Selasa, 12 September 2017

Dan Fenomena Presiden Penyair Daerah sebagai Dagelan Populer?

Nurel Javissyarqi

Tentu kita tahu sebutan presiden penyair Indonesia tersemat dari-padanya Sutardji Calzoum Bachri. Kredonya yang fenomenal itu meluas mempengaruhi banyak penyair serta kritikus (… dengan kredonya yang terkenal itu, Sutardji memberikan suatu aksentuasi baru kepada daya cipta atau kreativitas, Ignas Kleden endosemen di buku Isyarat, lalu lihat buku Raja Mantra Presiden Penyair, 2007). Sehingga di puncak ketenarannya, SCB tidak segan-segan menyelewengkan ayat-ayat suci; Qs. Asy-Syu’ara, 224-227 (baca buku saya MTJK SCB, 2011).
Sampailah, kita mendengar adanya presiden penyair Surabaya, presiden penyair Lampung, presiden penyair Cirebon dan sebangsanya. Dari sini terpancang jelas pengaruh Sutardji di belantika kepenyairan Tanah Air, atau dengan label presiden penyair memudahkan seseorang berbuat semaunya tanpa halangan berarti pun dari para kritikus; mereka tidak lagi obyektif mengkaji suatu karya, sebab tertutupi titel yang sudah terlanjur mentereng?

Dan saat penobatan dirinya sendiri kurang menguntungkan dalam perjalanannya sebagai sastrawan atau tidak memberikan angin segar sesuai harapannya, maka gelar yang sudah melekat ditanggalkan begitu saja sebagai kenang-kenangan atau masa lalu belaka. Seperti kisah baru saja saya ketahui pagi ini, saat hendak menyegarkan tulisan kembali, tiba-tiba menemukan artikel berjudul “Belajar dari Kisah Burung Botak” berikut kutipannya: Abdul Hadi Wiji Muthari, penyair yang pernah menobatkan dirinya sebagai wakil presiden penyair Indonesia itu, hanya tersenyum sejenak ketika diminta bercerita tentang kiprahnya sebagai penyair. “Ah, itu masa lalu saya yang tak perlu digembar-gemborkan lagi,” katanya merendah. (Dewi Sri Utami, Majalah Gatra, No: 41, 27 Agustus 2001). Lantas, apakah maknawi wewarna di atas dalam kaitannya dengan pribadi seorang penyair?

Penyair tulen merupakan sosok yang menyerap berbagai rupa pengaruh, lalu mengolaborasikan dengan kualitas pribadinya atas pengelanaan sedari pencarian jati dirinya, lantas mengungkapkan kembali (berkarya) secara kreatif sekaligus mapan mempuni. Senada deringan umum bahasa istilah yang dipakai Sutardji; melupa dan mengingat (Menulis adalah upaya untuk melupa dan mengingat, Pengantar Penulis buku Isyarat, SCB halaman ix). Ini semacam proses menghindari keterpengaruhan dari karya-karya lama, atau pada saat itu juga menghapusnya melalui kreativitas tersendiri dalam bentuk karya ‘yang bisa jadi lebih kokoh dari karya yang mempengaruhi?’ Itulah sejenis kedirian penyair, dinaya pada pergolakan hayatnya di kancah penerimaan pula penolakan (perlawanan)? Namun alangkah sayang, keberhasilannya yang semu menumbuhkan tekat kelewat melunjak bertingkah ‘melupa dan mengingat’ dengan sangat ugal-ugalan menyulap “Kun Fayakun” dijelmakan (dirombaknya) membentuk kata-kata “Jadi maka Jadilah!” dan “Jadi, lantas jadilah!” (Bukan -Pidato Anugerah Sastra Dewan Kesenian Riau 2000- oleh SCB, yang terbit di “Bentara” Kompas, Jumat 11 Januari 2003, dan Sambutan SCB Pada Upacara Penyerahan Anugerah Sastra MASTERA, Bandar Seri Begawan, 14 Maret 2006)?
***

Berbeda dengan penyair agung, presiden penyair raja mantra palsu atau bahkan para epigon serta gerombolan pembebek, kerap kali mengungkapkan keterpengaruhannya dengan cara-cara serampangan dan mentah. Selama kreativitasnya sebatas menjiplak, sependek itulah greget karyanya; sekadar meniru tanpa berusaha mengolahnya lebih subur dengan kesabaran yang tangguh. Akibatnya, karya-karyanya mustahil menjadi karya menumental, sebab menempatkan dirinya di bawah bayang-bayang keagungan semu atau bersembunyi dalam ketiak plakat presiden penyair. Itu sekerdil-kerdilnya jiwa penyair; puas dengan julukannya, berbangga atas kekeliruannya, atau mereka sudah pada amnesia?

Dalam konteks kultural, kekerdilan tersebut representasi dari sosok pecundang yang nyaman oleh kelebatan bayangan yang diciptakannya sendiri. Dan bermunculannya presiden penyair daerah menguatkan cita-cita luhur-nya (pun mereka); meski tidak mampu menggapainya tetap bergembira dengan embel-embel lokalitas yang menyertai, yakni kata-kata presiden penyair. Mereka berbahagia sebagai epigon, dan bukan pelopor walaupun sama kentir juga. Lalu yang merasa sebagai pelopor kian riang girang terkekeh, sehingga hasilnya tidak terbendung menyerupai bentuk-bentuk kesurupan pun jadi, lantaran menurutnya seorang penyair tidak harus bertanggungjawab pada karya-karyanya, maka lahirlah sulapan kelas pertama dalam perpuisian di Indonesia.

Ternyata dunia sastra Indonesia tidak lepas dari perihal lelucon. Ketika dilihatnya ada yang sukses memakai umbul-umbul tertentu, lainnya ikut-ikutan, padahal nenek moyang kita pernah memberikan wejangan; usaha bisa dicontoh, namun nasib tidaklah dapat’ atau semakin sial saja. Jika penyontekan tersebut terus berhembus kencang dalam wilayah intelektual kepenyairan di bumi pertiwi, cocoknya para pembebek dinamakan gerobak kosong yang bobrok. Lebih menggelikan lagi, mereka mengunyah betul kenyamanan hidup di bawah bayang-bayang. Padahal baju yang dipakainya tidak lain adalah kepecundangan, sebab yang ikut grubyuk mengklaim dirinya presiden penyair pun tidak melakukan pemberontakan (perombakan ke arah yang baik), mungkin takut gagal seperti pendahulunya. Itu ekspresi mental kerdil yang cepat puas dengan menghirup nafas hidupnya dalam ruang seolah-olah. Saya kira itulah rupa-rupa pelepasan dari kepuasan konyol (putus-asa), karena para pecundang tidak mungkin melebihi pioner, meski pun hanya pioner-pioneran.

Seorang penyair seharusnya memiliki semangat membaja, tidak tunduk membara senantiasa atau ketidakpuasan menjadikan bara api perjuangan yang selalu menyala. Ketika puas sedikit saja, mentalitas jiwanya dalam berkarya pastilah tergerus dan hilang amblas ditelan bumi dinaya kreativitasnya. Lebih tepat pamornya tidak sesegar atau segarang sedia kala, dikarena keterlenaan merasa sebagai orang yang telah menjadi. Adalah niscaya presiden penyair bayangan, tidak mungkin berani memberontak kepada presiden penyair lainnya, sebab sama-sama anggota kelompok pelawak, namun tidak mungkin setenar Srimulat.

Kalau balada ayam sayur yang kumprung ini diteruskan jadi tradisi, tentu menyusul adanya wakil presiden penyair lainnya, atau penggantian presiden penyair, tersebab masanya sudah habis dan seterusnya. Padahal wujud ini merupakan kamuflase sedari model birokrasi, sekadar gagah-gagahan ingin disebut penyair. Untuk menghentikan budaya yang tidak mendidik mentalitas berbangsa serta berbahasa (bersastra), kita seharusnya bersatupadu bikin paduan suara atau beramai-ramai tertawa. Saya rasa perasaan sungkan bisa menghentikan lelucon yang tidak bermutu tersebut, guna langkah mereka berbalik tidak menerima baju kebesaran semu. Lewat berkarya terus demi membuktian dirinya bisa hadir cemerlang, tanpa embel-embel pangkat presiden penyair daerah misalnya.

Saya raba-raba jika mengaku-ngaku saja, yang tidak tahu-menahu dunia tulis-menulis bisa menyebut dirinya Superman. Dan untuk mengaku sebagai presiden penyair daerah lebih gampang, daripada mengatakan dirinya Satria Baja Hitam ataupun Si Buta dari gua hantu. Itulah tubuh mentalitas yang bobrok, korengan sangat parah yang harus segera diamputasi sebelum menjalar ke organ lainnya; ke jantung pengetahuan bersastra dan berbudaya di bumi Nusantara. Sungguh, bayangan kefrustrasian begitu kelam menguntit jasad-jasad rapuh mereka, serupa kayu arang melempem tersiram air hujan, tanpa hadirnya bara api dalam kelam. Seperti watak pembungkusan dari keterpengaruhan lugu, atau seorang anak tersedot cerita Superhero yang memakai baju impiannya, lantas jadilah Super-ho-ho.

Manakala sikap kepenyairan diibaratkan sosok kenabian, maka para epigon tidak bisa mengelak ketika dikutuk menjadi bebek yang keok-keok terperdaya ukuran profan, lalu celakalah yang mengikuti pandangan sempit serta keblinger dari mereka. Apa gunanya yang dipetik dari pemilik jengger lebar, tidak lain keterbelengguan jiwa-jiwa yang membosankan. Saya bayangkan mereka berkarya, tidak berangkat dari kedirian murni paling dalam; dirinya memakai baju birokrat kepenyairan, lalu berusaha menulis sajak. Itulah awal penipuan yang bermula dari peniruan, sikap turunan yang tidak patut dijadikan teladan, atas apa pun yang terpantul darinya.

Jiwa-jiwa yang tidak mampu membebaskan dirinya sebagaimana kepompong menjelma kekupu, tidak sanggup menformulasikan pribadinya mengepakkan sayap-sayap pencerahan. Andai terlintas cahaya, hanya kerlap-kerlip lampu pesta tengah malam atau nafas-nafasnya kembang-kempis dirangsek sesuatu yang tidak membahagiakan (memerdekakan). Mending kunang-kunang tidak menganggap dirinya lintang, mendingan gemintang tidak mengaku sebagai rembulan. Jangan-jangan mereka tak bisa membedakan malam dan siang, yang bukan bermakna peristiwa terbebasnya dari ruang dan waktu, tapi ketololan menyukai satu keadaan yakni dekaden.

Tidakkah tindakan mengamini itu cerminan dari pembonsaian diri? Tumbuh-tumbuhan begitu menarik diprekes menjadi bonsai, tetapi sangat dagelan jika yang tertanam dalam ruh bernama watak. Pengerdilan ke-aku-an sama persis bunuh diri perlahan-lahan. Andai disuru meloncat dari ketinggian gedung kemandirian, tentunya tidak berani. Jiwa-jiwa nyaman di kamar sempit akan grogi keluar kandang, jika tidak menyelimuti tubuhnya atas mantel tebal atau jas hujan. Saya sebut orang-orang penakut menunggu redanya hujan, seperti menanti-nanti datangnya petir saat hendak berlari dalam lebatnya kegelapan malam.

Kepribadian yang takut gelap, tidak mungkin menghadirkan cahaya. Andai bertarung tentu beraninya main kroyokan, atau tidak mungkin memiliki mentalitas pembalap dalam lintasan sirkuit pancaroba, mereka jera disuruh berjalan paling depan, sebab hayatnya telah membonsai. Fenomena ini boleh saja, namun bagi pemilik jiwa muda haruslah waspada terhadap mental-mental kepecundangan. Mental jago kandang, teriak lawan namun lempar batu sembunyi tangan, ini solokoto bin kumprung. Maka meskipun berdarah-darah, tidaklah realis di dalam menerjuni kehidupan yang lapang melintang secahaya kemanusiaan.

Hidup di awang-awang tiada kepastian turunnya hujan semisal awan keraguan, andai melangit tidak mampu, sebab kalbunya telah tercukupi bentuk-bentuk kepuasan. Atau hatinya tercerabut dari akar keyakinan, karena tidak menyunggui dirinya sebagai sosok pemampu memikul beban. Padahal salah satu syarat kenabian’ di dunia kepenyairan ialah membelot, memberontak, mengkudeta hal-hal lapuk jahiliah yang tampak di depan mata yang mengungkungi anak jamannya. Maka sikap pembodohan (pengkerdilan) diri, bisa (secara) otomatis berimbas kepada masyarakat, karena kedunguan sama pengertiannya dengan penipuan, dan golongan tertipu persis seperti kaum merugi di dalam kancah jual beli nilai pengetahuan, atau pada pertukarkan kasih damai kemerdekaan.

Jika kerugian demi menyokong jalannya hikayat kebudayaan sebagai wujud peribadatan, tidaklah masalah, tetapi jikalau kebangkrutan berakar dari ketololan, maka sangat kumprung. Kalau diniatkan sekadar dagelan, mungkin berguna untuk mengendorkan urat-urat syaraf bagi yang sungguh-sungguh, sebab dalam kehidupan pun ada namanya banyolan. Namun bentuk mencontek tetaplah kegagalan, dan para presiden penyair gadungan adalah sosok-sosok pecundang, mengkarbit dirinya agar dikiranya matang. Sekali lagi berhati-hatilah memakan buah yang tidak masak dari tangkainya, bisa-bisa sakit perut berimbas keracunan. Atau jangan-jangan sebentar lagi akan terbit antologi puisi para presiden penyair serta wakil-wakilnya di Indonesia? Maka mari persiapkan tertawa…


Jakarta-Yogyakarta-Lamongan, 18 November 2008 / 21 Agustus 2017.

Tidak ada komentar:

Label

`Atiqurrahman A Muttaqin A Rodhi Murtadho A. Iwan Kapit A. Purwantara A. Qorib Hidayatullah A. Zakky Zulhazmi A.H.J Khuzaini A.S. Laksana Aang Fatihul Islam Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi WM Abdul Kadir Ibrahim Abdul Lathief Abdul Malik Abdul Wachid B.S. Abdurrahman El Husaini Abidah El Khalieqy Abu Salman Acep Zamzam Noor Achdiat K. Mihardja Adek Alwi Adi Suhara Adnyana Ole Adreas Anggit W. Afrion Afrizal Malna Aguk Irawan MN Agung Dwi Ertato Agus B. Harianto Agus Buchori Agus Himawan Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sulton Agusri Junaidi Agustinus Wahyono Ahda Imran Ahmad Badrus Sholihin Ahmad Fanani Mosah Ahmad Fatoni Ahmad Ikhwan Susilo Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musabbih Ahmad Rofiq Ahmad Sahidah Ahmad Tohari Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sekhu Alex R. Nainggolan Alex Suban Alunk Estohank Ami Herman Amien Kamil Amien Wangsitalaja Aminudin R Wangsitalaja Anastasya Andriarti Andreas Maryoto Anes Prabu Sadjarwo Angela Angga Wijaya Angkie Yudistia Anindita S Thayf Anis Ceha Anjrah Lelono Broto Anton Kurnia Anton Kurniawan Anton Wahyudi Anugrah Gio Pratama Anwar Nuris Aprinus Salam Arie MP Tamba Arif B. Prasetyo Arif Bagus Prasetyo Arif Hidayat Arman A.Z. Arti Bumi Intaran Arys Hilman AS Sumbawi Asarpin Asef Umar Fakhruddin Asep Sambodja Asrama Mahasiswa Aceh SABENA Astrikusuma Asvi Warman Adam Atep Kurnia Awalludin GD Mualif Aziz Abdul Gofar Azizah Hefni Badrut Tamam Gaffas Bagja Hidayat Bagus Takwin Balada Bale Aksara Baltasar Koi Bambang Agung Bambang Kempling Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Bayu Insani Beni Setia Benny Arnas Benny Benke Berita Berita Duka Berita Utama Bernando J. Sujibto Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Blambangan Brunel University London BSW Adjikoesoemo Budaya Budhi Setyawan Budi Darma Budi Saputra Budi Suwarna Bung Tomo Cak Kandar Catatan Cerpen Chairil Anwar Chavchay Syaifullah Cucuk Espe Cunong N. Suraja D. Zawawi Imron Dadang Ari Murtono Daisuke Miyoshi Damanhuri Damhuri Muhammad Damiri Mahmud Danarto Daniel Dhakidae Dante Alighieri Deddy Arsya Dedy Tri Riyadi Denny Mizhar Deny Tri Aryanti Detti Febrina Dharmadi Diah Hadaning Dian Hartati Dian Sukarno Diana A.V. Sasa Dicky Fadiar Djuhud Didi Arsandi Dimas Dina Oktaviani Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Djadjat Sudradjat Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Doddy Hidayatullah Donny Anggoro Dony P. Herwanto Dorothea Rosa Herliany Dr. Muhammad Zafar Iqbal Dr. Simuh Dwi Arjanto Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwicipta Dwijo Maksum Edy A. Effendi Edy Firmansyah Efri Ritonga Egidius Patnistik Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Hendri Saiful Elik Elsya Crownia Emha Ainun Nadjib Endah Sulawesi Endah Wahyuningsih Endang Suryadinata Endhiq Anang P Endri Y Eriyandi Budiman Ernest Hemingway Esai Esha Tegar Putra Eva Dwi Kurniawan Evi Dana Setia Ningrum Evi Idawati Evieta Fadjar F Rahardi Fabiola D. Kurnia Fadelan Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Faisal Kamandobat Faisal Syahreza Faizal Syahreza Fajar Alayubi Fandy Hutari Fany Chotimah Fatah Yasin Noor Fathor Lt Fathurrahman Karyadi Fatih Kudus Jaelani Fatma Dwi Rachmawati Fauzi Absal Festival Sastra Gresik Fikri. MS Fina Sato Fitri Susila Galih Pandu Adi Gde Agung Lontar Geger Riyanto Gerakan Literasi Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Ginanjar Rahadian Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gunoto Saparie Gus Martin Gus tf Sakai Gusti Eka Hadi Napster Haji Misbach Halim HD Halimi Zuhdy Hamberan Syahbana Hamdy Salad Han Gagas Handoko F. Zainsam Hari Santoso Haris del Hakim Hartono Harimurti Hary B. Kori’un Hasan Gauk Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Helwatin Najwa Hepi Andi Bastoni Heri C Santoso Heri KLM Heri Latief Heri Listianto Hermien Y. Kleden Hernadi Tanzil Heru Emka Heru Kurniawan Heru Prasetya Hesti Sartika Hudan Hidayat Humaidiy AS I Made Asdhiana I Made Prabaswara I Nyoman Suaka IBM. Dharma Palguna Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Ida Ahdiah Idayati Ignas Kleden Ihsan Taufik Ilenk Rembulan Ilham Khoiri Ilham Yusardi Imam Cahyono Imam Jahrudin Priyanto Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indah Darmastuti Indiar Manggara Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indrian Koto Irma Safitri Irman Syah Iskandar Noe Istiqomatul Hayati Ita Siregar Iwan Kurniawan Iwan Nurdaya-Djafar Iyut FItra Jadid Al Farisy Jafar M. Sidik Jakob Sumardjo Jamal D Rahman Janual Aidi Javed Paul Syatha Jayaning S.A Jefri al Malay Jihan Fauziah JJ. Kusni Jo Pakagula Johan Edy Raharjo Joko Pinurbo Jokowi Undercover Joni Ariadinata Joss Wibisono Jual Buku Paket Hemat Judyane Koz Juli Sastrawan Junaidi Abdul Munif Jusuf AN Juwairiyah Mawardy Kadir Ruslan Kasnadi Katrin Bandel Kedung Darma Romansha Khairul Mufid Jr Khamami Zada Khrisna Pabichara Kikin Kuswandi Koh Young Hun Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Komunitas Sastra Ilalang Indonesia (KSII) Korrie Layun Rampan Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan) Kristianto Batuadji Kritik Sastra Kunni Masrohanti Kunthi Hastorini Kuntowijoyo Kurie Suditomo Kurnia EF Kurniawan Kuswaidi Syafi'ie Kuswinarto Lan Fang Landung Rusyanto Simatupang Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Liestyo Ambarwati Khohar Linda Sarmili Liston P. Siregar Liza Wahyuninto LN Idayanie Lucia Idayani Lukman Asya Lusiana Indriasari Lynglieastrid Isabellita M Hari Atmoko M. Aan Mansyur M. Arman A.Z M. Bagus Pribadi M. Fadjroel Rachman M. Harya Ramdhoni Julizarsyah M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S M. Luthfi Aziz M. Nahdiansyah Abdi M. Raudah Jambak M. Shoim Anwar M. Yoesoef M.D. Atmaja Maghfur Saan Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Majalah Sastra Horison Maklumat Sastra Profetik Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Serenade Sinurat Mario F. Lawi Marluwi Marsel Robot Martin Aleida Martin Suryajaya Mashuri Matdon Mega Vristian Melani Budianta Melayu Riau Memoar MG. Sungatno Mh Zaelani Tammaka Miftah Fadhli Miftahul Abrori Misbahus Surur Miziansyah J Mochtar Lubis Mohamad Ali Hisyam Mohammad Eri Irawan MT Arifin Mugy Riskiana Halalia Muhajir Arrosyid Muhamad Rifai Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Al-Mubassyir Muhammad Qodari Muhammad Rain Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun A.S Muhidin M. Dahlan Muhlis Al-Firmany Mujtahid Mulyadi SA Munawir Aziz Murniati Tanjung Murnierida Pram Musa Ismail Musfi Efrizal Mustaan Mustafa Ismail N. Mursidi Nafsul Latifah Naskah Teater Nasrullah Nara Nelson Alwi Nenden Lilis A Nh. Anfalah Ni Made Purnama Sari Nina Mussolini-Hansson Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Noura Nova Christina Noval Jubbek Novela Nian Nugroho Notosusanto Nugroho Pandhu Sukmono Nur Faizah Nurdin F. Joes Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nurul Komariyah Nuryana Asmaudi SA Nyoman Tusthi Eddy Nyoman Wirata Oka Rusmini Oktamandjaya Wiguna Oky Sanjaya Olanama Olivia Kristina Sinaga Otto Sukatno CR Pagelaran Musim Tandur Pamusuk Eneste Patricia Pawestri PDS H.B. Jassin PDS. H.B. Jassin Penghargaan Hadiah Sastra Pusat Bahasa Persda Network Pipiet Senja Pramoedya Ananta Toer Pramono Pranita Dewi Pringadi AS Prita Daneswari Prof. Tamim Pardede sebut Bambang Tri Prosa Pudyo Saptono Puisi Puisi Kesunyian Puisi Sufi Puji Santosa PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Wijaya Qaris Tajudin R. Sugiarti Rachmad Djoko Pradopo Radhar Panca Dahana Ragdi F. Daye Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Ramadhan Batubara Ramadhan KH Ratih Kumala Ratna Indraswari Ibrahim Ratna Sarumpaet Raudal Tanjung Banua Remy Sylado Reni Susanti Renny Meita Widjajanti Resensi Restu Kurniawan Retno Sulistyowati RF. Dhonna Rian Sindu Ribut Wijoto Ridwan Munawwar Riki Utomi Riris K. Toha-Sarumpaet Risang Anom Pujayanto Riza Multazam Luthfy Robin Al Kautsar Rodli TL Rofiqi Hasan Rohman Abdullah Rosidi Rosihan Anwar Rukardi S Yoga S. Jai S. Sinansari Ecip S.I. Poeradisastra S.W. Teofani Sabam Siagian Sabrank Suparno Saiful Anam Assyaibani Sainul Hermawan Sajak Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sanggar Rumah Ilalang Sanggar Teater Jerit Sapardi Djoko Damono Sartika Dian Sartika Dian Nuraini Sastra Tanah Air Sastra Using Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sayyid Fahmi Alathas Sazano Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo Seli Desmiarti Selo Soemardjan Senggrutu Singomenggolo Seno Joko Suyono SH Mintardja Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sipri Senda Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Sobih Adnan Sofian Dwi Sofie Dewayani Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sri Ruwanti Sri Wintala Achmad St Sularto Stefanus P. Elu Sukron Abdilah Sulaiman Djaya Suminto A. Sayuti Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sungging Raga Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Suryansyah Suryanto Sastroatmodjo Susanto Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suyadi Suyadi San Syaifuddin Gani Syaiful Amin Syamsiar Hidayah Syarbaini Syifa Amori Syifa Aulia Tajuddin Noor Ganie Taufik Abdullah Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat TE. Priyono Teguh Afandi Teguh Ranusastra Asmara Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Theresia Purbandini Tita Tjindarbumi Titik Alva-Alvi Choiriyah Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tjoet Nyak Dhien Tosa Poetra Tri Lestari Sustiyana Triyanto Triwikromo TS Pinang Tu-ngang Iskandar Tulus S Tulus Wijanarko Udo Z. Karzi Ugoran Prasad Umar Fauzi Ballah Umar Kayam Umbu Landu Paranggi Universitas Indonesia Universitas Jember Utada Kamaru UU Hamidy Vera Ernawati Veronika Ninik W.S. Rendra Wahjudi Djaja Wahyu Hidayat Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Budiartha Widya Karima Wijaya Herlambang Wiji Thukul Willem B Berybe Wilson Nadeak Winarni R. Wiratmo Soekito Wita Lestari Wiwik Widayaningtias Y. Thendra BP Y. Wibowo Yasser Arafat Yeni Ratnaningsih Yohanes Sehandi Yonatan Raharjo Yonathan Rahardjo Yopi Setia Umbara Yos Rizal S Yos Rizal Suriaji Yudhi Herwibowo Yuka Fainka Putra Yurnaldi Yushifull Ilmy Yusri Fajar Yusuf Suharto Zainal Abidin Zainal Arifin Thoha Zawawi Se Zen Hae