Suminto A. Sayuti
http://mgmp1.wordpress.com
Sastra dan Nilai-nilai Kemanusiaan
Kegiatan terpenting dalam pelaksanaan pengajaran sastra di sekolah adalah usaha guru dalam mendorong para siswa agar mau, berani, dan mampu menyatakan diri dalam berbagai bentuk ekspresi sastra: siswa didorong untuk mengekspresikan diri seluas-luasnya. Sebagai salah satu bagian kebudayaan, sastra sudah ada dalam perjalanan peradaban manusia.
Proses pendidikan, pengenalan, dan pemahaman terhadap sastra akan dapat memperkaya manusia sebagai pribadi dalam sebuah proses tegur sapa yang terus-menerus dengan dunia manusia dan kemanusiaan. Dalam kaitan ini, sastra berpotensi besar sebagai sumber nilai kebajikan, baik yang berkenaan dengan kebajikan religius maupun sosial, yang pada gilirannya berfungsi menyeimbangkan dimensi jasmaniah dan rohaniah dalam diri siswa. Kemampuan mengakrabkan diri dengan sastra pada gilirannya akan mengarahkan subjek-subjek yang terlibat di dalamnya memiliki kelembutan hati, ketajaman pikiran, dan kepekaan perasaan.
Sastra tidak pernah memberi arah kebenaran dan nilai secara langsung sebagaimana agama memberikannya dalam bentuk-bentuk ekspresi ritualistik. Akan tetapi, sastra mengandung kebenaran sebagaimana hakikat kebenaran dalam agama. Karenanya, oleh sebagian orang sastra diyakini sebagai jalan ketiga dalam mencari kebenaran setelah agama dan filsafat. Kesadaran manusia dalam beragama adalah untuk mencari kebenaran mutlak, sedangkan kesadaran manusia dalam sastra adalah untuk mencari keindahan yang diarahkan pada kepekaan budi. Sebagai produk kehidupan, sastra mengandung nilai-nilai sosial, filosofis, religius, dan nilai atau norma lainnya. Sebagai bentuk seni yang bersumber dari kehidupan yang bertata nilai, pada gilirannya sastra juga dapat dimanfaatkan untuk membentuk sikap dan kepribadian siswa dalam proses pendidikan. Dengan demikian, tata nilai yang ada dalam sastra dapat diberdayakan untuk lebih memperkaya pertumbuhan sikap dan perilaku positif pada diri siswa, dalam rangka membentuk karakter diri sebagai manusia yang menyadari eksistensi kemanusiaannya. Dengan demikian, potensi naluriah dan nuraniah diharapkan mampu tumbuh dan berkembang secara wajar dan seimbang.
Pada hakikatnya kehidupan merupakan sebuah keseluruhan. Di dalamnya, manusia terlibat dalam proses eksistensial: ada dan mengada, berikut segenap kehendak dan kecenderungannya, berikut perjuangan-perjuangannya melawan ancaman “neraka” buat mencapai “sorga.” Karenanya, kompleks eksistensial keseharian pun acapkali menjadi keruh tak terpecahkan dan penuh warna, yang dalam keseluruhannya menjadi sumur inspirasi kreatif sastra yang tak habis ditimba: organisasi sosial, moralitas, serta tradisi dan pengetahuan. Hanya saja, karakter kehidupan keseharian keseluruhan seringkali hilang dengan mudah, tak terbedakan, dan putus-putus, tidak demikian halnya dengan sastra. Dalam kekonkretannya, sastra memberi kenikmatan spiritual, memanjakan pancaindera, dan yang jelas: mampu mencukupi dirinya sendiri. Betapapun tak sempurna dan abstraknya, sastra selalu menghasilkan efek situasional melalui kaidah transformasi dan regulasi dalam dirinya sendiri, di samping karena bersumberkan pada hidup insani berikut pengalaman dan dorongan religius, sosial, dan personalnya.
Dalam kehidupan keseharian, tindakan, penunaian tugas, dan praksis yang paling sederhana pun selalu bergantung pada konsep keteraturan dan keseimbangan nilai, yang berasal dari berbagai sistem abstrak, yakni sistem yang darinya realitas keseharian itu diorganisasikan dan diregulasikan secara sistematik, baik secara sosial maupun moral. Oleh karena itu, dari waktu ke waktu, pada berbagai sisinya, tindakan dan pengalaman keseharian tersebut menunjukkan adanya beragam jejak abstraksi, generalisasi, dan tipifikasi pemikiran, padahal seharusnya tetap bersifat konkret, heterogen, dan partikular. Terlepas dari intrusi prinsip-prinsip kehidupan tersebut, sastra mampu dan berhasil memelihara heterogenitas dan partikularitas karena menolak adanya regulasi dan sistematisasi. Sebagai salah satu manifestasi kesadaran, sejak semula sastra memang melawan segala bentuk abstraksi karena abstraksi hampir selalu membuat sensitivitas menjadi majal. Dalam sastra, kesan sejati dan pengalaman nyata selalu diupayakan untuk menjadi objek visi secara langsung. Oleh karena itu, pemikiran, idealitas, intelektualitas, dan generalitas yang bersifat mutlak ditentangnya. Penentangan ini tidak berarti sastra kehilangan kesadaran partisipatif dalam melandasi tindakan normatif. Sepanjang berkenaan dengan keseluruhan kehidupan yang konkret dan tak terserpih-serpih, kesadaran semacam itu tetap dijaga; apalagi jika sastra memposisikan diri sebagai “rumah besar” manifestasi dan medium empati bagi “keseluruhan warga-hidup,” serta merangkul berbagai pengalaman yang berasal dari tindakan-tindakan eksistensial.
Hakikat gejala sastrawi, dengan demikian, adalah keseluruhan pengalaman manusia yang bersumber dari keseluruhan kehidupan. Artinya, ia merupakan hasil dari proses dinamik dan dialektik-resiprokal yang melalui dan di dalamnya sang subjek kreator maupun reseptornya tidak terpisahkan dari dan berada dalam dunia kehidupan nyata: tempat keduanya tinggal bersama. Karya sastra yang baik meniscayakan tak terpisahkannya diri-subjek yang terlibat secara resiprokal. Dengan demikian, ia pun bisa diamati, ditafsir, dan dinilai bagi dirinya sendiri secara objektif pada satu sisi, sedangkan pada sisi lain, ia memperoleh signifikansi, nilai, dan relevansinya dalam keterkaitannya dengan keseluruhan kehidupan. Relasi dialektik-resiprokal tersebut menjadikan “jagat” yang dibangunnya itu mampu menyuguhkan nilai emosional sejati, yakni nilai-nilai yang mampu membentuk dan meningkatkan taraf hidup dan kehidupan: berbudaya dan berperadaban. Suatu ketika bisa saja sastra secara formalistik tertutup di dalam dirinya sendiri. Dalam konteks yang demikian, sesungguhnya ia mewakili sebuah keretakan yang tak terelakkan dalam proses kehidupan seseorang. Dinyatakan demikian karena landasan objektif sebuah pengalaman tercerabut dari konteks pencerapan dan nilai, dan dihapus dari fungsinya. Artinya, dalam pemenuhan diri dan isolasinya, karya sastra hanya akan berakhir sebagai “busa bahasa, yang ditiup melambung, cuma kempes di udara:” betapapun mempesona dan menariknya, ia menjadi tak berguna karena kehilangan makna kemanusiaan.
Sastra akan mampu merefleksikan realitas secara penuh dalam cara yang hidup dan menyentuh apabila ia bersandar pada kenyataan berikut ciri-cirinya yang melekat. Pengabaian akan hal itu akan membuat representasi sastra kehilangan daya gugah. Bobot “jagat” sastrawi hanya diperoleh melalui keterlibatan langsung dan mendalam dengan kenyataan, dan bukan sekedar sebatas pada ciri-ciri permukaan. Dengan cara demikian, sastra mampu menembus jantung permasalahan hingga pada akhirnya mencapai intensitasnya secara penuh-menyeluruh. Intensitas yang penuh-menyeluruh ini bukan merupakan hasil penjumlahan bagian atau elemen-elemen jagat internalnya, melainkan diwarisi dari tiap-tiap bagian atau elemennya yang ada dan dimungkinkan. Kekuatan sebuah karya sastra setara dengan totalitas dan kesatuannya: struktur keseluruhannya sarat oleh hidup dan kehidupan itu sendiri. Oleh karena itu, apapun perubahan ataupun peringkasan yang mungkin dibuat atasnya, karya sastra yang bersangkutan tetap mampu mempertahankan vitalitas total dan kesatuan internalnya, serta tetap lengkap dan mampu berdiri sendiri sesuai dengan pola khas atau partikularitas yang menjadi miliknya.
Dalam kehidupan keseharian, seluruh pemikiran, perasaan, dan kehendak kita diarahkan pada satu realitas yang sama, yang membedakan hanya variasinya saja: pada dasarnya kita selalu dihadapkan pada fakta, pertanyaan, dan kesulitan yang sama. Karena itu, perjuangan kita diarahkan pada pemecahan permasalahan eksistensial secara menyatu dan tak tercerai-berai. Situasi ini merupakan dan menjadi situasi yang tak terhindarkan dalam melihat relasi resiprokal antara sastra dan kehidupan. Apapun bentuk tindakan kita dalam hidup keseharian, kita selalu berupaya untuk memahami chaos dan disharmoni, ketidakjelasan dan kekacauan sebuah realitas, dengan lebih baik. Realitas kadang sarat dengan teka-teki, dan seringkali mengancam. Kita pun berupaya memperhitungkannya dengan hati-hati agar berhasil menghadapinya. Dalam dan melalui sastra, kita berupaya dan mencoba untuk menemukan sifat dasar dunia yang harus kita hadapi dan bagaimana kita bisa bertahan hidup di dalamnya. Sebagai pencapaian budaya, karya-karya sastra adalah “rumah besar” berbagai pengalaman yang diarahkan juga pada tujuan-tujuan praktis. Hanya ketika dilakukan upaya-upaya khusus dan dalam kondisi sosio-historis yang khusus pula, sastra berpeluang dipisahkan secara eksistensial dari tempat ia disemai, berakar, tumbuh, dan berkembang. Dalam kaitan ini, sastra dinilai dan ditangani sebagai sebuah aktivitas independen yang memiliki hukum dan nilai-nilainya sendiri. Akan tetapi, sastra tetap merupakan capaian budaya yang tidak terpisah sama sekali secara radikal dari pengalaman praktis.
Sebutan-sebutan terhadap terhadap genre sastra tertentu: sastra agamis, fiksi sains, puisi filosofis, sastra dedaktis, novel sejarah, sastra psikologis; menunjukkan dan sekaligus membuktikan bahwa sastra merupakan salah satu sumber (ilmu) pengetahuan. Bukan hanya karena ia melanjutkan “kajian ilmiah” dengan cara melengkapi penemuan-penemuannya, melainkan juga karena ia menunjukkan keterbatasan-keterbatasan kajian ilmiah, yang seringkali “kehabisan tenaga” dalam melakukan sistemisasi realitas, dengan cara memberikan paparan pengetahuan tertentu yang tidak bisa ditelusuri di luar sastra. Melalui sastralah kita memperluas cakrawala pemahaman, meskipun pemahaman itu sendiri bukanlah abstraksi ilmiah yang sesungguhnya. “Penemuan-penemuan” yang dihasilkan oleh sastra terkait dengan berbagai fenomena merupakan hal penting bagi ilmu karena intuisi sastrawi menawarkan pandangan-pandangan yang bisa dijadikan “gapura agung” bagi kajian ilmiah. Dalam kaitan inilah dapat dipahami mengapa pemahaman Ben Anderson terhadap Indonesia, untuk menyebut sekedar misal, utamanya dalam kaitannya dengan “kuasa dan wibawa” politik, banyak ditopang dengan membaca karya-karya sastra. Tentu saja, dalam kaitan ini bukan fakta-fakta politik belaka yang dimaksud oleh Anderson, melainkan telaah terhadap prosesnya dan juga tafsir terhadap perjuangan kelompok-kelompok tertentu, yang kadang luput dari perhatian sejarah perpolitikan dan ilmu pengetahuan sosial. Di sisi lain, sastrawan-sastrawan yang karyanya “dimanfaatkan” untuk kepentingan itu niscaya juga menyadari adanya kekuatan tertentu sebagai fakta-fakta dalam sejarah politik, yang niscaya juga dapat diformulasikan dan dijelaskan secara ilmiah. Persoalan G30S/PKI seperti dalam cerpen karya Umar Kayam dan novel Ahmad Tohari merupakan misal lainnya lagi. Ilustrasi ini menegaskan bahwa novel modern dan landasan sosio-historis memang bisa saja menemukan titik temu. Apalagi jika disadari bahwa sastra dan ilmu berangkat dari persoalan dan bahasa yang sama. Implikasinya, seliar apapun imajinasi seorang sastrawan tidak akan “melampaui batas,” sebaliknya, sekecil apapun imajinasi tersebut selalu mengandung nilai-nilai kebenaran.
Sastra sebagai sastra (dalam madzab “seni untuk seni”) merupakan titik awal yang menunjukkan bahwa ia menyimpangi kebenaran keilmuan karena memang tidak berangkat dari ilmu dan tidak pula akan berakhir sebagai ilmu. “Goa-garba” yang melahirkan sastra adalah ruang-ruang spekulatif kebutuhan hidup, dan ia mendapati dirinya berada sejajar dengan ilmu karena peran fungsionalnya sebagai penerjemah sekaligus pemandu keberadaan manusia. Dalam kaitan ini, sastra hendaknya dipandang sebagai “teks” (baca: karya sastra sebagai artefak) yang selalu berhasil mencapai tujuan-tujuannya, yang jelas berbeda dengan “sastra” sebagai doktrin atau pengetahuan doktriner.
Perbedaan dan sekaligus persamaan antara sastra dan ilmu terutama karena sastra mampu memposisikan diri di atas struktur intelektual ilmu melalui jalan mengimitasi kenyataan: mimesis. Sementara itu, struktur intelektual ilmu cenderung dengan sadar mengubah berbagai fenomena menjadi prinsip dan kaidah, serta memperlakukan objek secara berjarak dengan ukuran-ukuran nilai tertentu. Seperti halnya dengan ilmu yang secara eksak mengukuhkan realitas dengan berbagai kategori yang diciptakannya, sastra juga mentransformasi, menyesuaikan, dan mengidealisasikan realitas. Keduanya tetap terikat pada realitas objektif. Karena itu, sifat realistis sastra pun se-realistis ilmu. Hal ini tidak berarti bahwa di antara keduanya tidak terdapat ketegangan: jarak antara subjek kreatif dan fakta objektif tetap ada. Artinya, sastra tetap merupakan suatu kaidah yang elemen-elemen pembangunnya berakar dari dunia pengalaman nyata, dan bukan hanya dari dunia ide yang super-inderawi ataupun super-alami —betapapun struktur keseluruhannya telah “dikelola” sehingga menjadi fantastis, atau bahkan: absurd. Ketika “pintu-pintu” lain telah tertutup, sastra mampu mencapai kebenaran lewat “pintu belakang” secara cerdas.
Pandangan yang menyatakan bahwa refleksi ilmiah terhadap realitas merupakan representasi fakta yang lebih dapat dipercaya ketimbang refleksi lain yang bisa saja menyimpang dan berubah-ubah dari realitas objektifnya, tidak sepenuhnya benar. Konsepsi ilmiah tentang dunia tidaklah lebih mendekati kenyataan ketimbang konsepsi sastrawi. Dalam kaitannya dengan pengetahuan ilmiah, kita cenderung menaksir terlalu tinggi elemen inventif, dan sebaliknya, menaksir terlalu tinggi elemen mimesis dalam sastra. Terlepas dari segala bentuk imajinasi-fantastik dan sifat berlebih-lebihannya, sastra juga terikat pada realitas, meski dalam cara yang berbeda dengan ilmu. Struktur berbagai genre sastra selalu dibangun berdasarkan susunan realitas. Dalam berbagai upayanya untuk membebaskan subjek dari rutinitas keseharian dan memunculkan realisasi-dirinya sendiri dalam sebuah dunia utopianisme yang bebas-lepas, sastra pun memiliki kebutuhan untuk selalu berpijak pada fakta yang ada dan pengalaman langsung.
Bersambung…
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Label
`Atiqurrahman
A Muttaqin
A Rodhi Murtadho
A. Iwan Kapit
A. Purwantara
A. Qorib Hidayatullah
A. Zakky Zulhazmi
A.H.J Khuzaini
A.S. Laksana
Aang Fatihul Islam
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi WM
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Lathief
Abdul Malik
Abdul Wachid B.S.
Abdurrahman El Husaini
Abidah El Khalieqy
Abu Salman
Acep Zamzam Noor
Achdiat K. Mihardja
Adek Alwi
Adi Suhara
Adnyana Ole
Adreas Anggit W.
Afrion
Afrizal Malna
Aguk Irawan MN
Agung Dwi Ertato
Agus B. Harianto
Agus Buchori
Agus Himawan
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus Sulton
Agusri Junaidi
Agustinus Wahyono
Ahda Imran
Ahmad Badrus Sholihin
Ahmad Fanani Mosah
Ahmad Fatoni
Ahmad Ikhwan Susilo
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Musabbih
Ahmad Rofiq
Ahmad Sahidah
Ahmad Tohari
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Muhaimin Azzet
Akhmad Sekhu
Alex R. Nainggolan
Alex Suban
Alunk Estohank
Ami Herman
Amien Kamil
Amien Wangsitalaja
Aminudin R Wangsitalaja
Anastasya Andriarti
Andreas Maryoto
Anes Prabu Sadjarwo
Angela
Angga Wijaya
Angkie Yudistia
Anindita S Thayf
Anis Ceha
Anjrah Lelono Broto
Anton Kurnia
Anton Kurniawan
Anton Wahyudi
Anugrah Gio Pratama
Anwar Nuris
Aprinus Salam
Arie MP Tamba
Arif B. Prasetyo
Arif Bagus Prasetyo
Arif Hidayat
Arman A.Z.
Arti Bumi Intaran
Arys Hilman
AS Sumbawi
Asarpin
Asef Umar Fakhruddin
Asep Sambodja
Asrama Mahasiswa Aceh SABENA
Astrikusuma
Asvi Warman Adam
Atep Kurnia
Awalludin GD Mualif
Aziz Abdul Gofar
Azizah Hefni
Badrut Tamam Gaffas
Bagja Hidayat
Bagus Takwin
Balada
Bale Aksara
Baltasar Koi
Bambang Agung
Bambang Kempling
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Bayu Insani
Beni Setia
Benny Arnas
Benny Benke
Berita
Berita Duka
Berita Utama
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Blambangan
Brunel University London
BSW Adjikoesoemo
Budaya
Budhi Setyawan
Budi Darma
Budi Saputra
Budi Suwarna
Bung Tomo
Cak Kandar
Catatan
Cerpen
Chairil Anwar
Chavchay Syaifullah
Cucuk Espe
Cunong N. Suraja
D. Zawawi Imron
Dadang Ari Murtono
Daisuke Miyoshi
Damanhuri
Damhuri Muhammad
Damiri Mahmud
Danarto
Daniel Dhakidae
Dante Alighieri
Deddy Arsya
Dedy Tri Riyadi
Denny Mizhar
Deny Tri Aryanti
Detti Febrina
Dharmadi
Diah Hadaning
Dian Hartati
Dian Sukarno
Diana A.V. Sasa
Dicky Fadiar Djuhud
Didi Arsandi
Dimas
Dina Oktaviani
Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan
Djadjat Sudradjat
Djoko Saryono
Doddi Ahmad Fauji
Doddy Hidayatullah
Donny Anggoro
Dony P. Herwanto
Dorothea Rosa Herliany
Dr. Muhammad Zafar Iqbal
Dr. Simuh
Dwi Arjanto
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwicipta
Dwijo Maksum
Edy A. Effendi
Edy Firmansyah
Efri Ritonga
Egidius Patnistik
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Eko Hendri Saiful
Elik
Elsya Crownia
Emha Ainun Nadjib
Endah Sulawesi
Endah Wahyuningsih
Endang Suryadinata
Endhiq Anang P
Endri Y
Eriyandi Budiman
Ernest Hemingway
Esai
Esha Tegar Putra
Eva Dwi Kurniawan
Evi Dana Setia Ningrum
Evi Idawati
Evieta Fadjar
F Rahardi
Fabiola D. Kurnia
Fadelan
Fahrudin Nasrulloh
Faidil Akbar
Faisal Kamandobat
Faisal Syahreza
Faizal Syahreza
Fajar Alayubi
Fandy Hutari
Fany Chotimah
Fatah Yasin Noor
Fathor Lt
Fathurrahman Karyadi
Fatih Kudus Jaelani
Fatma Dwi Rachmawati
Fauzi Absal
Festival Sastra Gresik
Fikri. MS
Fina Sato
Fitri Susila
Galih Pandu Adi
Gde Agung Lontar
Geger Riyanto
Gerakan Literasi
Gerakan Surah Buku (GSB)
Gerson Poyk
Ginanjar Rahadian
Gita Pratama
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gunawan Budi Susanto
Gunoto Saparie
Gus Martin
Gus tf Sakai
Gusti Eka
Hadi Napster
Haji Misbach
Halim HD
Halimi Zuhdy
Hamberan Syahbana
Hamdy Salad
Han Gagas
Handoko F. Zainsam
Hari Santoso
Haris del Hakim
Hartono Harimurti
Hary B. Kori’un
Hasan Gauk
Hasan Junus
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Hasta Indriyana
Helwatin Najwa
Hepi Andi Bastoni
Heri C Santoso
Heri KLM
Heri Latief
Heri Listianto
Hermien Y. Kleden
Hernadi Tanzil
Heru Emka
Heru Kurniawan
Heru Prasetya
Hesti Sartika
Hudan Hidayat
Humaidiy AS
I Made Asdhiana
I Made Prabaswara
I Nyoman Suaka
IBM. Dharma Palguna
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
Ida Ahdiah
Idayati
Ignas Kleden
Ihsan Taufik
Ilenk Rembulan
Ilham Khoiri
Ilham Yusardi
Imam Cahyono
Imam Jahrudin Priyanto
Imam Muhtarom
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Rosyid
Imron Tohari
Indah Darmastuti
Indiar Manggara
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Indrian Koto
Irma Safitri
Irman Syah
Iskandar Noe
Istiqomatul Hayati
Ita Siregar
Iwan Kurniawan
Iwan Nurdaya-Djafar
Iyut FItra
Jadid Al Farisy
Jafar M. Sidik
Jakob Sumardjo
Jamal D Rahman
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jayaning S.A
Jefri al Malay
Jihan Fauziah
JJ. Kusni
Jo Pakagula
Johan Edy Raharjo
Joko Pinurbo
Jokowi Undercover
Joni Ariadinata
Joss Wibisono
Jual Buku Paket Hemat
Judyane Koz
Juli Sastrawan
Junaidi Abdul Munif
Jusuf AN
Juwairiyah Mawardy
Kadir Ruslan
Kasnadi
Katrin Bandel
Kedung Darma Romansha
Khairul Mufid Jr
Khamami Zada
Khrisna Pabichara
Kikin Kuswandi
Koh Young Hun
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias
Komunitas Sastra Ilalang Indonesia (KSII)
Korrie Layun Rampan
Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan)
Kristianto Batuadji
Kritik Sastra
Kunni Masrohanti
Kunthi Hastorini
Kuntowijoyo
Kurie Suditomo
Kurnia EF
Kurniawan
Kuswaidi Syafi'ie
Kuswinarto
Lan Fang
Landung Rusyanto Simatupang
Latief S. Nugraha
Leila S. Chudori
Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M)
Liestyo Ambarwati Khohar
Linda Sarmili
Liston P. Siregar
Liza Wahyuninto
LN Idayanie
Lucia Idayani
Lukman Asya
Lusiana Indriasari
Lynglieastrid Isabellita
M Hari Atmoko
M. Aan Mansyur
M. Arman A.Z
M. Bagus Pribadi
M. Fadjroel Rachman
M. Harya Ramdhoni Julizarsyah
M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S
M. Luthfi Aziz
M. Nahdiansyah Abdi
M. Raudah Jambak
M. Shoim Anwar
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Maghfur Saan
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Majalah Sastra Horison
Maklumat Sastra Profetik
Malkan Junaidi
Maman S. Mahayana
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maria Serenade Sinurat
Mario F. Lawi
Marluwi
Marsel Robot
Martin Aleida
Martin Suryajaya
Mashuri
Matdon
Mega Vristian
Melani Budianta
Melayu Riau
Memoar
MG. Sungatno
Mh Zaelani Tammaka
Miftah Fadhli
Miftahul Abrori
Misbahus Surur
Miziansyah J
Mochtar Lubis
Mohamad Ali Hisyam
Mohammad Eri Irawan
MT Arifin
Mugy Riskiana Halalia
Muhajir Arrosyid
Muhamad Rifai
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Al-Mubassyir
Muhammad Qodari
Muhammad Rain
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun A.S
Muhidin M. Dahlan
Muhlis Al-Firmany
Mujtahid
Mulyadi SA
Munawir Aziz
Murniati Tanjung
Murnierida Pram
Musa Ismail
Musfi Efrizal
Mustaan
Mustafa Ismail
N. Mursidi
Nafsul Latifah
Naskah Teater
Nasrullah Nara
Nelson Alwi
Nenden Lilis A
Nh. Anfalah
Ni Made Purnama Sari
Nina Mussolini-Hansson
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Noura
Nova Christina
Noval Jubbek
Novela Nian
Nugroho Notosusanto
Nugroho Pandhu Sukmono
Nur Faizah
Nurdin F. Joes
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nurul Komariyah
Nuryana Asmaudi SA
Nyoman Tusthi Eddy
Nyoman Wirata
Oka Rusmini
Oktamandjaya Wiguna
Oky Sanjaya
Olanama
Olivia Kristina Sinaga
Otto Sukatno CR
Pagelaran Musim Tandur
Pamusuk Eneste
Patricia Pawestri
PDS H.B. Jassin
PDS. H.B. Jassin
Penghargaan Hadiah Sastra Pusat Bahasa
Persda Network
Pipiet Senja
Pramoedya Ananta Toer
Pramono
Pranita Dewi
Pringadi AS
Prita Daneswari
Prof. Tamim Pardede sebut Bambang Tri
Prosa
Pudyo Saptono
Puisi
Puisi Kesunyian
Puisi Sufi
Puji Santosa
PUstaka puJAngga
Putu Fajar Arcana
Putu Wijaya
Qaris Tajudin
R. Sugiarti
Rachmad Djoko Pradopo
Radhar Panca Dahana
Ragdi F. Daye
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Ramadhan Batubara
Ramadhan KH
Ratih Kumala
Ratna Indraswari Ibrahim
Ratna Sarumpaet
Raudal Tanjung Banua
Remy Sylado
Reni Susanti
Renny Meita Widjajanti
Resensi
Restu Kurniawan
Retno Sulistyowati
RF. Dhonna
Rian Sindu
Ribut Wijoto
Ridwan Munawwar
Riki Utomi
Riris K. Toha-Sarumpaet
Risang Anom Pujayanto
Riza Multazam Luthfy
Robin Al Kautsar
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rohman Abdullah
Rosidi
Rosihan Anwar
Rukardi
S Yoga
S. Jai
S. Sinansari Ecip
S.I. Poeradisastra
S.W. Teofani
Sabam Siagian
Sabrank Suparno
Saiful Anam Assyaibani
Sainul Hermawan
Sajak
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Samsudin Adlawi
Sanggar Rumah Ilalang
Sanggar Teater Jerit
Sapardi Djoko Damono
Sartika Dian
Sartika Dian Nuraini
Sastra Tanah Air
Sastra Using
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sayyid Fahmi Alathas
Sazano
Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo
Seli Desmiarti
Selo Soemardjan
Senggrutu Singomenggolo
Seno Joko Suyono
SH Mintardja
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sipri Senda
Sitok Srengenge
Siwi Dwi Saputro
Sjifa Amori
Sobih Adnan
Sofian Dwi
Sofie Dewayani
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sri Ruwanti
Sri Wintala Achmad
St Sularto
Stefanus P. Elu
Sukron Abdilah
Sulaiman Djaya
Suminto A. Sayuti
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sungging Raga
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Suryansyah
Suryanto Sastroatmodjo
Susanto
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Suyadi
Suyadi San
Syaifuddin Gani
Syaiful Amin
Syamsiar Hidayah
Syarbaini
Syifa Amori
Syifa Aulia
Tajuddin Noor Ganie
Taufik Abdullah
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
TE. Priyono
Teguh Afandi
Teguh Ranusastra Asmara
Teguh Winarsho AS
Tengsoe Tjahjono
Theresia Purbandini
Tita Tjindarbumi
Titik Alva-Alvi Choiriyah
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Tjoet Nyak Dhien
Tosa Poetra
Tri Lestari Sustiyana
Triyanto Triwikromo
TS Pinang
Tu-ngang Iskandar
Tulus S
Tulus Wijanarko
Udo Z. Karzi
Ugoran Prasad
Umar Fauzi Ballah
Umar Kayam
Umbu Landu Paranggi
Universitas Indonesia
Universitas Jember
Utada Kamaru
UU Hamidy
Vera Ernawati
Veronika Ninik
W.S. Rendra
Wahjudi Djaja
Wahyu Hidayat
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Budiartha
Widya Karima
Wijaya Herlambang
Wiji Thukul
Willem B Berybe
Wilson Nadeak
Winarni R.
Wiratmo Soekito
Wita Lestari
Wiwik Widayaningtias
Y. Thendra BP
Y. Wibowo
Yasser Arafat
Yeni Ratnaningsih
Yohanes Sehandi
Yonatan Raharjo
Yonathan Rahardjo
Yopi Setia Umbara
Yos Rizal S
Yos Rizal Suriaji
Yudhi Herwibowo
Yuka Fainka Putra
Yurnaldi
Yushifull Ilmy
Yusri Fajar
Yusuf Suharto
Zainal Abidin
Zainal Arifin Thoha
Zawawi Se
Zen Hae
Tidak ada komentar:
Posting Komentar