Sapardi Djoko Damono pun menulis banyak puisi yang mengacu pada dunia wayang, seperti “Di Banjar Tunjuk, Tabanan”, “Benih”, “Pesan”, “Telinga”, dan “Sita Sihir”. Linus Surayadi A.G. pun menulis sajak “Bonowati dan Limbuk”, “Duryudana dan Dorna”, “Pengakuan Kunti Talibrata”, dan prosa liris Pengakuan Pariyem dengan referensi wayang sebagai kreativitas seninya.

Beberapa sastrawan yang juga menulis dengan referensi wayang sebagi cantelan mitologisnya adalah Umar Kayam dengan noveletnya Sri Sumarah dan Para Priyayi. Kehadiran Y.B. Mangunwijaya dengan novelnya Burung-Burung Manyar dan Durga Umayi menambah semarak penulisan sastra Indonesia dengan referensi dunia wayang yang seolah-olah terjadi renaisan pada kebudayaan Jawa. Sinyalemen ini semakin diperkuat dengan kehadiran Arswendo Atmowiloto dengan Canting, Sindhunata dengan Anak Bajang Menggiring Angin, Agusta T. Wibisono dengan Balada Cinta Abimanyu dan Lady Sundari dan Balada Narasoma, Danarto dengan Asmaraloka, Bakdi Soemanto dengan cerpen “Karna dan Gatotkaca”, Nano Riantiarno dengan teater komanya juga banyak menyadur cerita wayang, seperti dalam lakon “Konglomerat Burisrawa”, “Semar Gugat”, dan “Republik Petruk”, Yanusa Nugroho dengan novelnya Boma (2005), serta Seno Gumira Adjidarma dengan Kitab Omong Kosong (2004, cetak ulang 2006). Kesemarakan penulisan sastra Indonesia yang mengacu pada dunia wayang itu menambah suatu keyakinan bahwa kesenian tradisional Jawa, yaitu wayang, tetap menjadi akar budaya bangsa Indonesia yang tidak terlupakan dan menjadi aset budaya bangsa Indonesia.

Kepedulian mereka mengkreasi wayang dalam sastra Indonesia tentunya mendapat perhatian serius dari para kritisi dan peneliti sastra Indonesia. Hal ini terbukti sudah beberapa artikel, esai, makalah, dan buku yang berbiacara tentang “dunia wayang dalam sastra” pun sudah ada yang meneliti dan menuliskannya. Mereka itu antara lain sebagai berikut.

Sapardi Djoko Damono (1993) menulis “Dunia Pewayangan dalam Novel” sebagai salah satu bab disertasinya yang bertajuk Novel Jawa Tahun 1950-an: Telaah Fungsi, Isi, dan Struktur.

Burhan Nurgiyantoro (1998) menulis buku Transformasi Unsur Wayang dalam Fiksi Indonesia yang diterbitkan di Yogyakarta oleh Gadjah Mada University Press.

Burhan Nurgiyantoro (2003) menulis artikel “Wayang dalam Fiksi Indonesia” dimuat dalam majalah Humaniora Volume XV, Nomor 1 tahun 2003, halaman 1—14.

Tjahjono Widarmanto (2007) menulis esai yang berjudul “Wayang dan Sastra Indonesia Mutakhir” dimuat dalam Suara Karya Online, Sabtu, 29 September 2007.

Arie MP Tamba (2008) menulis esai yang berjudul “Wayang dalam Sastra: Tertawa Versus Ketegangan” dimuat dalam Jurnal Nasional, Kamis, 6 Maret 2008.

Maman S. Mahayana (2009) menulis esai yang berjudul “Estetika Wayang Cerpen Ahmadun Yosi Herfanda” dimuat dalam http://mahayana-mahadewa.com/, 31 Januari 2009.

Beberapa orang yang telah menulis artikel, esai, makalah, bagian buku (salah satu bab dalam buku), dan satu buku utuh tentang “dunia wayang dalam sastra” tentu kita beri penghargaan yang setinggi-tingginya. Hal itu menunjukkan bahwa mereka telah menaruh kepedulian yang amat besar terhadap kebudayaan Indonesia yang berakar dari budaya tradisional wayang. Penulisan mereka itu ada yang mengarah pada masalah transformasi, telaah isi, fungsi, dan struktur, serta ada pula yang sekadar meninjau secara sepintas lalu. Tentu masih ada celah-celah yang dapat dibicarakan lebih lanjut dalam penelitian ini. Penulis yakin masih ada hal-hal yang luput dari perhatian dan pemahaman mereka.

Hal-hal yang luput dari perhatian dan pemahaman mereka tentang “dunia wayang dalam sastra Indonesia” itulah yang dicoba diperdalam telaahnya lebih lanjut dalam penelitian ini. Salah satu yang luput dari perhatian mereka adalah telaah mitologis atau “kritik mitis” ataupun “kritik mitepoik” dalam memahami makna kehadiran “dunia wayang dalam sastra Indonesia”. Oleh karena itu, penelitian ini bertajuk “Telaah Mitologis Novel Anak Bajang Menggiring Angin dan Kitab Omong Kosong”. Penelitian ini meskipun menggunakan pendekatan mitologis, tentu tidak meninggalkan struktur cerita, isi, transformasi, fungsi, dan studi budaya (cultural studies). Pentingnya penelitian ini dikerjakan agar masyarakat semakin memiliki wawasan yang luas dan mendalam tentang dunia wayang dalam sastra Indonesia modern.

Mamanda dan Eksistensi Bahasa Banjar

Mahmud Jauhari Ali
dimuat di Sinar Kalimantan

Secara administratif, wilayah Provinsi Kalimantan Selatan dengan Banjarmasin sebagai ibukotanya, terletak di bagian tenggara pulau Kalimantan dengan batas-batas, yakni sebelah utara dengan Provinsi Kalimantan Timur, sebelah selatan dengan Laut Jawa, sebelah timur dengan Selat Makasar, dan sebelah barat dengan Provinsi Kalimantan Tengah (Sam’ani dkk, 2005:7). Provinsi ini mayoritas didiami oleh masyarakat dari suku Banjar. Hal inilah yang menyebabkan bahasa yang dipakai dalam masyarakat pada umumnya di Provinsi Kalimantan Selatan adalah bahasa Banjar. Memang akan kita temukan pemakaian bahasa selain bahasa Banjar di Provinsi Kalaimantan Selatan, seperti bahasa Bakumpai, bahasa Dusun Deyah, bahasa Ma’anyan, dan bahasa Dayak Meratus. Akan tetapi, pemakaian bahasa-bahasa selain bahasa Banjar tersebut dipakai dalam kelompok masing-masing suku yang bersangkutan.

Sebagai contoh, bahasa Bakumpai dipakai oleh masyarakat suku Bakumpai atau bahasa Ma’anyan dipakai dalam masyarakat suku Ma’anyan. Berbeda dengan bahasa-bahasa tersebut, bahasa Banjar dapat kita katakan sebagai bahasa perantara (lingua pranca) di Provinsi Kalimantan Selatan. Semua suku yang ada di provinsi ini dapat menggunakan bahasa Banjar. Dengan demikian, masyarakat dari suku Banjar tidak perlu harus menguasai bahasa dari suku lain di provinsi ini jika ingin berkomunikasi dengan masyarakat dari suku lain tersebut. Misalnya, anggota masyarakat dari suku Banjar tidak perlu harus menguasai bahasa Bakumpai jika ingin berkomunikasi dengan anggota dari masyarakat suku Bakumpai. Anggota dari masyarakat suku Bakumpai akan menggunaan bahasa Banjar jika mereka berkomunikasi dengan anggota dari masyarakat suku Banjar.

Masyarakat Banjar memiliki khazanah sastra yang sudah hidup dan berkembang sejak dahulu. Karena bahasa perantara (lingua pranca) yang dipakai di Provinsi Kalimantan Selatan adalah bahasa Banjar, bahasa yang digunakan dalam sastra lisan di provinsi ini juga menggunakan bahasa Banjar. Sebagaimana yang kita ketahui bahwa wujud cipta sastra terdiri atas tiga bentuk, yakni puisi, prosa fiksi, dan teater tradisional. Begitu pula dengan wujud sastra daerah di Provinsi Kalimantan Selatan, terdiri atas tiga bentuk tersebut. Bentuk puisi, di Provinsi Kalimantan Selatan berupa mantra. Mantra-mantra ini juga terbagi dalam empat jenis, yakni mantra Banjar jenis tatamba, mantra Banjar jenis tatulak, mantra Banjar jenis pinunduk, dan mantra Banjar jenis pitua. Bentuk prosa fiksi, di Provinsi Kalimantan Selatan dapat berupa mite, legenda, dan dongeng. Contoh bentuk prosa fiksi yang dapat kita temukan adalah Hikayat Lambung Mangkurat. Salah satu jenis teater tradisonal di Provinsi Kalimatan Selatan yang sampai hari ini masih dipentaskan, walaupun tingkat frekuensi pementasannya mulai berkurang adalah mamanda.

Mamanda merupakan salah satu teater tradisional di Indonesia yang berasal dari daerah Provinsi Kalimantan Selatan. Teater tradisional ini dapat kita sebut sebagai salah satu sastra daerah yang setingkat dengan sastra daerah sejenis di daerah lainnya seperti lenong di daerah Jakarta dan ketoprak di daerah Jawa. Bahasa yang digunakan para tokoh dalam pementasan mamanda adalah bahasa Banjar yang hidup dan berkembang di Provinsi Kalimantan Selatan, baik di daerah pesisir (Kuala) maupun di daeah pedesaan (Pahuluan).

Tujuan dari pementasan mamanda salah satunya adalah untuk mempertahankan eksistensi pemakaian bahasa Banjar yang dewasa ini mulai mengalami pergeseran. Pergesaran yang saya maksud adalah bahasa Banjar digeser pemakaiannya dengan pemakaian bahasa gaul dan bahasa Inggris di masayarakt Banjar, baik di daerah pesisir maupun di daerah pedesaan Provinsi Kalimantan Selatan. Dengan meningkatnya pementasan mamanda dalam bentuk modern diharapkan masyarakat akan mengurangi aktivitas menonton sinetron yang menggunakan bahasa gaul. Sinetron sebenarnya merupakan salah satu penyebab timbulnya kebanggaan masyarakat Banjar memakai bahasa gaul dan bahasa Inggris di Kalimantan Selatan.

Sebagaimana yang kita ketahui bersama bahwa bahasa Banjar adalah salah satu bahasa daerah yang harus kita lestarikan eksistensinya. Bahkan, dalam penjelasan pasal 36 UUD 1945 yang menyebutkan bahwa “Bahasa negara ialah bahasa Indonesia”, tercantum dengan tegas, “Di daerah-daerah yang memunyai bahasa sendiri yang dipelihara oleh rakyatnya dengan baik-baik, bahasa-bahasa itu akan dihormati dan dipelihara juga oleh negara” dan “Bahasa-bahasa itu pun merupakan sebagian dari kebudayaan Indonesia yang hidup”

Mamanda dan Pementasannya

Istilah mamanda pada teater mamanda di Provinsi Kalimantan Selatan ditengarai berasal dari kata paman. Kata ini merupakan kata sapaan dalam sistem kekerabatan masyarakat Banjar, yang merujuk pada pengertian saudara laki-laki dari ayah atau ibu. Kata ini direkatkan dengan morfem -nda sebagai sebuah sugesti kekerabatan atau keakraban dengan orang yang disapa dengan sapaan ini, sehingga terbentuklah kata pamanda, mamanda, ayahanda yang mengisyarakatkan keakraban dengan kata sapaan dasar yang dirujuknya. (Jarkasi, 2002:20). Kata Sapaan pamanda dalam dialog antara mangkubumi kepada wajir saat cerita mamanda dipentaskan akhirnya sangat dikenal dikalangan masyarakat Banjar. Karena itulah, setiap pementasan teater ini selalu dikenal masyarakat Banjar dengan nama bamanda atau mamanda. Masyarakat Banjar tidak menyebut teater ini pamanda karena kata tersebut lebih merujuk pada kata sapaan saja yang tidak cocok untuk nama sebuah bentuk seni pementasan. Lama-kelamaan masyarakat Banjar hanya menyebutnya dengan mamanda dan bukan bamanda karena afiks ba- dalam kata bamanda lebih merujuk pada kata kerja.

Sejak dahulu hingga sekarang bahasa yang sering sekali dipakai dalam pementasan mamanda adalah bahasa Banjar. Memang ada juga mamanda yang dipentaskan di televisi dengan menggunakan bahasa Indonesia, tetapi ceritanya menjadi kurang hidup. Hal ini karena bahasa Banjar merupakan bagian dari budaya Banjar sehingga pemakaian bahasa Indonesia dalam mamanda kurang dapat memunculkan nuansa dan nilai rasa budaya Banjar. Kekakuan itu juga disebabkan oleh para pemeran lakon dalam mamanda yang terbiasa menggunakan bahasa Banjar menjadi kurang lancar dalam berimprovisasi jika menggunakan bahasa Indonesia, meskipun para pemerannya menguasai bahasa Indonesia.

Di samping itu pengunaan bahasa Indonesia dalam pementasan mamanda kurang dapat melestarikan pemakaian bahasa Banjar. Sebagaimana yang kita ketahui bahwa hubungan antara sastra dan bahasa tertentu sangatlah erat dan hubungan keduanya dapat kita katakan sebagai simbiosis mutualisme (hubungan yang saling menguntungkan). Hal ini berlaku juga dengan hubungan mamanda dan bahasa Banjar. untuk lebih jelasnya perhatikan penjelasan saya berikut ini.

Dalam kaitannya dengan mamanda, bahasa Banjar menjadi unsur penting yang digunakan pemeran mamanda untuk berkomunikasi dengan dirinya atau pemeran lainnya. Dengan kata lain, pementasan mamanda memerlukan bahasa Banjar. Di sisi lain dalam mamanda, bahasa Banjar menjadi unsur yang langsung disentuh masyarakat penonton. Kita sebagai masyarakat penonton langsung mendengarkan bahasa Banjar dalam pementasan mamanda. Jika bahasa Banjar adalah bahasa yang digunakan para pemeran pementasan mamanda, berarti dengan mendengarkan bahasa Banjar dalam pementasan tersebut masyarakat penonton pun menggunakan bahasa Banjar secara reseptif. Dengan demikian, bahasa Banjar yang digunakan para pemeran dan masyarakat penonton dalam pementasan mamanda akan bertambah lestari. Dengan kata lain kehidupan bahasa Banjar akan bertambah lestari dengan adanya pementasan mamanda. Jadi, mamanda dan bahasa Banjar saling memerlukan dan hubungan keduanya saling menguntungkan.

Dewasa ini, pementasan mamanda mulai jarang digelar dalam masyarakat Banjar di Kalimantan Selatan terutama di kota Banjarmasin. Masyarakat Banjar di Kalimantan Selatan lebih sering disuguhi tontonan lain. Tontonan lain tersebut antara lain, sinetron, acara dangdut, dan konser musik. Tontonan-tontonan lain ini menjadi penyebab mamanda jarang dipentaskan di hadapan masyarakat Banjar. Sinetron berbahasa Gaul dewasa ini sangat sering ditayangkan di televisi suwasta. Dahulu sinetron hanya ditayangkan satu kali dalam seminggu, misalnya hanya setiap hari Sabtu malam. Kini, setiap hari ada tayangan sinetron berbahasa Gaul di televisi. Penayangan sinetron berbahasa Gaul ini selain dapat menyebabkan masyarakat Banjar menggunakan bahasa gaul, juga dapat menyurutkan minat masyarakat Banjar untuk menonton cerita mamanda dipentaskan di televisi lokal maupun dipentaskan di gedung kesenian. Karena itulah, pada saat ini jarang sekali dalam acara pesta perkawinan ada ditampilkan pementasan mamanda.

Sebagian besar masyarakat Banjar modern juga lebih menyenangi acara dangdut di masyarakat. Jika ada acara dangdut, sebagian besar masyarakat Banjar terutama para pemuda Banjar sangat antusias ikut bergoyang hingga acara dangdut tersebut selesai. Bukan hanya itu, jika dahulu mamanda ikut memeriahkan pesta perkawainan, kini mamanda sudah digantikan dengan musik dangdut. Hampir di semua tempat pesta perkawainan di Kalimantan Selatan ada musik dangdut yang diperdengarkan kepada para undangan. Konser musik pop dan rock juga semakin sering ditampilkan di hadapan masyarakat Banjar secara langsung. Band-band terkenal di Indonesia sering menampilkan aksi mereka di hadapan masyarakat Banjar. Sebaliknya, mamanda semakin hari semakin jarang dipentaskan di hadapan masayarakat Banjar.

Hal-Hal yang Perlu Dilakukan

Sehubungan dengan semakin maraknya penggunaan bahasa Gaul dan bahasa Inggris yang digunakan oleh sebagian masyarakat Banjar modern, perlu adanya tindakan nyata dari semua pihak yang peduli terhadap eksistensi bahasa Banjar yang merupakan pemerkaya bahasa Indonesia dan pemerkaya bangsa Indonesia. Salah satu cara yang perlu dilakukan adalah dengan memperbanyak tontonan berbahasa Banjar di masyarakat. Mamanda merupakan salah satu tontonan berbahasa Banjar. Pementasan mamanda di masyarakat dapat menjadi cara efektif untuk membendung pengaruh luar yang berdampak negatif terhadap pemakaian bahasa Banjar oleh masyarakat Banjar sendiri. Berkaitan dengan pementasan mamanda tersebut, ada hal-hal yang perlu dilakukan.

Pertama, mamanda harus sering dipentaskan di hadapan masyarakat. Pementasan mamanda ini dapat dilakukan dengan dua cara, yakni cara langsung di gedung atau di lapangan terbuka dan cara tidak langsung di televisi berupa tayangan rekaman. Hal ini pelu dilakukan karena dengan semakin seringnya mamanda dipentaskan di hadapan masyarakat Banjar, bahasa Banjar akan semakin lestari di Provinsi Kalimantan Selatan.

Kedua, anak-anak harus diberikan pengetahuan tentang pentingnya melestarikan bahasa Banjar sebagai pemerkaya bahasa dan pemerkaya bangsa Indonesia. Para orang tua dan para guru harus sedapat mungkin mengajak anak untuk berbahasa Banjar dalam situasi kebahasaan yang tidak resmi secara nasional atau resmi secara adat. Bahasa lain juga penting, akan tetapi pemakaian bahasa Banjar juga jangan dilupakan oleh generasi penerus masyarakat Banjar.

Ketiga, Pemerintah Daerah Provinsi Kalimantan Selatan harus tanggap terhadap masalah pergesaran yang terjadi di daerah tempat mereka bekerja. Pemerintah setempat harus sungguh-sungguh secara rutin mendukung pementasan mamanda dalam hal dana karena pementasan tersebut memerlukan dana yang jumlahnya tidak sedikit.

Potret Ponorogo dalam Tembang Tolak Bala

A. Zakky Zulhazmi
Ponorogo Pos, 24 Juli 2011

Pada awal Mei 2011 Han Gagas meluncurkan sebuah novel bertajuk Tembang Tolak Bala (LKiS, Jogja). Sebuah novel yang menceritakan secara lugas dan cerdas tentang Ponorogo. Kehadiran novel ini merupakan sebuah angin sejuk di tengah musim kamarau. Mengatakan perkembangan novel Indonesia akhir-akhir ini sebagai sebuah musim kemarau rasanya tidak berlebihan. Pasalnya sudah beberapa tahun ini kita senantiasa disuguhi novel dengan tema-tema yang itu-itu saja. Bahkan Han Gagas menulis di awal Pengantar Penulis, sebagai berikut: saya menulis pengantar ini ketika dunia kita sedang mengalami yang namanya mabuk novel ‘Ingin Maju Harus ke Luar Negeri”.

Han Gagas sendiri adalah seorang lelaki kelahiran Ponorogo, 21 Oktober 1977. Setelah menamatkan studi di SMAN 2 Ponorogo Han Gagas melanjutkan ke Geodesi UGM. Karyanya, terutama cerpen telah banyak dimuat di koran lokal maupun nasional. Sebelumnya ia juga pernah menerbitkan buku Sang Penjelajah Dunia (Republika, 2010).

Diceritakan dalam novel Tembang Tolak Bala, tokoh utama bernama Hargo. Cerita dimulai ketika Hargo dan adik kembarnya berenang di sungai. Namun, tiba-tiba adik kembarnya terhisap arus sungai. Nahas, adik kembarnya itu tidak tertolong dan tidak ditemukan.

Semenjak peristiwa itu, Hargo seperti mengalami semacam lompatan waktu. Sekonyong-konyong ia telah tiba di sebuah zaman yang asing. Hargo mendapati dirinya berada di tengah keluarga Ki Ageng Mirah. Seorang kharismatik dan pemurah. Lantas Hargo terhisap kembali dalam sebuah pusaran hingga akhirnya ia sampai pada keluarga Tejowulan (di sini Hargo mulai berkenalan dengan dunia gemblak, bahkan sebagai pelaku). Semua terasa ganjil bagi Hargo. Sampai sini sudah sangat kentara jika Han Gagas menulis novel perdanya ini dalam semangat realisme magis.

Pembaca kemudian diberi kejutan bahwa apa yang dialami Hargo itu adalah hanya semacam tamasya fantasi belaka. Tamasya yang berlangsung ketika dia koma di rumah sakit selama 35 hari yang membuat khawatir semua anggota keluarganya. Akan tetapi satu hal yang menarik, dalam tamasya fantasi itu Hargo mendapat sebuah kitab dari Eyang Tejowulan yang berisi tembang tolak bala. Anehnya kitab itu terbawa ke dunia nyata ketika Hargo sudah sadarkan diri.

Novel ini juga tak luput dari kisah percintaan. Ada misalnya kasih tak sampai antara Hargo dan Juni ketika dalam tamasya fantasi. Lantas kisah cinta antara Hargo dengan Juli yang meski berlatar dendam namun berakhir di pernikahan (dengan Juli, Hargo banyak berdiskusi perihal reog, warok dan gemblak, babad tanah Ponorogo dan Serat Darmoghandul). Ada pula hubungan beda etnis dan agama antara Hargo dengan Mei Ling yang Tionghoa. Meski berbeda mereka sangat dekat dan bahkan ketika pada akhirnya Mei diusir, Hargo dan Mei saling berkirim surat. Surat-surat mereka sangat menggetarkan.

Kejutan lain muncul manakala Hargo medapati salah seorang guru laki-lakinya, Pak Marodirojo (yang juga warok), hendak menyetubuhinya. Hargo terbebas dari malapetaka itu diselamatkan tembang tolak bala yang tiba-tiba ia rapal. Ternyata, ia tahu guru itu tak lain adalah masih keturunan Wulunggeni, musuh bebuyutan nenek moyang Hargo, Honggodermo.

Selain itu, yang menjadi kekuatan lain novel ini yakni adanya beberapa adegan pertarungan antar warok atau antar padepokan Reog yang berlangsung seru dan mendebarkan. Intrik politik juga menambah hidup cerita. Legenda dan dongen seputar sejarah Ponorogo memperkaya novel ini. Misal tentang berdirinya Ponorogo yang bermula dari keruntuhan Majapahit, sejarah Reog, dongeng terbentuknya Telaga Ngebel dan sebagainya.

Tak pelak, novel Tembang Tolak Bala menyajikan informasi yang memadai perihal Ponorogo serta kekayaan khazanah budayanya. Harapan kita bersama, akan lebih banyak novelis yang menulis tentang Ponorogo. Karena sejatinya Ponorogo adalah sebuah kearifan yang tak akan pernah selesai digali. Semoga.

Puisi-Puisi Fina Sato

http://sastra-indonesia.com/
Mungkin Aku Lupa Menghitung Kisah
: buat Rosadi

mungkin aku lupa menghitung kisah
menjadi sejarah pada awal perjalananmu
aku mengiris sungai dan batubatu hitam
yang semaikan suka duka pada akhir
malam sesak kelam

“hujan pun mengantarkan kepulanganmu
dalam kamar gelisahku,” sapamu sesaat
ketika malam merayap gigir di ujung jalan
yang laju tembus halimun pada gelap jalan berbatu
tapi matahari lindapkan kisah pada
lelaki dan segurit puisi

ada sebaris kenangan kausulam
pada punggung kesunyian akhir cerita
pun selayar pesan pejalan yang berangkat
pagi buta kepergiaan
bahkan tak ada janji pertemuan pada episode
tak sempat ditamatkan
waktu kelak bersumpah memberi ruang
untukmu menyapa perempuan yang sampai
di persimpangan

“titipkan sebait puisi untukku,” katamu
embun makin bekukan ujung jarijariku
memahat lekuk kata pada telapak tanganmu

kini aku hanya mampu mengenang
kisah malam lelaki kesah di persimpangan
semusim di rahim kotamu
purnama tak lagi telanjang

saat kepulangan di teras rumah,
hujan telah uraikan gelisah
dari awal cerita di bumi singgah
pada kota laluku

bumi singgah, 2005



Aku yang Tak Pernah Menjumpaimu di Stasiun Kota Kuno
: eko budihardjo—9 juni

Gedung-gedung tua, tangga penuh debu,
tiang-tiang lampu yang ringkih—karena riwayat cahaya
telah dicuri usia, dan trotoar menuju kota kuno
telah lama melumut.

Aku menghentak bunyi pedati
di jalan-jalan punah, ketika kau mengirim mimpi
senja hari tentang bangunan penjajah; atap rapuh.
Seperti aku yang tak pernah mampu menerjemahkanmu
di rusuk-rusuk pendopo yang bisu kuasa
nun terhunus matahari di peta lingkar matamu
Aku yang tiba-tiba disadap wahyu malaikat
tanpa rupa tanpa suara dan tanpa pengertian
yang tidak pernah aku tahu bahwa itu datang
darimu di pagi buta.

Entah apa yang sanggup aku gumamkan
dalam cuaca gasal petang itu
saat sebuah cerita cinta selesai di selasar peron
begitu pula yang kau katakan tentang kehidupan,
yang tidak pernah menjumpaimu sebagai hitungan
melainkan dalam sesak ingatan
serupa laju gerombol asap kereta api yang memacumu
pada rel-rel memoar kota kuno

kau yang mencintai sejarah dan jendela-jendela kayu jati
di gerbong-gerbong tunggu tanpa sesenti menemukan apa-apa
sepandang cerobong kelelangan dihujani bayu pana
selain gedung-gedung tua, tangga penuh debu,
tiang-tiang lampu yang ringkih—karena riwayat cahaya
telah dicuri usia,
aku tak pernah menjumpaimu
di stasiun kota kuno.

bumi singgah,
2009



Sajak Sepotong Bibir

tuhan mungkin sibuk mempertemukan kita kembali
masih ada segelas anggur yang tersisa malam ini
tak perlu cemas, sayang
kita masih punya angan
dan selintas memoar yang tersangkut di ranjang
angin pun masih lewat
sekedar membasuh kenangan yang tak henti memanjang

kau senang mencumbu langit dan gemulai bukit-bukit
padang sabana di persimpangan
pun seikat ranum bibirmu di peraduan

lelakiku, perempuanku
kekasihku dalam sepi
aku menulismu dengan bibir yang bergetar
pada catatan-catatan tua yang tersimpan rapi
di almari
kisahmu adalah petualangan sunyi
yang menari menggelandang hasrat sendiri

rumah sunyi
suara bumi
sepotong sajak ini bukan dukamu
dan melulu menyabit ruhmu
menampung ciuman kepedihanmu
tidak, kekasih
selembar cahaya tersangkut di celanaku
mewujud air mata
yang lupa bagai pertapa
bermain cinta

bumi singgah,
2005



Tak Pernah Kutemukan Wujudmu dalam Riuh
buat Wayan Sunarta

aku tak mengenalmu di Parangtritis atau Tanah Lot
tapi dari potret diri
yang bercerita tentang
sajak-sajak yang menuai sepi
kisahmu

tak pernah kutemukan wujudmu dalam riuh
pada kabut atau hiruk pikuk mimpi
yang menuai arak-arak malam
tapi dari hutan cemara dan
notasi pantai
yang melantunkan musik ombak anak-anak pasir
dan tarian kaki-kaki telanjang para gadis di tepian

seusai tarian laut itu aku hanya menyapamu
dalam kata-kata pada sebuah puisi
tentang ingatan
ihwal seorang perempuan
bukan dongeng si penjaga cahaya
hanya memainkan serenade untukku
menjumpaimu dalam sapa
pada sajak-sajak sendu
tak berwarta

bumi singgah,
2005

*) Sihir Terakhir, Antologi Puisi Penyair Perempuan ASAS, Penerbit PUstaka puJAngga, 2009.

Sajak-Sajak Alex R. Nainggolan

http://www.lampungpost.com/
Buat Anwar

aku ingin berdoa sepertimu
mengetuk di pintu-Nya
mungkin akan terbuka
menampung segala keluh
yang berkerumun di tubuh
tapi dari sudut mata tirusmu
sajak-sajak mengelupas
mengabarkan dunia yang luas
seperti telur menetas
anwar, jika suatu waktu aku sua
apa yang mesti kutanyakan?
ehm, mungkin tanpa bertanya saja
paling enaknya kita surfing
diksi saja di internet
atau mengapungkan tenung waktu
di kafe, dengan beberapa lagu
sekaligus cemilan juga capuccino
“aku ingin berdoa,” ucapmu lirih
“buat siapa? di kafe ini?” kejarku
“puisi yang telah lama pergi dan mati,”
hampir suaramu tak terdengar

Jakarta, 2010



Menempuh Nuh

sementara kapal nuh sudah lapuk
tenggelam di laut
namun engkau masih saja menunggu
dengan wajah kerut
atau rindu yang semaput
segala yang penuh kabut
dan banjir bandang
gelisah bertandang
mungkin engkau bimbang
dengan apa mesti menempuh nuh
sebab ia terasa perkasa
memahami bencana
engkau terus saja menempuh
ke ujung laut
yang jauh

Jakarta, 2010



Suatu Waktu

suatu waktu, entah di mana
engkau akan mencatat sekelumit kalimat rumit
dan kau bilang itu sebuah puisi
sementara orang-orang pergi jauh
menempuh semua peluh di tubuh
suatu waktu, di sebuah tempat
engkau tergoda juga untuk mencumbu angin
sementara harapan semakin dingin
dan kepergian cuma cerita larat yang diulang-ulang
akhirnya, kaucuma memenggal dirimu sendiri
serupa jenar
menggoda waktu
agar nampak memar
dan kaubertemu dengan baris kecemasan baru
bertahun abai berdamai dengan waktu

2010



Buku Penyair

yang ia catat cuma sayat perih
bahagia tertahan
hujan tergenang
kenangan terasa remang
tak mampu dipilahnya malam atau sedikit sepi
di sana kata-kata meranggas lalu siap dikubur ke tanah
mengais rindunya yang lembab dengan sedikit darah
yang didapati cuma muka orang-orang
menanam meriang padanya sepanjang hari
dicabutnya baris kalimat resah
menunggu di sepanjang gang sempit berbau apak
sebuah pinggiran kota yang tak tersentuh senja
lalu dikailnya angin
sampai tubuhnya kering
fragmen kesedihan lelap lagi
mungkin hadir pada mimpinya
sepanjang malam yang resah
dirinya yang kalah
lalu dikuncinya semua cuaca
diam-diam belajar membaca
di ruangan yang sesak dengan buku
tak pernah ada yang selesai dengannya
meski pagi tumbuh
acap tak ada yang usai

2010



Sebaris Mimpi

terasa mimpi itu mengunci
di teras tubuhmu semalaman
tak bisa kausingkirkan
bahkan ketika hujan tiba
pagi itu
semuanya mungkin kecemasanmu
yang mengeras
bertahun-tahun
akrab mengunyah bencana
saat kaukisahkan mimpimu
orang-orang menggeleng bersama
“mimpi itu untukmu! bukan milik kami!”
serempak menghardik

Jakarta, 2010

———–
Alex R. Nainggolan, lahir di Jakarta, 16 Januari 1982, menyelesaikan studi di Jurusan Manajemen FE Unila. Tulisannya berupa cerpen, puisi, dan esai dimuat di berbagai media dan antologi bersama.

Puisi-Puisi Noval Jubbek

http://oase.kompas.com/
apel merah

air mata jatuh pada lembar-lembar daun kaki telanjang menapaki subuh yang diam di pinggir kali dengan asa tenggelam semata kaki riak mengetuk gendang batu dengan japitan ketam ada puisi yang dinyanyikan daun kering sebelum menjemput ajal pada ujung ranting laki-laki kecil dengan tulang yang diperas ari, hingga muncul ratusan cerita gusar dan lapar

di atas surau yang bisu, tampak benaman kening telah melahirkan fajar dari sela jari-jari pohon enau serupa tangan tengadah mengintai sepasang angsa berbulu emas, dan dua lembar kertas bergaris-garis lurus menyulam sayap kelelawar yang menggantung rapi sebab disini mimpi diawali, dalam katupan mata bicara pada alis-alis dan bantal bercorak langit kelam.

cepatlah bersekolah, sebelum ranting patah di pangkal tulang punggung bapak yang telah lelah menyanggul sepatu-sepatu hitam bersemir keringat kulit amis dan legam sebelum bintang yang hendak kau raih, raib dicuri matahari, semakin lapar saja menjilati tapak-tapak ibu mengikat perut yang lebih sering bernyanyi lagu derita berpesta, karena mantera pulas telah sulit di temukan.

simpanlah apel merah ini, karena jantung dan hati ibu dengan sabar menyiraminya di setiap kemarau tiba dan bapakmu akan menjadi kelelawar yang tak pulas jika airmatamu mengisi cawan-cawan kerongkongan doa yang akan mereguk dengan segera, dan segera. simpanlah apel merah ini, karena harapan hidup selalu dalam warna dan kilatan-kilatan wajahmu di sana dan ulat-ulat dengan sendirinya berlalu dan pergi

malang.2010



peri-peri gerbong tua

karat dari jari-jari kakimu. jelma kunang-kunang, bersinaran pada sisa pesing dari derit pintu besi. ujung matamu yang berdiam serupa semedi di tepi-tepi malam. mengelus betis yang gersang tumbuh lalang. membangun istana kepasrahan yang panjang. asap kereta mati, bawa kabar sepi dari bibir kabut

au...

"teriaklah.. teriaklah.. teriaklah, peri(h)"

seorang muda dengan langkah buta, menunggang kuda dari saku-saku yang pincang. kulit legam, mata pincang di solek malam. terdengar dari kejauhan. "nyalakan api, uni, bersiaplah, kita unggunkan dengan nafas kita"

setelahnya; senyum yang hadir, adalah pagi berbaju seragam sekolah, dengan jari-jari mungil penoreh langit. "untukmulah, aku ini"

malang.2010



teratai

di ujung jarimu riak menari. sebuah percintaan air dan angin. kesaksian; langit memandang dasar hatinya, pada wajahmu. teratai yang haus. reguklah airmataku. sedang aku menyimpan degup, dari balik ragu jendela bambu penyekat cerita. kekasih, jika kau tak mampu berdiri, bacalah sajak ketika pagi. kau akan menemukanku embun pada tubir asmaramu.

ekasihku, teratai yang haus. putihmu bawa kecemasan. disanalah ku titip dalamnya kecupan

malang-bondowoso.2009



di tepi pantai
:jb

aku duduk di balik karang sebuah ruangan yang mereka buat ratusan tahun silam sebagai pengantar diam buih-buih dari ombak yang membentur-benturkan tubuhnya padaku

setidaknya aku bisa membuat istana sukma dari pasir hitam ini menyusun dengan liukan-liukan waktu yang semakin mengerucut lalu di halaman istana, sebuah kolam yang berisi kemurnian memandikanku, bersama ikan-ikan kecil yang mencubiti kulitku malu-malu

aku sangat betah berada di dini di tepi pantai, di balik karang yang kokoh sebab dengan leluasa aku bisa menciumi tubuhmu yang basah mendengarkan lenguh ombakmu yang tak henti-henti membuatku semakin tegak; bahwa cinta menikam tak kenal waktu

malang.2010



lelaki yang menunggu kekasihnya

dalam kamar, lelaki dengan seribu mimpi menempelkan poster kekasihnya dengan sabar mengukur letak harus dimana mata yang sayu hidung bangir dan bibir sexi ketika ayahnya atau ibunya melihat maka tampak manis dan cantik, kekasihnya

setiap hari ia memandangi poster kekasihnya setelah makan, sambil merokok, ia menyemburkan asap pada wajah poster kekasihnya yang tak pernah ia temui lagi semakin ia mencari semakin tak ditemui maka harapan itu hanya pada poster

ketika jenuh tiba, sebab ayah dan ibunya bosan memandangi pose kekasihnya dia akan mengatur ulang dengan mengingat sedikit dagingnnya dalam irisan sepotong waktu lalu dibakarlah poster itu

sedang api menjilat-jilat setiap tengkuk dada dan pantat kekasihnya ia mulai menangis, lelakian menjerit lantang, bahkan sampai pada tuhan "kapan kau kembalikan lagi"

lelaki yang menunggu kekasihnya masuk dalam pasir hisap di bawah tempat duduknya, masih menangis lalu air matanya menjadi sungai menagalir menuju bendungan dimana ikan-ikan berpesta lumut dan keringatnya

sendiri, ia mulai memasang poster kembali pada tepi-tepi bendungan dan karang dalam ingatan, ayah ibunya telah sembunyi dalam goa-goa purba di tepi bukit tempat para pembual menyeru agamanya

lelaki itu tak ingin kembali pada kamarnya sebab kamarnya telah menjadi jaring laba-laba poster kekasihnya sudah dianggap lawas ia ingin mencetak ulang dari tepi bendungan dan menempelkannya pada dinding-dinding bendungan itu, yang suatu saat ia berharap bendungan akan jebol menjadi banjir bandang dan poster kekasihnya ikut berenang menuju samudera nun jauh di sana

samudera adalah keindahan, kekasihnya sebab segala macam ikan semedi di sana

malang.2010

Noval Jubbek, lahir bondowoso 1983. Saat ini tinggal di arjosari malang, bekerja sebagai buruh dan sering mengikuti kegiatan Pelangi Sastra Malang (PSM)

Senin, 13 Juni 2011

MEMBACA NUREL JAVISSYARQI

Muhammad Rain
http://sastra-indonesia.com/

Membicarakan kesusastraan sepertinya semua penulis puisi akan suka dan tertarik, nyaris tanpa embel-embel ngarep. Ngarep nama-namanya disebut dalam kupasan selentingan bidang sastra itu. Termasuk pula sahabat baruku Si Nurel ini, saya pikir beliau tak ada sedikitpun niat ngarep disebut-sebut namanya dari mulut kata Muhrain. “Si” yang saya maksud sebab saya merasa sok akrab saja, begitu.

Tulisan berupa sapaan belaka ini dengan maksud menuju pemikiran tentang apresiasi karya Nurel yang telah saya peroleh hasil kiriman hibah Saudara alias Sahabat baru kita ini, “kita” bermakna bahwa sahabat pembaca adalah sahabat saya, sahabat saya adalah sahabat kalian.

Meskipun sudah hampir seminggu memegang “Kitab Para Malaikat (Puisi Nurel) dan Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri (Esai Kritik Nurel)” namun karena masih terus di jalanan menebas Medan, Banda Aceh dan Sabang (jelang akhir Mei dan awal Juni 2011) , buku ini belum berhasil saya tamatkan. Alias baru setengah halaman belaka. Jadi tak ada yang tuntas tentunya jika saudara pembaca menuntut saya menjawab isi keseluruhan buku tersebut yang berhasil terinsyafi.

Melangkah pada kebermaknaan kehadiran Nurel dalam kawasan pemikiran saya, sebagian dari cara Nurel menulis isi batin-pikirannya terhadap sastra secara umum, ada letupan tersendiri yang terasakan terutama dalam kehadiran sosok penyair di lingkup kesusastraan kita (baca Indonesia). Konsep rahmatan lil alamin sepertinya khatam kita baca lewat karya-karya Nurel. Pemahaman tentang dogma yang muncul dari kehadiran mantra ala Tardji, disusul ide “kemalaikatan” lewat “Kitab Para Malaikat”-nya Nurel tersendiri, lalu dengan cucuk hidung saya katakan bahwa kesusastraan memang sedang dan selalu butuh karya baru.

Persoalan ingin yang baru memang sudah menjangkiti dunia seni sastra sejak matinya penyair besar Chairil Anwar, apalagi disusul W.S. Rendra dan berdiangnya banyak penulis baru sastra Indonesia terutama bidang puisi yang berkutat dalam kawasan putaran roda di tempat. Mengapa saya katakan berotasi di tempat? Saudara pembaca sudah tahu, apakah ada yang baru dari dua nama tersebut, oh ya, ada Afrizal Malna, Seno Gumira A., Agus R. Sarjono, Dimas Arika Mihardja dll. yang konon bagi saya belumlah mencucuk hidung rasa seni sastra saya selaku penikmat mereka (murni subjektif belaka). Saya terus jadi ingat bahwa persoalan bangsa kita masih sama sejak ditinggalkan Rendra, persoalan salon sastra, penyair salon, pamflet darurat, kegelimpangan pembodohan dan berbagai kertas kerja yang repetitif belaka sejak angkatan 60-an termasuk nama Taufik Ismail yang akhir-akhir tahun lalu sering dapat kritik kehadirannya sekedar mendirikan perusahaan kesusastraannya belaka. Mengapa sebab demikian saya katakan belum ada yang baru di sastra puisi kita? saudara sudah tahu.

Lalu menyinggung kembali konsentrasi Nurel dalam essainya tentang Tardji, apa yang penting? Kenyataan lahirnya penyair ke dunia memang harus bersandar pada rahmatan lil alamin. Persoalannya apakah penyair itu sendiri telah seolah berupa rahmat bagi dirinya terlebih dahulu, apakah hadirnya diri dalam kawasan puisi (sastra lebih luas) mampu merubah buruk dirinya jadi baik yang diukurnya sendiri dengan insyaf. Lalu tafsir serupa bisa kita gurah lewat wahyu ilahi, “jagalah dirimu dan keluargamu dari api neraka”. Apabilakah ucapan, tulisan, karya sastra mampu menghindarkan kita dari api berisi iblis laknatillah ini? Sepertinya kerja menyair tak sama bagai tukang sulap yang menipu dan kita sebut seni, macam menipunya koruptor namun tak pernah begitu menyeninya sehingga membengkalai keremajaan pembangunan manusia Indonesia.

Saya tak paham sastra, bukan saja karena belum lulus di fakultas sastra atau menjadi guru besar di bidang ini, namun seperti banyak ragam orang yang melalui jalan tempuh demi menikmati bahasa dan mata batin sastra, saya kira saya masih dahaga. Ketika orang ingin inovasi, dia akan selalu memerlukan modal untuk membeli apa yang diciptakan oleh penyair itu. Pepatah yang segar seperti “jadilah tangan di atas sebab lebih mulia dibanding tangan di bawah”. Dengan begitu kekosongan identitas sastra puisi baru kita dapat dimungkinkan. Saya menulis banyak puisi sekedar percobaan seperti yang saya kutip dari omongan (komen fb) Dimas Arika Mihardja, belum lagi mendapatkan ceruk tempat karya itu menyaruk dan mengajak pejalan ramai mau sekedar melongok atau bahkan ikut masuk ke dalamnya dan berlama-lama. Namun pemikiran terus berjalan sebagaimana hidup, seperti yang saudaraku dengan jamak alami pula.

Bagaimana tanggapan sesungguhnya setelah dengan sangat sedikit mengenal sosok Nurel? Jawabannya: saya hanya penuh curiga, apa maunya orang ini di dunia sastra kita?, mengapa banyak bukunya baru saya dapat dua, di Aceh memang amat ketinggalan soal karya sastra baru, buku yang beredar di kantung-kantung sastra di Jawa juga kepulauan lain macamlah menunggu bara hanyut, itu sentilan saya dengan maksud mengatakan saya harus jemput bola demi tahu sejauh mana putaran roda sastra Indonesia itu beredar berpendar di kawasan Indonesia yang maha luas ini.

Nurel masih sangatlah baru yang tersebut di bibir ini, itu saya akui, puisi-puisinya panjang tak ketulungan namun semacam menemui angin laut yang sepoi dan kadang menyegarkan di pulau Sabang, keras dan penuh asin. Garam yang ditawasnya dalam setiap bab Kitab Malaikatnya itu berhasil membuat saya curiga, jangan-jangan ia (Nurel) lebih mirip filsuf dibandingkan penyair, sebab bagi saya itu amatlah beda, menjadi filsuf punya akar baca dan akar faham yang mumpuni, menjadi penyair hanya perlu aral dan pedang tinta juga sedikit gontok-gontokan dengan pihak pengelola taman budaya juga penerbit setempat plush membidani perawakan gondrong, energik, sangar dan terkadang malah memuakkan pemerintah akibat rewel menggelisahkan kekuasaan (itu sich penyair label alias tampil untuk proyek esek-esek sastra panggung, sastra bahenol kalau tak mau dibilang sastra nol). Beda tentunya dengan faham bagaimana sejatinya menjadi penyair yang dikupas meski belum habis oleh Nurel lewat karya essainya menggugat Tardji itu.

Lainnya belum dapat saya tawarkan pada kalian sidang pembaca coretan sore ini, 6 Juni 2011, sebab saya memang masih sangat sibuk bertanya, mengapa yang terbit tak pernah merasa redup dan mengapa yang redup belum lagi mampu membuka diri menuju putaran jaman kesusastraan yang makin menggoda di depan. Jangan ikut kalau takut, jangan marah kalau gerah, dan jangan seorang Nurel saja, misalkan kita masih mau menghirup nafas kesusastraan lebih gairah dan penting. Pentingkah masih sastra itu, puisi itu? Kita akan jawab bersama lewat terus berkarya. Salam takjim pada Nurel Javissyarqi. Meski saya tak pernah janji mau menulis namanya pada kenangan, sebab saya tak bisa melupakan sentilan-sentilan ala Javanya dalam dua bukunya belaka yang telah saya punya. Terima kasih Nurel, salam pula kepada segenap pembaca Muhrain. Selamat sore saya kirim lewat angin Jantho (Aceh Besar) Nanggroe Aceh Darussalam. Sebuah puisi penutup sebagai sapa rutin Muhrain buat segala. Salam Reusam Tanoh Rencong.

DI BALIK SEULAWAH
Muhammad Rain

kuumbar angin hijau gunung bukitan
menyapa awan dan langit tenang
nun setelah berangas tumbangnya pohonan
gundulnya nyentrik para pembalak

kukutuk harum gersang tanoh endatu
sejak perang hanya lahirkan kedai kopi
yang menanam mimpi kapan Aceh Jaya
dan karena darah lahir dari Rencong
mataku muncrat melancong ke dalam padang hampar

kukatakan matiku untuk Indonesia.

Jantho (Aceh Besar)- Indonesia, 6 Juni 2011.(Seulawah adalah gunung kebanggaan Aceh)
Sumber: http://www.facebook.com/notes/muhammad-rain/membaca-nurel-javissyarqi-sahabat-baruku-muhrain/136228399787524

Rabu, 01 Juni 2011

Puisi yang Menggugat Kemerdekaan

Abdul Aziz Rasjid
Malang Post, 25 Juli 2009

Ternyata kemerdekaan itu milik anak-anak. ternyata merdeka
itu adalah anak-anak dari segala sudut dunia

— Wahyu Prasetya, Bendera Anak-anak (1990/1991)

Penyair punya kebebasan dalam mencipta puisi sebagai hasil kreasi. Penyair boleh menumpahkan emosi di antara situasi yang sedang ia alami, membayangkan dunia ideal yang diidamkannya setelah ia memikirkan pengalaman yang pernah terjadi di lingkungan sekitarnya. Penyair punya hak untuk menyatakan, memikirkan ulang dan menanyakan segala sesuatu yang telah terjadi di masa lampau maupun sedang berlangsung di masa kini untuk memberikan saran bahkan membayangkan sesuatu yang akan terjadi di masa depan.

Mengunakan bahasa, kekhasan penyair muncul lewat cara pengolahannya terhadap peristiwa-peristiwa itu dengan kepiawaian baluran daya imajinasi. Fakta dan imajinasi yang saling berkelindan dalam rupa puisi dapat pula diposisikan dan difungsikan sebagai tanggapan evaluatif bermuatan artistik —keindahan bunyi, nuansa maupun kedalaman makna— atas kondisi sosial kultural masyarakat di lingkungannya. Hak dan kewenangan penyair dalam berkreasi, yang acapkali bermuatan bahasa sugestif (penyaranan), asosiatif (pertalian) dan imajis (pembayangan) sering disebut sebagai licentia poetica (poetica licence).

Esai ini, akan membicarakan puisi-puisi yang ditulis oleh Wahyu Prasetya, khususnya ciri licentia poetica Wahyu Prasetya dalam melakukan pemaksimalkan latar untuk membangun imaji puisinya yang terkumpul dalam antologi puisi tunggalnya bertajuk Sesudah Gelas Pecah (Forum Sastra Bandung, 1996).

Sebagai perkenalan singkat penyair, Wahyu Prasetya adalah penyair kelahiran Malang, 5 Februari 1957. Ia menulis sejak tahun 1979, pernah bertualang ke berbagai Negara Asia Tenggara, dan pernah bermukim di Jerman Barat selama 3 tahun. Beberapa puisinya terkumpul dalam antologi Tonggak (Jogjakarta), Pertemuan Penyair Indonesia (TIM-DKJ, Jakarta, 1987) dan juga terdokumentasikan di luar negeri, yaitu 02:30 Abstraction (Sourborne, Perancis, 1996) dan Merely A Dagger (Idaho, USA, 1996).

Latar dalam puisi

Latar yang digambarkan oleh Wahyu Prasetya dalam buku Sesudah Gelas Pecah, didominasi oleh dua macam latar, yaitu latar tempat dan latar material. Latar tempat ditunjukkan dalam penyebutan wilayah semacam kota (Jakarta), negara (Indonesia), sekolah dasar sampai rumah.

Latar tempat itu selalu dilengkapi oleh kehadiran latar material yang memberi efek pembayangan tentang sebuah situasi mencekam, misalnya dalam larik-larik berikut: Indonesia adalah sebuah peta yang pernah diperdaya oleh ranjau, intrik, bom dan kasak kusuk (“Anakku Menulis Merdeka atau Mati”), atau di sela reruntuhan kota dan kemerdekaan, anak-anak tertawa, menangis, menjeritkan kalimat yang tertera di tembok dan rongsokan tank (“Bendera Anak-anak”).

Ranjau, bom, reruntuhan, kalimat yang tertera di tembok dan rongsokan tank merupakan latar material yang memperkuat suasana tentang pembayangan situasi sosial tertentu, yaitu adanya bekas-bekas kekerasan akibat kondisi keterjajahan. Pembayangan bekas-bekas dari situasi keterjajahan itu, di sisi lain, juga menyiratkan sebuah peristiwa adanya usaha-usaha bentuk perlawanan yang hadir dalam bentuk kata kerja aktif, semisal menjeritkan kalimat “Merdeka!” yang tertulis di tembok dan di rongsokan tank atau menulis kalimat “Merdeka atau Mati!” yang didapati dari buku tulis sejarah sekolah dasar.

Situasi keterjajahan yang kemudian menjadi bagian sejarah sebab pada akhirnya dapat dikalahkan lalu mengantarkan pada situasi baru, yaitu mewujudnya kemerdekaan. Ironisnya, kemerdekaan ternyata tetap menimbulkan situasi yang tragis. Sebab dalam penggambaran latar tentang masa merdeka, aku lirik dalam puisi Wahyu Prasetya tetap menemu dan melihat maharajalelanya kesengsaraan. Semisal dalam bait-bait puisi yang berjudul “Bendera Anak-anak” ini:

disini, aku melihat anak-anak trotoir, anak-anak lorong
kampung Jakarta
….
di jembatan yang melingkar, mereka beratap, mengkisahkan mimpi
sebuah tempat teduh beton dan lauk pauk yang terhidang.

Situasi merdeka yang tetap menimbulkan kesengsaraan itu, dimana jembatan menjadi atap dan tempat tinggal, seratus gedung sekolah dasar di pelosok IDT roboh, bahkan aku lirik menatap bendera dalam gerimis kedua mata anak istrinya, timbul karena maraknya kecurangan dan orientasi negeri yang berpihak pada panji-panji ekonomi. Kenyataan yang ditemui ini lalu mengantarkan aku lirik pada pemahaman baru bahwa pekik kemerdekaan telah menjadi sekadar slogan dari ingatan gema optimisme perjuangan masa lampau yang hanya tertulis dalam buku sejarah.

Pada bait-bait puisi yang berjudul “Anakku menulis merdeka atau Mati”, Wahyu Prasetya menulis begini:

biarlah
Kemerdekaan yang kami syukuri dalam rumah sederhana ini
hanya huruf, kalimat dan bahasa cat semprot
dan jari jari anakku yang mengutip ingatan buku tulis sejarahnya.

Tanggapan evaluatif penyair

Pemaksimalan daya artistk yang dilakukan Wahyu Prasetya dengan cara melakukan hubungan asosiatif dua macam latar (tempat dan material) dalam dua masa yang berbeda itu, memberi pembayangan (imaji) pada dua pemahaman personal. Imaji pertama adalah peristiwa dalam masa kemerdekaan yang ternyata tetap menghadirkan kesengsaraan, imaji kedua adanya peralihan optimisme perjuangan melawan keterjajahan yang kini sekadar menjadi slogan. Dua imaji itu, mensugesti aku lirik untuk mempertanyakan tentang perihal ini: “Siapakah pemilik kemerdekaan sebenarnya?”

Pertanyaan itu yang sekaligus menjadi tanggapan evaluatif penyair terhadap kondisi sosial kultural masyarakat di lingkungannya tampak jelas dalam bait-bait init:

tapi aku akan bertanya juga, kemerdekaan siapakah tanah airku,
Kemerdekaan siapakah bangsaku?
jika hari itu selalu kusaksikan banyak kecurangan antara kita, anak-anak
yang tertegun di perempatan jalan
jika hari ini kita bersama saksikan duka cita anak-anak,
seperti anak anak kita, siapakah mereka?

Pertanyaan itu mengandung tiga kemungkinan: aku lirik belum paham akan kemerdekaan, aku lirik ingin tahu lebih lanjut tentang arti kemerdekaan, atau aku lirik menggugat kemerdekaan. Dalam asumsi saya, aku lirik lebih cenderung melakukan gugatan dalam pertanyaan-pertanyaan itu. Karena aku lirik telah menegaskan dalam awalan puisi “Bendera Anak-anak” bahwa ternyata kemerdekaan itu milik anak-anak. Ternyata merdeka itu adalah anak-anak dari segala sudut dunia.

Dari pernyataan itulah, saya tahu, pada suatu masa kemerdekaan adalah hasil dari benih-benih perjuangan melawan keterjajahan. Kemerdekaan yang lantas mewujud dari keringat juga darah yang tumpah itu, menampung harapan massal yang mengandung optimisme bahwa merdeka adalah modal berharga agar regenerasi anak negeri dapat terus berlangsung, terjaga dan tak mengalami kembali hidup dalam penindasan maupun peminggiran.

Sayangnya, harapan massal itu tetap memiliki potensi menjelma keprihatinan ketika kemerdekaan hanya difungsikan demi keuntungan, kepentingan dan kemegahan segelintir orang. Akhirnya, apakah tanggapan evaluatif dalam puisi Wahyu Prasetya terhadap kemerdekaan sekadar omong kosong? Saya kira kita tahu apa jawabnya.

Label

`Atiqurrahman A Muttaqin A Rodhi Murtadho A. Iwan Kapit A. Purwantara A. Qorib Hidayatullah A. Zakky Zulhazmi A.H.J Khuzaini A.S. Laksana Aang Fatihul Islam Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi WM Abdul Kadir Ibrahim Abdul Lathief Abdul Malik Abdul Wachid B.S. Abdurrahman El Husaini Abidah El Khalieqy Abu Salman Acep Zamzam Noor Achdiat K. Mihardja Adek Alwi Adi Suhara Adnyana Ole Adreas Anggit W. Afrion Afrizal Malna Aguk Irawan MN Agung Dwi Ertato Agus B. Harianto Agus Buchori Agus Himawan Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sulton Agusri Junaidi Agustinus Wahyono Ahda Imran Ahmad Badrus Sholihin Ahmad Fanani Mosah Ahmad Fatoni Ahmad Ikhwan Susilo Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musabbih Ahmad Rofiq Ahmad Sahidah Ahmad Tohari Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sekhu Alex R. Nainggolan Alex Suban Alunk Estohank Ami Herman Amien Kamil Amien Wangsitalaja Aminudin R Wangsitalaja Anastasya Andriarti Andreas Maryoto Anes Prabu Sadjarwo Angela Angga Wijaya Angkie Yudistia Anindita S Thayf Anis Ceha Anjrah Lelono Broto Anton Kurnia Anton Kurniawan Anton Wahyudi Anugrah Gio Pratama Anwar Nuris Aprinus Salam Arie MP Tamba Arif B. Prasetyo Arif Bagus Prasetyo Arif Hidayat Arman A.Z. Arti Bumi Intaran Arys Hilman AS Sumbawi Asarpin Asef Umar Fakhruddin Asep Sambodja Asrama Mahasiswa Aceh SABENA Astrikusuma Asvi Warman Adam Atep Kurnia Awalludin GD Mualif Aziz Abdul Gofar Azizah Hefni Badrut Tamam Gaffas Bagja Hidayat Bagus Takwin Balada Bale Aksara Baltasar Koi Bambang Agung Bambang Kempling Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Bayu Insani Beni Setia Benny Arnas Benny Benke Berita Berita Duka Berita Utama Bernando J. Sujibto Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Blambangan Brunel University London BSW Adjikoesoemo Budaya Budhi Setyawan Budi Darma Budi Saputra Budi Suwarna Bung Tomo Cak Kandar Catatan Cerpen Chairil Anwar Chavchay Syaifullah Cucuk Espe Cunong N. Suraja D. Zawawi Imron Dadang Ari Murtono Daisuke Miyoshi Damanhuri Damhuri Muhammad Damiri Mahmud Danarto Daniel Dhakidae Dante Alighieri Deddy Arsya Dedy Tri Riyadi Denny Mizhar Deny Tri Aryanti Detti Febrina Dharmadi Diah Hadaning Dian Hartati Dian Sukarno Diana A.V. Sasa Dicky Fadiar Djuhud Didi Arsandi Dimas Dina Oktaviani Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Djadjat Sudradjat Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Doddy Hidayatullah Donny Anggoro Dony P. Herwanto Dorothea Rosa Herliany Dr. Muhammad Zafar Iqbal Dr. Simuh Dwi Arjanto Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwicipta Dwijo Maksum Edy A. Effendi Edy Firmansyah Efri Ritonga Egidius Patnistik Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Hendri Saiful Elik Elsya Crownia Emha Ainun Nadjib Endah Sulawesi Endah Wahyuningsih Endang Suryadinata Endhiq Anang P Endri Y Eriyandi Budiman Ernest Hemingway Esai Esha Tegar Putra Eva Dwi Kurniawan Evi Dana Setia Ningrum Evi Idawati Evieta Fadjar F Rahardi Fabiola D. Kurnia Fadelan Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Faisal Kamandobat Faisal Syahreza Faizal Syahreza Fajar Alayubi Fandy Hutari Fany Chotimah Fatah Yasin Noor Fathor Lt Fathurrahman Karyadi Fatih Kudus Jaelani Fatma Dwi Rachmawati Fauzi Absal Festival Sastra Gresik Fikri. MS Fina Sato Fitri Susila Galih Pandu Adi Gde Agung Lontar Geger Riyanto Gerakan Literasi Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Ginanjar Rahadian Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gunoto Saparie Gus Martin Gus tf Sakai Gusti Eka Hadi Napster Haji Misbach Halim HD Halimi Zuhdy Hamberan Syahbana Hamdy Salad Han Gagas Handoko F. Zainsam Hari Santoso Haris del Hakim Hartono Harimurti Hary B. Kori’un Hasan Gauk Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Helwatin Najwa Hepi Andi Bastoni Heri C Santoso Heri KLM Heri Latief Heri Listianto Hermien Y. Kleden Hernadi Tanzil Heru Emka Heru Kurniawan Heru Prasetya Hesti Sartika Hudan Hidayat Humaidiy AS I Made Asdhiana I Made Prabaswara I Nyoman Suaka IBM. Dharma Palguna Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Ida Ahdiah Idayati Ignas Kleden Ihsan Taufik Ilenk Rembulan Ilham Khoiri Ilham Yusardi Imam Cahyono Imam Jahrudin Priyanto Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indah Darmastuti Indiar Manggara Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indrian Koto Irma Safitri Irman Syah Iskandar Noe Istiqomatul Hayati Ita Siregar Iwan Kurniawan Iwan Nurdaya-Djafar Iyut FItra Jadid Al Farisy Jafar M. Sidik Jakob Sumardjo Jamal D Rahman Janual Aidi Javed Paul Syatha Jayaning S.A Jefri al Malay Jihan Fauziah JJ. Kusni Jo Pakagula Johan Edy Raharjo Joko Pinurbo Jokowi Undercover Joni Ariadinata Joss Wibisono Jual Buku Paket Hemat Judyane Koz Juli Sastrawan Junaidi Abdul Munif Jusuf AN Juwairiyah Mawardy Kadir Ruslan Kasnadi Katrin Bandel Kedung Darma Romansha Khairul Mufid Jr Khamami Zada Khrisna Pabichara Kikin Kuswandi Koh Young Hun Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Komunitas Sastra Ilalang Indonesia (KSII) Korrie Layun Rampan Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan) Kristianto Batuadji Kritik Sastra Kunni Masrohanti Kunthi Hastorini Kuntowijoyo Kurie Suditomo Kurnia EF Kurniawan Kuswaidi Syafi'ie Kuswinarto Lan Fang Landung Rusyanto Simatupang Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Liestyo Ambarwati Khohar Linda Sarmili Liston P. Siregar Liza Wahyuninto LN Idayanie Lucia Idayani Lukman Asya Lusiana Indriasari Lynglieastrid Isabellita M Hari Atmoko M. Aan Mansyur M. Arman A.Z M. Bagus Pribadi M. Fadjroel Rachman M. Harya Ramdhoni Julizarsyah M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S M. Luthfi Aziz M. Nahdiansyah Abdi M. Raudah Jambak M. Shoim Anwar M. Yoesoef M.D. Atmaja Maghfur Saan Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Majalah Sastra Horison Maklumat Sastra Profetik Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Serenade Sinurat Mario F. Lawi Marluwi Marsel Robot Martin Aleida Martin Suryajaya Mashuri Matdon Mega Vristian Melani Budianta Melayu Riau Memoar MG. Sungatno Mh Zaelani Tammaka Miftah Fadhli Miftahul Abrori Misbahus Surur Miziansyah J Mochtar Lubis Mohamad Ali Hisyam Mohammad Eri Irawan MT Arifin Mugy Riskiana Halalia Muhajir Arrosyid Muhamad Rifai Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Al-Mubassyir Muhammad Qodari Muhammad Rain Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun A.S Muhidin M. Dahlan Muhlis Al-Firmany Mujtahid Mulyadi SA Munawir Aziz Murniati Tanjung Murnierida Pram Musa Ismail Musfi Efrizal Mustaan Mustafa Ismail N. Mursidi Nafsul Latifah Naskah Teater Nasrullah Nara Nelson Alwi Nenden Lilis A Nh. Anfalah Ni Made Purnama Sari Nina Mussolini-Hansson Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Noura Nova Christina Noval Jubbek Novela Nian Nugroho Notosusanto Nugroho Pandhu Sukmono Nur Faizah Nurdin F. Joes Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nurul Komariyah Nuryana Asmaudi SA Nyoman Tusthi Eddy Nyoman Wirata Oka Rusmini Oktamandjaya Wiguna Oky Sanjaya Olanama Olivia Kristina Sinaga Otto Sukatno CR Pagelaran Musim Tandur Pamusuk Eneste Patricia Pawestri PDS H.B. Jassin PDS. H.B. Jassin Penghargaan Hadiah Sastra Pusat Bahasa Persda Network Pipiet Senja Pramoedya Ananta Toer Pramono Pranita Dewi Pringadi AS Prita Daneswari Prof. Tamim Pardede sebut Bambang Tri Prosa Pudyo Saptono Puisi Puisi Kesunyian Puisi Sufi Puji Santosa PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Wijaya Qaris Tajudin R. Sugiarti Rachmad Djoko Pradopo Radhar Panca Dahana Ragdi F. Daye Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Ramadhan Batubara Ramadhan KH Ratih Kumala Ratna Indraswari Ibrahim Ratna Sarumpaet Raudal Tanjung Banua Remy Sylado Reni Susanti Renny Meita Widjajanti Resensi Restu Kurniawan Retno Sulistyowati RF. Dhonna Rian Sindu Ribut Wijoto Ridwan Munawwar Riki Utomi Riris K. Toha-Sarumpaet Risang Anom Pujayanto Riza Multazam Luthfy Robin Al Kautsar Rodli TL Rofiqi Hasan Rohman Abdullah Rosidi Rosihan Anwar Rukardi S Yoga S. Jai S. Sinansari Ecip S.I. Poeradisastra S.W. Teofani Sabam Siagian Sabrank Suparno Saiful Anam Assyaibani Sainul Hermawan Sajak Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sanggar Rumah Ilalang Sanggar Teater Jerit Sapardi Djoko Damono Sartika Dian Sartika Dian Nuraini Sastra Tanah Air Sastra Using Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sayyid Fahmi Alathas Sazano Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo Seli Desmiarti Selo Soemardjan Senggrutu Singomenggolo Seno Joko Suyono SH Mintardja Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sipri Senda Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Sobih Adnan Sofian Dwi Sofie Dewayani Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sri Ruwanti Sri Wintala Achmad St Sularto Stefanus P. Elu Sukron Abdilah Sulaiman Djaya Suminto A. Sayuti Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sungging Raga Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Suryansyah Suryanto Sastroatmodjo Susanto Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suyadi Suyadi San Syaifuddin Gani Syaiful Amin Syamsiar Hidayah Syarbaini Syifa Amori Syifa Aulia Tajuddin Noor Ganie Taufik Abdullah Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat TE. Priyono Teguh Afandi Teguh Ranusastra Asmara Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Theresia Purbandini Tita Tjindarbumi Titik Alva-Alvi Choiriyah Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tjoet Nyak Dhien Tosa Poetra Tri Lestari Sustiyana Triyanto Triwikromo TS Pinang Tu-ngang Iskandar Tulus S Tulus Wijanarko Udo Z. Karzi Ugoran Prasad Umar Fauzi Ballah Umar Kayam Umbu Landu Paranggi Universitas Indonesia Universitas Jember Utada Kamaru UU Hamidy Vera Ernawati Veronika Ninik W.S. Rendra Wahjudi Djaja Wahyu Hidayat Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Budiartha Widya Karima Wijaya Herlambang Wiji Thukul Willem B Berybe Wilson Nadeak Winarni R. Wiratmo Soekito Wita Lestari Wiwik Widayaningtias Y. Thendra BP Y. Wibowo Yasser Arafat Yeni Ratnaningsih Yohanes Sehandi Yonatan Raharjo Yonathan Rahardjo Yopi Setia Umbara Yos Rizal S Yos Rizal Suriaji Yudhi Herwibowo Yuka Fainka Putra Yurnaldi Yushifull Ilmy Yusri Fajar Yusuf Suharto Zainal Abidin Zainal Arifin Thoha Zawawi Se Zen Hae