Jumat, 04 Maret 2011

Jejak Penyair: Udo Z. Karzi

Pewawancara: Sazano
puitika.net, 18 Mei 2006

Udo Z. Karzi, lahir 12 Juni 1970 di Liwa, Lampung Barat. Menyelesaikan studi di Jurusan Ilmu Pemerintahan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Lampung (1996). Pernah menjadi Pemimpin Redaksi Surat Kabar Mahasiswa Teknokra (1993-1994), Pemimpin Umum Majalah Republica (1994-1996), dan Pembimbing Majalah Ijtihad (1995-1998). Banyak menimba pengalaman dari kelompok/kegiatan diskusi: Kelompok Studi Merah Putih, Forum Dialog Mahasiswa (Fordima), Forum for Information and Regional Development Studies (FIRDES), dan Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII).
Terjun ke dunia jurnalistik sebagai wartawan lepas harian umum Lampung Post, Bandar Lampung (1995-1996) dan reporter Majalah Berita Mingguan Sinar, Jakarta (1997-1998). Sempat mengajar Ekonomi-Akuntansi di SMAN dan MAN di kota kelahirannya (1998) sebelum menjadi Redaktur Surat Kabar Umum Sumatera Post, Bandar Lampung (1999-2000). Kini, jurnalis di Lampung Post, Ketua Penelitian dan Pengembangan Dewan Kesenian Lampung (Litbang DKL), bergiat di Sekolah Kebudayaan Lampung (SKL) dan Pusat Studi Agama dan Kebudayaan (Pusaka) Lampung. Dianggap membawa pembaruan dalam tradisi perpuisian (berbahasa) Lampung sebagaimana terlihat dalam buku kumpulan sajak dwibahasa Lampung-Indonesianya, Momentum (2002), dia disebut “Bapak Puisi Modern (Berbahasa) Lampung”. Sajak-sajak lainnya termuat dalam antologi bersama: Daun-Daun Jatuh, Tunas-Tunas Tumbuh (SKM Teknokra, 1995), Lampung Kenangan, Krakatau Award 2002 (Dewan Kesenian Lampung, 2002), Konser Ujung Pulau (Dewan Kesenian Lampung, 2003), dan Pertemuan Dua Arus (Jung Foundation, 2004). Cerpen-cerpennya dimuat dalam Sapardi Djoko Damono dkk. (Ed.) Graffiti Imaji (Yayasan Multimedia Sastra-Damar Warga, 2002). Penyunting dan kontributor: Etos Kita, Moralitas Kaum Intelektual (Gama Media-Teknokra, 2002). Buku lainnya: Mamak Kenut, Orang Lampung Punya Celoteh dan Mak Dawah Mak Dibingi, Tak Siang Tak Malam (dalam proses terbit).

Kru Puitika.net berkesempatan untuk mewawancarai Udo Z. Karzi melalui perbincangan via e-mail. Berikut perbincangannya.

Sejak kapan Anda mulai menulis puisi?

Saya menulis sejak 1987. Mulanya puisi, menyusul cerita anak-anak, artikel dan cerpen.

Darimana inspirasi menulis puisi itu datang?

Awalnya, inspirasi menulis puisi dari pengalaman — semacam pengalaman batin — sendiri yang kemudian berproses dalam diri dan melalui pengimajian menjelma sajak. Tapi, belakangan setelah kuliah, menulis puisi agak lebih sulit. Mungkin karena saya menulis hampir semua jenis tulisan. Selain sastra (puisi, cerpen, dan esai), sebagai jurnalis, saya juga menulis karya jurnalistik (berita, reportase, feature, opini, tajuk rencana, dan lain-lain). Ada kecenderungan saya menulis lebih menekankan pada gagasan/pemikiran dan itu cenderung berbentuk opini, artikel, atau esai kalau tidak berbentuk berita (menuliskan fakta, bukan fiksi). Padahal, bahasa puisi lain. Sehingga, boleh dibilang saya menulis puisi ketika saya merasa emosi saya tidak mungkin diwakili dengan bentuk karya tulis lain selain sajak. Jadi, saya tulis puisi. Inspirasi bisa datang dari mana saja, saya pikir. Bisa dari melihat langsung, mendengar cerita, atau membaca peristiwa. Tapi, Saya baru bisa menulis puisi ketika saya benar-benar merasa terlibat secara intens dalam suatu hal ihwal yang menjadi inspirasi, sehingga saya tergerak menuliskannya.

Buku-buku apa saja yang mempengaruhi karya Anda?

Susah saya menyebutkannya. Soalnya sejak bisa membaca, saya berusaha membaca semua bahan bacaan. Di masa-masa awal saya suka fiksi atau dongeng. Saya beruntung mendapati sekolah yang mempunyai perpustakaan yang cukup memadai. Paling tidak, di sekolah dasar saya sudah membaca buku seperti Sebatang Kara-nya Hector Melot, novel Charles Dicken, selain pengarang-pengarang Indonesia seperti Mansur Samin, Mochtar Lubis, Soekanto S.A., dan lain-lain. Setelah prosa, saya mulai “menggilai” puisi ketika ke Bandar Lampung tahun 1986 dan menjumpai dinamika bersyair di kota ini. Lalu, kuliah membuat saya harus membaca karya-karya yang kental aroma ideologinya. Jadi, kalau ditanya buku-buku apa yang mempengaruhi karya saya, saya tak terlalu paham. Atau mungkin, terlalu banyak.

Tentunya menulis puisi tidak semudah yang kadang dibayangkan. Bagaimana proses kreatif Anda menuliskan kembali ide dalam pikiran Anda dalam bentuk puisi?

Menulis puisi memang berbeda dengan menulis apa pun yang lain. Sampai sekarang, saya tak pernah berhasil menulis puisi dengan tema-tema yang ditentukan. Biasanya, saya tergerak menulis puisi jika ada sesuatu, katakanlah benda, peristiwa, atau apalah yang menyentuh perasaan dan merasuk ke dalam pikiran. Pengalaman batin itu biasanya membekas dalam ingatan dan terus berproses dalam diri. Kegelisahan bisa melahirkan karya. Tak selalu puisi. Kalau masih mentah bisa dalam berbentuk lain. Puisi lahir setelah memeras sekian kata, sekian kalimat, sekian paragraf menjadi sari pati makna. Proses pengimajian dalam menulis puisi, bisa sebentar, bisa juga lama. Ya, saya merasa kalau puisi sudah waktunya lahir ya lahir begitu saja. Namun, saya mulai merasa rutinitas kegiatan jurnalistik dan karakter bahasa jurnalistik yang spesifik sangat mengganggu — kalau bukan malah merusak — aktivitas saya dalam bersastra. Maka, saya cukup salut dengan orang-orang yang bisa memadukan aktivitas kewartawanan dan kesastrawanan. Sebuah langgam yang berbeda, meski sama-sama menggeleti hal yang sama: dunia kepenulisan.

Anda disebut-sebut sebagai Bapak Puisi Modern (Berbahasa) Lampung. Apa artinya bagi Anda secara pribadi?

Hahaha… di tempat saya, Lampung, orang biasa bejuluk-beadok (bahasa Lampung, artinya lebih kurang: berjuluk-bergelar). Jadi, setidaknya menurut saya, biasa saja kalau di Lampung ada Raja Cetik (‘cetik’ alat musik khas Lampung), Nabi Penyair, Paus Sastra Lampung, dan sebagainya. Gubernur Lampung Sjachroedin Z.P. saja ber-adok Sutan Mangku Bumi. Entah serius entah main-main, Ketua Dewan Kesenian Lampung Syaiful Irba Tanpaka bergelar Sutan Seago-ago. Yang kasih embel-embel “Bapak Puisi Modern (Berbahasa) Lampung” ke saya itu kan seorang rekan yang konsen memperhatikan perkembangan bahasa dan sastra Lampung, meski jarang-jarang pulang ke tanah kelahirannya. Namanya Kuswinarto alias Yaqin Saja. Saya sih menghormati dia saja. Selain itu, saya sih kepengen sastra Lampung itu berkembang sebagaimana sastra daerah lain, seperti sastra Jawa, Sunda, dan Bali. Tapi… entahlah. Orang Lampung masih terus berasyik-asyik dengan sastra lisan atau paling banter menuliskan sastra lisan agar bisa didokumentasikan.

Usaha-usaha apa kiranya membangkitkan generasi muda untuk kembali ke akar budaya melalui teks puisi berbahasa tradisional dalam hal ini di provinsi Lampung?

Saya malah tak mau menjawab ini. Saya pikir, upaya ke arah itu cukup memadai. Kalau belum efektif, itu soal lain.
Tadi saya singgung, saat ini relatif tak ada persoalan dengan sastra (puisi) lisan Lampung. Entah sejak kapan, apa pun program yang menjual kelampungan, selalu “laku”. Bahasa Lampung diajarkan di sekolah dasar dan SMP sebagai muatan lokal di Lampung. Diskusi, pelatihan, workshop, dan juga lomba bahasa-sastra Lampung sudah diprogramkan. Kalau pun masih bersifat proyekisasi, ya harap maklum. Acara Manjau Dibingi dan Ragom Budaya Lampung rutin mengudara dari RRI Bandar Lampung. Mau saya… tapi apa daya tak punya kuasa, mengembangkan bahasa dan sastra Lampung modern. Relatif tak ada yang memperjuangkan martabat bahasa dan sastra Lampung itu menjadi bahan baku kreativitas.

Berkali-kali dikatakan bahasa Lampung bakal punah dalam 75–100 tahun. Saya bilang ya mau apa lagi, kalau memang tidak ada yang mau menggunakan bahasa etnik ini sebagai bahasa yang berdaya-guna atau berdaya imajinatif. Fungsi bahasa Lampung sebagai alat ekspresi menjadi macet. Meski sudah masuk kurikulum muatan lokal sekolah, masih terlalu banyak yang phobia dengan bahasa Lampung. Boro-boro menulis puisi dalam bahasa Lampung (bukan mengingat pantun lama dan menuliskannya!), mendengar orang berbahasa Lampung saja takut. Ah, nasib bahasa Lampung. Pekerjaan sebenarnya adalah membuat bahasa dan sastra Lampung itu bergaya dan orang tak lagi malu menggunakannya. Ini sulit sekali! Kebijakan Pemda Lampung tak cukup bagus untuk mendukung ini. Belum lagi, kalau cuma bahasa-sastra-budaya Lampung yang diperhatikan, ada yang protes. Lo? Bukankah isi Lampung itu bukan hanya orang Lampung? Tudingan pun datang: primordial, sukuisme, mengingkari pluralitas, tak mengakui multikultur, dll-dll.

Caranya, menurut saya, yang sedang pegang kekuasaan (berkuasa), seharusnya paling tahu membuat kebijakan yang paling tepat!

Apa harapan Anda dengan maraknya penerbitan karya sastra di daerah yang memanfaatkan kerjasama dengan pihak Pemda setempat. Belakangan terdapat indikasi pialang proyek sastra yang bisa merusak citra para sastrawan.

Gejala itu memang nampak. Tapi, saya termasuk yang kapok bekerja sama dengan pemerintah daerah dalam menerbitkan karya. Sangat tidak profesional. Terlalu kental warna “proyek”-nya ketimbang keinginan luhur untuk benar-benar menyosialisasikan karya sastra. Saya malah melihat kegairahan di kalangan muda di beberapa kota untuk menerbitkan sendiri (penerbit indie) karya-karya sastra alternatif. Kalau yang itu saya setuju.

Siapa penyair yang anda sukai?

Saya tak mengidolakan nama penyair. Tapi ada banyak karya puisi yang saya suka. Beberapa puisi dari seorang penyair saya suka. Tapi beberapa puisi lainnya tak saya suka. Mungkin, seorang penyair tak terkenal pun bisa jadi saya sukai puisinya. Patokan saya pada teks dan konteks puisi. Kalau teksnya dan atau konteksnya bagus, saya suka.

Apa arti keluarga bagi Anda dan karir Anda menulis?

Keluarga, bagi saya, menjadi sumber inspirasi yang utama dalam menjalankan aktivitas. Istri menjadi teman diskusi yang menyenangkan sekaligus menjadi “kritikus” paling dekat dan paling tajam mengenai apa pun yang saya tulis atau saya katakan.
Begitu juga kalau bertemu adik-adik, terutama adik laki-laki, mereka juga termasuk sparing partner yang asyik dalam berdebat. Semua ini dapat menjadi sumber inspirasi yang tak pernah kering.

Sedikit menyimpang, apa hobi Anda selain menulis?

Selain menulis, saya suka membaca, menikmati musik, meski tak bisa menyanyi dan sesekali melakukan perjalanan (traveling).

Apa rencana Anda ke depan?

Sebagai wartawan, pekerjaan utama saya menulis. Cuma saya tak membatasi diri harus menulis bidang-bidang tertentu. Dari segi kesukaan, karena saya juga alumnus Ilmu Pemerintahan (Ilmu Politik), fenomena sosial politik rasanya tidak mungkin saya abaikan begitu saja. Selain sosial politik, masalah kebudayaan pada umumnya, terutama karya kreatif sastra juga saya ikuti. Saya terobsesi dengan sosok seorang intelektual (pemikir) yang juga wartawan dan sastrawan. Sesekali juga memberikan pelatihan jurnalistik atau bahkan menjadi guru akuntasi SMA. Tak masalah, itu juga pekerjaan yang menantang.
Kalaupun berhenti dari wartawan (semisal dipecat kantor belerja saya!), saya tetap ingin menjadi penulis!

Pengalaman membaca puisi paling berkesan dan dimana?

Saya tak pernah melakukan pembacaan puisi tunggal. Kalaupun ada selalu beramai-ramai dalam event-event tertentu. Saya pikir, vokal saya tak terlalu bagus untuk membaca puisi di depan publik. Saya justru berkesan membaca puisi di kamar. Sendirian saja… Hahahaa…

Dengan kata-kata Anda sendiri, apa itu puisi?

Puisi, bagi saya, adalah sesuatu. Barangkali ada makna di dalamnya, meski itu sangat tergantung penafsiran pembacanya. Di dalam teks puisi dan juga karya sastra lainnya sangat mungkin mengandung banyak kisah, gagasan, pemikiran, pelajaran, dan sebagainya yang bisa menuntun kita berjalan meniti setiap sisi kehidupan. Bukan mustahil mampu membuka cakrawala pembacanya untuk keluar dari problem pribadi yang melilit seseorang. Setiap teks karya sastra yang baik, saya pikir, mengandung nilai-nilai (kejujuran, kebenaran, kearifan, keterbukaan, kebebasan, keadilan, demokrasi, dan sebagainya) yang sangat penting bagi manusia yang mengaku berperadaban. Dengan karya sastra, pembaca dilatih menimbang-nimbang banyak hal. Tapi, saya malah bingung kalau sampai ada karya sastra yang tak dimaksudkan memaknai sesuatu. Saya ragu, itu sastra atau bukan.

Terima kasih Pak Udo.

Terima kasih kembali, Mas Sazano.
Sumber: http://cabiklunik.blogspot.com/2006/05/wawancara-dengan-puitika.html

Tidak ada komentar:

Label

`Atiqurrahman A Muttaqin A Rodhi Murtadho A. Iwan Kapit A. Purwantara A. Qorib Hidayatullah A. Zakky Zulhazmi A.H.J Khuzaini A.S. Laksana Aang Fatihul Islam Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi WM Abdul Kadir Ibrahim Abdul Lathief Abdul Malik Abdul Wachid B.S. Abdurrahman El Husaini Abidah El Khalieqy Abu Salman Acep Zamzam Noor Achdiat K. Mihardja Adek Alwi Adi Suhara Adnyana Ole Adreas Anggit W. Afrion Afrizal Malna Aguk Irawan MN Agung Dwi Ertato Agus B. Harianto Agus Buchori Agus Himawan Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sulton Agusri Junaidi Agustinus Wahyono Ahda Imran Ahmad Badrus Sholihin Ahmad Fanani Mosah Ahmad Fatoni Ahmad Ikhwan Susilo Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musabbih Ahmad Rofiq Ahmad Sahidah Ahmad Tohari Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sekhu Alex R. Nainggolan Alex Suban Alunk Estohank Ami Herman Amien Kamil Amien Wangsitalaja Aminudin R Wangsitalaja Anastasya Andriarti Andreas Maryoto Anes Prabu Sadjarwo Angela Angga Wijaya Angkie Yudistia Anindita S Thayf Anis Ceha Anjrah Lelono Broto Anton Kurnia Anton Kurniawan Anton Wahyudi Anugrah Gio Pratama Anwar Nuris Aprinus Salam Arie MP Tamba Arif B. Prasetyo Arif Bagus Prasetyo Arif Hidayat Arman A.Z. Arti Bumi Intaran Arys Hilman AS Sumbawi Asarpin Asef Umar Fakhruddin Asep Sambodja Asrama Mahasiswa Aceh SABENA Astrikusuma Asvi Warman Adam Atep Kurnia Awalludin GD Mualif Aziz Abdul Gofar Azizah Hefni Badrut Tamam Gaffas Bagja Hidayat Bagus Takwin Balada Bale Aksara Baltasar Koi Bambang Agung Bambang Kempling Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Bayu Insani Beni Setia Benny Arnas Benny Benke Berita Berita Duka Berita Utama Bernando J. Sujibto Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Blambangan Brunel University London BSW Adjikoesoemo Budaya Budhi Setyawan Budi Darma Budi Saputra Budi Suwarna Bung Tomo Cak Kandar Catatan Cerpen Chairil Anwar Chavchay Syaifullah Cucuk Espe Cunong N. Suraja D. Zawawi Imron Dadang Ari Murtono Daisuke Miyoshi Damanhuri Damhuri Muhammad Damiri Mahmud Danarto Daniel Dhakidae Dante Alighieri Deddy Arsya Dedy Tri Riyadi Denny Mizhar Deny Tri Aryanti Detti Febrina Dharmadi Diah Hadaning Dian Hartati Dian Sukarno Diana A.V. Sasa Dicky Fadiar Djuhud Didi Arsandi Dimas Dina Oktaviani Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Djadjat Sudradjat Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Doddy Hidayatullah Donny Anggoro Dony P. Herwanto Dorothea Rosa Herliany Dr. Muhammad Zafar Iqbal Dr. Simuh Dwi Arjanto Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwicipta Dwijo Maksum Edy A. Effendi Edy Firmansyah Efri Ritonga Egidius Patnistik Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Hendri Saiful Elik Elsya Crownia Emha Ainun Nadjib Endah Sulawesi Endah Wahyuningsih Endang Suryadinata Endhiq Anang P Endri Y Eriyandi Budiman Ernest Hemingway Esai Esha Tegar Putra Eva Dwi Kurniawan Evi Dana Setia Ningrum Evi Idawati Evieta Fadjar F Rahardi Fabiola D. Kurnia Fadelan Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Faisal Kamandobat Faisal Syahreza Faizal Syahreza Fajar Alayubi Fandy Hutari Fany Chotimah Fatah Yasin Noor Fathor Lt Fathurrahman Karyadi Fatih Kudus Jaelani Fatma Dwi Rachmawati Fauzi Absal Festival Sastra Gresik Fikri. MS Fina Sato Fitri Susila Galih Pandu Adi Gde Agung Lontar Geger Riyanto Gerakan Literasi Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Ginanjar Rahadian Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gunoto Saparie Gus Martin Gus tf Sakai Gusti Eka Hadi Napster Haji Misbach Halim HD Halimi Zuhdy Hamberan Syahbana Hamdy Salad Han Gagas Handoko F. Zainsam Hari Santoso Haris del Hakim Hartono Harimurti Hary B. Kori’un Hasan Gauk Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Helwatin Najwa Hepi Andi Bastoni Heri C Santoso Heri KLM Heri Latief Heri Listianto Hermien Y. Kleden Hernadi Tanzil Heru Emka Heru Kurniawan Heru Prasetya Hesti Sartika Hudan Hidayat Humaidiy AS I Made Asdhiana I Made Prabaswara I Nyoman Suaka IBM. Dharma Palguna Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Ida Ahdiah Idayati Ignas Kleden Ihsan Taufik Ilenk Rembulan Ilham Khoiri Ilham Yusardi Imam Cahyono Imam Jahrudin Priyanto Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indah Darmastuti Indiar Manggara Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indrian Koto Irma Safitri Irman Syah Iskandar Noe Istiqomatul Hayati Ita Siregar Iwan Kurniawan Iwan Nurdaya-Djafar Iyut FItra Jadid Al Farisy Jafar M. Sidik Jakob Sumardjo Jamal D Rahman Janual Aidi Javed Paul Syatha Jayaning S.A Jefri al Malay Jihan Fauziah JJ. Kusni Jo Pakagula Johan Edy Raharjo Joko Pinurbo Jokowi Undercover Joni Ariadinata Joss Wibisono Jual Buku Paket Hemat Judyane Koz Juli Sastrawan Junaidi Abdul Munif Jusuf AN Juwairiyah Mawardy Kadir Ruslan Kasnadi Katrin Bandel Kedung Darma Romansha Khairul Mufid Jr Khamami Zada Khrisna Pabichara Kikin Kuswandi Koh Young Hun Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Komunitas Sastra Ilalang Indonesia (KSII) Korrie Layun Rampan Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan) Kristianto Batuadji Kritik Sastra Kunni Masrohanti Kunthi Hastorini Kuntowijoyo Kurie Suditomo Kurnia EF Kurniawan Kuswaidi Syafi'ie Kuswinarto Lan Fang Landung Rusyanto Simatupang Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Liestyo Ambarwati Khohar Linda Sarmili Liston P. Siregar Liza Wahyuninto LN Idayanie Lucia Idayani Lukman Asya Lusiana Indriasari Lynglieastrid Isabellita M Hari Atmoko M. Aan Mansyur M. Arman A.Z M. Bagus Pribadi M. Fadjroel Rachman M. Harya Ramdhoni Julizarsyah M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S M. Luthfi Aziz M. Nahdiansyah Abdi M. Raudah Jambak M. Shoim Anwar M. Yoesoef M.D. Atmaja Maghfur Saan Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Majalah Sastra Horison Maklumat Sastra Profetik Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Serenade Sinurat Mario F. Lawi Marluwi Marsel Robot Martin Aleida Martin Suryajaya Mashuri Matdon Mega Vristian Melani Budianta Melayu Riau Memoar MG. Sungatno Mh Zaelani Tammaka Miftah Fadhli Miftahul Abrori Misbahus Surur Miziansyah J Mochtar Lubis Mohamad Ali Hisyam Mohammad Eri Irawan MT Arifin Mugy Riskiana Halalia Muhajir Arrosyid Muhamad Rifai Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Al-Mubassyir Muhammad Qodari Muhammad Rain Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun A.S Muhidin M. Dahlan Muhlis Al-Firmany Mujtahid Mulyadi SA Munawir Aziz Murniati Tanjung Murnierida Pram Musa Ismail Musfi Efrizal Mustaan Mustafa Ismail N. Mursidi Nafsul Latifah Naskah Teater Nasrullah Nara Nelson Alwi Nenden Lilis A Nh. Anfalah Ni Made Purnama Sari Nina Mussolini-Hansson Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Noura Nova Christina Noval Jubbek Novela Nian Nugroho Notosusanto Nugroho Pandhu Sukmono Nur Faizah Nurdin F. Joes Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nurul Komariyah Nuryana Asmaudi SA Nyoman Tusthi Eddy Nyoman Wirata Oka Rusmini Oktamandjaya Wiguna Oky Sanjaya Olanama Olivia Kristina Sinaga Otto Sukatno CR Pagelaran Musim Tandur Pamusuk Eneste Patricia Pawestri PDS H.B. Jassin PDS. H.B. Jassin Penghargaan Hadiah Sastra Pusat Bahasa Persda Network Pipiet Senja Pramoedya Ananta Toer Pramono Pranita Dewi Pringadi AS Prita Daneswari Prof. Tamim Pardede sebut Bambang Tri Prosa Pudyo Saptono Puisi Puisi Kesunyian Puisi Sufi Puji Santosa PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Wijaya Qaris Tajudin R. Sugiarti Rachmad Djoko Pradopo Radhar Panca Dahana Ragdi F. Daye Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Ramadhan Batubara Ramadhan KH Ratih Kumala Ratna Indraswari Ibrahim Ratna Sarumpaet Raudal Tanjung Banua Remy Sylado Reni Susanti Renny Meita Widjajanti Resensi Restu Kurniawan Retno Sulistyowati RF. Dhonna Rian Sindu Ribut Wijoto Ridwan Munawwar Riki Utomi Riris K. Toha-Sarumpaet Risang Anom Pujayanto Riza Multazam Luthfy Robin Al Kautsar Rodli TL Rofiqi Hasan Rohman Abdullah Rosidi Rosihan Anwar Rukardi S Yoga S. Jai S. Sinansari Ecip S.I. Poeradisastra S.W. Teofani Sabam Siagian Sabrank Suparno Saiful Anam Assyaibani Sainul Hermawan Sajak Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sanggar Rumah Ilalang Sanggar Teater Jerit Sapardi Djoko Damono Sartika Dian Sartika Dian Nuraini Sastra Tanah Air Sastra Using Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sayyid Fahmi Alathas Sazano Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo Seli Desmiarti Selo Soemardjan Senggrutu Singomenggolo Seno Joko Suyono SH Mintardja Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sipri Senda Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Sobih Adnan Sofian Dwi Sofie Dewayani Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sri Ruwanti Sri Wintala Achmad St Sularto Stefanus P. Elu Sukron Abdilah Sulaiman Djaya Suminto A. Sayuti Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sungging Raga Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Suryansyah Suryanto Sastroatmodjo Susanto Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suyadi Suyadi San Syaifuddin Gani Syaiful Amin Syamsiar Hidayah Syarbaini Syifa Amori Syifa Aulia Tajuddin Noor Ganie Taufik Abdullah Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat TE. Priyono Teguh Afandi Teguh Ranusastra Asmara Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Theresia Purbandini Tita Tjindarbumi Titik Alva-Alvi Choiriyah Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tjoet Nyak Dhien Tosa Poetra Tri Lestari Sustiyana Triyanto Triwikromo TS Pinang Tu-ngang Iskandar Tulus S Tulus Wijanarko Udo Z. Karzi Ugoran Prasad Umar Fauzi Ballah Umar Kayam Umbu Landu Paranggi Universitas Indonesia Universitas Jember Utada Kamaru UU Hamidy Vera Ernawati Veronika Ninik W.S. Rendra Wahjudi Djaja Wahyu Hidayat Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Budiartha Widya Karima Wijaya Herlambang Wiji Thukul Willem B Berybe Wilson Nadeak Winarni R. Wiratmo Soekito Wita Lestari Wiwik Widayaningtias Y. Thendra BP Y. Wibowo Yasser Arafat Yeni Ratnaningsih Yohanes Sehandi Yonatan Raharjo Yonathan Rahardjo Yopi Setia Umbara Yos Rizal S Yos Rizal Suriaji Yudhi Herwibowo Yuka Fainka Putra Yurnaldi Yushifull Ilmy Yusri Fajar Yusuf Suharto Zainal Abidin Zainal Arifin Thoha Zawawi Se Zen Hae