Sabtu, 19 Januari 2013

Lidah

Ahmad Rofiq
Kompas, 24 Jan 2010

Matahari telah muncul di timur. Cahaya kuning menyeruak dan menguasi permukaan langit. Bola api raksasa itu merangkak mendaki hingga sepenggalah ketinggiannya. Biasanya di waktu seperti itu Rena sudah berada di dapur. Memasak atau mencuci tumpukan piring kotor. Tapi tidak di pagi itu. Saat itu dia merasakan tubuhnya capek dan kepala agak pening. Maka dia masih tiduran di dalam kamar.
Di luar kamar, terdengar ibu mertuanya sibuk mengomel. Sesekali juga terdengar perempuan tua itu membentak-bentak.

“Dasar ayam pemalas. Sepagi ini masih nyekukruk, seperti ayam gering (sakit). Sana keluar cari makan!”

“Wuttt, glontang, klotakkk, brukk!” bunyi sepotong kayu dilempar.
“Sial, dia lagi-lagi menyindirku,” umpat Rena dalam hati.

Ya, tidak sekali dua kali ucapan ibu mertuanya membikin merah telinga Rena. Melukai perasaannya. Dan pagi itu entah yang keberapa. Rena menganggap perempuan itu sudah keterlaluan. Dengan mengatakan dirinya sepagi itu masih nyekukruk seperti ayam digampar penyakit.

Memang, Rena juga mendengar suara kokok ayam berlarian. Mungkin ternak itu berusaha menghindari lemparan kayu. Namun dalam keyakinannya, ucapan ibu mertuanya tidak semata-mata ditujukan pada ayam. Sebab mana mungkin ayam yang tak berakal disodori ucapan dan bentakan seperti itu. Tentu yang dimaksud ibu mertuanya adalah dia yang saat itu masih mendekam dalam kamar.

Teringat oleh Rena, kejadian seperti itu bukan satu-satunya yang membuatnya makin membenci ibu mertuanya. Meski perempuan tua itu adalah ibu kandung suaminya yang seharusnya dia anggap sebagai ibu kandungnya juga. Dua hari lalu terjadi pula peristiwa lain yang tak kalah sengitnya.

Saat itu Dino, anak Rena yang berumur tiga tahun, bermain kejar-kejaran dengan si Bidin, anak tetangga sebelah. Demi menghindari tangkapan Bidin yang mengejarnya, Dino masuk rumah. Di waktu menutup pintu depan, Dino membantingnya dengan amat keras. Maka ketika mendengar pintu berdentar, ibu mertuanya terperanjat bagai mendengar bunyi petasan. Wajahnya merah padam karena marah, dan dalam pandangan Rena keriput kulit wajah ibu mertuanya tampak makin menyeramkan.

“Eh, bocah kurang ajar. Jangan keras-keras kau banting pintu. Bisa sempal nanti. Kau tahu, ini rumahku, bukannya rumahmu, bukan rumah ibumu. Kau tinggal menempati saja pakai membanting pintu segala.”

Saat mendengar ocehan itu, Rena merasakan hatinya seperti dibakar. Ucapan ibu mertuanya ibarat anak panah yang melesat dari busurnya dengan kecepatan tinggi. Sekilas mengarah ke Dino, tapi ternyata berbelok dan menancap di ulu hatinya.

Rena yakin, mustahil omongan penuh sindiran itu ditujukan pada Dino, bocah tiga tahun yang belum jelas mengucapkan bunyi tiap-tiap abjad. Bocah itu bahkan belum mampu menemukan perbedaan antara kidal kata sifat dan kadal sebagai kata benda. Pastilah yang dimaksud ibu mertuanya sebagai ”orang yang tak punya rumah dan tinggal menempati saja” adalah dirinya. Sementara Dino hanya cengengesan mendengar celoteh neneknya.

Renalah yang merasakan ulu hatinya bagai tertusuk puluhan jarum berbisa.
Lambat laun, kebencian Rena pada ibu mertuanya makin menebal. Dia bahkan merasa tak betah lagi tinggal di rumah itu. Hidup satu atap dengan seorang perempuan renta, namun banyak sekali bicara. Rena mulai dihinggapi perasaan muak. Gerah dengan segala tingkah mertuanya yang baginya terlalu mencampuri urusan orang.

Hampir tiap hari Rena harus menyiapkan kelapangan dada ekstra. Merelakan diri jadi papan sasaran bagi omelan, ocehan, serta sindiran ibu mertuanya. Begitu bencinya, Rena sampai menduga memang ada susuk emas tertanam di kedua bibir perempuan tua itu. Maka tak heran, meskipun tanpa deretan gigi yang menopang sehingga mulutnya tampak ompong, toh dia masih begitu lincah berujar. Selalu melimpah ruah dalam menumpahkan kalimat.

Pernah di satu kesempatan Rena mengadukan rasa tidak betahnya pada suaminya. Namun saat mendengar pengaduan Rena, suaminya hanya tersenyum. Lelaki itu seperti telah mengetahui kenyataan itu. Dan dengan enteng saja berkata

“Ya, namanya juga orang tua, Re. Saya kira di mana-mana seperti itu.”
“Tapi Mas, saya kira ibu sering keterlaluan.”

“Sudahlah. Tak usah diambil hati. Anggap saja ucapannya hanya angina lalu. Aku yakin kau bisa melakukannya. Kau tahu kan, perilaku orang tua itu memang mirip anak kecil. Juga tuntutan dan permintaannya. Bagaimana pun juga dia adalah ibuku.”

“Tapi, kalau begini terus rasanya aku tidak betah lagi tinggal di sini. Ayo kita pindah saja. Kita mengontrak atau apalah, yang penting pergi dari rumah ini.”

“Ah, kamu ini jangan mikir aneh-aneh. Kita punya rumah sendiri kok mau mengontrak rumah.”
”Rasanya aku tidak betah lagi tinggal di rumah ini.”

Suami Rena tampak memahami apa yang menjadi akar masalah. Lelaki itu juga tahu, ibunya yang telah renta itu memang banyak omong. Kadang sering mengurus hal-hal sepele yang tak perlu. Namun tidak mungkin dirinya sebagai seorang anak meninggalkan ibunya sendirian di rumah.

“Sabarlah, Re. Aku tahu, ada begitu banyak ketidakcocokan antara kau dan ibu. Aku sadari kenyataan itu. Tapi aku mohon padamu Re, bersabarlah. Jangan kau sodorkan padaku buah Simalakama. Kalau kita pindah dari rumah ini, lalu bagaimana beliau yang sudah setua itu. Siapa yang akan mengurusnya. Ah sekali lagi, sabarlah, please,” ucap lelaki itu memohon. Dan Rena tak bisa berbuat apa-apa.

Pernah juga Rena keceplosan bicara. Dia mengumbar masalahnya dengan ibu mertuanya di depan teman-temannya. Rena pikir sesama wanita tak apalah bila dia membicarakan soal itu. Saat itu mereka berkumpul di halaman sekolah taman kanak-kanak tempat anak-anak mereka belajar dan bernyanyi. Seperti biasa, saat anak-anak asyik belajar mengeja dan menyanyi bersama guru mereka, para ibu yang mengantar tak mau kalah. Mereka membentuk kelompok diskusi di luar kelas. Ah, bukan ”diskusi” yang terdengar intelek, tapi sekadar kelompok ngerumpi di antara para wanita pengantar anak sekolah.

“Ah, kalau aku jadi kamu, sudah kusuruh suamiku memilih antara dua pilihan. Apakah mau tinggal terus dengan ibunya atau denganku. Daripada kumpul satu rumah berantem terus sama mertua,” ucap ibu Jeny. Perempuan yang selalu berdandan wah saat mengantar anaknya ke sekolah.

“Betul jeng, biar tidak makan hati lalu bisa-bisa mati ngenes sampean.” Ibunya Agus menambahkan.

“Tapi, aku kasihan pada suamiku. Dia harus menghadapi pilihan yang amat dilematis,” ucap Rena mencoba membantah usul teman-temannya.

“Halah! kasihan apanya. Salah sendiri punya ibu banyak cingcong. Ngapain juga kita berkumpul dengannya di satu rumah. Eh, kalau gitu terus, bisa habis dagingmu sebab memikirkan ibu mertuamu, ya nggak Bu Agus?”

Mendengar namanya disebut, ibunya Agus mengangguk. Rena makin bingung dalam pusaran bermacam usulan yang dilontarkan teman-temannya. Salah seorang teman Rena yang bernama Monar mengajak Rena sedikit menjauh dari kelompok itu. Lalu setelah menoleh kiri-kanan, Monar membisikkan sesuatu ke telinga Rena.

Rena mengangguk-angguk saat Monar menjelaskan sesuatu.
Begitulah. Hari terus berlalu dan perang saraf antara Rena dan ibu mertuanya pun terus berlanjut. Hingga pada akhirnya, Rena benar-benar kalah melawan diri sendiri. Lapisan kesabaran yang selama ini dia bangun mulai ambruk. Rena terperosok dalam kondisi gelap mata, lalu mengambil keputusan nekad. Dirinya nekad akan melakukan apa yang pernah disarankan Monar.
**

Tanpa sepengetahuan siapa pun, Rena mendatangi rumah lelaki itu. Seorang lelaki tua yang kerap dijuluki orang sebagai ’orang pintar’. Seperti juga pernah diceritakan Monar. Di depan orang pintar itu Rena mengadukan masalahnya. Terlebih kebenciannya pada ibu mertuanya yang telah sampai ubun-ubun. Rena memang telah gagal menjalani nasihat suaminya untuk bersabar. Maka di depan lelaki berusia uzur itu, Rena menceritakan niatnya untuk melenyapkan ibu mertuanya.

“Emm, apa kamu serius ingin melakukan itu?” tanya lelaki tua.
Rena hanya mengangguk. Dia merasakan dadanya bergemuruh
“Lalu ingin cara yang bagaimana? Maksudku, cepat atau perlahan?”
“Kalau bisa secepatnya Mbah. Saya sudah tidak betah.”
“Heh, ingat! Terlalu cepat malah bisa menimbulkan kecurigaan. Nanti bila polisi membongkar, malah kau akan menanggung risikonya.”
“Lalu bagaimana, Mbah?”
“Menurutku, gunakan cara halus. Meski perlahan namun hasilnya pasti. Tak apa agak lamban, tapi aman. Saya jamin semua akan beres.”

Begitulah, saat pulang lelaki tua itu memberi Rena sebungkus serbuk. Dia katakan serbuk itu mengandung zat arsenik mematikan, namun baru bereaksi setelah lewat satu bulan. Setelah serbuk itu bekerja, maka tak akan ada yang tahu bahwa ibu mertuanya mati sebab diracuni orang. Orang akan mengira perempuan itu meninggal sebab usia tua. Saat mendengar orang pintar itu menyebut kata arsenik, Rena sempat teringat kasus kematian seorang aktivis di atas pesawat terbang. Saat orang yang getol memperjuangkan HAM itu bepergian ke negeri Belanda. Ya, Rena pernah membaca berita itu.

Orang pintar itu juga berpesan pada Rena agar bersikap sopan dan manis pada ibu mertuanya. Meskipun semua itu hanya sebatas pura-pura. Bahkan jika perempuan tua itu mengomel atau memarahinya. Toh dia akan mati juga. Rena tak keberatan melaksanakan pesan orang pintar itu.
**

Tiap pagi dan sore, Rena rajin menaburkan serbuk putih itu dalam makanan yang dikonsumsi ibu mertuanya. Dia juga pura-pura bersikap manis dan sopan pada ibu mertuanya. Seperti pesan lelaki tua itu. Bahkan saat ibu mertuanya mengomel-ngomel atau berteriak marah, Rena menyambut semua itu dengan keramahan dan senyuman. Meski dalam hatinya, Rena ingin segera melihat serbuk itu bereaksi walau belum sebulan.

Belum genap sebulan, Rena merasakan ada yang berubah. Sikap ibu mertuanya makin melunak. Perempuan tua itu juga amat ramah dan sopan pada Rena. Tak pernah lagi dia mengucapkan kata-kata kasar atau memperlihatkan sikap yang menyakitkan hati Rena. Karena perubahan itu, kebencian Rena pada ibu mertuanya seperti terkikis lalu longsor. Dan anehnya, Rena menjadi khawatir bila serbuk yang tiap hari dia tabur di atas makanan perempuan tua itu bereaksi.

Rena mulai bimbang, hingga akhirnya dia putuskan datang lagi ke rumah orang pintar itu.
“Mbah, sekarang saya kok malah takut bila racun itu bereaksi.”
“Bereaksi? Ah, tidak akan pernah itu.”
“Lho memangnya, Mbah?” Rena belum mengerti
“Sejujurnya, itu bukan arsenik. Tapi penyedap rasa untuk setiap masakan. Dan rupanya serbuk itu telah menaklukkan lidah ibu mertuamu. Pulanglah, kukira masalahmu dengan ibu mertuamu telah selesai.”

Rena tak menyangka dengan semua itu. Namun dia bersyukur sebab tak sampai menjadi seorang pembunuh. Meski dirinya selamat dari pengetahuan polisi, namun dirinya tak akan selamat dari vonis nuraninya sendiri. Dan dia mengakui, lelaki tua itu memang sangat pantas serta sesuai jika dijuluki ’orang pintar’. Seperti pernah dibisikkan Monar saat berada di halaman sekolah TK.

Gresik 2009

Tidak ada komentar:

Label

`Atiqurrahman A Muttaqin A Rodhi Murtadho A. Iwan Kapit A. Purwantara A. Qorib Hidayatullah A. Zakky Zulhazmi A.H.J Khuzaini A.S. Laksana Aang Fatihul Islam Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi WM Abdul Kadir Ibrahim Abdul Lathief Abdul Malik Abdul Wachid B.S. Abdurrahman El Husaini Abidah El Khalieqy Abu Salman Acep Zamzam Noor Achdiat K. Mihardja Adek Alwi Adi Suhara Adnyana Ole Adreas Anggit W. Afrion Afrizal Malna Aguk Irawan MN Agung Dwi Ertato Agus B. Harianto Agus Buchori Agus Himawan Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sulton Agusri Junaidi Agustinus Wahyono Ahda Imran Ahmad Badrus Sholihin Ahmad Fanani Mosah Ahmad Fatoni Ahmad Ikhwan Susilo Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musabbih Ahmad Rofiq Ahmad Sahidah Ahmad Tohari Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sekhu Alex R. Nainggolan Alex Suban Alunk Estohank Ami Herman Amien Kamil Amien Wangsitalaja Aminudin R Wangsitalaja Anastasya Andriarti Andreas Maryoto Anes Prabu Sadjarwo Angela Angga Wijaya Angkie Yudistia Anindita S Thayf Anis Ceha Anjrah Lelono Broto Anton Kurnia Anton Kurniawan Anton Wahyudi Anugrah Gio Pratama Anwar Nuris Aprinus Salam Arie MP Tamba Arif B. Prasetyo Arif Bagus Prasetyo Arif Hidayat Arman A.Z. Arti Bumi Intaran Arys Hilman AS Sumbawi Asarpin Asef Umar Fakhruddin Asep Sambodja Asrama Mahasiswa Aceh SABENA Astrikusuma Asvi Warman Adam Atep Kurnia Awalludin GD Mualif Aziz Abdul Gofar Azizah Hefni Badrut Tamam Gaffas Bagja Hidayat Bagus Takwin Balada Bale Aksara Baltasar Koi Bambang Agung Bambang Kempling Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Bayu Insani Beni Setia Benny Arnas Benny Benke Berita Berita Duka Berita Utama Bernando J. Sujibto Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Blambangan Brunel University London BSW Adjikoesoemo Budaya Budhi Setyawan Budi Darma Budi Saputra Budi Suwarna Bung Tomo Cak Kandar Catatan Cerpen Chairil Anwar Chavchay Syaifullah Cucuk Espe Cunong N. Suraja D. Zawawi Imron Dadang Ari Murtono Daisuke Miyoshi Damanhuri Damhuri Muhammad Damiri Mahmud Danarto Daniel Dhakidae Dante Alighieri Deddy Arsya Dedy Tri Riyadi Denny Mizhar Deny Tri Aryanti Detti Febrina Dharmadi Diah Hadaning Dian Hartati Dian Sukarno Diana A.V. Sasa Dicky Fadiar Djuhud Didi Arsandi Dimas Dina Oktaviani Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Djadjat Sudradjat Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Doddy Hidayatullah Donny Anggoro Dony P. Herwanto Dorothea Rosa Herliany Dr. Muhammad Zafar Iqbal Dr. Simuh Dwi Arjanto Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwicipta Dwijo Maksum Edy A. Effendi Edy Firmansyah Efri Ritonga Egidius Patnistik Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Hendri Saiful Elik Elsya Crownia Emha Ainun Nadjib Endah Sulawesi Endah Wahyuningsih Endang Suryadinata Endhiq Anang P Endri Y Eriyandi Budiman Ernest Hemingway Esai Esha Tegar Putra Eva Dwi Kurniawan Evi Dana Setia Ningrum Evi Idawati Evieta Fadjar F Rahardi Fabiola D. Kurnia Fadelan Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Faisal Kamandobat Faisal Syahreza Faizal Syahreza Fajar Alayubi Fandy Hutari Fany Chotimah Fatah Yasin Noor Fathor Lt Fathurrahman Karyadi Fatih Kudus Jaelani Fatma Dwi Rachmawati Fauzi Absal Festival Sastra Gresik Fikri. MS Fina Sato Fitri Susila Galih Pandu Adi Gde Agung Lontar Geger Riyanto Gerakan Literasi Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Ginanjar Rahadian Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gunoto Saparie Gus Martin Gus tf Sakai Gusti Eka Hadi Napster Haji Misbach Halim HD Halimi Zuhdy Hamberan Syahbana Hamdy Salad Han Gagas Handoko F. Zainsam Hari Santoso Haris del Hakim Hartono Harimurti Hary B. Kori’un Hasan Gauk Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Helwatin Najwa Hepi Andi Bastoni Heri C Santoso Heri KLM Heri Latief Heri Listianto Hermien Y. Kleden Hernadi Tanzil Heru Emka Heru Kurniawan Heru Prasetya Hesti Sartika Hudan Hidayat Humaidiy AS I Made Asdhiana I Made Prabaswara I Nyoman Suaka IBM. Dharma Palguna Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Ida Ahdiah Idayati Ignas Kleden Ihsan Taufik Ilenk Rembulan Ilham Khoiri Ilham Yusardi Imam Cahyono Imam Jahrudin Priyanto Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indah Darmastuti Indiar Manggara Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indrian Koto Irma Safitri Irman Syah Iskandar Noe Istiqomatul Hayati Ita Siregar Iwan Kurniawan Iwan Nurdaya-Djafar Iyut FItra Jadid Al Farisy Jafar M. Sidik Jakob Sumardjo Jamal D Rahman Janual Aidi Javed Paul Syatha Jayaning S.A Jefri al Malay Jihan Fauziah JJ. Kusni Jo Pakagula Johan Edy Raharjo Joko Pinurbo Jokowi Undercover Joni Ariadinata Joss Wibisono Jual Buku Paket Hemat Judyane Koz Juli Sastrawan Junaidi Abdul Munif Jusuf AN Juwairiyah Mawardy Kadir Ruslan Kasnadi Katrin Bandel Kedung Darma Romansha Khairul Mufid Jr Khamami Zada Khrisna Pabichara Kikin Kuswandi Koh Young Hun Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Komunitas Sastra Ilalang Indonesia (KSII) Korrie Layun Rampan Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan) Kristianto Batuadji Kritik Sastra Kunni Masrohanti Kunthi Hastorini Kuntowijoyo Kurie Suditomo Kurnia EF Kurniawan Kuswaidi Syafi'ie Kuswinarto Lan Fang Landung Rusyanto Simatupang Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Liestyo Ambarwati Khohar Linda Sarmili Liston P. Siregar Liza Wahyuninto LN Idayanie Lucia Idayani Lukman Asya Lusiana Indriasari Lynglieastrid Isabellita M Hari Atmoko M. Aan Mansyur M. Arman A.Z M. Bagus Pribadi M. Fadjroel Rachman M. Harya Ramdhoni Julizarsyah M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S M. Luthfi Aziz M. Nahdiansyah Abdi M. Raudah Jambak M. Shoim Anwar M. Yoesoef M.D. Atmaja Maghfur Saan Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Majalah Sastra Horison Maklumat Sastra Profetik Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Serenade Sinurat Mario F. Lawi Marluwi Marsel Robot Martin Aleida Martin Suryajaya Mashuri Matdon Mega Vristian Melani Budianta Melayu Riau Memoar MG. Sungatno Mh Zaelani Tammaka Miftah Fadhli Miftahul Abrori Misbahus Surur Miziansyah J Mochtar Lubis Mohamad Ali Hisyam Mohammad Eri Irawan MT Arifin Mugy Riskiana Halalia Muhajir Arrosyid Muhamad Rifai Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Al-Mubassyir Muhammad Qodari Muhammad Rain Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun A.S Muhidin M. Dahlan Muhlis Al-Firmany Mujtahid Mulyadi SA Munawir Aziz Murniati Tanjung Murnierida Pram Musa Ismail Musfi Efrizal Mustaan Mustafa Ismail N. Mursidi Nafsul Latifah Naskah Teater Nasrullah Nara Nelson Alwi Nenden Lilis A Nh. Anfalah Ni Made Purnama Sari Nina Mussolini-Hansson Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Noura Nova Christina Noval Jubbek Novela Nian Nugroho Notosusanto Nugroho Pandhu Sukmono Nur Faizah Nurdin F. Joes Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nurul Komariyah Nuryana Asmaudi SA Nyoman Tusthi Eddy Nyoman Wirata Oka Rusmini Oktamandjaya Wiguna Oky Sanjaya Olanama Olivia Kristina Sinaga Otto Sukatno CR Pagelaran Musim Tandur Pamusuk Eneste Patricia Pawestri PDS H.B. Jassin PDS. H.B. Jassin Penghargaan Hadiah Sastra Pusat Bahasa Persda Network Pipiet Senja Pramoedya Ananta Toer Pramono Pranita Dewi Pringadi AS Prita Daneswari Prof. Tamim Pardede sebut Bambang Tri Prosa Pudyo Saptono Puisi Puisi Kesunyian Puisi Sufi Puji Santosa PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Wijaya Qaris Tajudin R. Sugiarti Rachmad Djoko Pradopo Radhar Panca Dahana Ragdi F. Daye Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Ramadhan Batubara Ramadhan KH Ratih Kumala Ratna Indraswari Ibrahim Ratna Sarumpaet Raudal Tanjung Banua Remy Sylado Reni Susanti Renny Meita Widjajanti Resensi Restu Kurniawan Retno Sulistyowati RF. Dhonna Rian Sindu Ribut Wijoto Ridwan Munawwar Riki Utomi Riris K. Toha-Sarumpaet Risang Anom Pujayanto Riza Multazam Luthfy Robin Al Kautsar Rodli TL Rofiqi Hasan Rohman Abdullah Rosidi Rosihan Anwar Rukardi S Yoga S. Jai S. Sinansari Ecip S.I. Poeradisastra S.W. Teofani Sabam Siagian Sabrank Suparno Saiful Anam Assyaibani Sainul Hermawan Sajak Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sanggar Rumah Ilalang Sanggar Teater Jerit Sapardi Djoko Damono Sartika Dian Sartika Dian Nuraini Sastra Tanah Air Sastra Using Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sayyid Fahmi Alathas Sazano Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo Seli Desmiarti Selo Soemardjan Senggrutu Singomenggolo Seno Joko Suyono SH Mintardja Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sipri Senda Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Sobih Adnan Sofian Dwi Sofie Dewayani Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sri Ruwanti Sri Wintala Achmad St Sularto Stefanus P. Elu Sukron Abdilah Sulaiman Djaya Suminto A. Sayuti Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sungging Raga Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Suryansyah Suryanto Sastroatmodjo Susanto Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suyadi Suyadi San Syaifuddin Gani Syaiful Amin Syamsiar Hidayah Syarbaini Syifa Amori Syifa Aulia Tajuddin Noor Ganie Taufik Abdullah Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat TE. Priyono Teguh Afandi Teguh Ranusastra Asmara Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Theresia Purbandini Tita Tjindarbumi Titik Alva-Alvi Choiriyah Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tjoet Nyak Dhien Tosa Poetra Tri Lestari Sustiyana Triyanto Triwikromo TS Pinang Tu-ngang Iskandar Tulus S Tulus Wijanarko Udo Z. Karzi Ugoran Prasad Umar Fauzi Ballah Umar Kayam Umbu Landu Paranggi Universitas Indonesia Universitas Jember Utada Kamaru UU Hamidy Vera Ernawati Veronika Ninik W.S. Rendra Wahjudi Djaja Wahyu Hidayat Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Budiartha Widya Karima Wijaya Herlambang Wiji Thukul Willem B Berybe Wilson Nadeak Winarni R. Wiratmo Soekito Wita Lestari Wiwik Widayaningtias Y. Thendra BP Y. Wibowo Yasser Arafat Yeni Ratnaningsih Yohanes Sehandi Yonatan Raharjo Yonathan Rahardjo Yopi Setia Umbara Yos Rizal S Yos Rizal Suriaji Yudhi Herwibowo Yuka Fainka Putra Yurnaldi Yushifull Ilmy Yusri Fajar Yusuf Suharto Zainal Abidin Zainal Arifin Thoha Zawawi Se Zen Hae