Sabtu, 31 Maret 2012

Perempuan Gembel Debleng

Jusuf AN
__Majalah Esquere, Apri 2011

Bagaimana mungkin? Bawuk, perempuan paling cantik di kampung itu, yang telah sekian lama hidup di kota, ternyata memiliki rambut gembel, rambut kusut yang seolah membeku—beratus helai menyatu menjadi gumpalan-gumpalan—berwarna coklat kemerah-merahan, tak sejuk dipandang. Warga di daerah itu percaya rambut gembel tak boleh dipangkas sekehendak hati. Konon, selain rambut serupa akan tumbuh lagi, si empunya juga akan diserang sakit yang tak remeh.

Tetapi rambut gembel Bawuk punya cerita lain.[1] Betapa tidak, tiga kali ruwatan telah dilaksanakan, rambut serupa bulu domba yang tumbuh di ubun-ubunnya—gembel debleng (semua huruf “e”-nya dieja seperti ketika kau melafalkan kata “emosi”), begitu warga menyebutnya—selalu tumbuh kembali. Berkali-kali pula Bawuk memangkas rambutnya sendiri, nyatanya ia tak diserang sakit apa-apa. Betapa anehnya!

“Semoga ruwatan keempat kali nanti bisa memulihkan rambutnya,” demikian Tamrin, bapaknya Bawuk berharap.

“Tetapi semua syarat dan tertib ruwat mesti dipenuhi dan dilaksanakan lebih hati-hati,” lanjut Sukmi.

Ya, tentu. Bukankah seorang pemuda gagah dari kota akan datang melamar Bawuk. Sungguh, Tamrin dan Sukmi tak ingin anak gadisnya terlunta menjadi janda hanya karena suaminya jijik dengan rambut gembel-nya. Siapa lelaki sudi beristri perempuan berambut gembel? Apalagi calon suami Bawuk berasal dari kota, sulit dipercaya ia akan terima.

Maka, demikianlah, tanpa panjang pikir lagi Sukmi dan Tamrin memanggil Bawuk ke ruang tengah untuk dijelaskan rencana ruwatan esok hari. Sebagaimana yang sudah menjadi tradisi turun-temurun di daerah itu, sebelum dilangsungkan ruwatan potong gembel sang anak akan ditanya apa yang menjadi permintaannya. Inilah saat yang sesungguhnya paling mendebarkan bagi orang tua. Sebab, apa pun yang diminta oleh sang anak wajiblah dirututi. Sekali lagi apa pun maunya. Jika tidak dituruti maka ruwatan pun sia-sia belaka, rambut gembel akan tumbuh kembali, begitu warga percaya berdasar banyak bukti yang telah terjadi.

Senja perlahan turun. Angin bangkit. Kabut berpendaran membagikan dingin. Bawuk keluar dari kamarnya, lalu duduk di sofa empuk. Kepalanya menunduk. Ditanya apa yang diminta, ia diam tak menjawab; tak senyum tak bergerak. Baru setelah Tamrin mendesak, dan Sukmi mengelus tengkuknya penuh kasih sayang, Bawuk menjawab pula, meski dengan suara serak terbata: Bawuk meminta mati[2], sebuah permintaaan yang tak pernah diduga Tamrin dan Sukmi!

***

“Kiai Kaladete[3] menyukai anak kita, Pak,” ujar Sukmi, ketika pertama kali melihat rambut Bawuk yang tadinya berombak menjadi seperti bulu biri-biri.

“Semoga gembel Bawuk membawa berkah dari Kiai Kolodete, bukannya petaka,” Tamrin bergumam, atau lebih tepatnya berdoa.

Sebelum masuk Sekolah Dasar, untuk pertama kali gembel Bawuk diruwat. Sehari sebelum ruwatan dilangsungkan, Sukmi menanyakan apa yang menjadi permintaannya. Pelan dan hati-hati Sukmi bertanya. Lantang dan lugu Bawuk menjawab: “Pesawat terbang. Pesawat terbang.” Sembari berjingkrak-jingkrak girang. Ah, mungkin Bawuk terlalu sering mendengar dongeng Ratu Sima yang bisa terbang melayang-layang di uadara.

“Ratu Sima terbang dengan selendang, bukan pesawat,” jelas Sukmi pelan.

“Apa aku juga bisa terbang dengan selendang?”

“Tentu saja.”

“Bisa?”

“Tapi nanti kalau sudah besar.”

“Aku ingin terbang sekarang, tak mau nunggu besar.”

“Itu gampang, Wuk. Nanti Emak akan ajarkan.”

“Mak bisa?”

Sukmi mengangguk. “Tapi untuk ruwatan rambutmu, tak boleh kau minta pesawat?”

Saat itu Bawuk memang tidak tahu apa itu ruwatan. Dari Sukmi, ia hanya diberi tahu bahwa rambut gembelnya hendak dipangkas dan ia disuruh meminta sesuatu selain pesawat. Maka setelah Sukmi berjanji akan mengajarkan ilmu terbang dengan selendang, Bawuk mengganti permintaannya dengan boneka yang sama sekali tak ia suka. Sukmi gembira. Tamrin yang diam-diam menyimak percakapan mereka keluar dari balik pintu dengan dada lega.

Duduk dipangkuan Sukmi, dinaungi payung sebagai simbol perlindungan dari kesialan Bawuk memandangi lampu templok yang menyala di depannya. Sesekali ia tersenyum, membayangkan dirinya akan bisa terbang seperti Ratu Sima. Kecuali Bawuk, sepuluhan orang yang duduk bersila sembari membaca doa dan mantra-mantra itu tentu tahu untuk apa tiga jenis tumpeng yang dijajarkan di lantai itu. Tumpeng berwarna putih merupakan persembahan untuk Bawuk, tumpeng kuning untuk Nabi Muhammad, dan tumpeng robyong, yang dihiasi taburan kelopak bebunga merupakan persembahan untuk Kiai Kolodete. Bersama tumpeng robyong itulah potongan rambut gembel Bawuk yang baru dipangkas oleh sesepuh kampung dilarung ke sungai Serayu, tak jauh dari kampung itu.

Itulah urutan ruwatan dan syarat yang mesti dipenuhi, selain juga harus tersedia segeluntung ayam panggang dan bermacam jajanan pasar, seperti kue lapis, apem, onde-onde, klepon, dan lainnya.

Setelah ruwatan selesai dan tamu-tamu pulang, Bawuk tergesa mengambil selendang Sukmi yang tersampir di kursi, lalu membebatkan di pinggang dan berlarian mengitari halaman. Ketika melihat Sukmi berdiri di ambang pintu Bawuk segera menghampiri, menagih janji. Dengan enteng Sukmi berujar, orang yang bisa terbang hanya ada dalam dongeng. Ah!

“Emak bohong! Bohong! Mhhe…mhhhe.. ”

Sukmi persetan dengan tangisan Bawuk. Sampai beberapa hari kemudian barulah Sukmi merasa sangat bersalah karena rambut gembel tumbuh kembali di kepala anaknya. Ini terjadi pastilah karena permintaan Bawuk yang tidak dituruti, pikirnya. Kiai Kolodete tak bisa dibohongi.

Ruwatan potong gembel yang kedua dilangsungkan ketika Bawuk naik kelas tiga sekolah dasar. Sebenarnya Tamrin tidak setuju. Ia menganggap rambut Bawuk telah membawa keberkahan. Buktinya, semenjak Bawuk berambut gembel, panen ladangnya kian melimpah. Tanaman kentangnya aman dari ancaman cacing gelang yang ditakutkan semua petani. Ya, Tamrin yakin, bahwa doanya ketika awal mula melihat gembel anaknya didengar oleh Tuhan.

Tetapi Sukmi tidak demikian. Ia mendesak Tamrin untuk segera meruwat rambut Bawuk. Sampai-sampai ia menolak bercinta, membiarkan suaminya dicekut dingin saban malam. “Isteri dosa menolak itu,” kata Tamrin. Ah, Sukmi seakan lebih memilih dosa ketimbang melihat rambut anaknya gembel memerihkan mata. Karena tak kuat bermalam-malam dicekut dingin berat hati akhirnya Tamrin menyetujui permintaan Sukmi.

Bawuk meminta dibelikan sepeda sebagai syarat ruwatan, dan dengan enteng Sukmi mengangguk menyetujui. Tapi, wajah Tamrin nampak tak ikhlas ketika mengeluarkan lembaran uang kertas di depan kasir toko sepeda, dan barangkali, sebagaimana yang Sukmi pikirkan, inilah penyebab gagalnya ruwatan Bawuk.

Tidak seperti Sukmi, Tamrin justru gembira meski tak tahu persis kenapa gembel anaknya tak pulih-pulih juga. Sementara Bawuk tak peduli itu semua. Hari Minggu ia kayuh sepedanya menuju Telaga Warna, kadang jauh ke timur dan ke tenggara. Tamrin sering memaki-maki Sukmi ketika senja pulang dari ladang dan tidak mendapati Bawuk ada di rumah. “Kalau Bawuk keracunan di kawah Sinila apa kau sanggup melahirkan anak lagi?” Sukmi lebih memilih diam, ketimbang diceraikan, meski ia sendiri tidak tahu pasti kenapa tak kunjung lahir anak kedua.

Ruwatan yang ketiga dilangsungkan atas permintaan Bawuk sendiri. Ia akan masuk SMP dan bosan memakai kerudung. Mulanya Tamrin tidak setuju. Betapa panen ladangnya kian meruah saja, ia merasa. Seperti warga sekitar, Tamrin juga telah menyulap hutan menjadi lahan pertanian. Maka dalam jangka singkat ia pun bisa membangun rumah dua tingkat, membeli sepeda motor, dan menabung sisanya untuk ziarah ke Mekah.

“Perempuan itu wajib pakai kerudung, Wuk,” begitu Tamrin coba merayu.

“Jika Bapak perempuan, apa mau?”

Karena kemudian Bawuk mengancam akan keluar sekolah dan Sukmi ada dipihak Bawuk akhirnya ruwatan potong gembel digelar. Bawuk tidak meminta sesuatu yang berlebihan, sebab sadar jika ia sendiri yang meminta ruwatan. Ia hanya meminta sepatu baru yang harganya tak lebih dari satu karung kentang, dan Tamrin tentu tak keberatan.

Bersama tumpeng robyong seharusnya potongan rambut gembel Bawuk dilarungkan ke sungai Serayu sebagai simbol permintaan dilepasnya titisan dan kesialan. Tetapi Tamrin, yang mendapat tugas dari sesepuh kampung untuk melarungkan potongan rambut anaknya, diam-diam malah membuangnya di sebuah sumur di tengah hamparan ladang kentang. Dan begitulah, hanya beberapa hari setelah ruwatan, gembel Bawuk nampak bersemi kembali.

***

Sejak kecil memelihara rambut gembel, Bawuk seolah menjadi terbiasa. Setidaknya dua hari sekali ia mengkramasi rambutnya meski itu tidak bisa merubah rambutnya menjadi normal, setidaknya bisa menghindari dari kutu. Dalam kamar terkunci, setiap sebulan sekali, Bawuk juga rajin memangkasi rambutnya sendiri, lalu membungkus potongan-potongannya dalam plastik dan membuangnya dengan hati-hati. Ya, Bawuk rajin melakukan itu, meski setelah potongan rambut gembel dibuang, kepalanya mendadak berat, tubuhnya panas seperti terserang demam. Tapi, Bawuk segera dapat mengatasi rasa sakitnya dengan cara mengalihkan rasa sakit dengan menikmati musik.

Setiap keluar dari rumah, bahkan setiap kali keluar dari kamar, rapat dan rapi kerudung membungkus kepala Bawuk. Hasilnya, selain Tamrin dan Sukmi, tak seorang pun tahu rahasia di balik kerudungnya.

Tidak seperti gadis-gadis lain di kampung ini, setamat SMA Bawuk merengek minta melanjutkan kuliah. Tamrin dan Sukmi tak setuju. Tetapi setelah berhari-hari Bawuk tak mau diajak bicara dan mengurung diri dalam kamar, dua orang tuanya akhirnya mengijinkan.

Semakin lama tinggal di kota penampilan Bawuk bertambah menggoda: pipinya putih semu kemerahan dan lekuk pinggulnya aduhai menawan. Sebulan sekali, biasanya hari Sabtu, Bawuk pulang kampung dan Minggu siang ia pamit berangkat. Pada saat-saat pamitan itulah Sukmi dan Tamrin akan memberondongi Bawuk dengan nasehat. Betapa mereka khawatir melihat perkembangan tubuh anak gadisnya. Dada sintal dan padat, dan aih, setiap kali Bawuk duduk celana dalamnya mengintip keluar, seolah melambai menawarkan kehangatan. Tentu saja Sukmi dan Tamrin tahu jika penampilan Bawuk tak serasi dengan kerudung yang selalu membungkus kepalanya. Tapi mereka berdua hanya bisa diam—setelah berkali-kali menasehati—memendam kecemasan yang sama, jika saja…

Hmm, dada mereka sungguh lega ketika kuliah Bawuk akhirnya selesai juga. Saat memboyong perabot dari kamar kos Bawuk, Tamrin menemukan foto seorang lelaki dalam pigura. Ia bertanya, apa lelaki itu kekasihnya. Bawuk mengangguk. Kenapa tidak pernah diajak ke rumah? Bawuk menjelaskan jika kekasihnya sibuk bekerja, dan tak lupa menambahkan, sekitar sebulan lagi kekasihnya akan datang melamar. Dan kelak, kau tentu masih ingat, Bawuk meminta mati sebagai syarat meruwat rambut gembel yang keempat kalinya![4]

Wonosobo, Maret-Juli 2007

Catatan:

[1] Sebenarnya, aku hanya merangkum cerita yang kudengar dari orang-orang, khususnya Pandi, lelaki tua yang sehari-hari mengurus taman kecil di halaman rumahku yang baru. Aku sendiri bukan asli warga daerah ini. Kebetulan oleh pimpinan perusahaan, aku ditugaskan mendampingi pengeboran gas alam yang melimpah, tak jauh dari rumahku yang baru. Sebenarnya pihak perusahaan sudah menyediakan penginapan khusus untukku. Tetapi manakala kudengar ada sebuah rumah akan dijual murah aku segera membelinya. Aku ajak isteri dan dua anakku yang masih kecil-kecil turut serta. Setelah proyek selesai aku bisa menjual lagi rumah dua tingkat itu—yang sepertinya sudah lama tak terhuni—dengan harga lebih tinggi. Sepertinya aku mesti banyak berterima kasih pada Pandi yang dulu menawarkan rumah ini.

Hampir keseluruhan cerita ini juga bersumber dari Pandi. Segala yang ada dikepalanya ia keluarkan untukku. Entah dari mana lelaki tua yang tak punya rumah itu tahu banyak hal perihal kehidupan Bawuk dan keluarganya. Tetapi bukan berarti aku tak mendapat keterangan dari warga lainnya. Ada, tetapi hanya sedikit—lebih sering hanya berupa anggukan dan gelengan.

[2] Yakinlah, aku tidak sedang bercanda. Semua warga yang kutanya mengakui bahwa dahulu ada seorang perempuan yang meminta mati sebagai syarat ruwatan potong gembel. Tetapi, seperti juga Pandi, warga tak mau menyebutkan nama asli perempuan itu. Di daerah ini, Bawuk—dalam bahasa Jawa berarti vagina—aku tahu, bukanlah nama seseorang, melainkan panggilan orang tua kepada anak gadisnya. Mungkin Pandi dan warga sengaja menyembunyikan nama aslinya padaku sehingga merasa tidak berdosa telah membeberkan cela orang lain. Uh!

Kau tahu, betapa cerita tentang Bawuk kini berkecamuk di kepalaku.

[3] Kiai Kolodete merupakan orang yang pertama berumah singgah di daerah ini. Warga percaya bahwa anak yang memiliki rambut gembel merupakan titisannya. Dahulu kala Kiai Koledete pernah bersumpah tak akan memotong rambutnya dan tak akan mandi sebelum desa yang dibukanya makmur, hingga rambutnya pun menjadi gembel. Dan kelak, ia mengatakan, keturunannya akan berambut gembel seperti dirinya. Begitulah yang dipercaya warga. Demi Tuhan, aku tak menambah-nambah!

[4] Tak kutemukan keterangan yang jelas tentang kenapa Bawuk meminta mati ketika Tamrin dan Sukmi berencana meruwat rambut gembel-nya. Aku hanya mendengar, seminggu sebelum meminta mati Bawuk selalu menyendiri dalam kamar. Ia juga sempat pergi selama tiga hari dan kembali lagi dengan mata bengkak serta wajah merah dan lusuh. Kudengar juga (suara Pandi terdengar berat saat mengisahkan ini) ketika Bawuk meminta mati Sukmi dan Tamrin seketika jatuh pingsan. Entah bagaimana selanjutnya, aku tak mendapat keterangan sama sekali.

Ah, barangkali setelah Tamrin dan Sukmi siuman (sebenarnya aku takut membayangkan ini) mereka kemudian mendapati Bawuk sudah menggantung diri di ambang pintu dengan sepasang mata menyembul dan lidah menjulur. Begitu saja aku menduga (kau juga boleh menduga-duga) Bawuk meminta mati karena patah hati. Ya, mungkin saja kekasih yang pernah berjanji akan melamarnya menghilang tiba-tiba, sementara sudah ada janin tertanam dalam rahimnya. Siapa sangka?

Dulu, sebelum aku beranak istri (ah, akhirnya aku kisahkan juga tentang ini padamu) pernah aku meninggalkan seorang gadis setelah aku diberitahu tentang kehamilannya. Aku tak pernah menyangka, percintaan nakal kami yang begitu singkat dan tergesa di sebuah WC umum di bioskop akan menyebabkannya hamil. Terkutuklah aku yang tak kuat membendung nafsu karena seringkali melihat pusarnya dibelai angin. Aku sendiri heran, kenapa ia—yang tak pernah melepas kerudungnya—juga bersedia kuajak bercinta. Bisa jadi ia sudi melakukannya karena begitu percaya dengan janjiku akan melamarnya bulan depan. Entahlah. Yang jelas, telah bertahun-tahun aku terbebas dari bayang perempuan itu. Sampai aku pindah ke rumah ini—siapa telah menuntunku ke rumah ini—satu-satunya rumah bertingkat dua di kampung ini.

Dijumput dari: http://jusufan.blogspot.com/2011/05/perempuan-gembel-debleng.html

Tidak ada komentar:

Label

`Atiqurrahman A Muttaqin A Rodhi Murtadho A. Iwan Kapit A. Purwantara A. Qorib Hidayatullah A. Zakky Zulhazmi A.H.J Khuzaini A.S. Laksana Aang Fatihul Islam Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi WM Abdul Kadir Ibrahim Abdul Lathief Abdul Malik Abdul Wachid B.S. Abdurrahman El Husaini Abidah El Khalieqy Abu Salman Acep Zamzam Noor Achdiat K. Mihardja Adek Alwi Adi Suhara Adnyana Ole Adreas Anggit W. Afrion Afrizal Malna Aguk Irawan MN Agung Dwi Ertato Agus B. Harianto Agus Buchori Agus Himawan Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sulton Agusri Junaidi Agustinus Wahyono Ahda Imran Ahmad Badrus Sholihin Ahmad Fanani Mosah Ahmad Fatoni Ahmad Ikhwan Susilo Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musabbih Ahmad Rofiq Ahmad Sahidah Ahmad Tohari Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sekhu Alex R. Nainggolan Alex Suban Alunk Estohank Ami Herman Amien Kamil Amien Wangsitalaja Aminudin R Wangsitalaja Anastasya Andriarti Andreas Maryoto Anes Prabu Sadjarwo Angela Angga Wijaya Angkie Yudistia Anindita S Thayf Anis Ceha Anjrah Lelono Broto Anton Kurnia Anton Kurniawan Anton Wahyudi Anugrah Gio Pratama Anwar Nuris Aprinus Salam Arie MP Tamba Arif B. Prasetyo Arif Bagus Prasetyo Arif Hidayat Arman A.Z. Arti Bumi Intaran Arys Hilman AS Sumbawi Asarpin Asef Umar Fakhruddin Asep Sambodja Asrama Mahasiswa Aceh SABENA Astrikusuma Asvi Warman Adam Atep Kurnia Awalludin GD Mualif Aziz Abdul Gofar Azizah Hefni Badrut Tamam Gaffas Bagja Hidayat Bagus Takwin Balada Bale Aksara Baltasar Koi Bambang Agung Bambang Kempling Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Bayu Insani Beni Setia Benny Arnas Benny Benke Berita Berita Duka Berita Utama Bernando J. Sujibto Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Blambangan Brunel University London BSW Adjikoesoemo Budaya Budhi Setyawan Budi Darma Budi Saputra Budi Suwarna Bung Tomo Cak Kandar Catatan Cerpen Chairil Anwar Chavchay Syaifullah Cucuk Espe Cunong N. Suraja D. Zawawi Imron Dadang Ari Murtono Daisuke Miyoshi Damanhuri Damhuri Muhammad Damiri Mahmud Danarto Daniel Dhakidae Dante Alighieri Deddy Arsya Dedy Tri Riyadi Denny Mizhar Deny Tri Aryanti Detti Febrina Dharmadi Diah Hadaning Dian Hartati Dian Sukarno Diana A.V. Sasa Dicky Fadiar Djuhud Didi Arsandi Dimas Dina Oktaviani Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Djadjat Sudradjat Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Doddy Hidayatullah Donny Anggoro Dony P. Herwanto Dorothea Rosa Herliany Dr. Muhammad Zafar Iqbal Dr. Simuh Dwi Arjanto Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwicipta Dwijo Maksum Edy A. Effendi Edy Firmansyah Efri Ritonga Egidius Patnistik Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Hendri Saiful Elik Elsya Crownia Emha Ainun Nadjib Endah Sulawesi Endah Wahyuningsih Endang Suryadinata Endhiq Anang P Endri Y Eriyandi Budiman Ernest Hemingway Esai Esha Tegar Putra Eva Dwi Kurniawan Evi Dana Setia Ningrum Evi Idawati Evieta Fadjar F Rahardi Fabiola D. Kurnia Fadelan Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Faisal Kamandobat Faisal Syahreza Faizal Syahreza Fajar Alayubi Fandy Hutari Fany Chotimah Fatah Yasin Noor Fathor Lt Fathurrahman Karyadi Fatih Kudus Jaelani Fatma Dwi Rachmawati Fauzi Absal Festival Sastra Gresik Fikri. MS Fina Sato Fitri Susila Galih Pandu Adi Gde Agung Lontar Geger Riyanto Gerakan Literasi Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Ginanjar Rahadian Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gunoto Saparie Gus Martin Gus tf Sakai Gusti Eka Hadi Napster Haji Misbach Halim HD Halimi Zuhdy Hamberan Syahbana Hamdy Salad Han Gagas Handoko F. Zainsam Hari Santoso Haris del Hakim Hartono Harimurti Hary B. Kori’un Hasan Gauk Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Helwatin Najwa Hepi Andi Bastoni Heri C Santoso Heri KLM Heri Latief Heri Listianto Hermien Y. Kleden Hernadi Tanzil Heru Emka Heru Kurniawan Heru Prasetya Hesti Sartika Hudan Hidayat Humaidiy AS I Made Asdhiana I Made Prabaswara I Nyoman Suaka IBM. Dharma Palguna Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Ida Ahdiah Idayati Ignas Kleden Ihsan Taufik Ilenk Rembulan Ilham Khoiri Ilham Yusardi Imam Cahyono Imam Jahrudin Priyanto Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indah Darmastuti Indiar Manggara Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indrian Koto Irma Safitri Irman Syah Iskandar Noe Istiqomatul Hayati Ita Siregar Iwan Kurniawan Iwan Nurdaya-Djafar Iyut FItra Jadid Al Farisy Jafar M. Sidik Jakob Sumardjo Jamal D Rahman Janual Aidi Javed Paul Syatha Jayaning S.A Jefri al Malay Jihan Fauziah JJ. Kusni Jo Pakagula Johan Edy Raharjo Joko Pinurbo Jokowi Undercover Joni Ariadinata Joss Wibisono Jual Buku Paket Hemat Judyane Koz Juli Sastrawan Junaidi Abdul Munif Jusuf AN Juwairiyah Mawardy Kadir Ruslan Kasnadi Katrin Bandel Kedung Darma Romansha Khairul Mufid Jr Khamami Zada Khrisna Pabichara Kikin Kuswandi Koh Young Hun Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Komunitas Sastra Ilalang Indonesia (KSII) Korrie Layun Rampan Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan) Kristianto Batuadji Kritik Sastra Kunni Masrohanti Kunthi Hastorini Kuntowijoyo Kurie Suditomo Kurnia EF Kurniawan Kuswaidi Syafi'ie Kuswinarto Lan Fang Landung Rusyanto Simatupang Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Liestyo Ambarwati Khohar Linda Sarmili Liston P. Siregar Liza Wahyuninto LN Idayanie Lucia Idayani Lukman Asya Lusiana Indriasari Lynglieastrid Isabellita M Hari Atmoko M. Aan Mansyur M. Arman A.Z M. Bagus Pribadi M. Fadjroel Rachman M. Harya Ramdhoni Julizarsyah M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S M. Luthfi Aziz M. Nahdiansyah Abdi M. Raudah Jambak M. Shoim Anwar M. Yoesoef M.D. Atmaja Maghfur Saan Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Majalah Sastra Horison Maklumat Sastra Profetik Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Serenade Sinurat Mario F. Lawi Marluwi Marsel Robot Martin Aleida Martin Suryajaya Mashuri Matdon Mega Vristian Melani Budianta Melayu Riau Memoar MG. Sungatno Mh Zaelani Tammaka Miftah Fadhli Miftahul Abrori Misbahus Surur Miziansyah J Mochtar Lubis Mohamad Ali Hisyam Mohammad Eri Irawan MT Arifin Mugy Riskiana Halalia Muhajir Arrosyid Muhamad Rifai Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Al-Mubassyir Muhammad Qodari Muhammad Rain Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun A.S Muhidin M. Dahlan Muhlis Al-Firmany Mujtahid Mulyadi SA Munawir Aziz Murniati Tanjung Murnierida Pram Musa Ismail Musfi Efrizal Mustaan Mustafa Ismail N. Mursidi Nafsul Latifah Naskah Teater Nasrullah Nara Nelson Alwi Nenden Lilis A Nh. Anfalah Ni Made Purnama Sari Nina Mussolini-Hansson Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Noura Nova Christina Noval Jubbek Novela Nian Nugroho Notosusanto Nugroho Pandhu Sukmono Nur Faizah Nurdin F. Joes Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nurul Komariyah Nuryana Asmaudi SA Nyoman Tusthi Eddy Nyoman Wirata Oka Rusmini Oktamandjaya Wiguna Oky Sanjaya Olanama Olivia Kristina Sinaga Otto Sukatno CR Pagelaran Musim Tandur Pamusuk Eneste Patricia Pawestri PDS H.B. Jassin PDS. H.B. Jassin Penghargaan Hadiah Sastra Pusat Bahasa Persda Network Pipiet Senja Pramoedya Ananta Toer Pramono Pranita Dewi Pringadi AS Prita Daneswari Prof. Tamim Pardede sebut Bambang Tri Prosa Pudyo Saptono Puisi Puisi Kesunyian Puisi Sufi Puji Santosa PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Wijaya Qaris Tajudin R. Sugiarti Rachmad Djoko Pradopo Radhar Panca Dahana Ragdi F. Daye Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Ramadhan Batubara Ramadhan KH Ratih Kumala Ratna Indraswari Ibrahim Ratna Sarumpaet Raudal Tanjung Banua Remy Sylado Reni Susanti Renny Meita Widjajanti Resensi Restu Kurniawan Retno Sulistyowati RF. Dhonna Rian Sindu Ribut Wijoto Ridwan Munawwar Riki Utomi Riris K. Toha-Sarumpaet Risang Anom Pujayanto Riza Multazam Luthfy Robin Al Kautsar Rodli TL Rofiqi Hasan Rohman Abdullah Rosidi Rosihan Anwar Rukardi S Yoga S. Jai S. Sinansari Ecip S.I. Poeradisastra S.W. Teofani Sabam Siagian Sabrank Suparno Saiful Anam Assyaibani Sainul Hermawan Sajak Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sanggar Rumah Ilalang Sanggar Teater Jerit Sapardi Djoko Damono Sartika Dian Sartika Dian Nuraini Sastra Tanah Air Sastra Using Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sayyid Fahmi Alathas Sazano Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo Seli Desmiarti Selo Soemardjan Senggrutu Singomenggolo Seno Joko Suyono SH Mintardja Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sipri Senda Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Sobih Adnan Sofian Dwi Sofie Dewayani Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sri Ruwanti Sri Wintala Achmad St Sularto Stefanus P. Elu Sukron Abdilah Sulaiman Djaya Suminto A. Sayuti Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sungging Raga Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Suryansyah Suryanto Sastroatmodjo Susanto Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suyadi Suyadi San Syaifuddin Gani Syaiful Amin Syamsiar Hidayah Syarbaini Syifa Amori Syifa Aulia Tajuddin Noor Ganie Taufik Abdullah Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat TE. Priyono Teguh Afandi Teguh Ranusastra Asmara Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Theresia Purbandini Tita Tjindarbumi Titik Alva-Alvi Choiriyah Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tjoet Nyak Dhien Tosa Poetra Tri Lestari Sustiyana Triyanto Triwikromo TS Pinang Tu-ngang Iskandar Tulus S Tulus Wijanarko Udo Z. Karzi Ugoran Prasad Umar Fauzi Ballah Umar Kayam Umbu Landu Paranggi Universitas Indonesia Universitas Jember Utada Kamaru UU Hamidy Vera Ernawati Veronika Ninik W.S. Rendra Wahjudi Djaja Wahyu Hidayat Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Budiartha Widya Karima Wijaya Herlambang Wiji Thukul Willem B Berybe Wilson Nadeak Winarni R. Wiratmo Soekito Wita Lestari Wiwik Widayaningtias Y. Thendra BP Y. Wibowo Yasser Arafat Yeni Ratnaningsih Yohanes Sehandi Yonatan Raharjo Yonathan Rahardjo Yopi Setia Umbara Yos Rizal S Yos Rizal Suriaji Yudhi Herwibowo Yuka Fainka Putra Yurnaldi Yushifull Ilmy Yusri Fajar Yusuf Suharto Zainal Abidin Zainal Arifin Thoha Zawawi Se Zen Hae