Pewawancara: Sazano
puitika.net, 18 Mei 2006
Udo Z. Karzi, lahir 12 Juni 1970 di Liwa, Lampung Barat. Menyelesaikan studi di Jurusan Ilmu Pemerintahan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Lampung (1996). Pernah menjadi Pemimpin Redaksi Surat Kabar Mahasiswa Teknokra (1993-1994), Pemimpin Umum Majalah Republica (1994-1996), dan Pembimbing Majalah Ijtihad (1995-1998). Banyak menimba pengalaman dari kelompok/kegiatan diskusi: Kelompok Studi Merah Putih, Forum Dialog Mahasiswa (Fordima), Forum for Information and Regional Development Studies (FIRDES), dan Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII).
Terjun ke dunia jurnalistik sebagai wartawan lepas harian umum Lampung Post, Bandar Lampung (1995-1996) dan reporter Majalah Berita Mingguan Sinar, Jakarta (1997-1998). Sempat mengajar Ekonomi-Akuntansi di SMAN dan MAN di kota kelahirannya (1998) sebelum menjadi Redaktur Surat Kabar Umum Sumatera Post, Bandar Lampung (1999-2000). Kini, jurnalis di Lampung Post, Ketua Penelitian dan Pengembangan Dewan Kesenian Lampung (Litbang DKL), bergiat di Sekolah Kebudayaan Lampung (SKL) dan Pusat Studi Agama dan Kebudayaan (Pusaka) Lampung. Dianggap membawa pembaruan dalam tradisi perpuisian (berbahasa) Lampung sebagaimana terlihat dalam buku kumpulan sajak dwibahasa Lampung-Indonesianya, Momentum (2002), dia disebut “Bapak Puisi Modern (Berbahasa) Lampung”. Sajak-sajak lainnya termuat dalam antologi bersama: Daun-Daun Jatuh, Tunas-Tunas Tumbuh (SKM Teknokra, 1995), Lampung Kenangan, Krakatau Award 2002 (Dewan Kesenian Lampung, 2002), Konser Ujung Pulau (Dewan Kesenian Lampung, 2003), dan Pertemuan Dua Arus (Jung Foundation, 2004). Cerpen-cerpennya dimuat dalam Sapardi Djoko Damono dkk. (Ed.) Graffiti Imaji (Yayasan Multimedia Sastra-Damar Warga, 2002). Penyunting dan kontributor: Etos Kita, Moralitas Kaum Intelektual (Gama Media-Teknokra, 2002). Buku lainnya: Mamak Kenut, Orang Lampung Punya Celoteh dan Mak Dawah Mak Dibingi, Tak Siang Tak Malam (dalam proses terbit).
Kru Puitika.net berkesempatan untuk mewawancarai Udo Z. Karzi melalui perbincangan via e-mail. Berikut perbincangannya.
Sejak kapan Anda mulai menulis puisi?
Saya menulis sejak 1987. Mulanya puisi, menyusul cerita anak-anak, artikel dan cerpen.
Darimana inspirasi menulis puisi itu datang?
Awalnya, inspirasi menulis puisi dari pengalaman — semacam pengalaman batin — sendiri yang kemudian berproses dalam diri dan melalui pengimajian menjelma sajak. Tapi, belakangan setelah kuliah, menulis puisi agak lebih sulit. Mungkin karena saya menulis hampir semua jenis tulisan. Selain sastra (puisi, cerpen, dan esai), sebagai jurnalis, saya juga menulis karya jurnalistik (berita, reportase, feature, opini, tajuk rencana, dan lain-lain). Ada kecenderungan saya menulis lebih menekankan pada gagasan/pemikiran dan itu cenderung berbentuk opini, artikel, atau esai kalau tidak berbentuk berita (menuliskan fakta, bukan fiksi). Padahal, bahasa puisi lain. Sehingga, boleh dibilang saya menulis puisi ketika saya merasa emosi saya tidak mungkin diwakili dengan bentuk karya tulis lain selain sajak. Jadi, saya tulis puisi. Inspirasi bisa datang dari mana saja, saya pikir. Bisa dari melihat langsung, mendengar cerita, atau membaca peristiwa. Tapi, Saya baru bisa menulis puisi ketika saya benar-benar merasa terlibat secara intens dalam suatu hal ihwal yang menjadi inspirasi, sehingga saya tergerak menuliskannya.
Buku-buku apa saja yang mempengaruhi karya Anda?
Susah saya menyebutkannya. Soalnya sejak bisa membaca, saya berusaha membaca semua bahan bacaan. Di masa-masa awal saya suka fiksi atau dongeng. Saya beruntung mendapati sekolah yang mempunyai perpustakaan yang cukup memadai. Paling tidak, di sekolah dasar saya sudah membaca buku seperti Sebatang Kara-nya Hector Melot, novel Charles Dicken, selain pengarang-pengarang Indonesia seperti Mansur Samin, Mochtar Lubis, Soekanto S.A., dan lain-lain. Setelah prosa, saya mulai “menggilai” puisi ketika ke Bandar Lampung tahun 1986 dan menjumpai dinamika bersyair di kota ini. Lalu, kuliah membuat saya harus membaca karya-karya yang kental aroma ideologinya. Jadi, kalau ditanya buku-buku apa yang mempengaruhi karya saya, saya tak terlalu paham. Atau mungkin, terlalu banyak.
Tentunya menulis puisi tidak semudah yang kadang dibayangkan. Bagaimana proses kreatif Anda menuliskan kembali ide dalam pikiran Anda dalam bentuk puisi?
Menulis puisi memang berbeda dengan menulis apa pun yang lain. Sampai sekarang, saya tak pernah berhasil menulis puisi dengan tema-tema yang ditentukan. Biasanya, saya tergerak menulis puisi jika ada sesuatu, katakanlah benda, peristiwa, atau apalah yang menyentuh perasaan dan merasuk ke dalam pikiran. Pengalaman batin itu biasanya membekas dalam ingatan dan terus berproses dalam diri. Kegelisahan bisa melahirkan karya. Tak selalu puisi. Kalau masih mentah bisa dalam berbentuk lain. Puisi lahir setelah memeras sekian kata, sekian kalimat, sekian paragraf menjadi sari pati makna. Proses pengimajian dalam menulis puisi, bisa sebentar, bisa juga lama. Ya, saya merasa kalau puisi sudah waktunya lahir ya lahir begitu saja. Namun, saya mulai merasa rutinitas kegiatan jurnalistik dan karakter bahasa jurnalistik yang spesifik sangat mengganggu — kalau bukan malah merusak — aktivitas saya dalam bersastra. Maka, saya cukup salut dengan orang-orang yang bisa memadukan aktivitas kewartawanan dan kesastrawanan. Sebuah langgam yang berbeda, meski sama-sama menggeleti hal yang sama: dunia kepenulisan.
Anda disebut-sebut sebagai Bapak Puisi Modern (Berbahasa) Lampung. Apa artinya bagi Anda secara pribadi?
Hahaha… di tempat saya, Lampung, orang biasa bejuluk-beadok (bahasa Lampung, artinya lebih kurang: berjuluk-bergelar). Jadi, setidaknya menurut saya, biasa saja kalau di Lampung ada Raja Cetik (‘cetik’ alat musik khas Lampung), Nabi Penyair, Paus Sastra Lampung, dan sebagainya. Gubernur Lampung Sjachroedin Z.P. saja ber-adok Sutan Mangku Bumi. Entah serius entah main-main, Ketua Dewan Kesenian Lampung Syaiful Irba Tanpaka bergelar Sutan Seago-ago. Yang kasih embel-embel “Bapak Puisi Modern (Berbahasa) Lampung” ke saya itu kan seorang rekan yang konsen memperhatikan perkembangan bahasa dan sastra Lampung, meski jarang-jarang pulang ke tanah kelahirannya. Namanya Kuswinarto alias Yaqin Saja. Saya sih menghormati dia saja. Selain itu, saya sih kepengen sastra Lampung itu berkembang sebagaimana sastra daerah lain, seperti sastra Jawa, Sunda, dan Bali. Tapi… entahlah. Orang Lampung masih terus berasyik-asyik dengan sastra lisan atau paling banter menuliskan sastra lisan agar bisa didokumentasikan.
Usaha-usaha apa kiranya membangkitkan generasi muda untuk kembali ke akar budaya melalui teks puisi berbahasa tradisional dalam hal ini di provinsi Lampung?
Saya malah tak mau menjawab ini. Saya pikir, upaya ke arah itu cukup memadai. Kalau belum efektif, itu soal lain.
Tadi saya singgung, saat ini relatif tak ada persoalan dengan sastra (puisi) lisan Lampung. Entah sejak kapan, apa pun program yang menjual kelampungan, selalu “laku”. Bahasa Lampung diajarkan di sekolah dasar dan SMP sebagai muatan lokal di Lampung. Diskusi, pelatihan, workshop, dan juga lomba bahasa-sastra Lampung sudah diprogramkan. Kalau pun masih bersifat proyekisasi, ya harap maklum. Acara Manjau Dibingi dan Ragom Budaya Lampung rutin mengudara dari RRI Bandar Lampung. Mau saya… tapi apa daya tak punya kuasa, mengembangkan bahasa dan sastra Lampung modern. Relatif tak ada yang memperjuangkan martabat bahasa dan sastra Lampung itu menjadi bahan baku kreativitas.
Berkali-kali dikatakan bahasa Lampung bakal punah dalam 75–100 tahun. Saya bilang ya mau apa lagi, kalau memang tidak ada yang mau menggunakan bahasa etnik ini sebagai bahasa yang berdaya-guna atau berdaya imajinatif. Fungsi bahasa Lampung sebagai alat ekspresi menjadi macet. Meski sudah masuk kurikulum muatan lokal sekolah, masih terlalu banyak yang phobia dengan bahasa Lampung. Boro-boro menulis puisi dalam bahasa Lampung (bukan mengingat pantun lama dan menuliskannya!), mendengar orang berbahasa Lampung saja takut. Ah, nasib bahasa Lampung. Pekerjaan sebenarnya adalah membuat bahasa dan sastra Lampung itu bergaya dan orang tak lagi malu menggunakannya. Ini sulit sekali! Kebijakan Pemda Lampung tak cukup bagus untuk mendukung ini. Belum lagi, kalau cuma bahasa-sastra-budaya Lampung yang diperhatikan, ada yang protes. Lo? Bukankah isi Lampung itu bukan hanya orang Lampung? Tudingan pun datang: primordial, sukuisme, mengingkari pluralitas, tak mengakui multikultur, dll-dll.
Caranya, menurut saya, yang sedang pegang kekuasaan (berkuasa), seharusnya paling tahu membuat kebijakan yang paling tepat!
Apa harapan Anda dengan maraknya penerbitan karya sastra di daerah yang memanfaatkan kerjasama dengan pihak Pemda setempat. Belakangan terdapat indikasi pialang proyek sastra yang bisa merusak citra para sastrawan.
Gejala itu memang nampak. Tapi, saya termasuk yang kapok bekerja sama dengan pemerintah daerah dalam menerbitkan karya. Sangat tidak profesional. Terlalu kental warna “proyek”-nya ketimbang keinginan luhur untuk benar-benar menyosialisasikan karya sastra. Saya malah melihat kegairahan di kalangan muda di beberapa kota untuk menerbitkan sendiri (penerbit indie) karya-karya sastra alternatif. Kalau yang itu saya setuju.
Siapa penyair yang anda sukai?
Saya tak mengidolakan nama penyair. Tapi ada banyak karya puisi yang saya suka. Beberapa puisi dari seorang penyair saya suka. Tapi beberapa puisi lainnya tak saya suka. Mungkin, seorang penyair tak terkenal pun bisa jadi saya sukai puisinya. Patokan saya pada teks dan konteks puisi. Kalau teksnya dan atau konteksnya bagus, saya suka.
Apa arti keluarga bagi Anda dan karir Anda menulis?
Keluarga, bagi saya, menjadi sumber inspirasi yang utama dalam menjalankan aktivitas. Istri menjadi teman diskusi yang menyenangkan sekaligus menjadi “kritikus” paling dekat dan paling tajam mengenai apa pun yang saya tulis atau saya katakan.
Begitu juga kalau bertemu adik-adik, terutama adik laki-laki, mereka juga termasuk sparing partner yang asyik dalam berdebat. Semua ini dapat menjadi sumber inspirasi yang tak pernah kering.
Sedikit menyimpang, apa hobi Anda selain menulis?
Selain menulis, saya suka membaca, menikmati musik, meski tak bisa menyanyi dan sesekali melakukan perjalanan (traveling).
Apa rencana Anda ke depan?
Sebagai wartawan, pekerjaan utama saya menulis. Cuma saya tak membatasi diri harus menulis bidang-bidang tertentu. Dari segi kesukaan, karena saya juga alumnus Ilmu Pemerintahan (Ilmu Politik), fenomena sosial politik rasanya tidak mungkin saya abaikan begitu saja. Selain sosial politik, masalah kebudayaan pada umumnya, terutama karya kreatif sastra juga saya ikuti. Saya terobsesi dengan sosok seorang intelektual (pemikir) yang juga wartawan dan sastrawan. Sesekali juga memberikan pelatihan jurnalistik atau bahkan menjadi guru akuntasi SMA. Tak masalah, itu juga pekerjaan yang menantang.
Kalaupun berhenti dari wartawan (semisal dipecat kantor belerja saya!), saya tetap ingin menjadi penulis!
Pengalaman membaca puisi paling berkesan dan dimana?
Saya tak pernah melakukan pembacaan puisi tunggal. Kalaupun ada selalu beramai-ramai dalam event-event tertentu. Saya pikir, vokal saya tak terlalu bagus untuk membaca puisi di depan publik. Saya justru berkesan membaca puisi di kamar. Sendirian saja… Hahahaa…
Dengan kata-kata Anda sendiri, apa itu puisi?
Puisi, bagi saya, adalah sesuatu. Barangkali ada makna di dalamnya, meski itu sangat tergantung penafsiran pembacanya. Di dalam teks puisi dan juga karya sastra lainnya sangat mungkin mengandung banyak kisah, gagasan, pemikiran, pelajaran, dan sebagainya yang bisa menuntun kita berjalan meniti setiap sisi kehidupan. Bukan mustahil mampu membuka cakrawala pembacanya untuk keluar dari problem pribadi yang melilit seseorang. Setiap teks karya sastra yang baik, saya pikir, mengandung nilai-nilai (kejujuran, kebenaran, kearifan, keterbukaan, kebebasan, keadilan, demokrasi, dan sebagainya) yang sangat penting bagi manusia yang mengaku berperadaban. Dengan karya sastra, pembaca dilatih menimbang-nimbang banyak hal. Tapi, saya malah bingung kalau sampai ada karya sastra yang tak dimaksudkan memaknai sesuatu. Saya ragu, itu sastra atau bukan.
Terima kasih Pak Udo.
Terima kasih kembali, Mas Sazano.
Sumber: http://cabiklunik.blogspot.com/2006/05/wawancara-dengan-puitika.html
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Label
`Atiqurrahman
A Muttaqin
A Rodhi Murtadho
A. Iwan Kapit
A. Purwantara
A. Qorib Hidayatullah
A. Zakky Zulhazmi
A.H.J Khuzaini
A.S. Laksana
Aang Fatihul Islam
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi WM
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Lathief
Abdul Malik
Abdul Wachid B.S.
Abdurrahman El Husaini
Abidah El Khalieqy
Abu Salman
Acep Zamzam Noor
Achdiat K. Mihardja
Adek Alwi
Adi Suhara
Adnyana Ole
Adreas Anggit W.
Afrion
Afrizal Malna
Aguk Irawan MN
Agung Dwi Ertato
Agus B. Harianto
Agus Buchori
Agus Himawan
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus Sulton
Agusri Junaidi
Agustinus Wahyono
Ahda Imran
Ahmad Badrus Sholihin
Ahmad Fanani Mosah
Ahmad Fatoni
Ahmad Ikhwan Susilo
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Musabbih
Ahmad Rofiq
Ahmad Sahidah
Ahmad Tohari
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Muhaimin Azzet
Akhmad Sekhu
Alex R. Nainggolan
Alex Suban
Alunk Estohank
Ami Herman
Amien Kamil
Amien Wangsitalaja
Aminudin R Wangsitalaja
Anastasya Andriarti
Andreas Maryoto
Anes Prabu Sadjarwo
Angela
Angga Wijaya
Angkie Yudistia
Anindita S Thayf
Anis Ceha
Anjrah Lelono Broto
Anton Kurnia
Anton Kurniawan
Anton Wahyudi
Anugrah Gio Pratama
Anwar Nuris
Aprinus Salam
Arie MP Tamba
Arif B. Prasetyo
Arif Bagus Prasetyo
Arif Hidayat
Arman A.Z.
Arti Bumi Intaran
Arys Hilman
AS Sumbawi
Asarpin
Asef Umar Fakhruddin
Asep Sambodja
Asrama Mahasiswa Aceh SABENA
Astrikusuma
Asvi Warman Adam
Atep Kurnia
Awalludin GD Mualif
Aziz Abdul Gofar
Azizah Hefni
Badrut Tamam Gaffas
Bagja Hidayat
Bagus Takwin
Balada
Bale Aksara
Baltasar Koi
Bambang Agung
Bambang Kempling
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Bayu Insani
Beni Setia
Benny Arnas
Benny Benke
Berita
Berita Duka
Berita Utama
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Blambangan
Brunel University London
BSW Adjikoesoemo
Budaya
Budhi Setyawan
Budi Darma
Budi Saputra
Budi Suwarna
Bung Tomo
Cak Kandar
Catatan
Cerpen
Chairil Anwar
Chavchay Syaifullah
Cucuk Espe
Cunong N. Suraja
D. Zawawi Imron
Dadang Ari Murtono
Daisuke Miyoshi
Damanhuri
Damhuri Muhammad
Damiri Mahmud
Danarto
Daniel Dhakidae
Dante Alighieri
Deddy Arsya
Dedy Tri Riyadi
Denny Mizhar
Deny Tri Aryanti
Detti Febrina
Dharmadi
Diah Hadaning
Dian Hartati
Dian Sukarno
Diana A.V. Sasa
Dicky Fadiar Djuhud
Didi Arsandi
Dimas
Dina Oktaviani
Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan
Djadjat Sudradjat
Djoko Saryono
Doddi Ahmad Fauji
Doddy Hidayatullah
Donny Anggoro
Dony P. Herwanto
Dorothea Rosa Herliany
Dr. Muhammad Zafar Iqbal
Dr. Simuh
Dwi Arjanto
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwicipta
Dwijo Maksum
Edy A. Effendi
Edy Firmansyah
Efri Ritonga
Egidius Patnistik
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Eko Hendri Saiful
Elik
Elsya Crownia
Emha Ainun Nadjib
Endah Sulawesi
Endah Wahyuningsih
Endang Suryadinata
Endhiq Anang P
Endri Y
Eriyandi Budiman
Ernest Hemingway
Esai
Esha Tegar Putra
Eva Dwi Kurniawan
Evi Dana Setia Ningrum
Evi Idawati
Evieta Fadjar
F Rahardi
Fabiola D. Kurnia
Fadelan
Fahrudin Nasrulloh
Faidil Akbar
Faisal Kamandobat
Faisal Syahreza
Faizal Syahreza
Fajar Alayubi
Fandy Hutari
Fany Chotimah
Fatah Yasin Noor
Fathor Lt
Fathurrahman Karyadi
Fatih Kudus Jaelani
Fatma Dwi Rachmawati
Fauzi Absal
Festival Sastra Gresik
Fikri. MS
Fina Sato
Fitri Susila
Galih Pandu Adi
Gde Agung Lontar
Geger Riyanto
Gerakan Literasi
Gerakan Surah Buku (GSB)
Gerson Poyk
Ginanjar Rahadian
Gita Pratama
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gunawan Budi Susanto
Gunoto Saparie
Gus Martin
Gus tf Sakai
Gusti Eka
Hadi Napster
Haji Misbach
Halim HD
Halimi Zuhdy
Hamberan Syahbana
Hamdy Salad
Han Gagas
Handoko F. Zainsam
Hari Santoso
Haris del Hakim
Hartono Harimurti
Hary B. Kori’un
Hasan Gauk
Hasan Junus
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Hasta Indriyana
Helwatin Najwa
Hepi Andi Bastoni
Heri C Santoso
Heri KLM
Heri Latief
Heri Listianto
Hermien Y. Kleden
Hernadi Tanzil
Heru Emka
Heru Kurniawan
Heru Prasetya
Hesti Sartika
Hudan Hidayat
Humaidiy AS
I Made Asdhiana
I Made Prabaswara
I Nyoman Suaka
IBM. Dharma Palguna
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
Ida Ahdiah
Idayati
Ignas Kleden
Ihsan Taufik
Ilenk Rembulan
Ilham Khoiri
Ilham Yusardi
Imam Cahyono
Imam Jahrudin Priyanto
Imam Muhtarom
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Rosyid
Imron Tohari
Indah Darmastuti
Indiar Manggara
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Indrian Koto
Irma Safitri
Irman Syah
Iskandar Noe
Istiqomatul Hayati
Ita Siregar
Iwan Kurniawan
Iwan Nurdaya-Djafar
Iyut FItra
Jadid Al Farisy
Jafar M. Sidik
Jakob Sumardjo
Jamal D Rahman
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jayaning S.A
Jefri al Malay
Jihan Fauziah
JJ. Kusni
Jo Pakagula
Johan Edy Raharjo
Joko Pinurbo
Jokowi Undercover
Joni Ariadinata
Joss Wibisono
Jual Buku Paket Hemat
Judyane Koz
Juli Sastrawan
Junaidi Abdul Munif
Jusuf AN
Juwairiyah Mawardy
Kadir Ruslan
Kasnadi
Katrin Bandel
Kedung Darma Romansha
Khairul Mufid Jr
Khamami Zada
Khrisna Pabichara
Kikin Kuswandi
Koh Young Hun
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias
Komunitas Sastra Ilalang Indonesia (KSII)
Korrie Layun Rampan
Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan)
Kristianto Batuadji
Kritik Sastra
Kunni Masrohanti
Kunthi Hastorini
Kuntowijoyo
Kurie Suditomo
Kurnia EF
Kurniawan
Kuswaidi Syafi'ie
Kuswinarto
Lan Fang
Landung Rusyanto Simatupang
Latief S. Nugraha
Leila S. Chudori
Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M)
Liestyo Ambarwati Khohar
Linda Sarmili
Liston P. Siregar
Liza Wahyuninto
LN Idayanie
Lucia Idayani
Lukman Asya
Lusiana Indriasari
Lynglieastrid Isabellita
M Hari Atmoko
M. Aan Mansyur
M. Arman A.Z
M. Bagus Pribadi
M. Fadjroel Rachman
M. Harya Ramdhoni Julizarsyah
M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S
M. Luthfi Aziz
M. Nahdiansyah Abdi
M. Raudah Jambak
M. Shoim Anwar
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Maghfur Saan
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Majalah Sastra Horison
Maklumat Sastra Profetik
Malkan Junaidi
Maman S. Mahayana
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maria Serenade Sinurat
Mario F. Lawi
Marluwi
Marsel Robot
Martin Aleida
Martin Suryajaya
Mashuri
Matdon
Mega Vristian
Melani Budianta
Melayu Riau
Memoar
MG. Sungatno
Mh Zaelani Tammaka
Miftah Fadhli
Miftahul Abrori
Misbahus Surur
Miziansyah J
Mochtar Lubis
Mohamad Ali Hisyam
Mohammad Eri Irawan
MT Arifin
Mugy Riskiana Halalia
Muhajir Arrosyid
Muhamad Rifai
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Al-Mubassyir
Muhammad Qodari
Muhammad Rain
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun A.S
Muhidin M. Dahlan
Muhlis Al-Firmany
Mujtahid
Mulyadi SA
Munawir Aziz
Murniati Tanjung
Murnierida Pram
Musa Ismail
Musfi Efrizal
Mustaan
Mustafa Ismail
N. Mursidi
Nafsul Latifah
Naskah Teater
Nasrullah Nara
Nelson Alwi
Nenden Lilis A
Nh. Anfalah
Ni Made Purnama Sari
Nina Mussolini-Hansson
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Noura
Nova Christina
Noval Jubbek
Novela Nian
Nugroho Notosusanto
Nugroho Pandhu Sukmono
Nur Faizah
Nurdin F. Joes
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nurul Komariyah
Nuryana Asmaudi SA
Nyoman Tusthi Eddy
Nyoman Wirata
Oka Rusmini
Oktamandjaya Wiguna
Oky Sanjaya
Olanama
Olivia Kristina Sinaga
Otto Sukatno CR
Pagelaran Musim Tandur
Pamusuk Eneste
Patricia Pawestri
PDS H.B. Jassin
PDS. H.B. Jassin
Penghargaan Hadiah Sastra Pusat Bahasa
Persda Network
Pipiet Senja
Pramoedya Ananta Toer
Pramono
Pranita Dewi
Pringadi AS
Prita Daneswari
Prof. Tamim Pardede sebut Bambang Tri
Prosa
Pudyo Saptono
Puisi
Puisi Kesunyian
Puisi Sufi
Puji Santosa
PUstaka puJAngga
Putu Fajar Arcana
Putu Wijaya
Qaris Tajudin
R. Sugiarti
Rachmad Djoko Pradopo
Radhar Panca Dahana
Ragdi F. Daye
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Ramadhan Batubara
Ramadhan KH
Ratih Kumala
Ratna Indraswari Ibrahim
Ratna Sarumpaet
Raudal Tanjung Banua
Remy Sylado
Reni Susanti
Renny Meita Widjajanti
Resensi
Restu Kurniawan
Retno Sulistyowati
RF. Dhonna
Rian Sindu
Ribut Wijoto
Ridwan Munawwar
Riki Utomi
Riris K. Toha-Sarumpaet
Risang Anom Pujayanto
Riza Multazam Luthfy
Robin Al Kautsar
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rohman Abdullah
Rosidi
Rosihan Anwar
Rukardi
S Yoga
S. Jai
S. Sinansari Ecip
S.I. Poeradisastra
S.W. Teofani
Sabam Siagian
Sabrank Suparno
Saiful Anam Assyaibani
Sainul Hermawan
Sajak
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Samsudin Adlawi
Sanggar Rumah Ilalang
Sanggar Teater Jerit
Sapardi Djoko Damono
Sartika Dian
Sartika Dian Nuraini
Sastra Tanah Air
Sastra Using
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sayyid Fahmi Alathas
Sazano
Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo
Seli Desmiarti
Selo Soemardjan
Senggrutu Singomenggolo
Seno Joko Suyono
SH Mintardja
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sipri Senda
Sitok Srengenge
Siwi Dwi Saputro
Sjifa Amori
Sobih Adnan
Sofian Dwi
Sofie Dewayani
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sri Ruwanti
Sri Wintala Achmad
St Sularto
Stefanus P. Elu
Sukron Abdilah
Sulaiman Djaya
Suminto A. Sayuti
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sungging Raga
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Suryansyah
Suryanto Sastroatmodjo
Susanto
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Suyadi
Suyadi San
Syaifuddin Gani
Syaiful Amin
Syamsiar Hidayah
Syarbaini
Syifa Amori
Syifa Aulia
Tajuddin Noor Ganie
Taufik Abdullah
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
TE. Priyono
Teguh Afandi
Teguh Ranusastra Asmara
Teguh Winarsho AS
Tengsoe Tjahjono
Theresia Purbandini
Tita Tjindarbumi
Titik Alva-Alvi Choiriyah
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Tjoet Nyak Dhien
Tosa Poetra
Tri Lestari Sustiyana
Triyanto Triwikromo
TS Pinang
Tu-ngang Iskandar
Tulus S
Tulus Wijanarko
Udo Z. Karzi
Ugoran Prasad
Umar Fauzi Ballah
Umar Kayam
Umbu Landu Paranggi
Universitas Indonesia
Universitas Jember
Utada Kamaru
UU Hamidy
Vera Ernawati
Veronika Ninik
W.S. Rendra
Wahjudi Djaja
Wahyu Hidayat
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Budiartha
Widya Karima
Wijaya Herlambang
Wiji Thukul
Willem B Berybe
Wilson Nadeak
Winarni R.
Wiratmo Soekito
Wita Lestari
Wiwik Widayaningtias
Y. Thendra BP
Y. Wibowo
Yasser Arafat
Yeni Ratnaningsih
Yohanes Sehandi
Yonatan Raharjo
Yonathan Rahardjo
Yopi Setia Umbara
Yos Rizal S
Yos Rizal Suriaji
Yudhi Herwibowo
Yuka Fainka Putra
Yurnaldi
Yushifull Ilmy
Yusri Fajar
Yusuf Suharto
Zainal Abidin
Zainal Arifin Thoha
Zawawi Se
Zen Hae
Tidak ada komentar:
Posting Komentar