Jumat, 25 November 2011

MENGENALI STRUKTUR PENULISAN AMIR HAMZAH, CHAIRIL ANWAR, DAN DIMAS ARIKA MIHARDJA

Hadi Napster
http://sastra-indonesia.com/

Masih tentang pembicaraan licentia poetica dalam kaitannya dengan konvensional bahasa, pada kesempatan ini kita awali dengan kutipan pendapat dari Atmazaki (1993: 70-72) yang menulis; Ada tiga faktor yang menjadi penyebab licentia poetica digunakan oleh penyair, yaitu sebagai berikut: 1) Pada dasarnya penyair menyampaikan pengalaman puitiknya. Pengalaman puitik tersebut lebih banyak berhubungan dengan emosi dan intuisi daripada rasio, ilmu dan ilmiah; 2) Karena pengucapan puisi lebih pendek daripada pengucapan non puisi maka berbagai unsur yang menurut penyair mengganggu pengucapan puitiknya akan dihilangkan atau dibuang; 3) Sastrawan (penyair) adalah orang yang mampu menggunakan bahasa untuk tujuan tertentu.
Selanjutnya beragam pendapat tentu dapat leluasa bertumbuh-kembang. Dengan acuan kutipan di atas, masing-masing kalangan bisa membuat opini sendiri-sendiri. Tanggapan pun tentu akan berbeda-beda pula, sesuai dengan sudut pandang apa yang digunakan untuk melihat licentia poetica. Misalnya ketika kita berdiri dalam lingkup "ragam resmi", sudah pasti tidak akan sama dengan ketika kita mengedepankan "ragam puitis". Atau misalnya jika kita mengikuti arus licentia poetica dengan pemahaman bahasa sebagai alat komunikasi umum, akan berbeda jauh dengan ketika kita menyikapinya atas dasar pemahaman bahasa sastra.

Adapun dalam tulisan ini, sudut pandang yang akan kita gunakan ialah aspek konvensional dalam lingkup bahasa umum (tulisan, non lisan). Mengapa demikian? Karena bagaimanapun juga, konvensi bahasa yang dibakukan dalam bentuk kaidah bahasa bernama EYD, adalah "sesuatu" yang memang telah dan sedang terjadi -- serta terus berproses. Sedangkan paradigma konvensi itu sendiri berjalan dalam tataran masyarakat bahasa secara umum, bahkan selalu dianjurkan untuk diterapkan dalam komunikasi sehari-hari. Sementara karya-karya sastra yang konon banyak mengandalkan licentia poetica --ragam puitis non konvensi-- pada kenyataannya bukan hanya dibaca oleh masyarakat bahasa sastra, tetapi juga menjadi konsumsi masyarakat bahasa secara umum.

Pertanyaannya sekarang adalah; bagaimanakah kira-kira resepsi kita sebagai masyarakat bahasa (dalam lingkup komunikasi umum) yang selalu dan senantiasa dianjurkan agar berbahasa secara konvensional --terutama melalui bangku pendidikan-- akan menyikapi masalah licentia poetica ini? Sudahkah kita mengetahui perihal tata, letak, bentuk, dan lain sebagainya menyangkut licentia poetica dalam karya-karya sastra yang kita baca sehari-hari? Lantas sudahkah kita memahami struktur-struktur seperti apa dalam karya sastra (khususnya puisi) yang tergolong penyimpangan kaidah bahasa dan sebagainya yang digolongkan licentia poetica?

Memang, sejauh ini licentia poetica adalah mutlak milik individu penggunanya, terutama kalangan penyair. Tidak ada satu penyair pun dapat disama-setarakan dengan penyair lainnya dalam hal penggunaan licentia poetica. Para penyair sendirilah yang harus mengenal, menentukan, lalu menguasai dan menumbuh-kembangkan licentia poetica masing-masing. Tentunya tidak boleh dilupakan juga -- dan teramat sangat penting: konsistensi serta tanggung jawab yang "wajib" diemban bagi segala bentuk licentia poetica yang hendak atau telah diterapkan.

Harus ditilik dan dicermati pula, bahwasanya licentia poetica bukanlah berarti "lampu hijau" bagi para penyair untuk melanggar kaidah bahasa begitu saja. Karena ketika melakukan penyimpangan kaidah bahasa dalam karya sastra, haruslah ada alasan kuat serta tujuan akurat. Akan lebih baik jika maksud dan tujuannya ialah demi kepentingan komunikasi, agar karya sastra lebih mudah dipahami pembaca. Karena sekali lagi, pembaca karya sastra bukan hanya satu-dua orang saja, bukan hanya masyarakat yang menggeluti sastra saja, melainkan masyarakat bahasa secara luas -- yang selalu dianjurkan untuk berbahasa konvensional.

Artinya, akan ada pengharapan (kelak) bahwa kecenderungan paham "seni untuk seni" yang masih kental dalam aktivitas kesusastraan selama ini, dapat sedikit bergeser ke arah "seni untuk masyarakat". Sehingga dalam perkembangannya, licentia poetica tidak akan tumpang tindih lagi dengan kaidah bahasa. Melainkan sedapat mungkin berjalan beriringan, hampir-menghampiri, jalin-menjalin, lalu saling melengkapi antara satu dengan yang lain, demi tujuan pencapaian "komunikasi" maksimal dalam lingkup masyarakat bahasa secara luas. Karena diakui atau tidak, kaidah bahasa dimaksud adalah produk konsensus yang ditujukan sebagai pengatur serta pengontrol, dengan tujuan agar bahasa menjadi teratur, tertata, berwibawa, dan berkembang sebagai salah satu citra baik bagi bangsa.

Kalaupun kemudian lantas terjadi pelanggaran terhadap kaidah bahasa, maka hendaknya tetap diperhitungkan: siapa yang melanggar, karya jenis apa yang ditulis, serta kaidah mana yang dilanggar? Sebab merupakan sesuatu yang sangat mustahil jika harus membuat perlakuan sama terhadap tulisan-tulisan jenis karya sastra (khusunya puisi) dengan tulisan-tulisan formal seperti skripsi, tesis, disertasi, jurnal, esai, atau karya ilmiah lainnya. Kaidah bahasa sendiri juga banyak rupa dan ragamnya, bukan satu jenis saja. Dengan kata lain: akan teramat rancu jika harus memandang licentia poetica dari balik kaca mata kaidah bahasa konvensional. Tetapi tidak ada salahnya jika kita mencoba untuk paling tidak mencari tahu, mengenal, lalu berusaha memahami keberadaan licentia poetica di dalam karya sastra yang kita tulis dan baca sehari-hari.

Menyinggung sedikit kaitannya dengan karya sastra --penyair dan karyanya-- licentia poetica sebenarnya lebih cenderung menjadi ciri atau karakter khusus seorang penyair yang bisa kita temukan di dalam karya-karyanya. Maksudnya, licentia poetica memang merupakan wewenang penuh dan mutlak bagi seorang penyair untuk menentukan metode, pola, gaya, maupun cara pengungkapannya, dalam rangka membangun sebuah karya sastra demi pencapaian tujuan tertentu – termasuk komunikasi dengan pembaca. Tetapi harus digarisbawahi juga, bahwa licentia poetica bukanlah "pembelaan" yang patut dikedepankan oleh penyair ketika pembaca atau penghayat mendapati lalu mempertanyakan sesuatu dalam karyanya yang tidak sesuai dengan kaidah bahasa.

Lebih bijak jika dikatakan; idealnya, kalangan penyairlah yang mestinya lebih dahulu memahami kaidah bahasa sebelum menulis. Agar nantinya ketika ada pertanyaan sehubungan kaidah bahasa yang muncul terkait karyanya, harga mati berupa tanggung jawab untuk menerang-jelaskan karya itu pun dapat diserukan selantang-lantangnya. Jangan sampai kejadiannya justru seperti yang marak terjadi akhir-akhir ini, di mana banyak penyair --terutama angkatan puber dan euforia sastra-- justru pusing sendiri ketika hendak menjawab pertanyaan perihal karyanya. Tak jarang malah banyak yang diam-diam melarikan diri, lalu "gantung pena" dan memutuskan untuk menjadi penyair yang pensiun dini.

Apa pasal? Apa lagi kalau bukan karena pembaca (yang membaca) ternyata lebih paham kaidah bahasa daripada penyair (yang menulis). Masih mending jika penyair bisa terbuka dan berjiwa besar menyikapi wacana kritis dari luar, tapi kalau tidak? Misalnya -- kasus ini sangat sering terjadi; ketika ada pembaca yang menanyakan hal-hal mendasar seperti "kata depan" dalam sebuah tulisan (puisi) yang berubah bentuk menjadi "awalan". Jawabannya bisa ditebak: segera buka google, masuk ke situs wikipedia, lalu cari artikel EYD. Selanjutnya copy-paste dan balas komentar. Atau jika sedang malas mencari informasi di internet, tinggal jawab saja: penulisan seperti itu adalah termasuk “kebebasan” licentia poetica. Menerima jawaban demikian, pembaca yang bertanya pun tersenyum miris, sinis, dan meringis. Membayangkan derap langkah "sastra" yang bukannya maju ke depan, tetapi mundur jauh ke belakang, lantaran adanya "pembelaan mutlak" bernama licentia poetica.

Tanpa bermaksud membandingkan, sebagai ilustrasi sederhana keterkaitan licentia poetica dengan kaidah bahasa (EYD), bisa kita kedepankan tiga orang penyair berikut karya-karyanya, dari tiga periodisasi sastra yang berbeda. Untuk selanjutnya secara bersama-sama kita telusuri sejauh mana cakupan licentia poetica dimaksud jika dipandang dari segi struktur penulisan. Dalam hal ini kita mengusung referensi syair-syair "istana sentris" Amir Hamzah (Angkatan Pujangga Baru), sajak-sajak "ekspresif" Chairil Anwar (Sastrawan Angkatan '45), hingga puisi-puisi "sexy" Dimas Arika Mihardja (Sastrawan Angkatan 2000-an).

Amir Hamzah dalam syair-syairnya, ketika menuliskan kata ulang (reduplikasi), tetap patuh pada kaidah bahasa dengan menggunakan tanda hubung (-), seperti pada kata: bertukar-tukar; memohon-mohon; melayang-layang; tulang-belulang; turun-temurun, dan kata lainnya. Kepatuhan terhadap kaidah bahasa juga masih terlihat kala Amir Hamzah menuliskan ungkapan yang berhubungan dengan nama Tuhan, tetap menggunakan huruf awal kapital, seperti pada kata: Allah. Syair-syairnya pun selalu tertib mengawali larik atau bait dengan huruf kapital. Kesemuanya itu masih berjalan dalam koridor kaidah bahasa.

Kemungkinan licentia poetica baru akan muncul manakala kita dapati bahwa Amir Hamzah "sering" menggunakan tanda penghubung pada kata-kata yang mengandung unsur bunyi aliterasi dan asonansi (meski bukan merupakan kata ulang), seperti: mutu-mutiara; membidai-belai; jauh-terjatuh; marak-sumarak; atau nipis-tipis.

Namun apakah layak kita golongkan licentia poetica masalah penulisan partikel "di" dan "ke" yang sebenarnya berfungsi sebagai kata depan (preposisi) --yang menurut kaidah bahasa harus ditulis terpisah dengan kata keterangan tempat yang mengikutinya-- justru ditulis terangkai dalam kebanyakan syair Amir Hamzah? Misalnya pada kata: diatas; diantara; dihadapanmu; diujung; dibawah; didalam; atau kedalam. Entah kasus ini merupakan dampak perubahan kaidah bahasa --karena kaidah bahasa lama memang masih menuliskan kata depan "di" dan "ke" secara terangkai dengan kata yang mengikutinya-- atau karena ada sebab lain. Yang pasti, dalam syair-syair lainnya sebagian kata depan sudah dituliskan terpisah sesuai dengan kaidah bahasa yang baru.

Lalu bagaimana dengan larik-larik dalam beberapa syair Amir Hamzah yang pada akhir lariknya menggunakan 11 hingga 13 tanda titik? Contoh:
Mata hari - bukan kawanku...........
(Padamu Jua)

Tetapi aku tiada merasa...........
(Tetapi Aku)

Menurut hati menaruh rindu.............
(Batu Belah)
Apakah penggunaan tanda titik seperti di atas termasuk licentia poetica juga? Karena menurut kaidah bahasa, tanda elipsis (...) yang difungsikan sebagai penanda dalam kalimat terputus, atau naskah jika ada bagian yang dihilangkan, ketika posisinya berada di antara kalimat maka yang digunakan adalah tiga tanda titik (...), sedangkan jika posisinya berada pada akhir kalimat maka yang digunakan adalah empat tanda titik (....) -- tambahan satu titik untuk menandai akhir kalimat.

Kita tinggalkan sejenak Raja Syair Angkatan Pujangga Baru, sekarang mari menelusuri sajak-sajak "binatang jalang" milik pelopor Angkatan '45, Chairil Anwar. Kepatuhan pada kaidah bahasa juga ditunjukkan Chairil Anwar ketika menuliskan kata ulang (reduplikasi) dengan tetap menggunakan tanda hubung (-), seperti pada kata: sia-sia; dikoyak-koyak; abu-abu; burung-burung; tulang-tulang; buah-buahan; kelok-kelok; katil-katil; ahli-ahli; bermuka-muka; bernyala-nyala; hampir-menghampiri; dan kata-kata lainnya. Kebiasaan menggunakan tanda hubung (-) pada kata yang mengandung unsur bunyi aliterasi dan asonansi nampaknya dipakai juga oleh Chairil Anwar (dalam beberapa sajak), seperti: bergenderang-berpalu; dinanti-dimengerti; atau datar-lebar.

Begitu pula ketika menuliskan unsur-unsur nama atau kata ganti untuk Tuhan, nama orang, nama bangsa, suku bangsa, dan nama unsur geografi (baca: kota), Chairil Anwar selalu konsisten dengan menggunakan huruf awal kapital. Contoh: Tuhanku; Kau; Dia; cayaMu; pintuMu; Ahasveros; Eros; Hitler; Masyumi-Muhammadiyah; Chairil; Mirat; Nina; Yati; Yahudi; Jerman; Eropa; Amerika; Capitol; Krawang-Bekasi; dan kata lainnya. Sajak-sajaknya pun selalu identik dengan huruf kapital pada awal larik atau bait, sama seperti Amir Hamzah.

Aturan kaidah bahasa tentang penggunakan tanda penyingkat apostrof (') untuk menunjukkan penghilangan bagian kata sepertinya tetap diikuti juga oleh Chairil Anwar. Hal ini terlihat ketika menyingkat kata akan menjadi 'kan dalam beberapa larik sajak-sajaknya, seperti:
Kumau tak seorang 'kan merayu
(Semangat)

Karena kau tidak 'kan apa-apa
(Tak Sepadan)

Ajal yang menarik kita, 'kan merasa angkasa sepi
(Kepada Kawan)
Kemungkinan licentia poetica seorang Chairil Anwar akan terlihat jelas pada gaya penulisan yang "gemar" merubah susunan atau pola gramatikal kalimat. Karena merupakan hal lazim jika dalam sajak-sajak Chairil Anwar kita temui susunan kata pada tingkat frasa yang lebih banyak menggunakan bentuk "majemuk regresif" dengan pola M-D (Menerangkan-Diterangkan) daripada bentuk "majemuk progresif" dengan pola D-M (Diterangkan-Menerangkan). Contoh:
setumpuk kecil, menjadi: kecil setumpuk
(Penghidupan)

Udara kabut tebal, menjadi: Udara tebal kabut
(Ajakan)
Pada tingkat klausa juga terjadi hal yang sama, yakni dengan membentuk berbagai variasi struktur fungsional dan sama sekali tidak terikat pada pola S-P-O/ket/pel (Subjek-Predikat-Objek/keterangan/pelengkap). Contoh:
Ini barisan tak bergenderang-berpalu
(Diponegoro)
Semestinya: Barisan ini tak bergenderang dan berpalu

Mampus kau dikoyak-koyak sepi
(Sia-Sia)
Semestinya: Kau mampus karena dikoyak-koyak sepi
Kemudian, meski tidak seberapa jumlahnya, Chairil Anwar juga terkadang memotong atau menghilangan prefiks (awalan) "me-" ketika menuliskan kata kerja (verba). Hal ini terlihat dalam sajak "Penghidupan" ketika membaca larik:
mukul dentur selama
nguji pematang kita
Sampai pada tahapan ini, tentu sudah terbayang poin-poin mana yang layak dikategorikan licentia poetica dan mana yang tidak. Setelah menelusuri kemungkinan-kemungkinan tersebut dalam struktur penulisan Amir Hamzah dan Chairil Anwar, sekarang mari kita melangkah maju ke generasi yang lebih muda. Tepatnya ke periodisasi Sastrawan Angkatan 2000-an untuk sedikit mencari peluang licentia poetica dalam struktur penulisan puisi-puisi "sexy" Dimas Arika Mihardja (DAM).

Sama halnya dengan Amir Hamzah dan Chairil Anwar, penggunaan huruf awal kapital pada unsur-unsur nama dan kata ganti untuk Tuhan masih dipakai juga oleh DAM (dalam beberapa puisi). Bahkan di sini menjadi karakter tersendiri karena selalu dipertegas dengan menyisipkan tanda hubung (-), seperti terlihat pada kata: ya Allah; Nur Ilahi Robbi; Pujangga Sejati-Allah; sajadah-Nya; untuk-Mu; sajak-Nya; istana-Nya; ampunan-Nya; dan kata lainnya. Tetapi, penghayatan akan langsung dihadapkan pada atmosfer multi-tafsir ketika dalam puisi lainnya kita justru mendapati penulisan "serupa" namun tidak mengandung huruf kapital. Contoh: degup-nya; kilau-nya; hadapan-nya; kelebat-nya; terompah-mu; pangkuan-mu; wajah-mu; dan kata-kata lainnya. Nah, apakah licentia poetica kira-kira termasuk juga meliputi gaya penulisan ini?

Khusus untuk penulisan unsur-unsur nama orang, nama bangsa atau suku bangsa, dan unsur geografi, meski dalam beberapa puisi masih kita jumpai penulisan dengan huruf awal kapital, akan tetapi DAM lebih "dominan" menggunakan huruf kecil. Contoh: indonesia; jogja; kulonprogo; jambi; nyi roro kidul; malin kundang; maridjan; ahmad; yessika; nelly; dimas; pras; erny; dan yang lainnya. Pertanyaan kembali muncul, apakah gaya penulisan ini juga tergolong licentia poetica?

Melangkah lagi pada penulisan kata ulang (reduplikasi). Di sinilah kita mulai disuguhi salah satu ciri khas kebanyakan puisi DAM, yakni penghilangan tanda hubung (-) dalam kata ulang. Contoh: ayatayat; diamdiam; mimpimimpi; musimmusim; orangorang; semaksemak; bidukbiduk; tersayatsayat; melengkinglengking; dan masih banyak lagi kata lainnya. Tetapi gaya penulisan ini tidak berlaku secara keseluruhan, karena dalam puisi lainnya kita masih mendapati penulisan kata ulang yang tetap menggunakan tanda hubung (-), seperti: makam-makam; rama-rama; sayap-sayap; bale-bale; nada-nada; mimpi-mimpi; pintu-pintu; resah-resahku; mengiris-iris; mengendap-endap; dan kata-kata lainnya.

Kemudian, ketika menuliskan kata-kata yang (kemungkinan) dimaksudkan sebagai bentuk ungkapan tertentu, DAM selalu menggunakan tanda hubung (-) atau tanda pisah (--). Contoh: senyum-canda; rumah-amanah; sandang-papan-pangan; suarasuara-maknamakna-lukaluka; riak-ombak-gelombang; mengejar matahari--membakar sesaji; menebar jala--merenda makna; komandan upacara--ibu pertiwi; sajakku--anggurnya; tragedi--demi--tragedi; dan masih banyak lagi kata atau ungkapan lainnya.

Dalam menuliskan kata "kau" (kata ganti orang kedua tunggal) yang diikuti oleh kata kerja (verba) "tak berimbuhan -- awalan", maka kedua kata tersebut akan selalu dirangkai menjadi satu kesatuan oleh DAM. Tetapi harap dicatat; ada beberapa puisi "tertentu" yang menjadi pengecualian, dan penulisan ini juga tidak berlaku jika kata yang mengikuti kata "kau" adalah kata yang berimbuhan "awalan". Contoh: kautenggak; kauziarahi; kaugubah; kaualiri; kausembunyikan; kausapa; kaukirim; dan kata-kata lainnya. Jangan lupakan pula kemungkinan licentia poetica yang lain dalam puisi-puisi DAM, yaitu mayoritas puisinya (tidak semua), sangat identik dengan "huruf kecil" dari awal hingga akhir. Tidak sama dengan Amir Hamzah dan Chairil Anwar yang selalu memulai larik atau bait syair dan sajak mereka dengan huruf kapital.

Selanjutnya, penghilangan prefiks (awalan) "me-" ketika menuliskan kata kerja (verba) sebagaimana yang dilakukan Chairil Anwar dalam puisi "Penghidupan" nampaknya justru menjadi ciri khas DAM selanjutnya. Ihwal ini akan kita dapati langsung dalam larik-larik beberapa judul puisi, di antaranya:
lalu angin nyeret rahasia-mu
(Menguak Mimpi, 1)

ya, darah melayu netes ke dalam sajak
(Silsilah Tanah Merah)

pesan yang kau kirim padanya mungkin nyangkut
(Kabut di Wajahmu, Kekasih)

ngalir dan mencairkan hujan di mata. ricik-nya
(Ekstase, Malam Hujan)

ngusap airmata
(Jemari Yessika)

aku berlari seperti acep syahril yang nggigil
(Elegi Batanghari)
Penulisan seperti di atas tentu saja sudah di luar dari kaidah bahasa dan menimbulkan tanda tanya besar. Tetapi jawabannya dapat kita temui dalam pernyataan Sudjiman (1993: 19-20); Terhadap cara-cara pengucapan penyair mengelompokkannya ke dalam tiga klasifikasi, yaitu: 1) Penyair mengikuti kaidah bahasa secara tradisional konvensional; 2) Penyair memanfaatkan bahasa secara inovatif tetapi masih di dalam batas-batas konvensi; 3) Penyair menyimpang dari konvensi yang berlaku, yang mana poin ketiga dijabarkan lagi oleh Atamazaki (1993: 72) dengan menulis; Penyimpangan dari konvensi yang berlaku tersebut antara lain dapat berupa penghilangan imbuhan dan penyimpangan struktur sintaksis.

Dari ilustrasi-ilustrasi struktur penulisan ketiga penyair di atas, segala persamaan, perbedaan, kepatuhan hingga penyimpangan kaidah bahasa yang ada, tentu sudah dapat disimpulkan perlahan-lahan. Mana sebenarnya yang termasuk licentia poetica, dan mana yang memang merupakan “kekeliruan” dalam penulisan. Adapun terkait penerapannya dalam karya sastra, entah itu dalam koridor patuh atau menyimpang, semua terpulang pada pertanggungjawaban masing-masing penyair. Karena sudah barang pasti, bahwa seorang penyair menggunakan licentia poetica bukanlah tanpa alasan, maksud dan tujuan.

Jadi? Pilihannya sederhana saja; mari lepas-bebas, mencari, menemukan, mengenali, menentukan, dan memelihara licentia poetica masing-masing, berikut segala bentuk pertanggungjawabannya. Dengan catatan, terlepas dari segala kemungkinan yang bisa terjadi karena dampak penggunaan licentia poetica, barangkali layak direnungkan kembali pernyataan Alisjahbana (1984: 46-47); Penyimpangan dari norma-norma tata bahasa tersebut hendaknya dalam rangka pencapaian nilai-nilai kepuitisan, nilai kepadatan ucapan.

Kalaupun suatu ketika licentia poetica lantas ada yang menudingnya sebagai sesuatu yang melukai bahasa, hal itu pun sangat penting untuk ditelaah lebih jauh. Karena betapa pun pentingnya "ragam puitis" dalam karya sastra, kita semua tentu tidak akan rela jika bahasa yang tadinya merupakan alat pemersatu bangsa, pada akhirnya justru terpecah-belah hanya karena "ketidakmengertian" akan licentia poetica. Ya, perpecahan yang bisa saja mengantar kita untuk kelak teriak serentak; Malu aku jadi orang Indonesia. Bagaimana menurut anda?

Yogyakarta, Oktober 2011
Salam Bahasa, Sastra dan Budaya!

Referensi :
Amir Hamzah, Nyanyi Sunyi (Dian Rakyat, 2004 - Cetakan 14)
Chairil Anwar, Aku Ini Binatang Jalang (GPU, 2010 - Cetakan 22)
Chairil Anwar, Deru Campur Debu (Dian Rakyat, 2008 - Cetakan 7)
Dimas Arika Mihardja, Sajak Emas (Kosa Kata Kita, 2010)
Dijumput dari: http://www.facebook.com/note.php?note_id=278775442147586

Tidak ada komentar:

Label

`Atiqurrahman A Muttaqin A Rodhi Murtadho A. Iwan Kapit A. Purwantara A. Qorib Hidayatullah A. Zakky Zulhazmi A.H.J Khuzaini A.S. Laksana Aang Fatihul Islam Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi WM Abdul Kadir Ibrahim Abdul Lathief Abdul Malik Abdul Wachid B.S. Abdurrahman El Husaini Abidah El Khalieqy Abu Salman Acep Zamzam Noor Achdiat K. Mihardja Adek Alwi Adi Suhara Adnyana Ole Adreas Anggit W. Afrion Afrizal Malna Aguk Irawan MN Agung Dwi Ertato Agus B. Harianto Agus Buchori Agus Himawan Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sulton Agusri Junaidi Agustinus Wahyono Ahda Imran Ahmad Badrus Sholihin Ahmad Fanani Mosah Ahmad Fatoni Ahmad Ikhwan Susilo Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musabbih Ahmad Rofiq Ahmad Sahidah Ahmad Tohari Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sekhu Alex R. Nainggolan Alex Suban Alunk Estohank Ami Herman Amien Kamil Amien Wangsitalaja Aminudin R Wangsitalaja Anastasya Andriarti Andreas Maryoto Anes Prabu Sadjarwo Angela Angga Wijaya Angkie Yudistia Anindita S Thayf Anis Ceha Anjrah Lelono Broto Anton Kurnia Anton Kurniawan Anton Wahyudi Anugrah Gio Pratama Anwar Nuris Aprinus Salam Arie MP Tamba Arif B. Prasetyo Arif Bagus Prasetyo Arif Hidayat Arman A.Z. Arti Bumi Intaran Arys Hilman AS Sumbawi Asarpin Asef Umar Fakhruddin Asep Sambodja Asrama Mahasiswa Aceh SABENA Astrikusuma Asvi Warman Adam Atep Kurnia Awalludin GD Mualif Aziz Abdul Gofar Azizah Hefni Badrut Tamam Gaffas Bagja Hidayat Bagus Takwin Balada Bale Aksara Baltasar Koi Bambang Agung Bambang Kempling Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Bayu Insani Beni Setia Benny Arnas Benny Benke Berita Berita Duka Berita Utama Bernando J. Sujibto Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Blambangan Brunel University London BSW Adjikoesoemo Budaya Budhi Setyawan Budi Darma Budi Saputra Budi Suwarna Bung Tomo Cak Kandar Catatan Cerpen Chairil Anwar Chavchay Syaifullah Cucuk Espe Cunong N. Suraja D. Zawawi Imron Dadang Ari Murtono Daisuke Miyoshi Damanhuri Damhuri Muhammad Damiri Mahmud Danarto Daniel Dhakidae Dante Alighieri Deddy Arsya Dedy Tri Riyadi Denny Mizhar Deny Tri Aryanti Detti Febrina Dharmadi Diah Hadaning Dian Hartati Dian Sukarno Diana A.V. Sasa Dicky Fadiar Djuhud Didi Arsandi Dimas Dina Oktaviani Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Djadjat Sudradjat Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Doddy Hidayatullah Donny Anggoro Dony P. Herwanto Dorothea Rosa Herliany Dr. Muhammad Zafar Iqbal Dr. Simuh Dwi Arjanto Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwicipta Dwijo Maksum Edy A. Effendi Edy Firmansyah Efri Ritonga Egidius Patnistik Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Hendri Saiful Elik Elsya Crownia Emha Ainun Nadjib Endah Sulawesi Endah Wahyuningsih Endang Suryadinata Endhiq Anang P Endri Y Eriyandi Budiman Ernest Hemingway Esai Esha Tegar Putra Eva Dwi Kurniawan Evi Dana Setia Ningrum Evi Idawati Evieta Fadjar F Rahardi Fabiola D. Kurnia Fadelan Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Faisal Kamandobat Faisal Syahreza Faizal Syahreza Fajar Alayubi Fandy Hutari Fany Chotimah Fatah Yasin Noor Fathor Lt Fathurrahman Karyadi Fatih Kudus Jaelani Fatma Dwi Rachmawati Fauzi Absal Festival Sastra Gresik Fikri. MS Fina Sato Fitri Susila Galih Pandu Adi Gde Agung Lontar Geger Riyanto Gerakan Literasi Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Ginanjar Rahadian Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gunoto Saparie Gus Martin Gus tf Sakai Gusti Eka Hadi Napster Haji Misbach Halim HD Halimi Zuhdy Hamberan Syahbana Hamdy Salad Han Gagas Handoko F. Zainsam Hari Santoso Haris del Hakim Hartono Harimurti Hary B. Kori’un Hasan Gauk Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Helwatin Najwa Hepi Andi Bastoni Heri C Santoso Heri KLM Heri Latief Heri Listianto Hermien Y. Kleden Hernadi Tanzil Heru Emka Heru Kurniawan Heru Prasetya Hesti Sartika Hudan Hidayat Humaidiy AS I Made Asdhiana I Made Prabaswara I Nyoman Suaka IBM. Dharma Palguna Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Ida Ahdiah Idayati Ignas Kleden Ihsan Taufik Ilenk Rembulan Ilham Khoiri Ilham Yusardi Imam Cahyono Imam Jahrudin Priyanto Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indah Darmastuti Indiar Manggara Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indrian Koto Irma Safitri Irman Syah Iskandar Noe Istiqomatul Hayati Ita Siregar Iwan Kurniawan Iwan Nurdaya-Djafar Iyut FItra Jadid Al Farisy Jafar M. Sidik Jakob Sumardjo Jamal D Rahman Janual Aidi Javed Paul Syatha Jayaning S.A Jefri al Malay Jihan Fauziah JJ. Kusni Jo Pakagula Johan Edy Raharjo Joko Pinurbo Jokowi Undercover Joni Ariadinata Joss Wibisono Jual Buku Paket Hemat Judyane Koz Juli Sastrawan Junaidi Abdul Munif Jusuf AN Juwairiyah Mawardy Kadir Ruslan Kasnadi Katrin Bandel Kedung Darma Romansha Khairul Mufid Jr Khamami Zada Khrisna Pabichara Kikin Kuswandi Koh Young Hun Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Komunitas Sastra Ilalang Indonesia (KSII) Korrie Layun Rampan Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan) Kristianto Batuadji Kritik Sastra Kunni Masrohanti Kunthi Hastorini Kuntowijoyo Kurie Suditomo Kurnia EF Kurniawan Kuswaidi Syafi'ie Kuswinarto Lan Fang Landung Rusyanto Simatupang Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Liestyo Ambarwati Khohar Linda Sarmili Liston P. Siregar Liza Wahyuninto LN Idayanie Lucia Idayani Lukman Asya Lusiana Indriasari Lynglieastrid Isabellita M Hari Atmoko M. Aan Mansyur M. Arman A.Z M. Bagus Pribadi M. Fadjroel Rachman M. Harya Ramdhoni Julizarsyah M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S M. Luthfi Aziz M. Nahdiansyah Abdi M. Raudah Jambak M. Shoim Anwar M. Yoesoef M.D. Atmaja Maghfur Saan Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Majalah Sastra Horison Maklumat Sastra Profetik Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Serenade Sinurat Mario F. Lawi Marluwi Marsel Robot Martin Aleida Martin Suryajaya Mashuri Matdon Mega Vristian Melani Budianta Melayu Riau Memoar MG. Sungatno Mh Zaelani Tammaka Miftah Fadhli Miftahul Abrori Misbahus Surur Miziansyah J Mochtar Lubis Mohamad Ali Hisyam Mohammad Eri Irawan MT Arifin Mugy Riskiana Halalia Muhajir Arrosyid Muhamad Rifai Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Al-Mubassyir Muhammad Qodari Muhammad Rain Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun A.S Muhidin M. Dahlan Muhlis Al-Firmany Mujtahid Mulyadi SA Munawir Aziz Murniati Tanjung Murnierida Pram Musa Ismail Musfi Efrizal Mustaan Mustafa Ismail N. Mursidi Nafsul Latifah Naskah Teater Nasrullah Nara Nelson Alwi Nenden Lilis A Nh. Anfalah Ni Made Purnama Sari Nina Mussolini-Hansson Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Noura Nova Christina Noval Jubbek Novela Nian Nugroho Notosusanto Nugroho Pandhu Sukmono Nur Faizah Nurdin F. Joes Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nurul Komariyah Nuryana Asmaudi SA Nyoman Tusthi Eddy Nyoman Wirata Oka Rusmini Oktamandjaya Wiguna Oky Sanjaya Olanama Olivia Kristina Sinaga Otto Sukatno CR Pagelaran Musim Tandur Pamusuk Eneste Patricia Pawestri PDS H.B. Jassin PDS. H.B. Jassin Penghargaan Hadiah Sastra Pusat Bahasa Persda Network Pipiet Senja Pramoedya Ananta Toer Pramono Pranita Dewi Pringadi AS Prita Daneswari Prof. Tamim Pardede sebut Bambang Tri Prosa Pudyo Saptono Puisi Puisi Kesunyian Puisi Sufi Puji Santosa PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Wijaya Qaris Tajudin R. Sugiarti Rachmad Djoko Pradopo Radhar Panca Dahana Ragdi F. Daye Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Ramadhan Batubara Ramadhan KH Ratih Kumala Ratna Indraswari Ibrahim Ratna Sarumpaet Raudal Tanjung Banua Remy Sylado Reni Susanti Renny Meita Widjajanti Resensi Restu Kurniawan Retno Sulistyowati RF. Dhonna Rian Sindu Ribut Wijoto Ridwan Munawwar Riki Utomi Riris K. Toha-Sarumpaet Risang Anom Pujayanto Riza Multazam Luthfy Robin Al Kautsar Rodli TL Rofiqi Hasan Rohman Abdullah Rosidi Rosihan Anwar Rukardi S Yoga S. Jai S. Sinansari Ecip S.I. Poeradisastra S.W. Teofani Sabam Siagian Sabrank Suparno Saiful Anam Assyaibani Sainul Hermawan Sajak Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sanggar Rumah Ilalang Sanggar Teater Jerit Sapardi Djoko Damono Sartika Dian Sartika Dian Nuraini Sastra Tanah Air Sastra Using Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sayyid Fahmi Alathas Sazano Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo Seli Desmiarti Selo Soemardjan Senggrutu Singomenggolo Seno Joko Suyono SH Mintardja Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sipri Senda Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Sobih Adnan Sofian Dwi Sofie Dewayani Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sri Ruwanti Sri Wintala Achmad St Sularto Stefanus P. Elu Sukron Abdilah Sulaiman Djaya Suminto A. Sayuti Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sungging Raga Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Suryansyah Suryanto Sastroatmodjo Susanto Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suyadi Suyadi San Syaifuddin Gani Syaiful Amin Syamsiar Hidayah Syarbaini Syifa Amori Syifa Aulia Tajuddin Noor Ganie Taufik Abdullah Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat TE. Priyono Teguh Afandi Teguh Ranusastra Asmara Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Theresia Purbandini Tita Tjindarbumi Titik Alva-Alvi Choiriyah Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tjoet Nyak Dhien Tosa Poetra Tri Lestari Sustiyana Triyanto Triwikromo TS Pinang Tu-ngang Iskandar Tulus S Tulus Wijanarko Udo Z. Karzi Ugoran Prasad Umar Fauzi Ballah Umar Kayam Umbu Landu Paranggi Universitas Indonesia Universitas Jember Utada Kamaru UU Hamidy Vera Ernawati Veronika Ninik W.S. Rendra Wahjudi Djaja Wahyu Hidayat Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Budiartha Widya Karima Wijaya Herlambang Wiji Thukul Willem B Berybe Wilson Nadeak Winarni R. Wiratmo Soekito Wita Lestari Wiwik Widayaningtias Y. Thendra BP Y. Wibowo Yasser Arafat Yeni Ratnaningsih Yohanes Sehandi Yonatan Raharjo Yonathan Rahardjo Yopi Setia Umbara Yos Rizal S Yos Rizal Suriaji Yudhi Herwibowo Yuka Fainka Putra Yurnaldi Yushifull Ilmy Yusri Fajar Yusuf Suharto Zainal Abidin Zainal Arifin Thoha Zawawi Se Zen Hae