Senin, 09 Juni 2014

Bingkai-Bingkai Kajian Sastra dalam Konteks Pengembangan Pengajaran Sastra (II)

Suminto A. Sayuti
http://mgmp1.wordpress.com

Sastra dan Nilai-nilai Kemanusiaan

Kegiatan terpenting dalam pelaksanaan pengajaran sastra di sekolah adalah usaha guru dalam mendorong para siswa agar mau, berani, dan mampu menyatakan diri dalam berbagai bentuk ekspresi sastra: siswa didorong untuk mengekspresikan diri seluas-luasnya. Sebagai salah satu bagian kebudayaan, sastra sudah ada dalam perjalanan peradaban manusia.

Proses pendidikan, pengenalan, dan pemahaman terhadap sastra akan dapat memperkaya manusia sebagai pribadi dalam sebuah proses tegur sapa yang terus-menerus dengan dunia manusia dan kemanusiaan. Dalam kaitan ini, sastra berpotensi besar sebagai sumber nilai keba­jikan, baik yang berkenaan dengan kebajikan religius maupun sosial, yang pada gilirannya berfungsi menyeim­bangkan dimensi jasmaniah dan rohaniah dalam diri siswa. Kemampuan mengakrabkan diri dengan sastra pada gilirannya akan mengarahkan subjek-subjek yang terlibat di dalamnya memiliki kelembutan hati, ketajaman pikiran, dan kepekaan pera­saan.

Sas­tra tidak pernah memberi arah kebenaran dan nilai secara langsung sebagaimana agama memberikannya dalam bentuk-bentuk ekspresi ritualistik. Akan tetapi, sastra mengandung kebenaran sebagaimana hakikat kebenaran dalam agama. Karenanya, oleh sebagian orang sastra diyakini sebagai jalan ketiga dalam mencari kebenaran setelah agama dan filsafat. Kesadaran manusia dalam ber­agama adalah untuk mencari kebenaran mutlak, sedangkan kesadaran manusia dalam sastra adalah untuk mencari keindahan yang diarahkan pada kepe­kaan budi. Sebagai produk kehidupan, sastra mengandung nilai-nilai sosial, filosofis, religius, dan nilai atau norma lainnya. Sebagai bentuk seni yang bersumber dari kehidupan yang bertata nilai, pada gilirannya sastra juga dapat dimanfaatkan un­tuk membentuk sikap dan kepribadian siswa dalam proses pendidikan. Dengan demikian, tata nilai yang ada dalam sastra dapat diberdayakan untuk lebih memperkaya pertumbuhan sikap dan perilaku positif pada diri siswa, dalam rangka membentuk karakter diri sebagai manusia yang menyadari eksistensi kemanusiaannya. Dengan demikian, potensi naluriah dan nuraniah diharapkan mampu tumbuh dan berkembang secara wajar dan seimbang.

Pada hakikatnya kehidupan merupakan sebuah keseluruhan. Di dalamnya, manusia terlibat dalam proses eksistensial: ada dan mengada, berikut segenap kehendak dan kecenderungannya, berikut perjuangan-perjuangannya melawan ancaman “neraka” buat mencapai “sorga.” Karenanya, kompleks eksistensial keseharian pun acapkali menjadi keruh tak terpecahkan dan penuh warna, yang dalam keseluruhannya menjadi sumur inspirasi kreatif sastra yang tak habis ditimba: organisasi sosial, moralitas, serta tradisi dan pengetahuan. Hanya saja, karakter kehidupan keseharian keseluruhan seringkali hilang dengan mudah, tak terbedakan, dan putus-putus, tidak demikian halnya dengan sastra. Dalam kekonkretannya, sastra memberi kenikmatan spiritual, memanjakan pancaindera, dan yang jelas: mampu mencukupi dirinya sendiri. Betapapun tak sempurna dan abstraknya, sastra selalu menghasilkan efek situasional melalui kaidah transformasi dan regulasi dalam dirinya sendiri, di samping karena bersumberkan pada hidup insani berikut pengalaman dan dorongan religius, sosial, dan personalnya.

Dalam kehidupan keseharian, tindakan, penunaian tugas, dan praksis yang paling sederhana pun selalu bergantung pada konsep keteraturan dan keseimbangan nilai, yang berasal dari berbagai sistem abstrak, yakni sistem yang darinya realitas keseharian itu diorganisasikan dan diregulasikan secara sistematik, baik secara sosial maupun moral. Oleh karena itu, dari waktu ke waktu, pada berbagai sisinya, tindakan dan pengalaman keseharian tersebut menunjukkan adanya beragam jejak abstraksi, generalisasi, dan tipifikasi pemikiran, padahal seharusnya tetap bersifat konkret, heterogen, dan partikular. Terlepas dari intrusi prinsip-prinsip kehidupan tersebut, sastra mampu dan berhasil memelihara heterogenitas dan partikularitas karena menolak adanya regulasi dan sistematisasi. Sebagai salah satu manifestasi kesadaran, sejak semula sastra memang melawan segala bentuk abstraksi karena abstraksi hampir selalu membuat sensitivitas menjadi majal. Dalam sastra, kesan sejati dan pengalaman nyata selalu diupayakan untuk menjadi objek visi secara langsung. Oleh karena itu, pemikiran, idealitas, intelektualitas, dan generalitas yang bersifat mutlak ditentangnya. Penentangan ini tidak berarti sastra kehilangan kesadaran partisipatif dalam melandasi tindakan normatif. Sepanjang berkenaan dengan keseluruhan kehidupan yang konkret dan tak terserpih-serpih, kesadaran semacam itu tetap dijaga; apalagi jika sastra memposisikan diri sebagai “rumah besar” manifestasi dan medium empati bagi “keseluruhan warga-hidup,” serta merangkul berbagai pengalaman yang berasal dari tindakan-tindakan eksistensial.

Hakikat gejala sastrawi, dengan demikian, adalah keseluruhan pengalaman manusia yang bersumber dari keseluruhan kehidupan. Artinya, ia merupakan hasil dari proses dinamik dan dialektik-resiprokal yang melalui dan di dalamnya sang subjek kreator maupun reseptornya tidak terpisahkan dari dan berada dalam dunia kehidupan nyata: tempat keduanya tinggal bersama. Karya sastra yang baik meniscayakan tak terpisahkannya diri-subjek yang terlibat secara resiprokal. Dengan demikian, ia pun bisa diamati, ditafsir, dan dinilai bagi dirinya sendiri secara objektif pada satu sisi, sedangkan pada sisi lain, ia memperoleh signifikansi, nilai, dan relevansinya dalam keterkaitannya dengan keseluruhan kehidupan. Relasi dialektik-resiprokal tersebut menjadikan “jagat” yang dibangunnya itu mampu menyuguhkan nilai emosional sejati, yakni nilai-nilai yang mampu membentuk dan meningkatkan taraf hidup dan kehidupan: berbudaya dan berperadaban. Suatu ketika bisa saja sastra secara formalistik tertutup di dalam dirinya sendiri. Dalam konteks yang demikian, sesungguhnya ia mewakili sebuah keretakan yang tak terelakkan dalam proses kehidupan seseorang. Dinyatakan demikian karena landasan objektif sebuah pengalaman tercerabut dari konteks pencerapan dan nilai, dan dihapus dari fungsinya. Artinya, dalam pemenuhan diri dan isolasinya, karya sastra hanya akan berakhir sebagai “busa bahasa, yang ditiup melambung, cuma kempes di udara:” betapapun mempesona dan menariknya, ia menjadi tak berguna karena kehilangan makna kemanusiaan.

Sastra akan mampu merefleksikan realitas secara penuh dalam cara yang hidup dan menyentuh apabila ia bersandar pada kenyataan berikut ciri-cirinya yang melekat. Pengabaian akan hal itu akan membuat representasi sastra kehilangan daya gugah. Bobot “jagat” sastrawi hanya diperoleh melalui keterlibatan langsung dan mendalam dengan kenyataan, dan bukan sekedar sebatas pada ciri-ciri permukaan. Dengan cara demikian, sastra mampu menembus jantung permasalahan hingga pada akhirnya mencapai intensitasnya secara penuh-menyeluruh. Intensitas yang penuh-menyeluruh ini bukan merupakan hasil penjumlahan bagian atau elemen-elemen jagat internalnya, melainkan diwarisi dari tiap-tiap bagian atau elemennya yang ada dan dimungkinkan. Kekuatan sebuah karya sastra setara dengan totalitas dan kesatuannya: struktur keseluruhannya sarat oleh hidup dan kehidupan itu sendiri. Oleh karena itu, apapun perubahan ataupun peringkasan yang mungkin dibuat atasnya, karya sastra yang bersangkutan tetap mampu mempertahankan vitalitas total dan kesatuan internalnya, serta tetap lengkap dan mampu berdiri sendiri sesuai dengan pola khas atau partikularitas yang menjadi miliknya.

Dalam kehidupan keseharian, seluruh pemikiran, perasaan, dan kehendak kita diarahkan pada satu realitas yang sama, yang membedakan hanya variasinya saja: pada dasarnya kita selalu dihadapkan pada fakta, pertanyaan, dan kesulitan yang sama. Karena itu, perjuangan kita diarahkan pada pemecahan permasalahan eksistensial secara menyatu dan tak tercerai-berai. Situasi ini merupakan dan menjadi situasi yang tak terhindarkan dalam melihat relasi resiprokal antara sastra dan kehidupan. Apapun bentuk tindakan kita dalam hidup keseharian, kita selalu berupaya untuk memahami chaos dan disharmoni, ketidakjelasan dan kekacauan sebuah realitas, dengan lebih baik. Realitas kadang sarat dengan teka-teki, dan seringkali mengancam. Kita pun berupaya memperhitungkannya dengan hati-hati agar berhasil menghadapinya. Dalam dan melalui sastra, kita berupaya dan mencoba untuk menemukan sifat dasar dunia yang harus kita hadapi dan bagaimana kita bisa bertahan hidup di dalamnya. Sebagai pencapaian budaya, karya-karya sastra adalah “rumah besar” berbagai pengalaman yang diarahkan juga pada tujuan-tujuan praktis. Hanya ketika dilakukan upaya-upaya khusus dan dalam kondisi sosio-historis yang khusus pula, sastra berpeluang dipisahkan secara eksistensial dari tempat ia disemai, berakar, tumbuh, dan berkembang. Dalam kaitan ini, sastra dinilai dan ditangani sebagai sebuah aktivitas independen yang memiliki hukum dan nilai-nilainya sendiri. Akan tetapi, sastra tetap merupakan capaian budaya yang tidak terpisah sama sekali secara radikal dari pengalaman praktis.

Sebutan-sebutan terhadap terhadap genre sastra tertentu: sastra agamis, fiksi sains, puisi filosofis, sastra dedaktis, novel sejarah, sastra psikologis; menunjukkan dan sekaligus membuktikan bahwa sastra merupakan salah satu sumber (ilmu) pengetahuan. Bukan hanya karena ia melanjutkan “kajian ilmiah” dengan cara melengkapi penemuan-penemuannya, melainkan juga karena ia menunjukkan keterbatasan-keterbatasan kajian ilmiah, yang seringkali “kehabisan tenaga” dalam melakukan sistemisasi realitas, dengan cara memberikan paparan pengetahuan tertentu yang tidak bisa ditelusuri di luar sastra. Melalui sastralah kita memperluas cakrawala pemahaman, meskipun pemahaman itu sendiri bukanlah abstraksi ilmiah yang sesungguhnya. “Penemuan-penemuan” yang dihasilkan oleh sastra terkait dengan berbagai fenomena merupakan hal penting bagi ilmu karena intuisi sastrawi menawarkan pandangan-pandangan yang bisa dijadikan “gapura agung” bagi kajian ilmiah. Dalam kaitan inilah dapat dipahami mengapa pemahaman Ben Anderson terhadap Indonesia, untuk menyebut sekedar misal, utamanya dalam kaitannya dengan “kuasa dan wibawa” politik, banyak ditopang dengan membaca karya-karya sastra. Tentu saja, dalam kaitan ini bukan fakta-fakta politik belaka yang dimaksud oleh Anderson, melainkan telaah terhadap prosesnya dan juga tafsir terhadap perjuangan kelompok-kelompok tertentu, yang kadang luput dari perhatian sejarah perpolitikan dan ilmu pengetahuan sosial. Di sisi lain, sastrawan-sastrawan yang karyanya “dimanfaatkan” untuk kepentingan itu niscaya juga menyadari adanya kekuatan tertentu sebagai fakta-fakta dalam sejarah politik, yang niscaya juga dapat diformulasikan dan dijelaskan secara ilmiah. Persoalan G30S/PKI seperti dalam cerpen karya Umar Kayam dan novel Ahmad Tohari merupakan misal lainnya lagi. Ilustrasi ini menegaskan bahwa novel modern dan landasan sosio-historis memang bisa saja menemukan titik temu. Apalagi jika disadari bahwa sastra dan ilmu berangkat dari persoalan dan bahasa yang sama. Implikasinya, seliar apapun imajinasi seorang sastrawan tidak akan “melampaui batas,” sebaliknya, sekecil apapun imajinasi tersebut selalu mengandung nilai-nilai kebenaran.

Sastra sebagai sastra (dalam madzab “seni untuk seni”) merupakan titik awal yang menunjukkan bahwa ia menyimpangi kebenaran keilmuan karena memang tidak berangkat dari ilmu dan tidak pula akan berakhir sebagai ilmu. “Goa-garba” yang melahirkan sastra adalah ruang-ruang spekulatif kebutuhan hidup, dan ia mendapati dirinya berada sejajar dengan ilmu karena peran fungsionalnya sebagai penerjemah sekaligus pemandu keberadaan manusia. Dalam kaitan ini, sastra hendaknya dipandang sebagai “teks” (baca: karya sastra sebagai artefak) yang selalu berhasil mencapai tujuan-tujuannya, yang jelas berbeda dengan “sastra” sebagai doktrin atau pengetahuan doktriner.

Perbedaan dan sekaligus persamaan antara sastra dan ilmu terutama karena sastra mampu memposisikan diri di atas struktur intelektual ilmu melalui jalan mengimitasi kenyataan: mimesis. Sementara itu, struktur intelektual ilmu cenderung dengan sadar mengubah berbagai fenomena menjadi prinsip dan kaidah, serta memperlakukan objek secara berjarak dengan ukuran-ukuran nilai tertentu. Seperti halnya dengan ilmu yang secara eksak mengukuhkan realitas dengan berbagai kategori yang diciptakannya, sastra juga mentransformasi, menyesuaikan, dan mengidealisasikan realitas. Keduanya tetap terikat pada realitas objektif. Karena itu, sifat realistis sastra pun se-realistis ilmu. Hal ini tidak berarti bahwa di antara keduanya tidak terdapat ketegangan: jarak antara subjek kreatif dan fakta objektif tetap ada. Artinya, sastra tetap merupakan suatu kaidah yang elemen-elemen pembangunnya berakar dari dunia pengalaman nyata, dan bukan hanya dari dunia ide yang super-inderawi ataupun super-alami —betapapun struktur keseluruhannya telah “dikelola” sehingga menjadi fantastis, atau bahkan: absurd. Ketika “pintu-pintu” lain telah tertutup, sastra mampu mencapai kebenaran lewat “pintu belakang” secara cerdas.

Pandangan yang menyatakan bahwa refleksi ilmiah terhadap realitas merupakan representasi fakta yang lebih dapat dipercaya ketimbang refleksi lain yang bisa saja menyimpang dan berubah-ubah dari realitas objektifnya, tidak sepenuhnya benar. Konsepsi ilmiah tentang dunia tidaklah lebih mendekati kenyataan ketimbang konsepsi sastrawi. Dalam kaitannya dengan pengetahuan ilmiah, kita cenderung menaksir terlalu tinggi elemen inventif, dan sebaliknya, menaksir terlalu tinggi elemen mimesis dalam sastra. Terlepas dari segala bentuk imajinasi-fantastik dan sifat berlebih-lebihannya, sastra juga terikat pada realitas, meski dalam cara yang berbeda dengan ilmu. Struktur berbagai genre sastra selalu dibangun berdasarkan susunan realitas. Dalam berbagai upayanya untuk membebaskan subjek dari rutinitas keseharian dan memunculkan realisasi-dirinya sendiri dalam sebuah dunia utopianisme yang bebas-lepas, sastra pun memiliki kebutuhan untuk selalu berpijak pada fakta yang ada dan pengalaman langsung.

Bersambung…

Tidak ada komentar:

Label

`Atiqurrahman A Muttaqin A Rodhi Murtadho A. Iwan Kapit A. Purwantara A. Qorib Hidayatullah A. Zakky Zulhazmi A.H.J Khuzaini A.S. Laksana Aang Fatihul Islam Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi WM Abdul Kadir Ibrahim Abdul Lathief Abdul Malik Abdul Wachid B.S. Abdurrahman El Husaini Abidah El Khalieqy Abu Salman Acep Zamzam Noor Achdiat K. Mihardja Adek Alwi Adi Suhara Adnyana Ole Adreas Anggit W. Afrion Afrizal Malna Aguk Irawan MN Agung Dwi Ertato Agus B. Harianto Agus Buchori Agus Himawan Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sulton Agusri Junaidi Agustinus Wahyono Ahda Imran Ahmad Badrus Sholihin Ahmad Fanani Mosah Ahmad Fatoni Ahmad Ikhwan Susilo Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musabbih Ahmad Rofiq Ahmad Sahidah Ahmad Tohari Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sekhu Alex R. Nainggolan Alex Suban Alunk Estohank Ami Herman Amien Kamil Amien Wangsitalaja Aminudin R Wangsitalaja Anastasya Andriarti Andreas Maryoto Anes Prabu Sadjarwo Angela Angga Wijaya Angkie Yudistia Anindita S Thayf Anis Ceha Anjrah Lelono Broto Anton Kurnia Anton Kurniawan Anton Wahyudi Anugrah Gio Pratama Anwar Nuris Aprinus Salam Arie MP Tamba Arif B. Prasetyo Arif Bagus Prasetyo Arif Hidayat Arman A.Z. Arti Bumi Intaran Arys Hilman AS Sumbawi Asarpin Asef Umar Fakhruddin Asep Sambodja Asrama Mahasiswa Aceh SABENA Astrikusuma Asvi Warman Adam Atep Kurnia Awalludin GD Mualif Aziz Abdul Gofar Azizah Hefni Badrut Tamam Gaffas Bagja Hidayat Bagus Takwin Balada Bale Aksara Baltasar Koi Bambang Agung Bambang Kempling Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Bayu Insani Beni Setia Benny Arnas Benny Benke Berita Berita Duka Berita Utama Bernando J. Sujibto Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Blambangan Brunel University London BSW Adjikoesoemo Budaya Budhi Setyawan Budi Darma Budi Saputra Budi Suwarna Bung Tomo Cak Kandar Catatan Cerpen Chairil Anwar Chavchay Syaifullah Cucuk Espe Cunong N. Suraja D. Zawawi Imron Dadang Ari Murtono Daisuke Miyoshi Damanhuri Damhuri Muhammad Damiri Mahmud Danarto Daniel Dhakidae Dante Alighieri Deddy Arsya Dedy Tri Riyadi Denny Mizhar Deny Tri Aryanti Detti Febrina Dharmadi Diah Hadaning Dian Hartati Dian Sukarno Diana A.V. Sasa Dicky Fadiar Djuhud Didi Arsandi Dimas Dina Oktaviani Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Djadjat Sudradjat Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Doddy Hidayatullah Donny Anggoro Dony P. Herwanto Dorothea Rosa Herliany Dr. Muhammad Zafar Iqbal Dr. Simuh Dwi Arjanto Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwicipta Dwijo Maksum Edy A. Effendi Edy Firmansyah Efri Ritonga Egidius Patnistik Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Hendri Saiful Elik Elsya Crownia Emha Ainun Nadjib Endah Sulawesi Endah Wahyuningsih Endang Suryadinata Endhiq Anang P Endri Y Eriyandi Budiman Ernest Hemingway Esai Esha Tegar Putra Eva Dwi Kurniawan Evi Dana Setia Ningrum Evi Idawati Evieta Fadjar F Rahardi Fabiola D. Kurnia Fadelan Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Faisal Kamandobat Faisal Syahreza Faizal Syahreza Fajar Alayubi Fandy Hutari Fany Chotimah Fatah Yasin Noor Fathor Lt Fathurrahman Karyadi Fatih Kudus Jaelani Fatma Dwi Rachmawati Fauzi Absal Festival Sastra Gresik Fikri. MS Fina Sato Fitri Susila Galih Pandu Adi Gde Agung Lontar Geger Riyanto Gerakan Literasi Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Ginanjar Rahadian Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gunoto Saparie Gus Martin Gus tf Sakai Gusti Eka Hadi Napster Haji Misbach Halim HD Halimi Zuhdy Hamberan Syahbana Hamdy Salad Han Gagas Handoko F. Zainsam Hari Santoso Haris del Hakim Hartono Harimurti Hary B. Kori’un Hasan Gauk Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Helwatin Najwa Hepi Andi Bastoni Heri C Santoso Heri KLM Heri Latief Heri Listianto Hermien Y. Kleden Hernadi Tanzil Heru Emka Heru Kurniawan Heru Prasetya Hesti Sartika Hudan Hidayat Humaidiy AS I Made Asdhiana I Made Prabaswara I Nyoman Suaka IBM. Dharma Palguna Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Ida Ahdiah Idayati Ignas Kleden Ihsan Taufik Ilenk Rembulan Ilham Khoiri Ilham Yusardi Imam Cahyono Imam Jahrudin Priyanto Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indah Darmastuti Indiar Manggara Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indrian Koto Irma Safitri Irman Syah Iskandar Noe Istiqomatul Hayati Ita Siregar Iwan Kurniawan Iwan Nurdaya-Djafar Iyut FItra Jadid Al Farisy Jafar M. Sidik Jakob Sumardjo Jamal D Rahman Janual Aidi Javed Paul Syatha Jayaning S.A Jefri al Malay Jihan Fauziah JJ. Kusni Jo Pakagula Johan Edy Raharjo Joko Pinurbo Jokowi Undercover Joni Ariadinata Joss Wibisono Jual Buku Paket Hemat Judyane Koz Juli Sastrawan Junaidi Abdul Munif Jusuf AN Juwairiyah Mawardy Kadir Ruslan Kasnadi Katrin Bandel Kedung Darma Romansha Khairul Mufid Jr Khamami Zada Khrisna Pabichara Kikin Kuswandi Koh Young Hun Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Komunitas Sastra Ilalang Indonesia (KSII) Korrie Layun Rampan Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan) Kristianto Batuadji Kritik Sastra Kunni Masrohanti Kunthi Hastorini Kuntowijoyo Kurie Suditomo Kurnia EF Kurniawan Kuswaidi Syafi'ie Kuswinarto Lan Fang Landung Rusyanto Simatupang Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Liestyo Ambarwati Khohar Linda Sarmili Liston P. Siregar Liza Wahyuninto LN Idayanie Lucia Idayani Lukman Asya Lusiana Indriasari Lynglieastrid Isabellita M Hari Atmoko M. Aan Mansyur M. Arman A.Z M. Bagus Pribadi M. Fadjroel Rachman M. Harya Ramdhoni Julizarsyah M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S M. Luthfi Aziz M. Nahdiansyah Abdi M. Raudah Jambak M. Shoim Anwar M. Yoesoef M.D. Atmaja Maghfur Saan Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Majalah Sastra Horison Maklumat Sastra Profetik Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Serenade Sinurat Mario F. Lawi Marluwi Marsel Robot Martin Aleida Martin Suryajaya Mashuri Matdon Mega Vristian Melani Budianta Melayu Riau Memoar MG. Sungatno Mh Zaelani Tammaka Miftah Fadhli Miftahul Abrori Misbahus Surur Miziansyah J Mochtar Lubis Mohamad Ali Hisyam Mohammad Eri Irawan MT Arifin Mugy Riskiana Halalia Muhajir Arrosyid Muhamad Rifai Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Al-Mubassyir Muhammad Qodari Muhammad Rain Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun A.S Muhidin M. Dahlan Muhlis Al-Firmany Mujtahid Mulyadi SA Munawir Aziz Murniati Tanjung Murnierida Pram Musa Ismail Musfi Efrizal Mustaan Mustafa Ismail N. Mursidi Nafsul Latifah Naskah Teater Nasrullah Nara Nelson Alwi Nenden Lilis A Nh. Anfalah Ni Made Purnama Sari Nina Mussolini-Hansson Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Noura Nova Christina Noval Jubbek Novela Nian Nugroho Notosusanto Nugroho Pandhu Sukmono Nur Faizah Nurdin F. Joes Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nurul Komariyah Nuryana Asmaudi SA Nyoman Tusthi Eddy Nyoman Wirata Oka Rusmini Oktamandjaya Wiguna Oky Sanjaya Olanama Olivia Kristina Sinaga Otto Sukatno CR Pagelaran Musim Tandur Pamusuk Eneste Patricia Pawestri PDS H.B. Jassin PDS. H.B. Jassin Penghargaan Hadiah Sastra Pusat Bahasa Persda Network Pipiet Senja Pramoedya Ananta Toer Pramono Pranita Dewi Pringadi AS Prita Daneswari Prof. Tamim Pardede sebut Bambang Tri Prosa Pudyo Saptono Puisi Puisi Kesunyian Puisi Sufi Puji Santosa PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Wijaya Qaris Tajudin R. Sugiarti Rachmad Djoko Pradopo Radhar Panca Dahana Ragdi F. Daye Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Ramadhan Batubara Ramadhan KH Ratih Kumala Ratna Indraswari Ibrahim Ratna Sarumpaet Raudal Tanjung Banua Remy Sylado Reni Susanti Renny Meita Widjajanti Resensi Restu Kurniawan Retno Sulistyowati RF. Dhonna Rian Sindu Ribut Wijoto Ridwan Munawwar Riki Utomi Riris K. Toha-Sarumpaet Risang Anom Pujayanto Riza Multazam Luthfy Robin Al Kautsar Rodli TL Rofiqi Hasan Rohman Abdullah Rosidi Rosihan Anwar Rukardi S Yoga S. Jai S. Sinansari Ecip S.I. Poeradisastra S.W. Teofani Sabam Siagian Sabrank Suparno Saiful Anam Assyaibani Sainul Hermawan Sajak Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sanggar Rumah Ilalang Sanggar Teater Jerit Sapardi Djoko Damono Sartika Dian Sartika Dian Nuraini Sastra Tanah Air Sastra Using Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sayyid Fahmi Alathas Sazano Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo Seli Desmiarti Selo Soemardjan Senggrutu Singomenggolo Seno Joko Suyono SH Mintardja Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sipri Senda Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Sobih Adnan Sofian Dwi Sofie Dewayani Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sri Ruwanti Sri Wintala Achmad St Sularto Stefanus P. Elu Sukron Abdilah Sulaiman Djaya Suminto A. Sayuti Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sungging Raga Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Suryansyah Suryanto Sastroatmodjo Susanto Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suyadi Suyadi San Syaifuddin Gani Syaiful Amin Syamsiar Hidayah Syarbaini Syifa Amori Syifa Aulia Tajuddin Noor Ganie Taufik Abdullah Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat TE. Priyono Teguh Afandi Teguh Ranusastra Asmara Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Theresia Purbandini Tita Tjindarbumi Titik Alva-Alvi Choiriyah Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tjoet Nyak Dhien Tosa Poetra Tri Lestari Sustiyana Triyanto Triwikromo TS Pinang Tu-ngang Iskandar Tulus S Tulus Wijanarko Udo Z. Karzi Ugoran Prasad Umar Fauzi Ballah Umar Kayam Umbu Landu Paranggi Universitas Indonesia Universitas Jember Utada Kamaru UU Hamidy Vera Ernawati Veronika Ninik W.S. Rendra Wahjudi Djaja Wahyu Hidayat Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Budiartha Widya Karima Wijaya Herlambang Wiji Thukul Willem B Berybe Wilson Nadeak Winarni R. Wiratmo Soekito Wita Lestari Wiwik Widayaningtias Y. Thendra BP Y. Wibowo Yasser Arafat Yeni Ratnaningsih Yohanes Sehandi Yonatan Raharjo Yonathan Rahardjo Yopi Setia Umbara Yos Rizal S Yos Rizal Suriaji Yudhi Herwibowo Yuka Fainka Putra Yurnaldi Yushifull Ilmy Yusri Fajar Yusuf Suharto Zainal Abidin Zainal Arifin Thoha Zawawi Se Zen Hae