Minggu, 08 Maret 2009

Kemarau Pun Singgah di Kampung Kami

Agustinus Wahyono
http://www.sinarharapan.co.id/

Kampung Sri Pemandang Pucuk, suatu malam di minggu pertama Oktober.
Saya menerima telepon dari paman, adik ayah saya. Paman bilang, ia akan datang ke Bangka. Dalam rangka apa? Melebarkan sayap-sayap bisnis? Jawab paman, “Entahlah. Aku lagi sumpek tinggal di Jakarta. Capek juga bolak-balik Jakarta-Pontianak. Lusa aku datang. Sendiri. Bibi dan anak-anak sedang berlibur ke Bangkok.”

Begitulah. Dan sampai pada hari kedatangannya, kami sudah siap. Ada satu kamar tidur untuk paman. Kamar itu dulu memang pernah ia tempati ketika masih menjadi pelajar STM1) jurusan Bangunan di kota kami dua puluh tahun silam. Setamat dari STM paman mengadu nasib di Jakarta, dan hingga kini. Sedangkan kamar itu telah beberapa kali berganti penghuni, termasuk saya. Ayah selalu berpesan, kalau sewaktu-waktu paman datang, kamar itu harus dikosongkan untuk tempat beristirahat paman dan keluarganya. Memang kenyataannya, empat atau enam bulan sekali paman datang, kecuali delapan tahun terakhir. Alhasil, untuk sementara ini saya harus rela tidur di karpet ruang keluarga, dan pakaian-pakaian saya mengungsi ke gudang.

“Lama aku tidak kemari, Bangka banyak perubahan!” komentarnya ketika ia tiba di rumah kami dengan naik taksi berpelat hitam.

“Pasalnya paman terlalu asyik menikmati bisnis di Ibu Kota.”

Paman cuma tersenyum. Saya paham benar, adik ayah satu ini memang paling ngotot berbisnis sampai-sampai uban-ubannya pun harus disemir hitam berulang kali. Menurut cerita ayah, awal merantau di Jakarta paman hanya seorang karyawan biasa di sebuah toko bahan bangunan. Tapi lantaran sifat kerja keras dan ingin tahunya tinggi, belum dua tahun dia sudah terlibat dalam bisnis kayu, terutama dari Kalimantan, dan termasuk agen kayu terbesar untuk wilayah Jawa. Kalau sesekali beristirahat di Bangka, paman memilih tinggal di hotel dekat pantai. Keluarganya jarang dibawa karena alasan sekolah anak-anak tidak libur, dan kesibukan bibi berbisnis konveksi dan katering. Entah kenapa, kali ini paman mau beristirahat di rumah kami.
***

Oktober ini bukan lagi bulan hujan pertama di kampung Sri Pemandang Pucuk.
Memang, sampai pertengahan bulan ini hujan masih jauh seperti jarak Laut Cina Selatan dan Bukit Maras. Mendung masih saja bersembunyi. Banyak perigi di kampung kami mengalami krisis air. Air dari PDAM hanya mengucur pagi hari. Itu pun dengan kuantitas belasan liter. Sedangkan kualitas air, bernoda. Tak pelak paman mencak-mencak. Aneh daerah kalian ini, kata paman. Orang-orang PDAM tidak mengerti soal melayani masyarakat! Dulu, tahun 1980-an, juga pernah musim kemarau panjang. Aku dan ayahmu mencari air di kolong-kolong2). Bagus kualitasnya! Apa sekarang semuaaaaaa kolong sudah tercemar oleh TI3) ? Aku tidak percaya!

Lalu paman menyuruh saya mengeluarkan sepeda motor. “Kita mencari kolong yang berair jernih!” Kebetulan waktu itu saya tidak bekerja pascapenangkapan bos smelter4). Smelter kami tutup selama waktu yang belum bisa dipastikan selama masa penahanan bos saya belum jelas kapan berakhirnya. Mana motor saya masih kredit, masih harus bayar dua tahun lagi.
***

Di luar kampung Sri Pemandang Pucuk, kemarau pun belum ada jeda.
Paman masih ingat jalan-jalan dan letak kolong-kolong. Ia yang mengemudikan motor saya. Nostalgia naik motor, katanya. Ia sempat menggeleng-geleng ketika menyaksikan bertebarannya tambang-tambang timah rakyat di pinggir sepanjang jalan. Aliran sungai kecil tampak seperti aliran kopi susu. Tidak sedikit pepohonan kering kerontang. Juga sisa semak-semak terbakar.

Tidak sampai lima kilometer dari kampung kami, paman dan saya tiba di sebuah kolong setelah melalui jalan tembus berupa jejak roda mobil yang tak lagi sudi ditinggali rerumputan. “Apa kubilang, Ji?!” ujar paman.

Benar. Kolong itu menampung air yang jelas sekali memantulkan langit biru lapang, matahari garang, pepohonan, bangau-bangau putih, bayang-bayang sebatang pohon yang tenggelam, dan tanaman dalam air yang hijau. Sungguh luas sekali, meski saya tidak berani memperkirakan berapa luasnya. Serombongan wanita – ibu-ibu dan perempuan muda – tampak menuruni salah satu tebing landai sembari membawa ember. Di sana terdapat susunan papan yang biasa dipakai untuk mencuci dan mandi.
***

Langit kampung Sri Pemandang Pucuk bertabur bintang.
Di ruang keluarga, paman mengajak saya berhitung. Mulai dari beli mobil pick up, tangki air, pipa, pompa, dan lain-lain. “Kita bisnis air, Ji!” kata paman antusias. Saya melongo. Otak bisnisnya tidak mau berhenti di saat saya dan orang-orang kampung kami tengah kehilangan akal akibat diganyang kemarau berkepanjangan.

Tapi menurut ayah, kami tidak usah beli mobil pick up. Sewa saja mobil Udin, abang angkat saya. Mobil itu jarang dipakai karena, kata anak-anaknya, jelek dan tidak ber-AC. Udin juga jarang sekali mau pakai semenjak sering masuk bengkel gara-gara tidak diurus oleh kakak iparnya yang hanya bisa pakai tapi tidak mau merawatnya. Udin sudah beli mobil baru. Anak-anaknya pun sudah dibelikan sepeda motor baru. Jadi, tinggal menanyakan harga sewa per hari berapa.

Segera saya hubungi abang angkat. Dia tinggal di Koba, yang berjarak hampir 100 kilometer dari kampung kami. Setahuku mobil pick up-nya selalu berada di rumah kakak iparnya, yang letaknya tidak sampai dua kilometer dari rumah kami. Memang, di samping memiliki rumah sekaligus dekat tempat kerjanya, abang angkat masih memiliki rumah di beberapa tempat, baik di Sungailiat maupun Pangkalpinang. Hasil dari penambangan timah rakyat, kata abang angkat.
***

Matahari masih jinak menyiram sinarnya ke penjuru kampung Sri Pemandang Pucuk.
Kopi di meja makan tinggal ampasnya tatkala saya dan paman berangkat ke kota madya yang berjarak sekitar 35 kilometer dari kampung kami. Paman mengajak saya belanja ini-itu ke Pangkalpinang seperti yang telah kami rencanakan. Di samping barang-barang lebih lengkap, harga barang-barang di sana juga lebih murah dibanding harga di kota kabupaten kami. Kalau membeli banyak, perbedaan harganya lebih terasa.

Nyaris di sepanjang jalan menuju kota madya tersapu kabut asap. Beberapa semak di sekitar pinggir jalan dibakar. Selain itu, entah hutan mana, juga mengalirkan asap hingga ke jalan yang kami lewati. Mobil menembus kabut putih pekat dengan kecepatan rendah. Lampu mobil terus menyala. Menurut pengalaman paman selama di Kalimantan, kebakaran hutan adalah kesengajaan. Bukan akibat kemarau. Bukan ulah kejahilan alam. Berarti di sini pun karena kesengajaan, Man? “Bisa jadi begitu,” jawab paman sambil tetap berkonsentrasi memegang setir dan mengawasi jalan berkabut pekat.
***

Nyamuk malaria juga mengamuk di kampung Sri Pemandang Pucuk.
Saya terbaring lemas di ranjang meski matahari telah melongok di jendela kamar saya. Saya tidak tahu, apakah saya masih mengantuk gara-gara begadang semalam suntuk dengan kawan-kawan di persimpangan jalan kampung kami, ataukah memang sedang dilanda malas. Tapi saya merasa kepala saya membengkak dan pening. Suhu kamar terasa dingin sekali. Selimut tebal emak saya saja masih kurang hangat. Maka seprai pun saya pakai untuk membungkus tubuh saya. Kata emak, suhu tubuh saya agak panas.

“Jangan-jangan karena penunggu kolong itu marah,” kata ayah. Memang ayah saya, seperti kebanyakan orang-orang tua di kampung kami, masih percaya pada hal-hal gaib. “Jangan-jangan Oji kena malaria?” timpal emak. Entahlah. Mungkin nanti siang saya akan memeriksakan diri ke rumah sakit Medika Stania, tempat istri kakak angkat saya lainnya bekerja. Istri kakak angkat saya, seorang kepala perawat, bisa mendiagnosis suatu penyakit yang bersifat umum semacam demam biasa atau malaria.

“Belum satu minggu kita kerja, kau telah malas-malasan,” komentar paman. Ia telah bersiap-siap hendak berangkat ke kolong. Semenjak bisnis air lancar, paman kelihatan bersemangat sekali. “Bangkit, Anak muda! Siapkan dirimu mengambil berkah-berkah surgawi itu! Danau duit telah menunggu kita sejak semalam. Jangan mau ditipu malas. Ingat, sekarang pun waktunya para bidadari mandi. Bagaimana, Saroji?”

Saya bergeming dengan pikiran kosong. Telinga saya seakan hanya pelengkap kepala. Rasa dingin dan pening lebih menguasai saya daripada bayang-bayang telaga uang dan tubuh-tubuh telanjang para bidadari yang paman iming-imingkan itu.

Maka pagi itu paman berangkat sendirian. Apa boleh buat. Mungkin bekerja bisa membuat paman kembali muda. Atau mungkin malah telah terpesona oleh para wanita yang sedang mandi dan mencuci di kolong sana. Jangan-jangan sedang puber kedua?
***

Rumah sakit Medika Stania, satu setengah kilometer dari kampung Sri Pemandang Pucuk.
Sayup-sayup terdengar orang sedang ngobrol di luar. Suara mereka, meski lirih, tetap mampu menyelinap di sela-sela jendela dekat saya terbaring di ranjang besi sebuah ruang rawat-inap. Sebotol infus tergantung di samping ranjang dengan ujung selang berjarum menembus aliran darah saya. Badan saya lemas tapi perasaan dan pikiran saya tidak mau berhenti berkelana. Barangkali suasana di sini tidak seperti di kamar saya yang lebih sering terdengar ocehan burung liar atau kotek ayam.

Waktu nyaris tengah hari, istri kakak angkat saya masuk dengan seragam perawatnya yang putih bersih. Senyumnya menyeruak di kedua kelopak mata saya. Sapaan lembutnya membuat saya bersyukur memiliki kakak ipar angkat seperti dia. Ya, sejak tadi pagi saya masuk rumah sakit, dia jadi tambah sibuk mengurusi saya. Mungkin kali ini kesempatan baginya untuk merawat saya karena dulu suaminya, kakak angkat saya, ketika bujang tinggal di rumah kami selama delapan tahun. Ayah telah menganggap anak sendiri. Sekolah dan uang saku ditanggung oleh orang tua saya. Pada waktu pernikahan mereka pun orang tua saya menjadi walinya sebab orang tua kandung kakak angkat saya tinggal di Malang, tidak bisa datang. Apalagi kedua anak mereka kini kuliah di Surabaya.

Lalu dia memeriksa kondisi badan saya, cairan dan aliran infus, dan obat-obat yang berada di meja. Setelah segalanya rampung, perlahan-lahan dia bilang, “Paman juga masuk rumah sakit ini, Ji.” Saya agak terkejut. Kenapa? Malah saya hampir nyerocos, pasti paman ketularan malas, jika dia tidak melanjutkan, “Tadi pagi paman diserang buaya di kolong.” Alangkah terkejutnya saya. Terus, bagaimana kondisi paman, Mbak?
“Tuhan telah memanggilnya pulang,” sebutnya pelan.
***

Senja keemasan melambai-lambai di ufuk barat kampung Sri Pemandang Pucuk.
Oktober ini seolah sedang mencatatkan cerita berikutnya setelah duka tengah melanda rumah kami. Empat orang polisi datang, disambut ayah dan kakak saya. Emak dan saudara-saudara tengah sibuk melayani para pelayat. Salah seorang dari mereka menanyakan nama paman saya dan apakah ia berada di rumah kami.
“Benar,” jawab ayah. “Tapi…”

Semula ayah mengira keempat polisi tersebut hendak mengusut kejadian naas yang dialami oleh paman. Bahkan ayah sempat mengharapkan bapak-bapak aparat penegak hukum itu mau mengusut tuntas kematian paman; apakah karena faktor nasib alias kecelakaan, ataukah memang ada orang yang iri lalu membawa paman ke kolong yang banyak buaya. Tidak mustahil kemarau yang ganas bisa merasuki jiwa-jiwa manusia yang tengah frustrasi menghadapi krisis air dan timah, kata ayah.

Lantas polisi itu memberi tahu, paman kami itu sudah lama dicari polisi bahkan sampai ke pusat, terkait kasus illegal logging dan korupsi miliaran rupiah atas dana reboisasi hutan di beberapa daerah di Kalimantan.

Malam harinya berita itu pun sampai ke telinga saya ketika ayah, emak, kakak, dan adik-adik menjenguk saya di rumah sakit. Barangkali kemarau akan berlangsung lama di rumah dan kampung kami.
***

Oktober 2006

Tidak ada komentar:

Label

`Atiqurrahman A Muttaqin A Rodhi Murtadho A. Iwan Kapit A. Purwantara A. Qorib Hidayatullah A. Zakky Zulhazmi A.H.J Khuzaini A.S. Laksana Aang Fatihul Islam Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi WM Abdul Kadir Ibrahim Abdul Lathief Abdul Malik Abdul Wachid B.S. Abdurrahman El Husaini Abidah El Khalieqy Abu Salman Acep Zamzam Noor Achdiat K. Mihardja Adek Alwi Adi Suhara Adnyana Ole Adreas Anggit W. Afrion Afrizal Malna Aguk Irawan MN Agung Dwi Ertato Agus B. Harianto Agus Buchori Agus Himawan Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sulton Agusri Junaidi Agustinus Wahyono Ahda Imran Ahmad Badrus Sholihin Ahmad Fanani Mosah Ahmad Fatoni Ahmad Ikhwan Susilo Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musabbih Ahmad Rofiq Ahmad Sahidah Ahmad Tohari Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sekhu Alex R. Nainggolan Alex Suban Alunk Estohank Ami Herman Amien Kamil Amien Wangsitalaja Aminudin R Wangsitalaja Anastasya Andriarti Andreas Maryoto Anes Prabu Sadjarwo Angela Angga Wijaya Angkie Yudistia Anindita S Thayf Anis Ceha Anjrah Lelono Broto Anton Kurnia Anton Kurniawan Anton Wahyudi Anugrah Gio Pratama Anwar Nuris Aprinus Salam Arie MP Tamba Arif B. Prasetyo Arif Bagus Prasetyo Arif Hidayat Arman A.Z. Arti Bumi Intaran Arys Hilman AS Sumbawi Asarpin Asef Umar Fakhruddin Asep Sambodja Asrama Mahasiswa Aceh SABENA Astrikusuma Asvi Warman Adam Atep Kurnia Awalludin GD Mualif Aziz Abdul Gofar Azizah Hefni Badrut Tamam Gaffas Bagja Hidayat Bagus Takwin Balada Bale Aksara Baltasar Koi Bambang Agung Bambang Kempling Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Bayu Insani Beni Setia Benny Arnas Benny Benke Berita Berita Duka Berita Utama Bernando J. Sujibto Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Blambangan Brunel University London BSW Adjikoesoemo Budaya Budhi Setyawan Budi Darma Budi Saputra Budi Suwarna Bung Tomo Cak Kandar Catatan Cerpen Chairil Anwar Chavchay Syaifullah Cucuk Espe Cunong N. Suraja D. Zawawi Imron Dadang Ari Murtono Daisuke Miyoshi Damanhuri Damhuri Muhammad Damiri Mahmud Danarto Daniel Dhakidae Dante Alighieri Deddy Arsya Dedy Tri Riyadi Denny Mizhar Deny Tri Aryanti Detti Febrina Dharmadi Diah Hadaning Dian Hartati Dian Sukarno Diana A.V. Sasa Dicky Fadiar Djuhud Didi Arsandi Dimas Dina Oktaviani Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Djadjat Sudradjat Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Doddy Hidayatullah Donny Anggoro Dony P. Herwanto Dorothea Rosa Herliany Dr. Muhammad Zafar Iqbal Dr. Simuh Dwi Arjanto Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwicipta Dwijo Maksum Edy A. Effendi Edy Firmansyah Efri Ritonga Egidius Patnistik Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Hendri Saiful Elik Elsya Crownia Emha Ainun Nadjib Endah Sulawesi Endah Wahyuningsih Endang Suryadinata Endhiq Anang P Endri Y Eriyandi Budiman Ernest Hemingway Esai Esha Tegar Putra Eva Dwi Kurniawan Evi Dana Setia Ningrum Evi Idawati Evieta Fadjar F Rahardi Fabiola D. Kurnia Fadelan Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Faisal Kamandobat Faisal Syahreza Faizal Syahreza Fajar Alayubi Fandy Hutari Fany Chotimah Fatah Yasin Noor Fathor Lt Fathurrahman Karyadi Fatih Kudus Jaelani Fatma Dwi Rachmawati Fauzi Absal Festival Sastra Gresik Fikri. MS Fina Sato Fitri Susila Galih Pandu Adi Gde Agung Lontar Geger Riyanto Gerakan Literasi Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Ginanjar Rahadian Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gunoto Saparie Gus Martin Gus tf Sakai Gusti Eka Hadi Napster Haji Misbach Halim HD Halimi Zuhdy Hamberan Syahbana Hamdy Salad Han Gagas Handoko F. Zainsam Hari Santoso Haris del Hakim Hartono Harimurti Hary B. Kori’un Hasan Gauk Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Helwatin Najwa Hepi Andi Bastoni Heri C Santoso Heri KLM Heri Latief Heri Listianto Hermien Y. Kleden Hernadi Tanzil Heru Emka Heru Kurniawan Heru Prasetya Hesti Sartika Hudan Hidayat Humaidiy AS I Made Asdhiana I Made Prabaswara I Nyoman Suaka IBM. Dharma Palguna Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Ida Ahdiah Idayati Ignas Kleden Ihsan Taufik Ilenk Rembulan Ilham Khoiri Ilham Yusardi Imam Cahyono Imam Jahrudin Priyanto Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indah Darmastuti Indiar Manggara Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indrian Koto Irma Safitri Irman Syah Iskandar Noe Istiqomatul Hayati Ita Siregar Iwan Kurniawan Iwan Nurdaya-Djafar Iyut FItra Jadid Al Farisy Jafar M. Sidik Jakob Sumardjo Jamal D Rahman Janual Aidi Javed Paul Syatha Jayaning S.A Jefri al Malay Jihan Fauziah JJ. Kusni Jo Pakagula Johan Edy Raharjo Joko Pinurbo Jokowi Undercover Joni Ariadinata Joss Wibisono Jual Buku Paket Hemat Judyane Koz Juli Sastrawan Junaidi Abdul Munif Jusuf AN Juwairiyah Mawardy Kadir Ruslan Kasnadi Katrin Bandel Kedung Darma Romansha Khairul Mufid Jr Khamami Zada Khrisna Pabichara Kikin Kuswandi Koh Young Hun Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Komunitas Sastra Ilalang Indonesia (KSII) Korrie Layun Rampan Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan) Kristianto Batuadji Kritik Sastra Kunni Masrohanti Kunthi Hastorini Kuntowijoyo Kurie Suditomo Kurnia EF Kurniawan Kuswaidi Syafi'ie Kuswinarto Lan Fang Landung Rusyanto Simatupang Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Liestyo Ambarwati Khohar Linda Sarmili Liston P. Siregar Liza Wahyuninto LN Idayanie Lucia Idayani Lukman Asya Lusiana Indriasari Lynglieastrid Isabellita M Hari Atmoko M. Aan Mansyur M. Arman A.Z M. Bagus Pribadi M. Fadjroel Rachman M. Harya Ramdhoni Julizarsyah M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S M. Luthfi Aziz M. Nahdiansyah Abdi M. Raudah Jambak M. Shoim Anwar M. Yoesoef M.D. Atmaja Maghfur Saan Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Majalah Sastra Horison Maklumat Sastra Profetik Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Serenade Sinurat Mario F. Lawi Marluwi Marsel Robot Martin Aleida Martin Suryajaya Mashuri Matdon Mega Vristian Melani Budianta Melayu Riau Memoar MG. Sungatno Mh Zaelani Tammaka Miftah Fadhli Miftahul Abrori Misbahus Surur Miziansyah J Mochtar Lubis Mohamad Ali Hisyam Mohammad Eri Irawan MT Arifin Mugy Riskiana Halalia Muhajir Arrosyid Muhamad Rifai Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Al-Mubassyir Muhammad Qodari Muhammad Rain Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun A.S Muhidin M. Dahlan Muhlis Al-Firmany Mujtahid Mulyadi SA Munawir Aziz Murniati Tanjung Murnierida Pram Musa Ismail Musfi Efrizal Mustaan Mustafa Ismail N. Mursidi Nafsul Latifah Naskah Teater Nasrullah Nara Nelson Alwi Nenden Lilis A Nh. Anfalah Ni Made Purnama Sari Nina Mussolini-Hansson Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Noura Nova Christina Noval Jubbek Novela Nian Nugroho Notosusanto Nugroho Pandhu Sukmono Nur Faizah Nurdin F. Joes Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nurul Komariyah Nuryana Asmaudi SA Nyoman Tusthi Eddy Nyoman Wirata Oka Rusmini Oktamandjaya Wiguna Oky Sanjaya Olanama Olivia Kristina Sinaga Otto Sukatno CR Pagelaran Musim Tandur Pamusuk Eneste Patricia Pawestri PDS H.B. Jassin PDS. H.B. Jassin Penghargaan Hadiah Sastra Pusat Bahasa Persda Network Pipiet Senja Pramoedya Ananta Toer Pramono Pranita Dewi Pringadi AS Prita Daneswari Prof. Tamim Pardede sebut Bambang Tri Prosa Pudyo Saptono Puisi Puisi Kesunyian Puisi Sufi Puji Santosa PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Wijaya Qaris Tajudin R. Sugiarti Rachmad Djoko Pradopo Radhar Panca Dahana Ragdi F. Daye Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Ramadhan Batubara Ramadhan KH Ratih Kumala Ratna Indraswari Ibrahim Ratna Sarumpaet Raudal Tanjung Banua Remy Sylado Reni Susanti Renny Meita Widjajanti Resensi Restu Kurniawan Retno Sulistyowati RF. Dhonna Rian Sindu Ribut Wijoto Ridwan Munawwar Riki Utomi Riris K. Toha-Sarumpaet Risang Anom Pujayanto Riza Multazam Luthfy Robin Al Kautsar Rodli TL Rofiqi Hasan Rohman Abdullah Rosidi Rosihan Anwar Rukardi S Yoga S. Jai S. Sinansari Ecip S.I. Poeradisastra S.W. Teofani Sabam Siagian Sabrank Suparno Saiful Anam Assyaibani Sainul Hermawan Sajak Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sanggar Rumah Ilalang Sanggar Teater Jerit Sapardi Djoko Damono Sartika Dian Sartika Dian Nuraini Sastra Tanah Air Sastra Using Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sayyid Fahmi Alathas Sazano Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo Seli Desmiarti Selo Soemardjan Senggrutu Singomenggolo Seno Joko Suyono SH Mintardja Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sipri Senda Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Sobih Adnan Sofian Dwi Sofie Dewayani Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sri Ruwanti Sri Wintala Achmad St Sularto Stefanus P. Elu Sukron Abdilah Sulaiman Djaya Suminto A. Sayuti Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sungging Raga Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Suryansyah Suryanto Sastroatmodjo Susanto Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suyadi Suyadi San Syaifuddin Gani Syaiful Amin Syamsiar Hidayah Syarbaini Syifa Amori Syifa Aulia Tajuddin Noor Ganie Taufik Abdullah Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat TE. Priyono Teguh Afandi Teguh Ranusastra Asmara Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Theresia Purbandini Tita Tjindarbumi Titik Alva-Alvi Choiriyah Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tjoet Nyak Dhien Tosa Poetra Tri Lestari Sustiyana Triyanto Triwikromo TS Pinang Tu-ngang Iskandar Tulus S Tulus Wijanarko Udo Z. Karzi Ugoran Prasad Umar Fauzi Ballah Umar Kayam Umbu Landu Paranggi Universitas Indonesia Universitas Jember Utada Kamaru UU Hamidy Vera Ernawati Veronika Ninik W.S. Rendra Wahjudi Djaja Wahyu Hidayat Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Budiartha Widya Karima Wijaya Herlambang Wiji Thukul Willem B Berybe Wilson Nadeak Winarni R. Wiratmo Soekito Wita Lestari Wiwik Widayaningtias Y. Thendra BP Y. Wibowo Yasser Arafat Yeni Ratnaningsih Yohanes Sehandi Yonatan Raharjo Yonathan Rahardjo Yopi Setia Umbara Yos Rizal S Yos Rizal Suriaji Yudhi Herwibowo Yuka Fainka Putra Yurnaldi Yushifull Ilmy Yusri Fajar Yusuf Suharto Zainal Abidin Zainal Arifin Thoha Zawawi Se Zen Hae