Martin Aleida*
http://boemipoetra.wordpress.com/
“HU AR Rini Endo. Saya baca di Internet undangan diskusi sastra di PDS HBJ (Jum 25/3, 15:30), judul atasnya memperingati 100 hari Asep Semboja, tapi judul berikutnya yg lebih penting “ttg pengarang2 Lekra.” Moderator Martin Aleida dg 2 pembicara. Saya terkejut. Ini keterlaluan. Kenapa PDS memberi kesempatan juga kpd ex Lekra memakai ruangannya utk propaganda ideologi bangkrut ini, yang dulu ber-tahun2 (1959-1965) memburukkan, mengejek, memaki HBJ, memecatnya sampai kehilangan sumber nafkah? Bagaimana perasaan beliau bila melihat PDS warisannya secara bulus licik dimasuki dan diperalat pewaris ideologi ular berbisa ini? Petugas PDS yg tentunya tahu rujukan sejarah ini seharusnya sensitif untuk menyuruh ex Lekra itu menyewa tempat lain saja, bukan di PDS. Hendaknya jangan ex Lekra berhasil lagi buang air besar di lantai PDS. Ajari mereka agar berak di tempat lain yang pantas (Taufiq Ismail).”
Pesan beracun, yang menghambur sejak Jumat dinihari, 25 Maret 2011, itu tidak hanya diterima oleh HU (Husseyn Umar), Ketua Dewan Pengurus Yayasan Dokumentasi Sastra HB Jassin, AR (Ajip Rosidi), Ketua Dewan Pembina Yayasan Dokumentasi Sastra HB Jassin, serta Rini dan Endo masing-masing sebagai staf PDS HB Jassin. Racun itu menyebar cepat, sangat cepat, dan banyak. Wallahu alam, saya tak tahu berapa orang lagi yang menerima pesan itu. Saya kira, pastilah banyak! Karena, menjelang tengah malam pada hari Jumat, saya masih menerima SMS serupa yang diteruskan oleh Titiek, putri Pramoedya Ananta Toer. Kegemparan tidak hanya sampai di situ. Bagai serangan selepas subuh, pukul 05.45, pagar rumah saya bergetar. “Pak Ajip…” bisik istri saya begitu membalik setelah mengintai siapa gerangan yang bertamu sepagi itu.
Pagi itu pertemuan saya dengan Ajip dengan cepat mencapai puncak yang tidak diinginkan oleh siapa pun. Juga tidak oleh tokek yang sudah kehabisan mangsa. Ajip meminta saya untuk membatalkan diskusi mejabudaya, yang dituduh Taufiq Ismail sebagai diskusi mengenai pengarang Lekra. Dia meminta perhatian khusus dari saya, karena PDS sedang menghadapi masa konsolidasi setelah Gubernur Fauzi Bowo berjanji akan menambah dana untuk kelangsungan hidup pusat dokumentasi sastra itu. Untung masih pagi, saya bisa mengendalikan diri menghadapi orang yang datang membawa kekuasaan dengan pongahnya. Yang mendesak saya untuk membatalkan apa yang sudah menjadi kesepakatan teman-teman. Saya hela nafas, dalam. Ucap saya: “Diskusi itu diselenggarakan oleh kelompok diskusi mejabudaya yang sudah berdiri sejak delapan tahun lalu. Diskusi akan membahas kumpulan tulisan Asep Sambodja dalam buku yang baru diterbitkan Ultimus, judulnya Asep Sambodja Menulis, sekaligus peringatan 100 hari meninggalnya penulis. Itu diskusi buku. Bukan diskusi Lekra. Kami juga mengirimkan undangan lewat SMS kepada Taufiq. Dia boleh datang untuk ikut membicarakan buku itu.”
Penjelasan saya itu dengan keras dibanting oleh Ajip dengan hardikan: “Saya sudah baca buku itu! Tak perlu penjelasan! Pokoknya harus dibatalkan! Pilihannya cuma dua, kalian membatalkan diri sendiri atau dibatalkan oleh Taufiq Ismail. Taufiq akan datang membawa pasukan!” Begitu meluapnya emosinya di pagi yang memang tidak sejuk itu, sehingga Ajip lupa mengatakan bahwa buku Asep itu dia terima dari saya dua hari yang lalu. Kutatap matanya beberapa detik, jangka waktu yang cukup memberikan kesempatan kepada seseorang untuk mengatakan sesuatu kepada dirinya sendiri yang beresonansi untuk menenangkan hati orang yang sedang dibakar amarah, apalagi amarah yang membabibuta.
Hati saya sesungguhnya sudah terketuk ketika Ajip mengatakan dalam suasana mengkonsolidasi diri, PDS memerlukan ketenangan, mencari kesempatan untuk merenung. Tetapi, ketika dia mengamangkan palu godam berapi yang diterimanya dari Taufiq Ismail bahwa mejabudaya harus bubar dengan acara Asep Sambodja-nya, darah saya mendidih. Saya tarik nafas dalam-dalam. “mejabudaya itu bukan saya punya, dia tidak punya hirarki, tak ada ketua, tak ada sekretaris, dia bergerak karena ada yang menginginkan kemajuan, kebetulan saya yang aktif. Nanti akan saya sampaikan kepada teman-teman pesan Bung Ajp ini. Keputusan ada pada mereka.” Penulis besar dari Tatar Sunda itu, yang cerita-cerita pendeknya sudah saya nikmati ketika saya baru duduk di SMP, tiba-tiba menyodorkan pantatnya ke depan, menenangkan hatinya dengan mereguk secangkir teh yang sejak dari tadi mengamati dirinya. Ajip bangkit, mengucapkan terima kasih, melafalkan salam. Kuikuti dia melewati serambi. Kubukakan pintu pagarku, dan dia pergi menyeret langkah kakinya yang kelihatan seberat pohon kelapa.
Begitulah. Saya segera mengontak teman-teman mejabudaya, memberi tahu mereka tentang Taufiq Ismail yang akan membawa laskar Munafiqin untuk membubarkan diskusi menghormati Asep Sambodja. Beberapa pegiat dan pemikir budaya juga saya kabarkan mengenai ancaman pembubaran diskusi buku itu. Membubarkan diri atau dibubarkan pasukan Taufiq Ismail. Tidak mengejutkan saya, ketika teman-teman mengatakan, “Biarkan dia yang membubarkan supaya publik tahu siapa yang biadab!”
Sebelum diskusi dimulai, secara kronologis saya ceritakan kepada sekitar 50 peserta diskusi tentang apa yang sedang terjadi. Diskusi yang diawali dengan pengantar yang dibawakan Okky Tirto, penyair-pemikir muda, dan penyair Sutikno W.S., mendapat tanggapan hangat dari hadirin. Adi Wicaksono, dan diperkuat oleh penulis-pemusik Vukar, mengatakan bahwa apa yang sudah dikerjakan oleh Asep Sambodja selayaknya diteruskan dan diperdalam oleh para peneliti sesudahnya, untuk melengkapi sejarah secara lebih luas, terutama sejarah kesusastraan Indonesia.
Diskusi berlangsung hangat walau pikiran sebagian teman terpecah. Mata, sebentar-sebentar melirik ke pintu masuk, siap untuk menghadapi gempuran kaum Munafiqin. Tegang juga rasanya dengan kuda-kuda yang terus terpacak seperti senapan yang terus terkokang, sementara musuh tak kelihatan batang hidungnya. Sebelum azan Magrib diskusi ditutup. Kuda-kuda mengurai ketegangannya. Taufiq Ismail yang ditunggu-tunggu tak muncul juga, aaaah… Ternyata cuma gertak sambal (ijo). Kasihan Ajip Rosidi yang meneruskannya sampai repot-repot melangkahi bendul rumah saya.
Apa sesungguhnya yang terjadi sehingga Taufiq menyebutkan saya “pewaris ideologi ular berbisa”? Sekitar dua tahun lalu saya undang dia lewat SMS untuk menghadiri peluncuran kumpulan cerita pendek saya, Mati Baik-Baik, Kawan, dan dia datang, mengkritik salah satu cerita yang dia anggap lemah, serta bertukar pandangan dengan Agung Ayu yang menjadi pembicara utama dalam acara yang berlangsung di PDS HB Jassin itu. (Peluncuran buku itu tak ada hubungannya dengan mejabudaya.)
Saya masih ingat, ketika untuk pertama kali saya berkenalan dengan dia, semasa saya bekerja sebagai wartawan majalah TEMPO, mungkin hanya sekedar basa-basi, Taufiq memuji salah satu cerita pendek saya yang dimuat Horison akhir 1960-an. Dia kelihatannya berubah setelah saya dua kali tampil bersama dia sebagai pembicara di dua seminar yang diselenggarakan di Universitas Indonesia tentang sastra dan G30S, di mana saya secara tedeng aling-aling mengkritik sikapnya yang menutup mata terhadap ratusan ribu atau bahkan jutaan manusia tak berdosa yang jadi korban setelah bencana politik itu. Dia berbicara dengan catatan yang dibuat begitu akurat, tentang Komunis yang membantai di mana-mana, tapi tidak sudi menyebutkan bahwa mereka yang dituduh Komunis dan simpatisannya yang justru di pelupuk matanya sendiri, dia anggap sebagai TIDAK ADA! BUKAN MANUSIA! Juga sikap saya yang antagonis dengan pendiriannya berhadap-hadapan dengan Lekra dan gerakan kebudayaan pertengahan 1960-an dalam apa yang dinamakan rekonsiliasi Lekra-Manifes Kebudayaan yang berlangsung di Teater Utan Kayu beberapa waktu yang lalu.
“… Hendaknya jangan ex Lekra berhasil lagi buang air besar di lantai PDS. Ajari mereka agar berak di tempat lain yang pantas.” Itu mungkin selarik dari puisi mutakhir Taufiq Ismail. Namun, kalau tidak dibaca dengan sebuah konstruksi sastrawi, maka kata-kata dalam pesan singkatnya itu tak-bisa-tidak dia bersifat perintah terhadap pimpinan dan staf PDS HB Jassin. Barangkali, kata-kata eks Lekra yang berhasil “buang air besar” di PDS, maksudnya adalah diskusi senirupa yang diselenggarakan oleh Bumi Tarung Fans Club yang berlangsung di PDS, 12 Maret 2011, yang coba digagalkan oleh Taufiq dengan membujuk Ajip sang budayawan, dan mengintimidasi Rini, staf pusat dokumentasi yang bermarkas di Taman Ismail Marzuki itu.
Suasana hati Taufiq Ismail ketika menulis SMS itu, kalau boleh saya tebak, adalah suasana kalang-kabut karena kebelet, tak bisa buang air besar. Gara-gara dia sendiri. Dia sudah tak bisa “memberaki” siswa-siswa sekolah menengah atas melalui program ”sastrawan bicara siswa bertanya”, karena pemberi dana, Ford Foundation, menyetop bantuan Rp 100 juta/tahun, lantaran dia menyuarakan suara pemerintah ketika bersaksi mengenai pornografi. “Counter part kita bukan pemerintah, tetapi grassroots. Anda tidak menyuarakan apa yang selayaknya Anda suarakan,” begitulah kira-kira kata-kata mati yang disampaikan Ford Foundation kepada Taufiq. Dan, kabarnya, seperti juga kalau dia membaca puisi, maka dia pun menangis!
Hikhikhik…[Dendang lagu Melayu menerabas dari rumah sebelah, meninabobo, katanya, ‘Buyung, anakku seorang, sudahi banjir air matamu di sini saja… langit tak bakal runtuh.’] Saya tidak melihat titik air matanya dengan mata kepala saya sendiri. Tapi, itulah kata-kata imajiner yang saya pungut beterbangan di jalan-jalan, juga di langit.
Untuk dia selalu saya doakan, kalau program itu bisa berkibar lagi. Siapa tahu, suatu ketika setelah pasukan sekutu berhasil menekuk Libya, Ford Foundation berkenan mengucurkan bantuan untuk program yang berguna untuk siswa-siswa sekolah menengah atas itu. Cuma harus diingat selama ini program itu sama sekali bertolak-belakang dengan pedagogi pendidikan, karena sastrawan yang disertakan hanyalah teman-teman sendiri. Sudah saatnya melepaskan diri dari kungkungan tempurung kepala dewek.
Saya ingin bertanya dari dokumentasi yang disimpan siapa ada catatan yang menyebutkan bahwa HB Jassin kehilangan nafkah gara-gara Lekra. Sejak kapan HB Jassin bekerja di bawah “pemerintahan” Lekra, sehingga kesalahannya harus diganjar pemecatan. Catatan dari mana yang mengatakan Lekra membawahi Lembaga Bahasa Nasional (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan) di mana HB Jassin bekerja? Kawan, sekalipun sebuah khayalan, logika hendaknya terpateri kuat-kuat di sana.
“Bagaimana perasaan beliau bila melihat PDS warisannya secara bulus licik dimasuki dan diperalat pewaris ideologi ular berbisa ini?” gugat Taufiq Ismail. Saya ingin bertanya, sejak kapan Taufiq Ismail diberikan Pak Jassin kuasa penuh untuk menafsirkan perasaannya? Saya tidak dekat, dan berusaha tidak duduk persis di depan meja kerjanya, sejauh itu berkenaan dengan karya sastra. Saya, sebagai wartawan majalah TEMPO, pernah dua kali mewawancarai HB Jassin awal 1970-an, ketika kritikus ternama ini dalam proses menerjemahkan Al-Quran secara puitis. Sebagai basa-basi, sebelum memulai wawancara, saya katakan bahwa tiga cerita pendek saya dimuat Horison, yang dia pimpin. Dia tidak bertanya tentang latar belakang saya. Dia cuma senyum. Hamsad Rangkuti, yang bekerja di Horison di bawah pimpinan HB Jassin, mengenal saya, sebagai orang sekampung di Tanjung Balai, Kisaran. Saya tak tahu, dan tak perlu bertanya kepada Hamsad, apakah dia pernah menceritakan latar-belakang saya kepada Pak Jassin. Sama seperti saya, Hamsad percaya bahwa cerita pendek hidup dengan membawa kodratnya sendiri, dengan keyakinan bahwa setan takkan pernah membawa surga dengan berkendaraan kata-kata.
PDS HB Jassin dalam sorotan. Saya yang sejak pensiun sering mangkal di situ, menulis hampir seluruh cerita yang pernah saya terbitkan, termasuk satu novel. Endo Senggono, sebagai staf PDS, telah membuka ruang baca seluas 300 m2 sebesar-besarnya sebagai rumah para sastrawan dan pekerja seni di berbagai bidang: senirupa, film, musik, teater yang masih muda-muda untuk mangkal di situ, di luar jam kerja. Endo kelihatannya sadar sejarah, bahwa para seniman memerlukan tempat mampir, sebagaimana para seniman tahun 1950-an menemukan rumah di Pasar Senen. Dewan Kesenian Jakarta, dengan ruang tamu, dan sekat-sekat enam komite kesenian terlalu elit buat disinggahi.
Endo telah menjadikan PDS sebagai “pusat budaya,” rumah bagi anak-anak muda yang berbakat tetapi masih terlantar. Hati saya terenyuh ketika Ajip Rosidi mengatakan dia akan berupaya memutasikan Endo ke Dinas Kebudayaan dengan jalan membujuk sang kepala dinas. Karena Endo dianggap sesat. “Saya tak tahu apa motif Endo untuk memberikan kebebasan bagi semua orang untuk memanfaatkan PDS,” katanya.
Sepuluh tahun lalu Ajip menunjuk Endo untuk menggantikan Oyon Sofyan sebagai kepala pelaksana PDS, karena Oyon dianggap membangkang, menolak kebijakan Yayasan, karena menurut Oyon, Yayasan datang belakangan sesudah lahirnya pusat dokumentasi HB Jassin. Dalam kiprahnya selama sepuluh tahun, Endo tidak bebas dari kesalahan. Dan mustahil. Mungkin sebuah sistem disiplin sebuah kantor sudah terluka karena pintu yang sudah dia buka dengan hati yang jujur. Manusia terlihat kocar-kacir di situ. Namun, dia sudah membangun sebuah rumah buat mereka yang ingin berkembang. Membuka jalan. Membebaskan diri dari keterlantaran. Kita akan menulis dan melantunkan sebuah ode jika Endo, yang hanya bisa melangkah dengan bantuan ketiak penyangganya, dijatuhkan sampai terjerembab. ***
*Martin Aleida, penulis cerita
Sumber: http://boemipoetra.wordpress.com/2011/03/29/143/
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Label
`Atiqurrahman
A Muttaqin
A Rodhi Murtadho
A. Iwan Kapit
A. Purwantara
A. Qorib Hidayatullah
A. Zakky Zulhazmi
A.H.J Khuzaini
A.S. Laksana
Aang Fatihul Islam
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi WM
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Lathief
Abdul Malik
Abdul Wachid B.S.
Abdurrahman El Husaini
Abidah El Khalieqy
Abu Salman
Acep Zamzam Noor
Achdiat K. Mihardja
Adek Alwi
Adi Suhara
Adnyana Ole
Adreas Anggit W.
Afrion
Afrizal Malna
Aguk Irawan MN
Agung Dwi Ertato
Agus B. Harianto
Agus Buchori
Agus Himawan
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus Sulton
Agusri Junaidi
Agustinus Wahyono
Ahda Imran
Ahmad Badrus Sholihin
Ahmad Fanani Mosah
Ahmad Fatoni
Ahmad Ikhwan Susilo
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Musabbih
Ahmad Rofiq
Ahmad Sahidah
Ahmad Tohari
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Muhaimin Azzet
Akhmad Sekhu
Alex R. Nainggolan
Alex Suban
Alunk Estohank
Ami Herman
Amien Kamil
Amien Wangsitalaja
Aminudin R Wangsitalaja
Anastasya Andriarti
Andreas Maryoto
Anes Prabu Sadjarwo
Angela
Angga Wijaya
Angkie Yudistia
Anindita S Thayf
Anis Ceha
Anjrah Lelono Broto
Anton Kurnia
Anton Kurniawan
Anton Wahyudi
Anugrah Gio Pratama
Anwar Nuris
Aprinus Salam
Arie MP Tamba
Arif B. Prasetyo
Arif Bagus Prasetyo
Arif Hidayat
Arman A.Z.
Arti Bumi Intaran
Arys Hilman
AS Sumbawi
Asarpin
Asef Umar Fakhruddin
Asep Sambodja
Asrama Mahasiswa Aceh SABENA
Astrikusuma
Asvi Warman Adam
Atep Kurnia
Awalludin GD Mualif
Aziz Abdul Gofar
Azizah Hefni
Badrut Tamam Gaffas
Bagja Hidayat
Bagus Takwin
Balada
Bale Aksara
Baltasar Koi
Bambang Agung
Bambang Kempling
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Bayu Insani
Beni Setia
Benny Arnas
Benny Benke
Berita
Berita Duka
Berita Utama
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Blambangan
Brunel University London
BSW Adjikoesoemo
Budaya
Budhi Setyawan
Budi Darma
Budi Saputra
Budi Suwarna
Bung Tomo
Cak Kandar
Catatan
Cerpen
Chairil Anwar
Chavchay Syaifullah
Cucuk Espe
Cunong N. Suraja
D. Zawawi Imron
Dadang Ari Murtono
Daisuke Miyoshi
Damanhuri
Damhuri Muhammad
Damiri Mahmud
Danarto
Daniel Dhakidae
Dante Alighieri
Deddy Arsya
Dedy Tri Riyadi
Denny Mizhar
Deny Tri Aryanti
Detti Febrina
Dharmadi
Diah Hadaning
Dian Hartati
Dian Sukarno
Diana A.V. Sasa
Dicky Fadiar Djuhud
Didi Arsandi
Dimas
Dina Oktaviani
Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan
Djadjat Sudradjat
Djoko Saryono
Doddi Ahmad Fauji
Doddy Hidayatullah
Donny Anggoro
Dony P. Herwanto
Dorothea Rosa Herliany
Dr. Muhammad Zafar Iqbal
Dr. Simuh
Dwi Arjanto
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwicipta
Dwijo Maksum
Edy A. Effendi
Edy Firmansyah
Efri Ritonga
Egidius Patnistik
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Eko Hendri Saiful
Elik
Elsya Crownia
Emha Ainun Nadjib
Endah Sulawesi
Endah Wahyuningsih
Endang Suryadinata
Endhiq Anang P
Endri Y
Eriyandi Budiman
Ernest Hemingway
Esai
Esha Tegar Putra
Eva Dwi Kurniawan
Evi Dana Setia Ningrum
Evi Idawati
Evieta Fadjar
F Rahardi
Fabiola D. Kurnia
Fadelan
Fahrudin Nasrulloh
Faidil Akbar
Faisal Kamandobat
Faisal Syahreza
Faizal Syahreza
Fajar Alayubi
Fandy Hutari
Fany Chotimah
Fatah Yasin Noor
Fathor Lt
Fathurrahman Karyadi
Fatih Kudus Jaelani
Fatma Dwi Rachmawati
Fauzi Absal
Festival Sastra Gresik
Fikri. MS
Fina Sato
Fitri Susila
Galih Pandu Adi
Gde Agung Lontar
Geger Riyanto
Gerakan Literasi
Gerakan Surah Buku (GSB)
Gerson Poyk
Ginanjar Rahadian
Gita Pratama
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gunawan Budi Susanto
Gunoto Saparie
Gus Martin
Gus tf Sakai
Gusti Eka
Hadi Napster
Haji Misbach
Halim HD
Halimi Zuhdy
Hamberan Syahbana
Hamdy Salad
Han Gagas
Handoko F. Zainsam
Hari Santoso
Haris del Hakim
Hartono Harimurti
Hary B. Kori’un
Hasan Gauk
Hasan Junus
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Hasta Indriyana
Helwatin Najwa
Hepi Andi Bastoni
Heri C Santoso
Heri KLM
Heri Latief
Heri Listianto
Hermien Y. Kleden
Hernadi Tanzil
Heru Emka
Heru Kurniawan
Heru Prasetya
Hesti Sartika
Hudan Hidayat
Humaidiy AS
I Made Asdhiana
I Made Prabaswara
I Nyoman Suaka
IBM. Dharma Palguna
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
Ida Ahdiah
Idayati
Ignas Kleden
Ihsan Taufik
Ilenk Rembulan
Ilham Khoiri
Ilham Yusardi
Imam Cahyono
Imam Jahrudin Priyanto
Imam Muhtarom
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Rosyid
Imron Tohari
Indah Darmastuti
Indiar Manggara
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Indrian Koto
Irma Safitri
Irman Syah
Iskandar Noe
Istiqomatul Hayati
Ita Siregar
Iwan Kurniawan
Iwan Nurdaya-Djafar
Iyut FItra
Jadid Al Farisy
Jafar M. Sidik
Jakob Sumardjo
Jamal D Rahman
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jayaning S.A
Jefri al Malay
Jihan Fauziah
JJ. Kusni
Jo Pakagula
Johan Edy Raharjo
Joko Pinurbo
Jokowi Undercover
Joni Ariadinata
Joss Wibisono
Jual Buku Paket Hemat
Judyane Koz
Juli Sastrawan
Junaidi Abdul Munif
Jusuf AN
Juwairiyah Mawardy
Kadir Ruslan
Kasnadi
Katrin Bandel
Kedung Darma Romansha
Khairul Mufid Jr
Khamami Zada
Khrisna Pabichara
Kikin Kuswandi
Koh Young Hun
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias
Komunitas Sastra Ilalang Indonesia (KSII)
Korrie Layun Rampan
Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan)
Kristianto Batuadji
Kritik Sastra
Kunni Masrohanti
Kunthi Hastorini
Kuntowijoyo
Kurie Suditomo
Kurnia EF
Kurniawan
Kuswaidi Syafi'ie
Kuswinarto
Lan Fang
Landung Rusyanto Simatupang
Latief S. Nugraha
Leila S. Chudori
Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M)
Liestyo Ambarwati Khohar
Linda Sarmili
Liston P. Siregar
Liza Wahyuninto
LN Idayanie
Lucia Idayani
Lukman Asya
Lusiana Indriasari
Lynglieastrid Isabellita
M Hari Atmoko
M. Aan Mansyur
M. Arman A.Z
M. Bagus Pribadi
M. Fadjroel Rachman
M. Harya Ramdhoni Julizarsyah
M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S
M. Luthfi Aziz
M. Nahdiansyah Abdi
M. Raudah Jambak
M. Shoim Anwar
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Maghfur Saan
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Majalah Sastra Horison
Maklumat Sastra Profetik
Malkan Junaidi
Maman S. Mahayana
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maria Serenade Sinurat
Mario F. Lawi
Marluwi
Marsel Robot
Martin Aleida
Martin Suryajaya
Mashuri
Matdon
Mega Vristian
Melani Budianta
Melayu Riau
Memoar
MG. Sungatno
Mh Zaelani Tammaka
Miftah Fadhli
Miftahul Abrori
Misbahus Surur
Miziansyah J
Mochtar Lubis
Mohamad Ali Hisyam
Mohammad Eri Irawan
MT Arifin
Mugy Riskiana Halalia
Muhajir Arrosyid
Muhamad Rifai
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Al-Mubassyir
Muhammad Qodari
Muhammad Rain
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun A.S
Muhidin M. Dahlan
Muhlis Al-Firmany
Mujtahid
Mulyadi SA
Munawir Aziz
Murniati Tanjung
Murnierida Pram
Musa Ismail
Musfi Efrizal
Mustaan
Mustafa Ismail
N. Mursidi
Nafsul Latifah
Naskah Teater
Nasrullah Nara
Nelson Alwi
Nenden Lilis A
Nh. Anfalah
Ni Made Purnama Sari
Nina Mussolini-Hansson
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Noura
Nova Christina
Noval Jubbek
Novela Nian
Nugroho Notosusanto
Nugroho Pandhu Sukmono
Nur Faizah
Nurdin F. Joes
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nurul Komariyah
Nuryana Asmaudi SA
Nyoman Tusthi Eddy
Nyoman Wirata
Oka Rusmini
Oktamandjaya Wiguna
Oky Sanjaya
Olanama
Olivia Kristina Sinaga
Otto Sukatno CR
Pagelaran Musim Tandur
Pamusuk Eneste
Patricia Pawestri
PDS H.B. Jassin
PDS. H.B. Jassin
Penghargaan Hadiah Sastra Pusat Bahasa
Persda Network
Pipiet Senja
Pramoedya Ananta Toer
Pramono
Pranita Dewi
Pringadi AS
Prita Daneswari
Prof. Tamim Pardede sebut Bambang Tri
Prosa
Pudyo Saptono
Puisi
Puisi Kesunyian
Puisi Sufi
Puji Santosa
PUstaka puJAngga
Putu Fajar Arcana
Putu Wijaya
Qaris Tajudin
R. Sugiarti
Rachmad Djoko Pradopo
Radhar Panca Dahana
Ragdi F. Daye
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Ramadhan Batubara
Ramadhan KH
Ratih Kumala
Ratna Indraswari Ibrahim
Ratna Sarumpaet
Raudal Tanjung Banua
Remy Sylado
Reni Susanti
Renny Meita Widjajanti
Resensi
Restu Kurniawan
Retno Sulistyowati
RF. Dhonna
Rian Sindu
Ribut Wijoto
Ridwan Munawwar
Riki Utomi
Riris K. Toha-Sarumpaet
Risang Anom Pujayanto
Riza Multazam Luthfy
Robin Al Kautsar
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rohman Abdullah
Rosidi
Rosihan Anwar
Rukardi
S Yoga
S. Jai
S. Sinansari Ecip
S.I. Poeradisastra
S.W. Teofani
Sabam Siagian
Sabrank Suparno
Saiful Anam Assyaibani
Sainul Hermawan
Sajak
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Samsudin Adlawi
Sanggar Rumah Ilalang
Sanggar Teater Jerit
Sapardi Djoko Damono
Sartika Dian
Sartika Dian Nuraini
Sastra Tanah Air
Sastra Using
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sayyid Fahmi Alathas
Sazano
Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo
Seli Desmiarti
Selo Soemardjan
Senggrutu Singomenggolo
Seno Joko Suyono
SH Mintardja
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sipri Senda
Sitok Srengenge
Siwi Dwi Saputro
Sjifa Amori
Sobih Adnan
Sofian Dwi
Sofie Dewayani
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sri Ruwanti
Sri Wintala Achmad
St Sularto
Stefanus P. Elu
Sukron Abdilah
Sulaiman Djaya
Suminto A. Sayuti
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sungging Raga
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Suryansyah
Suryanto Sastroatmodjo
Susanto
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Suyadi
Suyadi San
Syaifuddin Gani
Syaiful Amin
Syamsiar Hidayah
Syarbaini
Syifa Amori
Syifa Aulia
Tajuddin Noor Ganie
Taufik Abdullah
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
TE. Priyono
Teguh Afandi
Teguh Ranusastra Asmara
Teguh Winarsho AS
Tengsoe Tjahjono
Theresia Purbandini
Tita Tjindarbumi
Titik Alva-Alvi Choiriyah
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Tjoet Nyak Dhien
Tosa Poetra
Tri Lestari Sustiyana
Triyanto Triwikromo
TS Pinang
Tu-ngang Iskandar
Tulus S
Tulus Wijanarko
Udo Z. Karzi
Ugoran Prasad
Umar Fauzi Ballah
Umar Kayam
Umbu Landu Paranggi
Universitas Indonesia
Universitas Jember
Utada Kamaru
UU Hamidy
Vera Ernawati
Veronika Ninik
W.S. Rendra
Wahjudi Djaja
Wahyu Hidayat
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Budiartha
Widya Karima
Wijaya Herlambang
Wiji Thukul
Willem B Berybe
Wilson Nadeak
Winarni R.
Wiratmo Soekito
Wita Lestari
Wiwik Widayaningtias
Y. Thendra BP
Y. Wibowo
Yasser Arafat
Yeni Ratnaningsih
Yohanes Sehandi
Yonatan Raharjo
Yonathan Rahardjo
Yopi Setia Umbara
Yos Rizal S
Yos Rizal Suriaji
Yudhi Herwibowo
Yuka Fainka Putra
Yurnaldi
Yushifull Ilmy
Yusri Fajar
Yusuf Suharto
Zainal Abidin
Zainal Arifin Thoha
Zawawi Se
Zen Hae
Tidak ada komentar:
Posting Komentar