Rabu, 09 Maret 2011

LABELS: SURAT SENIN PAGI

Tentang Perempuan Tua dalam Rashomon
A.S. Laksana
http://cerpenkompas.wordpress.com/

31 JANUARY 2011

Nama “Surat Senin Pagi” saya pilih karena terdengar enak. Meski surat pertama ini baru muncul pada Senin sore, untuk kesempatan berikutnya, saya akan berusaha ia muncul tiap Senin pagi. Dan ini surat pertama.

Teman-teman,

Untuk melatih diri bermental baja, anda mungkin bisa mencontoh Dadang Ari Murtono. Pada 5 Desember 2010, cerpennya yang berjudul Perempuan Tua dalam Rashomon dimuat oleh Lampung Post. Sejumlah orang menyatakan bahwa cerpen tersebut melulu jiplakan dari cerpen Rashomon karya Akutagawa Ryunosuke. Perdebatan sengit berlangsung di jejaring sosial facebook dan twitter. Sungging Raga berusaha membuktikan plagiarisme Dadang dengan menjajarkan paragraf-paragraf yang identik dalam dua cerpen Rashomon tersebut.

Mengaku mendapatkan desakan dari kawan-kawannya untuk menanggapi suara-suara sengit itu, Dadang menulis pembelaan terhadap Rashomon versinya–meski sebenarnya ia “ingin membiarkannya saja sebenarnya”. Dalam pembelaannya ia menulis antara lain sebagai berikut:

“Inti dari cerpen saya sendiri adalah upaya mengalihkan – bila istilah perlawanan terlalu berlebihan – cerpen Akutagawa ke konteks pemaknaan dunia sekarang ini yang saya yakini kebenarannya. Seperti inilah idenya: merubah sudut pandang yang dipakai Akutagawa tentang kehidupan itu sendiri, tanpa merubah dunia yang telah dibangunnya.”

(Kesalahan penulisan “merubah” yang seharusnya “mengubah” dalam kutipan di atas adalah dari Dadang sendiri. Namun, karena ia orang Jepang, saya agak maklum jika ia tidak tahu bahwa kata itu dibentuk dari kata dasar ubah dan bukan rubah atau cerpelai.)

Saya tidak ingin menjajarkan lagi paragraf-paragraf dalam kedua Rashomon itu, yang memang hampir sepenuhnya identik. Pekerjaan itu sudah dilakukan oleh Sungging Raga. Karena itu, saya pikir kita bisa membicarakan hal lain, dan saya akan berangkat dari pembelaan di atas.

Apa yang dimaksudkan oleh Dadang dengan “merubah sudut pandang” adalah mengganti siapa yang diceritakan masuk ke gerbang Rashomon pada awal cerita. Dalam cerpen Akutagawa, ia adalah seorang lelaki, pelayan samurai yang baru dipecat majikannya dan menjumpai di ruangan atas gerbang tersebut seorang perempuan tua sedang mencabuti rambut mayat seorang perempuan. Dalam versi Dadang, ia adalah seorang perempuan tua, juga pelayan samurai yang baru dipecat majikannya. Menjumpai tumpukan mayat di sana, perempuan itu memutuskan mencabuti rambut orang-orang mati itu untuk dijadikan cemara. Jadi, yang dilakukan Dadang adalah menggabungkan karakter Genin atau pelayan samurai dengan si perempuan tua, seperti seorang pawang mengawinkan tapir dengan musang.

Hasilnya, selain satu paragraf penutup, semuanya sama persis, baik plot, setting, maupun nada tuturan cerita tersebut dengan cerita Akutagawa. Saya kira ini sebuah ikhtiar yang agak imbisil untuk melahirkan sebuah cerita yang bersandar dari karya orang lain untuk kemudian dinyatakan sebagai karya sendiri.

Alasan pengubahan sudut pandang saya kira menjadi terlampau lemah dalam kasus ini. Kita bisa memaafkan bahwa Dadang tidak bisa membedakan ubah dengan rubah atau burung onta. Banyak orang lain mengidap gejala seperti itu. Dalam hal ini kekeliruan Dadang bukan kasus unik. Namun yang tidak termaafkan adalah kegagalannya memahami bahwa setiap individu adalah unik. Tiap-tiap orang akan melihat kenyataan dari pandangan dunianya masing-masing. Karena itu, di tangan seribu penulis kita akan mendapatkan seribu cerita, seribu cara pandang, seribu suara tuturan, pada saat mereka diminta menggarap satu tema. Dari sudut pandang satu karakter kita bisa mendapati satu cerita dan realitas yang hanya milik karakter tersebut. Sementara dari sudut pandang karakter lain, kita akan mendapati cerita dan realitas lain, kendati peristiwanya sama. Itu karena isi kepala masing-masing dari mereka berbeda, dan realitas adalah representasi pandangan dunia masing-masing orang.

Dadang memang memiliki kalimat yang patriotik untuk menjelaskan dirinya. Simaklah kalimat berikut:

“Dan kenapa ada beberapa kalimat yang sama persis dalam Perempuan Tua dalam Rashomon dengan kalimat-kalimat dalam Rashomon adalah karena saya ingin menjaga ingatan pembaca kepada Rashomon, agar dunia yang dibangun dalamPerempuan Tua dalam Rashomon tidak merusak apa-apa yang telah terbangun dalam Rashomon. Sebab ini perkara tafsir dan sudut pandang melihat sesuatu. Sebab ini perkara perlawanan dan keberpihakan.”

Ia benar bahwa ini perkara tafsir dan sudut pandang melihat sesuatu. Dan ia boleh sepatriotik mungkin menjelaskan dirinya. Namun, saya akan lebih sepele melihatnya, ini adalah perkara bagaimana seorang penulis memahami sudut pandang. Setiap orang memiliki kesaksiannya sendiri atas realitas, setiap orang memiliki versi yang berbeda meski mereka ditempatkan dalam setting dan situasi yang sama.

Akutagawa memahami hal tersebut. Karena itulah dalam cerpennya yang lain, “Di sebuah Hutan kecil”, ia membuat empat “realitas” berbeda atas satu peristiwa pembunuhan. Realitas pertama dari sudut pandang orang-orang yang mendapati mayat tersebut, mereka memberikan kesaksian di kantor polisi, termasuk kesaksian polisi yang menangkap pembunuhnya. Realitas kedua dari sudut pandang Tajomaru, si pembunuh, yang mengakui bahwa memang dialah yang membunuh korban. Realitas ketiga dari istri korban, yang mengakui bahwa dialah yang membunuh suaminya, bukan penyamun Tajomaru yang telah memerkosanya. Realitas keempat dari korban pembunuhan itu, melalui seorang cenayang.

Dadang tidak memiliki pemahaman sebaik Akutagawa dalam hal memaknai realitas. Maka, kendati ia mengakui membuat perubahan sudut pandang, kita masih mendapati segalanya sama saja. Ia mencoba menyodori kita sebuah versi lain, namun ada yang fatal dalam versinya: tak ada perbedaan realitas yang diwakili oleh perubahan sudut pandang. Maka, kita menjumpai bahwa isi kepala seorang lelaki pelayan samurai sama belaka dengan isi kepala perempuan tua pemulung rambut mayat, kecuali pada ending yang menurut saya justru terasa lebih klise dan mandek: perempuan tua itu memandangi tumpukan mayat dan berpikir alangkah enaknya menjadi mayat, tidak ada lagi persoalan. Selesai.

Dalam versi Akutagawa, ketika cerita berakhir, kita masih diajak melihat kegelapan. Dan kita masih diberi kesempatan “menulis” sendiri kelanjutan cerita tersebut, apakah perempuan tua itu akan terus mencabuti rambut si mayat untuk dijadikan cemara setelah si pelayan samurai merampok dirinya, atau kemungkinan apa pun. Sementara pada diri lelaki pelayan samurai, kita disodori kegelisahan apakah orang harus menjadi penjahat untuk bertahan hidup–dan kemudian sebuah ironi. Itu bagian sangat kuat pada cerita Rashomon yang justru hilang oleh ikhtiar Dadang.

Kehadiran perempuan tua yang mencabuti rambut mayat demi bertahan hidup membuat si pelayan samurai muak pada kemungkinan terburuk yang bisa dilakukan oleh manusia untuk mempertahankan nyawa. Ia, yang beberapa waktu sebelumnya berpikir untuk menjadi pencuri demi bertahan hidup, kemudian mendapatkan kesadaran berikut bahwa baginya lebih baik kehilangan nyawa ketimbang melakukan kebejatan sebagaimana yang dilakukan perempuan itu. Namun, sesaat kemudian, perempuan tua itu jugalah yang memberinya alasan, dalam percakapan singkat, bahwa dengan cara apa pun nyawa harus dipertahankan. Lagipula, menurut perempuan itu, “Mayat-mayat yang ada di sini semua pantas diperlakukan seperti itu.”

Pada saat itulah, Akugawa menyodori kita ironi. Ketika perempuan tua itu menjelaskan “apa yang pantas didapat oleh mayat-mayat itu”, ia sesungguhnya sedang menjelaskan juga apa yang pantas didapat olehnya. Maka, pelayan samurai itu menjadikan si perempuan tua korban pertamanya. Atas persetujuan si tua itu sendiri.

Apa boleh buat, secara patriotik demi “perlawanan dan keberpihakan”, Dadang telah membantai bagian yang paling memikat dari cerpen Akutagawa.

Itu masalah pertama dengan cerpen Rashomon versi Dadang. Masalah berikutnya, cerpen yang sama dimuat lagi tujuh pekan kemudian di Kompasminggu kemarin (30/1/2011). Raudal Tanjung Banua mengirimkan sms kepada saya pada sore harinya. Bunyinya: “Mas, baca cerpen Kompas hari ini, karya Dadang Ari Murtono? Lha, itu kan jiplakan bulat-bulat dari cerpen Ryunosuke Akutagawa berjudul Rashomon yang pernah diterbitkan akubaca. Kok redakturKompas tidak ingat cerpen terkenal itu ya? Demikian sekadar info. Salam.”

Sebelumnya, siang hari, di Milis Bengkel Penulisan Novel DKJ 2009, Apendi, salah seorang anggota milis, menulis surat yang mempertanyakan cerpen itu juga. Seperti membuat kuis, ia mengajukan pertanyaan: Kompas sengaja atau kecolongan?

Cerpenis Bamby Cahyadi menulis surat untuk Kompas, yang dimuat di situshttp://indonesiabuku.com pada hari yang sama dengan pemuatan cerpen tersebut. Ia menulis antara lain:

“Saya kecewa kepada KOMPAS, karena selain cerpen tersebut (Perempuan Tua dalam Rashomon) sudah pernah dimuat di Lampung Post, pada 5 Desember 2010, kenapa pula cerpen PLAGIAT itu bisa lolos dan dimuat di Kompas Minggu, 30 Januari 2011. Padahal cerpen Dadang ini, sempat membuat polemik masalah plagiat mencuat dan didiskusikan secara terbuka di media Facebook oleh beberapa cerpenis termasuk saya.”

Akhirnya, setelah cukup berpanjang lebar, saran saya untuk kasus ini tetap saja: Untuk melatih diri bermental baja, tirulah Dadang Ari Murtono. Saya mendapatkan komentar juga bahwa cerpennya yang berjudul Lelaki Sepi, yang juga dimuat di Kompas, mengingatkan kita pada cerita Perempuan Berwajah Penyok karya Ratih Komala.

Salam saya,

A.S. Laksana

N.B. Menurut saya akan lebih baik jika Dadang Ari Murtono membiarkan sajaRashomon seperti aslinya, jika upayanya untuk mengubah sudut pandang tidak bisa meyakinkan, dan caranya mengakhiri cerita justru menjadikan cerita itu berakhir klise. Dengan membiarkan Rashomon apa adanya, Dadang juga bisa mencantumkan namanya sebagai pengarang–kalau ia mau.

Artikel terkait:
Plagiat Rashomon, oleh Sungging Raga
Surat untuk Cerita Plagiat Dadang Ari Murtono di Kompas, oleh Bamby Cahyadi
Tanggapan atas Polemik Cerpen Perempuan Tua dalam Rashomon, oleh Dadang Ari Murtono
http://cerpenkompas.wordpress.com/2011/01/30/perempuan-tua-dalam-rashomon/

Tidak ada komentar:

Label

`Atiqurrahman A Muttaqin A Rodhi Murtadho A. Iwan Kapit A. Purwantara A. Qorib Hidayatullah A. Zakky Zulhazmi A.H.J Khuzaini A.S. Laksana Aang Fatihul Islam Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi WM Abdul Kadir Ibrahim Abdul Lathief Abdul Malik Abdul Wachid B.S. Abdurrahman El Husaini Abidah El Khalieqy Abu Salman Acep Zamzam Noor Achdiat K. Mihardja Adek Alwi Adi Suhara Adnyana Ole Adreas Anggit W. Afrion Afrizal Malna Aguk Irawan MN Agung Dwi Ertato Agus B. Harianto Agus Buchori Agus Himawan Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sulton Agusri Junaidi Agustinus Wahyono Ahda Imran Ahmad Badrus Sholihin Ahmad Fanani Mosah Ahmad Fatoni Ahmad Ikhwan Susilo Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musabbih Ahmad Rofiq Ahmad Sahidah Ahmad Tohari Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sekhu Alex R. Nainggolan Alex Suban Alunk Estohank Ami Herman Amien Kamil Amien Wangsitalaja Aminudin R Wangsitalaja Anastasya Andriarti Andreas Maryoto Anes Prabu Sadjarwo Angela Angga Wijaya Angkie Yudistia Anindita S Thayf Anis Ceha Anjrah Lelono Broto Anton Kurnia Anton Kurniawan Anton Wahyudi Anugrah Gio Pratama Anwar Nuris Aprinus Salam Arie MP Tamba Arif B. Prasetyo Arif Bagus Prasetyo Arif Hidayat Arman A.Z. Arti Bumi Intaran Arys Hilman AS Sumbawi Asarpin Asef Umar Fakhruddin Asep Sambodja Asrama Mahasiswa Aceh SABENA Astrikusuma Asvi Warman Adam Atep Kurnia Awalludin GD Mualif Aziz Abdul Gofar Azizah Hefni Badrut Tamam Gaffas Bagja Hidayat Bagus Takwin Balada Bale Aksara Baltasar Koi Bambang Agung Bambang Kempling Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Bayu Insani Beni Setia Benny Arnas Benny Benke Berita Berita Duka Berita Utama Bernando J. Sujibto Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Blambangan Brunel University London BSW Adjikoesoemo Budaya Budhi Setyawan Budi Darma Budi Saputra Budi Suwarna Bung Tomo Cak Kandar Catatan Cerpen Chairil Anwar Chavchay Syaifullah Cucuk Espe Cunong N. Suraja D. Zawawi Imron Dadang Ari Murtono Daisuke Miyoshi Damanhuri Damhuri Muhammad Damiri Mahmud Danarto Daniel Dhakidae Dante Alighieri Deddy Arsya Dedy Tri Riyadi Denny Mizhar Deny Tri Aryanti Detti Febrina Dharmadi Diah Hadaning Dian Hartati Dian Sukarno Diana A.V. Sasa Dicky Fadiar Djuhud Didi Arsandi Dimas Dina Oktaviani Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Djadjat Sudradjat Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Doddy Hidayatullah Donny Anggoro Dony P. Herwanto Dorothea Rosa Herliany Dr. Muhammad Zafar Iqbal Dr. Simuh Dwi Arjanto Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwicipta Dwijo Maksum Edy A. Effendi Edy Firmansyah Efri Ritonga Egidius Patnistik Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Hendri Saiful Elik Elsya Crownia Emha Ainun Nadjib Endah Sulawesi Endah Wahyuningsih Endang Suryadinata Endhiq Anang P Endri Y Eriyandi Budiman Ernest Hemingway Esai Esha Tegar Putra Eva Dwi Kurniawan Evi Dana Setia Ningrum Evi Idawati Evieta Fadjar F Rahardi Fabiola D. Kurnia Fadelan Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Faisal Kamandobat Faisal Syahreza Faizal Syahreza Fajar Alayubi Fandy Hutari Fany Chotimah Fatah Yasin Noor Fathor Lt Fathurrahman Karyadi Fatih Kudus Jaelani Fatma Dwi Rachmawati Fauzi Absal Festival Sastra Gresik Fikri. MS Fina Sato Fitri Susila Galih Pandu Adi Gde Agung Lontar Geger Riyanto Gerakan Literasi Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Ginanjar Rahadian Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gunoto Saparie Gus Martin Gus tf Sakai Gusti Eka Hadi Napster Haji Misbach Halim HD Halimi Zuhdy Hamberan Syahbana Hamdy Salad Han Gagas Handoko F. Zainsam Hari Santoso Haris del Hakim Hartono Harimurti Hary B. Kori’un Hasan Gauk Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Helwatin Najwa Hepi Andi Bastoni Heri C Santoso Heri KLM Heri Latief Heri Listianto Hermien Y. Kleden Hernadi Tanzil Heru Emka Heru Kurniawan Heru Prasetya Hesti Sartika Hudan Hidayat Humaidiy AS I Made Asdhiana I Made Prabaswara I Nyoman Suaka IBM. Dharma Palguna Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Ida Ahdiah Idayati Ignas Kleden Ihsan Taufik Ilenk Rembulan Ilham Khoiri Ilham Yusardi Imam Cahyono Imam Jahrudin Priyanto Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indah Darmastuti Indiar Manggara Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indrian Koto Irma Safitri Irman Syah Iskandar Noe Istiqomatul Hayati Ita Siregar Iwan Kurniawan Iwan Nurdaya-Djafar Iyut FItra Jadid Al Farisy Jafar M. Sidik Jakob Sumardjo Jamal D Rahman Janual Aidi Javed Paul Syatha Jayaning S.A Jefri al Malay Jihan Fauziah JJ. Kusni Jo Pakagula Johan Edy Raharjo Joko Pinurbo Jokowi Undercover Joni Ariadinata Joss Wibisono Jual Buku Paket Hemat Judyane Koz Juli Sastrawan Junaidi Abdul Munif Jusuf AN Juwairiyah Mawardy Kadir Ruslan Kasnadi Katrin Bandel Kedung Darma Romansha Khairul Mufid Jr Khamami Zada Khrisna Pabichara Kikin Kuswandi Koh Young Hun Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Komunitas Sastra Ilalang Indonesia (KSII) Korrie Layun Rampan Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan) Kristianto Batuadji Kritik Sastra Kunni Masrohanti Kunthi Hastorini Kuntowijoyo Kurie Suditomo Kurnia EF Kurniawan Kuswaidi Syafi'ie Kuswinarto Lan Fang Landung Rusyanto Simatupang Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Liestyo Ambarwati Khohar Linda Sarmili Liston P. Siregar Liza Wahyuninto LN Idayanie Lucia Idayani Lukman Asya Lusiana Indriasari Lynglieastrid Isabellita M Hari Atmoko M. Aan Mansyur M. Arman A.Z M. Bagus Pribadi M. Fadjroel Rachman M. Harya Ramdhoni Julizarsyah M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S M. Luthfi Aziz M. Nahdiansyah Abdi M. Raudah Jambak M. Shoim Anwar M. Yoesoef M.D. Atmaja Maghfur Saan Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Majalah Sastra Horison Maklumat Sastra Profetik Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Serenade Sinurat Mario F. Lawi Marluwi Marsel Robot Martin Aleida Martin Suryajaya Mashuri Matdon Mega Vristian Melani Budianta Melayu Riau Memoar MG. Sungatno Mh Zaelani Tammaka Miftah Fadhli Miftahul Abrori Misbahus Surur Miziansyah J Mochtar Lubis Mohamad Ali Hisyam Mohammad Eri Irawan MT Arifin Mugy Riskiana Halalia Muhajir Arrosyid Muhamad Rifai Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Al-Mubassyir Muhammad Qodari Muhammad Rain Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun A.S Muhidin M. Dahlan Muhlis Al-Firmany Mujtahid Mulyadi SA Munawir Aziz Murniati Tanjung Murnierida Pram Musa Ismail Musfi Efrizal Mustaan Mustafa Ismail N. Mursidi Nafsul Latifah Naskah Teater Nasrullah Nara Nelson Alwi Nenden Lilis A Nh. Anfalah Ni Made Purnama Sari Nina Mussolini-Hansson Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Noura Nova Christina Noval Jubbek Novela Nian Nugroho Notosusanto Nugroho Pandhu Sukmono Nur Faizah Nurdin F. Joes Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nurul Komariyah Nuryana Asmaudi SA Nyoman Tusthi Eddy Nyoman Wirata Oka Rusmini Oktamandjaya Wiguna Oky Sanjaya Olanama Olivia Kristina Sinaga Otto Sukatno CR Pagelaran Musim Tandur Pamusuk Eneste Patricia Pawestri PDS H.B. Jassin PDS. H.B. Jassin Penghargaan Hadiah Sastra Pusat Bahasa Persda Network Pipiet Senja Pramoedya Ananta Toer Pramono Pranita Dewi Pringadi AS Prita Daneswari Prof. Tamim Pardede sebut Bambang Tri Prosa Pudyo Saptono Puisi Puisi Kesunyian Puisi Sufi Puji Santosa PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Wijaya Qaris Tajudin R. Sugiarti Rachmad Djoko Pradopo Radhar Panca Dahana Ragdi F. Daye Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Ramadhan Batubara Ramadhan KH Ratih Kumala Ratna Indraswari Ibrahim Ratna Sarumpaet Raudal Tanjung Banua Remy Sylado Reni Susanti Renny Meita Widjajanti Resensi Restu Kurniawan Retno Sulistyowati RF. Dhonna Rian Sindu Ribut Wijoto Ridwan Munawwar Riki Utomi Riris K. Toha-Sarumpaet Risang Anom Pujayanto Riza Multazam Luthfy Robin Al Kautsar Rodli TL Rofiqi Hasan Rohman Abdullah Rosidi Rosihan Anwar Rukardi S Yoga S. Jai S. Sinansari Ecip S.I. Poeradisastra S.W. Teofani Sabam Siagian Sabrank Suparno Saiful Anam Assyaibani Sainul Hermawan Sajak Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sanggar Rumah Ilalang Sanggar Teater Jerit Sapardi Djoko Damono Sartika Dian Sartika Dian Nuraini Sastra Tanah Air Sastra Using Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sayyid Fahmi Alathas Sazano Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo Seli Desmiarti Selo Soemardjan Senggrutu Singomenggolo Seno Joko Suyono SH Mintardja Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sipri Senda Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Sobih Adnan Sofian Dwi Sofie Dewayani Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sri Ruwanti Sri Wintala Achmad St Sularto Stefanus P. Elu Sukron Abdilah Sulaiman Djaya Suminto A. Sayuti Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sungging Raga Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Suryansyah Suryanto Sastroatmodjo Susanto Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suyadi Suyadi San Syaifuddin Gani Syaiful Amin Syamsiar Hidayah Syarbaini Syifa Amori Syifa Aulia Tajuddin Noor Ganie Taufik Abdullah Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat TE. Priyono Teguh Afandi Teguh Ranusastra Asmara Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Theresia Purbandini Tita Tjindarbumi Titik Alva-Alvi Choiriyah Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tjoet Nyak Dhien Tosa Poetra Tri Lestari Sustiyana Triyanto Triwikromo TS Pinang Tu-ngang Iskandar Tulus S Tulus Wijanarko Udo Z. Karzi Ugoran Prasad Umar Fauzi Ballah Umar Kayam Umbu Landu Paranggi Universitas Indonesia Universitas Jember Utada Kamaru UU Hamidy Vera Ernawati Veronika Ninik W.S. Rendra Wahjudi Djaja Wahyu Hidayat Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Budiartha Widya Karima Wijaya Herlambang Wiji Thukul Willem B Berybe Wilson Nadeak Winarni R. Wiratmo Soekito Wita Lestari Wiwik Widayaningtias Y. Thendra BP Y. Wibowo Yasser Arafat Yeni Ratnaningsih Yohanes Sehandi Yonatan Raharjo Yonathan Rahardjo Yopi Setia Umbara Yos Rizal S Yos Rizal Suriaji Yudhi Herwibowo Yuka Fainka Putra Yurnaldi Yushifull Ilmy Yusri Fajar Yusuf Suharto Zainal Abidin Zainal Arifin Thoha Zawawi Se Zen Hae