F Rahardi
Kompas Minggu, 23 April 2000
SEPENINGGAL HB Jassin, masyarakat sastra Indonesia merasakan adanya sebuah “kekosongan”. Sebenarnya kekosongan ini bahkan telah mulai disadari semenjak akhir tahun ‘70-an ketika sang “Paus” sastra kita mulai tidak aktif menulis kritik.
Memang tetap ada orang yang rajin mengulas karya sastra. Misalnya Korie Layun Rampan, Faruk, Umar Junus, Sapardi Djoko Damono, untuk menyebut beberapa nama. Tetapi, dibandingkan HB Jassin sosok mereka masih belum “dianggap” oleh khalayak sastra Indonesia. Konsumen sastra lalu merasa tidak ada lagi “guru” yang membimbing mereka. Para sastrawan pun kehilangan figur berwibawa yang bisa mensahkan kesastrawanan mereka. Demikianlah anggapan umum yang tercermin dari berbagai tulisan di media massa dalam rangka mengiringi kepergian kritikus dan dokumentator besar kita.
Saya justru berpendapat bahwa kondisi kritik sastra pasca HB Jassin sangat sehat. Kesusastraan Indonesia mampu hadir secara wajar lewat media massa, penerbitan buku maupun pembacaan puisi/cerpen. Tidak adanya figur tunggal yang berwibawa, telah membuat para sastrawan bisa tumbuh sendiri secara alamiah untuk mendapatkan pengakuan dari masyarakat. Sementara konsumen sastra bebas memilih bacaan sesuai selera dan kemampuan otak masing-masing.
Dari tahun 1966 sampai dengan tahun ’80-an pengesahan seorang sastrawan sebenarnya sudah dilakukan secara kolektif melalui majalah Horison. Meskipun HB Jassin masih duduk sebagai anggota dewan redaksi, namun perannya sebagai penentu pemuatan karya sastra di Horison sudah tidak dilakukannya sendiri sebab di sana juga ada Muchtar Lubis, Arief Budiman, Goenawan Mohamad, Taufiq Ismail dan kemudian Sapardi Djoko Damono, Sutardji Calzoum Bachri dan Hamsad Rangkuti. Pada kurun waktu itu, peran tunggal Horison sebenarnya juga tidak sehat bagi perkembangan sastra Indonesia.
* * *
Banyak kalangan yang tidak puas hingga cenderung mengirimkan tulisan-tulisan mereka ke lembar budaya koran atau menerbitkannya dalam bentuk buku. Memang pada waktu itu ada majalah Basis di Yogyakarta yang juga memuat puisi, tetapi kewibawaan Basis dianggap masih di bawah Horison. Terutama setelah jabatan redaktur puisinya ditinggalkan oleh Sapardi Djoko Damono. Dewasa ini, selain Horison juga ada jurnal Kalam yang kewibawaannya dianggap setara dengan Horison. Para sastrawan sendiri pun kini sadar bahwa kesastrawanan seseorang tidak perlu harus tergantung pada seorang redaktur media massa. Romo Mangun bisa menjadi sastrawan cukup dengan menerbitkan karya-karyanya dalam bentuk buku. Sementara para sastrawan besar pun sekarang tidak lagi fanatik dengan Horison dan mau menyiarkan karyanya di koran-koran.
Dari sisi ini, ketiadaan figur tunggal sebagai pengesah seseorang untuk menjadi sastrawan jelas sangat positif. Mungkin kasus Linus Suryadi AG bisa menjadi contoh. Penyair prosa lirik Pengakuan Pariyem ini mula-mula diasah oleh Umbu Landu Paranggi “presiden” penyair Malioboro, sekitar akhir tahun ’60-an dan awal ’70-an Ketika itu HB Jassin sudah mulai kurang menulis kritik karena tengah sibuk menghadapi kasus cerpen Langit Makin Mendung dan juga mulai tertarik untuk menerjemahkan Al Qur’an. Kemudian pada akhir tahun ’70-an dan awal ’80-an. Linus menulis Pengakuan Pariyem. Ketika itu yang “mengorbitkannya” Umar Kayam serta Bakdi Soemanto. Dua-duanya dari UGM. Tetapi dalam waktu bersamaan Faruk juga dari UGM, membuat ulasan kritis terhadap karya Linus ini. Juga JB Kristanto yang waktu itu redaktur budaya Harian Kompas. Ada keberagaman pendapat dan itu sangat positif.
Agak berbeda dengan kondisi tahun ’50-an dan awal ’60-an ketika HB Jassin demikian berwibawanya hingga seseorang baru sah dianggap sebagai sastrawan apabila sudah dibicarakannya, atau karya-karyanya dimuat di majalah yang diasuhnya: Panji Pustaka (1942-1945), Panca Raya (1945-1947), Zenith (1951-1954), Kisah (1953-1956), Seni (1955), Bahasa dan Budaya (1952-1963) dan Sastra (1961-1964 dan 1967-1969). Ketika tahun 1973-1979 Ajip Rosidi menjadi Ketua Dewan Kesenian Jakarta, Direktur penerbit Pustaka Jaya dan juga Ketua IKAPI Pusat, “kekuasaan” HB Jassin seakan-akan mendapat tandingan. Ketika itu Ajip dan kawan-kawan juga menerbitkan majalah Budaja Djaja (1968-1979) dan Bunga Rampai Laut Biru Langit Biru (1977). Sayang, kekuatan “tandingan” ini kemudian begitu saja ditinggalkan oleh Ajip.
* * *
PADA pertengahan tahun ’90-an silam, ramai dibicarakan ihwal “revitalisasi sastra pedalaman”. Pada kurun waktu itu memang bermunculan komunitas-komunitas sastra di luar Jakarta. Jurnal serta penerbitan sastra juga marak di berbagai kota. Komunitas-komunitas itu dengan sangat bersemangat berusaha menaklukkan dominasi pusat (Jakarta). Sesuatu yang sebenarnya sia-sia. Sebab pengertian pusat dan daerah atau pinggiran atau pedalaman sebenarnya sangat kabur. Cerpenis muda papan atas dewasa ini, misalnya Gus tf Sakai, Agus Noor, Indra Tranggono, Joni Ariadinata, untuk menyebut beberapa nama, mereka tidak tinggal di Jakarta. Memang mereka mempublikasikan karya-karya mereka terutama melalui media massa Jakarta, tetapi itu justru sebuah keunggulan.
Dengan demikian terciptalah kantung-kantung sastra yang mampu mengembangkan komunitas mereka sendiri secara sehat, tanpa campur tangan kritikus yang berwibawa. Mereka mendapatkan pengakuan sebagai sastrawan bukan karena karya mereka diulas oleh kritikus, tetapi lantaran rajin menulis, rajin mempublikasikan karyanya dan dibaca masyarakat. Di sini, ulasan atau komentar dari sang kritikus menjadi tak terlalu penting Mendambakan ulasan atau kritik, termasuk meminta pengantar dari sastrawan senior bagi buku yang mau terbit, adalah ciri sastrawan yang kurang pe-de.
Menaklukkan pusat (Jakarta), tidak perlu dengan cara marah atau merengek-rengek. Setelah era Balai Pustaka dan Pustaka Jaya berlalu, penerbitan buku sastra yang produktif juga datang dari daerah. Misalnya Bentang di Yogyakarta dan Tera di Magelang. Ini menandakan bahwa Jakarta memang bukan segala-galanya. Tetapi klaim bahwa sastra Riau adalah bagian (setara dengan) sastra dunia dan bukan bagian dari sastra Indonesia, terkesan hanyalah sebagai main-main, atau kesombongan yang luar biasa. Raja Ali Hadji memang sastrawan kelas dunia, tetapi dia menulis dalam bahasa Melayu Riau yang sekarang hanyalah bahasa daerah. Meskipun bahasa Indonesia (juga bahasa Malaysia) berasal dari bahasa Melayu, tetapi Melayu Riau bukan bahasa Indonesia atau Malaysia.
Samalah halnya dengan bahasa Latin bukan bahasa Italia. Bahasa Sansekerta lain dengan bahasa Hindi. Jasadipoera I dan II serta Ranggawarsita adalah sastrawan kelas dunia. Tetapi Pramudya, Rendra, Goenawan Mohamad menjadi sastrawan kelas dunia bukan karena mereka Jawa sebab mereka menulis dalam bahasa Indonesia.
Sutardji menjadi sastrawan kelas dunia bukan karena dia Riau, tetapi karena dia penyair Indonesia yang baik. Bahwa sastrawan Indonesia yang berkelas dunia itu mengadopsi kekuatan sastra daerah, itu sah-sah saja, tetapi klaim itu bukannya dibalik.
Sastra Jawa adalah sastra dunia, karenanya Pram, Rendra dan Goenawan lalu berkelas dunia pula. Kenyataannya, sastrawan Jawa yang kuat dewasa ini, semuanya menulis dalam bahasa Indonesia, dan hampir semuanya tinggal di Jakarta, “pusat” Republik Indonesia. Saya setuju bahwa “pusat” sastra bukan identik dengan Jakarta tetapi dengan figur sastrawan kuat. Mengapa di Padang dan sekitarnya (Jambi, Pekanbaru) banyak lahir cerpenis kuat? Karena di Padang bermukim AA Navis. Kehadiran seorang Navis, bagaimanapun mendatangkan “aura” di sekitarnya. Aura itu bisa saja berakibat ke pemujaan atau konflik yang lalu menjadi pemicu persaingan dalam bentuk kreatifitas. Minimal produktivitas. Kelahiran banyak cerpenis kuat di Yogya, antara lain juga disebabkan di sana ada Umar Kayam dan Kuntowijoyo. Jakarta, pada akhirnya akan lebih menjadi penyedia fasilitas, sarana dan prasarana. Dan apabila nantinya di daerah pun tersedia fasilitas yang sama, maka Jakarta menjadi bukan apa-apa lagi. Lebih-lebih kalau semakin banyak figur-figur sastrawan kuat yang bersedia untuk “mudik” danmeninggalkan Ibu Kota.
Peran tunggal Jakarta, yang merupakan “warisan” dari peran tunggal HB Jassin, mestinya memang menjadi tidak berlaku lagi. Figur-figur kuat dengan kantung-kantung sastralah yang akan menjadi penentu arah perjalanan sastra di Indonesia. Figur-figur sastrawan kuat yang saya sebutkan di atas, bisa tidak pernah menulis kritik untuk mengesahkan kehadiran seorang sastrawan baru. Tetapi mereka “menguasai” institusi. Goenawan Mohamad misalnya, adalah Pemred Tempo dalam kurun waktu yang cukup lama. Sekarang ini, setelah lengser dari Tempo dia “menguasai” Komunitas Utan Kayu, dengan jurnal Kalamnya. Sutardji dan Taufiq Ismail “memerintah” Horison. Sementara Sapardi Djoko Damono dan Faruk adalah figur yang disegani di UI serta UGM.
Pusat-pusat sastra itu juga berupa lembar budaya di koran-koran, yang biasanya juga diasuh oleh seorang sastrawan. Di sinilah sebenarnya pengesahan seseorang sebagai sastrawan terjadi. Figur-figur yang menguasai institusi itulah yang secara tidak langsung berperan membangun opini publik terhadap kesastrawanan seseorang. Dengan demikian “demokratisasi” sastra itu terjadi. Linus Suryadi yang pernah disahkan oleh Umar Kayam dan Bakdi Soemanto, telah ditanggapi dengan sikap kritis oleh Faruk dan JB Kristanto. Sutardji yang di awal tahun ’70-an mengejutkan publik sastra Indonesia pernah dicap sebagai bukan penyair oleh Sutan Takdir Alisyahbana. Kantung-kantung sastra dengan figur kuat di dalamnya itulah yang akan ikut menentukan apakah seseorang itu merupakan sastrawan “sejati” atau hanya sastrawan kelas Dewan Kesenian Jakarta, kelas Teater Utan Kayu, kelas Horison kelas Kompas, kelas Fakultas Sastra UGM dan sekadar menjadi “medioker”. Sastrawan sejati pasti mendapatkan pengakuan dari semua institusi dengan figur-figur di dalamnya tadi Itulah yang saya sebutkan sastra kita justru lebih sehat sepeninggal HB Jassin.
* * *
KRITIK sastra, baik kritik apresiatif maupun analitik, sebenarnya lebih ditujukan untuk keperluan para pembaca sastra. Kritik analitik sekaligus juga bermanfaat bagi perkembangan ilmu sastra. Kalau sang sastrawan masih hidup dan dapat memanfaatkan kritik yang ditujukan pada karyanya, maka itu hanyalah merupakan sebuah efek samping saja. Sayang sekali bahwa kritik-kritik yang lahir sekarang ini, nadanya masih sama dengan kritik model HB Jassin. Pengertian kritik apresiatif lebih banyak diterjemahkan sebagai sekadar jembatan yang berusaha menuntun para pembaca sastra.
Kritik-kritik tajam yang pernah lahir dari tangan Subagio Sastrowardojo tidak pernah ada yang tertarik untuk serius melanjutkannya. Tampaknya budaya sungkan yang menjadi trend selama Orde Baru juga merasuki kalangan sastrawan. Kritik apresiasi lalu menjadi kritik basa-basi. Isinya sekadar puja-puji. Atau, apabila kritik itu ditujukan ke figur yang tidak disukainya, maka yang lahir adalah caci-maki. Puja-puji atau caci-maki jelas tidak akan bermanfaat bagi publik sastra. Ketika Subagio Sastrowardojo menulis tentang pengaruh penyair Spanyol Federico Garcia Lorca terhadap balada-balada Rendra, maka terciptalah sebuah kritik yang imbang. Tidak terkesan caci-maki maupun puja-puji.
Ketidakberanian kritikus untuk melontarkan kritik tajam, sebagian juga disebabkan oleh sikap para sastrawan besar yang cenderung “antik kritik”. Kecenderungan ini menurun ke sastrawan yang lebih muda dan seterusnya. Dugaan saya kecederungan demikian merupakan “warisan” dari kritik apresiatif HB Jassin yang selama kurun waktu 30 tahun mendominasi dunia sastra Indonesia. Kritik-kritik Jassin memang cenderung “lunak”. Padahal dalam dunia modern, kritik juga berfungsi mendidik agar pembaca juga mampu bersikap kritis terhadap bacaannya. Sama halnya dengan kritikus restoran dan kritikus film. Sehebat-hebatnya sebuah film, tidak pernah bisa memboyong seluruh katagori penghargaan yang disediakan. Hingga selain memuji, kritikus mestinya juga mengecam kelemahan-kelemahan yang ada.
Termasuk salah satu kelemahan para kritikus kita sekarang ini adalah kebiasaan mereka yang baru mau menulis apabila ada pesanan. Entah pesanan dari redaktur koran/majalah, dari penerbit buku, dari panitia seminar atau lokakarya dan lain-lain. HB Jassin melakukan pendokumentasian sastra Indonesia dan menulis kritik tanpa ada seorang pun yang memesannya dan memberinya honor. Inilah kelebihan Jassin.
Meskipun banyak kalangan yang melecehkan kritik Korie Layun Rampan dan menganggapnya hanya sebagai ulasan dangkal, tetapi Korie terus rajin menulis tanpa peduli ada atau tidak ada yang memesannya. Lagi pula, kritik-kritik Korie tetap punya manfaat bagi keperluan apresiasi sastra kepada khalayak yang lebih umum. Sementara kritik-kritik yang ditulis Umar Junus, Faruk dan Sapardi Djoko Damono lebih ditujukan kepada para peminat sastra yang lebih serius. Mungkin memang benar sinyalemen bahwa sastra Indonesia mengalami kekosongan kritik sepeninggal Jassin. Kalau pengertian kritik masih mengacu ke ulasan terhadap karya seseorang. Tetapi, fungsi kritikus tidak hanya itu. Dengan menjadi redaktur budaya koran, menjadi pengasuh rubrik cerpen dan puisi, menjadi anggota Komite Sastra Dewan Kesenian, seseorang sudah bisa berperan ikut menentukan arah perkembangan sastra Indonesia. Dan sastrawan yang baik akan terus menulis dan menyiarkan hasil karyanya, tanpa peduli ada atau tidak ada yang mengulas dan mengritiknya. * * *
F. Rahardi, Penyair, Wartawan
Sumber: http://frahardi.wordpress.com/2010/10/20/kritik-sastra-pasca-hb-jassin/
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Label
`Atiqurrahman
A Muttaqin
A Rodhi Murtadho
A. Iwan Kapit
A. Purwantara
A. Qorib Hidayatullah
A. Zakky Zulhazmi
A.H.J Khuzaini
A.S. Laksana
Aang Fatihul Islam
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi WM
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Lathief
Abdul Malik
Abdul Wachid B.S.
Abdurrahman El Husaini
Abidah El Khalieqy
Abu Salman
Acep Zamzam Noor
Achdiat K. Mihardja
Adek Alwi
Adi Suhara
Adnyana Ole
Adreas Anggit W.
Afrion
Afrizal Malna
Aguk Irawan MN
Agung Dwi Ertato
Agus B. Harianto
Agus Buchori
Agus Himawan
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus Sulton
Agusri Junaidi
Agustinus Wahyono
Ahda Imran
Ahmad Badrus Sholihin
Ahmad Fanani Mosah
Ahmad Fatoni
Ahmad Ikhwan Susilo
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Musabbih
Ahmad Rofiq
Ahmad Sahidah
Ahmad Tohari
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Muhaimin Azzet
Akhmad Sekhu
Alex R. Nainggolan
Alex Suban
Alunk Estohank
Ami Herman
Amien Kamil
Amien Wangsitalaja
Aminudin R Wangsitalaja
Anastasya Andriarti
Andreas Maryoto
Anes Prabu Sadjarwo
Angela
Angga Wijaya
Angkie Yudistia
Anindita S Thayf
Anis Ceha
Anjrah Lelono Broto
Anton Kurnia
Anton Kurniawan
Anton Wahyudi
Anugrah Gio Pratama
Anwar Nuris
Aprinus Salam
Arie MP Tamba
Arif B. Prasetyo
Arif Bagus Prasetyo
Arif Hidayat
Arman A.Z.
Arti Bumi Intaran
Arys Hilman
AS Sumbawi
Asarpin
Asef Umar Fakhruddin
Asep Sambodja
Asrama Mahasiswa Aceh SABENA
Astrikusuma
Asvi Warman Adam
Atep Kurnia
Awalludin GD Mualif
Aziz Abdul Gofar
Azizah Hefni
Badrut Tamam Gaffas
Bagja Hidayat
Bagus Takwin
Balada
Bale Aksara
Baltasar Koi
Bambang Agung
Bambang Kempling
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Bayu Insani
Beni Setia
Benny Arnas
Benny Benke
Berita
Berita Duka
Berita Utama
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Blambangan
Brunel University London
BSW Adjikoesoemo
Budaya
Budhi Setyawan
Budi Darma
Budi Saputra
Budi Suwarna
Bung Tomo
Cak Kandar
Catatan
Cerpen
Chairil Anwar
Chavchay Syaifullah
Cucuk Espe
Cunong N. Suraja
D. Zawawi Imron
Dadang Ari Murtono
Daisuke Miyoshi
Damanhuri
Damhuri Muhammad
Damiri Mahmud
Danarto
Daniel Dhakidae
Dante Alighieri
Deddy Arsya
Dedy Tri Riyadi
Denny Mizhar
Deny Tri Aryanti
Detti Febrina
Dharmadi
Diah Hadaning
Dian Hartati
Dian Sukarno
Diana A.V. Sasa
Dicky Fadiar Djuhud
Didi Arsandi
Dimas
Dina Oktaviani
Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan
Djadjat Sudradjat
Djoko Saryono
Doddi Ahmad Fauji
Doddy Hidayatullah
Donny Anggoro
Dony P. Herwanto
Dorothea Rosa Herliany
Dr. Muhammad Zafar Iqbal
Dr. Simuh
Dwi Arjanto
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwicipta
Dwijo Maksum
Edy A. Effendi
Edy Firmansyah
Efri Ritonga
Egidius Patnistik
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Eko Hendri Saiful
Elik
Elsya Crownia
Emha Ainun Nadjib
Endah Sulawesi
Endah Wahyuningsih
Endang Suryadinata
Endhiq Anang P
Endri Y
Eriyandi Budiman
Ernest Hemingway
Esai
Esha Tegar Putra
Eva Dwi Kurniawan
Evi Dana Setia Ningrum
Evi Idawati
Evieta Fadjar
F Rahardi
Fabiola D. Kurnia
Fadelan
Fahrudin Nasrulloh
Faidil Akbar
Faisal Kamandobat
Faisal Syahreza
Faizal Syahreza
Fajar Alayubi
Fandy Hutari
Fany Chotimah
Fatah Yasin Noor
Fathor Lt
Fathurrahman Karyadi
Fatih Kudus Jaelani
Fatma Dwi Rachmawati
Fauzi Absal
Festival Sastra Gresik
Fikri. MS
Fina Sato
Fitri Susila
Galih Pandu Adi
Gde Agung Lontar
Geger Riyanto
Gerakan Literasi
Gerakan Surah Buku (GSB)
Gerson Poyk
Ginanjar Rahadian
Gita Pratama
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gunawan Budi Susanto
Gunoto Saparie
Gus Martin
Gus tf Sakai
Gusti Eka
Hadi Napster
Haji Misbach
Halim HD
Halimi Zuhdy
Hamberan Syahbana
Hamdy Salad
Han Gagas
Handoko F. Zainsam
Hari Santoso
Haris del Hakim
Hartono Harimurti
Hary B. Kori’un
Hasan Gauk
Hasan Junus
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Hasta Indriyana
Helwatin Najwa
Hepi Andi Bastoni
Heri C Santoso
Heri KLM
Heri Latief
Heri Listianto
Hermien Y. Kleden
Hernadi Tanzil
Heru Emka
Heru Kurniawan
Heru Prasetya
Hesti Sartika
Hudan Hidayat
Humaidiy AS
I Made Asdhiana
I Made Prabaswara
I Nyoman Suaka
IBM. Dharma Palguna
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
Ida Ahdiah
Idayati
Ignas Kleden
Ihsan Taufik
Ilenk Rembulan
Ilham Khoiri
Ilham Yusardi
Imam Cahyono
Imam Jahrudin Priyanto
Imam Muhtarom
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Rosyid
Imron Tohari
Indah Darmastuti
Indiar Manggara
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Indrian Koto
Irma Safitri
Irman Syah
Iskandar Noe
Istiqomatul Hayati
Ita Siregar
Iwan Kurniawan
Iwan Nurdaya-Djafar
Iyut FItra
Jadid Al Farisy
Jafar M. Sidik
Jakob Sumardjo
Jamal D Rahman
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jayaning S.A
Jefri al Malay
Jihan Fauziah
JJ. Kusni
Jo Pakagula
Johan Edy Raharjo
Joko Pinurbo
Jokowi Undercover
Joni Ariadinata
Joss Wibisono
Jual Buku Paket Hemat
Judyane Koz
Juli Sastrawan
Junaidi Abdul Munif
Jusuf AN
Juwairiyah Mawardy
Kadir Ruslan
Kasnadi
Katrin Bandel
Kedung Darma Romansha
Khairul Mufid Jr
Khamami Zada
Khrisna Pabichara
Kikin Kuswandi
Koh Young Hun
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias
Komunitas Sastra Ilalang Indonesia (KSII)
Korrie Layun Rampan
Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan)
Kristianto Batuadji
Kritik Sastra
Kunni Masrohanti
Kunthi Hastorini
Kuntowijoyo
Kurie Suditomo
Kurnia EF
Kurniawan
Kuswaidi Syafi'ie
Kuswinarto
Lan Fang
Landung Rusyanto Simatupang
Latief S. Nugraha
Leila S. Chudori
Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M)
Liestyo Ambarwati Khohar
Linda Sarmili
Liston P. Siregar
Liza Wahyuninto
LN Idayanie
Lucia Idayani
Lukman Asya
Lusiana Indriasari
Lynglieastrid Isabellita
M Hari Atmoko
M. Aan Mansyur
M. Arman A.Z
M. Bagus Pribadi
M. Fadjroel Rachman
M. Harya Ramdhoni Julizarsyah
M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S
M. Luthfi Aziz
M. Nahdiansyah Abdi
M. Raudah Jambak
M. Shoim Anwar
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Maghfur Saan
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Majalah Sastra Horison
Maklumat Sastra Profetik
Malkan Junaidi
Maman S. Mahayana
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maria Serenade Sinurat
Mario F. Lawi
Marluwi
Marsel Robot
Martin Aleida
Martin Suryajaya
Mashuri
Matdon
Mega Vristian
Melani Budianta
Melayu Riau
Memoar
MG. Sungatno
Mh Zaelani Tammaka
Miftah Fadhli
Miftahul Abrori
Misbahus Surur
Miziansyah J
Mochtar Lubis
Mohamad Ali Hisyam
Mohammad Eri Irawan
MT Arifin
Mugy Riskiana Halalia
Muhajir Arrosyid
Muhamad Rifai
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Al-Mubassyir
Muhammad Qodari
Muhammad Rain
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun A.S
Muhidin M. Dahlan
Muhlis Al-Firmany
Mujtahid
Mulyadi SA
Munawir Aziz
Murniati Tanjung
Murnierida Pram
Musa Ismail
Musfi Efrizal
Mustaan
Mustafa Ismail
N. Mursidi
Nafsul Latifah
Naskah Teater
Nasrullah Nara
Nelson Alwi
Nenden Lilis A
Nh. Anfalah
Ni Made Purnama Sari
Nina Mussolini-Hansson
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Noura
Nova Christina
Noval Jubbek
Novela Nian
Nugroho Notosusanto
Nugroho Pandhu Sukmono
Nur Faizah
Nurdin F. Joes
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nurul Komariyah
Nuryana Asmaudi SA
Nyoman Tusthi Eddy
Nyoman Wirata
Oka Rusmini
Oktamandjaya Wiguna
Oky Sanjaya
Olanama
Olivia Kristina Sinaga
Otto Sukatno CR
Pagelaran Musim Tandur
Pamusuk Eneste
Patricia Pawestri
PDS H.B. Jassin
PDS. H.B. Jassin
Penghargaan Hadiah Sastra Pusat Bahasa
Persda Network
Pipiet Senja
Pramoedya Ananta Toer
Pramono
Pranita Dewi
Pringadi AS
Prita Daneswari
Prof. Tamim Pardede sebut Bambang Tri
Prosa
Pudyo Saptono
Puisi
Puisi Kesunyian
Puisi Sufi
Puji Santosa
PUstaka puJAngga
Putu Fajar Arcana
Putu Wijaya
Qaris Tajudin
R. Sugiarti
Rachmad Djoko Pradopo
Radhar Panca Dahana
Ragdi F. Daye
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Ramadhan Batubara
Ramadhan KH
Ratih Kumala
Ratna Indraswari Ibrahim
Ratna Sarumpaet
Raudal Tanjung Banua
Remy Sylado
Reni Susanti
Renny Meita Widjajanti
Resensi
Restu Kurniawan
Retno Sulistyowati
RF. Dhonna
Rian Sindu
Ribut Wijoto
Ridwan Munawwar
Riki Utomi
Riris K. Toha-Sarumpaet
Risang Anom Pujayanto
Riza Multazam Luthfy
Robin Al Kautsar
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rohman Abdullah
Rosidi
Rosihan Anwar
Rukardi
S Yoga
S. Jai
S. Sinansari Ecip
S.I. Poeradisastra
S.W. Teofani
Sabam Siagian
Sabrank Suparno
Saiful Anam Assyaibani
Sainul Hermawan
Sajak
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Samsudin Adlawi
Sanggar Rumah Ilalang
Sanggar Teater Jerit
Sapardi Djoko Damono
Sartika Dian
Sartika Dian Nuraini
Sastra Tanah Air
Sastra Using
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sayyid Fahmi Alathas
Sazano
Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo
Seli Desmiarti
Selo Soemardjan
Senggrutu Singomenggolo
Seno Joko Suyono
SH Mintardja
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sipri Senda
Sitok Srengenge
Siwi Dwi Saputro
Sjifa Amori
Sobih Adnan
Sofian Dwi
Sofie Dewayani
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sri Ruwanti
Sri Wintala Achmad
St Sularto
Stefanus P. Elu
Sukron Abdilah
Sulaiman Djaya
Suminto A. Sayuti
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sungging Raga
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Suryansyah
Suryanto Sastroatmodjo
Susanto
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Suyadi
Suyadi San
Syaifuddin Gani
Syaiful Amin
Syamsiar Hidayah
Syarbaini
Syifa Amori
Syifa Aulia
Tajuddin Noor Ganie
Taufik Abdullah
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
TE. Priyono
Teguh Afandi
Teguh Ranusastra Asmara
Teguh Winarsho AS
Tengsoe Tjahjono
Theresia Purbandini
Tita Tjindarbumi
Titik Alva-Alvi Choiriyah
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Tjoet Nyak Dhien
Tosa Poetra
Tri Lestari Sustiyana
Triyanto Triwikromo
TS Pinang
Tu-ngang Iskandar
Tulus S
Tulus Wijanarko
Udo Z. Karzi
Ugoran Prasad
Umar Fauzi Ballah
Umar Kayam
Umbu Landu Paranggi
Universitas Indonesia
Universitas Jember
Utada Kamaru
UU Hamidy
Vera Ernawati
Veronika Ninik
W.S. Rendra
Wahjudi Djaja
Wahyu Hidayat
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Budiartha
Widya Karima
Wijaya Herlambang
Wiji Thukul
Willem B Berybe
Wilson Nadeak
Winarni R.
Wiratmo Soekito
Wita Lestari
Wiwik Widayaningtias
Y. Thendra BP
Y. Wibowo
Yasser Arafat
Yeni Ratnaningsih
Yohanes Sehandi
Yonatan Raharjo
Yonathan Rahardjo
Yopi Setia Umbara
Yos Rizal S
Yos Rizal Suriaji
Yudhi Herwibowo
Yuka Fainka Putra
Yurnaldi
Yushifull Ilmy
Yusri Fajar
Yusuf Suharto
Zainal Abidin
Zainal Arifin Thoha
Zawawi Se
Zen Hae
Tidak ada komentar:
Posting Komentar