Fathurrahman Karyadi
http://sastra-indonesia.com/
Angin sepoi-sepoi menyibak rambutku tanpa izin. Menyapu muka hingga kelopak mata. Menyegarkan, kawan. Telingaku bising. Bunyian kereta terdengar amat nyaring. Apalagi kini aku tengah di atasnya. Di luar jendela sana pemandangan asri terus berganti. Sayang aku tidak bisa menikmati dengan jelas karena kereta terus berjalan.
Sementara di sampingku semua orang terlihat sibuk. Beratus-ratus jiwa dalam satu tempat. Ada yang berjualan mencari pelanggan, ada juga yang panik belum dapat tempat duduk. Meski keadaan sumpek dan ruwet seperti ini, aku tetap gembira. Sebab sore ini aku pulang ke Jakarta.
Lama sudah aku hidup di Jawa. Terhitung sejak lulus SD hingga di janggutku tumbuh rambut. Mungkin sekitar enam tahun-an. Kangen rasanya aku pada Jakarta dan, segala yang ada di sana. Mulai tempat wisata, hiburan, peribadatan, sampai makanan khas gado-gado yang lezat itu. Tak sabar aku ingin segera tiba. Seandainya aku adalah masinis kereta niscaya akan kupercepat lajunya dengan kecepatan turbo. Oh Jakarta aku rindu kamu!
Tujuanku meninggalkan Jakarta hanya satu: menunutut ilmu. Bukan berarti di Jakarta tidak ada lembaga pendidikan yang bagus, tidak. Justru di Ibukota-lah semua pendidikan terjamin mutunya. Lihat saja sekolah unggulan, berprestasi, berbasis Internasional semuanya ada di Jakarta. Tak hanya itu, kawan. Lembaga pendidikan non formal pun banyak berdiri. Mulai kursus cepat berbahasa, computer, keterampilan ini dan itu, bahkan pesantren dan majelis taklim pun tak terhitung jumlahnya.
Tapi mengapa aku justru memilih untuk menempuh pendidikan di kampung halamanku, bukan Jakarta? Di samping ingin merasakan hidup di desa, sebagai pemuda yang setia, aku juga harus mencintai tanah asli kelahiranku. Fenomena yang menyedihkan banyak terjadi, di mana seorang miliarder yang asalnya ‘wong deso’ lupa–atau bahkan tidak tahu–tempat kelahirannya. Aku tidak mau seperti itu, kawan.
Sejak pertama kali di Desa aku tidak betah. Kehidupan di sini amat berbanding jauh dengan Jakarta. Jangankan untuk memanfaatkan teknologi, air untuk mandi saja harus mencari berkilo-kilo meter jauhnya. Inang…Sungguh dulu aku tak betah. Rasanya ingin tinggal di Jakarta saja selamanya. Ya begitulah manusia, selalu berharap yang enak-enak saja. Namun jika kita mengingat kembali tujuan awal yang telah kita rencanakan pasti semuanya akan lancar. Buktinya sampai enam tahun aku bisa bertahan hidup di sini hanya berbekal niat: AKU INGIN PINTAR.
***
“Masnya mau kemana?” seorang Ibu yang duduk tepat di dihadapanku bertanya. Sapaan ‘mas’ sudah tak asing lagi di telingaku. Dalam bahasa Jakarta bisa diartikan ‘bang’.
“Mau ke Jakarta, Bu.” Sejenak aku lipat surat kabar yang tengah kubaca. “Ibu sendiri mau ke mana?”
“Ibu mau ke Cirebon. Kira-kira sampai sana jam berapa ya? Ibu kok ndak tahu, maklum baru kali ini naik kereta.”
Akhirnya kami berbincang-bincang panjang. Ibu itu cerita tentang banyak hal. Mulai soal keluarga hingga masalah pemerintah. Benar apa kata banyak orang, kalau kita sedang dalam perjalanan hanya ada satu cara yang dapat menghilangkan rasa kejemuhan, yakni dengan obrolan. Dan, dalam konteks seperti inilah berkenalan dengan orang yang belum kita kenal amat dianjurkan. Siapa tahu dari sini hidayah Tuhan akan menemui kita. Dan, percayalah bahwa ta’aruf menyimpan banyak manfaat, kawan.
***
Cahaya matahari pagi menyingsing tajam. Menembus kaca menembak mukaku dengan kasar nun panas. Aku terbangun dari tidur nyenyakku. Bunyian kereta tak lagi terdengar di telinga. Kereta berhenti di sebuah stasiun. Entah stasiun apa aku kurang tahu.
“Mas mau turun dimana?” seorang bapak bertanya.
Suaraku masih belum jelas,“Jatinegara, Om.”
“Untunglah, tepat. Ini sudah di Jatinegara.”
Aku segera merapikan barang bawaanku. Tentunya dengan tergesa-gera dan panik. Kalau tidak, bisa-bisa tertinggal aku nanti.
“Dergh……. Dergh……”
Suara keras menggoyangkan kereta! Bertanda kereta akan memulai star menuju stasiun Senen. Setelah yakin tidak ada barang yang tertinggal aku langsung beranjak turun dari kereta. Aku tak perlu melompat lagi sebab stasiun di Jakarta berbeda dengan stasiun lainnya: trotoar samping rel dibuat sejajar dengan pintu kereta. Sehingga mempermudah penumpang ketika hendak keluar. Tampaknya sepele memang, tapi bagi perempuan–apalagi ibu-ibu–mereka amat kesal kalau jalanan tidak dibuat sejajar dengan pintu. Harus dibutuhkan kehati-hatian dan doa agar tidak jatuh terjungkur.
Perutku keroncongan. Selama perjalanan aku belum makan nasi kecuali saat berbuka puasa. Subuh pun aku tidak sahur saking nyenyaknya tidur. Bagi musafir sepertiku diperbolehkan tidak puasa, mengingat perjalanan jauh yang menguras tenaga sekalipun hanya duduk di atas kereta saja. Sebelum mencari mikrolet aku belokkan langkah ke warung dekat stasiun.
“WARTEG.” Kau tahu apa artinya? Baiklah: warung Tegal, kawan. Itulah sebuah warung yang penjualnya asli warga Tegal dengan menu yang khas. Meskipun dinisbatkan pada Tegal, jika kau mencari wareg di Tegal tidak akan ada. Warung ini hanya dijumpai di Jakarta. Sejak kecil aku juga binggung kenapa yang ada hanya warung Tegal saja, tidak yang lain. Kalau ada warung Semarang mungkin bagus, WARSEM!
Aku memesan makanan dengan porsi sederhana, sekedar mengisi perut. Satu piring nasi campur dan teh hangat tanpa gula. Saat hendak membayar aku teringat trik jitu yang pernah ditawarkan temanku di pesantren. Namanya Faqih dia asli Tegal.
“Kalau kau ingin menikmati masakan warteg dengan harga murah kau harus pakai jurus ampuhku ini: GUNAKAN BAHASA JAWA! Dengan berbahasa Jawa nanti si empunya warung akan simpati. Minimal dia akan memiliki gambaran ‘sama-sama orang Jawa di Jakarta harus bersaudara.’ Artinya, tak mungkin dia akan menembak dengan harga tinggi. Percayalah!”
Kini kucoba jurus itu.
“Sampun, Pak. Sekul kalian teh anget pinten nggeh?” untungnya aku sudah lancar berbahasa Jawa. Aku menyana pasti akan berhasil, semoga saja demikian!
Sejenak dia terdiam, mungkin agak heran melihat ektingku barusan.
“Lima ribu, Mas,” ucapnya santai.
Kukeluarkan uang sebesar Rp.10.000. Kusodorkannya lalu dijamah sopan. Aku sedikit kecewa. Susah payah aku bahasa Jawa, eh bapak itu malah menjawabnya bahasa Indonesia. Kuperhatikan terus gerak-geriknya.Tangannya tampak sibuk mencari kembalian. Mungkin karena masih terlalu pagi ia belum dapat pelanggan, apalagi di bulan Ramadhan ini semua orang tengah berpuasa. Bisa jadi aku adalah orang pertama sekaligus terakhir yang mengunjungi warungnya.
Tiba-tiba,
“Jenengan tiang Jowo tho, Mas?”
Ucapan itu membuat hatiku berbunga. Seperti seorang pelamar kerja yang mendapat SK diterima lamarannya.
“Oh enggeh, kulo asli tiang Jowo, Pak” jawabku agak terbata-bata.
“Sami, kula nggeh Jowo, Tegal kiyek” logat enyongnya kentara sekali. Andaikan dia tidak berkata demikian aku juga sudah tahu kalau sesungguhnya dia asli Tegal.
Dia merekahkan bibirnya tersenyum akrab.
“Niki wangsulanipun,” ia memberikan uang kembalian.
Sepertinya ada yang aneh. Uang kembalian yang seharusnya kuterima adalah Rp.5.000 tapi dia memberiku Rp.7.000, lebih dua ribu. Belum sempat aku menanyakan, bapak itu berujar.
“Enggeh sampun, wong podo Jowone kok. Ngitung-ngitung sodaqoh di bulan Ramadhan, Mas,” senyumnya ramah. Aku jadi tidak enak.
“Matur suwun sanget nggeh Pak. Mugo-mugo barokah. Assalamualaikum,” aku pamit meninggalkan warung setelah salamku dijawabnya.
Visi dan Misiku tak sia-sia. Walaupun hanya dikorting dua ribu, aku merasa beruntung. Dua ribu rupiah juga besar, kawan. Jangankan dua ribu, kalau kau punya uang satu juta tapi kurang seratus rupiah saja uangmu tidak dikatakan satu juta, iya bukan?
Ternyata tak begitu susah mencari kendaraan di Ibukota. Baru beberapa menit aku keluar dari Warteg, mikrolet berbagai jurusan sudah siap mengangkut penumpang ke segala penjuru Jakarta. Untung aku masih ingat mikrolet mana yang harus kunaiki untuk bisa sampai ke Kampung Rambutan. Mikrolet biru nomor punggung 06A.
Dalam perjalanan antara Jatinegara-Kampung Rambutan, banyak hal-hal aneh yang kutemui. Maklum kawan, aku tidak mendengar kabar Jakarta enam tahun lamanya. Hampir aku tak kenal kota apakah ini kok indah nian? Jalanan bagus dihiasi aneka lampu. Aspal hitam tanpa benjolan luka membuat penumpang betah dalam perjalanan. Tak ada gempa sugra. Hijau-hijauan turut menghiasi pinggiran jalan. Ini adalah salah satu upaya agar udara tetap sejuk, terhindar dari polusi kendaraan. Pak polisi lalu lintas yang gagah tiada henti mengawasi pengguna jalan. Kendaraan mewah yang biasa aku lihat di televisi kini ada di hadapanku semua. Takjub bukan main aku kini.
Sebentar…! Ada satu kendaraan yang belum pernah aku lihat sebelumnya. Persis seperti Bus, panjang dan mampu memuat banyak penumpang. Tampilan body indah enak dipandang. Melintas di jalur khusus dan berhenti di sebuah tempat pemberhentian yang–kalau tak salah seingatku–namanya halte. Tapi halte kok di tengah jalan? Sempat terbesit pula dalam benakku, “Sesampainya aku di rumah nanti, aku akan tanyakan pada orang-orang, sebenarnya mobil apa sih itu?”
***
Kedatanganku di Jakarta disambut luar biasa. Keluargaku sangat mengharapkanku sejak dulu. Apa lagi Ibu dan Bapak, tak henti-hentinya aku diperlakukan layaknya seorang raja, padahal aku adalah anaknya sendiri. Aku juga sempat tak percaya melihat kakakku yang paling besar kini sudah menggendong anak, dua! Kukira dulu ia tak akan menikah. Tak tahunya tidak. Malahan suaminya asli Betawi. Setahuku kakak tak suka orang betawi karena satu alasan yang cukup umum: lelaki asli Jakarta sukanya makan jengkol! Mungkin paradigma ini memang benar adanya, tapi jangan dikira dibalik kekurangan pasti tersimpan kelebihan: lelaki Jakarta tak mau makan sebelum Isterinya sudah makan! Paham kau, kawan?
Bapak yang dulu tak beruban sekarang rambutnya nyaris putih 60% hanya dalam jangka enam tahun. Ibu masih terlihat awet muda, entah racikan apa yang dipakai hingga tak sedikitpun wajahnya tampak keriput. Adikku, yang juga anak terakhir, kini sudah besar. Tumbuh dewasa layaknya seorang artis di pangggung pesta. Meski cantik dan manis tak mungkinlah aku berbuat yang tak semestinya. Dia adalah adikku selamanya.
Teman-temanku yang dulu satu sekolah di SDN 01 Rambutan Jaktim, kini pun berubah derastis. Hampir aku tak mengenalnya. Apalagi Ermi yang dulu terkenal julukan ‘Si Wanita Gajah’ kerena tubuhnya yang super besar, sekarang langsing singset. Hampir aku tak percaya. Ah…wajarlah namanya Jakarta apapun obat tersedia. Yang awalnya burik bisa saja cantik seketika. Asalkan kau punya uang itu saja.
Hari-hariku di Jakarta kumanfaatkan untuk berkeliling kampung. Suasana sungguh berubah. Bangunan rumah banyak yang megah sekalipun ini bukan di perumahan orang kaya. Penampilan mereka rapi dan bersih. Aku sudah mengamati berkali-kali. Sampai aku punya gambaran: anak muda Jakarta tidak ada yang berjerawat, amboi! Muka mereka putih pula. Aku jadi bingung masak iya terik matahari di Jakarta dapat menjadikan orang lebih mempesona? Hampir tak pernah aku melihat orang Jakarta yang berkulit hitam apalagi kusam gelam. Tidak ada kawan, percayalah!
Aktifitas warga Jakarta pun unik dan berfariasi. Jika pagi tiba–selain bulan puasa—mereka mengantri beli bubur ayam atau nasi uduk. Biasanya di setiap RT sudah ada yang menjualnya. Setelah itu mereka sibuk sesuai jabatannya. Anak-anak pergi sekolah, ayah bekerja dan sebagainya. Ketika suasana sepi inilah kaum ibu banyak yang keluar rumah, sekitar pukul 08.00. Tujuan mereka membersihkan halaman masing-masing. Tapi sebenarnya ada lagi yang lebih penting, yaitu NGERUMPI! Bu RT, Ibu tukang nasi, maupun Bu Haji tak ada bedanya. Mereka berkumpul dalam satu tempat yang sekiranya asyik untuk ngobrol. Problematika yang mereka usung cukup beragam, ada kalanya masalah keuangan, tataboga, model busana, kabar artis terkini, dan bahkan aku pernah mendengar mereka berbincang-bincang tentang permasalah pribadi dengan suaminya. Kalau diniati diskusi mungkin terhitung ibadah tapi jika tidak, mungkin kau lebih tahu…
Siang hari kebanyakan mereka mengisi waktunya untuk beristirahat. Atau bagi yang tak berminat mereka bisa membeli bakso yang sudah mangkal di dekat rumah pak RT. Sore hari setelah asar tak jarang diantara mereka yang berolahraga. Cabangnya ada sepak bola, tennis, basket atau sekedar bersepeda santai. Tentunya tidak di kampung ini mereka berolahraga. Kami biasa menuju komplek perumahan kaya yang bersebelahan dengan kampung kami namanya BHP: Bumi Harapan Permai. Di sana lahan amat luas.
Malam hari, sudah pasti ini acara khusus anak muda. Entah sejak kapan pemerintah Jakarta menetapkan hal ini. Di setiap tempat di Jakarta, pasti kita akan menemukan yang namanya anak muda. Aktifitas mereka pun berfariasi. Ada yang mejeng di pinggiran jalan, nongrong bareng-bareng sambil bergitar, browsing di warnet, shoping dll. Aku pun sering nimbrung dengan mereka. Ternyata mereka berhati baik, apalagi soal materi aku sering ditraktir makan. Aku jadi teringat sebuah syair indah:
Kalau kau orang pintar manfaatkanlah ilmumu
Kalau kau kaya, jadikan hartamu sebagai amal
Kalau kau bodoh dan miskin panjatkanlah doa,
Niscaya surga tempatmu kelak
Ibu selalu memperingatkanku saat aku ingin berkumpul dengan teman-teman.
“Kau sekarang di Jakarta, harus bisa menyesuaikan penampilan. Pakailah baju yang rapi, cuci muka dulu, kalau perlu pinjam minyak wangi Bapak. Biar nanti dalam pergaulan tidak ada yang canggung. Risih kayaknya kalau diantara mereka ada yang belum mandi atau baju yang culun…”
Nasihat Ibu memang benar, aku sendiri mengakuinya. Tapi aku rasa teman-temanku di sini tak pernah berperasangka buruk. Selama aku bergaul tak ada satu pun di antara mereka yang mengejekku karena aku berpenampilan katrok, jadul dan semerawut. Inilah salah satu yang aku salut dari pemuda Jakarta. Mereka sudah terbiasa menghormati orang lain, tidak ada istilah mengejek satu sama lainnya.
Akhir Ramadhan Jakarta sepi, kawan. Di sini ada budaya yang mungkin sering kita dengar. MUDIK, namanya. Mereka yang bukan penduduk asli Jakarta, kebanyakan memilih berlebaran di kampung masing-masing.
***
Saking betahnya aku di Jakarta tak terasa sudah lebaran. Kepayahan selama tiga puluh hari berpuasa seakan terbayar di hari yang fitri ini. Ketupat dan sayur opor sebagai menu khas lebaran warga Jakarta. Busana kebaya dengan payet gemerlap menjadi kebanggaan mereka. Pagi setelah salat id usai, tak ada yang menuju rumah masing-masing. Mereka bersalam-salaman satu sama lain. Tebaran senyum merekah di setiap wajah. Tetesan air mata melebur dosa. Inilah yang dinamakan halal bi halal. Sekalipun istilahnya berbahasa Arab, anehnya di Arab sendiri tak dijumpai budaya semacam ini.
Aku sedih meninggalkan Jakarta. Namun apa boleh buat, mau tak mau aku harus kembali ke Jawa. Pendidikanku belum usai, kawan. Meski hanya dua minggu di Jakarta aku cukup–atau lebih tepatnya amat–bahagia. Baru keliling kampung saja aku sudah puas. Apalagi kalau seumpama aku keliling ke banyak tempat di Jakarta, mungkin aku akan lupa Jawa. Kita akan bisa melepas setres di Ancol dengan seribu permainan fantastis, kita juga akan tahu banyak sejarah Indonesia di Museum Fatahillah atau Museum Gajah, kita bisa tahu bagaimana pernak pernik budaya Indonesia secara keseluruhan di TMII, kita akan merasa lebih bangga menjadi bangsa Indonesia jika mengunjungi museum proklamasi dan monas, kita bisa menemukan buku apa saja di Perpustakaan Nasional, kita bisa melihat langsung semua fauna dan flora Indonesia di ragunan, dan… Ah masih banyak lagi, kawan!
Di tengah lamunanku aku teringat sesuatu. Aku lupa menanyakan nama bus yang aneh itu. Tak apalah mungkin suatu saat nanti akan terjawab dengan sendirinya.
***
Sesampainya di pondok, aku menceritakan semua pengalamanku di Jakarta. Mereka takjub bukan main. Apalagi, Faqih. Dia sumringah luar biasa saat tahu kalau jurus ampuhnya kupraktikkan dan berhasil. Bahkan, ada satu hal yang sangat menyentuh hati. Aku sempat terharu membaca tulisan temanku di buku diarynya:
“Hari ini aku baru tahu bagaimana indahnya Jakarta. Temanku baru saja dari sana. Ia menceritakannya dengan detail tentang budaya, gaya hidup dan semua pesona yang ada di Jakarta. Ceritanya membuat hasratku ingin mengunjunginya. Menikmati sejuta keindahan di Ibukota Indonesia. Tuhan, kabulkanlah hamba semoga bisa ke Jakarta meski beberapa hari saja!”
*) Penulis adalah cerpenis dan redaktur pelaksana Majalah Tebuireng. Email:atunk.oman@gmail.co.id
**) dari buku Sehimpun Cerpen Jombang “Hujan Sunyi Banaspati” Dekajo 2010.
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Jumat, 26 Agustus 2011
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Label
`Atiqurrahman
A Muttaqin
A Rodhi Murtadho
A. Iwan Kapit
A. Purwantara
A. Qorib Hidayatullah
A. Zakky Zulhazmi
A.H.J Khuzaini
A.S. Laksana
Aang Fatihul Islam
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi WM
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Lathief
Abdul Malik
Abdul Wachid B.S.
Abdurrahman El Husaini
Abidah El Khalieqy
Abu Salman
Acep Zamzam Noor
Achdiat K. Mihardja
Adek Alwi
Adi Suhara
Adnyana Ole
Adreas Anggit W.
Afrion
Afrizal Malna
Aguk Irawan MN
Agung Dwi Ertato
Agus B. Harianto
Agus Buchori
Agus Himawan
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus Sulton
Agusri Junaidi
Agustinus Wahyono
Ahda Imran
Ahmad Badrus Sholihin
Ahmad Fanani Mosah
Ahmad Fatoni
Ahmad Ikhwan Susilo
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Musabbih
Ahmad Rofiq
Ahmad Sahidah
Ahmad Tohari
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Muhaimin Azzet
Akhmad Sekhu
Alex R. Nainggolan
Alex Suban
Alunk Estohank
Ami Herman
Amien Kamil
Amien Wangsitalaja
Aminudin R Wangsitalaja
Anastasya Andriarti
Andreas Maryoto
Anes Prabu Sadjarwo
Angela
Angga Wijaya
Angkie Yudistia
Anindita S Thayf
Anis Ceha
Anjrah Lelono Broto
Anton Kurnia
Anton Kurniawan
Anton Wahyudi
Anugrah Gio Pratama
Anwar Nuris
Aprinus Salam
Arie MP Tamba
Arif B. Prasetyo
Arif Bagus Prasetyo
Arif Hidayat
Arman A.Z.
Arti Bumi Intaran
Arys Hilman
AS Sumbawi
Asarpin
Asef Umar Fakhruddin
Asep Sambodja
Asrama Mahasiswa Aceh SABENA
Astrikusuma
Asvi Warman Adam
Atep Kurnia
Awalludin GD Mualif
Aziz Abdul Gofar
Azizah Hefni
Badrut Tamam Gaffas
Bagja Hidayat
Bagus Takwin
Balada
Bale Aksara
Baltasar Koi
Bambang Agung
Bambang Kempling
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Bayu Insani
Beni Setia
Benny Arnas
Benny Benke
Berita
Berita Duka
Berita Utama
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Blambangan
Brunel University London
BSW Adjikoesoemo
Budaya
Budhi Setyawan
Budi Darma
Budi Saputra
Budi Suwarna
Bung Tomo
Cak Kandar
Catatan
Cerpen
Chairil Anwar
Chavchay Syaifullah
Cucuk Espe
Cunong N. Suraja
D. Zawawi Imron
Dadang Ari Murtono
Daisuke Miyoshi
Damanhuri
Damhuri Muhammad
Damiri Mahmud
Danarto
Daniel Dhakidae
Dante Alighieri
Deddy Arsya
Dedy Tri Riyadi
Denny Mizhar
Deny Tri Aryanti
Detti Febrina
Dharmadi
Diah Hadaning
Dian Hartati
Dian Sukarno
Diana A.V. Sasa
Dicky Fadiar Djuhud
Didi Arsandi
Dimas
Dina Oktaviani
Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan
Djadjat Sudradjat
Djoko Saryono
Doddi Ahmad Fauji
Doddy Hidayatullah
Donny Anggoro
Dony P. Herwanto
Dorothea Rosa Herliany
Dr. Muhammad Zafar Iqbal
Dr. Simuh
Dwi Arjanto
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwicipta
Dwijo Maksum
Edy A. Effendi
Edy Firmansyah
Efri Ritonga
Egidius Patnistik
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Eko Hendri Saiful
Elik
Elsya Crownia
Emha Ainun Nadjib
Endah Sulawesi
Endah Wahyuningsih
Endang Suryadinata
Endhiq Anang P
Endri Y
Eriyandi Budiman
Ernest Hemingway
Esai
Esha Tegar Putra
Eva Dwi Kurniawan
Evi Dana Setia Ningrum
Evi Idawati
Evieta Fadjar
F Rahardi
Fabiola D. Kurnia
Fadelan
Fahrudin Nasrulloh
Faidil Akbar
Faisal Kamandobat
Faisal Syahreza
Faizal Syahreza
Fajar Alayubi
Fandy Hutari
Fany Chotimah
Fatah Yasin Noor
Fathor Lt
Fathurrahman Karyadi
Fatih Kudus Jaelani
Fatma Dwi Rachmawati
Fauzi Absal
Festival Sastra Gresik
Fikri. MS
Fina Sato
Fitri Susila
Galih Pandu Adi
Gde Agung Lontar
Geger Riyanto
Gerakan Literasi
Gerakan Surah Buku (GSB)
Gerson Poyk
Ginanjar Rahadian
Gita Pratama
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gunawan Budi Susanto
Gunoto Saparie
Gus Martin
Gus tf Sakai
Gusti Eka
Hadi Napster
Haji Misbach
Halim HD
Halimi Zuhdy
Hamberan Syahbana
Hamdy Salad
Han Gagas
Handoko F. Zainsam
Hari Santoso
Haris del Hakim
Hartono Harimurti
Hary B. Kori’un
Hasan Gauk
Hasan Junus
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Hasta Indriyana
Helwatin Najwa
Hepi Andi Bastoni
Heri C Santoso
Heri KLM
Heri Latief
Heri Listianto
Hermien Y. Kleden
Hernadi Tanzil
Heru Emka
Heru Kurniawan
Heru Prasetya
Hesti Sartika
Hudan Hidayat
Humaidiy AS
I Made Asdhiana
I Made Prabaswara
I Nyoman Suaka
IBM. Dharma Palguna
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
Ida Ahdiah
Idayati
Ignas Kleden
Ihsan Taufik
Ilenk Rembulan
Ilham Khoiri
Ilham Yusardi
Imam Cahyono
Imam Jahrudin Priyanto
Imam Muhtarom
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Rosyid
Imron Tohari
Indah Darmastuti
Indiar Manggara
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Indrian Koto
Irma Safitri
Irman Syah
Iskandar Noe
Istiqomatul Hayati
Ita Siregar
Iwan Kurniawan
Iwan Nurdaya-Djafar
Iyut FItra
Jadid Al Farisy
Jafar M. Sidik
Jakob Sumardjo
Jamal D Rahman
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jayaning S.A
Jefri al Malay
Jihan Fauziah
JJ. Kusni
Jo Pakagula
Johan Edy Raharjo
Joko Pinurbo
Jokowi Undercover
Joni Ariadinata
Joss Wibisono
Jual Buku Paket Hemat
Judyane Koz
Juli Sastrawan
Junaidi Abdul Munif
Jusuf AN
Juwairiyah Mawardy
Kadir Ruslan
Kasnadi
Katrin Bandel
Kedung Darma Romansha
Khairul Mufid Jr
Khamami Zada
Khrisna Pabichara
Kikin Kuswandi
Koh Young Hun
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias
Komunitas Sastra Ilalang Indonesia (KSII)
Korrie Layun Rampan
Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan)
Kristianto Batuadji
Kritik Sastra
Kunni Masrohanti
Kunthi Hastorini
Kuntowijoyo
Kurie Suditomo
Kurnia EF
Kurniawan
Kuswaidi Syafi'ie
Kuswinarto
Lan Fang
Landung Rusyanto Simatupang
Latief S. Nugraha
Leila S. Chudori
Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M)
Liestyo Ambarwati Khohar
Linda Sarmili
Liston P. Siregar
Liza Wahyuninto
LN Idayanie
Lucia Idayani
Lukman Asya
Lusiana Indriasari
Lynglieastrid Isabellita
M Hari Atmoko
M. Aan Mansyur
M. Arman A.Z
M. Bagus Pribadi
M. Fadjroel Rachman
M. Harya Ramdhoni Julizarsyah
M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S
M. Luthfi Aziz
M. Nahdiansyah Abdi
M. Raudah Jambak
M. Shoim Anwar
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Maghfur Saan
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Majalah Sastra Horison
Maklumat Sastra Profetik
Malkan Junaidi
Maman S. Mahayana
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maria Serenade Sinurat
Mario F. Lawi
Marluwi
Marsel Robot
Martin Aleida
Martin Suryajaya
Mashuri
Matdon
Mega Vristian
Melani Budianta
Melayu Riau
Memoar
MG. Sungatno
Mh Zaelani Tammaka
Miftah Fadhli
Miftahul Abrori
Misbahus Surur
Miziansyah J
Mochtar Lubis
Mohamad Ali Hisyam
Mohammad Eri Irawan
MT Arifin
Mugy Riskiana Halalia
Muhajir Arrosyid
Muhamad Rifai
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Al-Mubassyir
Muhammad Qodari
Muhammad Rain
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun A.S
Muhidin M. Dahlan
Muhlis Al-Firmany
Mujtahid
Mulyadi SA
Munawir Aziz
Murniati Tanjung
Murnierida Pram
Musa Ismail
Musfi Efrizal
Mustaan
Mustafa Ismail
N. Mursidi
Nafsul Latifah
Naskah Teater
Nasrullah Nara
Nelson Alwi
Nenden Lilis A
Nh. Anfalah
Ni Made Purnama Sari
Nina Mussolini-Hansson
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Noura
Nova Christina
Noval Jubbek
Novela Nian
Nugroho Notosusanto
Nugroho Pandhu Sukmono
Nur Faizah
Nurdin F. Joes
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nurul Komariyah
Nuryana Asmaudi SA
Nyoman Tusthi Eddy
Nyoman Wirata
Oka Rusmini
Oktamandjaya Wiguna
Oky Sanjaya
Olanama
Olivia Kristina Sinaga
Otto Sukatno CR
Pagelaran Musim Tandur
Pamusuk Eneste
Patricia Pawestri
PDS H.B. Jassin
PDS. H.B. Jassin
Penghargaan Hadiah Sastra Pusat Bahasa
Persda Network
Pipiet Senja
Pramoedya Ananta Toer
Pramono
Pranita Dewi
Pringadi AS
Prita Daneswari
Prof. Tamim Pardede sebut Bambang Tri
Prosa
Pudyo Saptono
Puisi
Puisi Kesunyian
Puisi Sufi
Puji Santosa
PUstaka puJAngga
Putu Fajar Arcana
Putu Wijaya
Qaris Tajudin
R. Sugiarti
Rachmad Djoko Pradopo
Radhar Panca Dahana
Ragdi F. Daye
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Ramadhan Batubara
Ramadhan KH
Ratih Kumala
Ratna Indraswari Ibrahim
Ratna Sarumpaet
Raudal Tanjung Banua
Remy Sylado
Reni Susanti
Renny Meita Widjajanti
Resensi
Restu Kurniawan
Retno Sulistyowati
RF. Dhonna
Rian Sindu
Ribut Wijoto
Ridwan Munawwar
Riki Utomi
Riris K. Toha-Sarumpaet
Risang Anom Pujayanto
Riza Multazam Luthfy
Robin Al Kautsar
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rohman Abdullah
Rosidi
Rosihan Anwar
Rukardi
S Yoga
S. Jai
S. Sinansari Ecip
S.I. Poeradisastra
S.W. Teofani
Sabam Siagian
Sabrank Suparno
Saiful Anam Assyaibani
Sainul Hermawan
Sajak
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Samsudin Adlawi
Sanggar Rumah Ilalang
Sanggar Teater Jerit
Sapardi Djoko Damono
Sartika Dian
Sartika Dian Nuraini
Sastra Tanah Air
Sastra Using
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sayyid Fahmi Alathas
Sazano
Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo
Seli Desmiarti
Selo Soemardjan
Senggrutu Singomenggolo
Seno Joko Suyono
SH Mintardja
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sipri Senda
Sitok Srengenge
Siwi Dwi Saputro
Sjifa Amori
Sobih Adnan
Sofian Dwi
Sofie Dewayani
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sri Ruwanti
Sri Wintala Achmad
St Sularto
Stefanus P. Elu
Sukron Abdilah
Sulaiman Djaya
Suminto A. Sayuti
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sungging Raga
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Suryansyah
Suryanto Sastroatmodjo
Susanto
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Suyadi
Suyadi San
Syaifuddin Gani
Syaiful Amin
Syamsiar Hidayah
Syarbaini
Syifa Amori
Syifa Aulia
Tajuddin Noor Ganie
Taufik Abdullah
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
TE. Priyono
Teguh Afandi
Teguh Ranusastra Asmara
Teguh Winarsho AS
Tengsoe Tjahjono
Theresia Purbandini
Tita Tjindarbumi
Titik Alva-Alvi Choiriyah
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Tjoet Nyak Dhien
Tosa Poetra
Tri Lestari Sustiyana
Triyanto Triwikromo
TS Pinang
Tu-ngang Iskandar
Tulus S
Tulus Wijanarko
Udo Z. Karzi
Ugoran Prasad
Umar Fauzi Ballah
Umar Kayam
Umbu Landu Paranggi
Universitas Indonesia
Universitas Jember
Utada Kamaru
UU Hamidy
Vera Ernawati
Veronika Ninik
W.S. Rendra
Wahjudi Djaja
Wahyu Hidayat
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Budiartha
Widya Karima
Wijaya Herlambang
Wiji Thukul
Willem B Berybe
Wilson Nadeak
Winarni R.
Wiratmo Soekito
Wita Lestari
Wiwik Widayaningtias
Y. Thendra BP
Y. Wibowo
Yasser Arafat
Yeni Ratnaningsih
Yohanes Sehandi
Yonatan Raharjo
Yonathan Rahardjo
Yopi Setia Umbara
Yos Rizal S
Yos Rizal Suriaji
Yudhi Herwibowo
Yuka Fainka Putra
Yurnaldi
Yushifull Ilmy
Yusri Fajar
Yusuf Suharto
Zainal Abidin
Zainal Arifin Thoha
Zawawi Se
Zen Hae
Tidak ada komentar:
Posting Komentar