Agustinus Wahyono
http://www.sinarharapan.co.id/
Kampung Sri Pemandang Pucuk, suatu malam di minggu pertama Oktober.
Saya menerima telepon dari paman, adik ayah saya. Paman bilang, ia akan datang ke Bangka. Dalam rangka apa? Melebarkan sayap-sayap bisnis? Jawab paman, “Entahlah. Aku lagi sumpek tinggal di Jakarta. Capek juga bolak-balik Jakarta-Pontianak. Lusa aku datang. Sendiri. Bibi dan anak-anak sedang berlibur ke Bangkok.”
Begitulah. Dan sampai pada hari kedatangannya, kami sudah siap. Ada satu kamar tidur untuk paman. Kamar itu dulu memang pernah ia tempati ketika masih menjadi pelajar STM1) jurusan Bangunan di kota kami dua puluh tahun silam. Setamat dari STM paman mengadu nasib di Jakarta, dan hingga kini. Sedangkan kamar itu telah beberapa kali berganti penghuni, termasuk saya. Ayah selalu berpesan, kalau sewaktu-waktu paman datang, kamar itu harus dikosongkan untuk tempat beristirahat paman dan keluarganya. Memang kenyataannya, empat atau enam bulan sekali paman datang, kecuali delapan tahun terakhir. Alhasil, untuk sementara ini saya harus rela tidur di karpet ruang keluarga, dan pakaian-pakaian saya mengungsi ke gudang.
“Lama aku tidak kemari, Bangka banyak perubahan!” komentarnya ketika ia tiba di rumah kami dengan naik taksi berpelat hitam.
“Pasalnya paman terlalu asyik menikmati bisnis di Ibu Kota.”
Paman cuma tersenyum. Saya paham benar, adik ayah satu ini memang paling ngotot berbisnis sampai-sampai uban-ubannya pun harus disemir hitam berulang kali. Menurut cerita ayah, awal merantau di Jakarta paman hanya seorang karyawan biasa di sebuah toko bahan bangunan. Tapi lantaran sifat kerja keras dan ingin tahunya tinggi, belum dua tahun dia sudah terlibat dalam bisnis kayu, terutama dari Kalimantan, dan termasuk agen kayu terbesar untuk wilayah Jawa. Kalau sesekali beristirahat di Bangka, paman memilih tinggal di hotel dekat pantai. Keluarganya jarang dibawa karena alasan sekolah anak-anak tidak libur, dan kesibukan bibi berbisnis konveksi dan katering. Entah kenapa, kali ini paman mau beristirahat di rumah kami.
***
Oktober ini bukan lagi bulan hujan pertama di kampung Sri Pemandang Pucuk.
Memang, sampai pertengahan bulan ini hujan masih jauh seperti jarak Laut Cina Selatan dan Bukit Maras. Mendung masih saja bersembunyi. Banyak perigi di kampung kami mengalami krisis air. Air dari PDAM hanya mengucur pagi hari. Itu pun dengan kuantitas belasan liter. Sedangkan kualitas air, bernoda. Tak pelak paman mencak-mencak. Aneh daerah kalian ini, kata paman. Orang-orang PDAM tidak mengerti soal melayani masyarakat! Dulu, tahun 1980-an, juga pernah musim kemarau panjang. Aku dan ayahmu mencari air di kolong-kolong2). Bagus kualitasnya! Apa sekarang semuaaaaaa kolong sudah tercemar oleh TI3) ? Aku tidak percaya!
Lalu paman menyuruh saya mengeluarkan sepeda motor. “Kita mencari kolong yang berair jernih!” Kebetulan waktu itu saya tidak bekerja pascapenangkapan bos smelter4). Smelter kami tutup selama waktu yang belum bisa dipastikan selama masa penahanan bos saya belum jelas kapan berakhirnya. Mana motor saya masih kredit, masih harus bayar dua tahun lagi.
***
Di luar kampung Sri Pemandang Pucuk, kemarau pun belum ada jeda.
Paman masih ingat jalan-jalan dan letak kolong-kolong. Ia yang mengemudikan motor saya. Nostalgia naik motor, katanya. Ia sempat menggeleng-geleng ketika menyaksikan bertebarannya tambang-tambang timah rakyat di pinggir sepanjang jalan. Aliran sungai kecil tampak seperti aliran kopi susu. Tidak sedikit pepohonan kering kerontang. Juga sisa semak-semak terbakar.
Tidak sampai lima kilometer dari kampung kami, paman dan saya tiba di sebuah kolong setelah melalui jalan tembus berupa jejak roda mobil yang tak lagi sudi ditinggali rerumputan. “Apa kubilang, Ji?!” ujar paman.
Benar. Kolong itu menampung air yang jelas sekali memantulkan langit biru lapang, matahari garang, pepohonan, bangau-bangau putih, bayang-bayang sebatang pohon yang tenggelam, dan tanaman dalam air yang hijau. Sungguh luas sekali, meski saya tidak berani memperkirakan berapa luasnya. Serombongan wanita – ibu-ibu dan perempuan muda – tampak menuruni salah satu tebing landai sembari membawa ember. Di sana terdapat susunan papan yang biasa dipakai untuk mencuci dan mandi.
***
Langit kampung Sri Pemandang Pucuk bertabur bintang.
Di ruang keluarga, paman mengajak saya berhitung. Mulai dari beli mobil pick up, tangki air, pipa, pompa, dan lain-lain. “Kita bisnis air, Ji!” kata paman antusias. Saya melongo. Otak bisnisnya tidak mau berhenti di saat saya dan orang-orang kampung kami tengah kehilangan akal akibat diganyang kemarau berkepanjangan.
Tapi menurut ayah, kami tidak usah beli mobil pick up. Sewa saja mobil Udin, abang angkat saya. Mobil itu jarang dipakai karena, kata anak-anaknya, jelek dan tidak ber-AC. Udin juga jarang sekali mau pakai semenjak sering masuk bengkel gara-gara tidak diurus oleh kakak iparnya yang hanya bisa pakai tapi tidak mau merawatnya. Udin sudah beli mobil baru. Anak-anaknya pun sudah dibelikan sepeda motor baru. Jadi, tinggal menanyakan harga sewa per hari berapa.
Segera saya hubungi abang angkat. Dia tinggal di Koba, yang berjarak hampir 100 kilometer dari kampung kami. Setahuku mobil pick up-nya selalu berada di rumah kakak iparnya, yang letaknya tidak sampai dua kilometer dari rumah kami. Memang, di samping memiliki rumah sekaligus dekat tempat kerjanya, abang angkat masih memiliki rumah di beberapa tempat, baik di Sungailiat maupun Pangkalpinang. Hasil dari penambangan timah rakyat, kata abang angkat.
***
Matahari masih jinak menyiram sinarnya ke penjuru kampung Sri Pemandang Pucuk.
Kopi di meja makan tinggal ampasnya tatkala saya dan paman berangkat ke kota madya yang berjarak sekitar 35 kilometer dari kampung kami. Paman mengajak saya belanja ini-itu ke Pangkalpinang seperti yang telah kami rencanakan. Di samping barang-barang lebih lengkap, harga barang-barang di sana juga lebih murah dibanding harga di kota kabupaten kami. Kalau membeli banyak, perbedaan harganya lebih terasa.
Nyaris di sepanjang jalan menuju kota madya tersapu kabut asap. Beberapa semak di sekitar pinggir jalan dibakar. Selain itu, entah hutan mana, juga mengalirkan asap hingga ke jalan yang kami lewati. Mobil menembus kabut putih pekat dengan kecepatan rendah. Lampu mobil terus menyala. Menurut pengalaman paman selama di Kalimantan, kebakaran hutan adalah kesengajaan. Bukan akibat kemarau. Bukan ulah kejahilan alam. Berarti di sini pun karena kesengajaan, Man? “Bisa jadi begitu,” jawab paman sambil tetap berkonsentrasi memegang setir dan mengawasi jalan berkabut pekat.
***
Nyamuk malaria juga mengamuk di kampung Sri Pemandang Pucuk.
Saya terbaring lemas di ranjang meski matahari telah melongok di jendela kamar saya. Saya tidak tahu, apakah saya masih mengantuk gara-gara begadang semalam suntuk dengan kawan-kawan di persimpangan jalan kampung kami, ataukah memang sedang dilanda malas. Tapi saya merasa kepala saya membengkak dan pening. Suhu kamar terasa dingin sekali. Selimut tebal emak saya saja masih kurang hangat. Maka seprai pun saya pakai untuk membungkus tubuh saya. Kata emak, suhu tubuh saya agak panas.
“Jangan-jangan karena penunggu kolong itu marah,” kata ayah. Memang ayah saya, seperti kebanyakan orang-orang tua di kampung kami, masih percaya pada hal-hal gaib. “Jangan-jangan Oji kena malaria?” timpal emak. Entahlah. Mungkin nanti siang saya akan memeriksakan diri ke rumah sakit Medika Stania, tempat istri kakak angkat saya lainnya bekerja. Istri kakak angkat saya, seorang kepala perawat, bisa mendiagnosis suatu penyakit yang bersifat umum semacam demam biasa atau malaria.
“Belum satu minggu kita kerja, kau telah malas-malasan,” komentar paman. Ia telah bersiap-siap hendak berangkat ke kolong. Semenjak bisnis air lancar, paman kelihatan bersemangat sekali. “Bangkit, Anak muda! Siapkan dirimu mengambil berkah-berkah surgawi itu! Danau duit telah menunggu kita sejak semalam. Jangan mau ditipu malas. Ingat, sekarang pun waktunya para bidadari mandi. Bagaimana, Saroji?”
Saya bergeming dengan pikiran kosong. Telinga saya seakan hanya pelengkap kepala. Rasa dingin dan pening lebih menguasai saya daripada bayang-bayang telaga uang dan tubuh-tubuh telanjang para bidadari yang paman iming-imingkan itu.
Maka pagi itu paman berangkat sendirian. Apa boleh buat. Mungkin bekerja bisa membuat paman kembali muda. Atau mungkin malah telah terpesona oleh para wanita yang sedang mandi dan mencuci di kolong sana. Jangan-jangan sedang puber kedua?
***
Rumah sakit Medika Stania, satu setengah kilometer dari kampung Sri Pemandang Pucuk.
Sayup-sayup terdengar orang sedang ngobrol di luar. Suara mereka, meski lirih, tetap mampu menyelinap di sela-sela jendela dekat saya terbaring di ranjang besi sebuah ruang rawat-inap. Sebotol infus tergantung di samping ranjang dengan ujung selang berjarum menembus aliran darah saya. Badan saya lemas tapi perasaan dan pikiran saya tidak mau berhenti berkelana. Barangkali suasana di sini tidak seperti di kamar saya yang lebih sering terdengar ocehan burung liar atau kotek ayam.
Waktu nyaris tengah hari, istri kakak angkat saya masuk dengan seragam perawatnya yang putih bersih. Senyumnya menyeruak di kedua kelopak mata saya. Sapaan lembutnya membuat saya bersyukur memiliki kakak ipar angkat seperti dia. Ya, sejak tadi pagi saya masuk rumah sakit, dia jadi tambah sibuk mengurusi saya. Mungkin kali ini kesempatan baginya untuk merawat saya karena dulu suaminya, kakak angkat saya, ketika bujang tinggal di rumah kami selama delapan tahun. Ayah telah menganggap anak sendiri. Sekolah dan uang saku ditanggung oleh orang tua saya. Pada waktu pernikahan mereka pun orang tua saya menjadi walinya sebab orang tua kandung kakak angkat saya tinggal di Malang, tidak bisa datang. Apalagi kedua anak mereka kini kuliah di Surabaya.
Lalu dia memeriksa kondisi badan saya, cairan dan aliran infus, dan obat-obat yang berada di meja. Setelah segalanya rampung, perlahan-lahan dia bilang, “Paman juga masuk rumah sakit ini, Ji.” Saya agak terkejut. Kenapa? Malah saya hampir nyerocos, pasti paman ketularan malas, jika dia tidak melanjutkan, “Tadi pagi paman diserang buaya di kolong.” Alangkah terkejutnya saya. Terus, bagaimana kondisi paman, Mbak?
“Tuhan telah memanggilnya pulang,” sebutnya pelan.
***
Senja keemasan melambai-lambai di ufuk barat kampung Sri Pemandang Pucuk.
Oktober ini seolah sedang mencatatkan cerita berikutnya setelah duka tengah melanda rumah kami. Empat orang polisi datang, disambut ayah dan kakak saya. Emak dan saudara-saudara tengah sibuk melayani para pelayat. Salah seorang dari mereka menanyakan nama paman saya dan apakah ia berada di rumah kami.
“Benar,” jawab ayah. “Tapi…”
Semula ayah mengira keempat polisi tersebut hendak mengusut kejadian naas yang dialami oleh paman. Bahkan ayah sempat mengharapkan bapak-bapak aparat penegak hukum itu mau mengusut tuntas kematian paman; apakah karena faktor nasib alias kecelakaan, ataukah memang ada orang yang iri lalu membawa paman ke kolong yang banyak buaya. Tidak mustahil kemarau yang ganas bisa merasuki jiwa-jiwa manusia yang tengah frustrasi menghadapi krisis air dan timah, kata ayah.
Lantas polisi itu memberi tahu, paman kami itu sudah lama dicari polisi bahkan sampai ke pusat, terkait kasus illegal logging dan korupsi miliaran rupiah atas dana reboisasi hutan di beberapa daerah di Kalimantan.
Malam harinya berita itu pun sampai ke telinga saya ketika ayah, emak, kakak, dan adik-adik menjenguk saya di rumah sakit. Barangkali kemarau akan berlangsung lama di rumah dan kampung kami.
***
Oktober 2006
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Label
`Atiqurrahman
A Muttaqin
A Rodhi Murtadho
A. Iwan Kapit
A. Purwantara
A. Qorib Hidayatullah
A. Zakky Zulhazmi
A.H.J Khuzaini
A.S. Laksana
Aang Fatihul Islam
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi WM
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Lathief
Abdul Malik
Abdul Wachid B.S.
Abdurrahman El Husaini
Abidah El Khalieqy
Abu Salman
Acep Zamzam Noor
Achdiat K. Mihardja
Adek Alwi
Adi Suhara
Adnyana Ole
Adreas Anggit W.
Afrion
Afrizal Malna
Aguk Irawan MN
Agung Dwi Ertato
Agus B. Harianto
Agus Buchori
Agus Himawan
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus Sulton
Agusri Junaidi
Agustinus Wahyono
Ahda Imran
Ahmad Badrus Sholihin
Ahmad Fanani Mosah
Ahmad Fatoni
Ahmad Ikhwan Susilo
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Musabbih
Ahmad Rofiq
Ahmad Sahidah
Ahmad Tohari
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Muhaimin Azzet
Akhmad Sekhu
Alex R. Nainggolan
Alex Suban
Alunk Estohank
Ami Herman
Amien Kamil
Amien Wangsitalaja
Aminudin R Wangsitalaja
Anastasya Andriarti
Andreas Maryoto
Anes Prabu Sadjarwo
Angela
Angga Wijaya
Angkie Yudistia
Anindita S Thayf
Anis Ceha
Anjrah Lelono Broto
Anton Kurnia
Anton Kurniawan
Anton Wahyudi
Anugrah Gio Pratama
Anwar Nuris
Aprinus Salam
Arie MP Tamba
Arif B. Prasetyo
Arif Bagus Prasetyo
Arif Hidayat
Arman A.Z.
Arti Bumi Intaran
Arys Hilman
AS Sumbawi
Asarpin
Asef Umar Fakhruddin
Asep Sambodja
Asrama Mahasiswa Aceh SABENA
Astrikusuma
Asvi Warman Adam
Atep Kurnia
Awalludin GD Mualif
Aziz Abdul Gofar
Azizah Hefni
Badrut Tamam Gaffas
Bagja Hidayat
Bagus Takwin
Balada
Bale Aksara
Baltasar Koi
Bambang Agung
Bambang Kempling
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Bayu Insani
Beni Setia
Benny Arnas
Benny Benke
Berita
Berita Duka
Berita Utama
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Blambangan
Brunel University London
BSW Adjikoesoemo
Budaya
Budhi Setyawan
Budi Darma
Budi Saputra
Budi Suwarna
Bung Tomo
Cak Kandar
Catatan
Cerpen
Chairil Anwar
Chavchay Syaifullah
Cucuk Espe
Cunong N. Suraja
D. Zawawi Imron
Dadang Ari Murtono
Daisuke Miyoshi
Damanhuri
Damhuri Muhammad
Damiri Mahmud
Danarto
Daniel Dhakidae
Dante Alighieri
Deddy Arsya
Dedy Tri Riyadi
Denny Mizhar
Deny Tri Aryanti
Detti Febrina
Dharmadi
Diah Hadaning
Dian Hartati
Dian Sukarno
Diana A.V. Sasa
Dicky Fadiar Djuhud
Didi Arsandi
Dimas
Dina Oktaviani
Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan
Djadjat Sudradjat
Djoko Saryono
Doddi Ahmad Fauji
Doddy Hidayatullah
Donny Anggoro
Dony P. Herwanto
Dorothea Rosa Herliany
Dr. Muhammad Zafar Iqbal
Dr. Simuh
Dwi Arjanto
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwicipta
Dwijo Maksum
Edy A. Effendi
Edy Firmansyah
Efri Ritonga
Egidius Patnistik
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Eko Hendri Saiful
Elik
Elsya Crownia
Emha Ainun Nadjib
Endah Sulawesi
Endah Wahyuningsih
Endang Suryadinata
Endhiq Anang P
Endri Y
Eriyandi Budiman
Ernest Hemingway
Esai
Esha Tegar Putra
Eva Dwi Kurniawan
Evi Dana Setia Ningrum
Evi Idawati
Evieta Fadjar
F Rahardi
Fabiola D. Kurnia
Fadelan
Fahrudin Nasrulloh
Faidil Akbar
Faisal Kamandobat
Faisal Syahreza
Faizal Syahreza
Fajar Alayubi
Fandy Hutari
Fany Chotimah
Fatah Yasin Noor
Fathor Lt
Fathurrahman Karyadi
Fatih Kudus Jaelani
Fatma Dwi Rachmawati
Fauzi Absal
Festival Sastra Gresik
Fikri. MS
Fina Sato
Fitri Susila
Galih Pandu Adi
Gde Agung Lontar
Geger Riyanto
Gerakan Literasi
Gerakan Surah Buku (GSB)
Gerson Poyk
Ginanjar Rahadian
Gita Pratama
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gunawan Budi Susanto
Gunoto Saparie
Gus Martin
Gus tf Sakai
Gusti Eka
Hadi Napster
Haji Misbach
Halim HD
Halimi Zuhdy
Hamberan Syahbana
Hamdy Salad
Han Gagas
Handoko F. Zainsam
Hari Santoso
Haris del Hakim
Hartono Harimurti
Hary B. Kori’un
Hasan Gauk
Hasan Junus
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Hasta Indriyana
Helwatin Najwa
Hepi Andi Bastoni
Heri C Santoso
Heri KLM
Heri Latief
Heri Listianto
Hermien Y. Kleden
Hernadi Tanzil
Heru Emka
Heru Kurniawan
Heru Prasetya
Hesti Sartika
Hudan Hidayat
Humaidiy AS
I Made Asdhiana
I Made Prabaswara
I Nyoman Suaka
IBM. Dharma Palguna
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
Ida Ahdiah
Idayati
Ignas Kleden
Ihsan Taufik
Ilenk Rembulan
Ilham Khoiri
Ilham Yusardi
Imam Cahyono
Imam Jahrudin Priyanto
Imam Muhtarom
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Rosyid
Imron Tohari
Indah Darmastuti
Indiar Manggara
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Indrian Koto
Irma Safitri
Irman Syah
Iskandar Noe
Istiqomatul Hayati
Ita Siregar
Iwan Kurniawan
Iwan Nurdaya-Djafar
Iyut FItra
Jadid Al Farisy
Jafar M. Sidik
Jakob Sumardjo
Jamal D Rahman
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jayaning S.A
Jefri al Malay
Jihan Fauziah
JJ. Kusni
Jo Pakagula
Johan Edy Raharjo
Joko Pinurbo
Jokowi Undercover
Joni Ariadinata
Joss Wibisono
Jual Buku Paket Hemat
Judyane Koz
Juli Sastrawan
Junaidi Abdul Munif
Jusuf AN
Juwairiyah Mawardy
Kadir Ruslan
Kasnadi
Katrin Bandel
Kedung Darma Romansha
Khairul Mufid Jr
Khamami Zada
Khrisna Pabichara
Kikin Kuswandi
Koh Young Hun
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias
Komunitas Sastra Ilalang Indonesia (KSII)
Korrie Layun Rampan
Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan)
Kristianto Batuadji
Kritik Sastra
Kunni Masrohanti
Kunthi Hastorini
Kuntowijoyo
Kurie Suditomo
Kurnia EF
Kurniawan
Kuswaidi Syafi'ie
Kuswinarto
Lan Fang
Landung Rusyanto Simatupang
Latief S. Nugraha
Leila S. Chudori
Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M)
Liestyo Ambarwati Khohar
Linda Sarmili
Liston P. Siregar
Liza Wahyuninto
LN Idayanie
Lucia Idayani
Lukman Asya
Lusiana Indriasari
Lynglieastrid Isabellita
M Hari Atmoko
M. Aan Mansyur
M. Arman A.Z
M. Bagus Pribadi
M. Fadjroel Rachman
M. Harya Ramdhoni Julizarsyah
M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S
M. Luthfi Aziz
M. Nahdiansyah Abdi
M. Raudah Jambak
M. Shoim Anwar
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Maghfur Saan
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Majalah Sastra Horison
Maklumat Sastra Profetik
Malkan Junaidi
Maman S. Mahayana
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maria Serenade Sinurat
Mario F. Lawi
Marluwi
Marsel Robot
Martin Aleida
Martin Suryajaya
Mashuri
Matdon
Mega Vristian
Melani Budianta
Melayu Riau
Memoar
MG. Sungatno
Mh Zaelani Tammaka
Miftah Fadhli
Miftahul Abrori
Misbahus Surur
Miziansyah J
Mochtar Lubis
Mohamad Ali Hisyam
Mohammad Eri Irawan
MT Arifin
Mugy Riskiana Halalia
Muhajir Arrosyid
Muhamad Rifai
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Al-Mubassyir
Muhammad Qodari
Muhammad Rain
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun A.S
Muhidin M. Dahlan
Muhlis Al-Firmany
Mujtahid
Mulyadi SA
Munawir Aziz
Murniati Tanjung
Murnierida Pram
Musa Ismail
Musfi Efrizal
Mustaan
Mustafa Ismail
N. Mursidi
Nafsul Latifah
Naskah Teater
Nasrullah Nara
Nelson Alwi
Nenden Lilis A
Nh. Anfalah
Ni Made Purnama Sari
Nina Mussolini-Hansson
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Noura
Nova Christina
Noval Jubbek
Novela Nian
Nugroho Notosusanto
Nugroho Pandhu Sukmono
Nur Faizah
Nurdin F. Joes
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nurul Komariyah
Nuryana Asmaudi SA
Nyoman Tusthi Eddy
Nyoman Wirata
Oka Rusmini
Oktamandjaya Wiguna
Oky Sanjaya
Olanama
Olivia Kristina Sinaga
Otto Sukatno CR
Pagelaran Musim Tandur
Pamusuk Eneste
Patricia Pawestri
PDS H.B. Jassin
PDS. H.B. Jassin
Penghargaan Hadiah Sastra Pusat Bahasa
Persda Network
Pipiet Senja
Pramoedya Ananta Toer
Pramono
Pranita Dewi
Pringadi AS
Prita Daneswari
Prof. Tamim Pardede sebut Bambang Tri
Prosa
Pudyo Saptono
Puisi
Puisi Kesunyian
Puisi Sufi
Puji Santosa
PUstaka puJAngga
Putu Fajar Arcana
Putu Wijaya
Qaris Tajudin
R. Sugiarti
Rachmad Djoko Pradopo
Radhar Panca Dahana
Ragdi F. Daye
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Ramadhan Batubara
Ramadhan KH
Ratih Kumala
Ratna Indraswari Ibrahim
Ratna Sarumpaet
Raudal Tanjung Banua
Remy Sylado
Reni Susanti
Renny Meita Widjajanti
Resensi
Restu Kurniawan
Retno Sulistyowati
RF. Dhonna
Rian Sindu
Ribut Wijoto
Ridwan Munawwar
Riki Utomi
Riris K. Toha-Sarumpaet
Risang Anom Pujayanto
Riza Multazam Luthfy
Robin Al Kautsar
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rohman Abdullah
Rosidi
Rosihan Anwar
Rukardi
S Yoga
S. Jai
S. Sinansari Ecip
S.I. Poeradisastra
S.W. Teofani
Sabam Siagian
Sabrank Suparno
Saiful Anam Assyaibani
Sainul Hermawan
Sajak
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Samsudin Adlawi
Sanggar Rumah Ilalang
Sanggar Teater Jerit
Sapardi Djoko Damono
Sartika Dian
Sartika Dian Nuraini
Sastra Tanah Air
Sastra Using
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sayyid Fahmi Alathas
Sazano
Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo
Seli Desmiarti
Selo Soemardjan
Senggrutu Singomenggolo
Seno Joko Suyono
SH Mintardja
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sipri Senda
Sitok Srengenge
Siwi Dwi Saputro
Sjifa Amori
Sobih Adnan
Sofian Dwi
Sofie Dewayani
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sri Ruwanti
Sri Wintala Achmad
St Sularto
Stefanus P. Elu
Sukron Abdilah
Sulaiman Djaya
Suminto A. Sayuti
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sungging Raga
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Suryansyah
Suryanto Sastroatmodjo
Susanto
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Suyadi
Suyadi San
Syaifuddin Gani
Syaiful Amin
Syamsiar Hidayah
Syarbaini
Syifa Amori
Syifa Aulia
Tajuddin Noor Ganie
Taufik Abdullah
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
TE. Priyono
Teguh Afandi
Teguh Ranusastra Asmara
Teguh Winarsho AS
Tengsoe Tjahjono
Theresia Purbandini
Tita Tjindarbumi
Titik Alva-Alvi Choiriyah
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Tjoet Nyak Dhien
Tosa Poetra
Tri Lestari Sustiyana
Triyanto Triwikromo
TS Pinang
Tu-ngang Iskandar
Tulus S
Tulus Wijanarko
Udo Z. Karzi
Ugoran Prasad
Umar Fauzi Ballah
Umar Kayam
Umbu Landu Paranggi
Universitas Indonesia
Universitas Jember
Utada Kamaru
UU Hamidy
Vera Ernawati
Veronika Ninik
W.S. Rendra
Wahjudi Djaja
Wahyu Hidayat
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Budiartha
Widya Karima
Wijaya Herlambang
Wiji Thukul
Willem B Berybe
Wilson Nadeak
Winarni R.
Wiratmo Soekito
Wita Lestari
Wiwik Widayaningtias
Y. Thendra BP
Y. Wibowo
Yasser Arafat
Yeni Ratnaningsih
Yohanes Sehandi
Yonatan Raharjo
Yonathan Rahardjo
Yopi Setia Umbara
Yos Rizal S
Yos Rizal Suriaji
Yudhi Herwibowo
Yuka Fainka Putra
Yurnaldi
Yushifull Ilmy
Yusri Fajar
Yusuf Suharto
Zainal Abidin
Zainal Arifin Thoha
Zawawi Se
Zen Hae
Tidak ada komentar:
Posting Komentar