Minggu, 15 Oktober 2017

Budaya Tradisi Selamatan

Tulus S *

Upacara tradisi selamatan (slametan) ataupun gelar sesaji (sajen) bagi masyarakat Jawa seakan sudah menjadi pola kehidupan yang biasa dilaksanakan. Walau hal tersebut mengalami sebuah pergeseran bahkan pertentangan karena adanya sebuah perubahan dan pengaruh dari budaya luar. Sejak manusia Jawa lahir sudah diperkenalkan dengan tradisi-tradisi selamatan.
Mulai dari kelahiran (brokohan, sepasaran, piton-piton, selapan, setahunan), anak-anak (tetakan/khitanan), upacara perkawinan, masa kehamilan, sampai dengan kematian. Begitu pula dalam pola tradisi kehidupan masyarakat Jawa seperti pindah rumah, membuat rumah, tardisi bersih desa/nyadran, upacara-upacara di Keraton dan masih banyak lagi. Hampir perilaku atau kegiatan yang akan dilakukan oleh masyarakat Jawa tidak  lepas didahului dengan tradisi selamatan.

Dalam rangka mencapai alam adikodrati, orang Jawa melakukan berbagai tindakan supranatural. Tindakan tersebut dilaksanakan melalui proses mistik. Dimana mistik merupakan proses pencermatan dunia batin, agar mampu memasuki dunia lain. Jika alam adikodrati itu bersifat abstrak, maka untuk masuk kesana juga perlu sikap abstrak pula yaitu secara mistik.

Proses mistik ada dua macam, yaitu: (1). Mistik yang dilakukan oleh perorangan. (2). Mistik yang dilakukan secara berkelompok. Pada umumnya, sistem mistik orang Jawa dilakukan secara berkelompok sehingga muncul berbagai aliran yang berbentuk paguyuban, organisasi dan perguruan. Berbagai aliran  penghayat mistik ini mempunyai keyakinan yang berbeda-beda terhadap hal yang dianggap gaib. Namun pusarannya tetap sama yaitu penghormatan terhadap roh atau yang gaib di alam adikodrati.

Selamatan (slametan) yang biasa dilakukan oleh orang Jawa, merupakan adat yang tidak bisa dilepaskan dengan akar sejarah kepercayaan-kepercayaan yang pernah dianut oleh orang Jawa .Aktifitas selamatan bertujuan untuk memperoleh keselamatan bagi pelakunya itu pada mulanya bersumber dari kepercayaan animisme-dinamisme, kepercayaan yang dianut oleh nenek moyang orang Jawa yang menganggap bahwa setiap benda itu punya roh dan kekuatan tertentu. Dari kenyataan ini manusia pada awalnya merasa tidak berdaya, kemudian meminta perlindungan kepada sesuatu yang memiliki kekuatan lebih, yang disebut dengan roh-roh dan kekuatan-kekuatan yang ada pada benda-benda tertentu. Kegiatan yang berupa permohonan untuk suatu keselamatan itu kemudian disebut dengan “selamatan”. Jika pada masa animisme-dinamisme disebut nama-nama roh dan kekuatan tertentu kemudian pada masa Hindu-Budha diganti dengan nama-nama dewa-dewi, dan setelah kedatangan Islam diganti dengan nama-nama Allah, Muhammad, dan para keluarga Nabi serta para sahabatnya dan prinsip-prinsip Islam.

Dalam sudut pandang ontopologi, hakikat dari keselamatan yaitu sebagai wujud syukur, untuk mendapatkan berkah, selamat dan terhindar dari cobaan yang berat, mendoakan orang yang meninggal, sebagai rasa syukur, kehidupan masyarakat aman dan tenteram, terjaga dari malapetaka dan juga berfungsi sebagai (tolak balak). Secara ontologi selamatan mengandung unsur-unsur realisme, naturalisme, dan empirisme. Unsur realisme dalam selamatan yaitu tradisi yang dilakukan oleh masyarakat untuk mendekatkan diri kepada Tuhan dan untuk menjalin sikap kekeluargaan terhadap masyarakat. Misalnya setiap hari kamis malam jumat, masyarakat melakukan pengkajian “Yasinan atau Tahlilan”.

Unsur naturalisme dalam selamatan yaitu menggunakan alam sebagai wujud syukur .Misalnya sesajen sedekah laut yang dilakukan masyarakat berbondong-bondong, upacara metri desa atau bersih desa dan lain-lain .Unsur empirisme dalam selamatan yaitu rasa bersyukurnya masyarakat kepada Tuhan. Dalam sudut pandang aksiologi, yaitu nilai kekeluargaan dan nilai kebudayaan Hindu dan Islam. Dalam nilai kekeluargaan dalam selamatan yaitu untuk menyambung hubungan kekeluargaan agar menyebabkan rasa kekerabatan antar masyarakat menjadi erat.

Sedangkan kebudayaan Hindu dalam keselamatan lebih cenderung ke mantra-mantra dan pujian terhadap dewa-dewa saat melakukan ritual, sedangkan kebudayaan Islam saat melakukan selametan lebih cenderung pada doa-doa yang sesuai dengan ajaran agama Islam, misalnya dzikir, membaca bismillah, tahlil dan atau yasinan. Hal ini menyebabkan sebuah alkuturasi budaya yang sangat unik. Selain itu, saat masa Hindu selametan merupakan yang bernilai ritual, yang diadakan pada petang hari di antara kaum lelaki mereka menikmati hidangan yang disajikan di atas lembaran daun pisang berupa nasi kuning, dan bertujuan untuk menjinakkan roh yang dianggap hadir. Bila roh itu sudah jinak maka seorang yang ikut selametan sudah di anggep “selamet”. Dalam Islam selamatan merupakan makan bersama yang mengundang masyarakat sekitar umumnya laki-laki, dengan doa. Hidangannya berupa nasi tumpeng dan bertujuan untuk kerukunan dan ketenteraman serta dengan berharap mendapatkan berkah dari Allah serta bersyukur atas nikmat yang diberikan kepada Allah.

Clifford Geertz merupakan seorang peniliti yang memberikan sumbangan besar  terhadap sejarah peradaban Jawa, khususnya yang berlaku di daerah Mojokutho, Kediri Jawa Timur. Beliau mengutarakan pendapatnya mengenai arti selamatan dalam bukunya “ Agama Jawa “ ;Abangan, santri, Priyayi dan Masyarakat Jawa. Geertz (1981;13) mengatakan bahwa selamatan upacara keagamaan yang paling umum di dunia. Namun istilah selamatan hanya ditujukan untuk upacara keagamaan khusus bagi orang Jawa. Selamatan dalam budaya Jawa melambangkan kesatuan mistik dan sosial. Karena kesatuan itulah banyak pihak yang terlibat dalam upacara keagamaan ini, meliputi handai taulan, tetangga, rekan kerja, kelurga, sanak saudara, arwah setempat dan unsur-unsur lain. Jadi berdasarkan makna ini dapat diambil kesimpulan bahwa selamatan tidak ubahnya sebuah pesta. Hanya saja saja pesta itu dilakukan untuk tujuan serta harus mengikuti tata cara tertentu.

Menurut Rezim (2015;83) bahwa kata selamatan berasal dari kata slamet yang berarti selamat, bahagia, sentosa. Adapun makna dari selamat adalah keadaan lepas dari insiden-insiden yang tidak dikehendaki. Berdasarkan makna ini maka selamatan dapat diartikan sebagai kegiatan masyarakat Jawa yang biasanya digambarkan sebagai pesta ritual, baik upacara di rumah maupun desa atau bahakan skala yang lebih besar.

Slametan merupakan hasrat mencari keselamatan dalam dunia yang kacau. (Mulder;2013;136). . dijelaskan pula bahwa kegiatan tersebut tidak ditujukan bagi sebuah kehidupan yang lebih baik, kini maupun di masa mendatang tetapi lebih ditujukan untuk memelihara tatanan dan mencegah datangnya bala. Juga terlihat bagaimanapun bahwa manusia memegang peran aktif dalam memelihara tatanan ini dan mampu mempengaruhi arahnya. Hubungan sosial yang tertata baik menjadi sebuah sarana menuju dan sebuah kondisi untuk meningkatkankeadaan selamat.

Pergeseran tata laksana selamatan yang terjadi sekarang ini bisa berpengaruh terhadap nilai atau makna dari inti selamatan itu sendiri. Hal tersebut dikarenakan masyarakat Jawa sekarang sudah tidak tahu ataupun tidak mau tahu tentang inti ajaran selamatan tersebut. Di kampung, saya sering melihat pergeseran nilai terjadi pada ubarampe (sesaji/peralatan) yang digunakan dalam upacara selamatan (slametan)  tersebut. Misalkan selamatan orang mati yang punya hajat tidak mengeluarkan sesaji atau ubarampe yang utama (baku) sebagai persyaratan upacara selamatan yang disebut ambeng. Mereka hanya memberikan berkat yang sudah diwadahi (dikemas) dalam bakul nasi dari plastik atau besek kepada para undangan untuk dibawa pulang. Saya kadang bertanya apa bedanya peringatan ulang tahun dengan tardisi  selamatan ?. Disini pemahaman masyarakat sudah mulai luntur  karena memang tidak mengetahui makna yang tersirat dalam simbol-simbol ambengan yang merupakan syarat baku dalam tradisi selamatan.

Pengenalan makna tradisi selamatan yang hanya pada kulitnya saja berpengaruh terhadap pola pikir generasi berikutnya. Mereka lebih menghendaki pola hidup yang dianggap praktis dan tidak mau ribet. Padahal bila digali lebih mendalam budaya peninggalan warisan leluhur berupa selamatan ini merupakan modal sosial dan memiliki nilai yang sangat besar bagi terciptanya kebersamaan, kekeluargaan, gotong-royong, guyub-rukun, saling mengharagai dan menghormati. Hal ini bisa dilihat dalam ajaran Memayu Hayuning Bawana yang meletakan dasar kehidupan manusia Jawa pada pola kehidupan bermasyarakat di dunia.

Sesaji atau sajen jika dipandang sebagai persepektif agama Abrahamisme, kadang dianggap berkonotasi negative, sebagai biang kemusryikan (persekutuan Tuhan). Yang menjadi masalah, asumsi itu terjadi karena masing-masing pihak sering tidak paham pada esensi hidup. Benarkah manusia menyekutukan dan menduakan Tuhan melalui upacara sesaji ini? Seyogjanya jangan terjebak oleh keterbatasan akal budi dan nafsu golek menange dhewe (mencari menangnya sendiri) dan golek benere dhewe (mencari kebenarannya sendiri). Maksud sesaji sebenarnya merupakan suatu upaya harmonisasi, melalui jalan spiritual yang kreatif untuk menselaraskan dan menghubungkan antara daya aura magis manusia, dengan seluruh ciptaan Tuhan yang saling berdampingan di dunia ini, khususnya kekuatan alam maupun makhluk ghaib. (Suwardi;2014;127).

Dijelaskan pula bahwa sesaji merupakan harmonisasi dalam dimensi horizontal terhadap sesama makhluk ciptaan Tuhan. Harmonisasi diartikan sebagai kesadaran manusia. Sekalipun manusia dianggap (menganggap diri) sebagai makhluk paling mulia, namun tidak ada alasan untuk mentang-mentang merasa diri paling mulia diantara makhluk lainnya. Karena kemuliaan manusia tergantung dari cara memanfaatkan akal budi dalam diri kita sendiri. Bila akal budi digunakan untuk kejahatan, maka kemuliaan manusia menjadi bangkrut, masih lebih hina sekalipun dibanding dengan binatang paling hina.

Sesaji dan ubarampe di dalam selamatan sebenarnya merupakan pengaruh dari tradisi lokal (Jawa) dan Hindu, Buda termasuk animisme dan dinamisme, yang sudah ada jauh sebelum kedatangan Islam. Namun setelah Islam masuk maka kebudayaan itu mengalami pembauran lagi yang oleh para ilmuwan dinamakan sinkritisme. Sesaji ataupun ubarampe merupakan produk alkuturasi budaya, maka selamatan dapat digolongkan salah satu bentuk alkuturasi antara agama dan budaya lokal.

Terlepas dari dilaksanakan atau tidaknya sebuah tradisi selamatan kiranya masyarakat Jawa perlu belajar untuk mengetahui ajaran-ajaran yang diberikan para leluhur lewat upacara tradisi termasuk ubarampenya (perlengkapan;sesaji). Bahkan dengan adanya pengaruh agama tertentu tardisi-tradisi yang menyuguhkan berbagai macam sesasji dianggap syirik, dianggap dosa, dianggap bersekutu dengan setan dan lain sebagainya. Tentu itu tidak beralasan. Mereka yang beranggapan seperti itu karena tidak memahami tentang simbol-simbol tersebut dan bisa juga dipenuhi watak egoisme yang berlebihan. Ubarampe sesaji tidaklah lain sebagai ajaran yang luhur yang penuh dengan peradaban dan etika.

Permohonan yang tulus dan sumendhe (pasrah) kepada Tuhan sebagai manisfestasi rasa keihklasan untuk memberikan sebagian yang dimiliki kepada orang lain. Berbagi rasa baik kesedihan, kesenangan, kebahagiaan merupakan bagian dari tradisi selamatan . Hal itu ditunjukkan dengan adanya upacara selamatan kematian, upacara selamatan perkawinan, upacara selamatan syukuran dan lain-lain.  Masyarakat Jawa yang masih menganut tradisi selamatan ataupun yang setengah-setengah tentu tidak merasa terbebani dengan mengeluarkan sebagian hartanya untuk berbagi kepada yang lain lewat tradisi selamatan. Keihklasan itulah yang bisa memberikan rasa ayem tentrem sebagi hasil dari perbuatannya itu.

Menurut waktu pelaksanaan bahwa selamatan bisa diadakan pada waktu ; (1).Malam hari sebagai contoh selamatan kematian (ngintun leluhur), selamatan manggulan (menyambut upacara perkawinan). (2). Siang hari misalkan selamatan bersih desa, nyadran, methil (pethik padi), kelahiran dan lain-lain. (3) Ada selamatan yang berdasarkan penanggalan baik itu dilaksanakan pada siang hari atau malam hari, misalkan; tiron-tiron (memperingati hari kelahiran), maleman (memperingati penyatuan hitungan perkawinan yang pelaksanaannya dibarengkan dengan 10 terakhir hari puasa Ramadlan; misal malem 21, malem 23, malem 23 dan malem 29), Selamatan Suro’an (menyambut malam satu syuro) dan lain-lain.

A. Nilai Keselamatan Manusia Jawa

Kita sering mendengar  ungkapan suwargi  merupakan kalimat yang dipakai untuk mengawali nama atu sebutan  orang yang sudah meninggal dunia. Misalkan suwargi Rama Dirun, Suwargi Mbah Suto, Suwargi Eyang dan lain lain. Hal ini manusia Jawa berpikir bahwa orang yang telah meninggal dunia berada pada tempat yang menyenangkan, tempat yang tentram dan bahagia karena kata suwargi atau suwarga memiliki makna leksikal surga. Tidak mengherankan jika manusia Jawa mempunyai gegayuhan (cita-cita)  ingin berjumpa atau bersatu dengan Tuhannya. 

Hal ini sering kita dengar dalam pidato pada upacara kematian yaitu kondur ing alam kelanggengan (pulang ke alam abadi), wangsul dhumateng pangayunanipun Gusti (pulang kepangkuan Tuhan), mulih marang mulanira (kembali kepada asalnya), tinimbalan Gusti (dipanggil Tuhan). Pada nilai religious budaya Jawa nilai keselamatan berdimensi duniawi dan surgawi atau akhirati. Maksudnya manusia Jawa selalu mencita-citakan, mendambakan dan mengharapkan keselamatan baik pada hidup didunia maupun hidup sesudah mati. Upacara tradisi selamatan orang meninggal menggambarkan sebuah cita-cita menuju pada keselamatan dunia maupun akhirat. Dalam serat nitisruti (1994;10) ditegaskan bahwa keselamatan dunia perlu dijunjung tinggi (widada ing kadunyan supadi, bangkit dadya ruhuning jagad, mrih kaprapatan sakajate), sedangkan dalam siklus slametan diisyaratkan bahwa keselamatan sesudah hidup di dunia perlu diutamakan. (Saryono D,2011;50).

Konsep slamet; sugeng; rahayu; widodo; basuki menjadi hal yang penting bagi kehidupan manusia Jawa.  Tingkah laku, solah bawa, tindak-tanduk, pangucap , adat  (tindakan, perbuatan, kelakuan, ucapan, tradisi) selalau dalam rangka mewujudkan keselamatan dunia (memayu hayuning bawana).  Situs slametan (selamatan)  sering disebut sugengan atau wilujengan. Sehingga slametan orang mati pada umumnya untuk mengirimkan doa (kirim donga) bagi orang Jawa yang sudah meninggal  agar slamet di alam sesudah mati. Pengharapan keselamatan tersebut dilantunkan oleh pembawa doa (modin;kyai;sesepuh) dalam bentuk ujub.

Doa harapan tersebut kurang lebih sebagai berikut……..padhanga dalane, jembar- kubure, tinebihna ing neraka cinelakna surgane…… (semoga terang jalannya, luas tempatnya, jauhkan dari neraka dan ditempatkan pada surga….). Disamping itu ucapan muga-muga (mugi-mugi) Gusti paring keslametan, nyuwun slamet, nyangoni slamet, ngaturaken kasugengan, sluman slumun slamet, basuki langgeng, rahayu menunjukkan aktualisasi dan artikulasi nilai keselamatan yang rohaniah, spiritual, dan transendental; bukan sekedar  jasmaniah, sosial dan sekuler.

Begitu pula bila orang Jawa ketemu akan menanyakan keselamatannya’ sebagai berikut’; “ sugeng rawuhipun” kemudian dijawab “ awit pangestunipun sadaya sami rahayu”. Kata “rahayu” yang menjadi salam dari para penganut Penghayat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa juga masyarakat Jawa merupakan sebuah doa tentang harapan keselamatan. Ketika penulis belajar pada Padepokan Gerinda Pancasila Mawahyu Buwana milik Romo Wisnoe Wardhana bahwa dalam kelompok tersebut telah mempunyai salam yang unik, yaitu “Hong Hulun Basuki Langgeng” kemudian dijawab “Basuki Langgeng”. Makna dari salam tersebut juga harapan tercapainya sebuah nilai keselamatan, baik di dunia maupun di alam setelah kematian.

Penting dan berartinya nilai keselamatan yang rohaniah, spiritual, profesis dan transendental  juga ditegaskan oleh banyak kitab mujarobat, primbon, serat, suluk dan babad. Misalnya Mojarobat Kesembuhan, Primbon  Betaljemur Adamakna, Primbon Ajimantrawara, Primbon Yogabrata, Primbon Rajahyogamantra, Serat Wedhatama, Serat Centhini, Suluk Saloka Jiwa, Suluk Pesisiran, Suluk Wragul, Suluk Tuhu Linglung, Suluk Besi, Suluk Jalma Lewi, dan Suluk Selobrangti dan Babad Demak. Selain itu penting dan berartinya keselamatan bagi manusia Jawa juga tampak pada berbagai wejangan (wewarah) dan larangan (pepacuh) serta pantangan Jawa (wewaler) yang dimaksudkan sebagai tuntunan menuju keselamatan. (Saryono;2011;51). Sejalan dengan pendapat Pugiarto (1993;19) dapat dikatakan disini bahwa keselamatan atau slamet (sugeng) merupakan puncak kriterium keberhasilan masyarakat atau manusia Jawa.

Keselamatan menjadi hal pokok dalam pola hidup manusia Jawa. Dalam Serat Mega Mendhung (Tejasusastra;1970;43) tertulis; marmanira kudu bangkit, anyingkiri kabeh patrap, ingkang anyimpang karahayon, mrih lestari kaayoman, wahyuning kayuwanan, ayem tentrem tumaruntun, anak putu katumusan. Maksudnya adalah manusia harus bangkit, menghindari segala tindakan yang menyeleweng, agar selalu terlindung, sebuah kekuatan/keselamatan, kedamaian ketentraman sampai kepada anak-cucu dan keturunannya. Ini adalah pokok ajaran manusia Jawa yang selalu menekankan pada sebuah pola perilaku yang baik untuk mencapai sebuah nilai keselamatan. 

Menurut Serat  Jatimurti (1980;11-18)  manusia yang selamat dan sempurna dalam pertemuan dan atau persatuan persaksian atau wujud dengan Tuhan yang Maha Esa adalah manusia yang mampu mencapai keadaan atau kehidupan sejati atau ultim (kahanan jati, alam kejaten). Disini manusia selalu diliputi rasa tentram, bahagia, nikmat, dan bermakna; terbebas dari penderitaan, kesengsaraan, dan kejahatan.

Jalan penyatuan kepada Tuhan atau berusaha bertemu dengan Tuhan melalui berbagai macam jalan, misalnya mistik atau tasawuf dan kepercayaan-kebatinan. Intisari ajaran mistik kejawen adalah kemanunggalan manusia dengan Tuhan. Cara kemanunggalan ini diwujudkan dalam bentuk kepatuhan, pasrah (sumendhe), dan narima ing pandum.  Menurut budaya Jawa bahwa manusia yang sanggup  bertemu bahkan bersatu (manunggal) dengan Tuhan adalah manusia yang selamat dan sempurna.

Nilai keselamatan akan lebih lengkap bila didukung oleh nilai kesempurnaan. Dikatakan demikian karena karena manusia Jawa yang memiliki kualitas kesempurnaan secara relatife mencapai manusia yang selamat. Ngelmu slamet akan mudah diproleh oleh manusia yang selalu ngudi kasampurnan dan mencapai nilai kasampurnan itu.  Kesempurnaan yang dimaksud adalah wikan sangkan paran, mulih mula mulanira, manunggal, sebagai ciptaan kembali kepada Sang Pencipta.

Manusia dikatakan menjadi manusia yang sebenarnya apabila ia menjadi manusia yang etis yakni manusia yang secara utuh mampu memenuhi hajat hidup dalam rangka mengasah keseimbangan antara kepentingan pribadi dengan kepentingan sosial, antara rohani dan jasmani, antara makhluk berdiri sendiri dengan khaliknya. Hal ini dikarenakan hidup manusia mempunyai tujuan terakhir, yang baik dan tertinggi dalam rangka mendapatkan kebahagiaan sempurna.

Nilai keselamatan dariapada nilai religi Jawa adalah berdimensi duniawi dan surgawi atau akherat. Makdsudnya manusia Jawa secara lahir maupun batin menghendaki adanya keselamatan dari hidup (berada di dunia) sampai dengan mati. Ucapan, tindakan, perbuatan, dan perilaku simbolis dan ritual manusia Jawa selalu dalam rangka (memperoleh) slamet (keselamatan). Dalam sebuah pengertian memayu hayuning bawana  tidak hanya mencari sebuah keindahan dalam mencari keselamatan di dunia atau menjaga sebuah keseimbangan dan keselarasan hidup saja tetapi apa yang dilakukan selama di dunia harus bisa dipertanggungjawabkan keselamatannya sampai setelah hidup.

Ritus slametan (wilujengan, sugengan) yang jenisnya sangat beragam menarik pemerhati dan peneliti budaya Jawa merupakan manifestasi dan artikulasi konsep dan arti slamet dan sugeng yang menjadi intisari (galih) nilai keselamatan. Selamatan orang mati yang telah berkembang dan masih tumbuh saat ini adalah sebuah harapan agar yang mati juga diberi keselamatan di alam kematian dengan jalan dikirim doa oleh para keluarga dan kerabat serta tetangga. Begitu juga brokohan (slametan kelahiran) merupakan ungkapan rasa syukur pada Tuhan atas keselamatan dari ibu dan anak yang baru dilahirkan. Nilai kesempurnaan akan mendukung atau menyangga daripada nilai keselamatan, karena bagi manusia Jawa yang memiliki kualitas sempurna atau kesempurnaan secara relatif menjadi manusia selamat.

Selain itu manusia yang berkualitas sempurna akan mampu memperoleh pengetahuan keselamatan (ngelmu slamet). Dalam serat Serat Jatimurti 1980) kesempurnaan berarti awas marang kang ngrasa, ora korup marang rasane, luwih-luwih marang kang dirasa (awas kepada yang empunya merasa, tulus bersih terhadap rasanya, lebih-lebih kepada yang dirasakan). Pengertian tersebut mengandung kesempurnaan sebagai manusia akan mengantarkan manusia Jawa menuju ke kesalamatan.  Disini kesempurnaan manusia menjadi semacam conditiosine quanon untuk meraih keselamatan; bahwa manusia Jawa tidak akan selamat bertemu dan atau bersatu dengan Tuhannya jika dia tidak menjadi manusia sempurna.

Dalam kebudayaan Jawa keempurnaan berarti mengerti akan awal dan akhir hidup atau wikan Sangkan paran (Abdullah Ciptoprawiro;1886;82). Kesempurnaan dihayati dengan seluruh kesempurnaan cipta, rasa, karsa. Manusia sempurna telah menghayati dan mengerti awal akhir hidupnya. Orang sering menyebut mulih mula mulanira atau meninggal. Manusia telah kembali dan manunggal dengan penciptanya, manunggaling Kawula Gusti.  Manusia sempurna memiliki kawicaksanan dan kemampuan mengetahui peristiwa-peristiwa di luar jangkauan ruang dan waktu atau kawaskitan.  Menurut Heniy (2006;366) istilah lain dari dari ilmu kasampurnan yaitu ilmu kasunyatan, ilmu makrifat, ilmu tuwa, dan ilmu sangkan paran.

B. Slametan Sebagai Inti Agama Jawa

Slametan atau selamatan merupakan sebuah wahana sebagai bentuk untuk mencapai keselamatan baik secara pribadi maupun kelompok.  Slametan sebagai tindakan ritual yang memuat pesan ajaran memayu hayuning bawana (mencari keselamatan dunia). Orang Jawa percaya bahwa ada sebuah kekuatan adikodrati di luar kemampuannya. Dengan cara mengadakan selamatan akan terjadi komunikasi, interaksi, kontak secara rohaniah kepada kekuatan tersebut. Slametan merupakan bentuk ritual mistik yang di dalamnya kaya pekerti simbolik. Yakni berupa inti religious Jawa. Sebagai inti religious Jawa slametan memuat konsep sentral bagi semua mistisme Jawa, sebagaimana terkandung dalam kalimat sangkan paraning dumadi (asal mula tujuan hidup). Maka segala perilaku slametan selalu tertuju pada ada yang sempurna.

Religi adalah penyerahan diri kepada Tuhan, dalam keyakinan bahwa manusia itu tergantung dari Tuhan, bahwa Tuhanlah yang merupakan keselamatan yang sejati dari manusia, bahwa manusia dengan kekuatannya sendiri tidak mampu untuk memperoleh keselamatan itu dan karenanya ia menyerahkan dirinya kepada_Nya. (N. Driyakara S,J;1977;31).

Koentjoroningrat dalam bukunya “Pengantar Ilmu Antropologi” menjelaskan bahwa semua aktivitas manusia yang bersangkutan dengan religi berdasarkan atas suatu getaran jiwa, yang biasanya disebut emosi keagamaan, atau religious emotion. Emosi keagamaan ini biasanya pernah dialami oleh setiap manusia, walaupun getaran emosi itu mungkin hanya berlangsung untuk beberapa detik saja, untuk kemudian menghilang lagi. Emosi keagamaan itulah yang mendorong orang melakukan tindakan-tindakan yang bersifat religi.. Pokoknya, emosi keagamaan menyebabkan bahwa sesuatu benda, suatu tindakan, atau suatu gagasan, mendapat suatu nilai keramat, atau sacred value, dan dianggap keramat.

Demikian juga benda-benda, tindakan-tindakan atau gagasan-gagasan yang biasanya tidak keramat, yang biasanya profane, tetapi apabila dihadapi oleh manusia yang dihinggapi oleh emosi keagamaaan, sehingga ia solah-olah terpesona, maka benda-benda, tindakan-tindakan dan gagasan-gagasan tadi menjadi keramat.

Suatu sistem religi dalam suatu kebudayaan selalu mempunyai ciri-ciri untuk sedapat mungkin memelihara emosi keagamaan itu diantara pengikut-pengikutnya. Dengan demikian emosi keagmaan merupakan unsur penting dalam suatu religi bersama dengan tiga usnur lain, yaitu (i) sistem keyakinan; (ii) sistem upacar keagamaan; (iii) suatu umat yang menganut religi itu.

Sistem kayakinan secara khusus mengandung benyak sub-unsur lagi. Dalam rangka ini para ahli antroplogi biasanya menaruh perhatian terhadap konsepsi tentang dewa-dewa yang baik maupun yang jahat; sifat-sifat dan tanda-tanda dewa-dewa; konsepsi tentang mahluk-mahluk halus lainya seperti roh-roh leluhur, roh-roh lain yang baik maupuan yang jahat, hantu dan lain-lain; konsepsi tentang dewa tertinggi dan pencipta alam; masalah terciptanya dunia dan alam (kosmologi); masalah mengenai bentuk dan sifat-sifat dunia dan alam (kosmologi); konsepsi tentang hidup dan mati’ konsepsi tentang dunia roh dan dunia akhirat lain-lain.

Adapun sistem kepercayaan dan gagasan, pelajaran aturan agama, dongeng suci tentang riwayat-riwayat dewa-dewa (mitologi), biasanya tercantum dalam suatu himpunan buku-buku yang biasanya juga dianggap sebagai kesusastraan suci.

Sistem upacara keagaman secara khusus mengandung emosi aspek yang menjadi perhatian khusus dari para hali antroplogi ialah:
(i)tempat upacara keagamaan dilakukan;
(ii)saat-saat upacara keagamaan dijalankan;
(iii)benda-benda dan alat-alat upacara;
(iv)orang-orang yang melakukan dan memimpin upacara.

Aspek yang pertama berhubungan dengan tempat-tempat keramat di mana upacara dilakukan, yaitu makam, candi, pura, kuil, gereja, langgar, surau, mesjid dan sebagainya. Aspek ke-2 adalah aspek yang mengenai saat-saat beribadah, hari-hari keramat dan suci dan sebagainya. Aspek k-3 adalah tentang benda-benda ynag dipakai dalam upacara termasuk patung-patung yang melambangkan dewa-dewa, alat-alat bunyi-bunyian seperti lonceng suci, seruling suci, gendering suci dan sebagainya. Aspek ke-4 adalah aspek yang mengani para pelaku upacara keagamaan, yaitu pendeta biksu, syaman, dukun dan lain-lain.

Upacara itu sendiri banyak juga unsurnya, yaitu:
i.bersaji,
ii.berkorban;
iii.berdo’a;
iv.makan bersama makanann yang telah disucikan dengan do’a;
v.menari tarian suci;
vi.menyanyi nyanyian suci;
vii.berprosesi atau berpawai;
viii.memainkan seni darama suci;
ix.berpuasa;
x.intolsikasi atau menaburkan pikiran dengan makan obat bius untuk mencapai keadaan trance, mabuk;
xi.bertapa;
xii.bersemedi.

Diantara unsur-unsur upacara keagamaan tersebut ada yang dianggap penting sekali dalam satu agama, tetapi tidak dikenal dalam agama lain, dan demikian juga sebaliknya. Kecuali itu suatu acara upacara biasanya mengandung suatu rangkaian yang terdiri dari sejumlah unsur tersebut. Dengan demikian dalam suatu upacara untuk kesuburan tanah misalnya, para pelaku upacara dan para pendeta berpawai terlebih dahulu menuju ke tempat-tempat bersaji, lalu mengorbankan seekor ayam, setelah itu menyajikan bunga kepada dewa kesuburan, disusul dengan doa yang diucapkan oleh para pelaku, kemudian menyanyi bersama berbagai nyanyian suci, dan akhirnya semuanya bersama kenduri makan hidangan yang telah disucikan dengan do’a.

Sub-unsur ke-3 dalam rangka religi, adalah sub-unsur mengenai umat yang menganut agama atau religi yang bersangkutan khusus sub-unsur itu meliputi misalnya soal-soal pengikut agama, hubungannya satu dengan lain hubungan dengan para pemimpin agama, baik dalam saat adanya upcara keagamaan maupun dalam kehidupan sehai-hari; dan akhirnya sub-unsur itu juga meliputi soal-soal seperti organisasi para umat, kewajiban, serta hak-hak para warganya.

Pokok-pokok khusus dalam rangka sistem ilmu gaib, atau magic, pada lahirnya memang sering tampak sama dengan dalam sistem religi. Dalam ilmu gaib sering terdapat juga konsepsi-konsepsi dan ajaran-ajarannya; ilmu gaib juga mempunyai sekelompok manusia yang yakin dan yang menjalankan ilmu gaib itu untuk mencapai suatu maksud. Kecuali itu, upacara ilmu gaib juga mempunyai aspek-aspek yang sama saat-saat tertentu untuk mengadakan upacara (biasanya juga pada saat-saat atau hari-hari keramat); ada peralatan untuk melakukan upacara, dan ada tempat-tempat tertentu di mana upacara harus dilakukan. Akhirnya suatu upacara ilmu gaib seringkali juga mengandung unsur-unsur upacara yang sama dengan upacara religi pada umumnya. Misalnya; orang melakukan ilmu gaib untuk menambah kekuatan ayam yang hendak diadunya dalam suatu pertandingan adu ayam. Untuk itu dia membuat obat gaib dengan sajian kepada roh-roh, serta dengan mengucapkan doa kepada dewa-dewa, serta dengan mengucapkan mantra-mantra tertentu, dan dengan puasa. Dengan melakukan hal-hal itu semua ia percaya bahwa obat gaib untuk ayam jantannya akan mujarab sekali.

Walaupun pada lahirnya religi dan ilmu gaib sering kelihatan sama, dan walaupun sukar untuk menentukan batas daripada upacara yang bersifat religi, dan upacara yang bersifat ilmu gaib, pada dasarnya ada juga suatu perbedaan yang besar sekali antara kedua pokok itu. Perbedaan dasarnya terletak dalam sikap manusia pada waktu ia sedang menjalankan agama, manusia bersikap menyerahkan diri sama sekali kepada Tuhan, kepada dewa-dewa, kepada roh nenek moyang; pokoknya menyerahkan diri samasekali kepada kekuatan tinggi yang disembahnya itu. Dalam hal itu manusia biasanya terhinggap oleh suatu emosi keagamaan. Sebaliknya, pada waktu menjalankan ilmu gaib manusia bersikap lain samasekali. Ia berusaha memperlakukan kekuatan-kekuatan tinggi dan gaib agar menjalankan kehendaknya dan berbuat apa yang ia capainya. (Koentjoroningrat,1986).

Sistem religious yang bertujuan mencari hubungan manusia dengan Tuhan, dewa-dewa atau makhluk halus yang mendiami alam ghaib. Sistem religious ini melaksanakan dan melambangkan , menyimbolkan konsep-konsep yang terkandung dalam sistem kepercayaan. Sistem upacara merupakan wujud kelakuan atau behavior manifestation  dari religi. Seluruh sistem upacara itu terdiri dari aneka macam upacara-upacara yang bersifat harian, musiman atau kadangkala. Masing-masing upacara terdiri dari kombinasi dari berbagai macam unsur upacara, seperti misalnya; berdoa, bersujud, bersaji, berkorban, makan bersama, menari drama suci, berpuasa , bertapa, bersamadi.

Acara-acara dan tata urut daripada unsur-unsur tersebut adalah sudah tentu buatan manusia dahulu kala, dan merupakan ciptaan akal manusia. Apalagi peralatan dari upacara seperti misalnya gedung pemujaan; masjid, gereja, pagoda, puri dan sebagainya, patung-patung orang suci, patung-patung dewa, alat bunyi-bunyian untuk membuat musik suci; orgel, gendering, gong, seruling, oleh karena itu merupakan bagian dari kebudayaan. Walaupun demikian upacara agama belum lengkap kalau tidak dihinggapi dan dijiwai emosi keagamaan.

Di sinilah masuk komponen pertama ialah cahaya Tuhan yang membuat upacara itu suatu aktivitas yang keramat. (Koentjaraningrat dalam Heru;148). Jadi jelaslah bagaimana kedudukan simbol atau lambang dalam religi., dari keempat komponen dalam religi yaitu sebagai alat atau perbuatan dalam upacara religious. Maka kedudukan simbol atau tindakan simbolis dalam religi adalah merupakan relasi (penghubung) antara komunikasi human-kosmis dan komunikasi religious lahir dan batin. (A.H.  Bakker, 1978;97). Sedangkan tindakan simbolis dalam upacara religious merupakan bagian yang sangat penting dan tidak mungkin dibuang begitu saja, karena ternyata bahwa manusia harus bertindak dan berbuat sesuatu yang melambangkan komunikasinya dengan Tuhan.

Manusia Jawa berpandangan bahwa dunia ini adalah sebuah simbolisme dan melalui simbol-simbol itulah manusia akan bisa berpikir tentang kondisinya dan berkomunikasi dengan Tuhan. Zoetmulder (1991;245) mengatakan bahwa dalam serat Centhini tertulis “ Jika engkau ingin menembus realitas, masuklah kedalam simbol”. Ungkapan ini sekaligus menandai bahwa agama itu sebuah simbol, sebagaimana digagas oleh Geertz (1973), (Suwardi;2012;25). dalam berbagai aspek  agama Jawa pun jelas sebuah simbol. Penghayatan simbol amat diperlukan dalam menjalankan agama Jawa.

Agama Jawa memang khas dalam membangun simbol. Simbol-simbol tersebut harus dipahami maknanya dengan sebaik-baiknya sehingga bisa ditemukan kebenaran yang hakiki. Simbol-simbol itu biasanya dipoles, diobsesikan, diimajinasikan sesuai dengan keinginan. Orang Jawa yang nyantri dan abanganpun akan kaya penghayatan terhadap agama Jawa. Bila orang Jawa mampu merasakan sendiri hingga sadar kosmis, dirinya akan dipandang sempurna. Kondisi yang demikian itu sekaligus menegaskan bahwa agama itu adalah simbol. Agama Jawa  adalah sebuah simbol yang kaya akan makna. Manusia Jawa mempunyai sifat Semu, karena itu setiap langkah berkaitan agamapun juga digambarkan dalam bentuk simbol.

Dalam acara kenduri biasanya seorang modin (pembaca doa) merapalkan mantra atau doa slametan tersebut yang disebut ujub. Dalam ujub tersebut seorang pembaca doa menyampaikan pesan tentang tujuan slametan dari yang punya hajat, menerangkan makna atau simbolik dari ubarampe slametan tersebut.  Namun hal tersebut memang sekarang jarang orang yang bisa menerangkan tentang simbolik-simbolik tersebut secara rinci. Banyak dijumpai karena pengaruh alkutulrasi ataupun asimilasi agama maka ujub disertai bahasa Arab.

Dari sudut pandangan teoritis, unsur yang paling menarik dari simbolisme slametan tidak semata-mata polisemik dalam konteks simbolisme warna dari Turner (1967) dalam ( Endra; 2013;102).  Dikatakan; kini kita cakup akrab dengan gagasan mengenai suatu simbol  yang menyelimuti dan bahkan bermakna kontradiktif dalam konteks yang berbeda diantara orang-orang yang memiliki ideologis bersama. Saya menguraikan suatu hal yang lebih kompleks; diversitas ideology yang terkandung dalam rangka yang sama. Hal yang sama juga terjadi pada orang Tengger , Jawa Timur; tidak ada khotbah menyertai upacara, tidak seorangpun yang menyinggung “ eksegesis unsur demi unsur” dari simbolisme ritual. Kerapkali tokoh agama menyelenggarakan ritual komunal sendirian. Keefektifan ritual jarang tergantung pada kehadiran kongregasi aktif ( Hefner;1985;20). Saya pikir gagasan Hefner ini, menandai bahwa slametan juga memiliki kebutuhan personal. Orang yang telah menjalankan slametan, batin merasa senang dan sempurna. (Endra ;2013;103).

Ayu Sutarto (2011;41) mengungkapkan tentang tardisi ritual masyarakat Tengger yang disebut Entas-entas. Tradisi tersebut merupakan salah satu bentuk upacara adat yang berhubungan dengan siklus hidup manusia. Upacara ini diselenggarakan oleh masyarakat Tengger yang bertempat tinggal didaerah dataran tinggi Tengger, yang secara administatrif berada dalam naungan empat kabupaten, yakni Kabupaten Probolinggo, Kabupaten Pasuruan, kabupaten Lumajang, dan Kabupaten Malang. Upacara ini dimaksudkan untuk mensucikan roh orang yang telah meninggal dunia agar dapat masuk surga atau nirwana. Upacara ini diselenggarakan pada hari ke-1000, dihitung dari hari pertama kematiannya. Dalam tradisi Jawa upacara semacam ini nyewu. Bebanten upacara entas-entasan ini dipimpin oleh dukun, didampingi legen dan sesepuh serta beberapa orang kerabat yang berhajat. Makna upacara ini sebagi persembahan kepada Sang Hyang Widhi, memohon keselamatan dan memohon agar niatnya terkabulkan. 

Sebuah agama tentu mengajarkan sebuah kedamaian, ketentraman dengan berusaha sebaik mungkin mencari kesempurnaan hidup agar tercapai nilai selamat. Baik itu keselamatan yang berada didunia maupun keselamatan setelah didunia. Jika mengingat tiga ajaran Jawa yaitu; Sangkan Paraning Dumadi, Manunggaling Kawula Lan Gusti  dan Memayu Hayuning Bawana ini merupakan sebuah bentuk ajaran untuk menuju kasampurnaning urip. Sangkan paraning dumadi (asal mula dan tujuan hidup) merupakan ajaran bagaimana manusia itu berasal dan tujuannya/akhirnya. Dari tidak ada menjadi tidak ada pula (saka ora ana bali marang ora ana; innallillahi wa inalillahi ra’jiun).

Saya sering bertanya ataupun bercerita kepada kawan-kawan; apakah ketika masih berumur tiga tahun masih ingat maka mereka bilang ingat-ingat tidak. Kemudian saya bertanya kembali apakah ketika berumur satu atau kurang dari satu tahun masih ingat mereka bilang tidak ingat. Dengan begitu mereka semakin kebelakang semakin tidak mengingat tentang dirinya. Pertanyaanpun saya lanjutkan apakah ketika dalam kandungan ibu juga ingat tentu mereka bilang tidak ingat sama sekali, dan ketika saya bertanya sebelum kalian dibuat oleh bapak-ibumu kamu berada dimana. Merekapun tentu juga tidak tahu. Ini merupakan gambaran bahwa kehidupan manusia itu berputar (cakra manggilingan).

Ketika manusia memasuki usia lanjut maka sifat pikun, lemah akan terjadi (seperti sifat anak-anak ataupun bayi). Kemudian setelah itu mengalami kematian untuk kembali kepada Maha Pencipta.  Itulah sebenarnya siklus kehidupan manusia. Oleh sebab itu ketika diberi kesempatan untuk hidup di dunia manusia harus bisa memayu hayuning bawana. Karena kehidupan itu sebentar ibaratnya mampir ngombe (hanya untuk minum)  maka tugas atau kewajiban manusia selama hidup di dunia harus bisa menjaga keselarasan hidup, keseimbangan hidup agar tercapai rasa damai, ayem-tentrem. Itulah darma yang harus bisa dicapai oleh manusia untuk memperoleh sebuah keselamatan. Semua memang tidak gampang ibaratnya sebagai nahkoda yang mengendalikan kapal di tengah laut.  Rasa eling lan pasrah terhadap Gusti sebagai bentuk ajaran manunggaling kawula lan Gusti. Hubungan kerohanian antara umat dan Tuhannya dapat dilihat dalam praktek-praktek mistik kejawen termasuk upacara slametan. 

Kesemuanya itu tak lain adalah menuju pada sebuah kesempurnaan hidup.Sangkan-paran  memang suatu proses perjalanan yang pelik. Dikatakan pelik karena didalamnya terkait dengan proses perputaran hidup yang disebut cakramanggilingan. Tuhan yang memutar cakra (roda hidup) itu dan manusia tinggal mengikuti dari sangkan menuju paran (dari asal mula menuju tujuan akhir). Adanya ajaran bahwa keberadaan manusia di dunia ini hanyalah "mampir ngombe" (singgah untuk sekadar minum), bagi orang Jawa dimaknai bahwa sifat duniawi adalah sementara, "terminal" menuju sangkan paraning dumadi.

Dalam perjalanan itu, orang Jawa perlu melalui tingkatan-tingkatan guna mencapai kesempurnaan hidup, yaitu syariat, tarekat, hakekat dan makripat. Dengan cara itu, orang Jawa akan kembali dan bersatu dengan Tuhan. Orang yang menganut paham kejawen atau dalam alam pikiran Jawa, mengungkapkan bahwa Tuhan adalah asal-usul semua yang ada di dunia ini, dan ke Tuhan pula semua itu akan kembali. Sikap orang Jawa dalam memandang dan mengalami kehidupan mereka, sebagai suatu keseluruhan yang bersifat sosial dan simbolis. Konsepsi yang satu dimensional dan monolitis itu paralel dengan cara berpikir yang tidak mendiferensional antara isi dan bentuk, misalnya perbedaan prinsipal di antara macam-macam kelas gejala seperti objek/subjek, simbol/benda, hidup/mati, Kawula-Gusti, ide atau hal, dan sebagainya tidak dipikirkan, dan semuanya disederhanakan sampai terjadi hubungan mitologis.

Dengan demikian cara berpikir orang Jawa yang tercermin dalam alam pikiran Jawa adalah penyatuan dan penyelarasan semua gejala. Barang siapa hidup selaras dengan dirinya sendiri dan dengan masyarakat, dan juga selaras dengan Tuhan Yang Maha Esa, maka ia akan mengalami ketenangan batin. Untuk itulah kehidupan dalam masayarakat Jawa telah dipetakan dalam berbagai macam peraturan, seperti tatakrama (kaidah dalametika Jawa), adat/tradisi (mengatur keselarasan masyarakat), agama (mengatur hubungan formal dengan Tuhan), sikap narima, sabar, waspada-eling (mawas diri), andap asor (rendah hati), dan prasaja (bersahaja).

Orang Jawa percaya bahwa Tuhan adalah pusat alam semesta dan pusat segala kehidupan karena sebelumnya semuanya terjadi di dunia ini. Tuhanlah yang pertama kali ada. Pusat yang dimaksud dalam pengertian ini adalah yang dapat memberikan penghidupan, keseimbangan, dan kestabilan, yang dapat juga memberi kehidupan dan penghubung dengan dunia atas. Pandangan orang Jawa yang demikian biasa disebut Kawula dan Gusti, yaitu pandangan yang beranggapan bahwa kewajiban moral manusia adalah mencapai harmoni dengan kekuatan terakhir dan pada kesatuan terakhir itulah manusia menyerahkan diri secara total selaku kawula (hamba) terhadap Gustinya (Sang Pencipta).

Hubungan manusia dengan Tuhan, umumnya mengandung rumusan yang saling tumpang tindhih. Tuhan dilukiskan memiliki sifat-sifat yang sama dengan manusia, dalam arti insan kamil. Sebaliknya manusia digambarkan sama atau mirip dengan sifat-sifat Tuhan. Paham semacam ini dalam falsafah hidup Jawa dinamakan antropomorfisme (Simuh;1988;299). Falsafah semacam ini banyak mewarnai agama Jawa, sehingga pencarian diri terus menerus pada akhirnya akan mengenal Tuhan. Sebaliknya ketika orang Jawa buta terhadap dirinya, tidak mau melek pada identitasnya dan bahkan menginjak-injak dirinya, akan jauh dari Tuhan. Dengan kata lain, orang yang demikian akan kesulitan ketika harus mencapai manunggaling kawula-Gusti. (Endra;2012;106).

Perwujudan makna manunggaling kawula Gusti, menurut Subagyo (1989;52) dalam Suwardi (2012;106) dapat digolongkan menjadi tiga tipe, yaitu; (a) tipe ethis artinya pada tipe ini perwujudan makna manunggaling kawula Gusti dengan harapan adanya manusia yang waskitha dan susila. Harmonitas antara suara batin, dengan laku amalannya menjadi titik sentral orientasi dharma bakti dalam kehidupan sosial. (b) tipe kosmologis, artinya terdapat kecenderungan kuat tentang olah lahir dan olah batinnya, yaitu peleburan diri kedalam daya “kosmos universal” dan mengeliminasi individualitasnya.

Tindakannya untuk membebaskan diri dari belenggu alam empiris materiil, menuju pada kondisi eksis-tensial transenden, sehingga tercipta kesatuan mutlak. Secara emanantif manusia dilukiskan sebagai percikan cahaya dan akan kembali keasal muasalnya, sangkan paraning dumadi, yaitu Dzat kosmos yang Illahi, Adikodrati. Aku palsu yang suka melibatkan pada soal-soal duniawi semu dilenyapkan. Akhirnya tercapailah kebebasan batin paripurna. Diri materiil dimatikan secara maknawiyah, mati sajroning ngaurip. Diri materiil ditingkatkan menjadi diri mutlak yang identik dengan ada mutlak atau kenyataan hidup; (c) tipe theologies, artinya mirip dengan tipe kosmologis. Hanya tipe theologi ini banyak menggunakan istilah-istilah yang berasal dari kitab suci dalam ajaran para Nabi.

Pada konsep tipe ethis (a) Endrswara berpandangan bahwa dalam agama Jawa merupakan upaya moral kearah memayu hayuning bawana yang disebut budi luhur. Ketika orang Jawa arif (wicaksana), berbuat dengan nuansa budi luhur sebenarnya jelas dilandasi oleh suara Tuhan atau Tuhan lenggah dalam dirinya. Pada saat itu tindakan menjadi cocog atau nuju prana (kasinggihan). Tindakan yang benar-benar singgih (becik) ini secara etis sesuai dengan Tuhan, seperti kesesuaian anak kunci dengan lubangnya.

Dari konsep diatas saya memahami bahwa yang menjadi nilai sebuah harmonitas antara suara batin, dengan laku amalnya yang menjadi titik sentral orientasi darma bakti dalam kehidupan sosial tergambar dalam upacara selamatan. Dimana antara niat dari yang mempunyai hajat kemudian dilaksanakan dengan mendatangkan beberapa orang serta ubarampe yang dibutuhkan. Ini adalah cara menunjukkan harmonitas tersebut dalam konsep ethis tadi. Sebuah tindakan yang bijaksana dan berbudi luhur dimana manusia Jawa menjaga kosmos antara Tuhan , antara manusia, antara alam atau lingkungan.

Sedangkan pada tipe kosmologis (b) ini merupakan sebuah cara untuk ber-ngelmu yaitu mencari sebuah pengalaman hidup dalam mengolah batiniah yang disebut lelaku. Masyarakat Jawa tidak asing lagi dengan namanya lelaku. Jika kita pada bulan Suro, malam Jumat  Kliwon, malam Jum’at Legi, malam Selasa Kliwon atau hari-hari tertentu banyak kita jumpai beberapa orang yang melakukan tirakatan dibeberapa tempat seperti makam, sungai, hutan dan tempat-tempat lain yang dianggap mempunyainilai sakral. Selain itu ada beberapa orang yang melakukan lelaku dengan puasa, bersemedi, atau semacamnya. Tentu ini adalah sebuah cara melepas ego (diri) dari  ke-akuan, yang kesemuanya terpusat pada kepasrahan kepada Gusti atau Tuhan. Lelaku –lelaku tersebut merupakan bagian dari usaha kemanunggalan antara kawula dan Gustinya dalam agama Jawa.

Pada konsep theologis (c) menurut Endraswara  konsep ini banyak dilakukan oleh para pelaku tasawuf, yang bergerak dibidang Islam Jawa dan sufisme Jawa. Biasanya tipe ini hanya menyebut manunggal dalam kategori “dekat” (wahdatul suhud). Paham ini biasanya diikuti oleh orang Jawa yang dalam istilah Geertz disebut santri. (Endraswara;2012;107).

C. Slametan Sebagai simbolisasi

Dalam konteks kehidupan masyarakat Jawa dikenal ; sinamun ing samudana, sifat semu, papane rasa pangrasa. Maksudnya adalah setiap pola hidup dan kehidupan dalam beraktivitas hampir selalu menggunakan simbol-simbol. Tindakan penuh rasa pangrasa (perasaan), perbuatan tidak semata-mata (samar/semu). Menurut Suwardi bahwa simbol –simbol itu merupakan gambaran sikap, kata-kata dan tindakan yang abstrak, pelik dan wingit.

Para penganut mistik dalam muslim Jawa meyakini bahwa berbagai aktifitas yang mempergunakan simbol-simbol ritual serta spiritual tersebut bukanlah suatu tindakan yang mengada-ada dan kurang rasional. Sholikin (2009;19) bahwa bahawa di dalam bahasa akhir-akhir ini bukanlah termasuk perkara bi’dah, dikarenakan dibalik semua ritual tersebut terkandung makna sebagai salah satu upaya menyingkirkan setan yang menggoda manusia. Memang harus diakui bahwa sebagian simbol-simbol ritual dan simbol spiritual yang diaktualisasikan oleh masyarakat Jawa, mengandung pengaruh asimilasi antara Hindi-Jawa, Budha Jawa, dan Islam-Jawa yang menyatu padu dalam wacana kultur mistik. Asimilasi yang sering diasosiasikan para pengamat sebagai sinkritisme tersebut juga terlihat dengan di antaranya pembakaran kemenyan pada saat ritual mistik dilaksanakan, yang sebagian oleh masyarakat Jawa diyakini sebagai bagian dari penyembahan kepada Tuhan secara khusyu’ (tercapai tahap hening) dan tadharru’ (mengosongkan diri kemanusiaan sebagai hal yang tidak berarti di hadapan Tuhan), atau katakanlah sebagai salah satu bentuk akhlak penghormatan kepada Tuhan.

Ungkapan wong Jawa anggone semu atau samar, sangat dikenal dalam etika masyarakat Jawa yang disebut ulas-ulas. Hal tersebut juga terjadi dalam pola upacara-upacara tradisi di masyarakat. Semu menggambarkan bahwa manusia Jawa tidak hanya menampilkan sesuatu dalam bentuk wadhag (kasat mata). Penampilan manusia Jawa penuh isyarat atau sasmita. Banyak hal yang terselubung menggunakan tanda atau perilaku yang khas. Misalkan mengapa orang Jawa menggunakan keris dibelakang bukan didepan, dikarenakan manusia Jawa tidak ingin semata-mata memamerkan kekuatan atau kelebihannya. Sikap andhap ashor (merendahkan hati) sangat dijunjung tinggi. Begitu pula dalam pelaksanaan tradisi seperti upacara pengantin, selamatan, tedhak siti dan lain-lain. Semua penuh sasmita yang sering disebut simbolisasi.

Sifat manusia Jawa yang demikian biasanya muncul dalam usaha mendidik atau menyampaikan gagasan-gagasannya kepada orang lain secara tidak terus terang, melainkan menggunakan lambang-lambang atau simbol budaya. Kenyataan seperti ini dipengaruhi oleh sikap hidup manusia Jawa  yang dalam menyatakan suatu sikap lebih suka dengan bahasa simbol atau sasmita.  Sehingga simbol atau sasmita itu kadang sukar untuk dipahami maksudnya. Masyarakat tradisional Jawa (dahulu) sering mengaktualisasikan sikap dan perilaku hidupnya kedalam wujud yang tidak jelas (disamarkan). Ajaran-ajaran moral yang menyangkut sikap hidup khas Jawa selalu dirahasiakan (tidak terang-terangan). Sistem simbol itu juga tidak terlepas dari sistem sosial, gaya, hidup, agama dan mobilitas sosial.

Budaya semu berarti penuh simbol yang di dalamnya banyak menampilkan makna yang harus bisa diuangkapkan. Menurut Suwardi (2012;25) bahwa simbol dan ungkapan  sebagai manifestasi pikiran, kehendak dan rasa jiwa yang halus. Segala perilaku dan sikap yang terbungkus dengan semu itu, diupayakan agar  dapat mengenakkan (memberi rasa nyaman) sesama hidup. Hal-hal yang dianggap semu itu sebenarnya sangatlah jelas untuk dipahami. Karena masing-masing pihak pemakai simbol telah paham dengan apa yang disemukan itu. Adapun bagi yang belum bisa memahami terhadap hal yang semu, diharapkan untuk bisa mempelajari, menyelami dan menangkap makna dibalik kesemuan (simbol) tersebut.

Manusia Jawa yang telah mampu membaca simbol atau kesemuan berarti tergolong jalma limpat seprapat tamat. Maksudnya, orang tersebut telah mengetahui pesan apa pun meskipun hanya berupa isyarat halus. Orang seperti ini tidak hanya menggunakan nalar (logika) saja namun harus bisa mengolah rasa. Rasa akan menghidupkan kejiwaan, sehingga naluri akan bergerak. Menurut Suwardi (2012;26) bahwa rasa Jawa akan memekarkan keiinginan dan daya intuisi sejati. Oleh sebab itu Sri Mangkunegara IV dalam Serat Wedhatama menyebut orang semacam itu “ kang wus waspada ing patrap, mangayut ayat winasis , ning ning rasa tumlawung”.  Maksudnya orang yang telah mampu membaca isyarat, akan tahu pesan terselubung dan dia itu paham atas rasa (Jawa).

Ini menunjukkan bahwa orang Jawa dalam sikap dan tindakan menggunakan kaca batin. Tak mungkin segala hal harus dikatakan atau diwujudkan dalam gerak, cukup dengan tanda-tanda atau sismeotik tertentu. Yang penting dalam komunitas Jawa terjadi komunikasi yang lancar, sehingga pemakaian rasa halus tak menjadi masalah. Dijelaskan pula bahwa penggunaan semu sekaligus juga menandai tingkat penggunaan bahasa sebagai cermin budaya. Semakin hebat penguasaan bahas dan budaya, maka semu (lambang) yang digunakan dalam hidupnya semakin rumit pula. Yang menarik  semakin rumit dan halus simbol atau semu yang dipergunakan, juga akan mendongkrak strata sosial orang Jawa itu sendiri. Karena itu dalam kehidupan orang Jawa sering ada semacam “perlombaan” pemakaian semu tersebut. Karena bernama “lomba’ tentu masing-masing saling mencari keunggulan. Anehnya mereka selalu berasumsi bahwa semakin pelik penggunaan lambang dianggap paling halus dan lebih unggul. Akibatnya pemakaian semu yang dibalut dengan rasa Jawa semakin rumit dan menarik.

Laku mistik kejawen termasuk upacara selamatan yang dilaksanakan dalam tempat, tata cara dan waktu yang spesifik, jelas terdapat macam bentuk kiasan budaya yang tidak wantah (jelas). Bahkan hampir semua laku budaya yang ada dalam ritual merupakan serentetan simbol-simbol budaya spiritual. Simbol-simbol budaya ini digunakan untuk mengekspresikan gagasan, emosi, dan pemikiran yang bersifat transendental.

Berbagai bentuk simbol budaya ini dihadirkan mulai dari ritual permulaan sampai akhir yang merupakan kesatuan utuh. Arah dari aneka ragam simbol selalu mengacu pada hubungan yang dimaksud adalah laku manusia untuk manunggal (dalam arti mendekatkan diri) kepada Tuhan. Dalam laku menuju manunggaling kawula Gusti ternyata harus melalui berbagai proses dan liku-liku perjalanan hidup yang penuh dengan simbol.

Dalam upacara slametan sering menggunakan sesaji (sajen) yang berupa tumpeng, ambengan, jajan pasar, jenang bubur, kelapa, pisang dan lain-lain. Semua tak lain adalah sebuah simbol pengharapan. Prinsip utama menjalankan slametan adalah penataan kembali hubungan kosmos. Secara simbolis slametan adalah menginginkan sebuah keseimbangan, mengatur dunia, melakukan darma yang bertujuan untuk keselamatan baik secara lahir maupun batin.

Bermacam sesaji yang diikutkan dalam perlengkapan upacara selamatan merupakan representasi suatu keinginan. Berbagai sesaji telah menciptakan kerangka dan struktur yang menjadi landasan interpretasi berbagai model konsep yang dapat dijalin. Sehingga keterkaitan dari berbagai macam sesaji merupakan sebuah petuah atau wejangan sebagai ajaran hidup. Sesaji bisa mewakili doa karena terdapat makna daripada lambang-lambang yang terdapat pada sesaji itu sendiri.

Simbol-simbol ritual yang berupa sesaji merupakan sebuah aktualisasi dari pikiran, keinginan dan perasaan pelaku untuk lebih mendekatkan diri kepada Gusti (Tuhan). Upaya pendekatan melalui sesaji sesungguhnya bentuk akumulasi budaya yang bersifat abstrak.  Sesaji juga merupakan wacan simbol yang digunakan sebagai srana (alat) untuk bernegosiasi spiritual kepada hal-hal yang gaib. Misalkan pada upacara resepsi perkawinan masyarakat Jawa. Maka yang punya hajat melakukan peletakan bermacam sesaji pada setiap tempat yang dianggap perlu, harus atau wajib. Tempat-tempat tersebut misalnya ; senthong (kamar), punden, sendang, sumur, tungku tempat memasak dan lain-lain. Dimaksudkan agar cara demikian tidak mengalami gangguan oleh makhluk-makhluk halus yang bersifat jahat atau jail.  Kepercayaan terhadap roh atau makhluk halus seperti dhanyang sering diwujudkan dalam bentuk slametan.

Kita sering mendengar othak-athik gathuk, kerata basa, jarwadosok dan lain-lain yang kesemuanya adalah sebuah permainan kata yang mengacu daripada makna benda itu sendiri. Masyarakat sering mengambil kata-kata tertentu atau suku kata tertentu dan membangun sebuah etimologi atau menemukan dalam skema pikiran orang lain kata kunci yang mengandung persamaan bunyi akhiran. Misalkan kupat (ketupat) diartikan laku papat, hal ini bisa dimaknai dulur papat atau empat nafsu yang melekat manusia. Empat nafsu tersebuat adalah; sofiyah, amarah, lauwmah dan mutmainah. Kerata basa seperti numerology adalah suatu cara menghubungkan aneka ragam dunia dan membangun hubungan-hubungan diantaranya.  Barangkali orang mengaku mengenal hubungan-hubungan ini, karena hubungan-hubungan ini dirasakan nyata, bukan khayalan. (Endra;2013; 106).

Dalam kenyatan sasaran diskusi mistikal ini adalah menunjukkan keterkaitan antara berbagai unsur, dalam rangka menunjukkan “kosmos adalah satu komunitas” (Pigeaud;1977;65). Kedua teknik interpretasi-numerologi dan kerata basa mengandung efek sintesis atau sinkretisasi materi yang berlainan melalui identifikasi unsur persamaan. Prosedur ini juga memungkinkan keanekaragaman pendapat dan interpretasi dalam bahasa ritual bersama. (Suwardi;2013;107). Bahwa slametan terdiri dari makna-makna yang berbeda-beda adalah persoalan perbedaan interpretasi. Makna suatu simbol tergantung pada tingkat strategi apa seseorang menggunakan dalam pembicaraan. Dalam berbagai hal orang bisa mengungkap atau mengupas sebuah simbol  dengan pengertian masing-masing selama masih dalam taraf  kebenaran. Persetujuan tak langsung atau kesepakatan bersama dalam menyatakan makna simbol merupakan  hal yang biasa terjadi dan dibenarkan oleh sebuah masyarakat. Simbol slametan yang beraneka warna itu merupakan gambaran jiwa dan kolektif yang sudah berjalan secara turun temurun.

D. Doa dalam Selamatan

Doa merupakan ungkapan hati yang mengandung harapan yang kadang terucap maupun hanya dalam batin. Manusia Jawa mengatakan donga (doa) ; ndendonga (berdoa). Dalam upacara selamatan donga (doa) ditujukan kepada Sang Pencipta; Tuhan; yang bersifat Adikodrati; roh leluhur atau kekuatan diluar manusia yang bersifat gaib. Apakah roh leluhur atau yang gaib benar-benar mendengar  sambutan dan doa kita, ini sebuah kontroversial.  Kematian seseorang oleh masyarakat Jawa dianggap kembali pada alam keabadian ( bali mring alam kelanggengan). Kalimat kondur mring alam kelanggengan adalah salah satu istilah yang tepat untuk memaknai arti sebuah kematian. Hal ini orang yang telah meninggal  sukmanya telah menyatu kembali kepada Gusti Sing Gawe Urip (Tuhang yang Maha Hidup). Namun demikian dengan menjalankan doa maka setidaknya ada sebuah perjalanan batin kepada yang menjadi tujuan. Keihklasan dan kesungguhan batin dalam menyampaikan doa sangat berpengaruh kepada hasil akhir yang didapat. Hasil itu bisa berupa sebuah kedamaian (ayem-tentrem) yang  menjadi tujuan hidup orang Jawa. Ungkapan doa pada saat slametan menjadi bukti bahwa ada kemauan keras manusia Jawa agar hidup selamat.

Di dalam selamatan sebelum uba rampe atau sesaji dipersembahkan untuk orang banyak selalu terlebih dahulu diujubkan. Menurut Sholikin diujubkan berarti diijabkan. Ujub merupakan tradisi dalam bentuk ijab, penyerahan acara ritual kepada orang yang ditunjuk, yang biasanya sesepuh atau ulama setempat.  Dalam ujub tersebut dikemukakan maksud dan tujuan diadakannya selamatan, serta untuk siapa selamatan tersebut diadakan. Kemudian setelah orang yang ditunjuk tersebut memberikan jawaban, ia memulai acara dengan mengatakan tujuan dan maksud pelaksanaan acara sebagaimana ujub dari orang yang punya niat. Barulah ritual dilaksanakan. Karena kemudian ritual selamatan muslim-Jawa biasanya disertai dengan berbagai pembacaan ayat-ayat A-Qur’an, dzikir, wirid, pembacaan kitab-kitab mauled atau mannaqib dan diakhiri dengan doa khusus yang terkait dengan tujuan ritual tersebut. (Sholikin;2009;21).

Slametan sebenarnya juga sebuah ritual sembahyang  untuk memohon berkah. Bagi penganut yang taat, muslim ortodok, pemujaan nenek moyang tidak penting karena peranan nenek moyang yang bersifat sampingan, mereka hanya perantara Tuhan, bukan sumber keberkatan itu sendiri. Memang istilah perantara ini amat abstrak dan kadang-kadang sulit dipahami. Sembahyang memiliki kekuatan yang lebih besar karena langsung berhubungan dengan Tuhan; selain itu bahsa Arab adalah bahasa Tuhan.(Endra’2013;110).

Dijelaskan pula bahwa sebaliknya orang Jawa penganut mistisisme menganggap ungkapan pemujaan itu sendiri sebagai doa, bahkan mengacunya dengan bahasa Jawa untuk doa yaitu donga, yang dipertentangkan dengan upacara sembahyang, dimana istilah yang dipinjam dari bahsa Arab, du’a, ada didalamnya. Pokok dari penggunaan ini adalah untuk menekankan kesinambungan tematis kedua bagian itu. Doa dalam bahasa Arab biasanya du’a slamet, jelas secara tematis terkait dengan ungkapan pemujaan, meskipun sangat sedikit orang yang mengetahui makna terjemahannya. Selain itu juga terlihat bahwa kata-kata dalam bahasa Arab mengakhiri rangkaian keseluruhan sehingga ia membentuk kesatuan;ada salam pembukaan dalam bahasa Arab, kemudian sambutan dalam bahasa Jawa lalu doa.

Kadang ada sebuah pemikiran dalam peristiwa yang banyak terjadi dalam pelaksanaan doa. Karena doa adalah ungkapan sebuah pengharapan jika menggunakan bahasa yang tidak dimengerti bagaimana kualitas dari kontak batin tersebut. Namun manusia Jawa tidak banyak mempersoalkan tentang masalah tersebut dan dianggap sebuah ke-sinergian dalam menjalankan sebuah ibadah. Jika bahasa luar (Arab) dianggap sebagai pemantapan maka bahasa ibu (Jawa) dianggap sebagai sebuah kekuatan.
Cara-cara berdoa manusia dari dulu sehingga sekarang pun selalu diikuti dengan tingkah laku simbolis yaitu mengucapkan doa sambil menengadahkan kedua telapak tangannya keatas dan kadang-kadang dengan mendongakkan kepala keatas atau seolah-olah siap menerima sesuatu dari Tuhan yang dianggap tinggal dilangit.

Doa-doa yang diselenggarakan dalam acara selamatan merupakan upaya untuk menjamin kesinambungan yang mulus. Dalam pelaksanaannya seluruh yang hadir  akan memberikan andil atau sumbangsih yang sama bagi kekuatan spiritual pada peristiwa tersebut. Oleh karena itu slametan berfungsi sebagi hubungan sosial yang harmonis yang diistilahkan rukun, yang menjadi prasyarat efektif mendatangkan berkah dari Tuhan atau para leluhur.

Suwardi menjelaskan bahwa dalam slametan ada banyak ungkapan yang dimaksud dan keiinginan. Tuan rumah tidak semata-mata menyelenggarakan slametan melainkan juga untuk melangsungkan niat (ajat), suatu niat yang sudah ada sebelum tamu-tamu (saksi) hadir. Seluruh kejadian dalam kenyataan dapat mengacu kepada kata ajat. Menurut definisi karena maksud dan tindakan menjadi satu dalam slametan, maka kata-kata diucapkan adalah mandi (ampuh;berbisa), efektif dan akibat yang diharapkan dari slametan merupakan separuh dari proses. Hasil yang diperoleh tak hanya dimohonkan (seperti ungkapan “Berikan kami makan hari ini”)  tetapi diantisipasi (agak menyerupai “ Engkau datang maka jadilah”) dalam bentuk gramatika khusus dalam ucapan slametan (misalnya dikabulna, dipangana).

Dalam bahasa Osing digunakan kata ngabulaken yang beararti “semoga menjadi kenyataan”. Ucapan ini bernada setengah memohon/setengah menuntut. Selain itu ucapan ini juga meninggalkan identitas yang kabur mengenai siapa yang menjadi penyebab, karena bentuk kata kerja ini dapat berarti seorang membawa sesuatu bagi dirinya sendiri atau seseorang mendapatkan sesuatu dari orang lain (tamu yang hadir, Tuhan, nenek moyang). (Suwardi;2013;113). Seluruh niat slametan, sebenarnya menuju pada ranah hidup abadi. Hidup abadi adalah suasana di alam hidup setelah mati. Alam ini yang mempesona pelaku, karena ada nuansa keabadian.  Dunia abadi (kelanggengan) memang selalu misterius. Melalui selamatan orang Jawa menaruh harap agar kelak dapat hidup damai (hayuning bawana) setelah mati.
Oleh karena itu, slametan berfungsi menunjukkan komunitas harmonis yang dikenal dengan nama rukun, yang menjadi prasyarat efektif mendatangkan berkah pada dewa, arwah dan leluhur.

Dibawah ini adalah salah satu contoh doa yang dipakai selamatan yang tertulis dalam Puja-puji Jawi dari BRAy. Suryodiningrat yang ditulis oleh Prof. Dr. RM. Wisnoe Wardhana.

Sesaji Lan Puji Kawilujengan

Kula ngedalaken sekul suci, ulam sari
bumbu lembaran ngeteraken rejeki
ganjaraning Ingkang Paring Gesang
kula caos sesaji dhateng para leluhur
ingkang sampun sumare
ingkang cikal bakal dhusun ngriki

Kula caos sedhekah dhahar
katur  Bapa Adam Ibu Kawa
bumi langit, Gusti Panutan
danyang lan bahureksa ing dhusun ngriki
ingkang wonten ing keblat papat kalima pancer
ingkang celak tanpa senggolan
tebih tanpa wangenan
ingkang katingal lan ingkang mboten katingal
ingkang kopen lan ingkang mboten kopen
ingkang dhateng kutu-kutu walang ataga

Mugi kabuktiya kaluwarga
sempuluran sapangisore, sapendhuwure.
__________________
*) Tulus S atau Tulus Setiyadi, S.T.P. alumni Universitas Widya Mataram Yogyakarta. Kegemarannya mempelajari budaya dan sastra ditekuninya sejak lama. Banyak bergabung dibeberapa sanggar kebudayaan, kesenian dan kesusastraan. Sering mengisi acara sastra pun budaya; di televisi, radio, paguyuban / sanggar, perguruan Budaya Jawa di Hotel Lorin Solo, kongres Bahasa Jawa di Hotel Marriot Surabaya dan Hotel Garuda Jogjakarta, serta seminar pula sarasehan. Pernah menjadi pembicara dalam Kongres Bahasa. Karya-karyanya berbentuk buku sudah puluhan judul dan beredar di masyarakat, baik di Indonesia pun luar negeri. Juga belasan karya antologi bersama. Paguyuban / sanggar yang diikutinya; Pesaudaraan Masyarakat Budaya Nasional Indonesia (Permadani), Paguyuban Retna Dumilah (bidang kebudayaan), Paguyuban Pamarsudi Kasusastran Jawi Sedyatama, Sanggar Sastra Triwidha, Sembilan Mutiara (buku dan kesusastraan), Majelis Sastra Madiun, dll.
Buku-buku karyanya; Bangsa Pemuja Iblis (antologi puisi), Surat Kerinduan, (antologi puisi), Sangkrah (antologi geguritan lan cerkak), Sang Guru (antologi cerkak), Kidung sukma Asmara (antologi geguritan), Daya Katresnan (antologi geguritan), Kawruh Urip Luhur Ngabekti (antologi geguritan), Serat Cipta Rasa (antologi geguritan mawa aksara Jawa). Narakisma mbedhah jagade kasusastran (antologi geguritan). Dongeng Kancil Kanggo Bocah (dongeng), Puspa Tunjung Taruna (esai), Pendekatan Nilai-Nilai Filosofi Dalam Karya Sastra Jawa (esai), Kembar Mayang (esai), Nilai-Nilai Luhur Budaya Jawa- Sumber Kearifan Lokal (esai), Ki ageng Sela Dan Ajarannya; Pendidikan Nilai Moral Dan Pembentukan Karakter (esai); Semar; Sebuah simbolisasi, Filosofi Dan Mistik Kejawen (esai). Makna Simbol Selamatan Kematian pada masyarakat Jawa (esai). Menelusuri Jejak Tradisi Membangun Jatidiri (esai). Uran-uran katresnan (novel). Keladuk Manis ing Salumahe Sambilata (novel). Juminem…dodolan tempe? (novel). Udan ing wanci ketiga (novel). Ledhek saka Ereng-erenge Gunung Wilis (novel), Gogroke Reroncen Kembang Garing (novel), Rumpile Jurang Katresnan (novel). Klelep ing Samodra Rasa (novel). Langit Mendhung Sajroning Pangangen (novel). Bersama Pak Tulus Ayo Belajar (motivasi). Aris (kumpulan cerkak). Sedangkan antologi bersama lainnya, seperti dibawah ini’; Antologi bersama; antologi Mangkubumen Sembilan Enam, Bulan Tuhan, Pelacur, Epifani Serpihan Duka Bangsa, Kemilau Mutiara Januari, Merangkai Damai, Pengembaraan Burung, Bunga Putra Bangsa, Indonesia di Titik 13 dll. Juga antologi cerkak mengeti HUT ke-35 Sanggar Triwida “Ngrembuyung”. Antologi cerpen “Negeri Kertas”. Antologi Geguritan Dinas kebudayaan Prov,DIY, Antologi geguritan “Sakwise Ismet lan Suparta Brata” Balai Bahasa Jatim, Antologi geguritan “Gebyar Kasusastran” Balai Bahasa Jatim. Antologi geguritan “Sor bumi sor kukusan.”
http://sastra-indonesia.com/2017/10/budaya-tradisi-selamatan/

Tidak ada komentar:

Label

`Atiqurrahman A Muttaqin A Rodhi Murtadho A. Iwan Kapit A. Purwantara A. Qorib Hidayatullah A. Zakky Zulhazmi A.H.J Khuzaini A.S. Laksana Aang Fatihul Islam Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi WM Abdul Kadir Ibrahim Abdul Lathief Abdul Malik Abdul Wachid B.S. Abdurrahman El Husaini Abidah El Khalieqy Abu Salman Acep Zamzam Noor Achdiat K. Mihardja Adek Alwi Adi Suhara Adnyana Ole Adreas Anggit W. Afrion Afrizal Malna Aguk Irawan MN Agung Dwi Ertato Agus B. Harianto Agus Buchori Agus Himawan Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sulton Agusri Junaidi Agustinus Wahyono Ahda Imran Ahmad Badrus Sholihin Ahmad Fanani Mosah Ahmad Fatoni Ahmad Ikhwan Susilo Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musabbih Ahmad Rofiq Ahmad Sahidah Ahmad Tohari Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sekhu Alex R. Nainggolan Alex Suban Alunk Estohank Ami Herman Amien Kamil Amien Wangsitalaja Aminudin R Wangsitalaja Anastasya Andriarti Andreas Maryoto Anes Prabu Sadjarwo Angela Angga Wijaya Angkie Yudistia Anindita S Thayf Anis Ceha Anjrah Lelono Broto Anton Kurnia Anton Kurniawan Anton Wahyudi Anugrah Gio Pratama Anwar Nuris Aprinus Salam Arie MP Tamba Arif B. Prasetyo Arif Bagus Prasetyo Arif Hidayat Arman A.Z. Arti Bumi Intaran Arys Hilman AS Sumbawi Asarpin Asef Umar Fakhruddin Asep Sambodja Asrama Mahasiswa Aceh SABENA Astrikusuma Asvi Warman Adam Atep Kurnia Awalludin GD Mualif Aziz Abdul Gofar Azizah Hefni Badrut Tamam Gaffas Bagja Hidayat Bagus Takwin Balada Bale Aksara Baltasar Koi Bambang Agung Bambang Kempling Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Bayu Insani Beni Setia Benny Arnas Benny Benke Berita Berita Duka Berita Utama Bernando J. Sujibto Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Blambangan Brunel University London BSW Adjikoesoemo Budaya Budhi Setyawan Budi Darma Budi Saputra Budi Suwarna Bung Tomo Cak Kandar Catatan Cerpen Chairil Anwar Chavchay Syaifullah Cucuk Espe Cunong N. Suraja D. Zawawi Imron Dadang Ari Murtono Daisuke Miyoshi Damanhuri Damhuri Muhammad Damiri Mahmud Danarto Daniel Dhakidae Dante Alighieri Deddy Arsya Dedy Tri Riyadi Denny Mizhar Deny Tri Aryanti Detti Febrina Dharmadi Diah Hadaning Dian Hartati Dian Sukarno Diana A.V. Sasa Dicky Fadiar Djuhud Didi Arsandi Dimas Dina Oktaviani Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Djadjat Sudradjat Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Doddy Hidayatullah Donny Anggoro Dony P. Herwanto Dorothea Rosa Herliany Dr. Muhammad Zafar Iqbal Dr. Simuh Dwi Arjanto Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwicipta Dwijo Maksum Edy A. Effendi Edy Firmansyah Efri Ritonga Egidius Patnistik Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Hendri Saiful Elik Elsya Crownia Emha Ainun Nadjib Endah Sulawesi Endah Wahyuningsih Endang Suryadinata Endhiq Anang P Endri Y Eriyandi Budiman Ernest Hemingway Esai Esha Tegar Putra Eva Dwi Kurniawan Evi Dana Setia Ningrum Evi Idawati Evieta Fadjar F Rahardi Fabiola D. Kurnia Fadelan Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Faisal Kamandobat Faisal Syahreza Faizal Syahreza Fajar Alayubi Fandy Hutari Fany Chotimah Fatah Yasin Noor Fathor Lt Fathurrahman Karyadi Fatih Kudus Jaelani Fatma Dwi Rachmawati Fauzi Absal Festival Sastra Gresik Fikri. MS Fina Sato Fitri Susila Galih Pandu Adi Gde Agung Lontar Geger Riyanto Gerakan Literasi Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Ginanjar Rahadian Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gunoto Saparie Gus Martin Gus tf Sakai Gusti Eka Hadi Napster Haji Misbach Halim HD Halimi Zuhdy Hamberan Syahbana Hamdy Salad Han Gagas Handoko F. Zainsam Hari Santoso Haris del Hakim Hartono Harimurti Hary B. Kori’un Hasan Gauk Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Helwatin Najwa Hepi Andi Bastoni Heri C Santoso Heri KLM Heri Latief Heri Listianto Hermien Y. Kleden Hernadi Tanzil Heru Emka Heru Kurniawan Heru Prasetya Hesti Sartika Hudan Hidayat Humaidiy AS I Made Asdhiana I Made Prabaswara I Nyoman Suaka IBM. Dharma Palguna Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Ida Ahdiah Idayati Ignas Kleden Ihsan Taufik Ilenk Rembulan Ilham Khoiri Ilham Yusardi Imam Cahyono Imam Jahrudin Priyanto Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indah Darmastuti Indiar Manggara Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indrian Koto Irma Safitri Irman Syah Iskandar Noe Istiqomatul Hayati Ita Siregar Iwan Kurniawan Iwan Nurdaya-Djafar Iyut FItra Jadid Al Farisy Jafar M. Sidik Jakob Sumardjo Jamal D Rahman Janual Aidi Javed Paul Syatha Jayaning S.A Jefri al Malay Jihan Fauziah JJ. Kusni Jo Pakagula Johan Edy Raharjo Joko Pinurbo Jokowi Undercover Joni Ariadinata Joss Wibisono Jual Buku Paket Hemat Judyane Koz Juli Sastrawan Junaidi Abdul Munif Jusuf AN Juwairiyah Mawardy Kadir Ruslan Kasnadi Katrin Bandel Kedung Darma Romansha Khairul Mufid Jr Khamami Zada Khrisna Pabichara Kikin Kuswandi Koh Young Hun Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Komunitas Sastra Ilalang Indonesia (KSII) Korrie Layun Rampan Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan) Kristianto Batuadji Kritik Sastra Kunni Masrohanti Kunthi Hastorini Kuntowijoyo Kurie Suditomo Kurnia EF Kurniawan Kuswaidi Syafi'ie Kuswinarto Lan Fang Landung Rusyanto Simatupang Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Liestyo Ambarwati Khohar Linda Sarmili Liston P. Siregar Liza Wahyuninto LN Idayanie Lucia Idayani Lukman Asya Lusiana Indriasari Lynglieastrid Isabellita M Hari Atmoko M. Aan Mansyur M. Arman A.Z M. Bagus Pribadi M. Fadjroel Rachman M. Harya Ramdhoni Julizarsyah M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S M. Luthfi Aziz M. Nahdiansyah Abdi M. Raudah Jambak M. Shoim Anwar M. Yoesoef M.D. Atmaja Maghfur Saan Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Majalah Sastra Horison Maklumat Sastra Profetik Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Serenade Sinurat Mario F. Lawi Marluwi Marsel Robot Martin Aleida Martin Suryajaya Mashuri Matdon Mega Vristian Melani Budianta Melayu Riau Memoar MG. Sungatno Mh Zaelani Tammaka Miftah Fadhli Miftahul Abrori Misbahus Surur Miziansyah J Mochtar Lubis Mohamad Ali Hisyam Mohammad Eri Irawan MT Arifin Mugy Riskiana Halalia Muhajir Arrosyid Muhamad Rifai Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Al-Mubassyir Muhammad Qodari Muhammad Rain Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun A.S Muhidin M. Dahlan Muhlis Al-Firmany Mujtahid Mulyadi SA Munawir Aziz Murniati Tanjung Murnierida Pram Musa Ismail Musfi Efrizal Mustaan Mustafa Ismail N. Mursidi Nafsul Latifah Naskah Teater Nasrullah Nara Nelson Alwi Nenden Lilis A Nh. Anfalah Ni Made Purnama Sari Nina Mussolini-Hansson Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Noura Nova Christina Noval Jubbek Novela Nian Nugroho Notosusanto Nugroho Pandhu Sukmono Nur Faizah Nurdin F. Joes Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nurul Komariyah Nuryana Asmaudi SA Nyoman Tusthi Eddy Nyoman Wirata Oka Rusmini Oktamandjaya Wiguna Oky Sanjaya Olanama Olivia Kristina Sinaga Otto Sukatno CR Pagelaran Musim Tandur Pamusuk Eneste Patricia Pawestri PDS H.B. Jassin PDS. H.B. Jassin Penghargaan Hadiah Sastra Pusat Bahasa Persda Network Pipiet Senja Pramoedya Ananta Toer Pramono Pranita Dewi Pringadi AS Prita Daneswari Prof. Tamim Pardede sebut Bambang Tri Prosa Pudyo Saptono Puisi Puisi Kesunyian Puisi Sufi Puji Santosa PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Wijaya Qaris Tajudin R. Sugiarti Rachmad Djoko Pradopo Radhar Panca Dahana Ragdi F. Daye Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Ramadhan Batubara Ramadhan KH Ratih Kumala Ratna Indraswari Ibrahim Ratna Sarumpaet Raudal Tanjung Banua Remy Sylado Reni Susanti Renny Meita Widjajanti Resensi Restu Kurniawan Retno Sulistyowati RF. Dhonna Rian Sindu Ribut Wijoto Ridwan Munawwar Riki Utomi Riris K. Toha-Sarumpaet Risang Anom Pujayanto Riza Multazam Luthfy Robin Al Kautsar Rodli TL Rofiqi Hasan Rohman Abdullah Rosidi Rosihan Anwar Rukardi S Yoga S. Jai S. Sinansari Ecip S.I. Poeradisastra S.W. Teofani Sabam Siagian Sabrank Suparno Saiful Anam Assyaibani Sainul Hermawan Sajak Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sanggar Rumah Ilalang Sanggar Teater Jerit Sapardi Djoko Damono Sartika Dian Sartika Dian Nuraini Sastra Tanah Air Sastra Using Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sayyid Fahmi Alathas Sazano Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo Seli Desmiarti Selo Soemardjan Senggrutu Singomenggolo Seno Joko Suyono SH Mintardja Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sipri Senda Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Sobih Adnan Sofian Dwi Sofie Dewayani Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sri Ruwanti Sri Wintala Achmad St Sularto Stefanus P. Elu Sukron Abdilah Sulaiman Djaya Suminto A. Sayuti Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sungging Raga Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Suryansyah Suryanto Sastroatmodjo Susanto Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suyadi Suyadi San Syaifuddin Gani Syaiful Amin Syamsiar Hidayah Syarbaini Syifa Amori Syifa Aulia Tajuddin Noor Ganie Taufik Abdullah Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat TE. Priyono Teguh Afandi Teguh Ranusastra Asmara Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Theresia Purbandini Tita Tjindarbumi Titik Alva-Alvi Choiriyah Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tjoet Nyak Dhien Tosa Poetra Tri Lestari Sustiyana Triyanto Triwikromo TS Pinang Tu-ngang Iskandar Tulus S Tulus Wijanarko Udo Z. Karzi Ugoran Prasad Umar Fauzi Ballah Umar Kayam Umbu Landu Paranggi Universitas Indonesia Universitas Jember Utada Kamaru UU Hamidy Vera Ernawati Veronika Ninik W.S. Rendra Wahjudi Djaja Wahyu Hidayat Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Budiartha Widya Karima Wijaya Herlambang Wiji Thukul Willem B Berybe Wilson Nadeak Winarni R. Wiratmo Soekito Wita Lestari Wiwik Widayaningtias Y. Thendra BP Y. Wibowo Yasser Arafat Yeni Ratnaningsih Yohanes Sehandi Yonatan Raharjo Yonathan Rahardjo Yopi Setia Umbara Yos Rizal S Yos Rizal Suriaji Yudhi Herwibowo Yuka Fainka Putra Yurnaldi Yushifull Ilmy Yusri Fajar Yusuf Suharto Zainal Abidin Zainal Arifin Thoha Zawawi Se Zen Hae