Minggu, 16 Januari 2011

Nae

Miftah Fadhli
http://www.surabayapost.co.id/

Gerimis itu akhirnya datang juga. Gemilat kilat memancar di langit hitam. Sesaat, pandanganku terpaku pada sosok bayangan yang berkelebat di seberang sana. Menjadi tidak jelas karena interval gerimis yang rapat.

Perlahan ia membuka kaosnya. Kaos putih yang kulihat paling terang sore tadi. Aku bisa melihat gerak meliuk rambutnya yang sengaja dikibas-kibas. Tubuhnya pecah-pecah sebab kaca jendela keruh akibat gerimis yang telah berubah jadi hujan deras. Aku terkesiap ketika tiba-tiba gadis itu membuka jendela kamarnya. Aku langsung tunduk, menutup jendela dan bersembunyi di balik tirai. Kuintip sesekali wajahnya yang berkeredapan dihantam kemilat guntur. Wajahnya menjadi tidak jelas karena rintik hujan menempias di permukaan jendelaku.

Sesaat setelah ia menutup kembali jendelanya, aku melongok keluar. Menyibakkan tirai jendela yang langsung dihempaskan angin ketika kubuka daun jendela. Kutelusuri alur tubuh hitamnya yang terpotong hingga pinggang. Sungguh menawan. Sesekali ia sisir-sisir rambut panjangnya dengan jemari lentiknya. Aku bisa melihat ia sedang menggigit ikat rambut saat memelintir rambutnya. Secara perlahan, ia ikat rambutnya.

Aku kesal ketika ia menghindar dari jendela kamarnya. Ia pasti menuju pintu kamarnya–seperti malam-malam sebelumnya–dan mematikan lampu kamarnya dengan sekejap.

Ah. Nae.

Rasanya malam ini begitu cepat kau mempertunjukkan bayang-bayang tubuhmu itu. Kau tak sadar? Aku harap begitu. Seperti malam-malam sebelumnya. Kembali kudengar lenguh seksimu tepat pukul dua belas malam. Kulongokkan kepala ke jendela, tak ada gerak di kamarmu. Jendela hitam itu tetap hitam. Tak berkelebat membentuk bayang tubuh lelaki seperti yang kuharapkan. Seperti malam-malam sebelumnya. Akhirnya lenguhmu itu berakhir tepat pukul setengah dua.

***

“Kau sudah ketemu tetangga baru kita?” kata ibu ketika meletakkan sepiring nasi goreng dihadapanku.

Aku mengangguk lemas. Ingin kukatakan bahwa gadis itu membuat tidurku tidak nyenyak akhir-akhir ini. Tapi urung kulakukan karena sebelum sempat kukatakan, ibu menyuruhku mampir ke rumahnya. Aku terkejut.

“Untuk apa?” aku berhenti mengunyah. Separuh nasi goreng belum turun ke kerongkonganku. Rasa liat dan lendir bercampur pedasnya masih terkulum di geronggang mulutku. Ibu tak segera menjawab. Ia menyendok nasi goreng ke piringnya–untuk ketiga kalinya–dan menyuapkannya sesendok ke mulutnya. Ibu tersenyum memandangiku. Namun tak langsung menjawab.

Tubuh ibu yang berisi karena banyak makan justru membuatku semakin prihatin. Meski terlihat makmur dengan makan makanan enak setiap hari, aku tahu bahwa kepedihan itu masih bersarang di dadanya. Napasnya sering tersengal-sengal. Aku sering memperingatkannya agar mengecek kesehatannya ke dokter. Tapi ibu selalu menyangkal. Setiap kali kuperhatikan senyum tersungging di bibirnya, aku lekas tahu bahwa senyum itu sekedar untuk menutup-nutupi kesedihan yang telah sekian lama meremas kehidupannya. Ibu malah tertawa. “Kau selalu saja bersembunyi dari perempuan, Ardi.” Kata ibu tiba-tiba.

Sisa nasi goreng yang masih berada di mulutku langsung kutelan. Rasanya menjijikkan. Air liurnya membuat nasi goreng itu seperti bubur.

“Maksud ibu?” tanyaku heran.

“Kemarin ibu sudah mengunjunginya. Anaknya cantik, ramah, dan periang,” tutur ibu. “Apalagi yang kau tunggu. Jodoh sudah di depan mata.” Sambungnya kemudian.

Aku lekas tahu arah pembicaraan ibu. Selama ini ia yang selalu menggenjotku agar cepat menikah. Ia cemas karena status lajang ternyata masih mengurungku di umur dua puluh sembilan. Karenanya ibu sering mengajak anak temannya ke rumah hanya untuk diperkenalkan kepadaku. Seingatku sudah lima gadis yang dibawanya ke rumah. Tapi sampai saat ini aku belum juga memutuskan.

Di umur yang semakin ranum ini sebenarnya, sudah sepantasnya kuakhiri masa lajangku. Aku sadar kehadiranku akan semakin memberatkan ibu. Akan tetapi memilih untuk segera menikah, berarti memilih untuk meninggalkan ibu. Itu artinya ibu bakal kesepian lagi. Sebab menurut adat seorang lelaki harus tinggal di lain tempat (yang jauh-kalau perlu di luar kota) setelah ia menikah. Ah. Bagaimana seharusnya aku memilih? Keduanya sama-sama berakhir tidak membahagiakan. Penderitaannya sudah cukup berat. Jahat jika aku harus menambah penderitaan lagi kepadanya.

Aku memilih tidak menjawab dan menyelesaikan makananku. Kulihat jam, masih pukul tujuh lewat. Kukatakan pada ibu aku harus berangkat kerja. Kugamit dan kucium punggung tangannya yang berbau kesedihan itu. Setelah itu kucium keningnya untuk pada akhirnya kutinggalkan ia sendirian selama berjam-jam (mungkin sampai malam).

Entah kenapa di sepanjang jalan lesat bayang gadis itu bolak-balik muncul di kepalaku. Tawanya yang membahagiakan sekaligus tubuh sintalnya yang menggairahkan–yang kuketahui dari melihat bayang tubuhnya di jendela dan kuintip ketika ia, selalu menyiram bunga setiap sore– seperti berhasil mempengaruhiku hingga tanpa sadar angkutan umum yang kutumpangi sudah melewati kantorku. Kalau bukan karena suara klakson dramtruk yang menderu mungkin lesat-bayang gadis itu tak akan buyar sehingga aku hanya akan duduk diam di dalam angkot yang terus berputar-putar di rute yang sama.

Kuputuskan untuk turun di halte yang tak jauh dari kantorku.

“Pinggir, Bang.” Kataku menyuruh berhenti supir angkot yang sedari tadi mendengarkan pemutar musik dari headset-nya.

Mungkin karena suaraku yang terlampau besar atau bisa jadi ia yang kaget mendengar ceracau suara aneh di antara suara lagunya, ia menginjak pedal rem tiba-tiba. Saat itu aku duduk di depan, di samping supir itu. Tubuhku terdorong ke depan hingga wajahku hampir menempel di kaca. Beberapa penumpang menjerit karena angkot yang tiba-tiba berhenti. Setelah membayar kupalingkan wajah ke bangku halte. Kulihat sosok gadis berambut panjang yang sibuk mengotak-atik handphone-nya. Wajahnya tidak kelihatan karena rambut hitamnya yang menutupi. Secara selintas gadis itu tidak berbeda dengan beberapa gadis yang duduk di sampingnya. Tapi ketika kuperhatikan baik-baik tubuh sintalnya, juga gerak rambut yang mengibas-ngibas, aku segera tahu bahwa dia adalah gadis itu. Gadis yang belum lama pindah di sebelah rumah. Iapun seperti mengenalku karena begitu melihatku ia langsung berdiri dan tersenyum ke arahku.

Dengan yakin kudekati dia dan kujabat tangannya. Halus. Betapa lembut desir permukaan telapak tangannya. Jauh lebih halus dari kapas–setidaknya itu yang kurasakan. Rekah senyumnya membuatku urung untuk cepat-cepat masuk kantor.

“Mas Ardi, ya?” tanyanya pelan.

Aku mengangguk penuh senyum. Selama ini aku hanya bisa membayangkan wajah gadis itu lewat imaji yang terbentuk dari siluet bayang tubuhnya di jendela dan kini aku melihatnya secara langsung. Ia sangat cantik. Lesung pipitnya menambah kekagumanku pada wajahnya. Ahh…

“Mau ke mana?” tanyaku basa-basi.

“Mau ke tempat kerja, mas.” Jawabnya penuh senyum.

“Kenapa menunggu di sini? Kan bisa langsung naik di depan rumah.” Tambahku seakan ingin menahannya lebih lama.

“Iya. Tadi pas di angkot saya baru sadar kalau dompetnya ketinggalan. Untung ada beberapa lembar uang di kantong. Jadi saya turun di sini sambil nunggu mama mengantar dompetnya.” Jelasnya. Aku mengangguk. Sesaat lamanya aku terdiam. Sejenak kulihat kilatan bening di matanya. Dan sekilas kulihat kilatan merah jambu di mataku yang tercermin di matanya. Ibu, kau benar.

***

Setelah pertemuan itu aku jadi sering mengunjungi rumahnya. Dia tinggal berdua dengan mamanya. Sama sepertiku. Kukatakan padanya bahwa aku bekerja di perusahaan distributor sebagai akuntan.

“Wah, gajinya besar dong mas?”

“Ah, tidak. Cuma perusahaan kecil.”

Ia mengangguk. Rambutnya yang ringan mudah ditepis angin membuat detail-detail bilur rambutnya terekam olehku. Membuatku betah berlama-lama di sini. Tercium bau mawar di seluruh ruang tamunya. Juga bau parfum laki-laki yang sesekali menyambar hidungku.

Diceritakannya bahwa ia dan mamanya telah berkali-kali pindah rumah. Itu dikarenakan ia dan mamanya mencoba menghindar dari laki-laki–ayah tirinya–yang sering kali menyantroni rumahnya. Diceritakannya dengan nada yang amat memilukan, ketika laki-laki itu selalu memukuli mamanya. Bahkan ia jujur di punggungnya terdapat beberapa bekas luka akibat pukulan laki-laki itu.

Sesaat aku sadar bahwa kehidupan kami tak jauh berbeda. Sama-sama memiliki ayah berengsek. Sama-sama mempunyai ibu yang yang hidup dalam kepedihan tiada habis. Aku ingin sekali merangkulnya. Namun tiba-tiba ibunya muncul dari pintu kamar dan langsung duduk, bergabung bersama aku dan gadis itu.

“Nae belum punya pacar lho Mas Ardi.” Terang mamanya Nae.

Aku tersentak. Wanita ini begitu blak-blakan. Ia jarang tersenyum seperti anaknya, namun selalu menyembunyikan mulutnya jika tertawa lepas. Wajahnya tidak kelihatan seperti ibu-ibu kebanyakan. Kuning langsat, tidak banyak keriput, dan untuk ukuran wanita yang habis didera kepahitan seperti dirinya, ia cukup cantik. Tidak seperti ibuku yang wajahnya semakin hari semakin berjerawat. Wanita ini sungguh bersih. Kelihatan lebih muda dari umur sebenarnya. Aku hampir tidak percaya.

“Mama?” Nae salah tingkah. Rona pipinya berubah warna.

Aku hanya bisa mengangguk dan tersenyum. Begitu gugup melihat dua perempuan cantik sedang berhadapan denganku.

Bahkan ketika sampai di kamar, wajah keduanya tak begitu saja lepas dari ingatan. Malah keduanya semakin lekat membayang dalam mataku. Lesat-bayangnya membuatku terjaga hingga malam.

Selepas maghrib tadi, kukatakan pada ibu bahwa aku mulai tertarik padanya. Aku berkeinginan membina hubungan lebih lanjut dengannya. Kukatakan padanya bahwa ia punya daya tarik yang luar biasa. Ia sepertinya menyimpan magnit dalam setiap tubuhnya. Dan aku adalah seonggok besi yang tak bisa berbuat banyak ketika magnit itu mulai menarik.

Kulihat tatapan ibu kepadaku begitu tajam. Matanya berkilat-kilat. Kuhentikan menceritakan pesona gadis itu kepadanya. Wajahnya serius. Lamat-lamat kusaksikan otot-otot wajahnya mengeras, seperti akan membeku. Dingin ketika kusentuh keningnya. Sebelum sempat aku bertanya, ibu langsung melibasku dengan tatapan ngeri sekaligus ucapan getir yang keluar dari mulutnya.

“Tidak. Jangan kau dekati lagi gadis itu, Ardi!”

Ibu langsung nyerocos pergi tanpa memberiku penjelasan. Aku tak habis pikir, kenapa tiba-tiba ibu melarangku berhubungan dengan gadis itu? Padahal sejak awal ia yang menyuruhku untuk mendekatinya. Kenapa tiba-tiba ibu bisa berubah begitu cepat?

***

Tak ada yang bisa kulakukan selain menuruti perintah ibu. Tapi aku sadar bahwa aku sudah dewasa, bukan anak kecil yang mesti dibatas-batasi seperti itu. Jadi, tak semua perintah ibu kulakukan.

Jika tak bisa bertemu, aku bisa menghubunginya lewat handphone. Setiap malam aku selalu menelepon atau mengiriminya pesan singkat. Bahkan kuberitahu sikap ibu kepadanya lewat pesan singkat yang kukirim. Ia tak segera membalas. Kulihat siluet bayang tubuhnya terpaku di jendela kamarnya. Saat inipun mungkin ia sedang menyaksikan siluet tubuhku sedang mematung di depan jendela kamarku.

Tiba-tiba saja ibu masuk ke kamarku. Langsung kusibak tirai jendela agar ia tak melihatku bersitatap dengan Nae lewat siluet-siluet jendela. Ibu terlihat lelah malam ini. Wajahnya agak pucat. Bibirnya sesekali bergeletar. Malam ini tubuhnya agak kurusan.

Lantas ia duduk di tepi ranjangku.

“Maafkan ibu, Ardi. Bukannya….”

“Tidak apa-apa, ibu. Aku tahu kepedihan ibu masih belum hilang. Aku tahu.” Selaku sambil merapikan rambutnya yang acak-acakan. Air bening kelihatan meleleh di sudut matanya.

“Ibu sudah tahu….” Ujarnya setelah menahan deru tangis yang hampir keluar.

“Tahu apa, bu?” tanyaku penasaran.

“Gadis itu…. Ia tidak cocok untukmu.” Katanya lambat.

Aku diam. Kata-katanya seperti mengiris-iris. Ada sedikit sesal yang tiba-tiba muncul dalam diriku. Mungkin juga sedikit marah.

“Kenapa? Bukannya ibu yang menyuruhku mendekatinya?”

Ibu justru menangis. Tumpah segala airmata yang coba ia tahan dari tadi. Ia berdiri. Mencoba membendung tangisnya. Ditabah-tabahkannya wajahnya yang keriput.

“Jangan kau dekati gadis itu, dia bukan perempuan baik-baik.” Katanya, sembari merapikan tirai jendela.

Darahku berkesiap. Tak bisa kupercaya ibu mengatakan itu kepadaku. Selama ini ia tak pernah berburuk sangka kepada orang lain. Tapi kenapa ia bisa begitu yakin dengan ucapannya barusan?

Aku marah. Nae begitu cantik, begitu lembut parasnya, juga hatinya. Mana mungkin ia bukan perempuan baik-baik. Berhari-hari aku tak bercakapan dengan ibu. Dan selama berhari-hari itu juga aku mencari bukti. Tentu ibu bukan tanpa alasan mengatakan demikian, benakku.

Selama beberapa malam aku sulit tidur karena suara bagai tertahan yang berasal dari kamar Nae. Aku melongok ke jendela, namun tak ada apapun. Lampu kamarnya dimatikan dan tak ada bayang apapun yang kulihat di sana. Suara itu selalu kudengar tepat pukul dua belas dan selalu berakhir pukul setengah dua, atau dua pagi. Hanya lenguh. Lenguh wanita yang menggebu-gebu.

Keesokan paginya kutanyakan kepada Nae, namun Nae mengaku tak tahu mengenai suara itu. Malamnya aku sengaja menunggu sampai pukul dua belas untuk membuktikan suara itu ada atau tidak. Selama itu tak kudengar suara mencurigakan apapun. Tak kudengar suara deru kendaraan melintas. Hanya derit jangkrik yang tiba-tiba berhenti karena gerimis yang turun tiba-tiba.

Dinginnya malam membuatku tanpa sadar telah terlelap. Kemudian terbangun tepat pukul dua belas ketika suara tertahan itu terdengar. Suaranya agak terdengar samar-samar karena hujan yang begitu deras. Namun aku bisa mendengar betapa suara itu seperti gairah yang meletup-letup. Lenguhan seorang wanita. Aku merinding mendengarnya. Bulu kudukku berdiri tatkala satu suara lagi muncul di antara lenguh menggairahkan itu. Lenguh yang seksi itu.

Hujan bertambah deras. Butiran-butiran air menempias permukaan jendela kamarku. Tak lagi kudengarkan suara lenguh itu. Kulongok jam yang menunjuk angka setengah dua pagi.

Dalam pedih yang terlanjur basah, kututup telingaku ketika mendengar suara tawa seorang perempuan dan laki-laki dari kamar Nae. Tawa yang begitu menggairahkan, namun juga menusuk-nusuk. Aku terlanjur bersalah. Ibu, kau benar!

Tumpatan, 2010.

*) Lahir di Lubukpakam, 29 Februari 1992. Ketertarikannya menulis dimulai sejak SD dengan menulis banyak puisi. Cerpen pertamanya dimuat di koran Waspada Medan yang merupakan cerpen pop. Lelaki berkacamata ini juga pernah menjuarai beberapa lomba kepenulisan seperti Juara III Lomba Menulis Puisi Buletin Asy Syifa UNIMED Medan 2007 dan Juara III Lomba Menulis Esai Remaja DPRD SUMUT 2008. Lelaki yang mengagumi karya-karya Triyanto Triwikromo dan Agus Noor itu, saat ini sedang menempuh pendidikan S1 di Fakultas Hukum Universitas Indonesia dan aktif di Teater Sastra IU.
Email: miff.fadh@yahoo.com Facebook : mifadh_lye29@yahoo.co.id

Tidak ada komentar:

Label

`Atiqurrahman A Muttaqin A Rodhi Murtadho A. Iwan Kapit A. Purwantara A. Qorib Hidayatullah A. Zakky Zulhazmi A.H.J Khuzaini A.S. Laksana Aang Fatihul Islam Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi WM Abdul Kadir Ibrahim Abdul Lathief Abdul Malik Abdul Wachid B.S. Abdurrahman El Husaini Abidah El Khalieqy Abu Salman Acep Zamzam Noor Achdiat K. Mihardja Adek Alwi Adi Suhara Adnyana Ole Adreas Anggit W. Afrion Afrizal Malna Aguk Irawan MN Agung Dwi Ertato Agus B. Harianto Agus Buchori Agus Himawan Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sulton Agusri Junaidi Agustinus Wahyono Ahda Imran Ahmad Badrus Sholihin Ahmad Fanani Mosah Ahmad Fatoni Ahmad Ikhwan Susilo Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musabbih Ahmad Rofiq Ahmad Sahidah Ahmad Tohari Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sekhu Alex R. Nainggolan Alex Suban Alunk Estohank Ami Herman Amien Kamil Amien Wangsitalaja Aminudin R Wangsitalaja Anastasya Andriarti Andreas Maryoto Anes Prabu Sadjarwo Angela Angga Wijaya Angkie Yudistia Anindita S Thayf Anis Ceha Anjrah Lelono Broto Anton Kurnia Anton Kurniawan Anton Wahyudi Anugrah Gio Pratama Anwar Nuris Aprinus Salam Arie MP Tamba Arif B. Prasetyo Arif Bagus Prasetyo Arif Hidayat Arman A.Z. Arti Bumi Intaran Arys Hilman AS Sumbawi Asarpin Asef Umar Fakhruddin Asep Sambodja Asrama Mahasiswa Aceh SABENA Astrikusuma Asvi Warman Adam Atep Kurnia Awalludin GD Mualif Aziz Abdul Gofar Azizah Hefni Badrut Tamam Gaffas Bagja Hidayat Bagus Takwin Balada Bale Aksara Baltasar Koi Bambang Agung Bambang Kempling Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Bayu Insani Beni Setia Benny Arnas Benny Benke Berita Berita Duka Berita Utama Bernando J. Sujibto Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Blambangan Brunel University London BSW Adjikoesoemo Budaya Budhi Setyawan Budi Darma Budi Saputra Budi Suwarna Bung Tomo Cak Kandar Catatan Cerpen Chairil Anwar Chavchay Syaifullah Cucuk Espe Cunong N. Suraja D. Zawawi Imron Dadang Ari Murtono Daisuke Miyoshi Damanhuri Damhuri Muhammad Damiri Mahmud Danarto Daniel Dhakidae Dante Alighieri Deddy Arsya Dedy Tri Riyadi Denny Mizhar Deny Tri Aryanti Detti Febrina Dharmadi Diah Hadaning Dian Hartati Dian Sukarno Diana A.V. Sasa Dicky Fadiar Djuhud Didi Arsandi Dimas Dina Oktaviani Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Djadjat Sudradjat Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Doddy Hidayatullah Donny Anggoro Dony P. Herwanto Dorothea Rosa Herliany Dr. Muhammad Zafar Iqbal Dr. Simuh Dwi Arjanto Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwicipta Dwijo Maksum Edy A. Effendi Edy Firmansyah Efri Ritonga Egidius Patnistik Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Hendri Saiful Elik Elsya Crownia Emha Ainun Nadjib Endah Sulawesi Endah Wahyuningsih Endang Suryadinata Endhiq Anang P Endri Y Eriyandi Budiman Ernest Hemingway Esai Esha Tegar Putra Eva Dwi Kurniawan Evi Dana Setia Ningrum Evi Idawati Evieta Fadjar F Rahardi Fabiola D. Kurnia Fadelan Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Faisal Kamandobat Faisal Syahreza Faizal Syahreza Fajar Alayubi Fandy Hutari Fany Chotimah Fatah Yasin Noor Fathor Lt Fathurrahman Karyadi Fatih Kudus Jaelani Fatma Dwi Rachmawati Fauzi Absal Festival Sastra Gresik Fikri. MS Fina Sato Fitri Susila Galih Pandu Adi Gde Agung Lontar Geger Riyanto Gerakan Literasi Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Ginanjar Rahadian Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gunoto Saparie Gus Martin Gus tf Sakai Gusti Eka Hadi Napster Haji Misbach Halim HD Halimi Zuhdy Hamberan Syahbana Hamdy Salad Han Gagas Handoko F. Zainsam Hari Santoso Haris del Hakim Hartono Harimurti Hary B. Kori’un Hasan Gauk Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Helwatin Najwa Hepi Andi Bastoni Heri C Santoso Heri KLM Heri Latief Heri Listianto Hermien Y. Kleden Hernadi Tanzil Heru Emka Heru Kurniawan Heru Prasetya Hesti Sartika Hudan Hidayat Humaidiy AS I Made Asdhiana I Made Prabaswara I Nyoman Suaka IBM. Dharma Palguna Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Ida Ahdiah Idayati Ignas Kleden Ihsan Taufik Ilenk Rembulan Ilham Khoiri Ilham Yusardi Imam Cahyono Imam Jahrudin Priyanto Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indah Darmastuti Indiar Manggara Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indrian Koto Irma Safitri Irman Syah Iskandar Noe Istiqomatul Hayati Ita Siregar Iwan Kurniawan Iwan Nurdaya-Djafar Iyut FItra Jadid Al Farisy Jafar M. Sidik Jakob Sumardjo Jamal D Rahman Janual Aidi Javed Paul Syatha Jayaning S.A Jefri al Malay Jihan Fauziah JJ. Kusni Jo Pakagula Johan Edy Raharjo Joko Pinurbo Jokowi Undercover Joni Ariadinata Joss Wibisono Jual Buku Paket Hemat Judyane Koz Juli Sastrawan Junaidi Abdul Munif Jusuf AN Juwairiyah Mawardy Kadir Ruslan Kasnadi Katrin Bandel Kedung Darma Romansha Khairul Mufid Jr Khamami Zada Khrisna Pabichara Kikin Kuswandi Koh Young Hun Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Komunitas Sastra Ilalang Indonesia (KSII) Korrie Layun Rampan Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan) Kristianto Batuadji Kritik Sastra Kunni Masrohanti Kunthi Hastorini Kuntowijoyo Kurie Suditomo Kurnia EF Kurniawan Kuswaidi Syafi'ie Kuswinarto Lan Fang Landung Rusyanto Simatupang Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Liestyo Ambarwati Khohar Linda Sarmili Liston P. Siregar Liza Wahyuninto LN Idayanie Lucia Idayani Lukman Asya Lusiana Indriasari Lynglieastrid Isabellita M Hari Atmoko M. Aan Mansyur M. Arman A.Z M. Bagus Pribadi M. Fadjroel Rachman M. Harya Ramdhoni Julizarsyah M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S M. Luthfi Aziz M. Nahdiansyah Abdi M. Raudah Jambak M. Shoim Anwar M. Yoesoef M.D. Atmaja Maghfur Saan Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Majalah Sastra Horison Maklumat Sastra Profetik Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Serenade Sinurat Mario F. Lawi Marluwi Marsel Robot Martin Aleida Martin Suryajaya Mashuri Matdon Mega Vristian Melani Budianta Melayu Riau Memoar MG. Sungatno Mh Zaelani Tammaka Miftah Fadhli Miftahul Abrori Misbahus Surur Miziansyah J Mochtar Lubis Mohamad Ali Hisyam Mohammad Eri Irawan MT Arifin Mugy Riskiana Halalia Muhajir Arrosyid Muhamad Rifai Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Al-Mubassyir Muhammad Qodari Muhammad Rain Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun A.S Muhidin M. Dahlan Muhlis Al-Firmany Mujtahid Mulyadi SA Munawir Aziz Murniati Tanjung Murnierida Pram Musa Ismail Musfi Efrizal Mustaan Mustafa Ismail N. Mursidi Nafsul Latifah Naskah Teater Nasrullah Nara Nelson Alwi Nenden Lilis A Nh. Anfalah Ni Made Purnama Sari Nina Mussolini-Hansson Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Noura Nova Christina Noval Jubbek Novela Nian Nugroho Notosusanto Nugroho Pandhu Sukmono Nur Faizah Nurdin F. Joes Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nurul Komariyah Nuryana Asmaudi SA Nyoman Tusthi Eddy Nyoman Wirata Oka Rusmini Oktamandjaya Wiguna Oky Sanjaya Olanama Olivia Kristina Sinaga Otto Sukatno CR Pagelaran Musim Tandur Pamusuk Eneste Patricia Pawestri PDS H.B. Jassin PDS. H.B. Jassin Penghargaan Hadiah Sastra Pusat Bahasa Persda Network Pipiet Senja Pramoedya Ananta Toer Pramono Pranita Dewi Pringadi AS Prita Daneswari Prof. Tamim Pardede sebut Bambang Tri Prosa Pudyo Saptono Puisi Puisi Kesunyian Puisi Sufi Puji Santosa PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Wijaya Qaris Tajudin R. Sugiarti Rachmad Djoko Pradopo Radhar Panca Dahana Ragdi F. Daye Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Ramadhan Batubara Ramadhan KH Ratih Kumala Ratna Indraswari Ibrahim Ratna Sarumpaet Raudal Tanjung Banua Remy Sylado Reni Susanti Renny Meita Widjajanti Resensi Restu Kurniawan Retno Sulistyowati RF. Dhonna Rian Sindu Ribut Wijoto Ridwan Munawwar Riki Utomi Riris K. Toha-Sarumpaet Risang Anom Pujayanto Riza Multazam Luthfy Robin Al Kautsar Rodli TL Rofiqi Hasan Rohman Abdullah Rosidi Rosihan Anwar Rukardi S Yoga S. Jai S. Sinansari Ecip S.I. Poeradisastra S.W. Teofani Sabam Siagian Sabrank Suparno Saiful Anam Assyaibani Sainul Hermawan Sajak Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sanggar Rumah Ilalang Sanggar Teater Jerit Sapardi Djoko Damono Sartika Dian Sartika Dian Nuraini Sastra Tanah Air Sastra Using Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sayyid Fahmi Alathas Sazano Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo Seli Desmiarti Selo Soemardjan Senggrutu Singomenggolo Seno Joko Suyono SH Mintardja Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sipri Senda Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Sobih Adnan Sofian Dwi Sofie Dewayani Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sri Ruwanti Sri Wintala Achmad St Sularto Stefanus P. Elu Sukron Abdilah Sulaiman Djaya Suminto A. Sayuti Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sungging Raga Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Suryansyah Suryanto Sastroatmodjo Susanto Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suyadi Suyadi San Syaifuddin Gani Syaiful Amin Syamsiar Hidayah Syarbaini Syifa Amori Syifa Aulia Tajuddin Noor Ganie Taufik Abdullah Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat TE. Priyono Teguh Afandi Teguh Ranusastra Asmara Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Theresia Purbandini Tita Tjindarbumi Titik Alva-Alvi Choiriyah Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tjoet Nyak Dhien Tosa Poetra Tri Lestari Sustiyana Triyanto Triwikromo TS Pinang Tu-ngang Iskandar Tulus S Tulus Wijanarko Udo Z. Karzi Ugoran Prasad Umar Fauzi Ballah Umar Kayam Umbu Landu Paranggi Universitas Indonesia Universitas Jember Utada Kamaru UU Hamidy Vera Ernawati Veronika Ninik W.S. Rendra Wahjudi Djaja Wahyu Hidayat Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Budiartha Widya Karima Wijaya Herlambang Wiji Thukul Willem B Berybe Wilson Nadeak Winarni R. Wiratmo Soekito Wita Lestari Wiwik Widayaningtias Y. Thendra BP Y. Wibowo Yasser Arafat Yeni Ratnaningsih Yohanes Sehandi Yonatan Raharjo Yonathan Rahardjo Yopi Setia Umbara Yos Rizal S Yos Rizal Suriaji Yudhi Herwibowo Yuka Fainka Putra Yurnaldi Yushifull Ilmy Yusri Fajar Yusuf Suharto Zainal Abidin Zainal Arifin Thoha Zawawi Se Zen Hae