Wawancara Imajiner Halim HD dengan Suyatna Anirun
http://jogjateater.multiply.com/
Pada bulan oktober 2009 yang akan datang, STB (Studiklub Teater Bandung) merayakan 50 tahun hari jadinya. untuk itu STB ingin menerbitkan buku, dan saya diminta sebagai salah satu pengisi buku itu. saya tuliskan wawancara imajiner saya dengan pak SUYATNA ANIRUN (salah satu pendiri dan sutradara STB). pengiriman melalui milis ini, dengan pertimbangan karena keterbatasan penerbitan buku itu. semoga wawancara ini bisa dinikmati. dan maaf kalau mengganggu. salam: HHD.
Kota tak lagi bisa membuat saya untuk sesaat jenak dan menikmati semilir angin di antara cuaca terik dan gemuruh pengendara otomotif seperti dikejar kebutuhan hidup, yang entah apa sesungguhnya mereka bisa merasa puas dengan apa yang didapatnya nanti. Saya kira, sebaiknya meminggirkan diri di suatu pojokan sambil menanti waktu yang tepat untuk bertemu dengan seseorang. Warung kopi dengan beberapa jenis gorengan mungkin baik untuk senja yang akan menutup hari ini. Dan di seberang sana, nampak beberapa gerobak rokok dan becak saling berhimnpit berebut ruang mengais rejeki. Masing-masing memahami posisi dan arah: berbagi untuk sejengkal perut yang akan diisi dan beberapa kepala menunggu di rumah yang sumpek dan dipenuhi oleh sejenis hiburan dan siaran berita teve yang tak pernah tahu sebenarnya apa kebutuhan warga, kecuali sejumlah impian yang disodorkan dan guncangan serta jompakan hasrat yang tak pernah tuntas.
Kota yang pernah dijuluki dengan sebutan Parijs van Java pada lima enam dekade yang lampau yang dikenal dengan mojang yang suaranya mendayu-dayu dan jenis makanan yang sedap serta gaya hidup yang pernah menjadi cap bagi sebuah republik yang sedang menggeliat, mencari jalan memoderenkan rupa dirinya. Dan kini, kota yang dulu dengan pepohonan rindang, asri dan arsitektur sebagai penanda jaman bagi sebuah bangsa, kini cuma jadi sekedar ingatan yang lebih kerap lenyap ditindih oleh kesibukan dan ketidakpedulian pada lintasan waktu, sejarah. Diantara itu sesekali seperti iseng dan kesadaran kepada waktu, mungkin masih ada seoerang-dua mengais berita yang terhimpit oleh iklan, adakah dalam minggu ini sebuah pertunjukan, yang mungkin bisa melepaskan penat dan beban kehidupan dan rasa bosan kepada sinetron yang kian memuakan serta kegaduhan politik yang membuat hidup jadi tambah tak tentu arah.
Senja dengan warna lembayung, sementara kesibukan belum juga surut. Dan batagor serta pisang goreng yang disajikan dipiring sudah berkurang, kopi kental tinggal setengah dan menyisakan rasa hangat di sudut bibir. Pikiran saya melayang kepada suatu pertemuan yang entah kapan, yang rasanya berulang kali terulang dan kembali terjadi pada suatu rangkaian peristiwa kecil dalam obrolan dengan seseorang yang pernah membawa saya ke dalam suatu angan-angan tentang ruang dan sosok: sebuah panggung dan saya menjadi aktor yang memerankan orator yang sedang membacakan pernyataan tentang cinta dan kehidupan, konflik dan pertemuan akrab, serta penantian dan rasa cemas, ditimpali dengan bisikan yang tak pernah lindap lenyap dari pendengaran sepanjang perjalanan selama ini. Panggung itu selalu mengajak saya ke dalam pejelajahan tentang hubungan manusia dengan situasinya yang kompleks dan rumit; yang selalu saya nantikan kabarnya dalam lintasan perjalanan saya keberbagai kota.
“Sudah lama menunggu”, seseorang menyapa dengan nada tanya kepada saya dari arah belakang. Terasa suara itu saya kenal, akrab, seperti saya mengenalnya dengan baik, sapaan ramah yang sering saya dengar ketika saya mendatangi kantor redaksi PR, menyerahkan beberapa tulisan, dan memohon honor lebih dulu agar bisa tinggal di Bandung barang seminggu-dua. Saya menoleh, dan wajah ramah itu tersenyum sambil menyodorkan tangan. Kami bersalaman. Dia duduk sebentar, lalu mengajak saya ke suatu tempat yang menurutnya lebih enak untuk kongko ketimbang di warung yang sumpek dan panas. Selemparan batu dari warung tempat saya ngopi, di sebuah gedung, Rumentang Siang, yang pernah menjadi saksi sejarah bagi dunia pertunjukan di kota itu, dan kini himpitan becak, mobil, motor, kios rokok dan para penjual eceran hilir mudik di depannya. Tak banyak yang berubah, kecuali sedikit kumuh dan mungkin dalam setahun-dua entah apa yang akan terjadi dengan gedung yang dianggap sebagai bagian dari kehidupan sosok yang sejak sore saya tunggu itu. Memasuki halaman dan ruang samping kiri gedung, nampak terasa sekali dia akrab, juga penuh permakluman dengan kondisis gedung. Atau tepatnya pasrah dengan kondisi yang ada. Dan di suatu ruangan yang nampak lengang, beberapa foto dan poster serta sebuah kalender dan beberapa kursi. Dia menyilakan saya duduk, lalu keluar memesan kopi dan penganan.
HD: bagaimana kabar Anda? Kesibukan apa yang Anda geluti sekarang?
SA: baik, berusaha untuk menikmati arah yang tak saya tentukan; dulu saya mesti berkeringat kini hanya dengan cara santai bersahaja bagaimana saya menyaksikan berbagai peristiwa sebagaimana jalan kehidupan yang diatur oleh masing-masing orang; tapi saya hanya bisa menyaksikan. Yaaa, hanya menyaksikannya dari kejauhan, tapi juga rasanya dekat.
HD: Tidak bosan?
SA: yaaa, mau apalagi; inilah sekarang yang diberikan kepada saya; dulu saya atau siapa saja ikut menentukan arah diri mau ke mana; kini saya hanya menerima arah yang ditentukan, dan semuanya telah diatur; dan saya tidak ingin terlalu banyak bertanya; sekarang saya menikmati; yaaa, menikmatinya, seperti selembar daun diantara angin.
HD: bagaimana kesan Anda sekarang tentang pertunjukan, dunia yang berpuluh tahun, hampir sepanjang hidup Anda pertaruhkan?
SA: sulit bagi saya untuk memberikan penilaian yang terjadi sekarang; saya khawatir membuat judgement; sementara saya berada dalam posisi berada di luar ruang yang anda tanyakan; juga masalahnya saya bukan orang yang suka membuat konklusi; saya lebih senang dengan proses, kerja; saya bukan analis, bukan pengamat; saya pelaku; sebagai pelaku, tentu saja saya lebih senang dengan kerja, kerja dan kerja; ada orang lain yang bertugas memberikan penilaian atas semua kerja yang saya atau kita lakukan.
HD: atau begini, mungkin anda bisa memberikan perbandingan tentang proses, tentang kerja yang pernah anda lakukan dengan apa yang terjadi kini?
SA: sama saja; soalnya perbandingan, komparasi itu itu justeru bisa membuat saya berada pada posisi pembenaran diri sendiri; narsistik; dan anda tahu, teater bukan itu masalahnya, dan mestilah menghindari kondisi seperti itu; proses, kerja teater adalah membongkar kemungkinan dan keyakinan; mempertanyakan dan menggugat apa yang kini kita percayai dan berusaha menguak ruang kemungkinan- kemungkinan yang pernah diyakini oleh orang lain; maka dia, dirinya, teater, perlu mempertanyakan tanpa memberikan suatu judgement yang bisa memperangkap kita ke dalam sikap narsistik; pada teaterlah siapa saja memiliki kemungkinan untuk hadir dan lenyap dan berganti kepada suatu posisi baru yang memungkinkan dirinya menjadi, how to be dalam proses penjadian; dalam teaterlah penjadian hal yang utama; teater senantiasa kondisional, situasional, dan pada setiap ruang yang diciptakannya teater menciptakan penjadian, menciptakan sejenis seperti sesuatu yang dianggap bentangan kemungkinan; yang sesungguhnya bukan kebaruan itu yang terpenting, tapi pertemuan yang otentik; suatu pertemuan dengan eksistensialitas yang intim yang sekaligus sosialitas yang memang dikandungnya; dalam sosialitas dan eksistensialitas itu pulalah kita dan siapa saja memasuki ketegangan, kecemasan antara kehilangan dirinya dengan pertemuan dengan dirinya yang lain melalui peristiwa.
HD: jadi apa artinya kebaruan dalam dunia kesenian khususnya teater?
SA: itu bukan urusan pekerja teater; itu urusan pengamat; setiap kerja teater yang dilandasi dengan keyakinan kepada proses kerjanya, tentu saja akan menciptakan kebaruan, yang secara personal sebagai usaha diri untuk memasuki peristiwa baru; teater bukan video atau film yang dimana saja bisa sama ketika hal itu diputar dan disaksikan; namun teater senantiasa memasuki ruang yang baru; bahkan pada ruang yang dianggap sama pada hari yang lain, juga akan menciptakan kebaruan; tugas dan kewajiban teater menciptakan ruang pertemuan yang otentik antara dirinya dengan siapa saja, antara pelaku dengan seseorang yang katakanlah penonton.
HD: jadi, jika ada orang yang menyatakan bahwa teaternya baru, melakukan pembaharuan, apa artinya itu?
SA: mungkin dia bicara tentang penemuan; menyodorkan hal-hal yang belum pernah dilakukan, dikerjakan oleh orang lain dalam segi tehnik atau tafsir atau hal-hal lainnya; namun terpenting adalah bahwa teater menciptakan otentisitas dan keunikan manusia; tapi sekali lagi, perdebatan soal kebaruan sesungguhnya berada di luar wilayah orang teater; wilayah itu berada dalam lingkup mereka yang menganggap sebagai kritisi, analis atau pengamat; dan itulah tugas mereka, menafsirkannya dengan cara penelusuran yang didasarkan kepada komparasi dari berbagai peristiwa yang pernah ada; namun saya lebih senang kongko soal proses, masalah bagaimana kerja dilaksanakan; saya katakan dilaksanakan, karena seluruh proses kerja itu sendiri sesungguhnya masalah kecemasan antara sesuatu yang kita harapkan dengan realitas atau kenyataan yang kita miliki; dan hal ini membuat saya atau siapa saya mengalami ketegangan dan juga masalah inilah yang membuat diri saya memiliki harapan dan keputusan menjalani kerja itu.
HD: mangga, mangga, terserah Anda; saya hanya ingin berusaha menyambung obrolan kita ini; karena saya sering kali bertemu dan membaca tentang pernyataan orang teater soal kebaruan; tapi yang lebih penting lagi bagaimana saya bisa dan mendengarkan pengalaman Anda.
SA: tugas dan kewajiban pekerja teater sesungguhnya bentangan antara konservasi, melestarikan peristiwa yang pernah ada dan diri dalam ruang lampau dan menguak kemungkinan ruang-ruang yang yang datang bagi pertemuan dirinya dengan orang lain; soal baru atau lama bukan masalah; bukankah teater yang dianggap lama juga tetap selalu digemari dan lebih dari itu karena teater memang merentangkan batas ambang imajinasi bertemu dengan realitas yang otentik dari setiap orang; dan sesungguhnya itulah tugas kesenian; kita tak mungkin bisa melakukan sesuatu tanpa kita memahami yang lampau; diri kita lahir dan berada, eksis, karena berada dalam ruang dan waktu; kita tak datang seketika dari langit; bahkan keyakinan-keyakinan yang dianggap datang dari sana itu sangat membutuhkan penelusuran, pelacakan ke dalam akar masalahnya.
HD: Anda menyinggung, atau tepatnya menyatakan tentang suatu keyakinan dalam jalan berteater; bagaimana hal itu diwujudkan?
SA: anda tahu air laut itu asin; dan bagaimana anda bisa mengetahuinya jika anda tidak mencobanya, dan bagaimana anda bisa mencobanya jika anda tidak memasuki dunia rasa asin itu; keyakinan adalah tindakan, how to act; dan ketika kita merasa yakin kepada sesuatu sesungguhnya bukan bagaimana kita menerimanya; tapi bagaimana kita melacak dan mempertanyakannya, menggugatnya, dan merasakan dan melakukannya dengan sepenuh diri; jika tidak maka teater hanya fiksi dari kaum pelamun; tak ada bau dan rasa keringat; dan itulah kenapa keringat asin, karena dia ada dengan dan di dalam laut dalam diri kita; gelora dan gemuruh serta keheningan dari kedalaman yang kita wujudkan dalam pertemuan dan penjadian itu.
HD: bagaimana dulu Anda melakukan hal itu?
SA: memulai dengan hal-hal yang kecil, nampaknya begitu, tapi sesungguhnya itulah proses dan kerja menciptakan fondasi bagi langkah berikutnya; dengan cara melatih pernapasan, suara, vokal, otot dari wajah sampai dengan perut sampai dengan ujung jari jemari kita; melatih sensitifitas tubuh kepada ruang-ruang yang berlainan, dan semuanya itu didasarkan kepada kesadaran tubuh; modal utama aktor adalah kesadaran kepada tubuh yang fana dan sekaligus juga memiliki kemungkinan yang tak terhingga yang bisa mengantarkan seseorang kepada suatu dunia, ruang lain dan menyatukan seluruh aliran waktu, sejarah, biografi sampai dengan berbagai peristiwa dari yang personal sampai sosial; melacak teks dengan komparasi dari teks lakon dengan teks kajian seperti sejarah, sosiologi, antropologi, politik, psikologi dsbnya; teater mengajak pekerjanya untuk membuka pemikirannya kepada disiplin ilmu apapun juga, kepada penemuan-penemuan ilmu pengetahuan; di dalam teaterlah pengujian berbagai disiplin itu bisa diterapkan demi kebutuhan penciptaan manusia dan peristiwanya; dalam teater pula anda mesti memahami dan melacak ruang senirupa, arsitektur, ruang kota, dan ruang diri yang penuh dengan misteri.
HD: dalam kaitannya dengan tubuh itu, bagaimana hubungan tubuh dengan lakon; setiap lakon memiliki sejarah, biografi, demikian juga dengan tubuh yang lampau dan tubuh yang akan melakonkannya yang tidak netral, lalu di mana titik temunya?
SA: disitulah teater eksis, teater menorehkan kemungkinan pertemuan yang di dasarkan kepada diri-tubuhnya; kepada apa yang dimilikinya dan menciptakan tafsiran serta memasuki melalui pelacakan ke dalam ruang lain yang dimiliki oleh teks atau peristiwa yang ter/di-bentuk dahulu; teater, pelakunya, adalah seorang pelacak namun sekaligus juga penafsir; dengan melacak dia mustilah menemukan, mendekati penemuan dan pertemuan dengan ruang yang dahulu pernah diciptakan, dan dengan pertemuannya itu dia menafsirkan berdasarkan kebutuhan; dan kebutuhan itu bukan sesuatu yang pragmatis tapi yang eksistensial dan sosial dalam konteks kehidupan kekiniannya; batas dirinyalah menjadi titik tumpu dari berbagai pertemuan; dan teks bukan hanya huruf-huruf mati atau kata benda tapi kata kerja yang membawa bobot dan bibit kemungkinan yang berkaitan dengan kondisi kini, dengan konteks kini terhadap masa yang lalu, dan bagaimana menjembataninya dengan yang akan datang; teater pada dasarnya, pada satu sisi, adalah rentangan jembatan imajinasi yang menghubungkan ruang yang lalu, kini dan masa depan.
HD: berarti teater bisa memberikan isyarat, tanda-tanda jaman kepada siapapun, kepada kekuasaan, sistem yang sedang berlaku misalnya ada sesuatu?
SA: tugas dan kewajiban teater adalah menyapa; dan di dalam menyapa, senantiasa teater melantunkan isyarat; anda tentunya ingat dalam bahasa yang paling akrab dengan dunia kita, yakni sandiwara; suatu sandi yang diwartakan kepada siapa saja; sebagai ruang dan peristiwa sandi, teater tak merumuskan suatu jalan seperti rambu-rambu lalulintas; sandi yang diwartakannya berupa sapaan melalui percikan permenungan dalam ruang dan batas ambang antara realitas dengan imajinasi; dan di sanalah teater dan pelakunya bertemu namun bukan dalam kegemuruhan tapi di dalam keheningan reflektif yang penuh makna, penuh tafsir; teater dengan demikian membebaskan kepada siapa saja untuk memilih; memilih atas kehadiran dirinya, menentukan jalan untuk nasib yang ditentukan oleh kapasitas kehadirannya; sepenuh-penuhnyalah dirinya berada di dalam genggamannya; keindahan teater terletak pada kapasitas dirinya atas seluruh nasib dan takdirnya.
Tubuhnya disandarkannya sambil menarik napas panjang, seperti dia ingin merasakan kembali apa yang dikatakannya yang dahulu dikerjakannya dari waktu ke waktu dengan ketekunan dan kerincian yang membuat orang terpukau oleh sentuhan dan olahan dari hasil kerja yang diyakininya sebagai jalan, atau tepatnya dirinya menentukan takdirnya dalam berbagai peristiwa yang diciptakannya di atas panggung.
Waktu melintas, tak terasa lagi malam kian larut. Nampak sorot matanya tertuju pada jendela kaca yang buram. Dari kejauhan terdengar sesekali derum motor dan klakson mobil, sesekali lamat-lamat gesekan langkah di halaman gedung. Udara kota menelusup lewat kisi-kisi di bawa angin dan menyisakan ingatan tentang gedung yang menjadi saksi bisu: sesuatu yang pernah terjadi yang melibatkan dirinya, yang mungkin akan pupus atau terentang dalam rangkaian kalimat obrolan nostalgik di warung atau di kamar kost-kostan. Sementara seluruh rangkaian kerja yang pernah ditekuninya mungkin seperti angin malam yang kian dingin.
Keinginan saya untuk melanjutkan kongko tertunda oleh elahan napasnya, dan sambil sesekali melirik ke arah pintu yang tertutup di seberang tempat kami kongko. Seperti ada dorongan yang membuat dirinya untuk memasuki ruangan itu namun dia menahan diri; menyadari benar posisinya kini bahwa ruang yang berada di seberang tempatnya duduk kini bukanlah wilayah di mana dia semestinya ada dalam pemenuhan keinginan dirinya. Kehendak yang sia-sia: dirinya kini tak lagi menentukan atas nasib dan takdir yang dulu menjadi prinsip, pegangan di dalam meretas jalan dan menguak ruang-ruang kehidupan melalui dunia panggung.
Dia melirik kepada saya, kami saling menatap. Mengajak saya keluar. Saya mengangguk. Lalu kami berjalan diantara sisa warung yang masih buka dan satu-dua motor dan taksi melintas bergegas. Kami berjalan tanpa pembicaraan. Pikiran saya melayang dan saling silang sengkarut. Saya berusaha untuk memahami posisi dan kondisinya. Tapi, rasanya hanya diam yang terbaik. Sementara itu dia terus melangkah, berjalan di sebelah saya, sambil sesekali melirik kearah di sekitarnya, seperti mengingat sesuatu. Pada kesekian tikungan dan persimpangan dia menghentikan langkah lalu menyodorkan tangan. Kami bersalaman.
Lalu lindap, senyap. Hanya dingin. Batu-batu di jalanan membisu. Lalu angin. Lalu waktu: Debu.
o0o-
Halim HD. – Networker Kebudayaan.
Bandung-Solo, Agt-Sept 2009 http://jogjateater.multiply.com/reviews/item/53
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Label
`Atiqurrahman
A Muttaqin
A Rodhi Murtadho
A. Iwan Kapit
A. Purwantara
A. Qorib Hidayatullah
A. Zakky Zulhazmi
A.H.J Khuzaini
A.S. Laksana
Aang Fatihul Islam
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi WM
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Lathief
Abdul Malik
Abdul Wachid B.S.
Abdurrahman El Husaini
Abidah El Khalieqy
Abu Salman
Acep Zamzam Noor
Achdiat K. Mihardja
Adek Alwi
Adi Suhara
Adnyana Ole
Adreas Anggit W.
Afrion
Afrizal Malna
Aguk Irawan MN
Agung Dwi Ertato
Agus B. Harianto
Agus Buchori
Agus Himawan
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus Sulton
Agusri Junaidi
Agustinus Wahyono
Ahda Imran
Ahmad Badrus Sholihin
Ahmad Fanani Mosah
Ahmad Fatoni
Ahmad Ikhwan Susilo
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Musabbih
Ahmad Rofiq
Ahmad Sahidah
Ahmad Tohari
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Muhaimin Azzet
Akhmad Sekhu
Alex R. Nainggolan
Alex Suban
Alunk Estohank
Ami Herman
Amien Kamil
Amien Wangsitalaja
Aminudin R Wangsitalaja
Anastasya Andriarti
Andreas Maryoto
Anes Prabu Sadjarwo
Angela
Angga Wijaya
Angkie Yudistia
Anindita S Thayf
Anis Ceha
Anjrah Lelono Broto
Anton Kurnia
Anton Kurniawan
Anton Wahyudi
Anugrah Gio Pratama
Anwar Nuris
Aprinus Salam
Arie MP Tamba
Arif B. Prasetyo
Arif Bagus Prasetyo
Arif Hidayat
Arman A.Z.
Arti Bumi Intaran
Arys Hilman
AS Sumbawi
Asarpin
Asef Umar Fakhruddin
Asep Sambodja
Asrama Mahasiswa Aceh SABENA
Astrikusuma
Asvi Warman Adam
Atep Kurnia
Awalludin GD Mualif
Aziz Abdul Gofar
Azizah Hefni
Badrut Tamam Gaffas
Bagja Hidayat
Bagus Takwin
Balada
Bale Aksara
Baltasar Koi
Bambang Agung
Bambang Kempling
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Bayu Insani
Beni Setia
Benny Arnas
Benny Benke
Berita
Berita Duka
Berita Utama
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Blambangan
Brunel University London
BSW Adjikoesoemo
Budaya
Budhi Setyawan
Budi Darma
Budi Saputra
Budi Suwarna
Bung Tomo
Cak Kandar
Catatan
Cerpen
Chairil Anwar
Chavchay Syaifullah
Cucuk Espe
Cunong N. Suraja
D. Zawawi Imron
Dadang Ari Murtono
Daisuke Miyoshi
Damanhuri
Damhuri Muhammad
Damiri Mahmud
Danarto
Daniel Dhakidae
Dante Alighieri
Deddy Arsya
Dedy Tri Riyadi
Denny Mizhar
Deny Tri Aryanti
Detti Febrina
Dharmadi
Diah Hadaning
Dian Hartati
Dian Sukarno
Diana A.V. Sasa
Dicky Fadiar Djuhud
Didi Arsandi
Dimas
Dina Oktaviani
Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan
Djadjat Sudradjat
Djoko Saryono
Doddi Ahmad Fauji
Doddy Hidayatullah
Donny Anggoro
Dony P. Herwanto
Dorothea Rosa Herliany
Dr. Muhammad Zafar Iqbal
Dr. Simuh
Dwi Arjanto
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwicipta
Dwijo Maksum
Edy A. Effendi
Edy Firmansyah
Efri Ritonga
Egidius Patnistik
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Eko Hendri Saiful
Elik
Elsya Crownia
Emha Ainun Nadjib
Endah Sulawesi
Endah Wahyuningsih
Endang Suryadinata
Endhiq Anang P
Endri Y
Eriyandi Budiman
Ernest Hemingway
Esai
Esha Tegar Putra
Eva Dwi Kurniawan
Evi Dana Setia Ningrum
Evi Idawati
Evieta Fadjar
F Rahardi
Fabiola D. Kurnia
Fadelan
Fahrudin Nasrulloh
Faidil Akbar
Faisal Kamandobat
Faisal Syahreza
Faizal Syahreza
Fajar Alayubi
Fandy Hutari
Fany Chotimah
Fatah Yasin Noor
Fathor Lt
Fathurrahman Karyadi
Fatih Kudus Jaelani
Fatma Dwi Rachmawati
Fauzi Absal
Festival Sastra Gresik
Fikri. MS
Fina Sato
Fitri Susila
Galih Pandu Adi
Gde Agung Lontar
Geger Riyanto
Gerakan Literasi
Gerakan Surah Buku (GSB)
Gerson Poyk
Ginanjar Rahadian
Gita Pratama
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gunawan Budi Susanto
Gunoto Saparie
Gus Martin
Gus tf Sakai
Gusti Eka
Hadi Napster
Haji Misbach
Halim HD
Halimi Zuhdy
Hamberan Syahbana
Hamdy Salad
Han Gagas
Handoko F. Zainsam
Hari Santoso
Haris del Hakim
Hartono Harimurti
Hary B. Kori’un
Hasan Gauk
Hasan Junus
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Hasta Indriyana
Helwatin Najwa
Hepi Andi Bastoni
Heri C Santoso
Heri KLM
Heri Latief
Heri Listianto
Hermien Y. Kleden
Hernadi Tanzil
Heru Emka
Heru Kurniawan
Heru Prasetya
Hesti Sartika
Hudan Hidayat
Humaidiy AS
I Made Asdhiana
I Made Prabaswara
I Nyoman Suaka
IBM. Dharma Palguna
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
Ida Ahdiah
Idayati
Ignas Kleden
Ihsan Taufik
Ilenk Rembulan
Ilham Khoiri
Ilham Yusardi
Imam Cahyono
Imam Jahrudin Priyanto
Imam Muhtarom
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Rosyid
Imron Tohari
Indah Darmastuti
Indiar Manggara
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Indrian Koto
Irma Safitri
Irman Syah
Iskandar Noe
Istiqomatul Hayati
Ita Siregar
Iwan Kurniawan
Iwan Nurdaya-Djafar
Iyut FItra
Jadid Al Farisy
Jafar M. Sidik
Jakob Sumardjo
Jamal D Rahman
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jayaning S.A
Jefri al Malay
Jihan Fauziah
JJ. Kusni
Jo Pakagula
Johan Edy Raharjo
Joko Pinurbo
Jokowi Undercover
Joni Ariadinata
Joss Wibisono
Jual Buku Paket Hemat
Judyane Koz
Juli Sastrawan
Junaidi Abdul Munif
Jusuf AN
Juwairiyah Mawardy
Kadir Ruslan
Kasnadi
Katrin Bandel
Kedung Darma Romansha
Khairul Mufid Jr
Khamami Zada
Khrisna Pabichara
Kikin Kuswandi
Koh Young Hun
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias
Komunitas Sastra Ilalang Indonesia (KSII)
Korrie Layun Rampan
Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan)
Kristianto Batuadji
Kritik Sastra
Kunni Masrohanti
Kunthi Hastorini
Kuntowijoyo
Kurie Suditomo
Kurnia EF
Kurniawan
Kuswaidi Syafi'ie
Kuswinarto
Lan Fang
Landung Rusyanto Simatupang
Latief S. Nugraha
Leila S. Chudori
Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M)
Liestyo Ambarwati Khohar
Linda Sarmili
Liston P. Siregar
Liza Wahyuninto
LN Idayanie
Lucia Idayani
Lukman Asya
Lusiana Indriasari
Lynglieastrid Isabellita
M Hari Atmoko
M. Aan Mansyur
M. Arman A.Z
M. Bagus Pribadi
M. Fadjroel Rachman
M. Harya Ramdhoni Julizarsyah
M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S
M. Luthfi Aziz
M. Nahdiansyah Abdi
M. Raudah Jambak
M. Shoim Anwar
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Maghfur Saan
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Majalah Sastra Horison
Maklumat Sastra Profetik
Malkan Junaidi
Maman S. Mahayana
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maria Serenade Sinurat
Mario F. Lawi
Marluwi
Marsel Robot
Martin Aleida
Martin Suryajaya
Mashuri
Matdon
Mega Vristian
Melani Budianta
Melayu Riau
Memoar
MG. Sungatno
Mh Zaelani Tammaka
Miftah Fadhli
Miftahul Abrori
Misbahus Surur
Miziansyah J
Mochtar Lubis
Mohamad Ali Hisyam
Mohammad Eri Irawan
MT Arifin
Mugy Riskiana Halalia
Muhajir Arrosyid
Muhamad Rifai
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Al-Mubassyir
Muhammad Qodari
Muhammad Rain
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun A.S
Muhidin M. Dahlan
Muhlis Al-Firmany
Mujtahid
Mulyadi SA
Munawir Aziz
Murniati Tanjung
Murnierida Pram
Musa Ismail
Musfi Efrizal
Mustaan
Mustafa Ismail
N. Mursidi
Nafsul Latifah
Naskah Teater
Nasrullah Nara
Nelson Alwi
Nenden Lilis A
Nh. Anfalah
Ni Made Purnama Sari
Nina Mussolini-Hansson
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Noura
Nova Christina
Noval Jubbek
Novela Nian
Nugroho Notosusanto
Nugroho Pandhu Sukmono
Nur Faizah
Nurdin F. Joes
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nurul Komariyah
Nuryana Asmaudi SA
Nyoman Tusthi Eddy
Nyoman Wirata
Oka Rusmini
Oktamandjaya Wiguna
Oky Sanjaya
Olanama
Olivia Kristina Sinaga
Otto Sukatno CR
Pagelaran Musim Tandur
Pamusuk Eneste
Patricia Pawestri
PDS H.B. Jassin
PDS. H.B. Jassin
Penghargaan Hadiah Sastra Pusat Bahasa
Persda Network
Pipiet Senja
Pramoedya Ananta Toer
Pramono
Pranita Dewi
Pringadi AS
Prita Daneswari
Prof. Tamim Pardede sebut Bambang Tri
Prosa
Pudyo Saptono
Puisi
Puisi Kesunyian
Puisi Sufi
Puji Santosa
PUstaka puJAngga
Putu Fajar Arcana
Putu Wijaya
Qaris Tajudin
R. Sugiarti
Rachmad Djoko Pradopo
Radhar Panca Dahana
Ragdi F. Daye
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Ramadhan Batubara
Ramadhan KH
Ratih Kumala
Ratna Indraswari Ibrahim
Ratna Sarumpaet
Raudal Tanjung Banua
Remy Sylado
Reni Susanti
Renny Meita Widjajanti
Resensi
Restu Kurniawan
Retno Sulistyowati
RF. Dhonna
Rian Sindu
Ribut Wijoto
Ridwan Munawwar
Riki Utomi
Riris K. Toha-Sarumpaet
Risang Anom Pujayanto
Riza Multazam Luthfy
Robin Al Kautsar
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rohman Abdullah
Rosidi
Rosihan Anwar
Rukardi
S Yoga
S. Jai
S. Sinansari Ecip
S.I. Poeradisastra
S.W. Teofani
Sabam Siagian
Sabrank Suparno
Saiful Anam Assyaibani
Sainul Hermawan
Sajak
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Samsudin Adlawi
Sanggar Rumah Ilalang
Sanggar Teater Jerit
Sapardi Djoko Damono
Sartika Dian
Sartika Dian Nuraini
Sastra Tanah Air
Sastra Using
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sayyid Fahmi Alathas
Sazano
Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo
Seli Desmiarti
Selo Soemardjan
Senggrutu Singomenggolo
Seno Joko Suyono
SH Mintardja
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sipri Senda
Sitok Srengenge
Siwi Dwi Saputro
Sjifa Amori
Sobih Adnan
Sofian Dwi
Sofie Dewayani
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sri Ruwanti
Sri Wintala Achmad
St Sularto
Stefanus P. Elu
Sukron Abdilah
Sulaiman Djaya
Suminto A. Sayuti
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sungging Raga
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Suryansyah
Suryanto Sastroatmodjo
Susanto
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Suyadi
Suyadi San
Syaifuddin Gani
Syaiful Amin
Syamsiar Hidayah
Syarbaini
Syifa Amori
Syifa Aulia
Tajuddin Noor Ganie
Taufik Abdullah
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
TE. Priyono
Teguh Afandi
Teguh Ranusastra Asmara
Teguh Winarsho AS
Tengsoe Tjahjono
Theresia Purbandini
Tita Tjindarbumi
Titik Alva-Alvi Choiriyah
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Tjoet Nyak Dhien
Tosa Poetra
Tri Lestari Sustiyana
Triyanto Triwikromo
TS Pinang
Tu-ngang Iskandar
Tulus S
Tulus Wijanarko
Udo Z. Karzi
Ugoran Prasad
Umar Fauzi Ballah
Umar Kayam
Umbu Landu Paranggi
Universitas Indonesia
Universitas Jember
Utada Kamaru
UU Hamidy
Vera Ernawati
Veronika Ninik
W.S. Rendra
Wahjudi Djaja
Wahyu Hidayat
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Budiartha
Widya Karima
Wijaya Herlambang
Wiji Thukul
Willem B Berybe
Wilson Nadeak
Winarni R.
Wiratmo Soekito
Wita Lestari
Wiwik Widayaningtias
Y. Thendra BP
Y. Wibowo
Yasser Arafat
Yeni Ratnaningsih
Yohanes Sehandi
Yonatan Raharjo
Yonathan Rahardjo
Yopi Setia Umbara
Yos Rizal S
Yos Rizal Suriaji
Yudhi Herwibowo
Yuka Fainka Putra
Yurnaldi
Yushifull Ilmy
Yusri Fajar
Yusuf Suharto
Zainal Abidin
Zainal Arifin Thoha
Zawawi Se
Zen Hae
Tidak ada komentar:
Posting Komentar