Selasa, 25 November 2008

Pegawai Negeri

Teguh Winarsho AS
http://www.suarakarya-online.com/

AKU dan Annisa memutuskan menikah di usia muda. Aku, duapuluh tahun; sedang Annisa, sembilanbelas tahun. Awalnya keputusan ini ditentang ayah. Ayah menghendaki agar kami selesai kuliah, baru menikah. Tapi setelah mendengar penjelasanku, akhirnya ayah maklum dan mau menerima. Begitulah, aku dan Annisa sudah saling menyinta. Kami tak ingin terjebak pada perbuatan yang dilarang agama. Dan, menikah adalah jalan keluar yang terbaik.

Tapi sembilan tahun lebih menjalani hidup berumah tangga, hingga dikaruniai seorang gadis kecil cantik dan seorang laki-laki ganteng, aku masih belum mampu membawa ekonomi keluarga ke arah yang lebih baik. Kami hidup sederhana bahkan cenderung pas-pasan. Hingga kadang bantuan dari orang tua masih mengalir. Tapi ini bukan berarti aku dan istriku tidak berusaha untuk maju. Kami sudah berusaha semampu kami. Tapi, ah, mungkin hanya nasib baik saja yang masih belum mau berpihak pada kami.

Istriku dengan bekal ijazah yang ia miliki sudah berulang kali mendaftar masuk pegawai negeri. Tapi ternyata tidak pernah berhasil. Ia tetap menjadi tenaga pengajar honorer di beberapa SMP yang gajinya sangat sedikit, setelah dipotong ongkos naik angkutan dari sekolah yang satu ke sekolah lainnya. Benar-benar sebuah perjuangan.

Dan, seperti pesan ayah yang selalu didengung-dengungkan sejak aku lulus kuliah, aku juga tak pernah melewatkan setiap kali ada pendaftaran calon pegawai negeri. Ayah sangat berharap agar aku bisa menjadi pegawai negeri. Tapi rupanya tidak mudah memenuhi harapan ayah. Hingga kini aku masih kerja sebagai seorang penulis cerita dengan penghasilan tidak tetap.

Aku tahu ayah kecewa melihat nasibku. Masih kuingat pertemuan dengan ayah, beberapa waktu lalu. Tidak seperti biasanya ayah menyambut kedatanganku dengan sikap dingin, datar. Aku jadi serba salah. Malamnya aku baru tahu apa penyebabnya. Lagi-lagi, soal nasib. Soal kerja. Dengan menyebut-nyebut nama Anwar, anak tetangga sebelah yang belum lama diterima menjadi pegawai negeri, ayah berusaha membanding-bandingkan aku dengannya. Ayah bilang bahwa Anwar orangnya tekun dan rajin, ketika kuliah tidak pernah ikut kegiatan aneh-aneh, karenanya wajar begitu lulus kuliah langsung mendapat pekerjaan.

Aku tahu, ayah sedang menyindirku. Dulu ketika kuliah aku memang sempat ikut banyak kegiatan. Puncaknya ketika aku bergabung dengan sebuah organisasi mahasiswa yang kemudian mengantarkan aku menjadi penghuni tahanan polda selama beberapa hari bersama beberapa teman aktivis lain usai unjuk rasa di depan halaman kampus.

Berkali-kali ayah menyebut nama Anwar. Mengatakan bahwa Anwar adalah anak yang baik, mau mengerti bagaimana keinginan orang tua. Tahu bagaimana cara membalas budi pada orang tua, dan lain-lain. Padahal aku tahu siapa Anwar sebenarnya. Bagaimana sepak terjang dan reputasinya ketika kuliah. Dan, rasa-rasanya ayah juga tahu, Anwar bisa diterima menjadi pegawai negeri karena telah menyuap petugas dengan jumlah uang yang tidak sedikit.

Ya, orang sekampung rasanya juga tahu, ayah Anwar telah menjual dua ekor kerbau dan beberapa petak sawah agar Anwar bisa diterima menjadi pegawai negeri. Aku heran, kenapa ayah seolah menutup mata di balik keberhasilan Anwar diterima menjadi pegawai negeri. Padahal dulu ayah tidak suka dengan praktik-praktik seperti itu. Aku masih ingat, ayah pernah bilang di pengajian masjid bahwa suap menyuap hukumnya haram. Baik orang yang menyuap atau yang menerima suap sama-sama berdosa. Tapi kenapa sekarang justru berbalik? Ada apa dengan ayah? Apakah ayah sudah lupa dengan apa yang pernah dia katakan dulu?

"Kamu sudah tahu tahun ini ada pendaftaran calon pegawai negeri?" tanya ayah acuh tak acuh.

Aku mengangguk. Beberapa teman sudah mengabarkan berita itu. Dan, berita seperti itu tentu cepat sekali menyebar. Mungkin puluhan ribu orang di pelosok negeri ini pun sudah tahu.
"Kamu sudah mendaftar?"
"Sudah."
"Istrimu?"
"Sudah."
Sejenak ayah terbatuk. Matanya menerawang.

"Sekarang ini susah untuk mendapat pekerjaan. Tidak seperti lima belas atau dua puluh tahun lalu...." suara ayah pelan, bergetar. Wajahnya tegang, seperti ada sesuatu yang berat untuk diucapkan. "Begitu pula dengan cara-caranya. Sudah berbeda sekali...."
"Maksud ayah?" tanyaku merasa kurang paham.

Ayah tak segera menjawab. Meraih sesuatu dari laci meja. Lalu, "Kali ini jangan kamu tolak!" kata ayah kemudian, sambil meletakkan setumpuk uang masih terikat rapi.

Aku hampir melonjak kaget. Aku belum pernah melihat uang sebanyak itu. Dari mana ayah mendapatkan uang sebanyak itu?

"Ini uang hasil penjualan sawah. Kamu seorang sarjana. Sudah bukan masanya lagi kamu bertani dan mencangkul. Sawahmu adalah pegawai negeri. Gunakan uang ini untuk kamu dan istrimu. Kalau masih kurang ayah rela menjual satu sawah lagi. Yang penting, kamu dan istrimu bisa diterima menjadi pegawai negeri...." kata ayah samar-samar, seolah aku harus mengerti apa maksudnya.

Ya, aku memang mengerti. Uang itu maksudnya bisa digunakan untuk menyuap. Tapi kenapa ayah tidak langsung bilang saja? Ataukah sebenarnya ayah masih berat mengucapkan kata-kata itu?

"Ini bukan penyuapan. Tapi memang beginilah prosedur yang ada sekarang..." kata ayah seperti memahami pikiranku.

Aku terdiam dan seperti masih tak percaya dengan apa yang kulihat di depan mataku. Perubahan sikap ayah? Setumpuk uang di atas meja? Memang, satu tahun yang lalu, ayah pernah menawarkan hal serupa, tapi tidak langsung menunjukkan uang di depan mata. Dulu aku menolaknya.

"Aku tidak mau tahu. Sekarang juga kamu harus bawa uang ini. Aku tidak ingin melihat kamu gagal dan gagal lagi. Pikirkan baik-baik!" kata ayah langsung bergegas masuk kamar.

Sesaat lamanya aku bingung tidak tahu apa yang harus kulakukan. Dan, entah oleh dorongan apa, tanganku telah meraih tumpukan uang di atas meja. Tapi begitu sampai di rumah, uang pemberian ayah kusimpan di tempat yang aman. Di samping jumlahnya sangat banyak, aku juga tak mau bertengkar dengan istriku gara-gara uang itu. Aku tahu, istriku pasti akan marah besar jika tahu aku membawa uang untuk digunakan menyuap.

* * *

Dua bulan kemudian aku kembali ke rumah ayah. Hasil seleksi calon pegawai negeri sudah diumumkan. Seperti tahun-tahun lalu, aku kembali gagal, tidak diterima. Tapi, alhamdulillah, Annisa, istriku, bisa diterima. Paling tidak, cukuplah di antara kami ada yang menjadi pegawai negeri, seperti keinginan ayah.

"Duduk!" kata ayah dingin, saat aku masuk ruang tamu. Aku menurut. Tapi aku sengaja mengambil duduk sedikit jauh, menjaga jarak untuk menghindari puncak kemarahan ayah. Ya, tentu ayah akan marah besar melihat kegagalanku yang entah untuk ke berapa kalinya ini. Tapi sungguh, sedikit pun aku tidak menyesal atau kecewa. Aku sudah berusaha semaksimal mungkin lewat prosedur yang benar. Bahwa aku gagal, itu memang sudah nasib.

Mungkin sepanjang hidup aku akan dihantui persaan berdosa jika akhirnya aku diterima menjadi pegawai negeri karena telah menyuap petugas seperti keinginan ayah. Aku tidak bisa menari-nari di atas penderitaan orang lain. Bagaimana tidak, orang-orang yang sebenarnya punya potensi justru tersingkir karena tidak punya uang untuk menyuap. Sebaliknya orang-orang yang tidak memiliki potensi justru berhasil karena berani menyuap. Lebih dari itu, aku tak ingin memberi makan keluargaku dengan cara-cara yang tidak halal.

"Maaf, aku tidak bisa memenuhi keinginan ayah," kataku sambil meletakkan uang pemberian ayah di atas meja. Uang itu masih utuh. Jangankan mengambil, menyentuh pun aku merasa takut.

Ayah menatapku tajam. Urat-urat di sekitar matanya bergetar. "Dasar keras kepala!" kata ayah pelan, tapi penuh kemarahan. Aku menunduk tak berani menatap ayah.

"Aku sudah bilang berkali-kali tak ingin melihat kamu gagal. Nyatanya? Kamu gagal lagi! Gagal lagi! Lihat, itu Anwar!" kata ayah, suaranya lebih keras.
"Aku tidak gagal...." jawabku parau.
"Tidak gagal?" potong ayah sinis.
"Ya, tidak gagal. Paling tidak aku tidak gagal mempertahankan nuraniku," kataku lebih tegas.

"Di zaman seperti ini kamu masih menyebut-nyebut nurani? Ingat, zaman sudah berubah. Kamu harus mau mengikuti arus perubahan jika kamu tak ingin digilas!"
"Tapi bagaimana pun menyuap adalah...."

"Cukup!" Ayah memotong. Wajahnya berubah merah. "Contoh Annisa, istrimu. Dia mau mengikuti apa kata ayah. Dan, seperti yang kamu lihat, Annisa berhasil!" lanjut ayah.

"Apa? Annisa menyuap agar bisa diterima menjadi pegawai negeri?" tanyaku terkejut luar biasa. Sedikit pun aku tak menduga Annisa akan menempuh jalan pintas seperti itu.

Ayah tersenyum. "Ya, sebulan lalu istrimu datang kemari. Katanya uang pemberian ayah tidak kamu berikan padanya. Ketika itu ayah pikir uang itu akan kamu gunakan sendiri. Karenanya ayah menjual satu sawah lagi untuk istrimu." Suara ayah terdengar nyaring penuh kemenangan.

Aku tak tahan lagi di rumah ayah. Aku buru-buru pulang. Sampai rumah, kulihat Annisa sedang duduk di teras rumah. Sikapnya biasa-biasa saja. Sedikit pun tak menunjukkan perasaan bersalah.

"Aku senang kamu bisa diterima menjadi pegawai negeri. Tapi jika untuk semua itu ternyata kamu harus menyuap petugas, aku sangat marah!"

Sesaat Annisa terkejut, tapi kemudian tersenyum. "Ayah yang terus mendesak agar aku menyuap. Setiap kali aku datang ke rumah ayah, beliau selalu membujukku. Lama-lama aku merasa tidak enak...."
"Dan, kamu merasa bangga dengan semua itu?!"
"Tunggu dulu...."
"Kamu benar-benar sudah berubah, Annisa. Kamu mengkhianati kebenaran. Kamu tega merampas hak orang lain."
"Tenang, tunggu dulu. Beri kesempatan aku bicara..

"Apa lagi yang ingin kamu bicarakan? Semuanya sudah jelas. Kamu menyuap petugas. Demi Allah aku tidak ikhlas!" Aku tak bisa menguasai amarahku.

Sejenak Annisa menatapku. Lembut. "Sudah selesai? Sekarang giliran aku yang bicara," Annisa mencoba mengatur napas, berusaha tenang. "Ayah memang memberiku uang. Tapi uang itu tidak kugunakan untuk menyuap. Uang pemberian ayah kusimpan di bank. Aku bisa diterima menjadi pegawai negeri adalah murni usahaku sendiri."

"Benarkah?" Aku tergagap merasa tak percaya. Kutatap bola mata Annisa yang tetap lembut dan dalam.

"Ya. Mungkin ini berkah Allah atas keteguhan hati kita dalam memegang kebenaran. Tahun ini aku berhasil, mudah-mudahan tahun depan, kamu...."

Aku menunduk tak bisa berkata-kata. Berbagai macam perasaan campur aduk di hatiku. Tapi satu hal yang pasti, aku semakin merasa bangga memiliki istri cantik, tabah dan amanah, seperti Annisa. ***

Tidak ada komentar:

Label

`Atiqurrahman A Muttaqin A Rodhi Murtadho A. Iwan Kapit A. Purwantara A. Qorib Hidayatullah A. Zakky Zulhazmi A.H.J Khuzaini A.S. Laksana Aang Fatihul Islam Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi WM Abdul Kadir Ibrahim Abdul Lathief Abdul Malik Abdul Wachid B.S. Abdurrahman El Husaini Abidah El Khalieqy Abu Salman Acep Zamzam Noor Achdiat K. Mihardja Adek Alwi Adi Suhara Adnyana Ole Adreas Anggit W. Afrion Afrizal Malna Aguk Irawan MN Agung Dwi Ertato Agus B. Harianto Agus Buchori Agus Himawan Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sulton Agusri Junaidi Agustinus Wahyono Ahda Imran Ahmad Badrus Sholihin Ahmad Fanani Mosah Ahmad Fatoni Ahmad Ikhwan Susilo Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musabbih Ahmad Rofiq Ahmad Sahidah Ahmad Tohari Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sekhu Alex R. Nainggolan Alex Suban Alunk Estohank Ami Herman Amien Kamil Amien Wangsitalaja Aminudin R Wangsitalaja Anastasya Andriarti Andreas Maryoto Anes Prabu Sadjarwo Angela Angga Wijaya Angkie Yudistia Anindita S Thayf Anis Ceha Anjrah Lelono Broto Anton Kurnia Anton Kurniawan Anton Wahyudi Anugrah Gio Pratama Anwar Nuris Aprinus Salam Arie MP Tamba Arif B. Prasetyo Arif Bagus Prasetyo Arif Hidayat Arman A.Z. Arti Bumi Intaran Arys Hilman AS Sumbawi Asarpin Asef Umar Fakhruddin Asep Sambodja Asrama Mahasiswa Aceh SABENA Astrikusuma Asvi Warman Adam Atep Kurnia Awalludin GD Mualif Aziz Abdul Gofar Azizah Hefni Badrut Tamam Gaffas Bagja Hidayat Bagus Takwin Balada Bale Aksara Baltasar Koi Bambang Agung Bambang Kempling Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Bayu Insani Beni Setia Benny Arnas Benny Benke Berita Berita Duka Berita Utama Bernando J. Sujibto Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Blambangan Brunel University London BSW Adjikoesoemo Budaya Budhi Setyawan Budi Darma Budi Saputra Budi Suwarna Bung Tomo Cak Kandar Catatan Cerpen Chairil Anwar Chavchay Syaifullah Cucuk Espe Cunong N. Suraja D. Zawawi Imron Dadang Ari Murtono Daisuke Miyoshi Damanhuri Damhuri Muhammad Damiri Mahmud Danarto Daniel Dhakidae Dante Alighieri Deddy Arsya Dedy Tri Riyadi Denny Mizhar Deny Tri Aryanti Detti Febrina Dharmadi Diah Hadaning Dian Hartati Dian Sukarno Diana A.V. Sasa Dicky Fadiar Djuhud Didi Arsandi Dimas Dina Oktaviani Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Djadjat Sudradjat Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Doddy Hidayatullah Donny Anggoro Dony P. Herwanto Dorothea Rosa Herliany Dr. Muhammad Zafar Iqbal Dr. Simuh Dwi Arjanto Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwicipta Dwijo Maksum Edy A. Effendi Edy Firmansyah Efri Ritonga Egidius Patnistik Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Hendri Saiful Elik Elsya Crownia Emha Ainun Nadjib Endah Sulawesi Endah Wahyuningsih Endang Suryadinata Endhiq Anang P Endri Y Eriyandi Budiman Ernest Hemingway Esai Esha Tegar Putra Eva Dwi Kurniawan Evi Dana Setia Ningrum Evi Idawati Evieta Fadjar F Rahardi Fabiola D. Kurnia Fadelan Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Faisal Kamandobat Faisal Syahreza Faizal Syahreza Fajar Alayubi Fandy Hutari Fany Chotimah Fatah Yasin Noor Fathor Lt Fathurrahman Karyadi Fatih Kudus Jaelani Fatma Dwi Rachmawati Fauzi Absal Festival Sastra Gresik Fikri. MS Fina Sato Fitri Susila Galih Pandu Adi Gde Agung Lontar Geger Riyanto Gerakan Literasi Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Ginanjar Rahadian Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gunoto Saparie Gus Martin Gus tf Sakai Gusti Eka Hadi Napster Haji Misbach Halim HD Halimi Zuhdy Hamberan Syahbana Hamdy Salad Han Gagas Handoko F. Zainsam Hari Santoso Haris del Hakim Hartono Harimurti Hary B. Kori’un Hasan Gauk Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Helwatin Najwa Hepi Andi Bastoni Heri C Santoso Heri KLM Heri Latief Heri Listianto Hermien Y. Kleden Hernadi Tanzil Heru Emka Heru Kurniawan Heru Prasetya Hesti Sartika Hudan Hidayat Humaidiy AS I Made Asdhiana I Made Prabaswara I Nyoman Suaka IBM. Dharma Palguna Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Ida Ahdiah Idayati Ignas Kleden Ihsan Taufik Ilenk Rembulan Ilham Khoiri Ilham Yusardi Imam Cahyono Imam Jahrudin Priyanto Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indah Darmastuti Indiar Manggara Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indrian Koto Irma Safitri Irman Syah Iskandar Noe Istiqomatul Hayati Ita Siregar Iwan Kurniawan Iwan Nurdaya-Djafar Iyut FItra Jadid Al Farisy Jafar M. Sidik Jakob Sumardjo Jamal D Rahman Janual Aidi Javed Paul Syatha Jayaning S.A Jefri al Malay Jihan Fauziah JJ. Kusni Jo Pakagula Johan Edy Raharjo Joko Pinurbo Jokowi Undercover Joni Ariadinata Joss Wibisono Jual Buku Paket Hemat Judyane Koz Juli Sastrawan Junaidi Abdul Munif Jusuf AN Juwairiyah Mawardy Kadir Ruslan Kasnadi Katrin Bandel Kedung Darma Romansha Khairul Mufid Jr Khamami Zada Khrisna Pabichara Kikin Kuswandi Koh Young Hun Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Komunitas Sastra Ilalang Indonesia (KSII) Korrie Layun Rampan Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan) Kristianto Batuadji Kritik Sastra Kunni Masrohanti Kunthi Hastorini Kuntowijoyo Kurie Suditomo Kurnia EF Kurniawan Kuswaidi Syafi'ie Kuswinarto Lan Fang Landung Rusyanto Simatupang Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Liestyo Ambarwati Khohar Linda Sarmili Liston P. Siregar Liza Wahyuninto LN Idayanie Lucia Idayani Lukman Asya Lusiana Indriasari Lynglieastrid Isabellita M Hari Atmoko M. Aan Mansyur M. Arman A.Z M. Bagus Pribadi M. Fadjroel Rachman M. Harya Ramdhoni Julizarsyah M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S M. Luthfi Aziz M. Nahdiansyah Abdi M. Raudah Jambak M. Shoim Anwar M. Yoesoef M.D. Atmaja Maghfur Saan Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Majalah Sastra Horison Maklumat Sastra Profetik Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Serenade Sinurat Mario F. Lawi Marluwi Marsel Robot Martin Aleida Martin Suryajaya Mashuri Matdon Mega Vristian Melani Budianta Melayu Riau Memoar MG. Sungatno Mh Zaelani Tammaka Miftah Fadhli Miftahul Abrori Misbahus Surur Miziansyah J Mochtar Lubis Mohamad Ali Hisyam Mohammad Eri Irawan MT Arifin Mugy Riskiana Halalia Muhajir Arrosyid Muhamad Rifai Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Al-Mubassyir Muhammad Qodari Muhammad Rain Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun A.S Muhidin M. Dahlan Muhlis Al-Firmany Mujtahid Mulyadi SA Munawir Aziz Murniati Tanjung Murnierida Pram Musa Ismail Musfi Efrizal Mustaan Mustafa Ismail N. Mursidi Nafsul Latifah Naskah Teater Nasrullah Nara Nelson Alwi Nenden Lilis A Nh. Anfalah Ni Made Purnama Sari Nina Mussolini-Hansson Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Noura Nova Christina Noval Jubbek Novela Nian Nugroho Notosusanto Nugroho Pandhu Sukmono Nur Faizah Nurdin F. Joes Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nurul Komariyah Nuryana Asmaudi SA Nyoman Tusthi Eddy Nyoman Wirata Oka Rusmini Oktamandjaya Wiguna Oky Sanjaya Olanama Olivia Kristina Sinaga Otto Sukatno CR Pagelaran Musim Tandur Pamusuk Eneste Patricia Pawestri PDS H.B. Jassin PDS. H.B. Jassin Penghargaan Hadiah Sastra Pusat Bahasa Persda Network Pipiet Senja Pramoedya Ananta Toer Pramono Pranita Dewi Pringadi AS Prita Daneswari Prof. Tamim Pardede sebut Bambang Tri Prosa Pudyo Saptono Puisi Puisi Kesunyian Puisi Sufi Puji Santosa PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Wijaya Qaris Tajudin R. Sugiarti Rachmad Djoko Pradopo Radhar Panca Dahana Ragdi F. Daye Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Ramadhan Batubara Ramadhan KH Ratih Kumala Ratna Indraswari Ibrahim Ratna Sarumpaet Raudal Tanjung Banua Remy Sylado Reni Susanti Renny Meita Widjajanti Resensi Restu Kurniawan Retno Sulistyowati RF. Dhonna Rian Sindu Ribut Wijoto Ridwan Munawwar Riki Utomi Riris K. Toha-Sarumpaet Risang Anom Pujayanto Riza Multazam Luthfy Robin Al Kautsar Rodli TL Rofiqi Hasan Rohman Abdullah Rosidi Rosihan Anwar Rukardi S Yoga S. Jai S. Sinansari Ecip S.I. Poeradisastra S.W. Teofani Sabam Siagian Sabrank Suparno Saiful Anam Assyaibani Sainul Hermawan Sajak Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sanggar Rumah Ilalang Sanggar Teater Jerit Sapardi Djoko Damono Sartika Dian Sartika Dian Nuraini Sastra Tanah Air Sastra Using Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sayyid Fahmi Alathas Sazano Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo Seli Desmiarti Selo Soemardjan Senggrutu Singomenggolo Seno Joko Suyono SH Mintardja Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sipri Senda Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Sobih Adnan Sofian Dwi Sofie Dewayani Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sri Ruwanti Sri Wintala Achmad St Sularto Stefanus P. Elu Sukron Abdilah Sulaiman Djaya Suminto A. Sayuti Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sungging Raga Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Suryansyah Suryanto Sastroatmodjo Susanto Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suyadi Suyadi San Syaifuddin Gani Syaiful Amin Syamsiar Hidayah Syarbaini Syifa Amori Syifa Aulia Tajuddin Noor Ganie Taufik Abdullah Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat TE. Priyono Teguh Afandi Teguh Ranusastra Asmara Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Theresia Purbandini Tita Tjindarbumi Titik Alva-Alvi Choiriyah Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tjoet Nyak Dhien Tosa Poetra Tri Lestari Sustiyana Triyanto Triwikromo TS Pinang Tu-ngang Iskandar Tulus S Tulus Wijanarko Udo Z. Karzi Ugoran Prasad Umar Fauzi Ballah Umar Kayam Umbu Landu Paranggi Universitas Indonesia Universitas Jember Utada Kamaru UU Hamidy Vera Ernawati Veronika Ninik W.S. Rendra Wahjudi Djaja Wahyu Hidayat Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Budiartha Widya Karima Wijaya Herlambang Wiji Thukul Willem B Berybe Wilson Nadeak Winarni R. Wiratmo Soekito Wita Lestari Wiwik Widayaningtias Y. Thendra BP Y. Wibowo Yasser Arafat Yeni Ratnaningsih Yohanes Sehandi Yonatan Raharjo Yonathan Rahardjo Yopi Setia Umbara Yos Rizal S Yos Rizal Suriaji Yudhi Herwibowo Yuka Fainka Putra Yurnaldi Yushifull Ilmy Yusri Fajar Yusuf Suharto Zainal Abidin Zainal Arifin Thoha Zawawi Se Zen Hae