Rabu, 27 Maret 2013

Memaknai Keunikan Budaya dalam Sastra

Raudal Tanjung Banua
Riau Pos, 17 Maret 2013

SASTRA adalah dunia yang unik. ‘’Dunia jungkir balik,’’ kata Budi Darma. Justru keunikan itulah yang menjadi pertaruhan seorang sastrawan, tak mesti dalam bentuk, tapi lebih-lebih pada persfektif. Cara pandang pengarang yang unik akan sangat menentukan dunia yang dibangunnya, meskipun secara bentuk (struktur) biasa saja. Cerpen dan novel Kuntowijoyo bisa sebagai pintu masuk apa yang saya maksud. Secara bentuk karya Kuntowijoyo boleh dikatakan konvensional, namun prilaku dan pandangan tokoh-tokohnya berhasil mengusung sisi budaya (Jawa) yang inkonvensional. Yaitu, sisi budaya yang tidak gampang dimaknai, sebab meskipun terlihat sederhana, ia sesungguhnya sangat kompleks.

Lihat misalnya cerpen ‘’Anjing-anjing Menyerbu Kuburan’’ (1996). Kuntowijoyo menceritakan seorang laki-laki mencari pesugihan dengan menggali kuburan orang yang meninggal pada Selasa Kliwon. Dia harus mengambil sepasang telinga mayat itu. Sekilas, kita akan menganggap tokoh itu abnormal. Namun sebenarnya kepercayaan itu bukan milik ia seorang. Sebab nyatanya kuburan orang yang meninggal pada hari Anggara Kasih itu dijaga petugas kampung selama tujuh hari tujuh malam. Jadi kepercayaan semacam itu bersifat kolektif (ah, bagaimanakah memvonis kepercayaan kolektif sebagai irasional?).

Singkat cerita, laki-laki itu harus mengelabui warga yang bertugas menjaga kuburan, tentu, dengan memenuhi semua syarat yang diminta sang guru. Ia harus menaburkan beras kuning supaya penjaga tertidur. Menggali kuburan harus dengan tangan telanjang (tak boleh pakai alat bantu). Lalu mengambil telinga mayat langsung memakai mulut (tak boleh pakai tangan). Meski lagi-lagi terdengar irasional, toh ketika syarat itu dipenuhi ternyata efeknya memang berhasil meninabobokkan para penjaga makam (Bagaimanakah cara menolak hubungan syarat dan efek yang ditimbulkannya?).

Di luar dugaan, anjing-anjing yang tak diketahui asalnya datang menyerbu kuburan sehingga laki-laki itu kelimpungan sampai tak terasa fajar telah datang. Ia pingsan diserbu anjing-anjing, bersamaan dengan terbangunnya para penjaga makam. Sebagian penjaga makam itu menuding, ‘Pencuri!’ Yang lain membela, ‘Penyelamat!’

Sampai di sini, cerita bercabang dua, bahkan bercabang banyak; tidak hitam tidak putih. Jangankan kita sebagai pembaca, bahkan para pelaku cerita pun tak dapat memutuskan apa yang sebenarnya terjadi. Masing pihak punya pendapat dan anggapannya sendiri. Begitu pulalah pembaca, jelas tak mudah menjatuhkan vonis benarkah dia penyelamat ataukah pecundang. Inilah contoh sederhana bagaimana keunikan dalam sastra tidak bisa dimaknai secara hitam-putih. Meskipun karya yang diresepsi bukan karya yang eksprimental dalam bentuk, namun berkat persfektif yang unik, terjadi penajaman tema sehingga ia menghadirkan dunia yang tak biasa.

Keunikan Budaya Etnik

Tentu tidak kalah banyak pula hasil sastra Indonesia yang tajam dalam persfektif sekaligus unik dalam bentuk. Cerpen-cerpen Danarto dalam Godlob (1976) dan Adam Marifat (1982) misalnya, sama-sama berangkat dari budaya Jawa, dalam hal ini dunia Kejawen. Sambil mengeksplorasi ‘keajaiban’ atau mungkin ‘kegaiban’ dunia Kejawen, Danarto sekaligus memanfaatkan ‘keajaiban’ dan ‘kegaiban’ itu sebagai kendaraan cerita sehingga menghasilkan bahasa serta kalimat-kalimat mistis yang mengalir, bebas mengembara serupa angin, jumpalitan serupa roh-roh halus bahkan malaikat yang turun ke bumi. Tentu memaknainya jauh lebih sulit, setidaknya tak semudah menuding ‘’bahasanya kacau, ceritanya tak masuk akal’’ jika tak mau dianggap serampangan.

Jelas pula, keunikan dalam sastra tak hanya dibentuk oleh keunikan budaya lokal (etnik) tertentu, dia bisa juga berupa dunia modern (urban, metropolis, diaspora) sebagaimana dapat ditemukan dalam cerpen/novel Putu Wijaya, Iwan Simatupang atau Budi Darma. Akan tetapi, disadari atau tidak, keunikan budaya Nusantara (budaya etnik) menjadi salah satu pilar yang banyak menyumbang keunikan dunia sastra modern Indonesia. Keunikan tersebut tak hanya menyangkut situasi fisik dan ritual tapi juga pandangan hidup, sistem sosial, bahkan dunia batin pemilik kebudayaan itu. Lebih dari sekedar memperkaya diskursus lokalitas, keunikan budaya mesti dipandang sebagai sumur inspirasi sastrawan tanah air sekaligus sumber spirit kehadiran nilai-nilai alternatif di tengah dominannya standar nilai yang baku.

Sebutlah dunia ronggeng dalam novel Ahmad Tohari, Ronggeng Dukuh Paruk (1981). Dunia ronggeng dihadirkan tak sekedar yang tampak, alih-alih eksotis, tapi tak kalah penting dunia batin dan nilai yang diusung para pelakunya. Jauh sebelum dilayarlebarkan menjadi Sang Penari, tokoh Srintil telah menjadi simbol dunia pe-ronggeng-an yang tak hanya menggoyang Rasus dan masyarakat Dukuh Paruk. Ia bahkan menggoyang pikiran masyarakat umum (di luar teks) yang mempertanyakan kejumudan tradisi serta kepatutan nilai-nilai. Patutkah seorang perempuan desa ‘dikorbankan’ dalam ritual dengan hasrat libido massal? Apakah artinya tradisi jika penari mesti ‘dipersembahkan’ kepada lelaki yang memiliki uang? Dan tradisi itu dibiarkan bahkan dipelihara oleh komunitas masyarakat bersangkutan!

Gugatan-gugatan normatif yang berseliweran di luar teks tentu saja dengan sendirinya ikut berada di luar ‘tanggung jawab’ sebuah teks. Sebab ketahuilah, sastra, dalam hal ini Ronggeng Dukuh Paruk tidak mendedahkan risalah moral, dan jika pun ada (dan seharusnya memang ada), tidaklah dengan cara yang verbal. Sastra melihat dunia ronggeng sebaik para pelaku budaya ronggeng menjaga tradisinya. Mereka misalnya percaya bahwa ronggeng adalah simbol kesuburan. Menjadi ronggeng tak semudah mengencingi umbi singkong sebagaimana dilakukan Rasus dan kawan-kawannya supaya mudah dibongkar. Bahwa menjadi ronggeng mesti memenuhi ‘’isyarat langit, isyarat bumi’’, dan seorang ronggeng adalah ia yang ‘terpilih’.

Oleh karena itu, ritual eksotik yang membakar suasana malam seisi desa adalah sah. Bahkan ‘’upacara buka kelambu’’ bukanlah sesuatu yang tabu, alih-alih kehormatan. Maka, sebagaimana ronggeng punya ‘pakem’-nya sendiri, sastra pun mesti percaya pada kekuatan ‘pakem’-nya yang dikenal sebagai konvensiunsur-unsur intrinsik/ekstrinsik yang melekat pada dirinya itu. Salah satu yang terpenting adalah perspektif, sudut pandang, dari mana nilai-nilai ‘kebenaran’ bukan dalam takaran hitam atau putih. Kebenaran moral sastra berada dalam tataran interpretasi yang memantik perdebatan, diskusi, opini, atau apa pun yang mencerdaskan.

Dunia Warok

Tak kalah menarik melihat dunia warok sebagai salah satu budaya ‘unik’ Nusantara lainnya di sekitar kita. Hans Gagas dalam novelnya Tembang Tolak Bala ( 2011) mengangkat warok sebagai satu-kesatuan jagad reog Ponorogo. Tak sekedar penampilannya yang atraktif dan indah, melainkan segala sesuatu yang berhubungan dengan kehidupan di ‘belakang panggung’ dan ini jauh lebih menantang.

Salah satunya adalah kehidupan warok, pelaku utama reog. Sosok dan laku hidup warok didedah secara terbuka. Seorang warok menjalani ritual khusus demi menjaga kesaktiannya. Susuk dan meditasi di sanggar pamujaan adalah dua di antaranya. Namun yang paling membedakan dengan yang lain -karena berhubungan langsung dengan lingkungan sosial- ialah pantangannya untuk bercampur dengan perempuan. Konon, lelaki yang diturunkan dari Klonosewandono, pendiri Kerajaan Bentar Angin yang kelak dikenal sebagai Wengker itu pada mulanya dihasratkan untuk menjaga kesucian dirinya sebagai calon raja. Dalam prakteknya kemudian, pantangan itu memunculkan gemblak sebagai bocah laki-laki piaraan warok. Gemblak menjadi ‘kawan intim’ sang warok.

Demikianlah cerita tentang warok dan gemblak kemudian mengisi hampir separoh halaman novel ini. Lewat tokoh ‘aku’ (Hargo) kita bisa mengikuti dengan jelas dunia warok dan per-gemblak-an. Tak lain karena Hargo seorang bocah yang dijadikan gemblak oleh warok paling terkenal di wilayah bekas kerajaan Wengker: Eyang Tejowulan. Meskipun sang Eyang punya istri, Nyi Tejo atau Eyang Putri, dan Hargo pun punya orang tua. Ini menunjukkan bahwa dunia gemblak memiliki kultur sendiri yang ‘sah’ karena semua berlangsung ‘sepengetahuan’ ayah, ibu, istri dan anggota masyarakat semua. Bahkan tidak jarang prosesi lamaran seorang gemblak dilaksanakan secara besar-besaran.

Tentu saja ‘bayaran’ yang diperoleh secara sosial bukan hanya benda-benda pinangan itu, namun juga kehormatan dan lebih jauh pengetahuan dan ‘kesaktian’ warok yang biasanya diwariskan kepada si gemblak. Itulah sebabnya, sejarah dan mitologi, seni beladiri dan keterampilan menabuh jadi pelajaran setiap malam. Ia pun mengenal tokoh-tokoh Ki Ageng Mirah, Ki Ageng Kutu, Raden Patah, bahkan Soekarno. Meski prosesi ‘pinangan’ itu kadang berjalan tidak dalam keadaan ‘normal’: jika orang tua menolak lamaran warok, akibatnya bisa fatal. Termasuk istri warok yang memiliki nestapanya sendiri: cemburu, iri dan ingin hidup normal sebagaimana keluarga lain.

Nah, bagaimanakah memaknai ‘dunia jungkir-balik’ yang tak sesuai dengan kaidah masyarakat luas dan di luar standar moralitas umum itu? Sesuai hakikat sastra yang kaya interpretasi, dunia yang dihadirkan bukan untuk dinilai benar-salah atau hitam putihnya. Sejungkir-balik apa pun dunia yang dihadirkan, itulah realitas (budaya) kita, itulah dunia kita. Dan sastra merupakan medium paling ‘ideal’ untuk menghadirkan realitas itu, dengan segala keunikan yang tak bertara, sebab sejatinya ‘’sastra tidak bicara dengan bahasa langit, melainkan bahasa bumi.’’

Akan tetapi, cerita akan menjadi lain jika keunikan budaya dengan segala nilai-nilai ‘alternatif’-nya itu hanya disajikan sebatas permukaan, sebatas eksotisme banal (di ruang manakah interpretasi harus ditempatkan?). Dan lebih parah lagi jika keunikan itu dieksploitasi secara salah kaprah sehingga ‘’dunia jungkir-balik sastra’’ dijadikan medium buat beraneh-aneh, akrobatik bahasa dan berisi serba sensasi.

Sampai di sini, tanggung jawab mesti bicara.

*) Raudal Tanjung Banua, Redaktur Jurnal Cerpen Indonesia, tinggal di Jogjakarta.
Dijumput dari: http://cabiklunik.blogspot.com/2013/03/memaknai-keunikan-budaya-dalam-sastra.html

Tidak ada komentar:

Label

`Atiqurrahman A Muttaqin A Rodhi Murtadho A. Iwan Kapit A. Purwantara A. Qorib Hidayatullah A. Zakky Zulhazmi A.H.J Khuzaini A.S. Laksana Aang Fatihul Islam Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi WM Abdul Kadir Ibrahim Abdul Lathief Abdul Malik Abdul Wachid B.S. Abdurrahman El Husaini Abidah El Khalieqy Abu Salman Acep Zamzam Noor Achdiat K. Mihardja Adek Alwi Adi Suhara Adnyana Ole Adreas Anggit W. Afrion Afrizal Malna Aguk Irawan MN Agung Dwi Ertato Agus B. Harianto Agus Buchori Agus Himawan Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sulton Agusri Junaidi Agustinus Wahyono Ahda Imran Ahmad Badrus Sholihin Ahmad Fanani Mosah Ahmad Fatoni Ahmad Ikhwan Susilo Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musabbih Ahmad Rofiq Ahmad Sahidah Ahmad Tohari Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sekhu Alex R. Nainggolan Alex Suban Alunk Estohank Ami Herman Amien Kamil Amien Wangsitalaja Aminudin R Wangsitalaja Anastasya Andriarti Andreas Maryoto Anes Prabu Sadjarwo Angela Angga Wijaya Angkie Yudistia Anindita S Thayf Anis Ceha Anjrah Lelono Broto Anton Kurnia Anton Kurniawan Anton Wahyudi Anugrah Gio Pratama Anwar Nuris Aprinus Salam Arie MP Tamba Arif B. Prasetyo Arif Bagus Prasetyo Arif Hidayat Arman A.Z. Arti Bumi Intaran Arys Hilman AS Sumbawi Asarpin Asef Umar Fakhruddin Asep Sambodja Asrama Mahasiswa Aceh SABENA Astrikusuma Asvi Warman Adam Atep Kurnia Awalludin GD Mualif Aziz Abdul Gofar Azizah Hefni Badrut Tamam Gaffas Bagja Hidayat Bagus Takwin Balada Bale Aksara Baltasar Koi Bambang Agung Bambang Kempling Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Bayu Insani Beni Setia Benny Arnas Benny Benke Berita Berita Duka Berita Utama Bernando J. Sujibto Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Blambangan Brunel University London BSW Adjikoesoemo Budaya Budhi Setyawan Budi Darma Budi Saputra Budi Suwarna Bung Tomo Cak Kandar Catatan Cerpen Chairil Anwar Chavchay Syaifullah Cucuk Espe Cunong N. Suraja D. Zawawi Imron Dadang Ari Murtono Daisuke Miyoshi Damanhuri Damhuri Muhammad Damiri Mahmud Danarto Daniel Dhakidae Dante Alighieri Deddy Arsya Dedy Tri Riyadi Denny Mizhar Deny Tri Aryanti Detti Febrina Dharmadi Diah Hadaning Dian Hartati Dian Sukarno Diana A.V. Sasa Dicky Fadiar Djuhud Didi Arsandi Dimas Dina Oktaviani Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Djadjat Sudradjat Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Doddy Hidayatullah Donny Anggoro Dony P. Herwanto Dorothea Rosa Herliany Dr. Muhammad Zafar Iqbal Dr. Simuh Dwi Arjanto Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwicipta Dwijo Maksum Edy A. Effendi Edy Firmansyah Efri Ritonga Egidius Patnistik Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Hendri Saiful Elik Elsya Crownia Emha Ainun Nadjib Endah Sulawesi Endah Wahyuningsih Endang Suryadinata Endhiq Anang P Endri Y Eriyandi Budiman Ernest Hemingway Esai Esha Tegar Putra Eva Dwi Kurniawan Evi Dana Setia Ningrum Evi Idawati Evieta Fadjar F Rahardi Fabiola D. Kurnia Fadelan Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Faisal Kamandobat Faisal Syahreza Faizal Syahreza Fajar Alayubi Fandy Hutari Fany Chotimah Fatah Yasin Noor Fathor Lt Fathurrahman Karyadi Fatih Kudus Jaelani Fatma Dwi Rachmawati Fauzi Absal Festival Sastra Gresik Fikri. MS Fina Sato Fitri Susila Galih Pandu Adi Gde Agung Lontar Geger Riyanto Gerakan Literasi Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Ginanjar Rahadian Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gunoto Saparie Gus Martin Gus tf Sakai Gusti Eka Hadi Napster Haji Misbach Halim HD Halimi Zuhdy Hamberan Syahbana Hamdy Salad Han Gagas Handoko F. Zainsam Hari Santoso Haris del Hakim Hartono Harimurti Hary B. Kori’un Hasan Gauk Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Helwatin Najwa Hepi Andi Bastoni Heri C Santoso Heri KLM Heri Latief Heri Listianto Hermien Y. Kleden Hernadi Tanzil Heru Emka Heru Kurniawan Heru Prasetya Hesti Sartika Hudan Hidayat Humaidiy AS I Made Asdhiana I Made Prabaswara I Nyoman Suaka IBM. Dharma Palguna Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Ida Ahdiah Idayati Ignas Kleden Ihsan Taufik Ilenk Rembulan Ilham Khoiri Ilham Yusardi Imam Cahyono Imam Jahrudin Priyanto Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indah Darmastuti Indiar Manggara Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indrian Koto Irma Safitri Irman Syah Iskandar Noe Istiqomatul Hayati Ita Siregar Iwan Kurniawan Iwan Nurdaya-Djafar Iyut FItra Jadid Al Farisy Jafar M. Sidik Jakob Sumardjo Jamal D Rahman Janual Aidi Javed Paul Syatha Jayaning S.A Jefri al Malay Jihan Fauziah JJ. Kusni Jo Pakagula Johan Edy Raharjo Joko Pinurbo Jokowi Undercover Joni Ariadinata Joss Wibisono Jual Buku Paket Hemat Judyane Koz Juli Sastrawan Junaidi Abdul Munif Jusuf AN Juwairiyah Mawardy Kadir Ruslan Kasnadi Katrin Bandel Kedung Darma Romansha Khairul Mufid Jr Khamami Zada Khrisna Pabichara Kikin Kuswandi Koh Young Hun Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Komunitas Sastra Ilalang Indonesia (KSII) Korrie Layun Rampan Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan) Kristianto Batuadji Kritik Sastra Kunni Masrohanti Kunthi Hastorini Kuntowijoyo Kurie Suditomo Kurnia EF Kurniawan Kuswaidi Syafi'ie Kuswinarto Lan Fang Landung Rusyanto Simatupang Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Liestyo Ambarwati Khohar Linda Sarmili Liston P. Siregar Liza Wahyuninto LN Idayanie Lucia Idayani Lukman Asya Lusiana Indriasari Lynglieastrid Isabellita M Hari Atmoko M. Aan Mansyur M. Arman A.Z M. Bagus Pribadi M. Fadjroel Rachman M. Harya Ramdhoni Julizarsyah M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S M. Luthfi Aziz M. Nahdiansyah Abdi M. Raudah Jambak M. Shoim Anwar M. Yoesoef M.D. Atmaja Maghfur Saan Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Majalah Sastra Horison Maklumat Sastra Profetik Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Serenade Sinurat Mario F. Lawi Marluwi Marsel Robot Martin Aleida Martin Suryajaya Mashuri Matdon Mega Vristian Melani Budianta Melayu Riau Memoar MG. Sungatno Mh Zaelani Tammaka Miftah Fadhli Miftahul Abrori Misbahus Surur Miziansyah J Mochtar Lubis Mohamad Ali Hisyam Mohammad Eri Irawan MT Arifin Mugy Riskiana Halalia Muhajir Arrosyid Muhamad Rifai Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Al-Mubassyir Muhammad Qodari Muhammad Rain Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun A.S Muhidin M. Dahlan Muhlis Al-Firmany Mujtahid Mulyadi SA Munawir Aziz Murniati Tanjung Murnierida Pram Musa Ismail Musfi Efrizal Mustaan Mustafa Ismail N. Mursidi Nafsul Latifah Naskah Teater Nasrullah Nara Nelson Alwi Nenden Lilis A Nh. Anfalah Ni Made Purnama Sari Nina Mussolini-Hansson Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Noura Nova Christina Noval Jubbek Novela Nian Nugroho Notosusanto Nugroho Pandhu Sukmono Nur Faizah Nurdin F. Joes Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nurul Komariyah Nuryana Asmaudi SA Nyoman Tusthi Eddy Nyoman Wirata Oka Rusmini Oktamandjaya Wiguna Oky Sanjaya Olanama Olivia Kristina Sinaga Otto Sukatno CR Pagelaran Musim Tandur Pamusuk Eneste Patricia Pawestri PDS H.B. Jassin PDS. H.B. Jassin Penghargaan Hadiah Sastra Pusat Bahasa Persda Network Pipiet Senja Pramoedya Ananta Toer Pramono Pranita Dewi Pringadi AS Prita Daneswari Prof. Tamim Pardede sebut Bambang Tri Prosa Pudyo Saptono Puisi Puisi Kesunyian Puisi Sufi Puji Santosa PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Wijaya Qaris Tajudin R. Sugiarti Rachmad Djoko Pradopo Radhar Panca Dahana Ragdi F. Daye Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Ramadhan Batubara Ramadhan KH Ratih Kumala Ratna Indraswari Ibrahim Ratna Sarumpaet Raudal Tanjung Banua Remy Sylado Reni Susanti Renny Meita Widjajanti Resensi Restu Kurniawan Retno Sulistyowati RF. Dhonna Rian Sindu Ribut Wijoto Ridwan Munawwar Riki Utomi Riris K. Toha-Sarumpaet Risang Anom Pujayanto Riza Multazam Luthfy Robin Al Kautsar Rodli TL Rofiqi Hasan Rohman Abdullah Rosidi Rosihan Anwar Rukardi S Yoga S. Jai S. Sinansari Ecip S.I. Poeradisastra S.W. Teofani Sabam Siagian Sabrank Suparno Saiful Anam Assyaibani Sainul Hermawan Sajak Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sanggar Rumah Ilalang Sanggar Teater Jerit Sapardi Djoko Damono Sartika Dian Sartika Dian Nuraini Sastra Tanah Air Sastra Using Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sayyid Fahmi Alathas Sazano Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo Seli Desmiarti Selo Soemardjan Senggrutu Singomenggolo Seno Joko Suyono SH Mintardja Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sipri Senda Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Sobih Adnan Sofian Dwi Sofie Dewayani Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sri Ruwanti Sri Wintala Achmad St Sularto Stefanus P. Elu Sukron Abdilah Sulaiman Djaya Suminto A. Sayuti Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sungging Raga Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Suryansyah Suryanto Sastroatmodjo Susanto Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suyadi Suyadi San Syaifuddin Gani Syaiful Amin Syamsiar Hidayah Syarbaini Syifa Amori Syifa Aulia Tajuddin Noor Ganie Taufik Abdullah Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat TE. Priyono Teguh Afandi Teguh Ranusastra Asmara Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Theresia Purbandini Tita Tjindarbumi Titik Alva-Alvi Choiriyah Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tjoet Nyak Dhien Tosa Poetra Tri Lestari Sustiyana Triyanto Triwikromo TS Pinang Tu-ngang Iskandar Tulus S Tulus Wijanarko Udo Z. Karzi Ugoran Prasad Umar Fauzi Ballah Umar Kayam Umbu Landu Paranggi Universitas Indonesia Universitas Jember Utada Kamaru UU Hamidy Vera Ernawati Veronika Ninik W.S. Rendra Wahjudi Djaja Wahyu Hidayat Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Budiartha Widya Karima Wijaya Herlambang Wiji Thukul Willem B Berybe Wilson Nadeak Winarni R. Wiratmo Soekito Wita Lestari Wiwik Widayaningtias Y. Thendra BP Y. Wibowo Yasser Arafat Yeni Ratnaningsih Yohanes Sehandi Yonatan Raharjo Yonathan Rahardjo Yopi Setia Umbara Yos Rizal S Yos Rizal Suriaji Yudhi Herwibowo Yuka Fainka Putra Yurnaldi Yushifull Ilmy Yusri Fajar Yusuf Suharto Zainal Abidin Zainal Arifin Thoha Zawawi Se Zen Hae