Senin, 03 Januari 2011

KRITIK SASTRA PASCA-HB JASSIN

F Rahardi
Kompas Minggu, 23 April 2000

SEPENINGGAL HB Jassin, masyarakat sastra Indonesia merasakan adanya sebuah “kekosongan”. Sebenarnya kekosongan ini bahkan telah mulai disadari semenjak akhir tahun ‘70-an ketika sang “Paus” sastra kita mulai tidak aktif menulis kritik.

Memang tetap ada orang yang rajin mengulas karya sastra. Misalnya Korie Layun Rampan, Faruk, Umar Junus, Sapardi Djoko Damono, untuk menyebut beberapa nama. Tetapi, dibandingkan HB Jassin sosok mereka masih belum “dianggap” oleh khalayak sastra Indonesia. Konsumen sastra lalu merasa tidak ada lagi “guru” yang membimbing mereka. Para sastrawan pun kehilangan figur berwibawa yang bisa mensahkan kesastrawanan mereka. Demikianlah anggapan umum yang tercermin dari berbagai tulisan di media massa dalam rangka mengiringi kepergian kritikus dan dokumentator besar kita.

Saya justru berpendapat bahwa kondisi kritik sastra pasca HB Jassin sangat sehat. Kesusastraan Indonesia mampu hadir secara wajar lewat media massa, penerbitan buku maupun pembacaan puisi/cerpen. Tidak adanya figur tunggal yang berwibawa, telah membuat para sastrawan bisa tumbuh sendiri secara alamiah untuk mendapatkan pengakuan dari masyarakat. Sementara konsumen sastra bebas memilih bacaan sesuai selera dan kemampuan otak masing-masing.

Dari tahun 1966 sampai dengan tahun ’80-an pengesahan seorang sastrawan sebenarnya sudah dilakukan secara kolektif melalui majalah Horison. Meskipun HB Jassin masih duduk sebagai anggota dewan redaksi, namun perannya sebagai penentu pemuatan karya sastra di Horison sudah tidak dilakukannya sendiri sebab di sana juga ada Muchtar Lubis, Arief Budiman, Goenawan Mohamad, Taufiq Ismail dan kemudian Sapardi Djoko Damono, Sutardji Calzoum Bachri dan Hamsad Rangkuti. Pada kurun waktu itu, peran tunggal Horison sebenarnya juga tidak sehat bagi perkembangan sastra Indonesia.

* * *

Banyak kalangan yang tidak puas hingga cenderung mengirimkan tulisan-tulisan mereka ke lembar budaya koran atau menerbitkannya dalam bentuk buku. Memang pada waktu itu ada majalah Basis di Yogyakarta yang juga memuat puisi, tetapi kewibawaan Basis dianggap masih di bawah Horison. Terutama setelah jabatan redaktur puisinya ditinggalkan oleh Sapardi Djoko Damono. Dewasa ini, selain Horison juga ada jurnal Kalam yang kewibawaannya dianggap setara dengan Horison. Para sastrawan sendiri pun kini sadar bahwa kesastrawanan seseorang tidak perlu harus tergantung pada seorang redaktur media massa. Romo Mangun bisa menjadi sastrawan cukup dengan menerbitkan karya-karyanya dalam bentuk buku. Sementara para sastrawan besar pun sekarang tidak lagi fanatik dengan Horison dan mau menyiarkan karyanya di koran-koran.

Dari sisi ini, ketiadaan figur tunggal sebagai pengesah seseorang untuk menjadi sastrawan jelas sangat positif. Mungkin kasus Linus Suryadi AG bisa menjadi contoh. Penyair prosa lirik Pengakuan Pariyem ini mula-mula diasah oleh Umbu Landu Paranggi “presiden” penyair Malioboro, sekitar akhir tahun ’60-an dan awal ’70-an Ketika itu HB Jassin sudah mulai kurang menulis kritik karena tengah sibuk menghadapi kasus cerpen Langit Makin Mendung dan juga mulai tertarik untuk menerjemahkan Al Qur’an. Kemudian pada akhir tahun ’70-an dan awal ’80-an. Linus menulis Pengakuan Pariyem. Ketika itu yang “mengorbitkannya” Umar Kayam serta Bakdi Soemanto. Dua-duanya dari UGM. Tetapi dalam waktu bersamaan Faruk juga dari UGM, membuat ulasan kritis terhadap karya Linus ini. Juga JB Kristanto yang waktu itu redaktur budaya Harian Kompas. Ada keberagaman pendapat dan itu sangat positif.

Agak berbeda dengan kondisi tahun ’50-an dan awal ’60-an ketika HB Jassin demikian berwibawanya hingga seseorang baru sah dianggap sebagai sastrawan apabila sudah dibicarakannya, atau karya-karyanya dimuat di majalah yang diasuhnya: Panji Pustaka (1942-1945), Panca Raya (1945-1947), Zenith (1951-1954), Kisah (1953-1956), Seni (1955), Bahasa dan Budaya (1952-1963) dan Sastra (1961-1964 dan 1967-1969). Ketika tahun 1973-1979 Ajip Rosidi menjadi Ketua Dewan Kesenian Jakarta, Direktur penerbit Pustaka Jaya dan juga Ketua IKAPI Pusat, “kekuasaan” HB Jassin seakan-akan mendapat tandingan. Ketika itu Ajip dan kawan-kawan juga menerbitkan majalah Budaja Djaja (1968-1979) dan Bunga Rampai Laut Biru Langit Biru (1977). Sayang, kekuatan “tandingan” ini kemudian begitu saja ditinggalkan oleh Ajip.

* * *

PADA pertengahan tahun ’90-an silam, ramai dibicarakan ihwal “revitalisasi sastra pedalaman”. Pada kurun waktu itu memang bermunculan komunitas-komunitas sastra di luar Jakarta. Jurnal serta penerbitan sastra juga marak di berbagai kota. Komunitas-komunitas itu dengan sangat bersemangat berusaha menaklukkan dominasi pusat (Jakarta). Sesuatu yang sebenarnya sia-sia. Sebab pengertian pusat dan daerah atau pinggiran atau pedalaman sebenarnya sangat kabur. Cerpenis muda papan atas dewasa ini, misalnya Gus tf Sakai, Agus Noor, Indra Tranggono, Joni Ariadinata, untuk menyebut beberapa nama, mereka tidak tinggal di Jakarta. Memang mereka mempublikasikan karya-karya mereka terutama melalui media massa Jakarta, tetapi itu justru sebuah keunggulan.

Dengan demikian terciptalah kantung-kantung sastra yang mampu mengembangkan komunitas mereka sendiri secara sehat, tanpa campur tangan kritikus yang berwibawa. Mereka mendapatkan pengakuan sebagai sastrawan bukan karena karya mereka diulas oleh kritikus, tetapi lantaran rajin menulis, rajin mempublikasikan karyanya dan dibaca masyarakat. Di sini, ulasan atau komentar dari sang kritikus menjadi tak terlalu penting Mendambakan ulasan atau kritik, termasuk meminta pengantar dari sastrawan senior bagi buku yang mau terbit, adalah ciri sastrawan yang kurang pe-de.

Menaklukkan pusat (Jakarta), tidak perlu dengan cara marah atau merengek-rengek. Setelah era Balai Pustaka dan Pustaka Jaya berlalu, penerbitan buku sastra yang produktif juga datang dari daerah. Misalnya Bentang di Yogyakarta dan Tera di Magelang. Ini menandakan bahwa Jakarta memang bukan segala-galanya. Tetapi klaim bahwa sastra Riau adalah bagian (setara dengan) sastra dunia dan bukan bagian dari sastra Indonesia, terkesan hanyalah sebagai main-main, atau kesombongan yang luar biasa. Raja Ali Hadji memang sastrawan kelas dunia, tetapi dia menulis dalam bahasa Melayu Riau yang sekarang hanyalah bahasa daerah. Meskipun bahasa Indonesia (juga bahasa Malaysia) berasal dari bahasa Melayu, tetapi Melayu Riau bukan bahasa Indonesia atau Malaysia.

Samalah halnya dengan bahasa Latin bukan bahasa Italia. Bahasa Sansekerta lain dengan bahasa Hindi. Jasadipoera I dan II serta Ranggawarsita adalah sastrawan kelas dunia. Tetapi Pramudya, Rendra, Goenawan Mohamad menjadi sastrawan kelas dunia bukan karena mereka Jawa sebab mereka menulis dalam bahasa Indonesia.

Sutardji menjadi sastrawan kelas dunia bukan karena dia Riau, tetapi karena dia penyair Indonesia yang baik. Bahwa sastrawan Indonesia yang berkelas dunia itu mengadopsi kekuatan sastra daerah, itu sah-sah saja, tetapi klaim itu bukannya dibalik.

Sastra Jawa adalah sastra dunia, karenanya Pram, Rendra dan Goenawan lalu berkelas dunia pula. Kenyataannya, sastrawan Jawa yang kuat dewasa ini, semuanya menulis dalam bahasa Indonesia, dan hampir semuanya tinggal di Jakarta, “pusat” Republik Indonesia. Saya setuju bahwa “pusat” sastra bukan identik dengan Jakarta tetapi dengan figur sastrawan kuat. Mengapa di Padang dan sekitarnya (Jambi, Pekanbaru) banyak lahir cerpenis kuat? Karena di Padang bermukim AA Navis. Kehadiran seorang Navis, bagaimanapun mendatangkan “aura” di sekitarnya. Aura itu bisa saja berakibat ke pemujaan atau konflik yang lalu menjadi pemicu persaingan dalam bentuk kreatifitas. Minimal produktivitas. Kelahiran banyak cerpenis kuat di Yogya, antara lain juga disebabkan di sana ada Umar Kayam dan Kuntowijoyo. Jakarta, pada akhirnya akan lebih menjadi penyedia fasilitas, sarana dan prasarana. Dan apabila nantinya di daerah pun tersedia fasilitas yang sama, maka Jakarta menjadi bukan apa-apa lagi. Lebih-lebih kalau semakin banyak figur-figur sastrawan kuat yang bersedia untuk “mudik” danmeninggalkan Ibu Kota.

Peran tunggal Jakarta, yang merupakan “warisan” dari peran tunggal HB Jassin, mestinya memang menjadi tidak berlaku lagi. Figur-figur kuat dengan kantung-kantung sastralah yang akan menjadi penentu arah perjalanan sastra di Indonesia. Figur-figur sastrawan kuat yang saya sebutkan di atas, bisa tidak pernah menulis kritik untuk mengesahkan kehadiran seorang sastrawan baru. Tetapi mereka “menguasai” institusi. Goenawan Mohamad misalnya, adalah Pemred Tempo dalam kurun waktu yang cukup lama. Sekarang ini, setelah lengser dari Tempo dia “menguasai” Komunitas Utan Kayu, dengan jurnal Kalamnya. Sutardji dan Taufiq Ismail “memerintah” Horison. Sementara Sapardi Djoko Damono dan Faruk adalah figur yang disegani di UI serta UGM.

Pusat-pusat sastra itu juga berupa lembar budaya di koran-koran, yang biasanya juga diasuh oleh seorang sastrawan. Di sinilah sebenarnya pengesahan seseorang sebagai sastrawan terjadi. Figur-figur yang menguasai institusi itulah yang secara tidak langsung berperan membangun opini publik terhadap kesastrawanan seseorang. Dengan demikian “demokratisasi” sastra itu terjadi. Linus Suryadi yang pernah disahkan oleh Umar Kayam dan Bakdi Soemanto, telah ditanggapi dengan sikap kritis oleh Faruk dan JB Kristanto. Sutardji yang di awal tahun ’70-an mengejutkan publik sastra Indonesia pernah dicap sebagai bukan penyair oleh Sutan Takdir Alisyahbana. Kantung-kantung sastra dengan figur kuat di dalamnya itulah yang akan ikut menentukan apakah seseorang itu merupakan sastrawan “sejati” atau hanya sastrawan kelas Dewan Kesenian Jakarta, kelas Teater Utan Kayu, kelas Horison kelas Kompas, kelas Fakultas Sastra UGM dan sekadar menjadi “medioker”. Sastrawan sejati pasti mendapatkan pengakuan dari semua institusi dengan figur-figur di dalamnya tadi Itulah yang saya sebutkan sastra kita justru lebih sehat sepeninggal HB Jassin.

* * *

KRITIK sastra, baik kritik apresiatif maupun analitik, sebenarnya lebih ditujukan untuk keperluan para pembaca sastra. Kritik analitik sekaligus juga bermanfaat bagi perkembangan ilmu sastra. Kalau sang sastrawan masih hidup dan dapat memanfaatkan kritik yang ditujukan pada karyanya, maka itu hanyalah merupakan sebuah efek samping saja. Sayang sekali bahwa kritik-kritik yang lahir sekarang ini, nadanya masih sama dengan kritik model HB Jassin. Pengertian kritik apresiatif lebih banyak diterjemahkan sebagai sekadar jembatan yang berusaha menuntun para pembaca sastra.

Kritik-kritik tajam yang pernah lahir dari tangan Subagio Sastrowardojo tidak pernah ada yang tertarik untuk serius melanjutkannya. Tampaknya budaya sungkan yang menjadi trend selama Orde Baru juga merasuki kalangan sastrawan. Kritik apresiasi lalu menjadi kritik basa-basi. Isinya sekadar puja-puji. Atau, apabila kritik itu ditujukan ke figur yang tidak disukainya, maka yang lahir adalah caci-maki. Puja-puji atau caci-maki jelas tidak akan bermanfaat bagi publik sastra. Ketika Subagio Sastrowardojo menulis tentang pengaruh penyair Spanyol Federico Garcia Lorca terhadap balada-balada Rendra, maka terciptalah sebuah kritik yang imbang. Tidak terkesan caci-maki maupun puja-puji.

Ketidakberanian kritikus untuk melontarkan kritik tajam, sebagian juga disebabkan oleh sikap para sastrawan besar yang cenderung “antik kritik”. Kecenderungan ini menurun ke sastrawan yang lebih muda dan seterusnya. Dugaan saya kecederungan demikian merupakan “warisan” dari kritik apresiatif HB Jassin yang selama kurun waktu 30 tahun mendominasi dunia sastra Indonesia. Kritik-kritik Jassin memang cenderung “lunak”. Padahal dalam dunia modern, kritik juga berfungsi mendidik agar pembaca juga mampu bersikap kritis terhadap bacaannya. Sama halnya dengan kritikus restoran dan kritikus film. Sehebat-hebatnya sebuah film, tidak pernah bisa memboyong seluruh katagori penghargaan yang disediakan. Hingga selain memuji, kritikus mestinya juga mengecam kelemahan-kelemahan yang ada.

Termasuk salah satu kelemahan para kritikus kita sekarang ini adalah kebiasaan mereka yang baru mau menulis apabila ada pesanan. Entah pesanan dari redaktur koran/majalah, dari penerbit buku, dari panitia seminar atau lokakarya dan lain-lain. HB Jassin melakukan pendokumentasian sastra Indonesia dan menulis kritik tanpa ada seorang pun yang memesannya dan memberinya honor. Inilah kelebihan Jassin.

Meskipun banyak kalangan yang melecehkan kritik Korie Layun Rampan dan menganggapnya hanya sebagai ulasan dangkal, tetapi Korie terus rajin menulis tanpa peduli ada atau tidak ada yang memesannya. Lagi pula, kritik-kritik Korie tetap punya manfaat bagi keperluan apresiasi sastra kepada khalayak yang lebih umum. Sementara kritik-kritik yang ditulis Umar Junus, Faruk dan Sapardi Djoko Damono lebih ditujukan kepada para peminat sastra yang lebih serius. Mungkin memang benar sinyalemen bahwa sastra Indonesia mengalami kekosongan kritik sepeninggal Jassin. Kalau pengertian kritik masih mengacu ke ulasan terhadap karya seseorang. Tetapi, fungsi kritikus tidak hanya itu. Dengan menjadi redaktur budaya koran, menjadi pengasuh rubrik cerpen dan puisi, menjadi anggota Komite Sastra Dewan Kesenian, seseorang sudah bisa berperan ikut menentukan arah perkembangan sastra Indonesia. Dan sastrawan yang baik akan terus menulis dan menyiarkan hasil karyanya, tanpa peduli ada atau tidak ada yang mengulas dan mengritiknya. * * *

F. Rahardi, Penyair, Wartawan
Sumber: http://frahardi.wordpress.com/2010/10/20/kritik-sastra-pasca-hb-jassin/

Tidak ada komentar:

Label

`Atiqurrahman A Muttaqin A Rodhi Murtadho A. Iwan Kapit A. Purwantara A. Qorib Hidayatullah A. Zakky Zulhazmi A.H.J Khuzaini A.S. Laksana Aang Fatihul Islam Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi WM Abdul Kadir Ibrahim Abdul Lathief Abdul Malik Abdul Wachid B.S. Abdurrahman El Husaini Abidah El Khalieqy Abu Salman Acep Zamzam Noor Achdiat K. Mihardja Adek Alwi Adi Suhara Adnyana Ole Adreas Anggit W. Afrion Afrizal Malna Aguk Irawan MN Agung Dwi Ertato Agus B. Harianto Agus Buchori Agus Himawan Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sulton Agusri Junaidi Agustinus Wahyono Ahda Imran Ahmad Badrus Sholihin Ahmad Fanani Mosah Ahmad Fatoni Ahmad Ikhwan Susilo Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musabbih Ahmad Rofiq Ahmad Sahidah Ahmad Tohari Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sekhu Alex R. Nainggolan Alex Suban Alunk Estohank Ami Herman Amien Kamil Amien Wangsitalaja Aminudin R Wangsitalaja Anastasya Andriarti Andreas Maryoto Anes Prabu Sadjarwo Angela Angga Wijaya Angkie Yudistia Anindita S Thayf Anis Ceha Anjrah Lelono Broto Anton Kurnia Anton Kurniawan Anton Wahyudi Anugrah Gio Pratama Anwar Nuris Aprinus Salam Arie MP Tamba Arif B. Prasetyo Arif Bagus Prasetyo Arif Hidayat Arman A.Z. Arti Bumi Intaran Arys Hilman AS Sumbawi Asarpin Asef Umar Fakhruddin Asep Sambodja Asrama Mahasiswa Aceh SABENA Astrikusuma Asvi Warman Adam Atep Kurnia Awalludin GD Mualif Aziz Abdul Gofar Azizah Hefni Badrut Tamam Gaffas Bagja Hidayat Bagus Takwin Balada Bale Aksara Baltasar Koi Bambang Agung Bambang Kempling Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Bayu Insani Beni Setia Benny Arnas Benny Benke Berita Berita Duka Berita Utama Bernando J. Sujibto Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Blambangan Brunel University London BSW Adjikoesoemo Budaya Budhi Setyawan Budi Darma Budi Saputra Budi Suwarna Bung Tomo Cak Kandar Catatan Cerpen Chairil Anwar Chavchay Syaifullah Cucuk Espe Cunong N. Suraja D. Zawawi Imron Dadang Ari Murtono Daisuke Miyoshi Damanhuri Damhuri Muhammad Damiri Mahmud Danarto Daniel Dhakidae Dante Alighieri Deddy Arsya Dedy Tri Riyadi Denny Mizhar Deny Tri Aryanti Detti Febrina Dharmadi Diah Hadaning Dian Hartati Dian Sukarno Diana A.V. Sasa Dicky Fadiar Djuhud Didi Arsandi Dimas Dina Oktaviani Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Djadjat Sudradjat Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Doddy Hidayatullah Donny Anggoro Dony P. Herwanto Dorothea Rosa Herliany Dr. Muhammad Zafar Iqbal Dr. Simuh Dwi Arjanto Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwicipta Dwijo Maksum Edy A. Effendi Edy Firmansyah Efri Ritonga Egidius Patnistik Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Hendri Saiful Elik Elsya Crownia Emha Ainun Nadjib Endah Sulawesi Endah Wahyuningsih Endang Suryadinata Endhiq Anang P Endri Y Eriyandi Budiman Ernest Hemingway Esai Esha Tegar Putra Eva Dwi Kurniawan Evi Dana Setia Ningrum Evi Idawati Evieta Fadjar F Rahardi Fabiola D. Kurnia Fadelan Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Faisal Kamandobat Faisal Syahreza Faizal Syahreza Fajar Alayubi Fandy Hutari Fany Chotimah Fatah Yasin Noor Fathor Lt Fathurrahman Karyadi Fatih Kudus Jaelani Fatma Dwi Rachmawati Fauzi Absal Festival Sastra Gresik Fikri. MS Fina Sato Fitri Susila Galih Pandu Adi Gde Agung Lontar Geger Riyanto Gerakan Literasi Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Ginanjar Rahadian Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gunoto Saparie Gus Martin Gus tf Sakai Gusti Eka Hadi Napster Haji Misbach Halim HD Halimi Zuhdy Hamberan Syahbana Hamdy Salad Han Gagas Handoko F. Zainsam Hari Santoso Haris del Hakim Hartono Harimurti Hary B. Kori’un Hasan Gauk Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Helwatin Najwa Hepi Andi Bastoni Heri C Santoso Heri KLM Heri Latief Heri Listianto Hermien Y. Kleden Hernadi Tanzil Heru Emka Heru Kurniawan Heru Prasetya Hesti Sartika Hudan Hidayat Humaidiy AS I Made Asdhiana I Made Prabaswara I Nyoman Suaka IBM. Dharma Palguna Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Ida Ahdiah Idayati Ignas Kleden Ihsan Taufik Ilenk Rembulan Ilham Khoiri Ilham Yusardi Imam Cahyono Imam Jahrudin Priyanto Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indah Darmastuti Indiar Manggara Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indrian Koto Irma Safitri Irman Syah Iskandar Noe Istiqomatul Hayati Ita Siregar Iwan Kurniawan Iwan Nurdaya-Djafar Iyut FItra Jadid Al Farisy Jafar M. Sidik Jakob Sumardjo Jamal D Rahman Janual Aidi Javed Paul Syatha Jayaning S.A Jefri al Malay Jihan Fauziah JJ. Kusni Jo Pakagula Johan Edy Raharjo Joko Pinurbo Jokowi Undercover Joni Ariadinata Joss Wibisono Jual Buku Paket Hemat Judyane Koz Juli Sastrawan Junaidi Abdul Munif Jusuf AN Juwairiyah Mawardy Kadir Ruslan Kasnadi Katrin Bandel Kedung Darma Romansha Khairul Mufid Jr Khamami Zada Khrisna Pabichara Kikin Kuswandi Koh Young Hun Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Komunitas Sastra Ilalang Indonesia (KSII) Korrie Layun Rampan Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan) Kristianto Batuadji Kritik Sastra Kunni Masrohanti Kunthi Hastorini Kuntowijoyo Kurie Suditomo Kurnia EF Kurniawan Kuswaidi Syafi'ie Kuswinarto Lan Fang Landung Rusyanto Simatupang Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Liestyo Ambarwati Khohar Linda Sarmili Liston P. Siregar Liza Wahyuninto LN Idayanie Lucia Idayani Lukman Asya Lusiana Indriasari Lynglieastrid Isabellita M Hari Atmoko M. Aan Mansyur M. Arman A.Z M. Bagus Pribadi M. Fadjroel Rachman M. Harya Ramdhoni Julizarsyah M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S M. Luthfi Aziz M. Nahdiansyah Abdi M. Raudah Jambak M. Shoim Anwar M. Yoesoef M.D. Atmaja Maghfur Saan Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Majalah Sastra Horison Maklumat Sastra Profetik Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Serenade Sinurat Mario F. Lawi Marluwi Marsel Robot Martin Aleida Martin Suryajaya Mashuri Matdon Mega Vristian Melani Budianta Melayu Riau Memoar MG. Sungatno Mh Zaelani Tammaka Miftah Fadhli Miftahul Abrori Misbahus Surur Miziansyah J Mochtar Lubis Mohamad Ali Hisyam Mohammad Eri Irawan MT Arifin Mugy Riskiana Halalia Muhajir Arrosyid Muhamad Rifai Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Al-Mubassyir Muhammad Qodari Muhammad Rain Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun A.S Muhidin M. Dahlan Muhlis Al-Firmany Mujtahid Mulyadi SA Munawir Aziz Murniati Tanjung Murnierida Pram Musa Ismail Musfi Efrizal Mustaan Mustafa Ismail N. Mursidi Nafsul Latifah Naskah Teater Nasrullah Nara Nelson Alwi Nenden Lilis A Nh. Anfalah Ni Made Purnama Sari Nina Mussolini-Hansson Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Noura Nova Christina Noval Jubbek Novela Nian Nugroho Notosusanto Nugroho Pandhu Sukmono Nur Faizah Nurdin F. Joes Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nurul Komariyah Nuryana Asmaudi SA Nyoman Tusthi Eddy Nyoman Wirata Oka Rusmini Oktamandjaya Wiguna Oky Sanjaya Olanama Olivia Kristina Sinaga Otto Sukatno CR Pagelaran Musim Tandur Pamusuk Eneste Patricia Pawestri PDS H.B. Jassin PDS. H.B. Jassin Penghargaan Hadiah Sastra Pusat Bahasa Persda Network Pipiet Senja Pramoedya Ananta Toer Pramono Pranita Dewi Pringadi AS Prita Daneswari Prof. Tamim Pardede sebut Bambang Tri Prosa Pudyo Saptono Puisi Puisi Kesunyian Puisi Sufi Puji Santosa PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Wijaya Qaris Tajudin R. Sugiarti Rachmad Djoko Pradopo Radhar Panca Dahana Ragdi F. Daye Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Ramadhan Batubara Ramadhan KH Ratih Kumala Ratna Indraswari Ibrahim Ratna Sarumpaet Raudal Tanjung Banua Remy Sylado Reni Susanti Renny Meita Widjajanti Resensi Restu Kurniawan Retno Sulistyowati RF. Dhonna Rian Sindu Ribut Wijoto Ridwan Munawwar Riki Utomi Riris K. Toha-Sarumpaet Risang Anom Pujayanto Riza Multazam Luthfy Robin Al Kautsar Rodli TL Rofiqi Hasan Rohman Abdullah Rosidi Rosihan Anwar Rukardi S Yoga S. Jai S. Sinansari Ecip S.I. Poeradisastra S.W. Teofani Sabam Siagian Sabrank Suparno Saiful Anam Assyaibani Sainul Hermawan Sajak Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sanggar Rumah Ilalang Sanggar Teater Jerit Sapardi Djoko Damono Sartika Dian Sartika Dian Nuraini Sastra Tanah Air Sastra Using Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sayyid Fahmi Alathas Sazano Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo Seli Desmiarti Selo Soemardjan Senggrutu Singomenggolo Seno Joko Suyono SH Mintardja Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sipri Senda Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Sobih Adnan Sofian Dwi Sofie Dewayani Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sri Ruwanti Sri Wintala Achmad St Sularto Stefanus P. Elu Sukron Abdilah Sulaiman Djaya Suminto A. Sayuti Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sungging Raga Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Suryansyah Suryanto Sastroatmodjo Susanto Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suyadi Suyadi San Syaifuddin Gani Syaiful Amin Syamsiar Hidayah Syarbaini Syifa Amori Syifa Aulia Tajuddin Noor Ganie Taufik Abdullah Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat TE. Priyono Teguh Afandi Teguh Ranusastra Asmara Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Theresia Purbandini Tita Tjindarbumi Titik Alva-Alvi Choiriyah Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tjoet Nyak Dhien Tosa Poetra Tri Lestari Sustiyana Triyanto Triwikromo TS Pinang Tu-ngang Iskandar Tulus S Tulus Wijanarko Udo Z. Karzi Ugoran Prasad Umar Fauzi Ballah Umar Kayam Umbu Landu Paranggi Universitas Indonesia Universitas Jember Utada Kamaru UU Hamidy Vera Ernawati Veronika Ninik W.S. Rendra Wahjudi Djaja Wahyu Hidayat Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Budiartha Widya Karima Wijaya Herlambang Wiji Thukul Willem B Berybe Wilson Nadeak Winarni R. Wiratmo Soekito Wita Lestari Wiwik Widayaningtias Y. Thendra BP Y. Wibowo Yasser Arafat Yeni Ratnaningsih Yohanes Sehandi Yonatan Raharjo Yonathan Rahardjo Yopi Setia Umbara Yos Rizal S Yos Rizal Suriaji Yudhi Herwibowo Yuka Fainka Putra Yurnaldi Yushifull Ilmy Yusri Fajar Yusuf Suharto Zainal Abidin Zainal Arifin Thoha Zawawi Se Zen Hae