Ahmad Rofiq
Kompas, 24 Jan 2010
Matahari telah muncul di timur. Cahaya kuning menyeruak dan menguasi permukaan langit. Bola api raksasa itu merangkak mendaki hingga sepenggalah ketinggiannya. Biasanya di waktu seperti itu Rena sudah berada di dapur. Memasak atau mencuci tumpukan piring kotor. Tapi tidak di pagi itu. Saat itu dia merasakan tubuhnya capek dan kepala agak pening. Maka dia masih tiduran di dalam kamar.
Di luar kamar, terdengar ibu mertuanya sibuk mengomel. Sesekali juga terdengar perempuan tua itu membentak-bentak.
“Dasar ayam pemalas. Sepagi ini masih nyekukruk, seperti ayam gering (sakit). Sana keluar cari makan!”
“Wuttt, glontang, klotakkk, brukk!” bunyi sepotong kayu dilempar.
“Sial, dia lagi-lagi menyindirku,” umpat Rena dalam hati.
Ya, tidak sekali dua kali ucapan ibu mertuanya membikin merah telinga Rena. Melukai perasaannya. Dan pagi itu entah yang keberapa. Rena menganggap perempuan itu sudah keterlaluan. Dengan mengatakan dirinya sepagi itu masih nyekukruk seperti ayam digampar penyakit.
Memang, Rena juga mendengar suara kokok ayam berlarian. Mungkin ternak itu berusaha menghindari lemparan kayu. Namun dalam keyakinannya, ucapan ibu mertuanya tidak semata-mata ditujukan pada ayam. Sebab mana mungkin ayam yang tak berakal disodori ucapan dan bentakan seperti itu. Tentu yang dimaksud ibu mertuanya adalah dia yang saat itu masih mendekam dalam kamar.
Teringat oleh Rena, kejadian seperti itu bukan satu-satunya yang membuatnya makin membenci ibu mertuanya. Meski perempuan tua itu adalah ibu kandung suaminya yang seharusnya dia anggap sebagai ibu kandungnya juga. Dua hari lalu terjadi pula peristiwa lain yang tak kalah sengitnya.
Saat itu Dino, anak Rena yang berumur tiga tahun, bermain kejar-kejaran dengan si Bidin, anak tetangga sebelah. Demi menghindari tangkapan Bidin yang mengejarnya, Dino masuk rumah. Di waktu menutup pintu depan, Dino membantingnya dengan amat keras. Maka ketika mendengar pintu berdentar, ibu mertuanya terperanjat bagai mendengar bunyi petasan. Wajahnya merah padam karena marah, dan dalam pandangan Rena keriput kulit wajah ibu mertuanya tampak makin menyeramkan.
“Eh, bocah kurang ajar. Jangan keras-keras kau banting pintu. Bisa sempal nanti. Kau tahu, ini rumahku, bukannya rumahmu, bukan rumah ibumu. Kau tinggal menempati saja pakai membanting pintu segala.”
Saat mendengar ocehan itu, Rena merasakan hatinya seperti dibakar. Ucapan ibu mertuanya ibarat anak panah yang melesat dari busurnya dengan kecepatan tinggi. Sekilas mengarah ke Dino, tapi ternyata berbelok dan menancap di ulu hatinya.
Rena yakin, mustahil omongan penuh sindiran itu ditujukan pada Dino, bocah tiga tahun yang belum jelas mengucapkan bunyi tiap-tiap abjad. Bocah itu bahkan belum mampu menemukan perbedaan antara kidal kata sifat dan kadal sebagai kata benda. Pastilah yang dimaksud ibu mertuanya sebagai ”orang yang tak punya rumah dan tinggal menempati saja” adalah dirinya. Sementara Dino hanya cengengesan mendengar celoteh neneknya.
Renalah yang merasakan ulu hatinya bagai tertusuk puluhan jarum berbisa.
Lambat laun, kebencian Rena pada ibu mertuanya makin menebal. Dia bahkan merasa tak betah lagi tinggal di rumah itu. Hidup satu atap dengan seorang perempuan renta, namun banyak sekali bicara. Rena mulai dihinggapi perasaan muak. Gerah dengan segala tingkah mertuanya yang baginya terlalu mencampuri urusan orang.
Hampir tiap hari Rena harus menyiapkan kelapangan dada ekstra. Merelakan diri jadi papan sasaran bagi omelan, ocehan, serta sindiran ibu mertuanya. Begitu bencinya, Rena sampai menduga memang ada susuk emas tertanam di kedua bibir perempuan tua itu. Maka tak heran, meskipun tanpa deretan gigi yang menopang sehingga mulutnya tampak ompong, toh dia masih begitu lincah berujar. Selalu melimpah ruah dalam menumpahkan kalimat.
Pernah di satu kesempatan Rena mengadukan rasa tidak betahnya pada suaminya. Namun saat mendengar pengaduan Rena, suaminya hanya tersenyum. Lelaki itu seperti telah mengetahui kenyataan itu. Dan dengan enteng saja berkata
“Ya, namanya juga orang tua, Re. Saya kira di mana-mana seperti itu.”
“Tapi Mas, saya kira ibu sering keterlaluan.”
“Sudahlah. Tak usah diambil hati. Anggap saja ucapannya hanya angina lalu. Aku yakin kau bisa melakukannya. Kau tahu kan, perilaku orang tua itu memang mirip anak kecil. Juga tuntutan dan permintaannya. Bagaimana pun juga dia adalah ibuku.”
“Tapi, kalau begini terus rasanya aku tidak betah lagi tinggal di sini. Ayo kita pindah saja. Kita mengontrak atau apalah, yang penting pergi dari rumah ini.”
“Ah, kamu ini jangan mikir aneh-aneh. Kita punya rumah sendiri kok mau mengontrak rumah.”
”Rasanya aku tidak betah lagi tinggal di rumah ini.”
Suami Rena tampak memahami apa yang menjadi akar masalah. Lelaki itu juga tahu, ibunya yang telah renta itu memang banyak omong. Kadang sering mengurus hal-hal sepele yang tak perlu. Namun tidak mungkin dirinya sebagai seorang anak meninggalkan ibunya sendirian di rumah.
“Sabarlah, Re. Aku tahu, ada begitu banyak ketidakcocokan antara kau dan ibu. Aku sadari kenyataan itu. Tapi aku mohon padamu Re, bersabarlah. Jangan kau sodorkan padaku buah Simalakama. Kalau kita pindah dari rumah ini, lalu bagaimana beliau yang sudah setua itu. Siapa yang akan mengurusnya. Ah sekali lagi, sabarlah, please,” ucap lelaki itu memohon. Dan Rena tak bisa berbuat apa-apa.
Pernah juga Rena keceplosan bicara. Dia mengumbar masalahnya dengan ibu mertuanya di depan teman-temannya. Rena pikir sesama wanita tak apalah bila dia membicarakan soal itu. Saat itu mereka berkumpul di halaman sekolah taman kanak-kanak tempat anak-anak mereka belajar dan bernyanyi. Seperti biasa, saat anak-anak asyik belajar mengeja dan menyanyi bersama guru mereka, para ibu yang mengantar tak mau kalah. Mereka membentuk kelompok diskusi di luar kelas. Ah, bukan ”diskusi” yang terdengar intelek, tapi sekadar kelompok ngerumpi di antara para wanita pengantar anak sekolah.
“Ah, kalau aku jadi kamu, sudah kusuruh suamiku memilih antara dua pilihan. Apakah mau tinggal terus dengan ibunya atau denganku. Daripada kumpul satu rumah berantem terus sama mertua,” ucap ibu Jeny. Perempuan yang selalu berdandan wah saat mengantar anaknya ke sekolah.
“Betul jeng, biar tidak makan hati lalu bisa-bisa mati ngenes sampean.” Ibunya Agus menambahkan.
“Tapi, aku kasihan pada suamiku. Dia harus menghadapi pilihan yang amat dilematis,” ucap Rena mencoba membantah usul teman-temannya.
“Halah! kasihan apanya. Salah sendiri punya ibu banyak cingcong. Ngapain juga kita berkumpul dengannya di satu rumah. Eh, kalau gitu terus, bisa habis dagingmu sebab memikirkan ibu mertuamu, ya nggak Bu Agus?”
Mendengar namanya disebut, ibunya Agus mengangguk. Rena makin bingung dalam pusaran bermacam usulan yang dilontarkan teman-temannya. Salah seorang teman Rena yang bernama Monar mengajak Rena sedikit menjauh dari kelompok itu. Lalu setelah menoleh kiri-kanan, Monar membisikkan sesuatu ke telinga Rena.
Rena mengangguk-angguk saat Monar menjelaskan sesuatu.
Begitulah. Hari terus berlalu dan perang saraf antara Rena dan ibu mertuanya pun terus berlanjut. Hingga pada akhirnya, Rena benar-benar kalah melawan diri sendiri. Lapisan kesabaran yang selama ini dia bangun mulai ambruk. Rena terperosok dalam kondisi gelap mata, lalu mengambil keputusan nekad. Dirinya nekad akan melakukan apa yang pernah disarankan Monar.
**
Tanpa sepengetahuan siapa pun, Rena mendatangi rumah lelaki itu. Seorang lelaki tua yang kerap dijuluki orang sebagai ’orang pintar’. Seperti juga pernah diceritakan Monar. Di depan orang pintar itu Rena mengadukan masalahnya. Terlebih kebenciannya pada ibu mertuanya yang telah sampai ubun-ubun. Rena memang telah gagal menjalani nasihat suaminya untuk bersabar. Maka di depan lelaki berusia uzur itu, Rena menceritakan niatnya untuk melenyapkan ibu mertuanya.
“Emm, apa kamu serius ingin melakukan itu?” tanya lelaki tua.
Rena hanya mengangguk. Dia merasakan dadanya bergemuruh
“Lalu ingin cara yang bagaimana? Maksudku, cepat atau perlahan?”
“Kalau bisa secepatnya Mbah. Saya sudah tidak betah.”
“Heh, ingat! Terlalu cepat malah bisa menimbulkan kecurigaan. Nanti bila polisi membongkar, malah kau akan menanggung risikonya.”
“Lalu bagaimana, Mbah?”
“Menurutku, gunakan cara halus. Meski perlahan namun hasilnya pasti. Tak apa agak lamban, tapi aman. Saya jamin semua akan beres.”
Begitulah, saat pulang lelaki tua itu memberi Rena sebungkus serbuk. Dia katakan serbuk itu mengandung zat arsenik mematikan, namun baru bereaksi setelah lewat satu bulan. Setelah serbuk itu bekerja, maka tak akan ada yang tahu bahwa ibu mertuanya mati sebab diracuni orang. Orang akan mengira perempuan itu meninggal sebab usia tua. Saat mendengar orang pintar itu menyebut kata arsenik, Rena sempat teringat kasus kematian seorang aktivis di atas pesawat terbang. Saat orang yang getol memperjuangkan HAM itu bepergian ke negeri Belanda. Ya, Rena pernah membaca berita itu.
Orang pintar itu juga berpesan pada Rena agar bersikap sopan dan manis pada ibu mertuanya. Meskipun semua itu hanya sebatas pura-pura. Bahkan jika perempuan tua itu mengomel atau memarahinya. Toh dia akan mati juga. Rena tak keberatan melaksanakan pesan orang pintar itu.
**
Tiap pagi dan sore, Rena rajin menaburkan serbuk putih itu dalam makanan yang dikonsumsi ibu mertuanya. Dia juga pura-pura bersikap manis dan sopan pada ibu mertuanya. Seperti pesan lelaki tua itu. Bahkan saat ibu mertuanya mengomel-ngomel atau berteriak marah, Rena menyambut semua itu dengan keramahan dan senyuman. Meski dalam hatinya, Rena ingin segera melihat serbuk itu bereaksi walau belum sebulan.
Belum genap sebulan, Rena merasakan ada yang berubah. Sikap ibu mertuanya makin melunak. Perempuan tua itu juga amat ramah dan sopan pada Rena. Tak pernah lagi dia mengucapkan kata-kata kasar atau memperlihatkan sikap yang menyakitkan hati Rena. Karena perubahan itu, kebencian Rena pada ibu mertuanya seperti terkikis lalu longsor. Dan anehnya, Rena menjadi khawatir bila serbuk yang tiap hari dia tabur di atas makanan perempuan tua itu bereaksi.
Rena mulai bimbang, hingga akhirnya dia putuskan datang lagi ke rumah orang pintar itu.
“Mbah, sekarang saya kok malah takut bila racun itu bereaksi.”
“Bereaksi? Ah, tidak akan pernah itu.”
“Lho memangnya, Mbah?” Rena belum mengerti
“Sejujurnya, itu bukan arsenik. Tapi penyedap rasa untuk setiap masakan. Dan rupanya serbuk itu telah menaklukkan lidah ibu mertuamu. Pulanglah, kukira masalahmu dengan ibu mertuamu telah selesai.”
Rena tak menyangka dengan semua itu. Namun dia bersyukur sebab tak sampai menjadi seorang pembunuh. Meski dirinya selamat dari pengetahuan polisi, namun dirinya tak akan selamat dari vonis nuraninya sendiri. Dan dia mengakui, lelaki tua itu memang sangat pantas serta sesuai jika dijuluki ’orang pintar’. Seperti pernah dibisikkan Monar saat berada di halaman sekolah TK.
Gresik 2009
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Sabtu, 19 Januari 2013
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Label
`Atiqurrahman
A Muttaqin
A Rodhi Murtadho
A. Iwan Kapit
A. Purwantara
A. Qorib Hidayatullah
A. Zakky Zulhazmi
A.H.J Khuzaini
A.S. Laksana
Aang Fatihul Islam
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi WM
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Lathief
Abdul Malik
Abdul Wachid B.S.
Abdurrahman El Husaini
Abidah El Khalieqy
Abu Salman
Acep Zamzam Noor
Achdiat K. Mihardja
Adek Alwi
Adi Suhara
Adnyana Ole
Adreas Anggit W.
Afrion
Afrizal Malna
Aguk Irawan MN
Agung Dwi Ertato
Agus B. Harianto
Agus Buchori
Agus Himawan
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus Sulton
Agusri Junaidi
Agustinus Wahyono
Ahda Imran
Ahmad Badrus Sholihin
Ahmad Fanani Mosah
Ahmad Fatoni
Ahmad Ikhwan Susilo
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Musabbih
Ahmad Rofiq
Ahmad Sahidah
Ahmad Tohari
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Muhaimin Azzet
Akhmad Sekhu
Alex R. Nainggolan
Alex Suban
Alunk Estohank
Ami Herman
Amien Kamil
Amien Wangsitalaja
Aminudin R Wangsitalaja
Anastasya Andriarti
Andreas Maryoto
Anes Prabu Sadjarwo
Angela
Angga Wijaya
Angkie Yudistia
Anindita S Thayf
Anis Ceha
Anjrah Lelono Broto
Anton Kurnia
Anton Kurniawan
Anton Wahyudi
Anugrah Gio Pratama
Anwar Nuris
Aprinus Salam
Arie MP Tamba
Arif B. Prasetyo
Arif Bagus Prasetyo
Arif Hidayat
Arman A.Z.
Arti Bumi Intaran
Arys Hilman
AS Sumbawi
Asarpin
Asef Umar Fakhruddin
Asep Sambodja
Asrama Mahasiswa Aceh SABENA
Astrikusuma
Asvi Warman Adam
Atep Kurnia
Awalludin GD Mualif
Aziz Abdul Gofar
Azizah Hefni
Badrut Tamam Gaffas
Bagja Hidayat
Bagus Takwin
Balada
Bale Aksara
Baltasar Koi
Bambang Agung
Bambang Kempling
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Bayu Insani
Beni Setia
Benny Arnas
Benny Benke
Berita
Berita Duka
Berita Utama
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Blambangan
Brunel University London
BSW Adjikoesoemo
Budaya
Budhi Setyawan
Budi Darma
Budi Saputra
Budi Suwarna
Bung Tomo
Cak Kandar
Catatan
Cerpen
Chairil Anwar
Chavchay Syaifullah
Cucuk Espe
Cunong N. Suraja
D. Zawawi Imron
Dadang Ari Murtono
Daisuke Miyoshi
Damanhuri
Damhuri Muhammad
Damiri Mahmud
Danarto
Daniel Dhakidae
Dante Alighieri
Deddy Arsya
Dedy Tri Riyadi
Denny Mizhar
Deny Tri Aryanti
Detti Febrina
Dharmadi
Diah Hadaning
Dian Hartati
Dian Sukarno
Diana A.V. Sasa
Dicky Fadiar Djuhud
Didi Arsandi
Dimas
Dina Oktaviani
Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan
Djadjat Sudradjat
Djoko Saryono
Doddi Ahmad Fauji
Doddy Hidayatullah
Donny Anggoro
Dony P. Herwanto
Dorothea Rosa Herliany
Dr. Muhammad Zafar Iqbal
Dr. Simuh
Dwi Arjanto
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwicipta
Dwijo Maksum
Edy A. Effendi
Edy Firmansyah
Efri Ritonga
Egidius Patnistik
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Eko Hendri Saiful
Elik
Elsya Crownia
Emha Ainun Nadjib
Endah Sulawesi
Endah Wahyuningsih
Endang Suryadinata
Endhiq Anang P
Endri Y
Eriyandi Budiman
Ernest Hemingway
Esai
Esha Tegar Putra
Eva Dwi Kurniawan
Evi Dana Setia Ningrum
Evi Idawati
Evieta Fadjar
F Rahardi
Fabiola D. Kurnia
Fadelan
Fahrudin Nasrulloh
Faidil Akbar
Faisal Kamandobat
Faisal Syahreza
Faizal Syahreza
Fajar Alayubi
Fandy Hutari
Fany Chotimah
Fatah Yasin Noor
Fathor Lt
Fathurrahman Karyadi
Fatih Kudus Jaelani
Fatma Dwi Rachmawati
Fauzi Absal
Festival Sastra Gresik
Fikri. MS
Fina Sato
Fitri Susila
Galih Pandu Adi
Gde Agung Lontar
Geger Riyanto
Gerakan Literasi
Gerakan Surah Buku (GSB)
Gerson Poyk
Ginanjar Rahadian
Gita Pratama
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gunawan Budi Susanto
Gunoto Saparie
Gus Martin
Gus tf Sakai
Gusti Eka
Hadi Napster
Haji Misbach
Halim HD
Halimi Zuhdy
Hamberan Syahbana
Hamdy Salad
Han Gagas
Handoko F. Zainsam
Hari Santoso
Haris del Hakim
Hartono Harimurti
Hary B. Kori’un
Hasan Gauk
Hasan Junus
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Hasta Indriyana
Helwatin Najwa
Hepi Andi Bastoni
Heri C Santoso
Heri KLM
Heri Latief
Heri Listianto
Hermien Y. Kleden
Hernadi Tanzil
Heru Emka
Heru Kurniawan
Heru Prasetya
Hesti Sartika
Hudan Hidayat
Humaidiy AS
I Made Asdhiana
I Made Prabaswara
I Nyoman Suaka
IBM. Dharma Palguna
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
Ida Ahdiah
Idayati
Ignas Kleden
Ihsan Taufik
Ilenk Rembulan
Ilham Khoiri
Ilham Yusardi
Imam Cahyono
Imam Jahrudin Priyanto
Imam Muhtarom
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Rosyid
Imron Tohari
Indah Darmastuti
Indiar Manggara
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Indrian Koto
Irma Safitri
Irman Syah
Iskandar Noe
Istiqomatul Hayati
Ita Siregar
Iwan Kurniawan
Iwan Nurdaya-Djafar
Iyut FItra
Jadid Al Farisy
Jafar M. Sidik
Jakob Sumardjo
Jamal D Rahman
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jayaning S.A
Jefri al Malay
Jihan Fauziah
JJ. Kusni
Jo Pakagula
Johan Edy Raharjo
Joko Pinurbo
Jokowi Undercover
Joni Ariadinata
Joss Wibisono
Jual Buku Paket Hemat
Judyane Koz
Juli Sastrawan
Junaidi Abdul Munif
Jusuf AN
Juwairiyah Mawardy
Kadir Ruslan
Kasnadi
Katrin Bandel
Kedung Darma Romansha
Khairul Mufid Jr
Khamami Zada
Khrisna Pabichara
Kikin Kuswandi
Koh Young Hun
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias
Komunitas Sastra Ilalang Indonesia (KSII)
Korrie Layun Rampan
Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan)
Kristianto Batuadji
Kritik Sastra
Kunni Masrohanti
Kunthi Hastorini
Kuntowijoyo
Kurie Suditomo
Kurnia EF
Kurniawan
Kuswaidi Syafi'ie
Kuswinarto
Lan Fang
Landung Rusyanto Simatupang
Latief S. Nugraha
Leila S. Chudori
Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M)
Liestyo Ambarwati Khohar
Linda Sarmili
Liston P. Siregar
Liza Wahyuninto
LN Idayanie
Lucia Idayani
Lukman Asya
Lusiana Indriasari
Lynglieastrid Isabellita
M Hari Atmoko
M. Aan Mansyur
M. Arman A.Z
M. Bagus Pribadi
M. Fadjroel Rachman
M. Harya Ramdhoni Julizarsyah
M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S
M. Luthfi Aziz
M. Nahdiansyah Abdi
M. Raudah Jambak
M. Shoim Anwar
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Maghfur Saan
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Majalah Sastra Horison
Maklumat Sastra Profetik
Malkan Junaidi
Maman S. Mahayana
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maria Serenade Sinurat
Mario F. Lawi
Marluwi
Marsel Robot
Martin Aleida
Martin Suryajaya
Mashuri
Matdon
Mega Vristian
Melani Budianta
Melayu Riau
Memoar
MG. Sungatno
Mh Zaelani Tammaka
Miftah Fadhli
Miftahul Abrori
Misbahus Surur
Miziansyah J
Mochtar Lubis
Mohamad Ali Hisyam
Mohammad Eri Irawan
MT Arifin
Mugy Riskiana Halalia
Muhajir Arrosyid
Muhamad Rifai
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Al-Mubassyir
Muhammad Qodari
Muhammad Rain
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun A.S
Muhidin M. Dahlan
Muhlis Al-Firmany
Mujtahid
Mulyadi SA
Munawir Aziz
Murniati Tanjung
Murnierida Pram
Musa Ismail
Musfi Efrizal
Mustaan
Mustafa Ismail
N. Mursidi
Nafsul Latifah
Naskah Teater
Nasrullah Nara
Nelson Alwi
Nenden Lilis A
Nh. Anfalah
Ni Made Purnama Sari
Nina Mussolini-Hansson
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Noura
Nova Christina
Noval Jubbek
Novela Nian
Nugroho Notosusanto
Nugroho Pandhu Sukmono
Nur Faizah
Nurdin F. Joes
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nurul Komariyah
Nuryana Asmaudi SA
Nyoman Tusthi Eddy
Nyoman Wirata
Oka Rusmini
Oktamandjaya Wiguna
Oky Sanjaya
Olanama
Olivia Kristina Sinaga
Otto Sukatno CR
Pagelaran Musim Tandur
Pamusuk Eneste
Patricia Pawestri
PDS H.B. Jassin
PDS. H.B. Jassin
Penghargaan Hadiah Sastra Pusat Bahasa
Persda Network
Pipiet Senja
Pramoedya Ananta Toer
Pramono
Pranita Dewi
Pringadi AS
Prita Daneswari
Prof. Tamim Pardede sebut Bambang Tri
Prosa
Pudyo Saptono
Puisi
Puisi Kesunyian
Puisi Sufi
Puji Santosa
PUstaka puJAngga
Putu Fajar Arcana
Putu Wijaya
Qaris Tajudin
R. Sugiarti
Rachmad Djoko Pradopo
Radhar Panca Dahana
Ragdi F. Daye
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Ramadhan Batubara
Ramadhan KH
Ratih Kumala
Ratna Indraswari Ibrahim
Ratna Sarumpaet
Raudal Tanjung Banua
Remy Sylado
Reni Susanti
Renny Meita Widjajanti
Resensi
Restu Kurniawan
Retno Sulistyowati
RF. Dhonna
Rian Sindu
Ribut Wijoto
Ridwan Munawwar
Riki Utomi
Riris K. Toha-Sarumpaet
Risang Anom Pujayanto
Riza Multazam Luthfy
Robin Al Kautsar
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rohman Abdullah
Rosidi
Rosihan Anwar
Rukardi
S Yoga
S. Jai
S. Sinansari Ecip
S.I. Poeradisastra
S.W. Teofani
Sabam Siagian
Sabrank Suparno
Saiful Anam Assyaibani
Sainul Hermawan
Sajak
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Samsudin Adlawi
Sanggar Rumah Ilalang
Sanggar Teater Jerit
Sapardi Djoko Damono
Sartika Dian
Sartika Dian Nuraini
Sastra Tanah Air
Sastra Using
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sayyid Fahmi Alathas
Sazano
Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo
Seli Desmiarti
Selo Soemardjan
Senggrutu Singomenggolo
Seno Joko Suyono
SH Mintardja
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sipri Senda
Sitok Srengenge
Siwi Dwi Saputro
Sjifa Amori
Sobih Adnan
Sofian Dwi
Sofie Dewayani
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sri Ruwanti
Sri Wintala Achmad
St Sularto
Stefanus P. Elu
Sukron Abdilah
Sulaiman Djaya
Suminto A. Sayuti
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sungging Raga
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Suryansyah
Suryanto Sastroatmodjo
Susanto
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Suyadi
Suyadi San
Syaifuddin Gani
Syaiful Amin
Syamsiar Hidayah
Syarbaini
Syifa Amori
Syifa Aulia
Tajuddin Noor Ganie
Taufik Abdullah
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
TE. Priyono
Teguh Afandi
Teguh Ranusastra Asmara
Teguh Winarsho AS
Tengsoe Tjahjono
Theresia Purbandini
Tita Tjindarbumi
Titik Alva-Alvi Choiriyah
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Tjoet Nyak Dhien
Tosa Poetra
Tri Lestari Sustiyana
Triyanto Triwikromo
TS Pinang
Tu-ngang Iskandar
Tulus S
Tulus Wijanarko
Udo Z. Karzi
Ugoran Prasad
Umar Fauzi Ballah
Umar Kayam
Umbu Landu Paranggi
Universitas Indonesia
Universitas Jember
Utada Kamaru
UU Hamidy
Vera Ernawati
Veronika Ninik
W.S. Rendra
Wahjudi Djaja
Wahyu Hidayat
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Budiartha
Widya Karima
Wijaya Herlambang
Wiji Thukul
Willem B Berybe
Wilson Nadeak
Winarni R.
Wiratmo Soekito
Wita Lestari
Wiwik Widayaningtias
Y. Thendra BP
Y. Wibowo
Yasser Arafat
Yeni Ratnaningsih
Yohanes Sehandi
Yonatan Raharjo
Yonathan Rahardjo
Yopi Setia Umbara
Yos Rizal S
Yos Rizal Suriaji
Yudhi Herwibowo
Yuka Fainka Putra
Yurnaldi
Yushifull Ilmy
Yusri Fajar
Yusuf Suharto
Zainal Abidin
Zainal Arifin Thoha
Zawawi Se
Zen Hae
Tidak ada komentar:
Posting Komentar