Wawancara / Gus tf Sakai
http://www.ruangbaca.com/
Tersesat dalam labirin sastra kontemporer Indonesia yang terkotak-kotak, menolehlah sejenak pada Gus tf Sakai. Nun di Payakumbuh, Sumatra Barat sana, penulis prosa dan puisi ini berteguh pada sikapnya; hidup dalam sastra yang melintasi batas apa pun. Agama, ras, suku, bahkan antara yang nyata dan tidak.
Karya-karyanya terasa absurd bagi kebanyakan orang. Susah pula didefinisikan aliran dan kecenderungannya. Hampir tidak ada pula telaah yang dalam terhadap karya-karyanya. Padahal, waktu telah merentang hampir 20 tahun sejak pertama kali ia meluncurkan buku pertamanya, novel remaja yang banyak jadi perbincangan,Segi Empat Patah Sisi.
Gus seperti hilang ditelan hiruk-pikuk orang yang berpolemik mendefinisikan karya dan alirannya.
Sebagian besar agaknya karena sukar menyimpulkan karya laki-laki kelahiran Payakumbuh 43 tahun silam itu dalam gambaran yang lugas. Sebagaimana yang diungkapkan kurator sastra Nirwan Arsuka dalam satu peluncuran buku Gus, Perantau belum lama ini. Baiklah kita tidak memandang Gus dalam kerangka yang sempit karena sebagaimana karyanya, ia sosok yang melintas menembus batas-batas ruang dan dimensi waktu, begitu katanya.
Sebagian lagi karena Gus sendiri adalah sosok yang enggan tampil ke muka. Ia lebih suka orang membincangkan karyanya sampai menjadi polemik sekalipun, ketimbang berpayah-payah menyorot pendapat pribadinya. Tidak heran jika orang amat jarang mendapatkan kalimat-kalimatnya yang berharga barang sekutip dua kutip, kecuali pada seminar-seminar sastra dan pelatihan yang ia hadiri.
Dalam sastra yang melintas itu pula Gus setia pada jalannya. Meski mengakui sastra tidak mungkin memadai sebagai pilihan untuk menghidupi keluarga, ayah tiga anak itu tetap menulis.
Proses kreatifnya berkembang sejak kanak-kanak seiring dengan kegemaran berolah raga (di antaranya sepakbola dan bela diri. Dimulai dari menggambar, lalu menulis puisi dan esai di buku harian, tetapi publikasi pertamanya adalah berupa prosa (cerita pendek) yang memenangkan Hadiah I sebuah sayembara ketika ia duduk di bangku kelas 6 SD tahun 1979. Sejak itu, dengan beberapa nama samaran, puisi-puisi dan cerpen-cerpennya mulai muncul di majalah Hai (Jakarta) dan ruang kebudayaan harian Singgalang (Padang). Nama Gus tf untuk puisi dan Gus tf Sakai untuk prosa ia gunakan konsisten setelah pindah ke Padang pada 1985, saat ia memutuskan hidup dari menulis.
Pada 1996, pemilik nama asli Gustrafizal ini kembali ke kampungnya, Payakumbuh. Walau menetap di kota kecil yang dikepung oleh tiga gunung, kemajuan teknologi membuat ia bisa melintas fisik dan non fisik ke mana-mana. Dari kampungnya itulah ia kini terus menulis puisi, cerpen, novel, dan esai yang kemudian diterbitkan oleh penerbit-penerbit besar seperti Balai Pustaka, Gramedia, Grasindo, dan Penerbit Buku
Kompas dan media-media massa terbitan Jakarta. Ia juga memilih-milih puisi untuk Puisi, sebuah jurnal triwulanan yang memuat segala hal yang berkaitan dengan puisi; jurnal ke tempat mana ia diajak bergabung oleh Sapardi Djoko Damono sejak 2002.
Bulan silam, dalam keengganannya menjadi sorotan, kumpulan cerpen terbarunya Perantau (2007) muncul sebagai pemenang Khatulistiwa Literary Award 2007 untuk kategori prosa. Penghargaan itu menghujaninya hadiah sekaligus pengakuan atas pilihan hidupnya di jalan sastra.
Gus tidak datang untuk menerima hadiah senilai Rp 100 juta itu ke Jakarta. Dalam kata sambutan kirimannya yang dibacakan pada malam penghargaan itu, Gus antara lain menyebut kemenangannya sebagai “ada kemungkinan salah mentabulasi nilai juri”.
Sebulan setelah penghargaan itu, di ketenangan suasana kampungnya, Sarjana Peternakan Universitas Andalas, Padang ini menerima Febri Yanti dari Tempo. Dalam obrolan yang hangat dan seru, tampak dua sisi yang saling berlawanan dalam dirinya. Sikapnya yang menekankan keinginan untuk jauh dari sorotan dan jawaban-jawaban bernas serta tajam yang membuat sosoknya layak berkilau.
Berikut kutipan percakapan itu:
Mengapa Anda tidak datang pada malam penghargaan itu?
Saya tidak yakin bakal menang. Selain itu, saya memang tidak ingin datang.
Anda juga mengkritik hasil penilaian juri…
Begini, saya tidak bermaksud menyebut karya-karya yang masuk dalam daftar sebagai suatu yang buruk. Kalau jurinya diperbaiki mungkin bagus. Tahun ini saya yang beruntung.
Ada yang bilang, Anda susah sekali diwawancarai
Begini, saya lebih suka orang bicara tentang karya saya daripada habis-habisan mengupas pendapat saya pribadi. Itu akan lebih luas manfaatnya.
Orang menyebut karya Anda sebagai sastra yang melintas. Anda sendiri melihatnya bagaimana?
Saya ingin karya itu dibaca banyak orang, tidak dibatasi oleh yang dulunya disebut SARA, hukum, agama, ideologi, dan kelompok yang membatasi seseorang dan akhirnya juga hanya memilih bacaan-bacaan yang sesuai dengan kelompoknya itu. Alangkah menyenangkan bila kita bisa menghasilkan karya yang bisa dibaca semua orang, tidak hanya oleh kelompok tertentu. Yang diinginkan oleh suatu karya sastra, atau karya seni pasti ingin diapresiasi banyak orang.
Penulis yang ingin membuatnya terkotak-kotak, atau memang begitulah pembaca kita?
Saya pikir kedua-duanya. Memang ada penulis yang sengaja menghindarkan diri dari cap A, sehingga dia nyatakan dirinya B. tetapi saya pikir itu memiskinkan sastra. Ada namanya novel selangkangan, ada label sastra Islam, kiri, kanan… Mestinya masyarakat tumbuh dengan banyak sumber.
Kalau sastra yang berlabel atau berembel-embel sejarah atau politik?
Belakangan ini ada kondisi yang membuat sastra tidak lagi dilihat sebagai karya sastra. Dalam meluncurkan karya sastra, diundang sejarahwan, atau dalam bidang lainnya diundanglah selebriti. Itu kan aneh. Itu otomatis sastra akan menjadi nomor dua, termiskinkan. Kalau yang diundang sejarahwan, pasti orang akan melihat dari sudut sejarahnya. Untuk apa kita membaca karya sastra? Itu terjadi juga kalau hendak membicarakan Indonesia. Pembicaranya menganut aliran kajian budaya, yang penting bagi dia karya seperti Widji Tukul dibandingkan Asep Zamzam Noor, misalnya. kalau ingin melawan sistem, kenapa tidak langsung berpolitik praktis saja?
Soal tema sastra, bagaimana Anda melihatnya?
Ada tema, tapi nanti begitu dia diterbitkan jadi buku, ada institusi lain yang bekerja, yang namanya industri. Misalnya tren sastra wangi atau sastra kelamin kemarin itu. Begitu dia diterbitkan, sistem industri bekerja. Semua bikin sastra kelamin. Bisa laku. Misalnya kalau dia datang ke sebuah penerbit, mereka akan bilang, eh, yang laku itu yang ini loh. Jadi mereka mungkin tidak meminta si pengarangnya menulis, tetapi karena pengarang ingin karyanya terbit, dia bikin sesuai dengan yang diinginkan penerbit. Pada saya tidak ada pesanan seperti itu.
Soal buku Anda Perantau, bagaimana Anda membandingkannya dengan kumpul cerpen pertama Anda, Istana Ketirisan?
Jauh, tarafnya bagaimana pun perkembangan itu selalu ada, dan pasti kita selalu mengevaluasi. Biasanya karya terakhir yang belakangan ditulis dengan kesadaran lebih tinggi, kelihatan berbeda dan lebih bagus yang kita tulis belakangan.
Anda mengungkapkan definisi perantau dalam perspektif yang lain. Sebenarnya bagaimana nilai-nilai Minangkabau itu berkembang dalam karya-karya Anda?
Saya pikir, dalam dunia yang paradoks, maka persoalan selalu dilihat dari sisi yang timbal balik. Minang memang kebudayaannya egaliter sekaligus demokratis. Tapi saya tidak berpijak dari satu kebudayaan. Sebetulnya begini, apa pun tema sastra, tidak pernah ada yang baru. Kita bisa melihatnya baru lagi kalau bungkus yang kita kenakan itu baru. Konsekuensinya juga kita tidak bisa membatasi hanya di satu sudut pandang saja. Misalnya tentang Minangkabau, mungkin nanti pembaca di luar Minangkabau jadi bingung, atau mereka harus punya referensi yang cukup tentang Minagkabau baru baca karya saya. Kan kasihan. Jadi saya menulis sebagai orang luar melihat Minangkabau.
Dalam suatu kesempatan, Anda pernah bilang tidak punya proses kreatif dalam menulis. Apa maksudnya?
Ya, dengan menyesal saya katakan, saya tidak punya proses kreatif. Ajaib? Bagi saya tidak. Bila pengertian proses adalah runtunan perubahan atau perkembangan yang berkelanjutan, bagaimanapun saya memeriksa; menjenguk ke dalam diri setiap kali mencipta, hal itu tak pernah bisa saya temukan, tak pernah bisa saya terangkan. Semuanya terjadi begitu tiba-tiba, ajaib, mencengangkan. Satu letupan, dan tiba-tiba ia menjelma. Ada. Bagaimana saya mesti menjelaskan itu? Akhirnya, bisa saja apa yang saya omongkan itu dilihat sebagai hal yang tidak penting oleh orang lain. Bisa saja apa yang saya tulis itu omong kosong belaka.
Biasanya satu kali, penulis ketemu hambatan dalam menulis. Bagaimana dengan Anda?
Pertama, bila saya terlalu terpaku pada bentuk penyajian yang telah ada. Kita tahu, secara umum, ada dua bentuk atau cara yang digunakan pengarang untuk menyajikan ceritanya. Pertama adalah bentuk penyajian yang sangat terikat kepada plot, sedangkan yang kedua adalah bentuk penyajian yang bertitik tolak pada, atau mengandalkan, karakter. Bila sebelum mengarang saya terlebih dulu berpikir dan menimbang bentuk penyajian mana yang akan saya gunakan, maka biasanya karangan saya akan macet; hambatannya terasa besar. Lainnya bila saya terlalu percaya tokoh dalam karangan saya hadir karena saya ciptakan. Jika saya percaya “nyawa” si tokoh ada pada saya, dia jadi tidak berkembang. Yang lainnya, ketika saya terus berpikir bahwa karya saya harus membawa pesan moral. Biasanya karangan saya tidak bakal selesai.
Anda dapat ide dari mana saja?
Dari mana saja bisa. Melihat sepatu butut di kantor Gubernur pun bisa jadi karya juga. Dulu, sebelum menikah, sering jalan-jalan cari inspirasi. Sesuai kantong saja. Saya nebeng truk dari pangkalan penghasil pasir, diekspor lewat Medan.
Anda memilih tinggal di kampung. lebih enak dari pada tinggal di kota besar ya?
Kalau tinggal di kampung, kan beda dengan di kota. Kalau di kota kita nggak peduli dengan tetangga, keluarga juga kita tidak banyak ya. Kalau di kampung ada suatu sistem sosial yang sifatnya bukan uang. Orang kalau nggak muncul di lapau jadi sesuatu yang aneh. Ternyata kita memang harus menyediakan waktu untuk bersosialisasi sama keluarga, apalagi kita di sini hidup berkaum-kaum.
Punya ritual harian?
Pukul empat, atau setengah lima, kayak pegawai negeri,lah. Pukul 4 sampai anak-anak sarapan, kemudian begitu anak sekolah pagi-pagi sampai pukul 11 atau 12, saya baca-baca. Pulang mereka sekolah saya main sama anak-anak. Waktu lainnya untuk bersosialisasi.
Saat senggang, apa saja yang Anda lakukan?
Bersepeda. Itu mulai saya lakukan sejak pulang ke Payakumbuh 12 tahun lalu. Asyik rasanya setelah selama 10 tahun lebih di Padang bisa kembali tinggal di Payakumbuh. Dengan bersepeda ini beda dengan naik motor. Lebih banyak yang bisa saya lihat, juga untuk olah raga. Rutenya biasanya dari rumah, keliling kota, kadang-kadang saya ke lembah Harau, bisa 2 atau 3 jam. Agar lebih sehat. Kata orang, saya sehat.
Dalam sehari saya bisa 2 jam bersepeda. Biasanya beli koran Jakarta yang sampai di sini siang, saya baca judulnya saja, lalu keliling lagi naik sepeda, sampai di rumah, sore habis mandi baru baca koran.
Kapan waktu menulisnya?
Saya menulis bisa pagi, bisa siang. Malam tidak lagi menulis, karena malam-malam bantu anak bikin PR. Saya lihat kalau mereka kesulitan setelah itu mereka benci dengan pelajaran itu. Jadi supaya tidak benci, saya membantu mereka paham dalam pelajaran itu supaya menyenangkan. Mungkin guru di sekolah nggak menyenangkan mengajarnya. Alhamdulillah mereka juara-juara. Juara umum. Saya bantu hanya bila mereka sudah muak mengerjakan PR. Tapi kalau masih mau mengerjakan saya biarkan saja. Sekarang beban pelajaran anak-anak itu luar biasa. Kasihan lihat anak-anak, sampai bungkuk-bungkuk membawa tas, mengerikan. Saya tulis kisah anak-anak ini dalam kumpulan cerpen Perantau itu. Judulnya Kami Lepas Anak Kami.
Ini satu lagi, soal nama. Mana yang benar, Gus tf atau Gus tf Sakai?
Dua-duanya. Saya pakai Gus tf Sakai untuk prosa dan Gus tf untuk puisi. Supaya ada pemisahan profesional. Supaya saya bisa berkonsentrasi pada dua jalan ini dengan serius.
Karya dan Penghargaan
Kumpulan Puisi:
1. Sangkar Daging, 1997
2. Daging Akar, 2005
Kumpulan Cerpen:
1. Istana Ketirisan, 1996
2. Kemilau Cahaya dan Perempuan Buta, 1999
3. Laba-laba, 2003
4. Perantau, 2007
Novel:
1. Segi Empat Patah Sisi (novel remaja), 1990
2. Segitiga Lepas Kaki (novel remaja), 1991
3. Ben (novel remaja), 1992
4. Tambo (Sebuah Pertemuan), 2000
5. Tiga Cinta, Ibu, 2002
6. Ular Keempat, 2005
Penghargaan
1. Penghargaan Sastra Lontar dari Yayasan Lontar untuk kumpulan cerpen Kemilau Cahaya dan Perempuan Buta, 2001.
2. Anugerah Sastra dari Fakultas Sastra Universitas Andalas, 2002.
3. Penghargaan Penulisan Karya Sastra dari Pusat Bahasa untuk kumpulan cerpen Kemilau Cahaya dan Perempuan Buta, 2002.
4. Sih Award dari Jurnal Puisi untuk puisi Susi, 2002
5. SEA Write Award dari Kerajaan Thailand untuk kumpulan cerpen Kemilau Cahaya dan Perempuan Buta, 2004.
6. Anugerah Seni dari Komunitas Penggiat Sastra Padang dan Dewan Kesenian Sumatra Barat, 2004.
7. Khatulistiwa Literary Award untuk kumpulan cerpen Perantau, 2007.
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Label
`Atiqurrahman
A Muttaqin
A Rodhi Murtadho
A. Iwan Kapit
A. Purwantara
A. Qorib Hidayatullah
A. Zakky Zulhazmi
A.H.J Khuzaini
A.S. Laksana
Aang Fatihul Islam
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi WM
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Lathief
Abdul Malik
Abdul Wachid B.S.
Abdurrahman El Husaini
Abidah El Khalieqy
Abu Salman
Acep Zamzam Noor
Achdiat K. Mihardja
Adek Alwi
Adi Suhara
Adnyana Ole
Adreas Anggit W.
Afrion
Afrizal Malna
Aguk Irawan MN
Agung Dwi Ertato
Agus B. Harianto
Agus Buchori
Agus Himawan
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus Sulton
Agusri Junaidi
Agustinus Wahyono
Ahda Imran
Ahmad Badrus Sholihin
Ahmad Fanani Mosah
Ahmad Fatoni
Ahmad Ikhwan Susilo
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Musabbih
Ahmad Rofiq
Ahmad Sahidah
Ahmad Tohari
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Muhaimin Azzet
Akhmad Sekhu
Alex R. Nainggolan
Alex Suban
Alunk Estohank
Ami Herman
Amien Kamil
Amien Wangsitalaja
Aminudin R Wangsitalaja
Anastasya Andriarti
Andreas Maryoto
Anes Prabu Sadjarwo
Angela
Angga Wijaya
Angkie Yudistia
Anindita S Thayf
Anis Ceha
Anjrah Lelono Broto
Anton Kurnia
Anton Kurniawan
Anton Wahyudi
Anugrah Gio Pratama
Anwar Nuris
Aprinus Salam
Arie MP Tamba
Arif B. Prasetyo
Arif Bagus Prasetyo
Arif Hidayat
Arman A.Z.
Arti Bumi Intaran
Arys Hilman
AS Sumbawi
Asarpin
Asef Umar Fakhruddin
Asep Sambodja
Asrama Mahasiswa Aceh SABENA
Astrikusuma
Asvi Warman Adam
Atep Kurnia
Awalludin GD Mualif
Aziz Abdul Gofar
Azizah Hefni
Badrut Tamam Gaffas
Bagja Hidayat
Bagus Takwin
Balada
Bale Aksara
Baltasar Koi
Bambang Agung
Bambang Kempling
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Bayu Insani
Beni Setia
Benny Arnas
Benny Benke
Berita
Berita Duka
Berita Utama
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Blambangan
Brunel University London
BSW Adjikoesoemo
Budaya
Budhi Setyawan
Budi Darma
Budi Saputra
Budi Suwarna
Bung Tomo
Cak Kandar
Catatan
Cerpen
Chairil Anwar
Chavchay Syaifullah
Cucuk Espe
Cunong N. Suraja
D. Zawawi Imron
Dadang Ari Murtono
Daisuke Miyoshi
Damanhuri
Damhuri Muhammad
Damiri Mahmud
Danarto
Daniel Dhakidae
Dante Alighieri
Deddy Arsya
Dedy Tri Riyadi
Denny Mizhar
Deny Tri Aryanti
Detti Febrina
Dharmadi
Diah Hadaning
Dian Hartati
Dian Sukarno
Diana A.V. Sasa
Dicky Fadiar Djuhud
Didi Arsandi
Dimas
Dina Oktaviani
Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan
Djadjat Sudradjat
Djoko Saryono
Doddi Ahmad Fauji
Doddy Hidayatullah
Donny Anggoro
Dony P. Herwanto
Dorothea Rosa Herliany
Dr. Muhammad Zafar Iqbal
Dr. Simuh
Dwi Arjanto
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwicipta
Dwijo Maksum
Edy A. Effendi
Edy Firmansyah
Efri Ritonga
Egidius Patnistik
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Eko Hendri Saiful
Elik
Elsya Crownia
Emha Ainun Nadjib
Endah Sulawesi
Endah Wahyuningsih
Endang Suryadinata
Endhiq Anang P
Endri Y
Eriyandi Budiman
Ernest Hemingway
Esai
Esha Tegar Putra
Eva Dwi Kurniawan
Evi Dana Setia Ningrum
Evi Idawati
Evieta Fadjar
F Rahardi
Fabiola D. Kurnia
Fadelan
Fahrudin Nasrulloh
Faidil Akbar
Faisal Kamandobat
Faisal Syahreza
Faizal Syahreza
Fajar Alayubi
Fandy Hutari
Fany Chotimah
Fatah Yasin Noor
Fathor Lt
Fathurrahman Karyadi
Fatih Kudus Jaelani
Fatma Dwi Rachmawati
Fauzi Absal
Festival Sastra Gresik
Fikri. MS
Fina Sato
Fitri Susila
Galih Pandu Adi
Gde Agung Lontar
Geger Riyanto
Gerakan Literasi
Gerakan Surah Buku (GSB)
Gerson Poyk
Ginanjar Rahadian
Gita Pratama
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gunawan Budi Susanto
Gunoto Saparie
Gus Martin
Gus tf Sakai
Gusti Eka
Hadi Napster
Haji Misbach
Halim HD
Halimi Zuhdy
Hamberan Syahbana
Hamdy Salad
Han Gagas
Handoko F. Zainsam
Hari Santoso
Haris del Hakim
Hartono Harimurti
Hary B. Kori’un
Hasan Gauk
Hasan Junus
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Hasta Indriyana
Helwatin Najwa
Hepi Andi Bastoni
Heri C Santoso
Heri KLM
Heri Latief
Heri Listianto
Hermien Y. Kleden
Hernadi Tanzil
Heru Emka
Heru Kurniawan
Heru Prasetya
Hesti Sartika
Hudan Hidayat
Humaidiy AS
I Made Asdhiana
I Made Prabaswara
I Nyoman Suaka
IBM. Dharma Palguna
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
Ida Ahdiah
Idayati
Ignas Kleden
Ihsan Taufik
Ilenk Rembulan
Ilham Khoiri
Ilham Yusardi
Imam Cahyono
Imam Jahrudin Priyanto
Imam Muhtarom
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Rosyid
Imron Tohari
Indah Darmastuti
Indiar Manggara
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Indrian Koto
Irma Safitri
Irman Syah
Iskandar Noe
Istiqomatul Hayati
Ita Siregar
Iwan Kurniawan
Iwan Nurdaya-Djafar
Iyut FItra
Jadid Al Farisy
Jafar M. Sidik
Jakob Sumardjo
Jamal D Rahman
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jayaning S.A
Jefri al Malay
Jihan Fauziah
JJ. Kusni
Jo Pakagula
Johan Edy Raharjo
Joko Pinurbo
Jokowi Undercover
Joni Ariadinata
Joss Wibisono
Jual Buku Paket Hemat
Judyane Koz
Juli Sastrawan
Junaidi Abdul Munif
Jusuf AN
Juwairiyah Mawardy
Kadir Ruslan
Kasnadi
Katrin Bandel
Kedung Darma Romansha
Khairul Mufid Jr
Khamami Zada
Khrisna Pabichara
Kikin Kuswandi
Koh Young Hun
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias
Komunitas Sastra Ilalang Indonesia (KSII)
Korrie Layun Rampan
Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan)
Kristianto Batuadji
Kritik Sastra
Kunni Masrohanti
Kunthi Hastorini
Kuntowijoyo
Kurie Suditomo
Kurnia EF
Kurniawan
Kuswaidi Syafi'ie
Kuswinarto
Lan Fang
Landung Rusyanto Simatupang
Latief S. Nugraha
Leila S. Chudori
Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M)
Liestyo Ambarwati Khohar
Linda Sarmili
Liston P. Siregar
Liza Wahyuninto
LN Idayanie
Lucia Idayani
Lukman Asya
Lusiana Indriasari
Lynglieastrid Isabellita
M Hari Atmoko
M. Aan Mansyur
M. Arman A.Z
M. Bagus Pribadi
M. Fadjroel Rachman
M. Harya Ramdhoni Julizarsyah
M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S
M. Luthfi Aziz
M. Nahdiansyah Abdi
M. Raudah Jambak
M. Shoim Anwar
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Maghfur Saan
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Majalah Sastra Horison
Maklumat Sastra Profetik
Malkan Junaidi
Maman S. Mahayana
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maria Serenade Sinurat
Mario F. Lawi
Marluwi
Marsel Robot
Martin Aleida
Martin Suryajaya
Mashuri
Matdon
Mega Vristian
Melani Budianta
Melayu Riau
Memoar
MG. Sungatno
Mh Zaelani Tammaka
Miftah Fadhli
Miftahul Abrori
Misbahus Surur
Miziansyah J
Mochtar Lubis
Mohamad Ali Hisyam
Mohammad Eri Irawan
MT Arifin
Mugy Riskiana Halalia
Muhajir Arrosyid
Muhamad Rifai
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Al-Mubassyir
Muhammad Qodari
Muhammad Rain
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun A.S
Muhidin M. Dahlan
Muhlis Al-Firmany
Mujtahid
Mulyadi SA
Munawir Aziz
Murniati Tanjung
Murnierida Pram
Musa Ismail
Musfi Efrizal
Mustaan
Mustafa Ismail
N. Mursidi
Nafsul Latifah
Naskah Teater
Nasrullah Nara
Nelson Alwi
Nenden Lilis A
Nh. Anfalah
Ni Made Purnama Sari
Nina Mussolini-Hansson
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Noura
Nova Christina
Noval Jubbek
Novela Nian
Nugroho Notosusanto
Nugroho Pandhu Sukmono
Nur Faizah
Nurdin F. Joes
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nurul Komariyah
Nuryana Asmaudi SA
Nyoman Tusthi Eddy
Nyoman Wirata
Oka Rusmini
Oktamandjaya Wiguna
Oky Sanjaya
Olanama
Olivia Kristina Sinaga
Otto Sukatno CR
Pagelaran Musim Tandur
Pamusuk Eneste
Patricia Pawestri
PDS H.B. Jassin
PDS. H.B. Jassin
Penghargaan Hadiah Sastra Pusat Bahasa
Persda Network
Pipiet Senja
Pramoedya Ananta Toer
Pramono
Pranita Dewi
Pringadi AS
Prita Daneswari
Prof. Tamim Pardede sebut Bambang Tri
Prosa
Pudyo Saptono
Puisi
Puisi Kesunyian
Puisi Sufi
Puji Santosa
PUstaka puJAngga
Putu Fajar Arcana
Putu Wijaya
Qaris Tajudin
R. Sugiarti
Rachmad Djoko Pradopo
Radhar Panca Dahana
Ragdi F. Daye
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Ramadhan Batubara
Ramadhan KH
Ratih Kumala
Ratna Indraswari Ibrahim
Ratna Sarumpaet
Raudal Tanjung Banua
Remy Sylado
Reni Susanti
Renny Meita Widjajanti
Resensi
Restu Kurniawan
Retno Sulistyowati
RF. Dhonna
Rian Sindu
Ribut Wijoto
Ridwan Munawwar
Riki Utomi
Riris K. Toha-Sarumpaet
Risang Anom Pujayanto
Riza Multazam Luthfy
Robin Al Kautsar
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rohman Abdullah
Rosidi
Rosihan Anwar
Rukardi
S Yoga
S. Jai
S. Sinansari Ecip
S.I. Poeradisastra
S.W. Teofani
Sabam Siagian
Sabrank Suparno
Saiful Anam Assyaibani
Sainul Hermawan
Sajak
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Samsudin Adlawi
Sanggar Rumah Ilalang
Sanggar Teater Jerit
Sapardi Djoko Damono
Sartika Dian
Sartika Dian Nuraini
Sastra Tanah Air
Sastra Using
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sayyid Fahmi Alathas
Sazano
Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo
Seli Desmiarti
Selo Soemardjan
Senggrutu Singomenggolo
Seno Joko Suyono
SH Mintardja
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sipri Senda
Sitok Srengenge
Siwi Dwi Saputro
Sjifa Amori
Sobih Adnan
Sofian Dwi
Sofie Dewayani
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sri Ruwanti
Sri Wintala Achmad
St Sularto
Stefanus P. Elu
Sukron Abdilah
Sulaiman Djaya
Suminto A. Sayuti
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sungging Raga
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Suryansyah
Suryanto Sastroatmodjo
Susanto
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Suyadi
Suyadi San
Syaifuddin Gani
Syaiful Amin
Syamsiar Hidayah
Syarbaini
Syifa Amori
Syifa Aulia
Tajuddin Noor Ganie
Taufik Abdullah
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
TE. Priyono
Teguh Afandi
Teguh Ranusastra Asmara
Teguh Winarsho AS
Tengsoe Tjahjono
Theresia Purbandini
Tita Tjindarbumi
Titik Alva-Alvi Choiriyah
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Tjoet Nyak Dhien
Tosa Poetra
Tri Lestari Sustiyana
Triyanto Triwikromo
TS Pinang
Tu-ngang Iskandar
Tulus S
Tulus Wijanarko
Udo Z. Karzi
Ugoran Prasad
Umar Fauzi Ballah
Umar Kayam
Umbu Landu Paranggi
Universitas Indonesia
Universitas Jember
Utada Kamaru
UU Hamidy
Vera Ernawati
Veronika Ninik
W.S. Rendra
Wahjudi Djaja
Wahyu Hidayat
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Budiartha
Widya Karima
Wijaya Herlambang
Wiji Thukul
Willem B Berybe
Wilson Nadeak
Winarni R.
Wiratmo Soekito
Wita Lestari
Wiwik Widayaningtias
Y. Thendra BP
Y. Wibowo
Yasser Arafat
Yeni Ratnaningsih
Yohanes Sehandi
Yonatan Raharjo
Yonathan Rahardjo
Yopi Setia Umbara
Yos Rizal S
Yos Rizal Suriaji
Yudhi Herwibowo
Yuka Fainka Putra
Yurnaldi
Yushifull Ilmy
Yusri Fajar
Yusuf Suharto
Zainal Abidin
Zainal Arifin Thoha
Zawawi Se
Zen Hae
Tidak ada komentar:
Posting Komentar