Minggu, 30 Juni 2013

S Jai Menangi Lomba Novel Etnografis

Reporter: Ribut Wijoto
beritajatim.com 22 Mei 2013

Novel Kumara, Hikayat Sang Kekasih karya S Jai memenangi lomba novel etnografis yang diselenggarakan Dewan Kesenian Jawa Timur pada 2013 ini.

Novel yang bertutur tentang spirit hidup sosok-sosok pribadi masyarakat kecil di pelosok desa di Jawa —tepatnya di sebuah dusun di Kediri— dalam menghadapi gerak pergeseran, pergesekan dan perubahan zaman tersebut terpilih sebagai satu-satunya pemenang, oleh juri sastrawan Beni Setia, M Shoim Anwar dan S. Yoga.
S Jai, pengarang yang memenangi lomba ini, sebelumnya juga dikenal penulis sejumlah novel; Tanah Api (LkiS 2005), Tanha (Jogja Media Utama 2011) dan Khutbah di Bawah Lembah (Najah 2012). Pria yang tinggal di Desa Munungrejo Kecamatan Ngimbang Lamongan ini, sehari-harinya juga bekerja pada Women and Youth Development Institute of Indonesia.

Kepada beritajatim.com pengarang kelahiran Kediri 4 Pebruari 1973 ini mengatakan bahwa berita kemenangannya itu diterima melalui surat pemberitahuan pada 20 Mei lalu.

Biografi dan Kekuasaan Danyang Desa

“Saya menulis novel ini sebetulnya saya maksudkan sebagai tulisan biografi—riwayat banyak orang. Namun sebagai bentuk sastra, saya menggunakan prespektif (sudut pandang) danyang desa,” tutur pengarang yang juga kelahiran Kediri, 4 Pebruari 1973 ini.

Novel terbarunya ini, katanya, terinspirasi dari satu istilah dalam buku Clifford Geertz, Abangan, Santri, Priyayi Dalam Masyarakat Jawa: Kumara. Meski banyak sekali menuai kritik dan ditolak, namun buku itu menyimpan kekayaan budaya menjadi sumber ilham yang tak habis-habisnya.

“Sudut pandang kumara saya gali dari sana. Kumara adalah wilayah kekuasaan danyang desa. Kumara juga berarti suara yang tiba-tiba muncul dari ketiadaan. Dalam tradisi Hindu, Kumara adalah Sanghyang Kumara, Dewa Pelindung Bayi —salah satu putra Dewa Siwa,” ungkap sarjana bidang studi Sastra Indonesia dari FISIP Unair tersebut.

Dikatakannya, sebagai karya yang memuat banyak sekali biografi—yang oleh orang Jawa kerap disebut ‘sejarah’ itu—Jai banyak sekali menggali tokoh-tokohnya dengan wawancara banyak orang.

“Mereka adalah para penduduk sekitar Pabrik Gula Ngadirejo dan para mantan buruh yang sebagian besar telah berumur senja. Atas kenangannya sekalipun itu getir namun menerima lapang dada pertanyaan-pertanyaan tajam saya,” papar Jai.

Di mata Jai, tokoh-tokoh dalam novel Kumara, adalah orang-orang yang berjibaku dalam pergulatan selaku pribadi-pribadi masyarakat kecil yang keukeuh pada daya budi hasil peradaban Jawa dan yang telanjur diuntai dengan tali secara keliru ke dalam pentahapan mistis yang irrasional.

Bukan hanya itu. Bahkan mereka jugalah yang berkumpar pada keteguhannya dengan kultur Jawa rendahan yang mengukuhkan kebudayaannya, yang secara religi dimaknai stupid vainglory dengan istilah Abangan oleh sederet sarjana terkemuka —termasuk oleh Geertz.

“Saya merasa agak beruntung berkenalan dengan karya Umar Kayam, Para Priyayi yang mencoba mengurai kembali gerak lembut tranformasi kaum priyayi ke dalam novel itu. Dan inilah yang memantik saya menulis novel Kumara. Saya mengambil jalan yang lain: maka Kumara dari saya adalah sebentuk pledoi pribadi-pribadi masyarakat kecil dengan kultur Jawa rendahan yang sadar betul bagaimana mempertahankan, betapa berharganya hidup bagi semesta,” terang pria yang juga dikenal dramawan tersebut.

Keberanian Memasuki Sejarah Kelam

Sebagai konsekuensi dari ‘jalan lain’ yang ditempuhnya itu, lanjut Jai, dirinya mengumpulkan keberanian memasuki wilayah yang selama ini absen dalam sastra maupun sejarah. Atau setidaknya berlanjut dalam kontroversi. Yakni sejarah kelam 1965, misalnya.

“Pada novel saya ini, saya tak bicara tentang jargon kemanusiaan atas peristiwa itu sebagaimana yang banyak tampil dalam sastra, apalagi yang berbaris-bergerombol memafhumi pembunuhan sembari bersembunyi, menghibur diri dengan alasan kemanusiaan tersebut. Melainkan, saya bicara tentang fakta. Tepatnya berpihak pada korban yang tak kuasa menolak, apalagi mengutuk pembunuhan itu, atau sembunyi atas nama apapun dari takdirnya,” tandas pria yang beberapa saat lalu juga memenangkan sayembara Cerita Panji yang diselenggarakan Dewan Kesenian Jawa Timur dan Dewan Kesenian Jombang.

Jai mencontohkan, apa yang dilakukan Umar Kayam melalui tokoh Sri dalam Sri Sumarah, sesungguhnya telah tumbuh kepeduliannya pada perempuan ‘abangan.’ Namun demikian Umar Kayam tidak melakukan beberapa hal yang Jai sebut belakangan: tentang kepedulian pada korban dan absennya alasan kemanusiaan —yang kehadirannya justru seringkali untuk menyembunyikan diri karena mengamini pembunuhan.

“Nah, pada Kumara, saya tampilkan bagaimana kekuatan daya budi para perempuan yang tak mau kalah dari kepintaran kaumnya yang telah memilih membiakkan kecerdasannya menjadi anggota Gerwani, atau para pemuda yang menebar benih kritisnya dengan tergabung dalam Pemuda Rakyat,” ujar ayah dari Raushan Damir, Kasyful Kanzan Makhfi dan Zahra Ulayya Mahjati ini.

Menurut pengakuan Jai, sebagai sebuah karya yang dimaksudkan selaku biografi, dalam penulisan novel Kumara ini dirinya berutang budi pada Pipit Rochijat —seorang nasionalis Indonesia yang sejak 1972 “mengasingkan diri” ke Berlin Barat— yang dengan sabar berbagi cerita, menyerahkan sebagian pengalaman hidupnya, menjawab surat-suratnya, memasrahkan data, catatan harian serta dokumen-dokumen tua untuk memperkaya pengetahuan menulis cerita ini.

Bukan hanya itu, bahkan Pipit Rochijat merelakan sebagian kehidupan keluarganya pada tahun-tahun itu ditelisik untuk memperkaya tulisan Jai. Bahkan dari pria itu, Jai mendapatkan transkrip wawancara intelektual Arief W Djati dengan ayahanda Pipit Rochijat, Kartawidjaya, mantan Direktur PG Ngadirejo seputar peristiwa G-30-S di Kediri.

“Begitulah Kumara saya tulis saya maksudkan untuk dokumentasi sejarah mental, sekaligus demi rekonsiliasi dalam alam kesadaran bahwa kebudayaan tidak berdiri di atas satu kaki alam pikiran rasional atau alam pikiran mistis saja. Bahwa mitos bisa bermula dari apa saja—tak terkecuali dari pikiran manusia,” tandas Jai.

Kesaksian Leluhur Kampung

Dikisahkan dalam novel Kumara, empat orang anak, tiga diantaranya perempuan, Surat, Suratemi, Markonah dan Marsitun ditinggal bapaknya mati muda. Mereka kemudian diasuh oleh ibunya, Tukinem dan tinggal serumah dengan kakeknya, Man To Karso, yang beristri seorang perempuan pawang hujan.

Anak-anak itu tumbuh besar juga oleh doa dan restu dari leluhurnya yang berdiam di punden kampung Mbah Singa Maya dan Mbok Putri Ambar Sari. Kakek Man To Karso dan Nenek Nyi Tuk —tukang talang hujan itulah- yang berpengaruh besar dalam keyakinan hidup mereka.

Surat tumbuh menjadi laki-laki dusun yang mengurus diri berkat kekuasaan yang ada padanya. Marsitun melarikan diri dari kebusukan suaminya, dengan merantau ke Sumatera. Sementara Suratemi dinikahi Satijo, mandor tebu Pabrik Gula Ngadirejo yang suka main perempuan. Sedangkan Markonah menikah dengan Ngali, pria tetangganya yang kemudian bersama-sama merantau sebagai pedagang di dekat Jengkol.

Novel ini berkisah seputar kehidupan mereka dan anak-anak turun mereka, sekaligus sebuah kesaksian leluhur Mbah Singa Maya —pelindung seluruh warga dusunnya.

Para Korban G 30 S yang Selamat

Ketika geger Gestok, Markonah harus terus menerus menyembunyikan Ngali agar lolos dari para pemburu yang haus darah dan nyawa. Sementara Suratemi harus terus bertahan dengan penderitaan batin karena perilaku sewena-wena suaminya, sebelum kemudian memilih tidak lagi sudi hidup bersama. Di sisi lain, ia terus memikirkan anak tirinya yang mondok di pesantren Kiai Jauhari sebelum pecah peristiwa Kanigoro.

Adik Ngali, Sumiatun yang bersuamikan Sajuri, Juru Tulis Pabrik Gula PG Ngadirejo tak bisa melahirkan seorang anak pun. Karena itu keduanya sepakat untuk mengadopsi salah seorang anak Markonah yang masih berusia 3 bulan. Penyerahan bayi lelaki yang kemudian bernama Supriyadi itu terjadi beberapa hari sebelum meletusnya peristiwa Gestok.

Perang saudara tahun 1965 itu ternyata menyibukkan Pak Karta —seorang lelaki beristerikan perempuan keturunan priyayi, Raden Rara Moendjijah Martosoebroto— yang saat itu menjabat direktur Pabrik Gula PG Ngadirejo— atasan Sajuri. Sejak belasan tahun lamanya sebelum pecah perang saudara itu, Pak Karta terus diserang dan dibenci kaum komunis, bahkan menjadi musuh utama sejak peristiwa Jengkol. Namun pada saat geger Gestok, justru Pak Karta melakukan pelbagai cara untuk melindungi kaum komunis demi kelangsungan perusahaannya, dan tentu saja atas nama kemanusiaan. Karena sebagian besar karyawan Pak Karta adalah anggota Serikat Buruh Gula—organisasi buruh di bawah PKI, jelas bila mereka semua dikirim ke ‘sukabumi’, maka bongkorlah perusahaannya itu. Pak Karta menyembunyikan mereka di dalam pabrik selama kekacauan politik waktu itu. Termasuk Sajuri.

Sajuri pun yang telah bekerja belasan tahun lamanya pada perusahaan negara itu, bertahun kemudian terkena pembersihan alias skrining yang berdampak pada kehidupan pribadi dan tentu pada masa depan anak angkatnya, Supriyadi. Walau demikian Sajuri menempuh jalan hidup yang tak biasa. Sajuri menjadi petani penggarap yang punya lahan sawah dan tegal cukup luas. Ia malah sempat mempekerjakan Ngali, memulangkan Markonah dan anak-anaknya ke kampung. Bahkan Sajuri bertahun kemudian justru menikahkan Supriyadi dengan Yatim Muhaeni, seorang gadis yang bapaknya menjadi korban 1965 karena salah seorang Ketua BTI.

Keluarga Supriyadi mewarisi kehidupan yang tidak kalah pelik dari Sajuri, walau zaman telah berubah. Mereka terus hidup dalam rasa takut. Bahkan hingga anak-anak mereka tumbuh dewasa. Ketika Palupi, anak gadisnya mengurus pernikahannya dengan pria asal Korea Selatan bernama Young Sub Shin, di depan pejabat pemerintah, bayang-bayang ketakutan itu terus membayangi. Sebagai orangtua dari anak-anak yang ingin hidupnya bahagia, Supriyadi dan Yatim Muhaeni merasa dipersulit.

Meski demikian, betapa pun sulit hidupnya, mereka semua menyakini leluhur Mbah Singa Maya dan Mbok Putri Ambar Sari senantiasa bersama —melindungi dan memberi restu jalan hidupnya.

Kini, Markonah, Suratemi, Sajuri telah benar-benar tua. Usianya dimakan pergerakan zaman. Yang bisa dilakukan hanyalah menyaksikan jalan hidup yang ditempuh anak turun mereka pada hari ini sebagai pewaris zaman —dalam lintasan keangkuhan atau kerendahhatiannya, pasang surutnya pergeserannya juga ketegangan serta kelembutan perubahan padanya.

Mereka semua telah betul-betul menyakini, hari ini adalah masa depannya, juga masa depan anak-anak mereka. [but]
Dijumput dari: http://www.beritajatim.com/detailnews.php/2/gaya_hidup/2013-05-22/172421/S_Jai_Menangi_Lomba_Novel_Etnografis

Tidak ada komentar:

Label

`Atiqurrahman A Muttaqin A Rodhi Murtadho A. Iwan Kapit A. Purwantara A. Qorib Hidayatullah A. Zakky Zulhazmi A.H.J Khuzaini A.S. Laksana Aang Fatihul Islam Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi WM Abdul Kadir Ibrahim Abdul Lathief Abdul Malik Abdul Wachid B.S. Abdurrahman El Husaini Abidah El Khalieqy Abu Salman Acep Zamzam Noor Achdiat K. Mihardja Adek Alwi Adi Suhara Adnyana Ole Adreas Anggit W. Afrion Afrizal Malna Aguk Irawan MN Agung Dwi Ertato Agus B. Harianto Agus Buchori Agus Himawan Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sulton Agusri Junaidi Agustinus Wahyono Ahda Imran Ahmad Badrus Sholihin Ahmad Fanani Mosah Ahmad Fatoni Ahmad Ikhwan Susilo Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musabbih Ahmad Rofiq Ahmad Sahidah Ahmad Tohari Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sekhu Alex R. Nainggolan Alex Suban Alunk Estohank Ami Herman Amien Kamil Amien Wangsitalaja Aminudin R Wangsitalaja Anastasya Andriarti Andreas Maryoto Anes Prabu Sadjarwo Angela Angga Wijaya Angkie Yudistia Anindita S Thayf Anis Ceha Anjrah Lelono Broto Anton Kurnia Anton Kurniawan Anton Wahyudi Anugrah Gio Pratama Anwar Nuris Aprinus Salam Arie MP Tamba Arif B. Prasetyo Arif Bagus Prasetyo Arif Hidayat Arman A.Z. Arti Bumi Intaran Arys Hilman AS Sumbawi Asarpin Asef Umar Fakhruddin Asep Sambodja Asrama Mahasiswa Aceh SABENA Astrikusuma Asvi Warman Adam Atep Kurnia Awalludin GD Mualif Aziz Abdul Gofar Azizah Hefni Badrut Tamam Gaffas Bagja Hidayat Bagus Takwin Balada Bale Aksara Baltasar Koi Bambang Agung Bambang Kempling Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Bayu Insani Beni Setia Benny Arnas Benny Benke Berita Berita Duka Berita Utama Bernando J. Sujibto Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Blambangan Brunel University London BSW Adjikoesoemo Budaya Budhi Setyawan Budi Darma Budi Saputra Budi Suwarna Bung Tomo Cak Kandar Catatan Cerpen Chairil Anwar Chavchay Syaifullah Cucuk Espe Cunong N. Suraja D. Zawawi Imron Dadang Ari Murtono Daisuke Miyoshi Damanhuri Damhuri Muhammad Damiri Mahmud Danarto Daniel Dhakidae Dante Alighieri Deddy Arsya Dedy Tri Riyadi Denny Mizhar Deny Tri Aryanti Detti Febrina Dharmadi Diah Hadaning Dian Hartati Dian Sukarno Diana A.V. Sasa Dicky Fadiar Djuhud Didi Arsandi Dimas Dina Oktaviani Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Djadjat Sudradjat Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Doddy Hidayatullah Donny Anggoro Dony P. Herwanto Dorothea Rosa Herliany Dr. Muhammad Zafar Iqbal Dr. Simuh Dwi Arjanto Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwicipta Dwijo Maksum Edy A. Effendi Edy Firmansyah Efri Ritonga Egidius Patnistik Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Hendri Saiful Elik Elsya Crownia Emha Ainun Nadjib Endah Sulawesi Endah Wahyuningsih Endang Suryadinata Endhiq Anang P Endri Y Eriyandi Budiman Ernest Hemingway Esai Esha Tegar Putra Eva Dwi Kurniawan Evi Dana Setia Ningrum Evi Idawati Evieta Fadjar F Rahardi Fabiola D. Kurnia Fadelan Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Faisal Kamandobat Faisal Syahreza Faizal Syahreza Fajar Alayubi Fandy Hutari Fany Chotimah Fatah Yasin Noor Fathor Lt Fathurrahman Karyadi Fatih Kudus Jaelani Fatma Dwi Rachmawati Fauzi Absal Festival Sastra Gresik Fikri. MS Fina Sato Fitri Susila Galih Pandu Adi Gde Agung Lontar Geger Riyanto Gerakan Literasi Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Ginanjar Rahadian Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gunoto Saparie Gus Martin Gus tf Sakai Gusti Eka Hadi Napster Haji Misbach Halim HD Halimi Zuhdy Hamberan Syahbana Hamdy Salad Han Gagas Handoko F. Zainsam Hari Santoso Haris del Hakim Hartono Harimurti Hary B. Kori’un Hasan Gauk Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Helwatin Najwa Hepi Andi Bastoni Heri C Santoso Heri KLM Heri Latief Heri Listianto Hermien Y. Kleden Hernadi Tanzil Heru Emka Heru Kurniawan Heru Prasetya Hesti Sartika Hudan Hidayat Humaidiy AS I Made Asdhiana I Made Prabaswara I Nyoman Suaka IBM. Dharma Palguna Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Ida Ahdiah Idayati Ignas Kleden Ihsan Taufik Ilenk Rembulan Ilham Khoiri Ilham Yusardi Imam Cahyono Imam Jahrudin Priyanto Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indah Darmastuti Indiar Manggara Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indrian Koto Irma Safitri Irman Syah Iskandar Noe Istiqomatul Hayati Ita Siregar Iwan Kurniawan Iwan Nurdaya-Djafar Iyut FItra Jadid Al Farisy Jafar M. Sidik Jakob Sumardjo Jamal D Rahman Janual Aidi Javed Paul Syatha Jayaning S.A Jefri al Malay Jihan Fauziah JJ. Kusni Jo Pakagula Johan Edy Raharjo Joko Pinurbo Jokowi Undercover Joni Ariadinata Joss Wibisono Jual Buku Paket Hemat Judyane Koz Juli Sastrawan Junaidi Abdul Munif Jusuf AN Juwairiyah Mawardy Kadir Ruslan Kasnadi Katrin Bandel Kedung Darma Romansha Khairul Mufid Jr Khamami Zada Khrisna Pabichara Kikin Kuswandi Koh Young Hun Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Komunitas Sastra Ilalang Indonesia (KSII) Korrie Layun Rampan Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan) Kristianto Batuadji Kritik Sastra Kunni Masrohanti Kunthi Hastorini Kuntowijoyo Kurie Suditomo Kurnia EF Kurniawan Kuswaidi Syafi'ie Kuswinarto Lan Fang Landung Rusyanto Simatupang Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Liestyo Ambarwati Khohar Linda Sarmili Liston P. Siregar Liza Wahyuninto LN Idayanie Lucia Idayani Lukman Asya Lusiana Indriasari Lynglieastrid Isabellita M Hari Atmoko M. Aan Mansyur M. Arman A.Z M. Bagus Pribadi M. Fadjroel Rachman M. Harya Ramdhoni Julizarsyah M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S M. Luthfi Aziz M. Nahdiansyah Abdi M. Raudah Jambak M. Shoim Anwar M. Yoesoef M.D. Atmaja Maghfur Saan Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Majalah Sastra Horison Maklumat Sastra Profetik Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Serenade Sinurat Mario F. Lawi Marluwi Marsel Robot Martin Aleida Martin Suryajaya Mashuri Matdon Mega Vristian Melani Budianta Melayu Riau Memoar MG. Sungatno Mh Zaelani Tammaka Miftah Fadhli Miftahul Abrori Misbahus Surur Miziansyah J Mochtar Lubis Mohamad Ali Hisyam Mohammad Eri Irawan MT Arifin Mugy Riskiana Halalia Muhajir Arrosyid Muhamad Rifai Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Al-Mubassyir Muhammad Qodari Muhammad Rain Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun A.S Muhidin M. Dahlan Muhlis Al-Firmany Mujtahid Mulyadi SA Munawir Aziz Murniati Tanjung Murnierida Pram Musa Ismail Musfi Efrizal Mustaan Mustafa Ismail N. Mursidi Nafsul Latifah Naskah Teater Nasrullah Nara Nelson Alwi Nenden Lilis A Nh. Anfalah Ni Made Purnama Sari Nina Mussolini-Hansson Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Noura Nova Christina Noval Jubbek Novela Nian Nugroho Notosusanto Nugroho Pandhu Sukmono Nur Faizah Nurdin F. Joes Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nurul Komariyah Nuryana Asmaudi SA Nyoman Tusthi Eddy Nyoman Wirata Oka Rusmini Oktamandjaya Wiguna Oky Sanjaya Olanama Olivia Kristina Sinaga Otto Sukatno CR Pagelaran Musim Tandur Pamusuk Eneste Patricia Pawestri PDS H.B. Jassin PDS. H.B. Jassin Penghargaan Hadiah Sastra Pusat Bahasa Persda Network Pipiet Senja Pramoedya Ananta Toer Pramono Pranita Dewi Pringadi AS Prita Daneswari Prof. Tamim Pardede sebut Bambang Tri Prosa Pudyo Saptono Puisi Puisi Kesunyian Puisi Sufi Puji Santosa PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Wijaya Qaris Tajudin R. Sugiarti Rachmad Djoko Pradopo Radhar Panca Dahana Ragdi F. Daye Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Ramadhan Batubara Ramadhan KH Ratih Kumala Ratna Indraswari Ibrahim Ratna Sarumpaet Raudal Tanjung Banua Remy Sylado Reni Susanti Renny Meita Widjajanti Resensi Restu Kurniawan Retno Sulistyowati RF. Dhonna Rian Sindu Ribut Wijoto Ridwan Munawwar Riki Utomi Riris K. Toha-Sarumpaet Risang Anom Pujayanto Riza Multazam Luthfy Robin Al Kautsar Rodli TL Rofiqi Hasan Rohman Abdullah Rosidi Rosihan Anwar Rukardi S Yoga S. Jai S. Sinansari Ecip S.I. Poeradisastra S.W. Teofani Sabam Siagian Sabrank Suparno Saiful Anam Assyaibani Sainul Hermawan Sajak Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sanggar Rumah Ilalang Sanggar Teater Jerit Sapardi Djoko Damono Sartika Dian Sartika Dian Nuraini Sastra Tanah Air Sastra Using Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sayyid Fahmi Alathas Sazano Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo Seli Desmiarti Selo Soemardjan Senggrutu Singomenggolo Seno Joko Suyono SH Mintardja Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sipri Senda Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Sobih Adnan Sofian Dwi Sofie Dewayani Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sri Ruwanti Sri Wintala Achmad St Sularto Stefanus P. Elu Sukron Abdilah Sulaiman Djaya Suminto A. Sayuti Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sungging Raga Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Suryansyah Suryanto Sastroatmodjo Susanto Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suyadi Suyadi San Syaifuddin Gani Syaiful Amin Syamsiar Hidayah Syarbaini Syifa Amori Syifa Aulia Tajuddin Noor Ganie Taufik Abdullah Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat TE. Priyono Teguh Afandi Teguh Ranusastra Asmara Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Theresia Purbandini Tita Tjindarbumi Titik Alva-Alvi Choiriyah Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tjoet Nyak Dhien Tosa Poetra Tri Lestari Sustiyana Triyanto Triwikromo TS Pinang Tu-ngang Iskandar Tulus S Tulus Wijanarko Udo Z. Karzi Ugoran Prasad Umar Fauzi Ballah Umar Kayam Umbu Landu Paranggi Universitas Indonesia Universitas Jember Utada Kamaru UU Hamidy Vera Ernawati Veronika Ninik W.S. Rendra Wahjudi Djaja Wahyu Hidayat Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Budiartha Widya Karima Wijaya Herlambang Wiji Thukul Willem B Berybe Wilson Nadeak Winarni R. Wiratmo Soekito Wita Lestari Wiwik Widayaningtias Y. Thendra BP Y. Wibowo Yasser Arafat Yeni Ratnaningsih Yohanes Sehandi Yonatan Raharjo Yonathan Rahardjo Yopi Setia Umbara Yos Rizal S Yos Rizal Suriaji Yudhi Herwibowo Yuka Fainka Putra Yurnaldi Yushifull Ilmy Yusri Fajar Yusuf Suharto Zainal Abidin Zainal Arifin Thoha Zawawi Se Zen Hae