Kamis, 29 September 2011

Bayang-Bayang Wajah

Ahmad Zaini *
http://sastra-indonesia.com/

Kabut pagi belum mengering. Padahal sinar matahari sudah mulai menghangatkan tubuh. Tapi toh begitu, bening air telaga sudah mulai menguap tersengat oleh hangat sinarnya. Kumparan waktu menyeretku berkeliling di tepian telaga. Riak-riak kecil menggiring ikan-ikan berkecipak di permukaannya. Sebatang pohon mangga menyapaku saat aku duduk di bawahnya. Daun kuningnya membelai wajahku yang muram memikirkan lembaran hari yang tiada menentu.

Selasa, 27 September 2011

MENGUAK JENDELA KEPENULISAN DJENAR MAESA AYU

Sutejo
Ponorogo Pos

Djenar Maesa Ayu, adalah sastrawan perempuan mutakhir yang tidak pernah ambil pusing dengan berbagai sebutan. Sebutan yang mengganggu sebagian perempuan itu adalah sastrawangi. Dalam Prosa4, 2004) terungkap bagaimana sisip-sisi proses kreatifnya yang menarik untuk dikritisi sebagai cermin ajar. Beberapa karyanya telah dimuat di beberapa surat kabar dan majalah seperti: Kompas, Media Indonesia, Republika, Lampung Post, Horison, dan Majalah A+.

Sabtu, 24 September 2011

Mbah Danu

Nugroho Notosusanto
http://sastra-indonesia.com/

Wajahnya kasar-kasar seperti tengkorak, kulitnya liat seperti belulang, pipinya selalu menonjol oleh susur tembakau yang ada dalam mulutnya, jalannya tegak seperti seorang maharani yang angkuh. Di Rembang di sekitar tahun tiga puluhan ia lebih terkenal daripada pendeta Osborn pada pertengahan tahun 1954 di Jakarta karena prestasinya menyembuhkan orang-orang sakit secara gaib. Ditinjau dari sudut tertentu cara pengobatan Mbah Danu adalah rasional. Titik pangkalnya adalah suatu anggapan yang logis. Mbah Danu menegaskan, bahwa orang sakit itu “didiami” oleh roh-roh jahat; karena itu cara satu-satunya untuk menyembuhkan adalah dengan menghalaukan makhluk yang merugikan kesehatan itu.

Si Nah, gadis pelayan pada keluarga Pak Jaksa (pensiun) telah sebulan sakit demam. Keadaannya makin lama makin payah. Matanya kelihatan putihnya saja, mulutnya berbuih dan ia mengeluarkan bunyi-bunyi binatang, kadang-kadang meringkik seperti kuda, kadang-kadang menyalak, mengeong, berkaok-kaok, dan kalau sudah mengaum, anak-anak dan perempuan-perempuan serumah dan tetangga-tetangga yang bertandang semua lari terbirit-birit seolah-olah percaya, bahwa satu saat kemudian Nah akan menjelma jadi macan gadungan.

Menurut kabar-kabar yang cepatnya tersiar hampir seperti berita radio, Mbah Danu sedang turne. Routenya adalah Lasem, Pamotan, Jatirogo, Bojonegoro, Tuban, Padangan, Cepu, Blora, dan kembali ke Rembang. Kini ia disinyalir sudah ada di Blora, jadi sudah hampir pulang. Dan benar, ketika Nah tengah mengeong-ngeong seperti kucing kasmaran, Mbah Danu dating membawa koper besi yang sama antiknya dengan yang punya.

Dia tembusi badan Nah dengan pandang membara sambil mengelilingkan susur besar di dalam mulutnya. Nah mengigau dengan mata tertutup, buih di mulutnya meleleh ke bawah membasahi bantalnya yang kumal seperti tempat duduk Jeep militer yang sudah tua. Wajahnya pucat seperti kain mori.

“Ambilkan sapu lidi!” perintah Mbah Danu dengan sikap Srikandi wayang orang. Kemudian ia mencengkeram lengan Nah dan menyeretnya dari tikarnya ke lantai. Sapu lidi datang. Ukurannya istimewa besar, karena Pak Jaksa mempunyai 60 pohon kelapa di pekarangannya. Mbah Danu memegang sapu lidi itu pada ujungnya yang lunak, kemudian bongkotnya yang garis tengahnya kira-kira 10 cm itu dia ayunkan ke atas dan dia pukulkan sekuat tenaga ke pantat Nah yang terbaring miring. Segenap hadirin melotot matanya dan megar kupingnya melihat dan mendengar pukulan dahsyat itu.

“Ngeoooong!” keluar dari mulut Nah mendirikan bulu-bulu di kulit penonton.

“Mampus engkau sekarang!” seru Mbah Danu bengis dan sapu lidi terus-menerus menghantam pantat Nah dengan irama rhumba. Nah tidak mengeong lagi sekarang, melainkan mengaum seperti singa sirkus yang marah. Sebagian hadirin mau lari.

“Minggat! Ayo minggat!” teriak Mbah Danu dengan amat murka dan dengan tendangan jitu Nah ditengkurapkannya. Kemudian deraannya menghujam pula pada pantat Nah yang kini sadar, bahwa ia manusia Nah, bukan kucing, anjing, kuda atau singa.

“Aduh biyuuuuuung! Aduh biyuuuuuuung!!” tangisnya menggaung.

“Minggat! Minggat! Minggat!!” suara Mbah Danu menggelora sampai tetangga-tetangga dan pelintas-pelintas mengalir masuk ke rumah itu untuk menyelidiki sebab-sebab suara ngeri yang mereka dengar.

“Aduuuuuh! Aduh, aduh, aduuuuuh!” pekik Nah seperti manusia biasa.

“Minggat! Minggat! Ayo minggat!!” jerit Mbah Danu senyaring-nyaringnya sambil memukul dengan tangan kanan dan menggenggam susur di tangan kiri. Air ludahnya memercik merah ke lantai dan badan Nah dalam setengah lingkaran yang radiusnya 11/2 meter.

“Salah hamba apa kok disuruh minggat dan dihajar?” Tanya Nah sambil menangis dan ia mencoba merangkak.

Sikap Mbah Danu sekaligus berubah.

“Aku bukannya berbicara kepadamu, Nah,” katanya dengan suara mineur yang lembut. “Aku mengusir setan-setan di dalam badanmu.”

Sebagai pengeras perkataan yang terakhir, ia tegak sekali lagi serta memukulkan sapu lidi itu sedemikian kerasnya ke badan Nah, sehingga si sakit rebah ke lantai dan mengerang. Peluhnya bercucuran dan menguyupkan pakaiannya.

“Ha! Hampir modar engkau sekarang!” seru Mbah Danu dengan ganas sambil melangkah maju dan menginjak tubuh Nah dengan kedua kakinya. Selama 5 menit ia mondar-mandir di atas badan Nah sampai napas si sakit seperti ububan pandai besi bunyinya. Kedua lengannya diacung-acungkan untuk mempertahankan keseimbangan. Gerak-geriknya persis seperti Batari Durga yang menari di atas mayat manusia. Setelah sudah, ia menelentangkan badan Nah yang keringatnya membuat lantai mengkilat basah dan mukanya kini merah padam.

Mbah Danu berdiri dan memberi isyarat supaya para penonton yang tak berkepentingan mengundurkan diri. Pintu ditutup dan ia kembali kepada pasiennya. Dengan gerakan-gerakan tangkas pakaian si sakit dibukanya dan kemudian seperti orang kegila-gilaan ia meremas-remas seluruh badan Nah, sambil menggelitik si sakit pada tempat-tempat yang penuh rasa geli. Dan mula-mula Nah menggelepar-gelepar, akhirnya kegelian seperti perawan yang sehat. Seperempat jam Mbah Danu meraba-raba tubuh pasiennya, kemudian ia melepaskannya dan tegak pada lututnya.

“Setan-setan sudah lari dari badanmu, Nah,” katanya tenang. “Engkau telah sembuh.” Dan di hadapan mata hadirin, Nah yang tadi sudah seperti setengah mati duduk bersandar pada dinding dan tersenyum seperti orang bangun tidur.

“Tidurlah saja dulu sampai besok,” kata Mbah Danu lebih jauh sambil membaringkan dan menyelimuti Nah dengan penuh kasih sayang. Sebentar ia memijit-mijit kepala Nah, kemudian memercikkan ludah sedikit dari mulntnya pada dahi si sakit. Setelah itu ia berdiri dan ke luar untuk rneminuni kopinya.

Prabawa Mbah Danu di rumah Pak Jaksa yang jadi sebagian prabawanya di daerah yang terentang dari Kudus sampai Tuban, dari Bonang sampai ke Randublatung, mengalami tantangan, ketika Mr. Salyo Kunto, salah seorang menantu Pak Jaksa, bersama istrinya mengunjungi mertuanya. Beberapa hari sesudah kedatangannya, Nyonya Salyo sakit kepala dan pegal-pegal tubuhnya. Bu Jaksa, sesuai dengan tradisi, segera menyuruh panggil Mbah Danu.

“O, ada sedikit angin jahat bersarang di dalam, Raden Ayu,” kata Mbah Danu setelah mendengarkan gejala-gejala penyakit dari mulut Nyonya Salyo sendiri. “Coba buka baju saja; akan saya usir.” Dan Mbah Danu mulai berpraktek. Pertama kali ibu jarinya kedua-duanya ditekankannya ke dalam daging perut Nyonya Salyo, sehingga terbenam sama sekali dan si pasien mencetuskan bunyi yang sukar dilukiskan. Kemudian perut Nyonya Salyo ditekannya dengan kedua telapak tangannya sehingga angin keluar dari bawah dengan bunyi meletup. Setelah itu, punggung dan tengkuk mendapat giliran, dan dengan lega Nyonya Salyo bersendawa. Kemudian Mbah Danu melakukan kombinasi kedua pijetan itu, sehingga angin berlomba-lomba keluar dari atas dan dari bawah dengan berletusan. Justru ketika itu Mr. Salyo masuk ke kamar dari jalan-jalan ke tepi pantai. Dengan keras Mbah Danu diperintahkannya keluar dari kamar seperti Mbah Danu mengusir setan-setan dari tubuh-tubuh orang sakit. Kemudian istrinya dimarahinya.

“Engkau tahu bukan, bahwa pijetan itu bisa merusakkan rahimmu?!”

Sebagai akibat insiden itu, Mbah Danu tak diizinkan menginjak lantai rumah itu kalau menantu akademikus Pak Jaksa itu datang. Suatu kekalahan bagi Mbah Danu. Untung hal itu terjadi paling kerap hanya dua kali dalam setahun. Pada waktu-waktu lainnya kedaulatanMbahDanu tetap utuh.

Clash ke-2 antara Mbah Danu dan Mr. Salyo, meskipun tak langsung berhadap-hadapan, terjadi, ketika Mbok Rah, pelayan Pak Jaksa yang setengah umur, sakit keras, justru ketika menantu Pak Jaksa yang berpendidikan tinggi itu berkunjung ke Rembang, Pak Jaksa dan Bu Jaksa tanpa pikir panjang segera menyuruh panggil Mbah Danu ketika Mbok Rah sudah mulai mengigau; sedangkan Mr. Salyo dengan penuh pertimbangan meminta datang Dokter Umar Chattab. Sangat kebetulan Dokter Umar Chattab lebih awal datangnya daripada Mbah Danu yang tidak punya mobil. Sehingga yang beraksi tangan di stetoskop. Dokter Umar, bukan tangan dan air ludah Mbah Danu.

“Malaria,” diagnose Dokter Umar Chattab di kamar Mbok Rah yang gelap. Ia memberi resep kinine, yang pada masa itu satu-satunya obat yang mujarab untuk malaria. Setelah memberi petunjuk-petunjuk lain tentang makan dan rawatan si sakit, Pak Dokter pulang.

Penyakit Mbok Rah makin lama makin keras. Pak Jaksa dan Bu Jaksa dan tetangga-tetangga yang dekat, tahu benar apa sebabnya. Kualat Mbah Danu! Dan mereka mendesak, agar supaya Mbah Danu dipanggil. Tetapi sebagai jawaban, Mr. Salyo memanggil Dokter Umar Chattab. Soal ini jadi perkara kehormatan baginya, dan perhubungan antara mertua dengan menantu jadi tegang. Nyonya Salyo dengan susah payah bisa tetap tinggal netral, tetapi, sebagaimana juga di dalam politik ia dipandang dengan marah oleh kedua pihak yang bertentangan. Namun ia tetap mempertahankan politik bebas yang pasif itu.

Dokter Umar Chattab heran.

“Kininenya sudah Tuan berikan sebagai yang saya tetapkan?” tanyanya.

“Ya,” jawab Nyonya Salyo mendahului suaminya. “Saya sendiri yang memberikan pil-pil itu kepada Mbok Rah.”

Dokter Umar Chattab pulang dengan tidak mengubah ketetapannya. Hanya saja ia berpesan, agar supaya waktu menelan pil si sakit diawasi sungguh-sungguh.

Keadaan Mbok Rah makin lama makin buruk dan malamnya lagi ia mati.

Perang dingin kini mencair jadi gugatan-gugatan lisan yang pedas meskipun tak ditujukan secara langsung. Dengan tak dipanggil, Mbah Danu datang sendiri. Mr. Salyo mengundurkan diri ke dalam kamar tamu. Asbaknya penuh dengan puntung sigaret.

“Kita telah berbuat sebaik mungkin,” kata Nyonya Salyo menghibur suaminya.

“Mengapa Jeng, mengapa ia meninggal?!” seru Mr. Salyo dengan gairah sambil memeluk bahu istrinya yang tidak menjawab.

“Kita tak bisa percaya kepada nonsense itu bukan!” katanya lagi.

“Inna li’llahi wa inna illahi raji’un,” kata Nyonya Salyo.

Ketika fajar menyingsing, persiapan-persiapan untuk penguburan dimulai. Pada jam 7 orang-orang masuk ke kamar jenazah dan mengangkatnya ke luar. Mr. Salyo dan nyonya ikut menyaksikan pengambilan jenazah dari dalam kamar tempat ia dan Dokter Umar Chattab menderita kekalahan terhadap mertuanya dan Mbah Danu. Nyonya Salyo yang mendampingi suami di kamar itu di dalam hati kecilnya cenderung kepada ayah-bundanya, tetapi merasa harus solider dengan kekecewaan suaminya.

Hawa di dalam kamar itu pengap, tambah menyesak dada oleh asap kemenyan. Mr. Salyo membukajendela lebar-lebar, sehingga sinar matahari pagi masuk dengan gelombang besar. Suatu sosok tubuh muncul di ambang pintu, Mbah Danu. Matanya membara. Mr. Salyo merasa tengkuknya dingin. Ia menghela napas panjang dan melemparkan pandang terakhir kepada bale-bale tempat semalam jenazah terbaring. Dengan sangat tiba-tiba ia terpekik dan telunjuknya diacungkannya ke sudut kamar. Matanya terbelalak lebar-lebar. Nyonya Salyo dan Mbah Danu menengok. Dan juga mereka melihat pil kinine membukit di lantai di bawah bale-bale Mbok Rah.

7-7-1954

Sumber: Kumpulan Cerpen Tiga Kota
Dijumput dari: http://manuskripdody.blogspot.com/2011/04/mbah-danu.html

Tidakkah Homofictus Itu Engkau, Tuan?

Kesan Pembacaan Tangan Untuk Utik—Bamby Cahyadi
Pringadi AS*
http://reinvandiritto.blogspot.com/

#1
Penyair adalah pencuri. Penyair adalah pemburu. Begitu dua pernyataan yang begitu saya ingat dari kedua ‘guru’ saya, TS Pinang dan Hasan Aspahani. Penyair mencuri kejadian, mencuri fakta, bahkan mencuri frase dari lingkungannya. Dalam menuliskannya, penyair jua pemburu, yang mengincar sesuatu untuk ditembaki, bila perlu sampai mati. Tak jauh berbeda sebenarnya, seorang cerpenis pun seperti itu. Yang membedakannya adalah cerpenis memiliki ruang lebih untuk berburu. Ia jauh lebih tidak terpancing untuk terburu-buru. Ia bisa meneliti ruang terlebih dahulu, mengasah alat burunya hingga tajam, atau bahkan sengaja tidak ditajamkan, agar buruannya mati pelan-pelan, tersiksa pelan-pelan. Begitu pun Bamby Cahyadi. Ia adalah seorang pemburu, yang bisa saya katakan tenang. Tidak ada yang menyangka bahwa di balik senyum manisnya itu, ia juga cukup kejam. Ia juga cukup berani dalam mengambil tindakan untuk mengeksekusi buruannya.

#2
Seseorang bertanya pada saya, apa sih yang membuat kamu terekstasi hingga menyukai sebuah cerpen? Pertama, dan yang utama, saya akan melihat homofictusnya. Homo fictus adalah ‘makhluk’ yang hidup di dalam fiksi, di dalam cerita. Ia bukan manusia. Ia bahkan melebihi manusia. Sebuah karya yang mampu mengekstasi saya adalah manakala homofictusnya tidak moderat, tidak tanggung, tidak ragu-ragu. Manakala ia baik, ia akan muncul sangat baik. Manakala ia jahat, ia akan tampil sangat jahat. Ia (homofictus) mampu membuat kita membayangkannya, atau lebih tepat ‘menghidupkannya, di dalam pikiran kita. Kita mampu membayangkannya dengan jelas, bukan hanya fisiknya tetapi juga sampai ke bathinnya.

Kedua, adalah konflik. Tentu saja, konflik juga dapat terbangun baik apabila homofictus tadi sudah hidup terlebih dahulu. Kemudian, akan lahir emosi dan gejolak yang dimainkan di dalam cerita. Membuat pembaca tidak sekadar merasa, tetapi juga berpikir, dan larut di dalam cerita.

Sementara unsur-unsur lainnya seperti latar dan alur, bagi saya, adalah sesuatu yang terbangun otomatis apabila kedua unsur sebelumnya sudah mampu diciptakan.

#3
Memandang Bamby Cahyadi dan ceritanya, terkait unsur homofictus dan konflik, membuat saya berpikir tentang kredo yang ia miliki. Apa yang menjadi dasar ketertarikan atau prinsip seorang Bamby Cahyadi sehingga ia menuliskan cerita-cerita ini?

Saya langsung tercengang dengan cerpen pertama yang ia sajikan. Ini seperti sebuah menu makanan yang diberi nama sederhana, terhidang sederhana, tetapi begitu kita makan pelan-pelan, kita akan menemukan berbagai kelezatan dan sensasi khusus di akhirnya. Homofictusnya, seperti yang saya katakan tadi, adalah seseorang yang tercitra sangat baik sekali. Ini bukan saja menciptakan citra di tokoh-tokoh lain di sekitarnya, tetapi saya jamin juga di pikiran pembaca. Tetapi begitu ‘jahat’nya Bamby ini, ketika dia mematahkan prasangka semua orang. Ia membunuh sang tokoh utama dengan tidak segan-segan. Memang, ada ruang yang tercipta dari bantingan pencitraan itu. Tetapi di situlah kekuatan cerpen ini, ruang tersebut mempersilahkan pembaca masuk untuk menjadi penulis juga. Mereka-reka sebenarnya apa sih latar belakang sehingga Bamby Cahyadi dengan begitu tega membunuh sang Karyawan Tua tersebut? Kita diberi kebebasan. Kita diuji kekreatifan. Tidakkah karya yang baik ditulis oleh penulis dan pembacanya sekaligus?

Berlanjut ke cerpen kedua, judulnya sudah sangat mengekstasi saya: Tuhan, Jangan Rusak Televisi Ibuku. Cerita ini pun dibangun dengan baik sebenarnya. Pembaca bertanya-tanya. Pembaca juga menebak-nebak. Tetapi sayangnya, saya tidak mendapatkan jawaban yang memuaskan. Cerpen ini yang menurut saya tadinya bernafas surealis, menjadi cerita fantasi biasa yang klise, dan tidak terjaga energinya.

Saya hampir saja kecewa setelah membaca cerpen kedua, dan hampir kehilangan semangat untuk membaca lebih jauh. Apakah Bamby Cahyadi cuma sebatas ini? Apakah Bamby Cahyadi tidak menawarkan yang lebih? Saya buka ragu-ragu halaman selanjutnya. Saya baca pelan-pelan judulnya, O, Bendera Itu Tidak Berkibar di Sini…

Begini, bayangkan Anda bangun tidur, dan berada di atas kasur dalam keadaan baik-baik saja. Lalu Anda pergi ke kamar mandi, dan becermin, Anda berubah kelamin? Atau saat Anda keluar kamar, Anda menjadi anak orang lain? Atau Anda keluar rumah, Anda sudah berada di galaksi yang bukan bima sakti? Cerita ini pun seperti itu, Anda kehilangan Indonesia. Anda kehilangan Negara Anda. Apa yang akan Anda rasakan? Tentu jika Anda memiliki nasionalisme yang tinggi, Anda akan sangat geram dan terkestasi. Pun kalau Anda tidak memiliki nasionalisme, Anda akan memiliki pertanyaan tentang kenasionalismean Anda setelah membaca cerpen ini.

Cerpen selanjutnya yang menjadi judul buku ini, Tangan Untuk Utik, sebenarnya membuat saya ragu dan tidak berharap banyak akan seperti apa cerita ini. Homofictus dan konflik seperti apa yang ditawarkan oleh Bamby. Dan saya akhirnya sependapat tentang peletakan judul cerpen ini sebagai judul buku. Bukan karena ia yang terbaik, tetapi karena di dalamnya kredo itu bermain. Di dalamnya lah saya melihat seorang Bamby Cahyadi yang menjelma ‘Aku-Narasi’. Saya melihat sebuah kerinduan besar dari seorang Bamby tentang bagaimana ia bersedia mengorbankan apapun yang ia miliki agar sebuah harapan lain itu bisa terwujud. Saya juga melihat karakter Bamby yang pasti sering memperhatikan keadaan di sekitarnya lewat kacamatanya itu. Kacamata yang seakan membuat hati tertegun, kemudian mengupas sesuatu dari sisi psikologis—latarbelakanng tokoh yang ingin ia ceritakan.

#4
Masih ada sepuluh cerpen lain yang Bamby tawarkan di sini. Tentu tidak bijak apabila saya menceritakan pandangan saya terhadap kesemua cerpen itu. Secara khusus, saya simpulkan, cerpen-cerpen Bamby tidak dibangun dari sebuah keadaan yang mustahil. Keadaan-keadaan itu ada. Keadaan-keadaan itu nyata. Ia (atau mereka) memang hadir di tengah-tengah kita. Namun, kerap luput.

Bamby mengubah itu. Ia mengubah hal-hal yang tampak biasa dan berusaha menguak sisi-sisi yang tak nampak di baliknya. Seseoran mungkin saja kita anggap humoris, selalu menawarkan senyum setiap saat, tetapi kita tidak pernah benar-benar tahu apa yang ia simpan di hatinya. Bamby juga berusaha mengubah benda-benda. Benda-benda yang tak sadar kerap kita jadikan ‘tuhan’. Bamby membuka ruang renung dari benda-benda yang ia sajikan. Kemudian dengan benda itu, ia memanusiakan kita sebagai pembaca.

Pada akhirnya, saya berharap Bamby akan terus berkarya, dan pasti ia akan terus berkarya. Karena yang saya lihat adalah Bamby memiliki kredo yang tak ada puncaknya. Kredo Bamby adalah jalan panjang yang berliku, dimana ia berada di jalan itu. Ia melihat, ia mendengar, ia merasakan, dan ia menuahkan semua hasil indranya ke dalam tulisan dengan kebijaksanaan pribadinya, sekaligus ketegaan emosinya yang kadang-kadang mencuat di batas kesadaran.

Saya percaya, Bamby akan menjadi sejarah, setidaknya bagi kita yang sudah membaca karya-karyanya.

*) Cerpenis dan Penyair. Kelahiran Palembang, 18 Agustus 1988. Buku Kumpulan Puisinya, ALUSI.

Dua Kota Dua Kepala

Deddy Arsya
http://www.harianhaluan.com/

Pernahkah kau mendengar sebuah lagu, atau beberapa lagu, dengan begitu banyak nama kota disebutkan di dalamnya? Ketika lirik-lirik dalam lagu itu dibuat, kota-kota itu masih berupa dusun-dusun kecil dengan orang-orang yang saling mengenal satu sama lain. Dan kini, ketika kau mendengar nyanyian itu (secara kebetulan atau sengaja kau menca­rinya di toko-toko kaset di kota-kota kami, kota-kota yang menjual nyanyian yang mencatat dirinya sendiri) maka dusun-dusun itu telah menjadi kota yang ganjil, kota besar atau kota kecil, atau di antaranya?

Kota dalam dendang, kota kecil dalam nyanyian, kota di daratan!

Pernahkah kau mendengar begitu banyak nama kota disebutkan dalam sebuah nyanyian, sebuah nyanyian saja? Kota-kota itu, dua di antaranya akan kuceritakan.

Kota Pertama

Kota yang kini masih menyim­pan gema derit rantai di kaki-kaki pekerja tambang. Kota hitam arang, hitam batubara. Lubang-lubang tambang itu, masihkah ada kira-kira? Atau kereta yang membawa batu­bara, seperti membawa luka masa silam manusia, masihkan terdengar peluitnya?

Aku berjalan suatu kali, di pinggiran kota itu, kota yang seperti kuali raksana, ke arah hutan yang menyimpan jejak kenangan orang-orang tentang buruh tambang yang dikirim dari pulau seberang. Dari Jawa, Jawa, Jawa, seperti kami sekarang, perantau yang pulang-malang. Kota yang masih larut dalam kenangan tentang batu yang serupa arang itu. Apa yang berbeda kiranya jika warna hitamnya diga­riskan di muka kita kini ketika semua telah dilupakan begitu lama?

Aku seret tangan kecil Marissa. Kami menatap hutan di tepi jalan lintas kabupaten, membelakangi kota yang seperti kuali raksasa itu. Aku tukilkan pandangan ke arah hutan pinggiran kota itu sekali lagi, dan menemukan sungai mengalir di bawah jalan utama. Sungai itu jernih airnya, bayangan sendiri akan tampak dengan jelas, jelas sekali serupa asli. Suara riak sungai itu mengingatkan tentang jejak buruh tambang dan derit rantai di kaki yang terngiang-ngiang di telinga sampai kini. Masih serupa gema, menguapkan gema. Sungai di mana dahulu kala, perlukah aku catatkan tahunnya, jasad-jasad kurus pekerja tambang dihanyutkan.

Tak berapa lama, aku kembali mengelilingi kota, kota yang seperti kuali raksasa. Menumpangi sebuah angkutan kota, menyeret tangan Marissa, dan menyadari tangan itu betapa kecilnya, barangkali sejak ayahnya tiada. Kami turun di jalan utama kota, mengunjungi pasar satelit tanpa membeli apa-apa, naik ang­kutan kota lagi, melihat-lihat kota la­ma. Benar ada bekas tambang ba­tubara itu kiranya, lubang hitam yang kini telah diberi cahaya, 15.000 rupiah kalau aku tak salah jika kau ingin masuk ke dalamnya.

Aku juga melihat lori-lori yang dulu katanya pernah diperjalankan di atas kawat besi yang kini tak lagi beroperasi. Tetapi semua masa lalu itu kini, juga kereta hitam dan beberapa gerbong-gerbong kayu, pabrik-pabrik pengolahan batubara, jejak-jejak kamp konsentrasi pekerja, dan tansi, telah menjadi bagian dari museum raksasa. Museum kota. Jejak-jejak kota tambang, kota yang seperti kuali raksasa.

Apakah kau ingin kuingatkan tanpa perlu aku berkata, tapi cukup hanya dengan mengunjungi kota-kota yang dicacat dalam sebuah nyanyian? Kota-kota yang selalu menyedihkan? Tidakkah nyanyian di daerah itu lebih sering digunakan untuk mengingat kesakitan, cemas, dan rusuh yang tak tertahankan? Maka inilah kota kedua, cukup dua saja, seperti buklet pariwisata yang membuatmu me­mutuskan berkunjung.

Kota Kedua

Sebentar lagi kami akan sampai di kota tujuan kami berikutnya dan mendapati masalalu. Sebentar lagi, tetapi kami merasa tak akan sampai-sampai. Entah bila, mungkin benar-benar tak akan tiba aku di sana. Aku menujunya, kota yang se­nantiasa dirindukan, tetapi tak seorang pun yang benar-benar ingin ke sana (mungkin ayah Marissa sebelum mati dulu pernah ber­mimpi).

Tetapi, kau tahu, aku tak bisa membayangkan sesuatu yang mampu mengembalikan ingatanku pada kampung halaman kami itu, kam­pung halaman yang bukan sebuah pemandangan atau gambaran yang kau perkirakan tentang negeri-negeri eksotik di pedalaman, seperti orang Eropa membayangkan dunia timur kita. Tetapi ia sebuah kampung yang kota, atau setidak-tidaknya berlagak serupa kota.

Ketika kota itu masih serupa kampung, ketika aku masih gadis muda dengan pipi kuning-tua, aku pernah mendengar kota kami disebutkan dalam lagu pada sebuah pesta perkawinan seseorang entah siapa. Dalam dendang mana, dalam dendang mana saja, aku lupa ju­dulnya. Aku pernah mendengarnya, dan itu pasti. Dan kini, aku sudah sebelas tahun tak pernah ke kota itu dan nyaris tidak tahu apa-apa tentang keadaan kota itu hari ini. Hal itu membuatku menunda-nunda untuk sampai ke kota itu, mencoba singgah di beberapa kota dalam perjalanan pulang. Tetapi aku tak juga men­dapatkan suatu gambaran yang menggembirakan tentang bagaimana aku harus menghadapi kota itu.

Aku naik bis lagi dan turun tidak sampai dua jam kemudian bersama Marissa di pusat kota berikutnya. Kau ingat, kota dalam dendang selalu akan mengingatkanmu untuk pulang. Benar-benar celaka semua nyanyian yang diciptakakan jika hanya untuk membawa larut atau menyuruh bunuh diri perlahan-lahan. Tapi begitulah adanya. Di kota kami, untuk tujuan itulah kiranya nyanyian diciptakan, untuk membunuh pen­dengarnya belaka atau melarikan diri dari nasib pahit bumi seumpama batu yang ditelan lubuk dalam.

Dan kami memutuskan berjalan kaki menuju danau di pinggiran kota, mengacuhkan keramaian, menyabai­kan warna-warni iklan di kota kecil yang berantakan. Kami lalu menaiki sebuah kereta kuda yang disewa tak melebihi uang kertas duapuluh ribu, meminta pada kusirnya untuk mengantarkan kami ke tepi danau hijau dan luas, seluas lautan jika seandainya kau lupa bahwa kau sedang menghadap ke sebuah danau saja.

Kami berkeliling danau sejenak dan memutuskan turun dari kereta kuda. Kami memutuskan berjalan kaki dan mengisi tabung air Marissa dengan air perasan tebu yang dijajakan di pinggir danau. Kami, aku dan Marissa, kenapa aku sampai lupa memper­kenalkan anak itu ke­padamu?

Marissa yang baru terbangun dari tidur di atas bis, tentu masih merasa belum mengerti di mana kami sekarang. Tetapi ia telah berada di atas kereta kuda selama beberapa menit dan menikmati lejutan-lecutan ekor kuda yang kasar. Dan merasa untuk pertama kali dalam hidupnya menaiki kereta kuda. Ia hampir selalu berada di sampingku selama tujuh tahun sehingga aku tahu pasti apa ia pernah naik kereta kuda sebelumnya atau tidak. Jadi, tidak perlu kau meragukan pengetahuanku tentang anak bisu itu.

Aku membawa Marissa menu­runi tebing jalan menujut tepi danau, terus ke tebing landai ke arah danau, lebih dekat lagi, untuk sampai di tepi danau itu dengan perasaan lega. Aku menyentuhkan tangan Marissa ke air. Ketika tangannya dan tanganku sampai di permukaan danau dan merasakan sejuknya air, seluruh pori-poriku bangkit dan ternganga, seperlu luka yang kembali muda.

Danau hijau itu, danau yang tersebut dalam dendang, juga dalam buklet Dinas Pariwisata. Jika kau datang, kau bisa membuka bajumu dan berenang telanjang di tempat yang tersembunyi dari orang-orang tentu saja. Tak akan ada yang melarangmu selagi kau tak dilihat siapa pun. Kau juga bisa berenang sambil membayangkan kau sedang berenang dengan semacam sirip yang perlahan-lahan ada dan menyumbul dari bawah ketiakmu. Atau jika kau tidak pandai berenang karena berat tubuhmu yang aneh dan mem­buatmu menjadi serupa batu, maka di tempat tertentu di pinggir danau itu kau bisa menyewa perahu atau pelampung dari ban dalam mobil yang tak akan menghabiskan sepuluh ribu uangmu.

Ketika aku berada di pinggir danau, setelah membasahi muka Marissa, aku kemudian juga mem­basahi mukaku, dan wajahku terkejut mendapati air danau yang dingin itu. Ya, air danau yang terus dingin meskipun kau datang tepat ketika matahari sedang berada di puncak kepalamu dan langit ketika itu begitu cerlang. Karena ikan-ikan di sana, menurut cerita, pernah besar, pernah begitu besar melebihi kekuatanmu untuk merangkul seluruh diameter tubuhmu sendiri. Sehingga kau tak akan pernah percaya sampai kapan­pun kalau ikan itu adalah ikan purba yang datang dari kutub utara entah selatan ke danau itu ketika seluruh dunia mencair, sehingga dingin kutub terbawa dingin tubuh ikan-ikan itu dan mengkontaminasi air di danau itu sekujurnya. Kau tidak akan percaya jika cerita itu benar adanya, seperti juga aku dan mungkin anakku, yang mendapatkan cerita tentang ikan besar dari kutub itu dari perempuan penjual air peras tebu yang mendirikan lapak-lapak di pinggir danau. Tak apalah.

Tapi dari perempuan penjual air peras tebu yang lain kau akan mendengar yang lain pula, kalau danau itu buah dari celaka, dari kutuk perempuan buta terhadap sembilan anak bujang mereka. Sembilan anak bujang yang kemu­dian menjadi ikan. Sembilan ekor ikan raksasa. Serupa Malin Kundang dalam versi yang berbeda. Seketika kutuk perempuan buta itu berlaku, seketika itu pula sembilan anak bujang yang melanggar pantang itu menjadi ikan. (Haruskah aku mence­ritakannya sedemikian mendetail kepadamu tentang pantang itu? Kau ingat saja bahwa cerita semacam itu berlaku untuk hampir seluruh dongeng-dongeng kuno di dunia kita, bukan?)

Beberapa waktu kemudian, aku sudah mendapati diriku berjalan dengan ransel berat di punggung mengelilingi danau itu hendak kembali ke kota, sementara Marissa menarik-narik ujung kemeja ba­wahku, membentuk gerakan tangan mengatakan kalau ia haus. Aku keluarkan tabung yang berisi perasan air tebu yang sudah tak lagi dingin dari dalam ranselku dan dengan gerakan tangan pula aku menyuruh Marissa menghabiskannya.

Marissa mungkin dapat merasa sangat lega dan, sepertiku kini, men­da­pati danau dan hamparan gunung-gu­nung yang melingkarinya begitu me­nawan dan memanjakan hati, mem­buatku melupakan do­ngeng-dongeng pilu yang mence­ritakan asal-mula terbentuknya danau itu di masa lalu.

Kami terus berjalan dan belum merasa letih meskipun kami telah hampir dua hari satu malam turun-naik bis yang berbeda (Kami perantau yang pulang dari Jawa, ah, sudahlah). Aku kadang tidur sejenak dan terbangun kembali oleh gun­cangan jalan, dikebat insomnia be­berapa lama, sementara Marissa men­dapat banyak tidur sepanjang per­jalanan

Setelah merasa lelah berjalan mengelilingi danau, kami berhenti di sebuah kedai nasi dengan menu utama ikan khas danau itu. Aku berpikir, adakah sembilan ekor ikan jantan itu telah kawin dengan sembilan ikan betina yang mungkin juga ada karena kutuk dan celaka ibu mereka, dan mereka, pasangan-pasangan ikan yang terkutuk itu melahirkan begitu banyak ikan kecil di danau ini?

Marissa makan dengan lahap, aku kehilangan selera untuk men­cicipi apa pun. Ketika mendapati senja jatuh ke danau, aku menarik tangan Marissa, kami memutuskan naik bis lagi. Bis dengan tujuan kota lain lagi, kota dalam dendang.

Tapi bukan kota kami. Kami tak akan pernah pulang-pulang lagi ke kampung halaman kami, ke kampung yang berlagak seperti kota. Kami terus saja me­ngunjungi kota lain, kota-kota yang pernah tersebut dalam dendang yang lain, kota-kota kecil yang lain yang bukan milik kami, yang hanya akan mengingatkan kami pada kota kami yang sesungguhnya.

Pernahkah kau mendengarnya? Jika kelak kau berkunjung ke kota-kota yang pernah kami kunjungi, kau bisa mendapati nyanyian itu di toko-toko kaset dengan menanyakan: adakah kaset dengan nyanyian yang memuat begitu banyak nama kota di dalamnya?

08 Januari 2011

Tentang Sajak Dody Kristianto

Eva Dwi Kurniawan
http://sastra-indonesia.com/

Dody Kristianto, nama yang kini menjadi perhatian saya. Seorang sarjana sastra.
Sudah lama saya memendam sebuah rasa yang aneh. Rasa yang tersamar-samar mengatakan bahwa kawan saya itu, Dody, akan menjadi seorang penyair baik. Penyair yang resah dengan bahasa dan selalu menemukan kegagalan dalam menyusunnya. Sebab, yang namanaya sajak, tidak akan pernah berhasil diciptakan. keberhasilannya ialah ketika sajak itu dirasakan gagal. Dan sebab gagal itulah, usaha untuk menyusunnya kembali, dilakukan. Dan sudah pasti, akan terjadi kegagalan lagi. Begitulah, serupa kutukan Zeus kepada Syisipus.

Kegagalan-kegagalan itulah yang terus disampaikannya melalui puisi. Dody, tetap menulis puisi. Ia selalu berusaha menulis, meskipun, saya yakin, apa yang ditulisnya itu masih belum membuat dirinya puas. Selalu saja dia resah ketika sajaknya selesai ditulis, terlebih jika dimuat disurat kabar.

Masih saya ingat ketika ketika beberapa puisinya gagal dimuat di media, dia melarikan diri ke wilayah cyber. Dia bilang, untuk membuat jaringan. Lalu saya katakan, “Asal tahu konsekuensinya, jika tetap berada di jalur itu-itu saja, kau bisa tersudutkan.” Dody, dengan gaya santainya, hanya menjawab, “Ya..ya..ya.” Entah apakah obrolan itu masih dia ingat atau tidak, saya tidak tahu. Akhirnya, selama pantauan saya, dia tetap bergelut di dalam dunia cyber.

Beberapa tahun tidak bertemu, ternyata saya tahu, dia menerapkan dua hal. Cyber, dan juga komunitas nyata. Sebagai sosok orang yang cuek, penggelandang, suka kesana kemari, juga sedikit urakan dan tidak tahu malu, saya menduga, bahwa apa yang diinginkannya dapat terwujud. Saya sadar dan sudah menduga sebelumnya, dari tatapan dan alis mataya, Dody bukan orang yang mudah patah. Dia memiliki energi besar. Semangat tinggi dan ambisius.

Ingatan yang membuat saya mulai tertarik dengan sosok Dody ialah ketika kali pertama kuliah. Dody, anak anak pertama yang selalu saya jumpai di kampus di pagi hari, sekitar pukul setengah tujuh pagi. Dia sudah berada di kampus. Sering aku menyindirnya sebagai tukang buka pintu kelas. Tempat favorid dia, adalah di lantai 3, sebuah ruang yang nyaman untuk melihat mahasiswa yang mulai berdatangan, terlebih mahasiwa putri.

Kali pertama bersentuhan dengan sajak-sajak Dody, yang mulai muncul dalam pikiran saya, adalah suasana yang terkesan bermain-main. Diksi-diksi yang digunakan tampak dilepaskan begitu saja. Sepertinya, tanpa ada seleksi terlebih dahulu dalam meletakkan diksi-diksi yang disusun di dalam puisinya itu. Saya pun begitu yakin, bahwa puisi yang ditulis Dody, sangat cepat. Tidak memakan waktu lama. Tidak terlalu banyak dia mengotak-atik puisi yang ditulisnya. Dan itu, hanya sekadar dugaan saya.

Baru di akhir-akhir ini, saya mulai merasakan adanya kepaduan, keseriusan dalam menyusun diksi. Mulai serius dalam usahanya untuk gagal menulis puisi. Tema-tema yang dihadirkan, meskipun masih sama, yakni lebih meletakkan pada estetika bahasa, tanpa tendensi prakmatis, tetap berada pada wilayah yang jauh berbeda pada sajak-sajak Dody sebelumnya. Jika dahulu masih abstrak, kini sudah menapakkan sesuatu yang konkret.

07 Juni 2011

Kamis, 22 September 2011

FENOMENA KANTONG-KANTONG SASTRA

Gunoto Saparie
Harian Wawasan, 16 Juni 2010.

Menjelang Temu Sastrawan Jawa Tengah 2010 yang diadakan DKJT 19 Juni mendatang, saya teringat pernyataan Korrie Layun Rampan, yang mengatakan bahwa Jawa Tengah merupakan penyumbang terbesar para penyair dan sajak-sajak (puisi). Dalam Antologi Puisi Jawa Tengah , tercatat 47 penyair dengan 118 puisi. Selain itu, beberapa penerbitan lainnya seperti antologi puisi Kicau Kepodang (I-III), Menara, Menoreh, Serayu , dan lain-lain, menunjukkan bahwa Jawa Tengah menyimpan banyak penyair. Kota-kota seperti Solo, Magelang, Temanggung, Purworejo, Purwokerto, Tegal, Banjarnegara, Purbalingga, Semarang, Kudus, Jepara, Pati, Batang, dan Pekalongan, ternyata memiliki potensi kesuastraan yang tidak dapat diabaikan.

Para sastrawan dan penyair itu terwadahi dalam kelompok-kelompok yang anggotanya sering begitu informal, tidak seperti organisasi kemasyarakatan pada umumnya. Para anggota komunitas-komunitas tersebut sangat beragam, dengan berbagai latar belakang pendidikan dan pekerjaan. Mereka disatukan oleh aktivitas yang sama, yaitu penciptaan dan diskusi tentang sastra, terutama puisi. Mereka selain mengirimkan karyanya ke media cetak yang terbit di Semarang, juga di Yogyakarta, Jakarta, Bandung, Surabaya, Lampung, Medan, Denpasar, dan lain-lain.

Mereka pun menerbitkan karya-karya dalam bentuk antologi bersama, baik ditulis dalam kertas stensilan maupun cetak melalui penerbitan resmi. Boleh dikatakan, kegiatan sastra tidak lagi terpusat di Jakarta. Di Jawa Tengah juga, sekitar tahun 1994-1995, Beno Siang Pamungkas, Triyanto Triwikromo, Sosiawan Leak, dan Kusprihyanto Namma, menggelindingkan suatu gerakan yang disebut sebagai Revitalisasi Sastra Pedalaman.

Meskipun apa yang dimunculkan oleh penggagas Sastra Pedalaman itu bukan hal baru, tetapi ”pengontraan” para sastrawan daerah terhadap Jakarta menunjukkan, bahwa para pemerhati sastra yang ingin mengikuti pertumbuhan dan perkembangan kesusastraan Indonesia secara kontinyu pun harus merambah pula ke kantong-kantong sastra yang bermunculan di daerah-daerah.
Hampir pada setiap kota dan kabupaten di wilayan Jawa Tengah memiliki kantong sastra.

Kota dan kabupaten yang selama ini kelihatannya sepi dari kegiatan sastra karena kurang terekspos di media massa, ternyata memiliki kantong sastra juga. Yang menarik, mereka tidak hanya mengirimkan karya-karya, baik puisi, cerita pendek, esai, atau kritik sastra, ke koran atau majalah resmi, tetapi juga ke berbagai jurnal, buletin, news letter, yang beredar secara terbatas. Agaknya mereka mendapatkan alternatif atau kompensasi ketika media cetak resmi di kota-kota besar seperti Semarang, Bandung, Jakarta, Surabaya, maupun Yogyakarta, tidak mudah untuk mereka ”tembus”.

Sesungguhnya di Jawa Tengah, tepatnya di Semarang, pada tahun 1983 ada suatu pernyataan sejumlah penyair yang ditulis seusai mereka mengikuti pertemuan dan diskusi di Taman Budaya Raden Saleh (TBRS).

Pernyataan Penyair Jawa Tengah 1983 yang diproklamasikan di rumah Darmanto Jatman Jalan Menoreh Raya Sampangan Semarang itu, pada intinya merupakan penolakan terhadap pemusatan kesusastraan di Jakarta dengan Taman Ismail Marzuki (TIM), Dewan Kesenian Jakarta (DKJ), dan majalah Horison -nya. Jakarta bukan lagi satu-satunya sumber legitimasi kepenyairan dan kesastrawanan Indonesia. Dalam salah satu poin pernyataan itu, penyair Jawa Tengah menyatakan komitmennya untuk lebih memuliakan lingkungan di mana sang penyair tersebut berada.

Semarang pada tahun 1980-an pernah memiliki Keluarga Penulis Semarang (KPS) yang diketuai Bambang Sadono SY. Organisasi ini setiap bulan sekali menyelenggarakan Panggung Sastra dengan menampilkan para penyair untuk membacakan puisi-puisi mereka. Selain pembacaan puisi, diadakan semacam diskusi, yang biasanya begitu ramai dan sengit. Sejumlah sastrawan penting di Semarang seperti Darmanto Jatman, Yudiono KS, B Soetiman, Halis LS, Heru Emka, Setyo Yuwono Sudikan, Nurdien Haka, Timur Sinar Suprabana, Pamuji MS, Agoes Dhewa, Bambang Supranoto, Prasetyo Utomo, dan lainlain, aktif terlibat. KPS ketika itu membuktikan, bahwa aktivitas sastra tidak harus digelar di TIM. Apalagi surat kabar lokal ketika itu, Suara Merdeka, banyak memuat kegiatan-kegiatan KPS. Sayang setelah sekitar sepuluh tahun ”berjaya”, KPS yang sempat berganti pimpinan ke Handry TM, terpaksa bubar. Tetapi, meskipun demikian, perannya dalam menghidup-hidupkan iklim bersastra di Semarang tak bisa dipungkiri.

KPS sesungguhnya tidak sendirian di Semarang. Di kota ini pun muncul komunitas-komunitas sastra lain. Teater Kuncup, misalnya, yang aktivitasnya selain di bidang teater, juga sastra. Kelompok pimpinan Djawahir Muhammad ini banyak menyelenggarakan lomba baca puisi yang diberi tajuk ”Semarang dalam Sajak”. Puisi-puisi yang dibacakan adalah hasil lomba tulis puisi ”Semarang dalam Sajak”, yaitu bertema tentang Kota Semarang dengan segenap problematikanya.

Teater Kuncup ini kemudian dibubarkan sendiri oleh pendirinya, Djawahir. Tetapi kemudian ia mendirikan komunitas dengan nama lain, yaitu Aktor Studio, yang aktivitasnya kurang lebih sama dengan Teater Kuncup. Triyanto Triwikromo, sastrawan yang sedang naik daun itu, ternyata pernah aktif di komunitas ini. Komunitas sastra lain di Semarang yang patut diperhitungkan adalah Teater Emka, di mana selain bergerak di bidang teater, juga sastra.

Teater ini adalah milik Fakultas Ilmu Budaya Universitas Diponegoro dan masih eksis sampai kini. Beberapa orang yang pernah menjadi motor komunitas ini adalah Agus Maladi Irianto, Budi Maryono, Gunawan Budi Susanto, Masturi W Syafaat, dan lain-lain. Di Semarang pula pernah berdiri Kumandang Sastra di bawah pimpinan Victor G Rusdianto yang banyak menyelenggarakan pelatihan baca puisi.

Di Kendal ini berdiri Teater Semut yang dipimpin Aslam Kussatyo. Selain Teater Semut, sesungguhnya ada komunitas sastra lain di Kendal, yaitu Kelompok Studi Seni Remaja (KSSR), yang dimotori Abdul Karim Husain, Noeng Runua, Abdul Wahab, Iswahyudi Noor, dan lain-lain. Di Kudus berdiri Keluarga Penulis Kudus (KPK). Di kabupaten lain muncul kelompokkelompok sastrawan yang cukup eksis di derahnya.

Yang menarik, komunitas-komunitas sastra yang bermunculan di Jawa Tengah itu sering lahir tanpa konsepsi matang. Mereka agaknya mendirikan komunitas sastra dengan maksud hanya sebagai ajang silaturahmi. Komunitas sastra ini sering tanpa Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (AD/ART). Sifatnya yang nirlaba dan swadaya, bukan merupakan lembaga pemerintah, membuat komunitas sastra itu terkesan sangat informal, longgar, dan jauh dari ”tampang birokratis”.

Mudah-mudahan Temu Sastrawan Jawa Tengah ini bisa menjadi forum silaturahmi dan saling tukar informasi antarsastrawan serta antarkomunitas sastra. Kita memang sudah lama merindukan forum semacam ini.

*) Sekretaris Dewan Kesenian Jawa Tengah (DKJT), Tinggal di Semarang.
Dijumput dari: https://komunitassastra.wordpress.com/2010/08/21/fenomena-kantong-kantong-sastra/

SASTRA KENDARI

Syaifuddin Gani
http://komunitassastra.wordpress.com/

Pintu Kesilaman

Sastra Kendari sudah lebih maju dari segi kuantitas, juga kualitas dibanding ketika pertama kali saya mengenalnya sejak tahun 1997 ketika tiba di Kendari. Selain soal karya, kemajuan itu juga sangat nyata pada orang atau penulis yang melahirkan karya itu. Dan mereka, para generasi terkini itu, berusia muda dan menampakkan semangat mencipta dengan penuh kegembiraan.

Saya tiba di Kendari tahun 1997 lalu masuk di Prodi Bahasa dan Sastra Indonesia, FKIP, Unhalu, dan kemudian tahun 1998 bergabung dengan Teater Sendiri (TS). Di sanggar inilah saya membaca antologi puisi Dengung karya para penyair Kendari saat itu, antara lain Achmad Zain, Ahid Hidayat, Munawar Jibran, L.M Saleh Hanan, Arrasyidi Budiman, La Ode Djagur Bolu, Edy Zul, dan Jusdiman. Di kemudian hari, hanya beberapa orang saja yang intens menulis dan mengikuti perkembangan puisi tanah air. Di Prodi Bahasa dan Sastra Indonesia, saya membaca Majalah Semiotika yang di dalamnya terdapat puisi-puisi Saleh Hanan, Asidin La Hoga, dan Iwan Jibran.

Sastra Kendari di masa silam, adalah bagian dari upaya untuk meletakkan pondasi bagi kesusastraan Kendari selanjutnya. Bagi saya, hal itu patut disyukuri karena telah memperkenalkan bacaan awal yang terus mendorong untuk mencari bacaan lain. Akan tetapi, Dengung tidak mendengung sampai di luar Kendari.

Saya sendiri, kemudian berproses dalam bidang teater dan sastra di TS bersama banyak teman yang lain. Di sanggar ini, Kak Stone (Achmad Zain) adalah seorang motivator bagi kurang lebih dua puluh anggotanya. Posisi Kak Stone dalam pandangan saya bukan pada korektor atau kritikus bagi proses penulisan sastra bagi anggota-anggotanya, tetapi lebih sebagai mesin pendorong kreativitas yang tak lelah-lelah menyuruh bahkan memaksa menulis. Di dalam proses yang bertahun-tahun inilah, Kak Stone berhasil menanamkan budaya tulis di kalangan anggota TS. Tulisan-tulisan awal saya dalam proses ini, masih tersimpan sampai sekarang.

Salah satu kendala yang dihadapi saat itu adalah tiadanya hubungan dengan dunia luar dalam arti yang luas. Dunia luar yang saya maksud adalah persinggungan dengan penyair atau sastrawan Indonesia, media sastra (harian dan majalah sastra), komunikasi dengan pengamat sastra. Jadinya, sastra yang saya alami saat itu, hidup di dalam lingkungannya sendiri yang tidak lapang. Hal ini berakibat pada, kita tidak pernah tahu sejauh mana pencapaian estetik atas karya sastra yang diciptakan. Akan tetapi, di tengah situasi seperti ini, proses dan semangat menulis, intens dilakukan, tak terbendung.

Proses dan hasil penulisan yang dilakukan pun lebih banyak dibaca oleh teman-teman sendiri. Akan tetapi, pintu cakrawala itu sedikit demi sedikit terbuka dengan diadakannya Prosesi Seni Malam Jumat (Proselamat) yang berlangsung beberapa tahun. Di Proselamat, karya-karya yang ditulis di TS dan juga karya-karya penulis-penulis lain yang giat di komunitasnya juga, menampilkan karya di hadapan banyak orang. Proselamat, bagi saya adalah salah satu arena pemasyarakatan sekaligus penggemblengan karya di internal Kendari. Karena di momen inilah, beragam karya (sastra, teater, tari, musik) dipentaskan dan dikritisi. Kegiatan bulanan ini sudah berhenti.

Proses yang kami alami di TS itu dalam pengalaman saya, turut juga diikuti dan diapresiasi oleh Ahid Hidayat, yang sering menjadi teman dalam membahas karya yang kami tulis. Sementara itu, Irianto Ibrahim, yang segenarisi dengan Abd. Razak Abadi dan Dhidit Marsel, kemudian hari, lebih banyak aktif di kampus bersama para mahasiswa di dalam menggeluti sastra. Sehingga lahirlah beberapa perkumpulan sastra yang dibuatnya, misalnya Eksis. Pada akhirnya, membentuk Komunitas Arus sampai sekarang. Abd. Razak Abadi, selain menulis sastra, juga berteater bersama TAM dan Didit Marshel lebih memilih teater sebagai lahan kreatifnya.

Pintu Kekinian

Proses penulisan yang dilakukan di Kendari, di tengah-tengah ketertutupan dengan dunia luar itu, terkuak pintunya pada sekitar tahun 2000-an sampai sekarang. Karya-karya yang ditulis, cerpen atau puisi, diapresiasi dengan baik oleh sesama sastrawan di luar Kendari. Menulis cerpen dan puisi di tahun-tahun awal itu tidaklah sia-sia. Puisi dan cerpen mulai dimuat di berbagai majalah sastra dan harian yang memuat sastra hari Minggu.

Sastrawan muda yang karya-karyanya termuat itu seperti Sendri Yakti, Irianto Ibrahim, Iwan Konawe, Galih, Abd. Razak Abadi, dan La Ode Gusman Nasiru. Salah satu penyebab teraksesnya karya-karya mereka adalah karena tradisi membaca sastra mutakhir yang kuat, komunikasi dengan sastrawan luar Kendari, memanfaatkan media internet untuk membaca karya sastra mutakhir, serta mengikuti wacana, fenomena, isu, dan politik sastra Indonesia terkini. Selain itu, tentunya adalah karya-karya sastra mereka sudah layak untuk dipublikasikan.

Hubungan dengan dunia luar itu menjadi sangat terbuka dan akhirnya tidak ada pintu penutup dengan kamar-kamar sastra lain itu. Sastra Kendari dan sastra daerah lain menjadi sebuah rumah sastra, rumah sastra Indonesia. Pintu-pintu itu mulai terbuka dengan hadirnya rombongan sastrawan SBSB (Siswa Bertanya Sastrawan Berbicara) di beberapa sekolah di Sultra, yang diprogramkan oleh majalah Horison didukung Ford Foundation, tahun 2003. Lalu tahun-tahun berikutnya, banyak sastrawan ternama Indonesia hadir di Kendari, yang diundang oleh antara lain Kantor Bahasa Prov. Sultra, Prodi Bahasa dan Sastra Unhalu, dan kemudian singgah menemui komunitas sastra Kendari, antara lain di Komunitas Arus dan Teater Sendiri, yang lalu dimanfaatkan untuk diskusi intensif dan membuka jaringan. Hal ini, disadari atau tidak, turut membentuk dan menyokong majunya sastra Kendari.

Selain nama-nama yang saya sebut sebelumnya di atas, lahir pula penyair dengan usia lebih muda yang melakukan proses penulisan di berbagai komunitas, salah satunya adalah Komunitas Arus. Sanggar yang dibina oleh penyair Irianto Ibrahim ini, juga punya proses menulis di kalangan anggotanya, hingga melahirkan penulis-penulis berbakat. Di genre sastra pop, hadir Krisni Dinamita dengan novelnya Cintai Aku Sekali Lagi dan Arham Kendari dengan bukunya Jakarta Under Kompor dan Dumba-dumba Gleter.

Harian Kendari Pos pernah membuka rubrik Sastra & Budaya yang memuat selain sastrawan luar Kendari, juga dan terutama memuat karya sastra penulis Kendari, setiap hari Sabtu. Saya dan Ahid Hidayat, secara “tidak formal” menjadi penjaga rubriknya. Selain dari luar, banyak penulis Kendari, terutama yang berstatus mahasiwa mengirim karyanya. Hal ini memperlihatkan bahwa kepenulisan di kalangan mahasiwa itu sangat bagus dan perlu ditunjang oleh media. Akan tetapi, keberadaan kami di rubrik itu tidak berlangsung lama, dan rubrik itu masih eksis sampai sekarang, meskipun pemuatan karya sastra penulis Kendari tidak seintens dulu.

Penyair-penyair Kendari terkini, mempublibksikan karyanya tidak hanya melalui media-media cetak atau media on line yang dikelola pihak lain, tetapi juga sekaligus membuat blog pribadi, selain facebook, lalu menampangkan karya-karyanya di dalamnya, juga karya sastrawan lain. Dengan demikian, sastrawan Kendari terkini, selain mengikuti perkembangan sastra melalui buku, koran, dan majalah sastra, juga ikut serta terlibat di dalam media internet sebagai medium sastra mutakhir. Artinya, bagi pelaku sastra, baik itu sastrawan, pengamat, atau kritikus sastra, harus melibatkan diri dalam dialektika sastra mutakhir yang terjadi tidak hanya di “darat” tetapi juga di dunia maya. Jika tidak, maka kita akan segera tertinggal dengan cepat.

Sastra Kendari terkini, secara perlahan-lahan, telah menjadi bagian dari sastra Indonesia, meskipun keterlibatan, peranan, atau keberadaanya masih belum terlalu signifikan. Di berbagai antologi puisi bersama telah mencatatkan nama-nama penulis sastra Kendari, antara lain di buku Tanah Pilih (TSI I Jambi), Pedas Lada Pasir Kuarsa-Buku Puisi dan Jalan Menikung ke Bukit Timah-Buku Cerpen (TSI II Bangka Belitung), Percakapan Lingua Franca (TSI III Tanjungpinang), Penyair Menuju Bulan dan Wajah Deportan (Banjarbaru), Rumpun Kita (Malaysia), Bungahati Buat Diah Hadaning (Jakarta), Beranda Senja (Jambi), Penyair Perempuan Indonesia (Jakarta), dan lain-lain. Selain buku di luar Kendari di atas, terdapat pula buku/manuskrip puisi Kendari yang merupakan pondasi seperti Sendiri 1, Sendiri 2, Sendiri 3, Malam Bulan Puisi, Barzanji di Tengah Karang, Yang Tak Pernah Pergi, Tanah Merah Tanah Sorume, Perjalanan, Dari Cinta ke Jembatan Rindu, dan lain-lain.

Keberadaan tokoh-tokoh yang ikut mendorong iklim sastra Kendari adalah, Ahid Hidayat yang intens mengamati serta menulis makalah tentang sastra Kendari sejak pertama kali saya tiba di Kendari. Ahid Hidayat, dalam pengamatan saya, mencoba tekun mempraktikkan tradisi penulisan di Unhalu, meskipun langkahnya kadang dianggap kontroversial. Salah satu langkah nyata keberaksaraan yang dihasilkannya adalah buku puisi Pagi Mendaki Langit yang merupakan puisi mahasiswa mata kuliah Menulis Kreatif. Di sini, banyak karya mahasiswa yang bagus. Ada La Ode Balawa yang turut mengamati sastra Kendari dan terakhir mencoba ikut di dalam mendorong suasana penciptaan yang baik. Iwan Jibran yang sejak mahasiswia menulis puisi dan pernah meraih juara dalam lomba cipta puisi tingkat mahasiswa nasional, ikut memiliki andil di kalangan mahasiswa melalui UK Seni Unhalu. Asidin La Hoga adalah sosok yang sejak mahasiswa menulis puisi dan sampai sekarang memberikan motivasi pelaku-pelaku sastra untuk giat menulis.

Salah satu faset perkembangan sastra Kendari yang sangat berarti adalah diterbitkannya antologi puisi Irianto Ibrahim Buton, Ibu, dan Sekantong Luka oleh Frame Publishing, Yogyakarta. Antologi puisi tunggal ini kemudian diluncurkan dan dibedah di Yogyakarta, Tasikmalaya, dan PDS H.B Jassin, Jakarta, mendapat sambutan yang baik di kota-kota tersebut. Ini adalah sebuah pencapaian tersendiri bagi sastra Kendari yang memahat tradisi keberaksaraan dan turut memperkenalkan sastra Kendari ke masyarakat sastra Indonesia yang lebih luas.

Pintu Masa Depan

Sastra Kendari kini maju selangkah. Hopla! Teriak Chairil Anwar. Kita memang harus melompat agar maju dan bisa seiring dengan kota lain, meskipun berat. Sastra Kendari, tidak bisa tidak, harus dibangun dari tradisi tulis yang cukup kuat. Selain tradisi tulis, harus ditopang dengan tradisi membaca, tradisi diskusi atau sharing, tradisi berguru, dan tradisi bertualang. Jika tidak mengikuti perkembangan sastra Indonesia mutakhir, Kendari akan mundur dan terpuruk.

Kehadiran sastra Kendari, sebagaimana di daerah lain, adalah suatu kenyataan betapa Jakarta bukan lagi Pusat Sastra. Kota-kota yang tersebar di Indonesia membangun dirinya sendiri menjadi pusat yang baru. Kata Emha, setiap penyair membangun kursinya sendiri. Akan tetapi, membangun diri sendiri, butuh “kemandirian” dan kemauan kuat agar bisa dikenal sebagai Kota Sastra.

Seperti apakah sastra Kendari masa depan? Jawabnya sangat musykil. Akan tetapi bisa kita raba dengan menengok sastra masa lalu dan melihat sastra hari ini. Jawabnya bisa tiga: mundur, jalan di tempat, dan lebih maju! Tergantung pada “gantungannya”. Dan gantungan itu ada pada kita semua.

BTN Puri Tawang Alun 2
Rabu, 24 November 2010

Tulisan ini pernah dipaparkan pada diskusi Sastra Kendari: Masa Silam, Masa Kini, dan Masa Depan di Teater Sendiri, 28 November 2010, lalu dipublikasikan di Facebook Syaifuddin Gani, 2 Desember 2010.
Dijumput dari: http://komunitassastra.wordpress.com/2011/01/03/sastra-kendari/

Senin, 19 September 2011

Mendobrak Kebuntuan Sastra

Risang Anom Pujayanto
http://www.surabayapost.co.id/

Mereka yang sedang tumbuh, muncul dari kampus dan komunitas-komunitas sastra. Gerakan mereka memang tidak seagresif para penggiat sastra Jawa Timur era tahun 1980-1990-an yang getol ‘melancarkan serangan’ ke daerah-daerah di Jawa Timur dan luar Jawa Timur.

Komunikasi antar penyair antar kota dan provinsipun tergolong cukup intensif dilakukan oleh penggiat sastra 1990-an. Bahkan isu revitalisasi sastra pun lahir akibat dari komunikasi intensif antar penyair dari Jawa Tengah dan Jawa Timur. Dan isu itu sempat menggetarkan wacana sastra di Indonesia.

Kini generasi baru lahir kembali. Mereka hidup dengan caranya sendiri. Komunitas adalah ruang eksplorasi dan ekspresi sastrawan muda yang muncul akhir-akhir ini. Biro sastra Dewan Kesenian Surabaya (DKS), merespon kondisi ini dengan membuat ruang apresiasi yang diberi tajuk Halte Sastra.

Sekretaris DKS Hanif Nasrullah mengharapkan adanya sebuah wadah sebagai ‘halte’ bagi para sastrawan muda untuk menuju ke dunia kreatif yang lebih luas. Hal ini untuk mengetahui sejauh mana proses kreatif yang dialami oleh sastrawan muda tersebut, sehingga nantinya diharapkan muncul semakin banyak sastrawan-sastrawan muda.

Dalam acara yang rencananya akan digelar setiap bulan ini, dua orang penyair muda didapuk sebagai pembicara, Umar Fauzi dari Komunitas Rabo Sore (Unesa) dan Arif Junianto dari Cak Die Rezim (Unair).

Memang, kenyataannya, penyair dan sastrawan banyak lahir dari dua perguruan tinggi tersebut. Sebut saja nama-nama seperti W Haryanto, S.Yoga, Sony Karsono, Imam Muhtarom, Bramantio, Indra Tjahyadi, Mashuri, F.Aziz Manna, Deni Tri Aryanti, dan Dhenny Jatmiko yang lahir dari rahim Unair. Selain itu, sebut nama Suripan Sadi Hutomo, Harmono Kasiun, Wawan Setiawan, Shoim Anwar, Tengsoe Tjahjono, Tjahjono Widarmanto, Sariban, R Giryadi, A.Muttaqien, yang lahir dari Unesa.

Belum lagi kini nama-nama penyair dan satrawan muda juga sudah mulai bermunculan, seperti Dodi Kristianto, Didik Wahyudi, Bayu Prasetyo, Salamet Wahedi, dan Umar Fauzi dari Unesa, ditambah beberapa nama dari Unair seperti, Eko Darmoko, Dian Nita, Finsa Syaputra, Wildansyah, Risang Anom, KY Karnanta, A Junianto, dan Rangga Agnibaya.

Oleh karena itulah, kemudian akan sangat sayang sekali jika melimpahnya potensi tersebut tidak membuat kondisi iklim kreatif di Surabaya menjadi kondusif. Saiful Hajar, seorang penyair senior Surabaya, yang juga menjadi moderator mengatakan bahwa, memang dengan amunisi-amunisi seperti itu, sudah selayaknya Surabaya dan Jawa Timur tampil untuk menghadapi dominasi Jakarta.

Umar Fauzi menyampaikan bahwa ilhamlah yang menjadikan dirinya untuk bisa terus berkarya. Pertemuan dengan sastra merupakan hal yang tidak terduga. Tepatnya, pada 14 Februari 2002. Ketika itu, gurunya di MAN Sampang berhasil memberikan materi pelajaran dengan baik tentang kepenyairan Chairil Anwar. ”Entah kenapa setelah Ibu guru keluar kelas, saya menulis puisi,” kenang penyair muda kelahiran Sampang, 2 Juli 1986 itu.

Sementara itu, Arif Junianto yang kerap memakai nama A Junianto dalam sajak-sajaknya, mengaku pernah membenci puisi. Menurutnya, puisi identik dengan kecengengan dan kepesimisan.. Akan tetapi, seiring dengan berjalannya waktu, penyair kelahiran 4 Juni 1984 tersebut justru memandang puisi sebagai bagian kehidupan yang hakiki.

Dalam pencarian bentuk terbaik penulisan, pria yang sehari-harinya berprofesi sebagai wartawan ini mengatakan telah mencoba banyak model penulisan. Sekarang, tulisannya terdampar pada kata-kata yang biasa dan terasa ‘dekat’ dengan lingkungan.

”Dalam puisi, perpaduan kata biasa dapat juga menghasilkan akrobatik makna,” ucap Arif.

Beberapa tanggapan seputar materi Proses Kreatif kedua penyair muda ini pun datang silih berganti. Seperti tanggapan dari Heru Susanto, yang mempertanyakan aspek keindahan dan keliaran pada kedua penyair, serta dari Anshor Sja’roni, seorang guru yang juga merupakan mantan aktifis teater Puska Unair yang memberikan masukan bahwa sebagai seorang penyair, harusnya bahasa sudah tidak lagi menjadi kendala.

”Saya melihat penyair-penyair muda sekarang cenderung selalu sibuk menata bahasa dari pada menyampaikan esensi dari sajak itu sendiri,” ujarnya

Sabrot D.Malioboro selaku Ketua DKS mengatakan, sastrawan muda Surabaya harusnya memiliki daya dobrak dan daya kritis.”Avant garde!” seru penyair 80-an ini.

Akan tetapi, sayangnya hal ini belum terlihat dalam sastrawan Surabaya. Padahal, DKS telah memfasilitasi mereka. Setidaknya Halte Sastra bisa dibilang merupakan langkah awal dari kebangkitan angkatan muda sastrawan Surabaya.

Akan tetapi, seharusnya, penyampaian proses kreatif bukan menjadi titik fokus. Hal itu disebabkan selain proses kreatif tersebut bersifat subjektif, juga karena yang menyampaikan adalah seorang sastrawan muda yang notabene masih belum ‘popular’.

Seharusnya, Halte Sastra lebih banyak membincangkan mengenai permasalahan-permasalahan yang muncul sepanjang perkembangan kesusasteraan di Surabaya, seperti misalnya permasalahan komunitas.

Menurut Arif Junianto, komunitas seharusnya menjadi titik penting dalam pembentukan iklim kreatif. Akan tetapi, kenyataannya, komunitas yang ada seolah hanya bergerak sendiri. ”Jika komunitas-komunitas ini bisa jalan bersama, mungkin hasilnya akan bisa lebih maksimal,” ujarnya.

Memang permasalahan yang muncul adalah iklim persaingan antara komunitas tersebut. Mengenai ini Arif berpendapat bahwa persaingan yang muncul kemudian bukan hanya persaingan kreatifitas yang bersifat membangun, namun juga persaingan yang pada akhirnya menimbulkan semacam konflik-konflik yang parahnya, hanya menimbulkan jarak yang semakin jauh antara komunitas-komunitas tersebut.

Lalu, apakah Halte Sastra bulan depan bisa lebih optimal dengan tidak hanya membahas permasalahan subjektifitas saja, melainkan lebih pada pembahasan mengenai berbagai permasalahan yang menyebebkan tidak kondusifnya iklim kreatif di Surabaya.

Liar, Nakal dan Penuh Cinta

Salamet Wahedi *
Jawa Pos, 6 Maret 2011

Dalam sejarah sastra Indonesia, pengarang yang menulis berbagai genre bisa dihitung dengan jari. Bahkan, kalau pun ada, itu hanya sekadar metamorfosa pencarian, atau pelarian di tengah kebosanan proses. Dengan kata lain, seorang pengarang selalu identik dengan satu genre. Misal Sutardji Calzoum Bahri, sefantastis apa pun dia menulis karya selain puisi, semisal cerpen, tetap dikatakan penyair yang menulis cerpen. Atau Sapardi Djoko Damono ketika menghadirkan kumpulan cerpen “Orang Gila”, tidak serta merta mendapatkan label cerpenis. Dia tetap diidentikkan dengan penyair yang melakukan petualangan estetika di negeri lain.

Lalu apa yang menyebabkan label cerpenis atau penyair tak bisa disandang sekaligus? Dalam realitasnya, ambillah Sapardi Djoko Damono, dalam membangun struktur karya prosanya (:cerpen) tak jauh beda dangan puisinya. Kekuatan cerita, yang semestinya menampilkan karakter tokoh, penokohan, plot, yang kuat untuk membedakannya dengan puisi, ternyata hanya menjadi unsur pendukung. Dengan kalimat lain, kekuatan cerita yang ditulis oleh para penyair, terletak pada nuansa, suasana, dan tema yang diusung.

Membaca 12 cerpen dalam “Aku jatuh cinta lagi pada istriku” karya Mardi Luhung, kurang lebih sama. Cerpen-cerpen yang ditulis dalam rentang 1994-2009 ini, terbangun atas dasar kesadaran seorang penyair. Bukan cerpenis. Dengan demikian, dapat didedahkan cerpen-cerpen dalam buku ini, cerita yang memiliki kekuatan pada realitas suasana, liris diksi dan gerak imaji tanpa konstruk alur. Sehingga, lahirlah cerita dengan tokoh-tokoh yang meracau, berpidato atau sesekali terpelanting oleh deraman bawah sadarnya. Atau dialog-dialog yang membanal pada ambang batas kesadaran estetika puitis. Atau suasana yang jungkir balik. Seperti yang ditunjukkannya pada narasi pembuka cerpen “Sore ini, Sepedaku Menabrak Dinding”, Sore ini sepedaku menabrak dinding. Tapi tak terguling. Terus menembus dan menggelinding. Menuju ke kedalaman laut. Di kedalaman itu sepedaku terus aku kayuh. Melewati moral, terumbu dan karang… (hal, 59).

Dunia yang dibangun Mardi, dunia meta-realitas. Kita disuguhi oleh panorama yang linear, berjalan lancar, tapi sungguh diluar logika. Meta-realitas ini semakin menemukan keunikannya ketika dipadukan dengan daya kritis. Aku, istriku dan kedua mertuaku serta orang-orang sekampung blingsatan. Dan yang lebih aneh, seperti punya mata, ke mana pun kami lari, tembok pabrik itu selalu mengejarnya. Jadinya, setiap hari dan setiap waktu kami selalu dikejari tembok pabrik itu. Sedang di atas sana, berdikit –dikit matahari menjauhi bumi sebab terus di sodok oleh ketinggian tembok pabrik.(hal. 15)

Di sinilah, kekuatan meta-realitas dan daya kritis mampu menghadirkan ruang-bangun cerita yang liar: memukau, sekaligus penuh magis. Jalinan suasana yang dibangun benar-benar menciptakan dunia keberadaan yang menawarkan ruang tafsir atas realitas di sekitarnya.

Lebih jauh, persoalan meta-realitas Mardi tak hanya sekadar menghadirkan dunia baru. Dunia yang penuh keliaran penghuninya. Di luar itu, Mardi juga melakukan dialog akan rentang waktu dan cinta. Ya, cinta, yang dalam perspketif kekinian dipahami sebagai dialog kau dan aku, ternyata juga mesti dipagami sebagai pergumulan dengan waktu. Mengenai cinta ini, Mardi menghadirkan beberapa pendangan cita-rasa yang menggugah dan penuh gairah. Pertama, cinta dan perjalanan waktu. Kebosanan, merupakan sesuatu yang tak terelakkan. Dia merupakan ancaman yang pasti dan menyakitkan. Bahkan tidak jarang, kebosanan membuat segalanya berubah. Sehingga perlu kiranya diupayakan eksplorasi dan permainan dunia imaji yang liar, untuk menghadirkan rasa cinta kembali pada istri, yang selama 20 tahun dinikmati tanpa sadar dan makna.

Kedua, cinta dan dinamika hidup. Beranjaknya usia dan pergeseran ragam budaya hidup, dengan serta merta menggeser cita rasa cinta. Istri yang sejak semula menyatakn setia, harus berkelit dan banyak menuntut di tengah gemerlapnya hidup. Dengan kata lain, cinta sudah seyogyanya diimbangi oleh kesadaran untuk mengutuhkan dan menyelaraskannya dengan tuntutan zaman.

Ketiga, cinta dan ego manusia yang membudak. Tak bisa dihindari, rasa yang mendalam serta keterjebakan naluri-jiwa, menyebabkan seseorang terjerembab pada kubangan ketakberdayaan. Demi seorang istri, kita pun mesti memainkan peran yang tak lazim: tukang cuci. Tapi apa boleh buat, kita mesti memerankannya, sambil sesekali menguak misteri lain dari dunia ketakberdayaan ini.

Kekuatan lain Mardi dalam menghadirkan dunia yang liar, cerita yang penuh cinta, adalah eksotisme tokoh-tokohnya dalam membawakan peran yang nakal. Bahkan, tidak jarang tokoh-tokoh itu mengerang, menerjang, dan sesekali berkecipak ria dengan dialog-dialog ringan nan menggelitik. “Begini, ibuku kan bukan priyayi. Dan sukanya pun keluyuran. Aduh, bagaimana jadinya, jika waktu keluyuran itu kakinya menginjak tai. Apa sorga tidak bau?’ (hal. 112).

Keliaran narasi, kesadaran akan rasa (:cinta), dan kenakalan yang kritis a la Mardi, tentunya merupakan warna baru dalam eksplorasi estetika. Dia tak hanya menjelma sebagai dunia yang mambang dengan dunia meta-realitasnya. Tapi sekaligus dunia yang berpusar di relung ruang kesadaran yang berlumut. Dengan simpulan yang belum usai, cerpen-cerpen “Aku jatuh Cinta lagi Pada istriku”, memberikan satu sugesti yang mengoyak emosi, memecah kebekuan imaji serta memainkan paradigma yang jumud.

Sehingga, sudah sepantasnya, buku “Aku Jatuh Cinta Lagi pada Istriku” menempati ruang apresiasi yang layak. Sebuah ruang untuk berdialog, berbagi dan sesekali bertegur sapa dalam kesadaran akan realitas yang nakal dan penuh cinta. Buku ini, sungguh menyajikan sesuatu yang segar. Yang liar. Yang mesti kita baca untuk mengungsikan setiap kengerian dan ketragisan hidup di tengah deru kemajuan dan pembangunan ini.

*) Salamet Wahedi, Lahir di Sumenep, 03 Mei 1984. Menulis puisi, cerpen, dan esai. Karya-karyanya pernah dipublikasikan di berbagai media, antara lain: Majalah Sastra Horison, Radar Madura, Suara Pembaruan, dan Batam Pos. Juga dalam beberapa antologi: Nemor Kara (antologi puisi Madura, Balai Bahasa Surabaya, 2006), Yaa-sin (antologi puisi santri Jawa Timur, Balai Bahasa Surabaya, 2007), dan lain-lain. Tinggal di di Lidah Wetan, Gang VI No. 24 Surabaya.
Dijumput dari: http://www.facebook.com/note.php?note_id=10150174746217275

Jumat, 16 September 2011

BELAJAR SASTRA LOKAL ALA SAIPI ANGIN

[Dari Sabrank Suparno, Fikri. MS sampai Wong Wing King]
Nurel Javissyarqi

Sudah beberapa hari ini aku berada di Jombang, padahal rencananya paling banter dua atau tiga hari. Beginilah keadaanku kala berkelana, seperti udara diterbangkan angin ke mana sesukanya, tiada lebih diriku sewaktu di rumah. Ku bebaskan alam pikir-kalbu mengikuti arus tak terlihat, sericikan ombak kehidupan berjuta jumlah, dan setiap partikel terkecil menentukan aura. Daun-daun, burung-burung, bergerombol awan bertumpuk-tumpuk kadang menipis sesuai tarian bayu berdendang, berdentaman ke dasar jiwa.

Puisi-Puisi Afrizal Malna

Kompas, 13 Juni 2010
Stasiun Terakhir
Untuk Slamet Gundono

Aku hanya gombal yang tergeletak di lantai 230 kg namaku. Nama yang setengahnya terbuat dari air mata dan azan subuh. Gombal yang bisa tertawa dan bernyanyi dari hidupku sendiri. Gombal dari tembang-tembang pesisiran yang membuatku bisa tertawa bersama Tuhan. Melihat surga dari orang-orang yang bertanya, kenapa ada gema kesunyian ketika aku berdiri dan menggapai semua yang buta di sekitarku, kenapa aku bertanya seperti tidak mengatakan apapun.

30 hari aku lupa caranya tidur. Dinding-dinding mulai berbicara, membuat gravitasi terbalik antara tubuhku dan malam yang tersisa pada jam 11 siang. Seluruh dunia datang dan berebut masuk ke dalam telingaku. Aku tarik rem kereta api, berderit, besi berjalan itu berhenti mendadak, berderit, seperti besi besar membentur stasiun terakhir. Aku muntahkan tubuhku bersama dengan suara-suara yang ingin mendapatkan nama dari kerinduan.

Aku hidup bersama Bisma yang berjalan dengan 1000 panah di punggungnya, kesetiaan dan kejujuran buta 23.000 kaki di atas permukaan laut. Kesunyian memukul-mukul 230 kg berat tubuhku. Istana Jawa yang terbuat dari gamelan, seorang perempuan menari dengan air susu yang terus tumpah dari buah dadanya: aku berada antara batu yang akan pecah dan belum pecah.

Telapak tanganku telah penuh cairan ludahku sendiri. Satu mangkuk teh untuk sintren yang tersesat dalam tembangku. Aku lihat tubuhku dalam TV seperti sebuah negeri yang sedang diperkosa rakyatnya sendiri. Gravitasi TV yang membuat tubuhku jadi 2 meter, sompret, kencing dalam celana.

Di stasiun terakhir itu, aku menggambar paru-paruku sendiri, tanah terus mengelupas tak henti-henti mengelupas tanah mengelupas. Hingga aku mencium bau hujan dari wayang- wayang yang bermain sendiri, antara batu yang akan pecah dan belum pecah, antara tembang yang akan mantra dan belum mantra, antara keris yang berjatuhan dari kesunyianku dan belum berjatuhan.



Naik Motor ke Suroloyo

Lehernya mengeluarkan warna biru kelabu. Ia coret lagi warna merah di dadanya, seperti stempel pos 50 tahun yang lalu. Besok kita akan ke gunung lagi besok, melihat kabut memindah-mindahkan kaki gunung. Jiwa di puncaknya yang tetap ingin sendiri, yang ingin menggunakan suara-suara serangga sebagai telinganya. Yang ingin kunang-kunang memindahkan bintang-bintang di malam hari. Yang ingin sapi terbang dari bukit-bukit ke bukit. Dan aku memotretmu setelah merapi mengeluarkan kabut merah.

Lehernya mengeluarkan warna biru kelabu. Ia tanam lagi udara dingin di dadanya, bau cengkeh dan tembakau dari mulut anjing. Besok kita akan menjadi kunang-kunang, menziarahi orang- orang gua dari mata air. Melihat kabut perak turun seperti sihir dari kesunyian. Yang mendengar air mata menyelimuti tempat tidurnya. Yang mendengar bau gunung dari dongeng- dongeng tua. Yang mendengar suara motor membelah bukit. Yang mendengar bau bunga melati di telapak tangannya. Dan aku memotretmu dari atas bukit ini ke bawah, ke bawah, ke bawah, tempat kunang-kunang menanam bintang.



Berita Rahasia dari Darmo Gandul

Ia mengatakan 100 tahun, aku ingin jadi manusia baik ia mengatakan. Dan aku menyimpan lidahku di dahan pohon randu di halaman belakang rumahku aku mengatakan. Ia mengatakan 100 tahun, aku ingin jadi manusia yang indah ia mengatakan. Dan aku menyimpan mataku dalam sebuah lampu neon di halaman belakang rumahku aku mengatakan. Ia mengatakan 100 tahun, aku ingin jadi manusia yang mengucapkan selamat datang kepada setiap yang datang ia mengatakan. Dan aku menyimpan kakiku dalam sebuah batu tempat hantu-hantu mengenang manusia.

Aku ingin jadi manusia yang mengatakan semoga kamu selamat kepada setiap orang yang ditemui ia mengatakan 100 tahun. Dan aku menyimpan tanganku di sebuah sungai tempat ikan-ikan dan pasir mengenang manusia. Kini tubuhku tanpa mata lidah kaki tangan aku simpan dalam hujan di halaman belakang rumahku. Aku berbisik pada ginjal dan paru-paruku aku berbisik pada jantung dan ususku aku berbisik … kaulah hujan dari sebuah senja yang belum pernah diciptakan.

Kini kau bawa senja itu sebuah telinga dari keheningan paling bening. Telinga yang terbuat dari rumah yang telah dihancurkan dari tanah yang mengeras angin yang tidak bisa lagi berhembus. Daun-daun membuat pohon dari awan. Aku memasuki berita rahasia untuk melupakan diri sendiri. Dan besok–mari–aku telah menjadi dia yang melupakan bahasa.



Mantel Hujan Dua Kota

Kota itu telah jadi Semarang sejak air laut ingin mendaki bukit, dan pesta tahun baru di ruang dalam bangunan- bangunan kolonial. Minum persahabatan dan melukis fotomu pada dinding musim hujan. Sepanjang malam ia mengenakan mantel dari listrik: kota yang mengapung 45 derajat di atas sejarah. Dalam mantelnya rokok kretek dan kartu atm. Mahasiswa bergerombol di warung kopi, mengambil ilmu sastra, ilmu komunikasi, antropologi dan jam-jam belajar dari pecahan kaca. Akulah anak muda yang bisa memainkan bas elektrik, blues dengan sisa-sisa kerusuhan dan sisir yang patah. Aku telah banjir di lapangan kerja dan kenaikan gaji pegawai negeri. Para arsitek yang membuat desain kota bersama air laut dan hujan.

Biarlah aku sampai ke batas tepi ini, untuk jejak yang membuat lubangnya sendiri.

Kereta keluar dari mulut stasiun Yogyakarta, bau tembakau dari pesta seni rupa dan sapi goreng. Aku kembali bernapas setelah ribuan billboard kota adalah mataku yang terus berputar, waktu yang terasa perih. Rel kereta masih menyimpan saham-saham VOC sampai Semarang. Tanah keraton yang menyimpan telur ayam, mantel biru masih menyanyikan keroncong Portugis. Bau tebu, bau padi, bata merah yang dibakar. Aku telah Yogyakarta setelah berhasil menjadi orang sibuk tidak mandi 2 hari, menggunakan excel untuk agenda-agenda padat. Dan bir dingin di antara janji- anji.

Aku telah dua kota dalam perjalanan dua jam bersambung sepeda jam 6 pagi. Biarlah aku sampai ke batas tepi ini, untuk jejak yang membuat lubangnya sendiri. Sebuah kota yang terbuat dari jam 6 pagi, dan aku mempercayainya seperti genta yang berbunyi tanpa berbunyi, bayangan gunungsebelum biru dan sebelum kelabu dan sebelum di sini.
____________
Afrizal Malna lahir di Jakarta, dan kini tinggal di Yogyakarta. Kumpulan puisinya antara lain Abad yang Berlari (1984), Arsitektur Hujan (1995), Dalam Rahim Ibuku Tak Ada Anjing (2002), dan Teman-temanku dari Atap Bahasa (2008).

Puisi-Puisi Fikri MS

http://sastra-indonesia.com/
Tentang Kau Malam Ini

Sukmaku masuk ke dalam bening matamu
malam ini

Bibir merah mudamu menggoda
Membuatku merayu seorang diri
Berfantasi ke segala arah

Ada gejolak yang menggelegak mendahului
perjalanan ini
Kau kian sempurna gadisku

Aku yang tengadah ke muka alam
Mengharap mimpi yang kupesan.
Sudah sekian lama,
Sudah sekian lama
Sejak kutahu kau pandai menari

Sungguh
Tak bisa kunyanahkan percakapan denganmu gadisku
Engkau telah memabukkanku

Sungguh.
Engkau telah menarik perumpamaan bagiku
Dalam sekejap langkah
Goyahlah sukmaku jadinya
Mendapati engkau yang manja
Kepadaku

Ah…, aku suka.

Saat ada yang menggodamu
Aku gairah dan sempurna
Karna senyummu malu-malu
Kau bagaikan kupu-kupu merah
Yang terbang hinggap di kembang kertas

Oh… aku geram menatapmu gadisku.

Malam ini
Kau merajuk resah padaku
Aku biasa saja, berpura-pura
Tak peduli sambil mencuri dan mengharap
Lagi… dan lagi

Risaumu berjelaga lalu mengkristal
Menjadi rayu untukmu jua
Bahwa aku memang memanjakanmu

Sungguh
Tentang kau malam ini
Senyummu selengkung manis daun sirih
Dan aku tergoda
Mengabulkan mimpi yang tersendat
Karna amarah memang tak ubahnya
Sebagai kebencian akan masa laluku
Yang hampir saja sempurna

Sebelum kau ku rayu
Untuk yang pertama dari keseribu yang akan.
… … …

Aku sendiri membayangkanmu
Malam ini kau mengusik tenggelamku
Pelan-pelan.

Gadisku gelisah aku karna senyummu
Dan kau berucap selamat malam
Tanpa kata-kata

Senyummu menjelaskan itu semua
Dalam fantasiku.

Branda 12 Mei 2011



Aku Yang Gelisah Payah

Aku yang gelisah payah
Mengurai keadaan yang memancung

Tak ubahnya jerami yang tersilap api
Aku terbakar!

Memberontak terhadap syair-syair nyinyir
Bau amis derita dan kekalahan
Kenapa kita diam tatkala terinjak-injak?
Terkapar di tengah jalan raya kemakmuran negeri ini.

Apakah murkaku tak boleh memohon restu
Atas derita kaumku?
Kehidupan
Dipompa kekejaman yang panjang
Kebencian yang melontar-lontar
Kebusukan yang terselimut oleh senyum dan rayu yang bijak

Kemanakah kebenaran itu?
Kemana perginya ia?
Apakah masih menyelinap di bawah bantal keadilan?
Lalu berujung menjadi mimpi
Yang tak pernah usai.

Api dendam membakar jiwaku yang kering
Menodai udara yang suci malam ini.

Mei 2011



Membayangkan Wajahmu

Membayangkan wajahmu tak sanggup aku
Kau telah menjelma sebagai kesaksian

Aku tersumbat langkah
Tersekat dalam diam manjamu
Ibarat kata seumpama debu
Engkau lengket pada permukaan lalu nampak
Sebagai cahaya yang redup
Remang disemai malam kelabu

Kata-kataku menjadi sesahduan yang mengutuk
Menjamumu dalam hidangan mimpi
Tersaji dalam kedamain

Akulah asmara itu
Terjerembab dalam kesakitan
Karna engkau memayungiku
Di saat tiada hujan atau panas

Baiknya kukabarkan segera
Lekas!
Pada alam yang menggodaku
Sebaiknya kupasrahkan
Pada Tuhan yang Agung

Kemanusiaan mencabikku dari depan
Dari belakang dan tengkukku

Akulah kebencian itu
Menyapamu selembut angin
Sementara jiwa-jiwa lain menampikanku menjadi pecahan batu
Bergelimang asam pedu

Terbukalah pintu
Lalu aku diam membayangkan kedatanganmu

Tak bisa aku
Tak sanggup.

Mei 2011



Saungku Saungmu

Berhentilah berjanji
Datanglah padaku di saat tak terduga
Karna waktu akan pertemukan kita
Entah kapan atau di mana tepatnya

Aku hanya sebatang pedang yang mulai berkarat di rayu debu
Dan engkau ibarat hujan gerimis
Menetes memasamkan jiwaku

Payah lelah kau persoalkan di pundakku
Aku mengeras tak bersuara

Waktu telah menjawab

Dan kau adalah kesia-sian tanpa pesan
Dan aku menjadi tonggak yang keras mengaduh pada batu
Sakit menjerit

Oh…, begitu sulit mendebatkannya

Kau datang aku tiada

Berhentilah menjanjikan sesuatu
Peristiwa kita masih panjang
Aku akan memelukmu mungkin di saat kekakuanku merambat
Pelan-pelan di sela jari dan lekuk tubuh ini.

Mei 2011



Rombongan Liar

Anarko…!
Anarko…!
Anarko…!

Mereka adalah senjata yang baru jadi
Dipesan jauh-jauh hari
Diramu racun ampibia
Mengoyak luka tak tertahankan
Lalu mati pelan-pelan

Mereka adalah serdadu tanpa medan
Berjuang ke segala arah
Curiga terhadap siapa
Mendengus apa saja
Menghina siapa saja

Anarko!
Tak jadi soal menang atau kalah
Sebab perlombaan belum selesai

Mereka menolak tunduk
Menolak beranjak
Berani menentang kebenaran sebagai pertanyaan
Penuh
Adakah kebenaran itu adanya?

Mereka burung gereja
Terbang kemana suka
Menjemput mimpi di bawah genteng
Dan lengan tiang listrik

Anarko!
Mereka rombongan liar
Hidup di alam liar
Makan-makanan liar
Berbaju liar

Mereka seperti ular daun
Menyelinap di antara cabang pohon tua
Menjelma sebagai daun
Menggigit dengan racun

Mereka rombongan liar
Dan suka berkata
“Kami ini ular!”

Anarko!
Anarko!
Anarko!

Mei 2011



Kembali

Kita duduk di barat bulan
Bercerita tentang asmara
Tenggelam di telan perjumpaan
Yang telah lenyap oleh kesibukan
Kau dan aku sama-sama mendesah berat
Sebab tak menentu ke mana arah bicara

Aku menepi
Dan kau pun menepi
Mengikuti mau yang tak pasti
Selamatlah kita yang tengah digoda masa lalu yang hampir saja
sempurna

Dan bulan kian bundar
Angin menyingkap selimut jingga itu
Tapi tak lama
Kembali menjadi sempurna keadaannya

Maka, satu persatu keluarlah kebijaksanaan
Menyerupai burung malam yang lalu segera lenyap menembus gelap

Tiba-tiba.
Kembali sunyi.

Mei 2011

____________________
Fikri MS, lahir di Muara Enim, Sumatera Selatan, 12 November1982. sejak th 1998 melanjutkan pendidikan di Jombang, Jatim sampai lulus kuliah th 2008 S-1 Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia di STKIP PGRI Jombang.
Berbekal pengalaman ‘main’ teater di Komunitas Tombo Ati (KTA) Jombang, Agustus 2008 mendirikan Sanggar Teater Gendhing (STG), mengelola kedai baca (Beranda) di kampung halaman sampai sekarang.

Selasa, 13 September 2011

Riwayat

Wiji Thukul
- untuk r

sungai ini merah dulu airnya
oleh genangan darah
kakek nenek kami

sungai ini berbuncah dulu
oleh perlawanan
disambut letusan peluru

bangkai-bangkai mengapung
hanyut dibawa arus ke hilir
bangkai kakek nenek kami

bangkai-bangkai jepang mengambang
dibabat parang kakek nenek kami

demi hutan tanah air
ibu bumi kami
gagah berani
kakek nenek kami
menyerahkan riwayatnya
pada batang-batang pohon
sebesar seratus dekapan
pada sampan-sampan lincah
dari hulu ke hilir
memburu dada penjajah

bukan siapa-siapa
kakek nenek kamilah
yang merebut tanah air
tanyakan kepada yang mampu membaca
tanyakan kepada yang tak pura-pura buta
siapa

sekarang
saat aku berdiri di tepi sungai
yang mahaluas ini
kusaksikan hutan-hutan roboh
dan kayu-kayu gelondong berkapal-kapal itu
akan diangkut kemana
siapa punya

riwayat kita pahit di mulut
getir diucap buram di mata
akankah berhenti riwayat sampai di sini

1997

Sumber: http://www.facebook.com/photo.php?fbid=270323872992426&set=at.258429280848552.72283.158632180828263.1355886977&type=1&ref=nf

Pembelaan Hawa

Iwan Nurdaya-Djafar
http://www.lampungpost.com/

Namaku Hawa alias Eva,
boleh juga kaupanggil aku Eve
bila memang kau penutur bahasa Inggris
kalian mengenalku karena akulah ibu pertama
dari rahimku dan gua-garba kaumkulah kalian berasal
tapi dalam asuhan patriarki
anakku lanang menjelma si malin kundang
yang menghujat ibunya sendiri
kalian tak mendalam memahami kitabsuci1
dan percaya begitu saja pada dongeng yahudi tua
yang diselundupkan ke dalamnya
bahwa aku tercipta dari tulang rusuk Adam
bukan dari citra Allah seperti Adam tercipta2
kalian tak sungguh mendalami khasanah hadis
menyebut hadis israiliyat yang palsu sebagai sahih3
bahwa aku — lagi-lagi — tercipta dari tulang rusuk lelaki
bahkan bukan tulang rusuk pilihan
tapi justru yang paling bengkok
yang mudah patah
demi menyebut diriku dan kaumku lemah
padahal dalam kitabsuci yang furqan
aku dan Adam tercipta dari nafs wahidah4
artinya tanah yang ditiupkan ruh Allah.

tiba di sini masihkah kalian percaya
pada dongeng yahudi tua
yang menodai kitabsuci dan hadis
yang hendak melecehkan perempuan
sedari awal penciptaan.

Namaku Hawa alias Eva,
kalian boleh memanggiku Eve
bila memang kalian penutur bahasa Inggris
kalian mengenalku karena akulah ibu pertama
dari rahimku dan gua-garba kaumkulah kalian berasal
tapi dalam asuhan patriarki
anakku lanang menjelma si malin kundang
yang menghujat ibunya sendiri
kalian tak mendalam memahami kitabsuci
dan percaya begitu saja
bahwa akulah penyebab kejatuhan manusia
dari surga kekal ke bumi fana
kinilah saatnya kutandaskan
bukan aku yang menggoda adam
tapi setanlah yang memperdaya kami berdua
untuk menampakkan kemaluan
dan memasuki peraduan
maka terjadilah perselingkuhan di surga
sebab aku bukanlah istri adam
adam pun bukanlah suamiku
aku adalah zawj5, artinya pasangan seksual.

bukankah Tuhan telah berfirman: jangan dekati syajara6
syajara adalah alegori
arti lugasnya: perbuatan seksual
bukan pohon atau buah
seperti dimengerti selama ini.

jika adam suamiku
dan aku istrinya
tentulah perbuatan seksual itu obyek yang halal
antara kami berdua yang dicekam sunyi surgawi
maka perselingkuhan pun terjadi
duh insyafilah, dalam soal seks manusia diciptakan lemah.7

Namaku Hawa alias Eva,
kalian boleh memanggiku Eve
bila memang kalian penutur bahasa Inggris
kalian mengenalku karena akulah ibu pertama
dari rahimku dan gua-garba kaumkulah kalian berasal
tapi dalam asuhan patriarki
anakku lanang menjelma si malin kundang
yang menghujat ibunya sendiri
kalian tak sungguh mendalami kitabsuci
dan percaya begitu saja
bahwa dosa yang kami lakukan
terwarisi hingga akhir zaman
ditanggung renteng oleh umat manusia
kini saatnya kutandaskan
dosa itu tanggungjawab kami semata
dan bukan pula dosa tak berampun
karena kami berdua telah diampuni8
oleh Tuhan mahapengampun
sebelum kami menjejakkan kaki di bumi
demi memulai kehidupan yang lain lagi.

Sukarame, 4 Desember 2010

Catatan kaki:
1. Al-Kitab, Kitab Kejadian (Book of genesis) 2: 21-23.
2. Al-Kitab, Kitab Kejadian (Book of Genesis) 1: 26-27.
3. Terdapat enam hadis tentang penciptaan perempuan dari tulang rusuk, tiga hadis dalam Shahih Bukhari dan tiga lagi dalam Shahih Muslim.
4. Al-Quran, Al-Nisa’ ayat 1.
5. Menurut A Dictionary of Islamic Terms: Arabic- English (hlm 181) susunan Deeb Al-Khudrawi, zauj atau zawj (jamak azwaj) berarti suami, teman (kawan, rekan), istri.
6. Al-Quran, Al-Baqarah 92): 35; kata syajara, arti lugasnya pohon, arti kiasnya perbuatan seksual.
7. Al-Quran, Al-Nisa’ (4): 28.
8. Al-Quran, Al-A’raf (7): 23, Al-Baqarah (2): 37, dan Al-Baqarah (2): 73.
——–
Iwan Nurdaya Djafar, lahir di Tanjungkarang, Lampung, 14 Maret 1959. Ketua Harian Dewan Kesenian Lampung (1994—1996) ini pernah diundang Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) pada acara Forum Puisi Indonesia (1987) dan acara Pembacaan Puisi Tiga Penyair Lampung bersama Isbedy Stiawan Z.S. dan Sugandhi Putra (1989). Bukunya antara lain Seratus Sajak (kumpulan sajak bersama Sugandhi Putra, 1989) dan Hukum dan Susastra (1992). Ia banyak menerjemahkan karya-karya Kahlil Gibran, Manuel Komrif, dan Ali Shariati.

Belajarlah Menjaga Lidahmu Abdiku

Syifa Aulia
http://sastra-indonesia.com/

Saat ini kami tak mau gegabah
bahkan pada perih
yang menyelinap diam-diam
serupa guratan sejarah
yang di bungkam

Sebab telah kembali
kau hujamkan belati
ke dada kami
berulang kali
mengalirkan darah kebencian
di jiwa-jiwa kami

Lidahmu terlalu pedang
yang senantiasa mampu
membunuh rasa hormat
kami padamu
kami meletakkan kepala
di kaki-kaki kami
bukan untuk kalian
injak semaunya

dan perih ini tak akan
kami biarkan

Kami ingin bercanda denganmu
tanpa janji-janji yang membongkar
busuknya
kami memilih di titik hening
sambil menuntaskan teriakkan
yang tertinggal di kotamu

Saat ini kami tidak ingin ceroboh
bahkan pada jalan setapak
menuju gubug tua yang
nyaris roboh
sebab disanalah tersimpan
air mata rahasia
menjadi misteri yang melilit
kepongahan masa depan

Jangan lagi kau usik kami
sebab kami lebih nyaman
di bawah pohon rindang
dengan kaki pincang.

Nb: kalau kalian masih ngeyel saja
mari kita berperkara sebab
bukan dikening manusia lain
kami meludah tapi disinilah.

________
* Puisi ini lahir atas ucapan merendahkan dari ketua DPR Marzuki Ali pada kami TKW.

Senin, 12 September 2011

Pataba Sedot Pembaca Dunia

Rosidi
http://suaramerdeka.com/

LETAKNYA di ujung Jalan Sumbawa 40, Jetis, Blora. Rindangnya pepohonan dan tanaman lain di halaman rumah berukuran 350 meter persegi itu, seakan tak menyiratkan bahwa di dalamnya terdapat sebuah ruang untuk menyimpan mutiara pengetahuan yang ikut memberi citra positif bagi kabupaten paling timur di Jawa Tengah tersebut di mata dunia.

Pataba. Demikian nama perpustakaan yang didirikan oleh Soesilo Toer, adik kandung sastrawan Pramoedya Ananta Toer, yang telah memaksa para cendekiawan asing untuk menghormati karya sastra anak bangsa ini. Sebagaimana Pram (sapaan Pramoedya Ananta Toer) yang namanya sangat dikenal oleh sastrawan dunia, pun dengan Pataba.

Perpustakaan yang salah satunya melahirkan Lembaga Kajian Budaya dan Lingkungan Pasang Surut ini juga tidak cuma didatangi pengunjung di daerahnya, tetapi datang dari berbagai wilayah di kepulauan nusantara. ‘’Banyak juga pengunjung yang datang dari luar negeri,’’ ujar Soesilo Toer kepada Suara Merdeka, Kamis (30/6).

Dari Indonesia, tokoh-tokoh yang pernah singgah di Pataba di antaranya Sindhunata, Ajip Rosidi, Lilo Sunaryo, Djoko Pekik, FX Hoery, Gunawan Budi Susanto, Bowok Kajangan, Babahe Leksono, Muhidin M Dahlan, Imam Bucah, Juwadi, Baskoro, dan tokoh-tokoh dari berbagai komunitas dan lintas agama.

Adapun tamu dari luar negeri yang menyempatkan diri berkunjung yaitu Dr Etienne Naveau (Institut National des Langues et Civilisations Oriantales/Inalco, Perancis), Prof Dr Koh Young Hun (Vice Chairman Korea Association of Malay-Indonesian Studies, Seoul, Korea), serta rombongan mahasiswa dari berbagai negara seperti Australia, Thailand, Jerman, Perancis, Italia, Jepang, Belgia, dan mahasiswa Seminari Asia-Pasifik.
Ya, dari ujung Jalan Sumbawa itu, Pataba telah menorehkan tinta emas mengangkat citra Blora di mata dunia.

‘’Misi saya mendirikan Pataba yang didukung teman-teman adalah menciptakan masyarakat membangun, masyarakat membaca, dan masyarakat menulis,’’ tutur Soesilo Toer menambahkan.

Simpan Karya

Tak bisa dimungkiri, nama besar Pram memiliki andil yang sangat besar sehingga menarik para pengunjung jauh-jauh untuk datang. Dr Etienne Naveau, misalnya. Ia yang datang di penghujung tahun lalu (2010), bahkan sempat menginap di kamar yang menyatu dengan ruang tamu yang oleh Pak Soes -sapaan akrab Soesilo Toer- disulap sebagai tempat ribuan koleksi buku yang ada.

“Saya ingin berkunjung ke rumah Pram sejak 15 tahun lalu, namun baru hari ini kesampaian,” ujar Etienne Naveau kepada Suara Merdeka, waktu itu. Karya Pram yang dibacanya pertama kali yaitu Cerita dari Blora.

Etienne menambahkan, buku-buku karya putra bangsa Indonesia yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Prancis masih sangat sedikit, yaitu sekitar 30 judul buku. “Paling banyak karya Pram. Selain itu ada beberapa karya penulis lain seperti Tan Malaka, Soekarno, Soe Hok Gie, KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur), Sitor Situmorang, WS Rendra, dan Ayu Utami.’’

Lain halnya dengan Etienne yang jauh-jauh datang ke Blora untuk bersilaturahmi ke kediaman Pram dan Pataba, Prof Dr Koh Young Hun datang setelah melakukan perjalanan Anyer-Panarukan pada penghujung akhir 2010, dengan mendasarkan pada cerita dalam buku Jalan Raya Pos, Jalan Daendels juga. “Seminggu saya menyusuri jalan Anyer-Panarukan ini,” katanya.

Tentu saja, nama besar Pram lewat karya-karya sastra yang ditulisnya pula yang mendorong para mahasiswa dari berbagai negera di belahan bumi ini untuk berkunjung. Mereka berasal dari Australia, Thailand, Jerman, Perancis, Italia, Jepang, Belgia, serta rombongan Seminari Asia-Pasifik.

Meski tidak semua, sebagian karya itu kini disimpan rapi oleh Soesilo Toer di Pataba. Sebuah karya yang kebanyakan sudah sangat langka di pasaran, seperti Hoakkiau di Indonesia, Larasati, Cerita dari Digul, Cerita dari Blora, Sang Pemula, Percikan Revolusi, Perburuan, Bukan Pasar Malam, Korupsi, Cerita dari Jakarta, Memoar Oei Tjoe Tat, dan Sekali Peristiwa di Banten Selatan. ‘’Buku-buku karya Pram saya taruh di sebuah lemari tersendiri di dalam, khawatir kalau hilang,’’ katanya.

03 Juli 2011

Kamis, 08 September 2011

Perayaan Telaah Sastra

Sofian Dwi
Seputar Indonesia, 17 Jan 2010

KRITIK sastra yang ideal merupakan bentuk perayaan atas penciptaan. Seraya menakar mutu sebuah karya,kritik yang unggul adalah merespons karya tersebut,mengaktualkan hal-hal yang potensial pada karya yang ditelaah itu dan dengan begitu menciptakan kepingan karya yang baru.

”Telaah yang istimewa adalah sebuah karya sastra tersendiri.Karya sastra yang bisa berdiri sendiri tapi kehadirannya dimungkinkan oleh karya yang ditelaah,”tandas dewan juri telaah sastra Nirwan Ahmad Arsuka,pada malam anugerah telaah sastra yang digelar Dewan Kesenian Jakarta (DKJ),kemarin.

Pernyataan Nirwan seolah-olah hendak menyindir peserta Sayembara Telaah Sastra DKJ yang menurutnya tidak ada satu pun telaah yang benar-benar berhasil merayakan penciptaan dengan memekarkan temuan baru yang kokoh. Sayembara Telaah Sastra yang digelar DKJ meloloskan 76 naskah untuk kemudian dinilai oleh juri.

Sayangnya lebih dari separuh naskah yang diterima tidak memenuhi dan meyakinkan satu kriteria penjurian. ”Tak ada satu pun telaah yang benar-benar berhasil merayakan penciptaan dengan memekarkan temuan baru yang kokoh,”tandas Nirwan.

Menurut Nirwan,perayaan tersebut akan tercipta manakala telaah yang dilakukan memenuhi seluruh kriteria.Salah satunya ketajaman dalam menggali kerajinan karya,telaah yang inspirasi dan orisinal, argumentasi yang meyakinkan dan keberanian menafsir dan kesegaran perspektif.

”Perayaan itu secara teknis akan terjadi jika sang penelaah tak hanya suntuk dengan craftsmanship karya yang ditelaahnya,tapi juga serentak menunjukkan craftsmanship ketika ia menganyam telaahnya sendiri,” papar Nirwana,alumnus jurusan Teknik Nuklir UGM Yogyakarta.

Nirwan mengatakan naskah yang tidak memenuhi kriteria penjurian tersebut umumnya merupakan naskah yang menghadapi karya sastra dan hendak ditelaahnya yang tidak sebagai lawan main,tetapi lebih sebagai pelayan dari keinginan si penulisnya. Dewan juri Sayembara Telaah Sastra DKJ 2010 sendiri akhirnya memilih tiga karya terbaik dan empat naskah lain yang juga memperoleh penghargaan.

Tiga naskah tersebut,naskah pertama yakni Metafiksionalitas Cala Ibi: Novel yang Bercerit,dan Menulis tentang Dirinya Sendiri.Telaah ini ditulis oleh Bramantio,seorang dosen di Univeritas Airlangga Surabaya. Dalam telaah yang ditulis Bramantio,relatif paling banyak memenuhi kriteria penjurian. Naskah ini tekun merekonstruksi craftsmansjip sastrawi karya yang ditelaahnya. Dengan sistem hubungan yang bersifat metafisik, Cala Ibimemang dapat dibaca dalam logika yang dibangun sendiri.

Menurut dewan juri, telaah ini menjelaskan dengan rinci dan membuktikan adanya sistem hubungan yang tersembunyi, dan menyediakan salah satu strategi pembacaan atas novel tersebut. ”Telaah yang amat panjang lebar ini berhasil menjadi contoh pembedahan karya sastra yang meyakinkan,tapi belum berhasil menjadi sebuah tanggapan kreatif atas Cala Ibisendiri,”tandas Nirwan.

Naskah kedua,yakni Benda-Benda,Bahasa dan Kala: Mencari Simetri Tersembunyi dalam Teman-Temanku dari Atap Bahasa karya Afrizal Malna. Karya ini ditulis oleh Tia Setiadi,salah satu peneliti ahli pada Parikesit Institute yang juga salah satu penulis esai dan sajak. Dalam naskah ini,menurut Dewan Juri penulis berhasil memperlihatkan keberanian dalam menelaah ciptaan literer.Kupasan antara konteks zaman dan kepenyairan menjadi dasar pemahaman gaya penyair.

Naskah ketiga,yakni Sapardi dan Tanda: Telaah Semiotik atas Kumpulan Puisi Kolam. Naskah karya Ridha al Qadri ini menghadirkan telaah yang sangat patuh pada satu jenis teori yang dipakai untuk menakar beberapa puisi Sapardi. Naskah ini dengan jeli dan peka melihat perbedaan-perbedaan hubungan makna dalam pemakaian suatu tanda dalam beberapa sajak di kumpulan Kolam.

Naskah yang terpilih sebagai juara pertama,yakni karya Bramantio kemudian disusul Tia Setiadi dan Ridha al Qadri.Ketiganya berhak untuk membawa pulang hadiah dan karyanya berhak untuk diterbitkan. Ketua Pengurus Harian DKJ,Marco Kusumawijaya menanggapi atas malam anugerah Sayembara Telaah Sastra mengatakan telaah sastra merupakan salah satu bagian dari upaya untuk mengembangkan sastra.

Ia melihat,selama ini Bahasa Indonesia menghadapi tantangan besar dalam menghadapi sastra asing. Sastra Indonesia,papar Marco, mendapatkan tantangan bukan di luar negeri, tetapi di dalam benak manusia Indonesia. ”Di mana-mana kita saksikan orang tak lagi mampu menggunakan bahasa Indonesia secara lugas, apalagi puitis,” tandas Marco. Untuk itu,Marco berharap Bahasa Indonesia bisa dikembangkan, diperluas, ditingkatkan dan diperdalam pemakaiannya.

Malam anugerah Telaah Sastra selain memberikan penghargaan terhadap tiga naskah yang menjadi juara,juga memberikan penghargaan kepada empat naskah lain.Empat naskah tersebut masing-masing Konvesni dan Improvisasi Dalam Novel Misteri Perkawinan Mautkarya Adrianus Pristiono; Pembawa Mataharikarya Abdul Hadi WM yang ditelaah Arif Hidayat;Asmara dalam Sajak Asmaradana karya Gunawan Muhammad yang ditulis Baban Wanita; dan terakhir Dari Jagat Fantasi. Konsep-konsep sufistik hingga sihir retorika: Telaah atas Novel Cala Ibi yang ditulis Tjahjono Widijanto.

Dijumput dari: http://cabiklunik.blogspot.com/2010/01/perayaan-telaah-sastra.html

Selasa, 06 September 2011

Pesona Sastra dan Tradisi Berfikir Nahdliyin

Arus corak Realisme-Magis dalam Sastra Kontemporer
Sobih Adnan *
http://buntetpesantren.org/

“ Menulis puisi bagi saya adalah membebaskan kata-kata yang berarti mengambalikan kata pada awal mulanya. Pada mulanya kata adalah kata. Dan kata pertama adalah mantera. Maka menulis puisi bagi saya adalah mengembalikan kata kepada mantera. “
(Sutardji Calzaum Bachri. Bandung, 30 Maret 1973)

Penggalan akhir Kredo Puisi: Sutardji Calzaum Bachri mencoba mengajak para penikmat sastra untuk sedikit bertamasya tentang puisi dari titik awal embrionya, tentang kelahiran puisi, pembebasan kata, dan yang paling menarik adalah tentang genetika kata-kata yang menurut Sutardji berasal dari mantera-mantera. Sutardji mencoba menawarkan paparan dan kesemangatan bahwa sesederhana apapun dari bentuk dan wujud kata pasti memiliki kekuatan lebih yang terkandung di dalamnya, yang tentunya lebih dari sekedar pengantar sebuah pengertian.

Penempatan serta penyuntikan pemaparan tentang kekuatan yang dimiliki oleh sebuah kata seperti ini memang terkadang tidak terperhatikan. Penyair yang dalam kacamata awam hanya memiliki kegemaran mengeksploitasi kata untuk menciptakan sebuah karya ternyata memiliki konsep tersendiri tentang pengamatan karakter serta watak dari setiap kata yang dijajarkannya, jika tidak seperti ini, maka bagaimana jika kodrat dari kata tersebut hanya sebuah konjungsi, penghubung, atau kata yang harus didongkrak maupun mendongkrak kawan kata lainnya untuk menimbulkan sebuah pengertian?. Tidak juga sebatas itu, kadang kata-kata melalui komunitasnya yang naratif dapat menghadirkan sebuah keajaiban dan pemaknaan baru tentang ketidak-mungkinan, kadang bersifat mistik, tetapi tetap bergerak pada gambaran kenyataan bahkan dalam wacana keseharian. Ketika terkemas dalam wilayah sastra kotretan tersebut lazim disebut dengan realisme-magis atau magis-realis.

Kutipan secara sederhana tentang realisme magis di atas agak membawa kita pada tradisi konsep berfikir kaum nahdliyin. Kemasan sastra ini akan sangat mewakili dengan tema-tema penghormatan dan pembebasan manusia yang telah di miliki oleh Islam dan NU sebagai bagian di dalamnya. Konsep aliran realisme-magis akan mengemas narasi secara apik pesona karomah para ulama yang telah dipegang dalam sejarah ke-NU-an Indonesia.

Sekilas Tentang Pem”bidan”an Realisme-magis

Secara lunak realisme-magis didefinisikan sebagai gaya estetika atau mode di mana elemen magis ini dicampur ke dalam suasana realistis untuk mengakses pemahaman yang lebih dalam kenyataan. Unsur-unsur magis tersebut dijelaskan eperti kejadian normalyang disajikan secara langsung dan unembellished yang memungkinkan “real” dan “fantastis” untuk dapat diterima dalam aliran pemikiran yang sama. Telah banyak digunakan dalam kaitannya dengan sastra, seni, dan film.

Penggunaan istilah relisme-magis dimunculkan oleh krtikus seni Franz Roh pada tahun 1925 untuk melihat kembalinya pelukis kepada realisme sesudah banyak sekali yang berkarya dengan lukisan-lukisan abstrak. Roh melihat pada karya-karya pelukis seperti Dix Otto dan Giorgio di Chirio, realisme tidak tampil sebagai realisme semata, tetapi terdapat elemen magis di dalamnya. elemen magis ini intuitif dan tak terjelaskan.

Dalam perjalanan seni, sampai tahun 1955 istilah relisme-magis tidak diperkenalkan, hingga kemudian kritikus sastra meminjam istilah ini untuk melihat karya sastrawan Amerika Latin seperti Marquez, Borges, dan Isabel Allende. Para kritikus sastra terkejut melihat karya-karya Marquez dan Borges yang pada dasarnya mirip karya realis, tetapi mengandung elemen-elemen magis yang intuitif. Para penulis ini melihat kenyataan sehari-hari sebagaimana kenyataan sehari-hari yang biasa terlihat dan sesuatu yang sangat luar biasa di balik kenyataan itu. Relisme-magis ini diterjemahkan dari Lo Real Maravilosso yang artinya Kenyataan yang Ajaib.

Ketika beribicara tentang kekhasan dan keunikan dari relisme-magis adalah tentang keunggulannya untuk mengajukan sebuah dunia magis, dunia penuh keajaiban yang tak bisa dicerna akal sehat yang mendahului pengalaman sehari-hari manusia namun manusia luput untuk melihatnya. Realisme-magis berusaha memunculkan hal magis itu atau melihat dalam kenyataan sehari-hari. Itu sebabnya, dalam karya-karya para sastrawan realisme-magis seperti Borges, Marquez, Okri, atau Allende kerap muncul peristiwa, tokoh, makhluk, lokasi, dan situasi yang ajaib dan magis. Semua keajaiban itu terjadi dalam kenyataan, bukan mistik yang mengingkari kenyataan.

Cuaca Relisme-magis dalam Kesusasteraan Indonesia

Di Indonesia kesan realisme-magis justru menguasai dalam gaya penulisan novel, Cerpen dan fiksi. Baru kemudian mengalir dan tergagas menjadi beberapa film dan sajak. Untuk novel situasi dan gaya realisme- magis sangat terasa dalam karya Eka Kurniawan dengan judul Cantik Itu Luka ( CIL ). Sejak terbitnya, yakni tahun 2002, banyak pembaca CIL memuntahkan kebingungannya. Dengan pembacaan yang tak terputus, di tengah senggalan tarikan nafas, mereka dibingungkan oleh teks di depannya : cerita silat, folklore, roman sejarah, atau kisah perjuangan. Realisme-magis mungkin sudah hadir berpuluh tahun sebelum terbitnya CIL, beriringan dengan angkatan 1970, namun garapan Eka Kurniawan ini berhasil mengambil identitas realisme-magis dengan lebih kuat.

Salah satu keunikan realisme-magis ditambahkan dengan kekhasan alur logis rasio barat, seperti dialog tokoh utama Dewi Ayu dan Kakeknya ketika ia tahu bahwa ibunya kabur di suatu pagi:

“ Mereka petualang-petualang sejati,” katanya pada Tad Stammler.

“Kau terlalu banyak buku cerita, Nak” kata kakeknya. “ mereka orang-orang religius” katanya lagi. “ di dalam kitab suci diceritakan seorang ibu membuang anaknya ke sungai Nil “/“itu berbeda.”/” ya, memang. Aku dibuang di depan pintu. “ (Halaman 43).

Dari penggalan dialog tersebut apalagi ketika melihat pilar-pilar penyangga bangun tutur dan cerita CIL, ditambah pohon silsilah tokoh utama Dewi Ayu di bagian belakang sudah pasti akan terbawa pada Gabriel Garcia Marquez dan kawan-kawannya dari Amerika selatan. Di mana deskripsi rasional realitas dipadu dengan deskripsi cara pandang lain atas realitas yang selama ini dilewatkan karena dianggap tidak rasional, tidak logis, dan supernatural, dan tidak bersambut gayung dengan hukum alam.

Dalam tubuh perfilman, darah realisme-magis hampir meresap penuh ke sebuah film yang berjudul Banyu Biru. Karena, beberapa hal yang tak masuk akal dalam film itu bisa ditafsirkan berasal dari dunia bawah sadar tokoh Banyu (Tora Sudiro). Misalnya ketika pemakalah (Butet Kertaredjasa) dan para peserta seniman tiba-tiba bernyanyi dan menari mengelilingi Banyu yang duduk sendirian di tengah-tengah mereka. Namun peluang ke-realisme magis-an film ini patah oleh pengalaman Banyu dalam film ini sebagai mimpi. Mungkin film ini lebih dengan kekhasan realis yang biasa saja.

Sedangkan untuk wilayah penulisan cerpen, realisme magis telah dibangun secara total oleh cerpenis Agus Noor dalam judul “ Dzikir Sebutir Peluru “ yang merupakan bagian dari antologi cerpen Kompas tahun 1995. Cerpen yang sangan membutuhkan kesiapan pembaca untuk memahami setting dan penokohan benda mati ini mampu menjadikan realisme-magis sebagai arwah utama penggerak ceritanya.

“ Kita adalah makhluk terdzolimi, aku tak mau menembus dada bocah-bocah mahasiswa itu, apalagi diisalah sasarkan “.. ujar Peluru 1. Dan banyak dialog-dialog lain yang terus mengalir dan merupakan kumpulan beberapa keajaiban yang masih terkurung dalam wajah real (nyata).

Realisme-magis dalam nadi puisi dan sajak

Tiba-tiba Izrail lenyap digantikan oleh sekuntum malaikat lain yang berbeda. Tubuh malaikat yang muncul tiba-tiba itu berubah-ubah bentuknya, dari mawar, lalu melati, kemudian kenanga, lantas bunga matahari, lalu berubah lagi menjadi anggrek putih dengan sejumlah noktah berwarna violet hijau dan oranye. Kembang-kembang itu ukurannya lebih besar ketimbang manusia, kadang mekar besar sekali memenuhi angkasa.

…. ternyata kematian itu membahagiakan. Sungguh di luar dugaan. Kematian itu tak terbatas luas bagai cakrawala, mengapa harus ditangisi?

(Danarto, Kacapiring:2008)

Danarto, mungkin adalah salah satu dari sekian penyair Indonesia yang sering bermain-main dengan kerumitan realisme-magis. Dalam kumpulan puisi Kacapiring hampir setiap judul usungannya menggunakan pendekatan realisme-magis, walaupun tak bisa dipungkiri kadang beliau juga merefresh sajak-sajak berikutnya dengan aroma yang lain.

Realisme-magis dikhaskan oleh Danarto melalui naskah-naskah puisi religi yang bebas, real, namun memiliki kekuatan-kekuatan tertentu yang semakin menghantarkan dirinya sebagai penyair yang mengutamakan kecerdasan. Tilik saja pada bait puisi Berburu Ayat-Ayat Suci tahun 2005 :

Di antara reruntuhan negara yang roboh, para pemulung, pengemis, gelandangan, preman, saling berbagi dan tukar tambah ayat-ayat suci dengan ramai, menyimpannya di bawah tikar bobrok yang menyelamatkan hidup mereka

Sapardi Djoko Damono mencoba menghadirkan unsur realisme magis dengan lebih detail, menancap, namun tetap menawarkan realitas yang kuat. Seperti yang telah beliau tulis dalam kumpulan sajak Perahu Kertas tahun 1982 :

Waktu mereka membakar gubuknya awal subuh itu ia baru saja bermimpi tentang mata air. Mereka berteriak, “Jangan bermimpi!” dan ia terkejut tak mengerti.

Sejak di kota itu ia tak pernah sempat bermimpi. Ia ingin sekali melihat kembali warna hijau dan mata air, tetapi ketika untuk pertama kalinya. Ia bermimpi subuh itu, mereka membakar tempat tinggalnya.

“Jangan bermimpi!” gertak mereka.

Suara itu terpantul di bawahjembatan dan tebing-tebing sungai. Api menyulut udara lembar demi lembar, lalu meresap ke pori-pori kulitnya. Ia tak memahami perintah itu dan mereka memukulnya, “Jangan bermimpi! ”

Ia rubuh dan kembali bermimpi tentang mata air dan …..

Aliran sastra realisme-magis ini dapat mewakili corak pemikiran kaum nahdliyin tentang budaya pembebasan manusia dari keterkungkungan, penjagaan tradisi, dan penegasan terhadap berbagai geliat karomah para ulama dalam kemasan berupa sastra.

Walaupun realisme – magis masih terbilang asing dalam sastra Indonesia, namun suasana keajaiban tersebut semakin menguat dengan munculnya penyair-penyair muda yang mencoba menganut corak langka ini, sebut saja Nirwan Dewanto, Mashuri, dan masih banyak lagi yang tak lain adalah para pesastra dari generasi muda NU .

19 September 2010
*) Penulis adalah Ketua Umum ASJAP Institute Mahasiswa ISIF Cirebon dan Direktur Pesantren Baca- Cirebon.

Label

`Atiqurrahman A Muttaqin A Rodhi Murtadho A. Iwan Kapit A. Purwantara A. Qorib Hidayatullah A. Zakky Zulhazmi A.H.J Khuzaini A.S. Laksana Aang Fatihul Islam Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi WM Abdul Kadir Ibrahim Abdul Lathief Abdul Malik Abdul Wachid B.S. Abdurrahman El Husaini Abidah El Khalieqy Abu Salman Acep Zamzam Noor Achdiat K. Mihardja Adek Alwi Adi Suhara Adnyana Ole Adreas Anggit W. Afrion Afrizal Malna Aguk Irawan MN Agung Dwi Ertato Agus B. Harianto Agus Buchori Agus Himawan Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sulton Agusri Junaidi Agustinus Wahyono Ahda Imran Ahmad Badrus Sholihin Ahmad Fanani Mosah Ahmad Fatoni Ahmad Ikhwan Susilo Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musabbih Ahmad Rofiq Ahmad Sahidah Ahmad Tohari Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sekhu Alex R. Nainggolan Alex Suban Alunk Estohank Ami Herman Amien Kamil Amien Wangsitalaja Aminudin R Wangsitalaja Anastasya Andriarti Andreas Maryoto Anes Prabu Sadjarwo Angela Angga Wijaya Angkie Yudistia Anindita S Thayf Anis Ceha Anjrah Lelono Broto Anton Kurnia Anton Kurniawan Anton Wahyudi Anugrah Gio Pratama Anwar Nuris Aprinus Salam Arie MP Tamba Arif B. Prasetyo Arif Bagus Prasetyo Arif Hidayat Arman A.Z. Arti Bumi Intaran Arys Hilman AS Sumbawi Asarpin Asef Umar Fakhruddin Asep Sambodja Asrama Mahasiswa Aceh SABENA Astrikusuma Asvi Warman Adam Atep Kurnia Awalludin GD Mualif Aziz Abdul Gofar Azizah Hefni Badrut Tamam Gaffas Bagja Hidayat Bagus Takwin Balada Bale Aksara Baltasar Koi Bambang Agung Bambang Kempling Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Bayu Insani Beni Setia Benny Arnas Benny Benke Berita Berita Duka Berita Utama Bernando J. Sujibto Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Blambangan Brunel University London BSW Adjikoesoemo Budaya Budhi Setyawan Budi Darma Budi Saputra Budi Suwarna Bung Tomo Cak Kandar Catatan Cerpen Chairil Anwar Chavchay Syaifullah Cucuk Espe Cunong N. Suraja D. Zawawi Imron Dadang Ari Murtono Daisuke Miyoshi Damanhuri Damhuri Muhammad Damiri Mahmud Danarto Daniel Dhakidae Dante Alighieri Deddy Arsya Dedy Tri Riyadi Denny Mizhar Deny Tri Aryanti Detti Febrina Dharmadi Diah Hadaning Dian Hartati Dian Sukarno Diana A.V. Sasa Dicky Fadiar Djuhud Didi Arsandi Dimas Dina Oktaviani Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Djadjat Sudradjat Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Doddy Hidayatullah Donny Anggoro Dony P. Herwanto Dorothea Rosa Herliany Dr. Muhammad Zafar Iqbal Dr. Simuh Dwi Arjanto Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwicipta Dwijo Maksum Edy A. Effendi Edy Firmansyah Efri Ritonga Egidius Patnistik Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Hendri Saiful Elik Elsya Crownia Emha Ainun Nadjib Endah Sulawesi Endah Wahyuningsih Endang Suryadinata Endhiq Anang P Endri Y Eriyandi Budiman Ernest Hemingway Esai Esha Tegar Putra Eva Dwi Kurniawan Evi Dana Setia Ningrum Evi Idawati Evieta Fadjar F Rahardi Fabiola D. Kurnia Fadelan Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Faisal Kamandobat Faisal Syahreza Faizal Syahreza Fajar Alayubi Fandy Hutari Fany Chotimah Fatah Yasin Noor Fathor Lt Fathurrahman Karyadi Fatih Kudus Jaelani Fatma Dwi Rachmawati Fauzi Absal Festival Sastra Gresik Fikri. MS Fina Sato Fitri Susila Galih Pandu Adi Gde Agung Lontar Geger Riyanto Gerakan Literasi Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Ginanjar Rahadian Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gunoto Saparie Gus Martin Gus tf Sakai Gusti Eka Hadi Napster Haji Misbach Halim HD Halimi Zuhdy Hamberan Syahbana Hamdy Salad Han Gagas Handoko F. Zainsam Hari Santoso Haris del Hakim Hartono Harimurti Hary B. Kori’un Hasan Gauk Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Helwatin Najwa Hepi Andi Bastoni Heri C Santoso Heri KLM Heri Latief Heri Listianto Hermien Y. Kleden Hernadi Tanzil Heru Emka Heru Kurniawan Heru Prasetya Hesti Sartika Hudan Hidayat Humaidiy AS I Made Asdhiana I Made Prabaswara I Nyoman Suaka IBM. Dharma Palguna Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Ida Ahdiah Idayati Ignas Kleden Ihsan Taufik Ilenk Rembulan Ilham Khoiri Ilham Yusardi Imam Cahyono Imam Jahrudin Priyanto Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indah Darmastuti Indiar Manggara Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indrian Koto Irma Safitri Irman Syah Iskandar Noe Istiqomatul Hayati Ita Siregar Iwan Kurniawan Iwan Nurdaya-Djafar Iyut FItra Jadid Al Farisy Jafar M. Sidik Jakob Sumardjo Jamal D Rahman Janual Aidi Javed Paul Syatha Jayaning S.A Jefri al Malay Jihan Fauziah JJ. Kusni Jo Pakagula Johan Edy Raharjo Joko Pinurbo Jokowi Undercover Joni Ariadinata Joss Wibisono Jual Buku Paket Hemat Judyane Koz Juli Sastrawan Junaidi Abdul Munif Jusuf AN Juwairiyah Mawardy Kadir Ruslan Kasnadi Katrin Bandel Kedung Darma Romansha Khairul Mufid Jr Khamami Zada Khrisna Pabichara Kikin Kuswandi Koh Young Hun Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Komunitas Sastra Ilalang Indonesia (KSII) Korrie Layun Rampan Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan) Kristianto Batuadji Kritik Sastra Kunni Masrohanti Kunthi Hastorini Kuntowijoyo Kurie Suditomo Kurnia EF Kurniawan Kuswaidi Syafi'ie Kuswinarto Lan Fang Landung Rusyanto Simatupang Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Liestyo Ambarwati Khohar Linda Sarmili Liston P. Siregar Liza Wahyuninto LN Idayanie Lucia Idayani Lukman Asya Lusiana Indriasari Lynglieastrid Isabellita M Hari Atmoko M. Aan Mansyur M. Arman A.Z M. Bagus Pribadi M. Fadjroel Rachman M. Harya Ramdhoni Julizarsyah M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S M. Luthfi Aziz M. Nahdiansyah Abdi M. Raudah Jambak M. Shoim Anwar M. Yoesoef M.D. Atmaja Maghfur Saan Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Majalah Sastra Horison Maklumat Sastra Profetik Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Serenade Sinurat Mario F. Lawi Marluwi Marsel Robot Martin Aleida Martin Suryajaya Mashuri Matdon Mega Vristian Melani Budianta Melayu Riau Memoar MG. Sungatno Mh Zaelani Tammaka Miftah Fadhli Miftahul Abrori Misbahus Surur Miziansyah J Mochtar Lubis Mohamad Ali Hisyam Mohammad Eri Irawan MT Arifin Mugy Riskiana Halalia Muhajir Arrosyid Muhamad Rifai Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Al-Mubassyir Muhammad Qodari Muhammad Rain Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun A.S Muhidin M. Dahlan Muhlis Al-Firmany Mujtahid Mulyadi SA Munawir Aziz Murniati Tanjung Murnierida Pram Musa Ismail Musfi Efrizal Mustaan Mustafa Ismail N. Mursidi Nafsul Latifah Naskah Teater Nasrullah Nara Nelson Alwi Nenden Lilis A Nh. Anfalah Ni Made Purnama Sari Nina Mussolini-Hansson Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Noura Nova Christina Noval Jubbek Novela Nian Nugroho Notosusanto Nugroho Pandhu Sukmono Nur Faizah Nurdin F. Joes Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nurul Komariyah Nuryana Asmaudi SA Nyoman Tusthi Eddy Nyoman Wirata Oka Rusmini Oktamandjaya Wiguna Oky Sanjaya Olanama Olivia Kristina Sinaga Otto Sukatno CR Pagelaran Musim Tandur Pamusuk Eneste Patricia Pawestri PDS H.B. Jassin PDS. H.B. Jassin Penghargaan Hadiah Sastra Pusat Bahasa Persda Network Pipiet Senja Pramoedya Ananta Toer Pramono Pranita Dewi Pringadi AS Prita Daneswari Prof. Tamim Pardede sebut Bambang Tri Prosa Pudyo Saptono Puisi Puisi Kesunyian Puisi Sufi Puji Santosa PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Wijaya Qaris Tajudin R. Sugiarti Rachmad Djoko Pradopo Radhar Panca Dahana Ragdi F. Daye Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Ramadhan Batubara Ramadhan KH Ratih Kumala Ratna Indraswari Ibrahim Ratna Sarumpaet Raudal Tanjung Banua Remy Sylado Reni Susanti Renny Meita Widjajanti Resensi Restu Kurniawan Retno Sulistyowati RF. Dhonna Rian Sindu Ribut Wijoto Ridwan Munawwar Riki Utomi Riris K. Toha-Sarumpaet Risang Anom Pujayanto Riza Multazam Luthfy Robin Al Kautsar Rodli TL Rofiqi Hasan Rohman Abdullah Rosidi Rosihan Anwar Rukardi S Yoga S. Jai S. Sinansari Ecip S.I. Poeradisastra S.W. Teofani Sabam Siagian Sabrank Suparno Saiful Anam Assyaibani Sainul Hermawan Sajak Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sanggar Rumah Ilalang Sanggar Teater Jerit Sapardi Djoko Damono Sartika Dian Sartika Dian Nuraini Sastra Tanah Air Sastra Using Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sayyid Fahmi Alathas Sazano Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo Seli Desmiarti Selo Soemardjan Senggrutu Singomenggolo Seno Joko Suyono SH Mintardja Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sipri Senda Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Sobih Adnan Sofian Dwi Sofie Dewayani Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sri Ruwanti Sri Wintala Achmad St Sularto Stefanus P. Elu Sukron Abdilah Sulaiman Djaya Suminto A. Sayuti Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sungging Raga Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Suryansyah Suryanto Sastroatmodjo Susanto Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suyadi Suyadi San Syaifuddin Gani Syaiful Amin Syamsiar Hidayah Syarbaini Syifa Amori Syifa Aulia Tajuddin Noor Ganie Taufik Abdullah Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat TE. Priyono Teguh Afandi Teguh Ranusastra Asmara Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Theresia Purbandini Tita Tjindarbumi Titik Alva-Alvi Choiriyah Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tjoet Nyak Dhien Tosa Poetra Tri Lestari Sustiyana Triyanto Triwikromo TS Pinang Tu-ngang Iskandar Tulus S Tulus Wijanarko Udo Z. Karzi Ugoran Prasad Umar Fauzi Ballah Umar Kayam Umbu Landu Paranggi Universitas Indonesia Universitas Jember Utada Kamaru UU Hamidy Vera Ernawati Veronika Ninik W.S. Rendra Wahjudi Djaja Wahyu Hidayat Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Budiartha Widya Karima Wijaya Herlambang Wiji Thukul Willem B Berybe Wilson Nadeak Winarni R. Wiratmo Soekito Wita Lestari Wiwik Widayaningtias Y. Thendra BP Y. Wibowo Yasser Arafat Yeni Ratnaningsih Yohanes Sehandi Yonatan Raharjo Yonathan Rahardjo Yopi Setia Umbara Yos Rizal S Yos Rizal Suriaji Yudhi Herwibowo Yuka Fainka Putra Yurnaldi Yushifull Ilmy Yusri Fajar Yusuf Suharto Zainal Abidin Zainal Arifin Thoha Zawawi Se Zen Hae