Ahmad Zaini *
http://sastra-indonesia.com/
Hening malam itu seketika buyar ketika detak-detak suara terompah kiai bergelombang membahana di setiap sudut lokasi pesantren. Alas kaki kiai menggerus jalan beraspal menuju tempat beribadah laksana derap kaki kuda yang menerjang medan perang tuk membasmi musuh-musuh. Detak-detak suara terompah kiai semakin cepat memecah keheningan akhir malam yang berudara dingin karena ingin segera sampai ke musholla. Di musholla itu kiai sudah ditunggu ratusan santrinya.
Terompah kiai ditaruh dekat lantai teras musholla. Kemudian dalam sekejap puluhan santri berebutan ingin menata terompah ke arah depan agar kiai setelah usai berjamaah shubuh tinggal mengenakan terompah tanpa harus membalikkan badannya.
“Alhamdulillah, saya dapat kesempatan menata terompah kiai!” ucap Amir salah seorang santri dan sekaligus merangkap jabatan sebagai keamanan pesantren dari Pekalongan.
Lain lagi dengan Abbas. Semenjak ia belajar mengaji di pesantren, belum pernah sekali pun ia menata terompah kiai. Setiap kali kiai naik ke musholla dan melepas terompahnya di depan musholla ia tak pernah ikut berebutan dengan santri lain untuk menata terompah kiai.
“Ah, itu kan hanya terompah. Apa manfaatnya? Dasar santri-satri tolol!” gumamnya sambil memandang tak peduli ke arah santri-santri yang sedang berebut menata terompah kiai.
Aneh memang. Dari sekian ratus santri yang mondok di pesantren itu
hanya Abbas yang bersikap demikian. Ia egois di mata santri-santri yang lain. Menurut teman-temannya, setiap kali ada ro’an di pesantren misalnya, Abbas tidak pernah mengikutinya. Ia malah enak-enakkan bernyanyi di dalam kamar sendirian. Ia bersenandung tentang tembang-tembang cinta yang sedang hits akhir-akhir ini. Abbas begitu menikmati lagu yang didendangkan. Ia baru keluar kamar jika ro’an akan selesai. Itu pun menunggu diseret oleh keamanan pesantren.
“Kenapa Abbas tidak ikut ro’an?” tanya kemanan pesatren.
“Ah, bikin capek saja. Angkat, dong, tukang kebun biar tidak setiap Jumat ro’an!” elak Abbas sambil berlagak menasehati keamanan pesantren yang menegurnya.
“Ini kan sudah program pesantren. Bahwa setiap hari Jumat pagi diadakan ro’an,” jelasnya.
“Itu bagi mereka yang mau, yang ikhlas mengikuti ro’an. Daripada tidak ikhlas, lebih baik nyanyi, dong, di kamar,” jawab Abbas dengan santai.
“Sudahlah. Itu terserah kamu. Besok kalau masih bersikap seperti ini akan saya laporkan pada kiai,” ancam petugas keamanan pesatren itu.
“Silakan! Silakan laporkan pada kiai. Sandal saja pakai terompah jawa. Bisa apa dia, heh!” gumam Abbas.
“Abbas. Jaga mulutmu! Jangan seenaknya kamu bicara. Apalagi merendahkan martabat kiai. Kurang ajar!” ketika keamanan itu mengangkat tangannya hendak menempeleng Abbas, tiba-tiba detak-detak suara terompah kiai terdengar memekakkan telinga berajalan mendekatinya.
“Ada apa, Mir?”
“Ini Kiai, Abbas,”
“Sudah-sudah sana!” perintah kiai.
Petugas kemanan pesantren itu kemudian bergegas meninggalkan Abbas yang masih duduk ongkang-ongkang kaki di lantai kamarnya.
Terompah kiai pun terdengar meninggalkan kamar Abbas, kemudian lama semakin lama tak terdengar lagi tenggelam oleh hiruk-pikuk santri yang sedang ramai mengikuti ro’an.
“Terompahnya saja suaranya memerahkan telinga. Beri nasihat segala,” gerutu Abbas.
Abbas adalah santri baru di pesantren itu. Baru seminggu ia mondok di situ. Ia anak seorang pengusaha sukses di bidang indutsri sandal dari Jakarta. Orang tuanya khawatir anaknya terpengaruh oleh pergaulan bebas di kota besar. Apalagi sekolah-sekolah di kota, sebagian siswanya sudah kecanduan narkoba. Makanya, orang tua Abbas segera mengirimnya ke pesantren, ingin menyelamatkan Abbas dari pengaruh negatif tersebut.
Sandal menurut Abbas hanyalah sebuah sandal. Tidak mempunyai nilai lebih. Bahkan posisi benda itu saja selalu di bawah. Setiap saat dan sampai kapan pun sandal letaknya selalu di bawah. Semahal apa pun sandal itu. Bahkan, Abbas sering melihat sandal itu sering terkena kotoran binatang, lumpur, dan kotoran-kotoran lain.
“Cih, jijik!” ungkap Abbas ketika melihat terompah kiai jadi rebutan santri-santrinya.
“Nilai sebuah benda, tergantung orang yang memakainya. Contoh, sandal yang harganya jutaan rupiah jika yang memakai itu gembel maka tak ada nilainya. Orang-orang akan menganggap sandal itu harganya cuma ribuan.
Orang tak kan percaya kalau ada gembel memakai sandal seharga jutaan rupiah.
Sebaliknya, sandal yang harganya hanya ribuan tapi yang memakai adalah pengusaha, pejabat atau para ulama yang punya pengaruh, maka orang-orang akan menganggap sandal itu harganya jutaan, punya nilai, kan!” kata Amir yang sejak tadi duduk bersama Abbas dan mencoba menasihatinya.
“Iya. Tapi apa nilai dari terompah kiai. Tidak masuk akal!” bantah Abbas kemudian beranjak pergi meninggalkan Amir sendirian. Amir hanya bisa menggeleng-gelengkan kepalanya. Ia tak habis pikir ada santri yang berpikiran seperti itu.
Suasana pesantren kembali senyap dari riuh suara santri yang bergurau. Hanya terdengar suara sebagian santri yang belajar membaca kitab-kitab gundul di kamar masing-masing. Sementara Abbas bersenandung ria sendiri di teras kamarnya. Ia sudah tak menghiraukan nasihat Amir yang baru saja didengarnya.
Santri-santri berlalu di depan Abbas yang masih asyik bernyanyi. Mereka tak mempedulikan sikap Abbas. Itu karena, mereka sudah bosan melihat tingkah Abbas yang sok pintar, sok kuasa, sok kaya dan sok pemberani.
Ketika Yunus usai mengambil air wudlu, ia tak sengaja mengibaskan sisa-sisa air dari wajahnya. Dan percikan air itu mengenai wajah Abbas. Seketika ia langsung berdiri dan memukuli Yunus yang berbadan kurus itu. Tubuh kurus itu jadi bulan-bulanan Abbas hingga tersungkur di lantai yang masih basah bekas air dari kaki para santri lain usai mengambil air wudlu.
“Hentikan! Hentikan, Abbas!” Seru Amir yang datang melerai.
“Kamu sudah keterlaluan, Abbas. Kamu telah menganiaya Yunus yang tak bersalah apa-apa,”
“Apa? Tidak bersalah bagaimana? Ia sengaja memercikkan air ke wajahku. Ini lihat!” kata Abbas sambil menunjuk butiran air yang masih menempel di dekat bibirnya.
Ketika mereka sedang bersitegang masalah percikan air, tiba-tiba detak-detak suara suara terompah kiai terdengar mendekati mereka.
“Ada apa ini. Kenapa Yunus?” tanya Kiai ketika melihat Yunus mengerang-erang kesakitan memegangi perutnya.
“Maaf, Kiai. Yunus baru saja dipukuli Abbas,” jawab Amir sambil menundukkan kepalanya.
“Sudah. Sekarang kalian bubar semua!” perintah Kiai.
Kemudian satu persatu dari mereka pergi meninggalkan Yunus, Abbas dan Kiai.
Yunus dibangunkan dan dipapah kiai berjalan ke kamar. Tubuh yang kerempeng itu kemudian dibaringkan di lantai dengan alas sepotong sarung.
“Abbas, ke sini!” seru Kiai. Tanpa sopan santun Abbas datang menghampiri kiai.
Cukup lama kiai memberi nasihat kepada Abbas bahwa perilaku yang baru saja ia lakukan itu tidak menunjukkan sifat-sifat santri.
“Jadi santri itu harus bisa saling meminta dan memberi maaf sesama temannya yang melakukan kesalahan. Baik itu disengaja atau tidak disengaja,” ujar kiai.
Tanpa memberi rasa hormat Abbas berdiri dan meninggalkan kiai yang
belum selesai menasehatinya. Ia keluar dari kamar tanpa permisi atau mengucapkan salam. Melihat sikap Abbas seperti itu, kiai hanya tersenyum karena kiai menyadari bahwa hati Abbas belum mendapat hidayah dari Allah SWT.
“Sabar, ya, Yunus. Maafkan perilaku Abbas,” pinta kiai.
“Iya, Kiai,” jawab Yunus.
Kemudian kiai keluar kamar dengan meninggalkan detak-detak suara terompah menjauh dari tempat semula.
Menjelang maghrib tiba, puluhan santri sudah berkumpul menunggu kedatangan kiai. Mereka siap-siap berebut menata terompah kiai saat beliau sudah naik musholla untuk menjadi imam jamaah sholat maghrib. Sudah hampir sepuluh menit belum terdengar detak-detak suara terompah kiai. Para santri menunggu dengan sabar disertai kecemasan jangan-jangan kiai ada udzur sehingga tak bisa ke musholla. Kecemasan mereka belum reda tiba-tiba terdengar detak-detak suara terompah kiai muncul dari kediamannya. Detak-detak suara terompah itu semakin lama semakin mengeras hingga pada akhirnya tak terdengar lagi detak-detak suara itu karena kaki kiai sudah menginjak lantai depan musholla. Puluhan santri kemudian berdiri menunggu terompah itu lepas dari kaki kiai. Setelah terompah itu benar-benar lepas, mereka berebutan menata terompah kiai. Ada yang sampai terjungkal dan tak dapat menyentuh apalagi menata terompah kiai.
“Ha, ha, ha, ha!” Abbas datang menertawakan santri yang terjungkal itu.
Saat mereka melihat Abbas datang, spontan mereka membubarkan diri dan masuk ke musholla mengikuti shalat maghrib berjamaah dengan kiai. Sementara Abbas menyusul mereka kemudian, ketika imam sudah membaca surat Al Quran dalam shalatnya. Ia berdiri sendiri tidak masuk pada shaf-shaf di depannya. Padahal, shaf-shaf di depannya tadi masih ada jarak untuk seorang peserta jamaah lagi.
Setelah hampir lima belas menit para santri dan kiai sholat dan dzikir bersama, mereka kemudian bergantian berjabat tangan dengan kiai. Mereka menciumi tangan kiai yang lembut dan halus serta menebarkan bau harum minyak Misk.
Para santri kaget saat melihat kiai berdiri mematung di teras mushalla seperti ada sesuatu yang beliau cari. Mereka saling berpandangan, menanyakan apa yang dicari oleh kiai. Mereka tak berani bertanya langsung pada kiai. Mereka hanya berani bertanya kepada santri yang lain. Para santri semakin kaget ketika melihat kiai turun dan terpaksa berjalan menuju ke kediamannya tanpa terdengar suara detak-detak suara terompah jawanya. Sekejap pandang kiai sudah masuk di kediamannya. Mereka pun melihat di lantai depan teras musholla tak menemukan jejak terompah kiai.
“Waaah, terompah kiai hilang!” mereka tercengang keheranan. Mereka saling berpandangan dan saling bertanya tentang keberadaan terompah kiai.
“Siapa ,ya, yang berani mengambil?’ kata Amir dengan penuh penasaran.
Pada saat mereka melihat sekitar mushalla mencari terompah kiai yang raib, dalam waktu yang bersamaan tiba-tiba terdengar suara detak-detak suara terompah kiai dari arah samping musholla. Detak-detak suara itu semakin lama semakin mendekat. Mereka memperhatikan asal bunyi terompah dan ingin tahu siapa yang memakainya. Batapa kaget dan emosinya, ternyata yang membawa terompah kiai adalah Abbas, santri baru di pesantren kiai.
Para santri kemudian mengerubuti Abbas yang berdiri tenang tak merasa
bersalah apa-apa. Ia menatap wajah para santri yang kelihatan seram dan serentak mengepalkan tangannya. Abbas jadi gemetar melihat sikap para santri yang berbeda dengan biasanya. Kali ini mereka benar-benar geram, marah dan ingin memberi pelajaran kepada Abbas, santri yang lancang itu.
“Ia telah menganiaya Yunus, tidak mempunyai sopan santun ketika berhadapan dengan kiai. Yang terakhir ia telah meng-ghasab terompah kiai. Mari bersama-sama kita memberi pelajaran pada Abbas biar bisa mengubah sikapnya!” ajak Amir pada rekan-rekannya.
Ketika mereka sudah mengepal dan mengangkat tangan tinggal menunggu waktu untuk melayangkan kepalan tangannya pada Si Abbas, tiba-tiba kiai muncul di tengah-tengah mereka.
“Tahan, tahan! Sabar! Si Abbas adalah santri baru dipesantren ini. Kalian harus memberi contoh padanya. Contoh yang baik, bijaksana. Jangan main hakim sendiri seperti ini,” perintah kiai.
Mereka kemudian mencoba menahan diri dan minta maaf pada kiai. Satu persatu kemudian mereka meninggalkan Abbas dengan kiai berdua disamping musholla. Abbas tampak begitu serius mendengarkan nasihat-nasihat dari kiai. Entah nasihat apa yang dituturkan pada Si Abbas.
Usai menasihati Abbas, detak-detak suara terompah kiai kemudian terdengar lagi mengalun membentuk irama meninggalkan Abbas yang masih berdiri mematung di samping musholla sendirian.***
___________________________
*) Cerpenis lahir di Lamongan, 7 Mei 1976. Karya-karyanya pernah dimuat di beberapa media cetak seperti Tabloid Telunjuk, Majalah MPA dan Radar Bojonegoro. Beberapa puisinya juga dimuat dalam Antologi Puisi Bersama seperti Bulan Merayap (DKL, 2004), Lanskap Telunjuk (DKL, 2004), Absurditas Rindu (SastraNesia Lamongan, 2006), Khianat Waktu, Antologi Penyair Jawa Timur (DKL, 2006). Selain menulis, juga sebagai tanaga edukatif di SMA Raudlatul Muta’allimin Babat Lamongan. Sekarang beralamat di Sanggar Sastra ”Telaga Biru”, Wanar, Pucuk, Lamongan. e-mail: ilazen@yahoo.co.id.
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Jumat, 21 Oktober 2011
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Label
`Atiqurrahman
A Muttaqin
A Rodhi Murtadho
A. Iwan Kapit
A. Purwantara
A. Qorib Hidayatullah
A. Zakky Zulhazmi
A.H.J Khuzaini
A.S. Laksana
Aang Fatihul Islam
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi WM
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Lathief
Abdul Malik
Abdul Wachid B.S.
Abdurrahman El Husaini
Abidah El Khalieqy
Abu Salman
Acep Zamzam Noor
Achdiat K. Mihardja
Adek Alwi
Adi Suhara
Adnyana Ole
Adreas Anggit W.
Afrion
Afrizal Malna
Aguk Irawan MN
Agung Dwi Ertato
Agus B. Harianto
Agus Buchori
Agus Himawan
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus Sulton
Agusri Junaidi
Agustinus Wahyono
Ahda Imran
Ahmad Badrus Sholihin
Ahmad Fanani Mosah
Ahmad Fatoni
Ahmad Ikhwan Susilo
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Musabbih
Ahmad Rofiq
Ahmad Sahidah
Ahmad Tohari
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Muhaimin Azzet
Akhmad Sekhu
Alex R. Nainggolan
Alex Suban
Alunk Estohank
Ami Herman
Amien Kamil
Amien Wangsitalaja
Aminudin R Wangsitalaja
Anastasya Andriarti
Andreas Maryoto
Anes Prabu Sadjarwo
Angela
Angga Wijaya
Angkie Yudistia
Anindita S Thayf
Anis Ceha
Anjrah Lelono Broto
Anton Kurnia
Anton Kurniawan
Anton Wahyudi
Anugrah Gio Pratama
Anwar Nuris
Aprinus Salam
Arie MP Tamba
Arif B. Prasetyo
Arif Bagus Prasetyo
Arif Hidayat
Arman A.Z.
Arti Bumi Intaran
Arys Hilman
AS Sumbawi
Asarpin
Asef Umar Fakhruddin
Asep Sambodja
Asrama Mahasiswa Aceh SABENA
Astrikusuma
Asvi Warman Adam
Atep Kurnia
Awalludin GD Mualif
Aziz Abdul Gofar
Azizah Hefni
Badrut Tamam Gaffas
Bagja Hidayat
Bagus Takwin
Balada
Bale Aksara
Baltasar Koi
Bambang Agung
Bambang Kempling
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Bayu Insani
Beni Setia
Benny Arnas
Benny Benke
Berita
Berita Duka
Berita Utama
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Blambangan
Brunel University London
BSW Adjikoesoemo
Budaya
Budhi Setyawan
Budi Darma
Budi Saputra
Budi Suwarna
Bung Tomo
Cak Kandar
Catatan
Cerpen
Chairil Anwar
Chavchay Syaifullah
Cucuk Espe
Cunong N. Suraja
D. Zawawi Imron
Dadang Ari Murtono
Daisuke Miyoshi
Damanhuri
Damhuri Muhammad
Damiri Mahmud
Danarto
Daniel Dhakidae
Dante Alighieri
Deddy Arsya
Dedy Tri Riyadi
Denny Mizhar
Deny Tri Aryanti
Detti Febrina
Dharmadi
Diah Hadaning
Dian Hartati
Dian Sukarno
Diana A.V. Sasa
Dicky Fadiar Djuhud
Didi Arsandi
Dimas
Dina Oktaviani
Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan
Djadjat Sudradjat
Djoko Saryono
Doddi Ahmad Fauji
Doddy Hidayatullah
Donny Anggoro
Dony P. Herwanto
Dorothea Rosa Herliany
Dr. Muhammad Zafar Iqbal
Dr. Simuh
Dwi Arjanto
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwicipta
Dwijo Maksum
Edy A. Effendi
Edy Firmansyah
Efri Ritonga
Egidius Patnistik
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Eko Hendri Saiful
Elik
Elsya Crownia
Emha Ainun Nadjib
Endah Sulawesi
Endah Wahyuningsih
Endang Suryadinata
Endhiq Anang P
Endri Y
Eriyandi Budiman
Ernest Hemingway
Esai
Esha Tegar Putra
Eva Dwi Kurniawan
Evi Dana Setia Ningrum
Evi Idawati
Evieta Fadjar
F Rahardi
Fabiola D. Kurnia
Fadelan
Fahrudin Nasrulloh
Faidil Akbar
Faisal Kamandobat
Faisal Syahreza
Faizal Syahreza
Fajar Alayubi
Fandy Hutari
Fany Chotimah
Fatah Yasin Noor
Fathor Lt
Fathurrahman Karyadi
Fatih Kudus Jaelani
Fatma Dwi Rachmawati
Fauzi Absal
Festival Sastra Gresik
Fikri. MS
Fina Sato
Fitri Susila
Galih Pandu Adi
Gde Agung Lontar
Geger Riyanto
Gerakan Literasi
Gerakan Surah Buku (GSB)
Gerson Poyk
Ginanjar Rahadian
Gita Pratama
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gunawan Budi Susanto
Gunoto Saparie
Gus Martin
Gus tf Sakai
Gusti Eka
Hadi Napster
Haji Misbach
Halim HD
Halimi Zuhdy
Hamberan Syahbana
Hamdy Salad
Han Gagas
Handoko F. Zainsam
Hari Santoso
Haris del Hakim
Hartono Harimurti
Hary B. Kori’un
Hasan Gauk
Hasan Junus
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Hasta Indriyana
Helwatin Najwa
Hepi Andi Bastoni
Heri C Santoso
Heri KLM
Heri Latief
Heri Listianto
Hermien Y. Kleden
Hernadi Tanzil
Heru Emka
Heru Kurniawan
Heru Prasetya
Hesti Sartika
Hudan Hidayat
Humaidiy AS
I Made Asdhiana
I Made Prabaswara
I Nyoman Suaka
IBM. Dharma Palguna
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
Ida Ahdiah
Idayati
Ignas Kleden
Ihsan Taufik
Ilenk Rembulan
Ilham Khoiri
Ilham Yusardi
Imam Cahyono
Imam Jahrudin Priyanto
Imam Muhtarom
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Rosyid
Imron Tohari
Indah Darmastuti
Indiar Manggara
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Indrian Koto
Irma Safitri
Irman Syah
Iskandar Noe
Istiqomatul Hayati
Ita Siregar
Iwan Kurniawan
Iwan Nurdaya-Djafar
Iyut FItra
Jadid Al Farisy
Jafar M. Sidik
Jakob Sumardjo
Jamal D Rahman
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jayaning S.A
Jefri al Malay
Jihan Fauziah
JJ. Kusni
Jo Pakagula
Johan Edy Raharjo
Joko Pinurbo
Jokowi Undercover
Joni Ariadinata
Joss Wibisono
Jual Buku Paket Hemat
Judyane Koz
Juli Sastrawan
Junaidi Abdul Munif
Jusuf AN
Juwairiyah Mawardy
Kadir Ruslan
Kasnadi
Katrin Bandel
Kedung Darma Romansha
Khairul Mufid Jr
Khamami Zada
Khrisna Pabichara
Kikin Kuswandi
Koh Young Hun
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias
Komunitas Sastra Ilalang Indonesia (KSII)
Korrie Layun Rampan
Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan)
Kristianto Batuadji
Kritik Sastra
Kunni Masrohanti
Kunthi Hastorini
Kuntowijoyo
Kurie Suditomo
Kurnia EF
Kurniawan
Kuswaidi Syafi'ie
Kuswinarto
Lan Fang
Landung Rusyanto Simatupang
Latief S. Nugraha
Leila S. Chudori
Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M)
Liestyo Ambarwati Khohar
Linda Sarmili
Liston P. Siregar
Liza Wahyuninto
LN Idayanie
Lucia Idayani
Lukman Asya
Lusiana Indriasari
Lynglieastrid Isabellita
M Hari Atmoko
M. Aan Mansyur
M. Arman A.Z
M. Bagus Pribadi
M. Fadjroel Rachman
M. Harya Ramdhoni Julizarsyah
M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S
M. Luthfi Aziz
M. Nahdiansyah Abdi
M. Raudah Jambak
M. Shoim Anwar
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Maghfur Saan
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Majalah Sastra Horison
Maklumat Sastra Profetik
Malkan Junaidi
Maman S. Mahayana
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maria Serenade Sinurat
Mario F. Lawi
Marluwi
Marsel Robot
Martin Aleida
Martin Suryajaya
Mashuri
Matdon
Mega Vristian
Melani Budianta
Melayu Riau
Memoar
MG. Sungatno
Mh Zaelani Tammaka
Miftah Fadhli
Miftahul Abrori
Misbahus Surur
Miziansyah J
Mochtar Lubis
Mohamad Ali Hisyam
Mohammad Eri Irawan
MT Arifin
Mugy Riskiana Halalia
Muhajir Arrosyid
Muhamad Rifai
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Al-Mubassyir
Muhammad Qodari
Muhammad Rain
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun A.S
Muhidin M. Dahlan
Muhlis Al-Firmany
Mujtahid
Mulyadi SA
Munawir Aziz
Murniati Tanjung
Murnierida Pram
Musa Ismail
Musfi Efrizal
Mustaan
Mustafa Ismail
N. Mursidi
Nafsul Latifah
Naskah Teater
Nasrullah Nara
Nelson Alwi
Nenden Lilis A
Nh. Anfalah
Ni Made Purnama Sari
Nina Mussolini-Hansson
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Noura
Nova Christina
Noval Jubbek
Novela Nian
Nugroho Notosusanto
Nugroho Pandhu Sukmono
Nur Faizah
Nurdin F. Joes
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nurul Komariyah
Nuryana Asmaudi SA
Nyoman Tusthi Eddy
Nyoman Wirata
Oka Rusmini
Oktamandjaya Wiguna
Oky Sanjaya
Olanama
Olivia Kristina Sinaga
Otto Sukatno CR
Pagelaran Musim Tandur
Pamusuk Eneste
Patricia Pawestri
PDS H.B. Jassin
PDS. H.B. Jassin
Penghargaan Hadiah Sastra Pusat Bahasa
Persda Network
Pipiet Senja
Pramoedya Ananta Toer
Pramono
Pranita Dewi
Pringadi AS
Prita Daneswari
Prof. Tamim Pardede sebut Bambang Tri
Prosa
Pudyo Saptono
Puisi
Puisi Kesunyian
Puisi Sufi
Puji Santosa
PUstaka puJAngga
Putu Fajar Arcana
Putu Wijaya
Qaris Tajudin
R. Sugiarti
Rachmad Djoko Pradopo
Radhar Panca Dahana
Ragdi F. Daye
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Ramadhan Batubara
Ramadhan KH
Ratih Kumala
Ratna Indraswari Ibrahim
Ratna Sarumpaet
Raudal Tanjung Banua
Remy Sylado
Reni Susanti
Renny Meita Widjajanti
Resensi
Restu Kurniawan
Retno Sulistyowati
RF. Dhonna
Rian Sindu
Ribut Wijoto
Ridwan Munawwar
Riki Utomi
Riris K. Toha-Sarumpaet
Risang Anom Pujayanto
Riza Multazam Luthfy
Robin Al Kautsar
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rohman Abdullah
Rosidi
Rosihan Anwar
Rukardi
S Yoga
S. Jai
S. Sinansari Ecip
S.I. Poeradisastra
S.W. Teofani
Sabam Siagian
Sabrank Suparno
Saiful Anam Assyaibani
Sainul Hermawan
Sajak
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Samsudin Adlawi
Sanggar Rumah Ilalang
Sanggar Teater Jerit
Sapardi Djoko Damono
Sartika Dian
Sartika Dian Nuraini
Sastra Tanah Air
Sastra Using
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sayyid Fahmi Alathas
Sazano
Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo
Seli Desmiarti
Selo Soemardjan
Senggrutu Singomenggolo
Seno Joko Suyono
SH Mintardja
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sipri Senda
Sitok Srengenge
Siwi Dwi Saputro
Sjifa Amori
Sobih Adnan
Sofian Dwi
Sofie Dewayani
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sri Ruwanti
Sri Wintala Achmad
St Sularto
Stefanus P. Elu
Sukron Abdilah
Sulaiman Djaya
Suminto A. Sayuti
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sungging Raga
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Suryansyah
Suryanto Sastroatmodjo
Susanto
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Suyadi
Suyadi San
Syaifuddin Gani
Syaiful Amin
Syamsiar Hidayah
Syarbaini
Syifa Amori
Syifa Aulia
Tajuddin Noor Ganie
Taufik Abdullah
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
TE. Priyono
Teguh Afandi
Teguh Ranusastra Asmara
Teguh Winarsho AS
Tengsoe Tjahjono
Theresia Purbandini
Tita Tjindarbumi
Titik Alva-Alvi Choiriyah
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Tjoet Nyak Dhien
Tosa Poetra
Tri Lestari Sustiyana
Triyanto Triwikromo
TS Pinang
Tu-ngang Iskandar
Tulus S
Tulus Wijanarko
Udo Z. Karzi
Ugoran Prasad
Umar Fauzi Ballah
Umar Kayam
Umbu Landu Paranggi
Universitas Indonesia
Universitas Jember
Utada Kamaru
UU Hamidy
Vera Ernawati
Veronika Ninik
W.S. Rendra
Wahjudi Djaja
Wahyu Hidayat
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Budiartha
Widya Karima
Wijaya Herlambang
Wiji Thukul
Willem B Berybe
Wilson Nadeak
Winarni R.
Wiratmo Soekito
Wita Lestari
Wiwik Widayaningtias
Y. Thendra BP
Y. Wibowo
Yasser Arafat
Yeni Ratnaningsih
Yohanes Sehandi
Yonatan Raharjo
Yonathan Rahardjo
Yopi Setia Umbara
Yos Rizal S
Yos Rizal Suriaji
Yudhi Herwibowo
Yuka Fainka Putra
Yurnaldi
Yushifull Ilmy
Yusri Fajar
Yusuf Suharto
Zainal Abidin
Zainal Arifin Thoha
Zawawi Se
Zen Hae
Tidak ada komentar:
Posting Komentar