Senin, 03 Januari 2011

NAMA SAYA BUKAN OREZ

S. Yoga
Jawa Pos, 11 Juli 1999

Nama saya bukan Orez, kepala saya tidak besar, kasar dan benjol-benjol. Tangan dan kaki juga tidak sebesar milik Orez. Tubuh saya normal, tidak kerdil, pokoknya wujud tubuh saya normal saja. Bahkan wajah saya cukup tampan. Otak saya juga tidak idiot kayak Orez. Suara saya juga tidak sehebat dan sekeras suara Orez yang seperti gemuruh gempa bumi itu.

“Pokoknya saya bukan Orez.”
Tapi kenapa orang-orang memanggil saya dengan mana Orez. Sungguh keterlaluan.

Memang, mulanya hanya kawan-kawan masa kecil saja yang memanggil saya dengan sebutan Orez. Kata teman-teman karena saya nakal luar biasa, pernah mengencingi Sita saat bermain di selokan, menusuk ban mobil tetangga, menimpuk kakek yang lewat, dan mengembat dompet purnawirawan sehabis mengambil pensiun. Tapi itu kenakalan yang lumrah, kenakalan anak kecil. Saat itulah teman saya sering memanggil saya dengan nama Orez. Saya sendiri tidak tahu apa maksudnya dan apa maknya nama itu. Ketika saya tanyakan kenapa mereka memanggil nama saya dengan Orez, mereka pun tidak tahu apa maksudnya. Katanya, pokoknya kamu pantas menyadang nama itu. “Orez! Orez! Sayangku! Sini Orez, jangan ngembat domet ayah ya, jangan menimpuk rumah lagi ya, jangan mengores-ngoresi mobil ayah dengan tahi kuda ya, ya Orez malang berotak kosong.”

Begitu kawan-kawan bila meledek. Dengan serta merta mereka saya kejar. Bila ada yang tertangkap langsung saya hajar hingga babak belur, setengah jam kemudian pasti orang tuanya memiting telinga saya, menjewernya hingga berdarah-darah. Tapi kelakuan orang tua mereka justru tidak menyurutkan nyaliku untuk membenci keluarga itu. Maka malamnya kutebar jarum, paku di pelataran rumahnya, Saya tahu, ayahnya sebentar lagi pulang dari luar kota. Ketika mobil masuk, tak terasa apa-apa, esoknya, sekeluarga akan uring-uringan, mau melabrak saya tak ada saksi, mereka hanya marah-marah, teriak-teriak, menghujat namaku. Saya tersenyum sinis di bawah pohon jambu bol, sambil membetulkan ketapel untuk membidik burung kakaktua kesayangan keluarga itu, nanti siang bila sudah sepi.

Sejak kecil memang saya sudah dilatih berburu. Hingga dewasa berburulah hobi saya. Hutan-hutan mana yang belum saya jelajahi, tak ada lagi, semua pernah saya jelajahi, sayalah pemburu ulung. Namun banyak orang yang menyangsikan keulungan saya sebagai pemburu. Padahal petualangan saya sudah banyak saksi mata melihat dengan mata kepala dan mengikuti setiap perburuan. Tapi orang-orang tetap tidak percaya pada kisah-kisah petualangan saya. Sungguh membuat saya masygul, sedih dan terlunta. Tak kurang lusian kisah perburuan telah saya terbitkan. Itu pun tidak mereka percaya. Mereka bilang kisah itu penuh manipulasi, “bohong besar, tak ada danau di hutan ini. Orez jelas embual besar, pandai menipu sejarah, bahaya ia bila jadi penguasa.”

Jelas itu sebuah sindiran yang keras terhadap saya, dan hal itu tidak bisa dibiarkan begitu saja. Karena saya benar-benar bukan seorang pembual apalagi penipu sejarah, kisah petualngan berburu sesuai benar dengan peristiwa yang ada. Memang di sana-sini ada kisah-kisah lucu, ya sekedar berolok-olok, dan memang ada sedikit kisah yang berbohong, tapi ini kan supaya ceritanya dramatik, pembaca tertarik dan tidak bosan. Hal ini sudah lumrah dilakukan oleh penulis-penuli kita. Tapi mereka tetap saja tidak percaya dan terus menuduh saya hanyalah seorang penipu. Apalagi dengan menyebut-nyebut nama Orez. Dan nama itu bukan nama saya. Penghinaan besar!

Saya tak terima atas tuduhan ngawur itu. Saya bukan Orez. Kisah perburuan saya tidak fiktif. Saking marahnya. Seluruh staf perusahaan dan cabang-cabangnya saya kumpulkan. Briefing. Siapa yang berani memangil nama saya dengan sebutan Orez harus didenda atau dikeluarkan, dan jelas itu merupakan tindakan provokasi dan dengan tujuan mengina dina diri saya. Juga siapa yang tak percaya kisah-kisah saya yang telah susah-susah saya tulis juga harus dikeluarkan dari perusahaan. Dan mulai saat ini mereka wajib membaca buku-buku yang telah saya tulis, keputusan-keputusan dalam perusahaan juga harus merujuk ke dalam buku saya yang berkaitan dengan hal tersebut. “Siapa membangkang ke luar dari perusahaan.” Semua tidak ada yang bicara. Mereka tunduk. Meski pikiran mereka sulit diterka.

Tapi selalu saja ada yang lolos dari awasan saya. Pernah saya pergoki, beberapa karyawan membicarakan nama saya dengan menyebut nama Orez. Dan menghubung-hubungkan dengan tokoh-tokoh raksasa. Mereka bilang sudah sepatutnya saya dipanggil Orez, “wataknya sudah jelas merusak.” Saya tidak terima, saya sidang mereka berlima, yang sebelumnya, muka mereka sudah tidak karuan rupanya terkena jotosan tangan kiri kanan. Mereka sangat menjengkelkan, ketika saya tanya kenapa mereka menyebut saya dengan Orez? Dan bagimana asal usul dongen Orez? Mereka bungkam. “Ah, dasar pemberontak.” Sebagai imbalan ketidak hormatan mereka pada orang yang seharusnya mereka hormati. Sebelum saya pecat mereka saya jajar semalaman di atas kursi yang belakangnya saya aliri setrum listrik otomatis yang menyengat setiap dua menit. Esok paginya mereka harus berjemur seharian di tengah terik matahari tanpa busana. Setelah itu saya lepaskan. Saya pulangkan tanpa pesagon. Dan setelah kejadian itu tak ada yang berani macam-macam. Entah kenapa. Mungkin takut, tidak berani melapor. Karena yang sudah-sudah, yang berani menghinaku, selalu ditemukan tewas tertembak. Sedangkan siapa yang membunuh saya benar-benar tidak tahu.

Namun semuanya itu sebenarnya belum memuaskan diriku. Saya belum merasa lega bila belum tahu apa artinya sebenarnya nama Orez. Hingga kini tak seorang pun yang tahu dan mau menceritakan padaku. Sudah berpuluh-puluh buku saya baca, bahkan beratus-ratus tak kutemu juga nama Orez. Ensiklopedi juga tak memuat. Apalagi kamus.

Sementara permasalahan penelusuran nama Orez mulai terlupa. Muncul masalah baru. Isteriku yang kelima mau minta cerai. Ini jelas keberanian yang luar biasa. Selama ini tak ada yang merasa resah apalagi minta cerai. Semua kebutuhan telah tercukupi. Permasalahan ranjang pun, mereka selalu merasa puas. Siapa yang du balik semua itu, pikirku. Dari tempat beruru di luar pulau. Saya langsung ke rumah Ida. Saya ketuk pintu dengan ujung senapan. Ida membuka pintu. Saya berdiri tegar dengan senapan masih mengarah ke depan. Tak disangka Ida segera menubruk kaki saya, bersimpuh, meminta maaf atas ucapannya, niatannya. Segera saya angkat dia. Saya lentangkan di atas meja. Kami bersetubuh sehari penuh, seperti binatang yang lagi birahi. Dalam keadaan begini memang kami binatang.

Anak-anak juga seperti ayahnya. Mereka sungguh hobi berburu. Sudah berapa banyak binatang-binatang mati, terkena bidikannya. Beberapa banyak gadis-gadis yang juga kena jeratannya. “Dasar anak-anak mewarisi jiwa ayahnya.” Tapi mereka tak pernah pulang ke rumah. Mereka lebih banyak menghabiskan waktunya untuk berburu. Berburu apa saja yang mereka sukai. Tak tanggung-tanggung, selain di pulau-pulau negeri ini, mereka juga berburu-buruannya di negeri-negeri lain. Mereka punya gerombolan-gerombolannya sendiri yang begitu taat pada pemimpinnya. Dan pemimpinnya, ya anak-anak saya.

Nyatanya1 Semua itu belum membahagiakan hati saya. Satu-satunya ketersinggungan saya pada siapa pun adalah sebutan nama Orez. Di belakang keberhasilan anak-anak saya, selalu diembel-embeli, “oh anaknya Orez.” Begitu pulan sebutan isteri-isteri saya, “oh isterinya Orez.” Karenanya, saya mangkel luar biasa. Siapa yang berabi menyebut-nyebut nama saya. Akan saya balas penghinaan itu.

Maka karena saya terbiasa bekerja sendiri, kalau tidak terpaksa tidak akan meminta bantuan orang lain. Semua sumber yang menyebut saya Orez, saya telusuri. Dengan bekerja tak mengenal waktu dan karena insting berburu saya. Dalam tempo kurang sebulan semua ketemu. Semua saya kasih pelajaran dengan muka tak berbentuk, ada yang mulutnya robek, jidatnya miring, kepalanya peang, kupingnya hilang, hidungnya rontok matanya juling. Semua akhirnya jadi bungkam. Dan pihak keamanan tak bisa melacak siapa pelakunya. Karena kerja saya begitu rapi dan bersih dari jejak. “Jelas naluri pemburu.”

Sementara itu, laporan-laporan dari perusahaan-perusahaan menjadi merepotkan sekali di bulan ini. Saya diharapkan segera mewaspadai datangnya bahaya badai La Nina, yang bakal rutin mengunjungi kota kami. Setiap tahun di bulan ini. Tapi di tahun ini katanya badai ini merupakan siklus 100 tahunan yang terhebat. Dengan resiko seluruh kota akan porak-poranda sama dengan 100 tahun yang lalu. Dengan laporan ini, saya tidak menganggapnya sama sekali. “Ramalan sudah biasa hanya menakut-nakuti.” Tapi laporan yang benar-benar membuat saya murka. Aadalah laporan yang hanya sehelai selebaran. Yang katanya sudah disebarluaskan ke segenap pelosok kota. Isinya menghujat saya: “Orez,” begitu mereka menyebut di selebaran, dan perusahaan-perusahaan yang saya miliki, katanya mencemarkan seluruh kota. Menghadang aliran-aliran sungai yang akan mengakibatkan banjir besar. Dan perusahaan milik saya, katanya begitu sewenang-wenang terhadap pegawai dan buruh-birihnya. Mereka sepakat besok pagi akan mengadakan dmonstrasi besar-besaran menentang perusahaan-perusahaan saya.

Oleh semua itu, sebenarnya, yang membuat saya murka bukan masalah pencemaran dan segala hal yang berkaitan dengan perusahaan. Tapi sekali lagi, karena sebutan nama, ya mereka menyebut saya dengan. “Orez.” Oh suatu penghinaan massal yang sangat memukul saya. Mereka benar-benar ingin berontak pada diri saya. Mereka harus diberi pelajaran agar tak sewenang-wenang menyebut seenaknya nama orang. Baiklah kalau memang mereka menyebut saya dengan Orez. “Padahal saya bukan Orez.” Orez yang pernah saya dengar memang sebuah dongeng. Kata nenek saya dulu, Orez seorang anak yang bermuka buruk dan berwatak perusak. Idiot namun punya sedikit rasa manusiawi. “Tapi Orez yang ini.” Karena geram, kini saya mengukuhkan diri sebagai Orez dewasa. “ Tak lagi perlu perasaan manusiawi. Toh penduduk kota sudah tidak punya perasaan. Buktinya mereka menghalangi sepak terjang saya. Pantas dihuku,.”

Malam itu bersama pemburu sewaan, saya sibuk mengatur stretegi. Karena rupanya penduduk sudah mencium dan tak mau kompromi, apalagi petugas yang rupanya memihak mereka. Benar-benar ingin menghancurkan kehidupan saya. Mereka akan membakar saya hidup-hidup. Mereka memburu saya bagai genderuwo yang harus dilenyapkan karena membawa wabah, kesengsaraan. “Baiklah.” Setelah kami berhasil mengatur siasat untuk menghancurkan mereka. Rupanya kawan-kawan pemburu saya memang dikaruniai kecerdikan luar biasa. Saya menjadi tenang. “Esok pagi! Esok pagi!” pikirku. “Kalian akan terpanggang habis.”

Menjelang fajar. Kota dikagetkan oleh suara ledakan keras. Disusul hamburan nyapa api, yang dengan cepat membakar gedung-gedung tinggi, plaza-plaza, rumah-rumah penduduk. Angin semakin kencang, kilat terus menyambar-nyamar, geluduk bergelegaran di atas kota. Penduduk berteriak-teriak berhamburan keluar dari reruntuhan, melangkahi mayat-mayat. Hiruk pikuk, menyelamatkan diri. Seluruh kota tak berfungsi, jalan-jalan hancur, jembatan jebol. Hujan menderas, kilat berjilatan di angkasa, banjir tak bisa dibendung, dam-dam ambrol. Badai mengamuk. Orang-orang marah, mencaci-maki, menghujat nama Orez. “Orez-lah yang bertindak, dia yang berbuat. Dasar Orez bajingan! Orez! Orez! Keluarlah kau, kucincang tubuhmu!” Orang-orang berlarian hilir mudik sambil membawa parang, celurit, tombak. Sedang korban terus berjatuhan, tertimpa reruntuhan, terseret banjir, disamabar halilintar, diterjang angin badai.

Tiba-tiba selebaran berterabangan dari atap gedung yang disapu angin badai. Tertulis nama Orez. Nama saya. “Siapa yang tunduk sama Orez, silahkan bergabung dan tetap di kota. Siapa yang membangkang, silahkan tinggalkan kota atau para sniper akan menghancurkan batok kepala kalian.” Begitu pesan yang saya tulia.

“Tapi siapa itu Orez? Saya samar-samar mengingatnya. Saya hampir ingat. Di antara reruntuhan gedung ini, ingatan saya mulai normal. “Memang serangan itu sangat mendadak. Jadi bukan saya yang melakukan. Pasti ada pihak ketiga. Tangan lain yang ikut campur. Bukan scenario saya. Bahkan pemburu sewaan saya. Lihatlah. Bergelimpangan di anatara reruntuhan gedung ini. Dan beberapa orang yang selamat. Termasuk saya. Tapi muka-muka mereka hancur, tak karuan.

Ah! Bayangan di cermin yang pecah berantakan di tanah dekat kaki saya. Bayangan siapa. Wajahnya mengerikan. Kepalanya benjol-benjol, tangan dan kakinya, terlalu panjang dan besar! Oh Tuhan!! Ah! Suara saya kenapa begitu keras, keras sekali. “Rumah-rumah dan gedung-gedung yang belum rontok jadi berguguran, ambruk, suara saya seperti gempa. “Tapi percayalah, perusakan yang pertama bukan saya yang melakukan. Benar! Benar! Saya jadi menyesal berteriak, berbicara, maupun mendesah. Semua akan merubuhkan apa pun di sekitar saya. Saya lebih baik diam? “Siapa yang sebenarnya yang menghancurkan kota kami, gedung-gedung saya? Siapa? Badai itu? Banjir itu? Halilitar itu? Gelegar geluduk itu? Mungkin itu penyebabnya. Tapi siapa yang menggerakkan kekuatan sedahsyat itu? Menggugah perasaan saya?”

Sesudah ini saya kira tak ada cerita yang menarik. Sesudahnya hanya kisah-kisah yang monoton, membantu mereka-mereka yang miskin, menyumbang ke yayasan-yayasan social, dengan uang simpanan saya yang tak terhitung jumlahnya dan Anda tidak akan tahu di mana saya menyimpannya. Tapi ingat, bahwa nama saya bukan Orez!

***

*Orez adalah salah satu tokoh dalam cerpen Budi Darma

Tidak ada komentar:

Label

`Atiqurrahman A Muttaqin A Rodhi Murtadho A. Iwan Kapit A. Purwantara A. Qorib Hidayatullah A. Zakky Zulhazmi A.H.J Khuzaini A.S. Laksana Aang Fatihul Islam Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi WM Abdul Kadir Ibrahim Abdul Lathief Abdul Malik Abdul Wachid B.S. Abdurrahman El Husaini Abidah El Khalieqy Abu Salman Acep Zamzam Noor Achdiat K. Mihardja Adek Alwi Adi Suhara Adnyana Ole Adreas Anggit W. Afrion Afrizal Malna Aguk Irawan MN Agung Dwi Ertato Agus B. Harianto Agus Buchori Agus Himawan Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sulton Agusri Junaidi Agustinus Wahyono Ahda Imran Ahmad Badrus Sholihin Ahmad Fanani Mosah Ahmad Fatoni Ahmad Ikhwan Susilo Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musabbih Ahmad Rofiq Ahmad Sahidah Ahmad Tohari Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sekhu Alex R. Nainggolan Alex Suban Alunk Estohank Ami Herman Amien Kamil Amien Wangsitalaja Aminudin R Wangsitalaja Anastasya Andriarti Andreas Maryoto Anes Prabu Sadjarwo Angela Angga Wijaya Angkie Yudistia Anindita S Thayf Anis Ceha Anjrah Lelono Broto Anton Kurnia Anton Kurniawan Anton Wahyudi Anugrah Gio Pratama Anwar Nuris Aprinus Salam Arie MP Tamba Arif B. Prasetyo Arif Bagus Prasetyo Arif Hidayat Arman A.Z. Arti Bumi Intaran Arys Hilman AS Sumbawi Asarpin Asef Umar Fakhruddin Asep Sambodja Asrama Mahasiswa Aceh SABENA Astrikusuma Asvi Warman Adam Atep Kurnia Awalludin GD Mualif Aziz Abdul Gofar Azizah Hefni Badrut Tamam Gaffas Bagja Hidayat Bagus Takwin Balada Bale Aksara Baltasar Koi Bambang Agung Bambang Kempling Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Bayu Insani Beni Setia Benny Arnas Benny Benke Berita Berita Duka Berita Utama Bernando J. Sujibto Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Blambangan Brunel University London BSW Adjikoesoemo Budaya Budhi Setyawan Budi Darma Budi Saputra Budi Suwarna Bung Tomo Cak Kandar Catatan Cerpen Chairil Anwar Chavchay Syaifullah Cucuk Espe Cunong N. Suraja D. Zawawi Imron Dadang Ari Murtono Daisuke Miyoshi Damanhuri Damhuri Muhammad Damiri Mahmud Danarto Daniel Dhakidae Dante Alighieri Deddy Arsya Dedy Tri Riyadi Denny Mizhar Deny Tri Aryanti Detti Febrina Dharmadi Diah Hadaning Dian Hartati Dian Sukarno Diana A.V. Sasa Dicky Fadiar Djuhud Didi Arsandi Dimas Dina Oktaviani Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Djadjat Sudradjat Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Doddy Hidayatullah Donny Anggoro Dony P. Herwanto Dorothea Rosa Herliany Dr. Muhammad Zafar Iqbal Dr. Simuh Dwi Arjanto Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwicipta Dwijo Maksum Edy A. Effendi Edy Firmansyah Efri Ritonga Egidius Patnistik Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Hendri Saiful Elik Elsya Crownia Emha Ainun Nadjib Endah Sulawesi Endah Wahyuningsih Endang Suryadinata Endhiq Anang P Endri Y Eriyandi Budiman Ernest Hemingway Esai Esha Tegar Putra Eva Dwi Kurniawan Evi Dana Setia Ningrum Evi Idawati Evieta Fadjar F Rahardi Fabiola D. Kurnia Fadelan Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Faisal Kamandobat Faisal Syahreza Faizal Syahreza Fajar Alayubi Fandy Hutari Fany Chotimah Fatah Yasin Noor Fathor Lt Fathurrahman Karyadi Fatih Kudus Jaelani Fatma Dwi Rachmawati Fauzi Absal Festival Sastra Gresik Fikri. MS Fina Sato Fitri Susila Galih Pandu Adi Gde Agung Lontar Geger Riyanto Gerakan Literasi Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Ginanjar Rahadian Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gunoto Saparie Gus Martin Gus tf Sakai Gusti Eka Hadi Napster Haji Misbach Halim HD Halimi Zuhdy Hamberan Syahbana Hamdy Salad Han Gagas Handoko F. Zainsam Hari Santoso Haris del Hakim Hartono Harimurti Hary B. Kori’un Hasan Gauk Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Helwatin Najwa Hepi Andi Bastoni Heri C Santoso Heri KLM Heri Latief Heri Listianto Hermien Y. Kleden Hernadi Tanzil Heru Emka Heru Kurniawan Heru Prasetya Hesti Sartika Hudan Hidayat Humaidiy AS I Made Asdhiana I Made Prabaswara I Nyoman Suaka IBM. Dharma Palguna Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Ida Ahdiah Idayati Ignas Kleden Ihsan Taufik Ilenk Rembulan Ilham Khoiri Ilham Yusardi Imam Cahyono Imam Jahrudin Priyanto Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indah Darmastuti Indiar Manggara Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indrian Koto Irma Safitri Irman Syah Iskandar Noe Istiqomatul Hayati Ita Siregar Iwan Kurniawan Iwan Nurdaya-Djafar Iyut FItra Jadid Al Farisy Jafar M. Sidik Jakob Sumardjo Jamal D Rahman Janual Aidi Javed Paul Syatha Jayaning S.A Jefri al Malay Jihan Fauziah JJ. Kusni Jo Pakagula Johan Edy Raharjo Joko Pinurbo Jokowi Undercover Joni Ariadinata Joss Wibisono Jual Buku Paket Hemat Judyane Koz Juli Sastrawan Junaidi Abdul Munif Jusuf AN Juwairiyah Mawardy Kadir Ruslan Kasnadi Katrin Bandel Kedung Darma Romansha Khairul Mufid Jr Khamami Zada Khrisna Pabichara Kikin Kuswandi Koh Young Hun Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Komunitas Sastra Ilalang Indonesia (KSII) Korrie Layun Rampan Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan) Kristianto Batuadji Kritik Sastra Kunni Masrohanti Kunthi Hastorini Kuntowijoyo Kurie Suditomo Kurnia EF Kurniawan Kuswaidi Syafi'ie Kuswinarto Lan Fang Landung Rusyanto Simatupang Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Liestyo Ambarwati Khohar Linda Sarmili Liston P. Siregar Liza Wahyuninto LN Idayanie Lucia Idayani Lukman Asya Lusiana Indriasari Lynglieastrid Isabellita M Hari Atmoko M. Aan Mansyur M. Arman A.Z M. Bagus Pribadi M. Fadjroel Rachman M. Harya Ramdhoni Julizarsyah M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S M. Luthfi Aziz M. Nahdiansyah Abdi M. Raudah Jambak M. Shoim Anwar M. Yoesoef M.D. Atmaja Maghfur Saan Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Majalah Sastra Horison Maklumat Sastra Profetik Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Serenade Sinurat Mario F. Lawi Marluwi Marsel Robot Martin Aleida Martin Suryajaya Mashuri Matdon Mega Vristian Melani Budianta Melayu Riau Memoar MG. Sungatno Mh Zaelani Tammaka Miftah Fadhli Miftahul Abrori Misbahus Surur Miziansyah J Mochtar Lubis Mohamad Ali Hisyam Mohammad Eri Irawan MT Arifin Mugy Riskiana Halalia Muhajir Arrosyid Muhamad Rifai Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Al-Mubassyir Muhammad Qodari Muhammad Rain Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun A.S Muhidin M. Dahlan Muhlis Al-Firmany Mujtahid Mulyadi SA Munawir Aziz Murniati Tanjung Murnierida Pram Musa Ismail Musfi Efrizal Mustaan Mustafa Ismail N. Mursidi Nafsul Latifah Naskah Teater Nasrullah Nara Nelson Alwi Nenden Lilis A Nh. Anfalah Ni Made Purnama Sari Nina Mussolini-Hansson Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Noura Nova Christina Noval Jubbek Novela Nian Nugroho Notosusanto Nugroho Pandhu Sukmono Nur Faizah Nurdin F. Joes Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nurul Komariyah Nuryana Asmaudi SA Nyoman Tusthi Eddy Nyoman Wirata Oka Rusmini Oktamandjaya Wiguna Oky Sanjaya Olanama Olivia Kristina Sinaga Otto Sukatno CR Pagelaran Musim Tandur Pamusuk Eneste Patricia Pawestri PDS H.B. Jassin PDS. H.B. Jassin Penghargaan Hadiah Sastra Pusat Bahasa Persda Network Pipiet Senja Pramoedya Ananta Toer Pramono Pranita Dewi Pringadi AS Prita Daneswari Prof. Tamim Pardede sebut Bambang Tri Prosa Pudyo Saptono Puisi Puisi Kesunyian Puisi Sufi Puji Santosa PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Wijaya Qaris Tajudin R. Sugiarti Rachmad Djoko Pradopo Radhar Panca Dahana Ragdi F. Daye Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Ramadhan Batubara Ramadhan KH Ratih Kumala Ratna Indraswari Ibrahim Ratna Sarumpaet Raudal Tanjung Banua Remy Sylado Reni Susanti Renny Meita Widjajanti Resensi Restu Kurniawan Retno Sulistyowati RF. Dhonna Rian Sindu Ribut Wijoto Ridwan Munawwar Riki Utomi Riris K. Toha-Sarumpaet Risang Anom Pujayanto Riza Multazam Luthfy Robin Al Kautsar Rodli TL Rofiqi Hasan Rohman Abdullah Rosidi Rosihan Anwar Rukardi S Yoga S. Jai S. Sinansari Ecip S.I. Poeradisastra S.W. Teofani Sabam Siagian Sabrank Suparno Saiful Anam Assyaibani Sainul Hermawan Sajak Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sanggar Rumah Ilalang Sanggar Teater Jerit Sapardi Djoko Damono Sartika Dian Sartika Dian Nuraini Sastra Tanah Air Sastra Using Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sayyid Fahmi Alathas Sazano Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo Seli Desmiarti Selo Soemardjan Senggrutu Singomenggolo Seno Joko Suyono SH Mintardja Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sipri Senda Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Sobih Adnan Sofian Dwi Sofie Dewayani Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sri Ruwanti Sri Wintala Achmad St Sularto Stefanus P. Elu Sukron Abdilah Sulaiman Djaya Suminto A. Sayuti Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sungging Raga Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Suryansyah Suryanto Sastroatmodjo Susanto Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suyadi Suyadi San Syaifuddin Gani Syaiful Amin Syamsiar Hidayah Syarbaini Syifa Amori Syifa Aulia Tajuddin Noor Ganie Taufik Abdullah Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat TE. Priyono Teguh Afandi Teguh Ranusastra Asmara Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Theresia Purbandini Tita Tjindarbumi Titik Alva-Alvi Choiriyah Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tjoet Nyak Dhien Tosa Poetra Tri Lestari Sustiyana Triyanto Triwikromo TS Pinang Tu-ngang Iskandar Tulus S Tulus Wijanarko Udo Z. Karzi Ugoran Prasad Umar Fauzi Ballah Umar Kayam Umbu Landu Paranggi Universitas Indonesia Universitas Jember Utada Kamaru UU Hamidy Vera Ernawati Veronika Ninik W.S. Rendra Wahjudi Djaja Wahyu Hidayat Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Budiartha Widya Karima Wijaya Herlambang Wiji Thukul Willem B Berybe Wilson Nadeak Winarni R. Wiratmo Soekito Wita Lestari Wiwik Widayaningtias Y. Thendra BP Y. Wibowo Yasser Arafat Yeni Ratnaningsih Yohanes Sehandi Yonatan Raharjo Yonathan Rahardjo Yopi Setia Umbara Yos Rizal S Yos Rizal Suriaji Yudhi Herwibowo Yuka Fainka Putra Yurnaldi Yushifull Ilmy Yusri Fajar Yusuf Suharto Zainal Abidin Zainal Arifin Thoha Zawawi Se Zen Hae