Kamis, 19 Maret 2009

Gelombang Puisi Hasan Aspahani

Abdul Kadir Ibrahim
http://batampos.co.id/

Membaca puisi-puisi Hasan Aspahani seperti kita tengah membaca lekuk-lekuk, turun-naik, cekung, beralun-alun lautan yang bergelombang hebat. Terbayang dan dirasakan gelombang dahsyat tengah menuju pantai-gigi pasir pantai atau gelombang kecil di tepi pantai dan semakin ke tengah lautan yang semakin membumbung. Gelombang puisi Hasan Aspahani membuat kita menjadi “mantra”.

Sebagaimana lazimnya, berlaku selama terkembangnya zaman—lautan ketika angin sepoi-sepoi, maka gelombangnya biasa-biasa saja. Bahkan ketika musim teduh, lautan selalu dikatakan oleh orang tua-tua Melayu seperti air dalam talam, tenang, berdelau, terhampar maha luas dan menakjubkan! Namun, ketika angin bertiup kencang dan semakin kencang, maka gelombang di lautan pun semakin tinggi—yang dalam bahasa di tanah kelahiran saya, Natuna, gelombang “besar”, laut mengamuk.

Ketika gelombang lautan mengamuk, maka tampaklah pucuknya menyambar-nyambar, memecah buih dan memutih, yang dalam bahasa di tanah kelahiran saya Natuna, disebut pula bekat. Sehigga dikenal istilah gelombang laut besar dan bekat bak ketupang—sebagai menggambarkan lautan yang tengah mengamuk akibat topan-badai yang luar biasa.

Pun ketika kita menyaksikan, mengikuti, menyimak dan menikmati puisi-puisi Hasan Aspahani, niscayalah sangat merasakan semakin meningginya gelombang yang saya maksudkan itu. Tambah lagi kalau kita sudah menyaksikan dia membaca puisi-puisinya. Dia membaca dari tekanan suara yang sedang-sedang saja pada awal pembacaan, kemudian semakin meninggi-semakin meninggi dan akhirnya terasa sangat menyentak membuat kita terhenyak dan seketika meraba perih hati-nurani atas apa-apa yang tiada patut sudah terlanjur kita buat atau alami. Maka jangan heran, ketika Hasan Aspahani sedang membaca puisi lalu seorang penyair besar sekelas Rida K. Liamsi pun sempat menitikkan airmata dan itu pula yang saya saksikan di “Batam Kota Tengkorak Hitam”.

Dalam perjalanannya sebagai penyair—yang menurut perkiraan saya, Hasan Aspahani jikapun menjadi penyair, tetapi saya sangat yakin dia tidak akan sebesar sekarang, seandainya ia menetap (berpenghidupan) di tanah kelahirannya atau berada di kota lain sekalipun. Dia muncul dan kemudian menjadi penyair yang dikenal di tanah Indonesia dan beberapa negara mana-mana dunia, tersebablah adanya oleh karena ia tinggal, menentap (berpencaharian) di Kota Batam khususnya dan Kepulauan Riau umumnya. Tanah Melayu Kepulauan Riau (sebelumnya termasuk Riau daratan yang kini Riau) telah menjadi roh, inti-teras bagi kepengarangannya. Tanah ini telah menempa, mencemeti, menyemangati, dan membekali dia dalam membernaskan akal-pikirannya sehingga fasih memakai dan memaknai kata-kata.

Dari tanah ini (Kepulauan Riau) ada, hidup, tumbuh dan berkembang tradisi bahasa-sastra Melayu berupa cerita rakyat, syair, pantun, sapah-serapah (maksunya bukan “sumpah-serapah” atau kata yang benar “sumpah-seranah”, melainkan sejenis mantra tetapi kalimatnya pendek, singkat dan padat. Misalnya, hai ikan! Air pasang bawa ke insang/ air surut bawa ke perut/ sintak ragut/ biar putus daripada rabut/ puah!), mantra, gurindam, dan sebagainya. Di samping bahasa-sastra lisan tersebut, di kawasan ini ada sastrawan besar antara lain Raja Ali Haji, Ibrahim Sattah, Sutardji Calzoum Bachri, Aisyah Sulaiman Riau, Hasan Junus, Rida K. Liamsi dan BM. Syamsuddin.

Generasi selepas itu sebagai generasi baru, antara lain ada “Budak Natuna” kata Taufik Ikram Jamil dalam makalahnya sewaktu Dialog Selatan II di Pekanbaru (1995) Husnizar Hood, Hasan Aspahani, Samson Rambah Pasir dan Ramon Damora. Tak kalah penting, kawasan ini menyimpan “kekuatan gaib” yang luar biasa bagi lahirnya pengarang dengan karya-karya besar. Agaknya, karena dibangun dan ditopang bentangan lautan yang luas dan oleh banyaknya pulau yang kata Duad Kadir dalam satu di antara lagunya, “Segantang Lada”.

Di samping itu pula, di tanah ini pernah tumbuh, berkembang dan jaya Kerajaan Melayu (Kerajaan Bintan, Johor-Riau-Pahang-Lingga yang kemudian bernama Riau saja) dalam kurun waktu berabad-abad. Kerajaan Melayu dengan kebudayaan dan perabadannya yang sangam itu, niscayalah telah menjadi “hal penting” muncul dan besarnya nama-nama pengarang dari kawasan ini. Hal lain, di kawasan ini ketika Indonesia merdeka sebelum otonomi daerah berlaku boleh dikatakan “entah di mana kemerdekaan” itu. Dan, ketika otonomi daerah berlaku, ternyata hati-nurani, akal-pikiran pengarang tetap terusik oleh pedih-pilu kebodohan, kemiskinan dan pengrusakan lingkungan, baik di darat maupun di laut yang entah sampai bila pula tak lagi “berdarah” di tengah kehidupan masyarakat.

Tanah ini, adalah tanah yang bertuah bagi pemuliaan kata-kata (bahasa) dan budi (maknanya adalah jasa tetapi tidak mengharapkan balas jasa dan berbuat baik dengan ikhlash). Sebagaimana petuah Raja Ali Haji dalam Gurindam Dua Belas-nya “jika hendak melihat orang berbangsa/ lihatlah kepada budi dan bahasa”. Raja Ali Haji telah dengan sungguh-sungguh memarwahkan bahasa. Untuk itu atas usulan Walikota Tanjungpinang, Dra. Hj. Suryatati A. Manan kepada Guberur Riau, lalu kepada pemerintah pusat Presiden Republik Indonesia pun mengangkatnya menjadi pahlawan nasional pada November 2004: “sebagai pemurni bahasa Melayu menjadi bahasa Indonesia”.

Pada Agustus 2008 lalu, Presiden Penyair Indonesia kepenyairannya bermula dari Tanjungpinang mendapat penghargaan dari Presiden Republik Indonesia. Lalu, masih segar dalam ingatan kita, pada 28 Oktober 2008, Walikota Tanjungpinang, Dra. Hj. Suryatati A. Manan yang belakangan juga dikenal sebagai penyair dengan “gayanya” sendiri kabarnya satu-satunya kepala daerah yang mendapat menghargaan dari Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional RI atas jasanya melakukan pembinaan bahasa dan sastra di daerah. Juga menjadi pemakalah dan baca puisi serta berpantun dalam Kongres IX Bahasa Indonesia.

Anugerah pahlawan nasional yang diterima Raja Ali Haji atas jasanya dalam bidang bahasa dan sastra pada masa lalu yang makna-nilainya tetap mengkini, Sutardji Calzoum Bachri yang menerima anugerah atas “luar biasa” puisi-puisinya bagi perpuisian Indonesia modern bahkan memberi andil terhadap puisi-puisi dunia, serta Hj. Suryatati A. Manan pada masa kini menerima penghargaan secara nasional juga atas jasa dalam hal yang hampir sama, tidak dapat kita katakan sebagai sebuah kebetulan. Ketiga penghargaan secara nasional terhadap tiga tokoh tersebut, menjadi “penanda” yang jelas sudah, bahwa daerah ini memang mempunyai “marwah” dan “martabat” dalam bidang bahasa dan sastra.

Di bila-bila masa mendatang, tidaklah sebagai hal mengada-ada apabila Hasan Aspahani atau yang lainnya juga masuk dalam leretan yang mendapatkan penghargaan bukan hadiah sebagai pemenang dalam suatu sayembara secara nasional itu. Namun pada sisi lain, adalah kita tercuguk seperti kadam, ketika ada orang muncul mengkhotbahkan dirinya atau temannya sebagai penyair tapi entah di mana ia adanya pernah menulis puisi apa berupa koran, majalah, apatah lagi berupa buku atau agaknya di papan batu dengan alat tulis anak batu seperti zaman saya sekolah semasa SD dulu di kampung jauh, Natuna tak taulah.

Lainnya, tatkala rambut di kepala sudah beruban baru cerita nak menerbitkan buku kumpulan puisi, pun ada. Mengaku pula sebagai “datuk” penyair pun ada, meskipun sepengetahuan ramai orang yang bersangkutan tak dikenal dan tak pernah pun menulis apa-apa dalam bentuk lembaran apalagi di koran atau majalah. Agaknya di jendela serambi dapur ianya menulis. Seteruk itukah dunia sastra, Hasan?! Begelige, Wai!

Lain halnya dengan Hasan Aspahani karya-karyanya tak sulit diperoleh, dapat ditengok di koran-koran atau majalah lokal maupun nasional. Beberapa buku kumpulan puisinya secara sendirian atau beramai-ramai (bersama) penyair lainnya, juga ada. Puisinya, juga sudah dibincangkan ramai orang, baik dari kalangan sastrawan, kritikus sastra maupun lainnya. Agakanya, adanya penyair berkat “lampu aladin” semacam itu “lantaklah”. Bolehjadi, itu bahagian dari demokrasi juga dan “cara baru” untuk bertahan hidup?!

Di tanah Melayu, hakikat kata-kata sesungguhnya pantang diucapkan serampangan dan apalagi tidak memberi manfaat, tiada faedah, mendatangkan dosa. Kata-kata bagi orang Melayu amatlah pada inti-terasnya untuk memuliakan Tuhan, manusia dan kehidupan. Kata-kata dihadirkan dari mulut, antara hidup dan maut, tidak sekedar untuk mengucapkan atau menyampaikan sesuatu, melainkan ada kebaikan dan penuh pertanggungjawaban, baik kepada dirinya sendiri, orang lain bahkan kepada Allah SWT. Tersebab itulah, Raja Ali Haji mengatakannya “lihat kepada budi dan bahasa”. Kata-kata haruslah baik, indah dan terpuji. Bagi orang Melayu terasa amatlah perih di hati bila ada orang tengah membaca katanya membaca puisi kata-kata yang dipakainya terang benderang menyebut apa-apa alat vital manusia atau semacam dengan itu. Misalnya, kata “selangkangan”, “perawan”, “vagina”, “pelacur”, “bersetubuh”, “mani”, dan sebagainya. Jika ia paham, sadar, tahu diri bahwa ianya orang Melayu atau hidup-tinggal-menentap (berpengidupan/bermata pencaharian) dan berkarya (mengarang) di tanah Melayu, kata-kata semacam itu malu ia pergunakan. Niscayalah ia akan berupaya sedapat-dapatnya memakai kata-kata kias, simbol, metafora atau lainnya sesuai hakikat bahasa bagi orang Melayu sebagaimana kita seneraikan di atas.

Puisi-puisi Hasan Aspahani sungguh bertabur, berlompatan, dan bertepek simbol, metafora (perlambangan). Kata-kata yang didipakai sebagai rangkaian kata-kata menjadi kalimat sepanjang puisinya benar-benar pilihan, bernas, bermartabat dan memuliakan manusia, alam-lingkungan dan Tuhan. Ini artinya, dia telah berhasil menjadi penyair (pengarang) bukan sekedar berjejak dan bertapak kaki di tanah Melayu Kepualauan Riau, melainkan “mengakar ke bumi dan menggapai ke langit” meminjam “istilah” judul buku Taufiq Ismail tanah (dunia) Melayu di masa lalu, kini dan mendatang.

Kita akan merasakan betapa Hasan Aspahani seolah-olah tidak memberi kesempatan kepada kita untuk rehat sebentarpun dan sebaliknya terus berlari, berpacu semakin kencang, semakin “menggila” agar mengikuti serangkaian kata-kata puisinya, baik setiap puisi maupun seluruh puisi dalam sebuah kumpulan buku puisinya. Makanya, di awal seneraian ini saya katakan, puisi Hasan Aspahani ibarat gelombang atau dengan kata lain puisi-puisinya benar-benar menjadi gelombang puisi. Merekam jitu masa lalu, mendedah bernas masa kini dan brilian ide bagi masa depan manusia dan kemanusiaan terhadap alam jua Tuhan. Penyair ini telah menjadikan kata-kata tidak seperti buih di pertemuan sungai dengan lautan, tetapi menjadikannya “mutiara” di tengah kata-kata “sakti” para pujangga.

Hasan Aspahani, menampilkan puisi saya tidak mengutif satu baris pun puisinya, karena sudah ada dalam buku kumpulan puisinya, antara lain Orgasmaya, (Sagang, 2008), yang kita masing-masing dapat membacanya yang kata-katanya bak merangkum pantun, petuah-petuah, syair, dongeng, gurindam, dan bahkan mantra. Tersebab itulah menjadikan puisinya kaya rasa, bernas nilai, sarat cita-cita, mulia pesan. Tersebab itulah, puisinya terasa tak puas-puas untuk dibaca, dinikmati dan niscayalah bila-bila masa tetap “mengkini” meminjam istilah Sutardji Calzoum Bachri (2004) aktual dan orisinal.

Hasan Aspahani, kalau diturutkan tulisan ini tak hendak usai. Kekayaan inetelektual dikau dalam meletakkan kata-kata pada singgasana meminjam istilah Kazzaini KS (2000) baik puisi maupun bentuk tulisan lainnya membuat orang lain hanya bisa temberang dan berkata-kata di balik jendela tua yang segera pengempapnya sampai tak berkutik. Entah berapa macam bunga untuk dapat melambangkan kata-kata yang kau “sabdakan” bagi dunia perpuisian Indonesia mutakhir dunia itu telah dicapai elok nian!

Tapi, sudahlah. Tahniah! Ehhm. Saya jadi teringat ketika kita baca puisi di Batam beberapa tahun lalu, penyair A. Aris Abeba sebelum baca puisi sempat “berkhotbah”. Katanya, jadilah penyair yang tidak terkena sindiran Tuhan, bahwa penyair yang hanya menulis syair atau puisi-puisi dengan kata-kata penuh kemuliaan tetapi tidak mengamalkan kemuliaan, atau kata-kata puisinya penuh kata-kata kotor, tidak senonoh, maka termasuklah dalam kelompoknya syaithan. Dalam kaitan ini, jangan pula awak sampai menjadi “penjual kata-kata”, nanti digelar “Nabi Palsu” dan penjaralah alamatnya. Nauzubillaahi min zaalik.

Oh, ya, kata sahabat kita di “seberang yang jauh” sayangnya sahabat itu tidak berkenan mengatakan nama daerah/kota sebenarnya daripada “seberang yang jauh” itu ternyata di kawasannya ada yang mengaku penyair, dan sudah berusia di atas 40 tahun bahkan hampir 60 tahun, tetapi kesukaannya mencaci-maki orang. Orang lain tak boleh “berpucuk” hebat, tersebab merasa ia sajalah “pemilik sahnya” hebat itu sepanjang masa. Kelakuannya sungguh susah mau disandingkan dengan Gurindam Dua Belas gubahan Raja Ali Haji. Perangainya seperti budak-budak degil yang tengah berebut pisang rebus.

Mendengar pernyataan pedihnya itu, saya hendak membantah keras, tetapi dia katakan, ada baiknya kita pinjam istilah Ebit G Ade: “tanyakan kepada rumput yang bergoyang” saja. Atau kita tanyakan kepada Dewa Mendu? Selambe sajalah! Tak kesah… Saya pun menelan ludah, mengurut dada, sabar! Sidang pembaca, cukuplah seadanya seneraian ini. Mohon maaf atas segala kesilafan dan kesalahan. Wassalam. ***

Tanjungpinang, Zulkaidah 1429/ November 2008.

Tidak ada komentar:

Label

`Atiqurrahman A Muttaqin A Rodhi Murtadho A. Iwan Kapit A. Purwantara A. Qorib Hidayatullah A. Zakky Zulhazmi A.H.J Khuzaini A.S. Laksana Aang Fatihul Islam Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi WM Abdul Kadir Ibrahim Abdul Lathief Abdul Malik Abdul Wachid B.S. Abdurrahman El Husaini Abidah El Khalieqy Abu Salman Acep Zamzam Noor Achdiat K. Mihardja Adek Alwi Adi Suhara Adnyana Ole Adreas Anggit W. Afrion Afrizal Malna Aguk Irawan MN Agung Dwi Ertato Agus B. Harianto Agus Buchori Agus Himawan Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sulton Agusri Junaidi Agustinus Wahyono Ahda Imran Ahmad Badrus Sholihin Ahmad Fanani Mosah Ahmad Fatoni Ahmad Ikhwan Susilo Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musabbih Ahmad Rofiq Ahmad Sahidah Ahmad Tohari Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sekhu Alex R. Nainggolan Alex Suban Alunk Estohank Ami Herman Amien Kamil Amien Wangsitalaja Aminudin R Wangsitalaja Anastasya Andriarti Andreas Maryoto Anes Prabu Sadjarwo Angela Angga Wijaya Angkie Yudistia Anindita S Thayf Anis Ceha Anjrah Lelono Broto Anton Kurnia Anton Kurniawan Anton Wahyudi Anugrah Gio Pratama Anwar Nuris Aprinus Salam Arie MP Tamba Arif B. Prasetyo Arif Bagus Prasetyo Arif Hidayat Arman A.Z. Arti Bumi Intaran Arys Hilman AS Sumbawi Asarpin Asef Umar Fakhruddin Asep Sambodja Asrama Mahasiswa Aceh SABENA Astrikusuma Asvi Warman Adam Atep Kurnia Awalludin GD Mualif Aziz Abdul Gofar Azizah Hefni Badrut Tamam Gaffas Bagja Hidayat Bagus Takwin Balada Bale Aksara Baltasar Koi Bambang Agung Bambang Kempling Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Bayu Insani Beni Setia Benny Arnas Benny Benke Berita Berita Duka Berita Utama Bernando J. Sujibto Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Blambangan Brunel University London BSW Adjikoesoemo Budaya Budhi Setyawan Budi Darma Budi Saputra Budi Suwarna Bung Tomo Cak Kandar Catatan Cerpen Chairil Anwar Chavchay Syaifullah Cucuk Espe Cunong N. Suraja D. Zawawi Imron Dadang Ari Murtono Daisuke Miyoshi Damanhuri Damhuri Muhammad Damiri Mahmud Danarto Daniel Dhakidae Dante Alighieri Deddy Arsya Dedy Tri Riyadi Denny Mizhar Deny Tri Aryanti Detti Febrina Dharmadi Diah Hadaning Dian Hartati Dian Sukarno Diana A.V. Sasa Dicky Fadiar Djuhud Didi Arsandi Dimas Dina Oktaviani Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Djadjat Sudradjat Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Doddy Hidayatullah Donny Anggoro Dony P. Herwanto Dorothea Rosa Herliany Dr. Muhammad Zafar Iqbal Dr. Simuh Dwi Arjanto Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwicipta Dwijo Maksum Edy A. Effendi Edy Firmansyah Efri Ritonga Egidius Patnistik Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Hendri Saiful Elik Elsya Crownia Emha Ainun Nadjib Endah Sulawesi Endah Wahyuningsih Endang Suryadinata Endhiq Anang P Endri Y Eriyandi Budiman Ernest Hemingway Esai Esha Tegar Putra Eva Dwi Kurniawan Evi Dana Setia Ningrum Evi Idawati Evieta Fadjar F Rahardi Fabiola D. Kurnia Fadelan Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Faisal Kamandobat Faisal Syahreza Faizal Syahreza Fajar Alayubi Fandy Hutari Fany Chotimah Fatah Yasin Noor Fathor Lt Fathurrahman Karyadi Fatih Kudus Jaelani Fatma Dwi Rachmawati Fauzi Absal Festival Sastra Gresik Fikri. MS Fina Sato Fitri Susila Galih Pandu Adi Gde Agung Lontar Geger Riyanto Gerakan Literasi Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Ginanjar Rahadian Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gunoto Saparie Gus Martin Gus tf Sakai Gusti Eka Hadi Napster Haji Misbach Halim HD Halimi Zuhdy Hamberan Syahbana Hamdy Salad Han Gagas Handoko F. Zainsam Hari Santoso Haris del Hakim Hartono Harimurti Hary B. Kori’un Hasan Gauk Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Helwatin Najwa Hepi Andi Bastoni Heri C Santoso Heri KLM Heri Latief Heri Listianto Hermien Y. Kleden Hernadi Tanzil Heru Emka Heru Kurniawan Heru Prasetya Hesti Sartika Hudan Hidayat Humaidiy AS I Made Asdhiana I Made Prabaswara I Nyoman Suaka IBM. Dharma Palguna Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Ida Ahdiah Idayati Ignas Kleden Ihsan Taufik Ilenk Rembulan Ilham Khoiri Ilham Yusardi Imam Cahyono Imam Jahrudin Priyanto Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indah Darmastuti Indiar Manggara Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indrian Koto Irma Safitri Irman Syah Iskandar Noe Istiqomatul Hayati Ita Siregar Iwan Kurniawan Iwan Nurdaya-Djafar Iyut FItra Jadid Al Farisy Jafar M. Sidik Jakob Sumardjo Jamal D Rahman Janual Aidi Javed Paul Syatha Jayaning S.A Jefri al Malay Jihan Fauziah JJ. Kusni Jo Pakagula Johan Edy Raharjo Joko Pinurbo Jokowi Undercover Joni Ariadinata Joss Wibisono Jual Buku Paket Hemat Judyane Koz Juli Sastrawan Junaidi Abdul Munif Jusuf AN Juwairiyah Mawardy Kadir Ruslan Kasnadi Katrin Bandel Kedung Darma Romansha Khairul Mufid Jr Khamami Zada Khrisna Pabichara Kikin Kuswandi Koh Young Hun Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Komunitas Sastra Ilalang Indonesia (KSII) Korrie Layun Rampan Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan) Kristianto Batuadji Kritik Sastra Kunni Masrohanti Kunthi Hastorini Kuntowijoyo Kurie Suditomo Kurnia EF Kurniawan Kuswaidi Syafi'ie Kuswinarto Lan Fang Landung Rusyanto Simatupang Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Liestyo Ambarwati Khohar Linda Sarmili Liston P. Siregar Liza Wahyuninto LN Idayanie Lucia Idayani Lukman Asya Lusiana Indriasari Lynglieastrid Isabellita M Hari Atmoko M. Aan Mansyur M. Arman A.Z M. Bagus Pribadi M. Fadjroel Rachman M. Harya Ramdhoni Julizarsyah M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S M. Luthfi Aziz M. Nahdiansyah Abdi M. Raudah Jambak M. Shoim Anwar M. Yoesoef M.D. Atmaja Maghfur Saan Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Majalah Sastra Horison Maklumat Sastra Profetik Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Serenade Sinurat Mario F. Lawi Marluwi Marsel Robot Martin Aleida Martin Suryajaya Mashuri Matdon Mega Vristian Melani Budianta Melayu Riau Memoar MG. Sungatno Mh Zaelani Tammaka Miftah Fadhli Miftahul Abrori Misbahus Surur Miziansyah J Mochtar Lubis Mohamad Ali Hisyam Mohammad Eri Irawan MT Arifin Mugy Riskiana Halalia Muhajir Arrosyid Muhamad Rifai Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Al-Mubassyir Muhammad Qodari Muhammad Rain Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun A.S Muhidin M. Dahlan Muhlis Al-Firmany Mujtahid Mulyadi SA Munawir Aziz Murniati Tanjung Murnierida Pram Musa Ismail Musfi Efrizal Mustaan Mustafa Ismail N. Mursidi Nafsul Latifah Naskah Teater Nasrullah Nara Nelson Alwi Nenden Lilis A Nh. Anfalah Ni Made Purnama Sari Nina Mussolini-Hansson Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Noura Nova Christina Noval Jubbek Novela Nian Nugroho Notosusanto Nugroho Pandhu Sukmono Nur Faizah Nurdin F. Joes Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nurul Komariyah Nuryana Asmaudi SA Nyoman Tusthi Eddy Nyoman Wirata Oka Rusmini Oktamandjaya Wiguna Oky Sanjaya Olanama Olivia Kristina Sinaga Otto Sukatno CR Pagelaran Musim Tandur Pamusuk Eneste Patricia Pawestri PDS H.B. Jassin PDS. H.B. Jassin Penghargaan Hadiah Sastra Pusat Bahasa Persda Network Pipiet Senja Pramoedya Ananta Toer Pramono Pranita Dewi Pringadi AS Prita Daneswari Prof. Tamim Pardede sebut Bambang Tri Prosa Pudyo Saptono Puisi Puisi Kesunyian Puisi Sufi Puji Santosa PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Wijaya Qaris Tajudin R. Sugiarti Rachmad Djoko Pradopo Radhar Panca Dahana Ragdi F. Daye Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Ramadhan Batubara Ramadhan KH Ratih Kumala Ratna Indraswari Ibrahim Ratna Sarumpaet Raudal Tanjung Banua Remy Sylado Reni Susanti Renny Meita Widjajanti Resensi Restu Kurniawan Retno Sulistyowati RF. Dhonna Rian Sindu Ribut Wijoto Ridwan Munawwar Riki Utomi Riris K. Toha-Sarumpaet Risang Anom Pujayanto Riza Multazam Luthfy Robin Al Kautsar Rodli TL Rofiqi Hasan Rohman Abdullah Rosidi Rosihan Anwar Rukardi S Yoga S. Jai S. Sinansari Ecip S.I. Poeradisastra S.W. Teofani Sabam Siagian Sabrank Suparno Saiful Anam Assyaibani Sainul Hermawan Sajak Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sanggar Rumah Ilalang Sanggar Teater Jerit Sapardi Djoko Damono Sartika Dian Sartika Dian Nuraini Sastra Tanah Air Sastra Using Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sayyid Fahmi Alathas Sazano Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo Seli Desmiarti Selo Soemardjan Senggrutu Singomenggolo Seno Joko Suyono SH Mintardja Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sipri Senda Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Sobih Adnan Sofian Dwi Sofie Dewayani Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sri Ruwanti Sri Wintala Achmad St Sularto Stefanus P. Elu Sukron Abdilah Sulaiman Djaya Suminto A. Sayuti Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sungging Raga Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Suryansyah Suryanto Sastroatmodjo Susanto Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suyadi Suyadi San Syaifuddin Gani Syaiful Amin Syamsiar Hidayah Syarbaini Syifa Amori Syifa Aulia Tajuddin Noor Ganie Taufik Abdullah Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat TE. Priyono Teguh Afandi Teguh Ranusastra Asmara Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Theresia Purbandini Tita Tjindarbumi Titik Alva-Alvi Choiriyah Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tjoet Nyak Dhien Tosa Poetra Tri Lestari Sustiyana Triyanto Triwikromo TS Pinang Tu-ngang Iskandar Tulus S Tulus Wijanarko Udo Z. Karzi Ugoran Prasad Umar Fauzi Ballah Umar Kayam Umbu Landu Paranggi Universitas Indonesia Universitas Jember Utada Kamaru UU Hamidy Vera Ernawati Veronika Ninik W.S. Rendra Wahjudi Djaja Wahyu Hidayat Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Budiartha Widya Karima Wijaya Herlambang Wiji Thukul Willem B Berybe Wilson Nadeak Winarni R. Wiratmo Soekito Wita Lestari Wiwik Widayaningtias Y. Thendra BP Y. Wibowo Yasser Arafat Yeni Ratnaningsih Yohanes Sehandi Yonatan Raharjo Yonathan Rahardjo Yopi Setia Umbara Yos Rizal S Yos Rizal Suriaji Yudhi Herwibowo Yuka Fainka Putra Yurnaldi Yushifull Ilmy Yusri Fajar Yusuf Suharto Zainal Abidin Zainal Arifin Thoha Zawawi Se Zen Hae