Minggu, 07 Oktober 2012

Pesta Puisi, Spiritualitas dan Mosaik Puitik Kostela

(Sekedar Komentar pada Buku Puisi “Kabar Debu”)
Mashuri

Jika puisi adalah Pesta, itulah pesta yang bertahan melawan musim,
di tempat-tempat yang jarang dikunjungi orang
—sebuah keriangan pesta bawah tanah.

Octavio Paz
1/
Kini puisi bukan hanya sering salah dihargai, sebagaimana yang pernah disinyalir Goenawan Muhamad dalam sebuah esai tahun 1992, tetapi puisi seperti telah kehilangan daya dan yoni. Para penyair seakan telah kehilangan kata-kata karena suaranya telah dijambret media, mulut politisi dan suara-suara lain yang demikian hiperreal, hingar dan begitu mendesak masuk ke ruang kita, sekaligus memaksa kita untuk mendengarnya. Hanya saja, meski kini puisi menjadi sebuah suara yang ‘fakir’, tersingkir, yang semakin mengecil dan terasa sayup di zaman yang begitu riuh, tetapi puisi harus tetap disuarakan, dipestakan, dan ditarikan, karena puisi adalah suara yang lain, suara nurani, juga suara kemurnian yang lahir dari ‘guyuran waktu murni’, meminjam istilah Octavio Paz.

Oleh karena itu, apapun nawaitu-nya terbitnya Kabar Debu layak dirayakan, dipestakan. Begitu diminta turut merayakan buku puisi tersebut, saya langsung teringat pada penyair Ka, dalam novel Snow karya Orhan Pamuk. Ka demikian bergairah menulis puisi kembali setelah beberapa tahun merasa disapih dan ‘tidak dihadiri’ puisi. Begitu ia datang ke sebuah kota ‘asing’ dan jarang dikunjungi orang, apalagi berjumpa dengan seorang kekasih lama yang demikian memikat, puisi pun kembali hadir di hatinya. Ia merayakan kehadiran puisi dalam lawatan itu dalam sebuah pesta, tetapi tentu saja pesta tersebut seperti apa yang diungkap Paz yang saya nukil dalam awal tulisan ini: pesta di tempat yang jarang dikunjungi orang: pesta bawah tanah. Kegembiraan pesta bawah tanah ini harus dirayakan. ‘Pesta bawah tanah’ ini adalah langkah asasi kita dalam menjaga marwah kemanusiaan, agar kita tetap menyadari sisi-sisi manusiawi kita.

Tentu saja, kawan-kawan Kostela berbeda dengan penyair Ka tersebut, hal itu karena Kostela termasuk segelintir komunitas sastra di Tanah Air yang masih dan terus ‘istiqomah’ memestakan puisi. Sebuah ‘pesta’ yang menggali sunyi, menakar ke dalam diri, mengais makna dari kesementaraan dan sepi. Tak heran, memestakan puisi dimaknai sebagai sebuah ikhtiar menari dengan makna. Ihwal menari dengan makna ini, Goenawan dalam sebuah esainya pada 1972, pernah menujum: “Kematian kesusastraan bukanlah karena sensor dan pemberangusan, ialah bila ia membuat kita semua tidak bisa lagi menari dengan makna.” Dengan niat itu, tulisan singkat yang tak lebih sekadar komentar ini juga tak lebih dari ikhtiar ‘menari’ dengan makna, semacam perayaan pembacaan dan pesta penafsiran pada beberapa puisi kawan Kostela.

2/
Dalam Kabar Debu terdapat beragam mosaik puitik yang digelar kawan-kawan Kostela. Banyak puisi yang menarik, ada beberapa puisi yang sudah jadi, ada pula puisi yang menuju jadi, terutama dari kawan-kawan Kostela generasi baru. Meski demikian yang patut dicatat adalah adanya ikhtiar untuk regenerasi, meski puisi-puisi yang baru belumlah segelimang penyair-penyair sebelumnya seperti Herry Lamongan, Pringgo HR, Bambang Kempling, Alang Khoirudin, Syaiful Anam dan Imaduddin SA. Hal itu memang wajar. Walau begitu bukan berarti puisi-puisi dari kawan-kawan baru tersebut tanpa kekuatan dan keistimewaan. Bahkan, di antaranya terdapat puisi-puisi yang menakik tema-tema berat, seperti maut, mitos dan spiritualitas, dengan sebuah sudut pandang baru bila dibandingkan dengan tradisi perpuisian Indonesia. Oleh karena itu, dengan berpangkal pada ‘pleasure the text’, saya ingin mendekati puisi kawan-kawan Kostela dengan titik simpul pada masalah-masalah tersebut, terutama dari nuansa spiritualitas, mitos dan maut, karena hampir semua penyair menyuguhkan masalah tersebut.

Dari kawan Saipul Apet, terdapat sebuah puisi yang mengunggah ihwal maut dengan cara yang berbeda. Judulnya “Dongeng Sebelum Mati”. Judul sajak ini segera mengingatkan kita pada sebuah sajak Goenawan Muhamad, “Dongeng Sebelum Tidur”. Jika puisi Goenawan mengungkap ‘dongeng’ ihwal gundah gulana Prabu Angling Dharma ketika harus menghadapi sang isteri yang telah ‘berselingkuh’ dengan patihnya Batik Madrim, Saipul Apet mengunggah ihwal kematian. Tetapi kematian yang dihadirkan Saipul, bukanlah sebuah kematian yang selama ini selalu menjadi rahasia dan ‘ruang nganga’ para penyair kita, sebagaimana Chairil Anwar (dalam “Aku”) dan Soebagyo Sastorwardoyo (dalam “Dan Kematian Makin Akrab”), sehingga maut menjadi simpul yang bernuansa eksistensial. Maut, bagi kebanyakan penyair adalah sebuah wilayah antara yang begitu rahasia dan sunyi maha sunyi. Banyak penyair yang menganggap bahwa di sana adalah sesuatu yang tak terbayangkan. Di sana, imajinasi seakan-akan terkotak dan selesai. Tak heran, banyak penyair mengunggah ihwal maut ini dalam kerangka eksistenis: antara ada dan tiada. Saipul Apet mencoba memandang maut sebagai sebuah hal yang mengundang tawa dan komedi. Sebagaimana kutipan: “Membayangkan kematian/ Tak bisa kutahan tawa.“ Selain itu, terdapat puisi lainnya. Di antaranya puisi yang bernada sederhana tetapi menggunakan teknik reduplikasi juga menarik, di antaranya dalam “Untukmu”.

Di sisi lain, seorang Saiful yang lain, yaitu Syaiful Anam, mengunggah tentang mitos. Penyair yang satu ini agak ‘unik’ karena puisi-puisinya pada masa lampau lebih puitis dari puisinya sekarang. Jika puisinya pada masa lampau bisa masuk kategori ‘puisi’ untuk ‘puisi’, tetapi pada masa-masa ini, puisinya lebih memberat pada pesan dan verbalitas. Saya kemudian teringat pada apa yang diungkap Octavio Paz, bahwa ‘pada zaman dulu, puisi dan agama, ilmu pengetahuan dan magic, nyanyian dan tarian, ada satu dan merupakan barang yang sama’. Saya berpraduga bahwa ada hasrat yang demikian besar dari Syaiful untuk kembali ke masa lalu. Jika tidak percaya, bandingkan tiga puisi dalam ‘Kabar Debu’. Puisi pertama ‘Kupukupu di Dada’ adalah sebuah puisi yang utuh. Ia telah menjadi dunia tersendiri tanpa harus bersandar pada dunia di luar dirinya. Ia adalah sebuah dunia kupu-kupu yang pernah hinggap di dada, pada sebuah ‘malam yang rapuh’.

Kupukupu di Dada

matahari melipat senja di langit dadaku
kemudian mengendap di dadamu
tapi kita lupa bahwa di dada kita
pernah ada seekor kupukupu
dengan sayap luka
menyisir malam yang rapuh.

Lamongan, 2003

Pada puisi kedua ‘Iblis’ dan ketiga ‘Jadzab’, kita melihat bahwa puisi-puisi itu memerlukan dunia lain sebagai tempat bersandar. Beban pengetahuan atau metafisisnya demikian besar. Namun, bukan berarti puisi ini tak bisa dijadikan sandaran. Ada keinginan besar dalam puisi-puisi itu untuk mengembalikan atau mensenyawakann antara ‘agama dan puisi’ dan medan makna di sebaliknya. Iblis, adalah sebuah simbol yang superbesar dalam karya-karya sufistik. Ia menyimpan jejak dekonstruktif dan kontradiktif tersendiri terkait dengan masalah keimanan. Bahkan, ada yang mengganggap bahwa Iblis ingkar pada Tuhan karena ia tak ingin menyekutukan Tuhan. Ia menolak perintah menyembah pada Adam karena yang berhak disembah hanyalah Tuhan semata. Begitulah tafsir yang berkembang. Pada ‘Jadzab’ yang diunggah juga tentang spiritualisme, sesuai dengan judulnya. Ada jejak-jejak khasanah lama di sana, terutama dalam mantra-mantra pesisir, terutama dalam frase ‘kerudungku Jibril, tongkatku Muhammad”. Tetapi yang jelas puisi ini berbicara tentang tercerabutnya diri karena kekuasaan dan kekuatan cinta pada “Nabi/Tuhan” atau daya tarik sesuatu di luar diri yang demikian besar dan menghilangkan diri.

Sebagaimana puisi Pringgo HR lain, puisi ‘Cerita Malam Itu’ adalah puisi yang mengunggah sebuah kestabilan jiwa. Secara isi, hubungan ‘aku’ dan dunia mampu saling menopang: berdiri sendiri. Dalam puisi itu, penyair mengeksplore unsur simbolik perahu, maut dan malam. Meski puisi ini berpotensi ke arah seorang kekasih ‘berdaging’, tetapi unsur spiritualitasnya bisa saja pada ‘nir-daging’. Perahu, dalam ranah puisi kita pernah menjadi sebuah simbol bermuatan dari ikhtiar atau jalan pencarian manusia dalam mengarungi lautan mencari kebenaran sejati. Hal itu sebagaimana ‘Syair Perahu’ dalam khasanah Melayu Lama, yang pernah digurat penyair sufi Hamzah Fansuri. Perahu itu kini dalam puisi ‘Cerita Malam Itu’ diminimalisasi menjadi ‘perahuperahu kecil’ yang ‘mengusung cita-cita kecil sampai jalanan jenazah’. Berikut ini kutipannya:

Cerita Malam Itu

malam tak pernah bisa membungkusmu dalam gelap
tepian sungai, rindumu yang sesat mengeruh deras air
perahuperahu kecil tak mungkin aku larung di sedemikian malam
akan retak dan rabun

jejakjejak basah tilas nistamu memaksa perahu berangkat
memberi jelas engkau bukan setulus embun mengecup
luka rumputan sehabis siang terik
ketika kerumun orang berteriak perahu lebam dan nanah

tenggelam aku dalam bising
jalan telah lumpur cerita malam nekatmu
membikin sia puluhan tahun aku menganyam serpih papan
perahuperahu kecil mengusung citacita kecil
sampai jalanan jenazah

—lumpuh—

engkau menguburku
dalam kubang gunjing peristiwa
malam itu

Babat, 5 Mei 2011

Nurudin Zanky juga berbicara banyak hal dalam puisinya. Beberapa puisinya pun sudah kelihatan bentuknya dan sangat potensial untuk berkembang. Saya mencoba membaca sajaknya yang memiliki unsur spiritualitas, terutama dalam ‘Suatu Sore di Pantai Tuban’. Puisi ini bisa dikatakan sebagai sebuah puisi suasana. Potret tentang sebuah pantai, yang ‘kering’ dan ‘terakhir’ tampil dengan sketsa, sebagaimana dalam sajak ‘Laut Terakhir’. Dalam sajak ini juga berbicara tentang perahu. Namun simbolisasi perahu bisa saja, berkaitan dengan soal waktu, bukan soal sebuah sarana yang bisa menjadikan seorang anak manusia untuk bermain dengan ‘gelombang’.

Unsur-unsur spiritualitas juga tampak dalam karya Luthfi Sepat. Di antaranya adalah ‘Kamboja Senja’. Puisi ini mencoba memaknai ihwal ‘kamboja’ dan ‘senja’ yang dalam terminologi tafsir kepenyairan kita selalu mengarah pada soal maut dan waktu abadi yang hendak menjemput. Kamboja sebagai lambang maut, sebagaimana mawar sebagai lambang cinta memang menjadi klasik sebagai metafor. Namun, di sini, sebagaimana Saepul Apet, yang tidak takut menghadapi maut, Luthfi pun demikian. Memang, bahwa ‘kuncup kamboja’ itu telah ‘merantak’ sampai ke ‘pesisir jingga’. Tetapi itu adalah sebuah niscaya, jika kita memandangkanya ‘dalam ranum kemboja-Mu’. Tentu akan berbeda jika kita membacanya di luar ‘ranum kamboja-Mu’.

Luqman Almishr juga bicara tentang spiritualitas maut. Meski demikian, beberapa sajaknya yang benih berbicara tentang banyak hal, ihwal kesepian, penantian, juga kerinduan. Dalam “Malam Perkabungan”, kita melihat sebuah kejernihan serupa dalam memandang maut. Tema maut memang digandrungi oleh para penyair kita, sebagaimana yang telah dinyatakan di atas, di antara yang cukup fenomenal, mulai dari Chairil Anwar (dalam ‘Aku’, ‘Nisan’, ‘Kerawang-Bekasi’ dan lainnya), hingga dua almarhum: Kriapur (Solo) dan Beni R Budiman (Bandung). Sajak Kripaur ‘Menjadi Batu di Dasar Kali’ adalah nujum mautnya sendiri. Adapun buku kumpulan puisi Beni R Budiman, ‘Penjaga Makam’ adalah penanda bakat dan pengabdiannya, dan kehadirannya yang demikian sementara di atas bumi. Tetapi dalam sajak ini, penyair dengan jernih mengakrabi maut. Maut bukanlah rahasia, ‘ia telah melangkah dengan doa, tertawa bersama sepi’. Sebagaimana Saipul Apet, Luqman juga menghadapi maut dengan tertawa, bahkan ia menolak tangis juga sesal. Berikut kutipannya:

Tak perlu kau tenggelam
dalam tangis bulan

tak usah kau mengirim sesal
ke palung hatimu

Unsur spiritualitas juga nampak dalam sajak Kacoeng Latief Al Chusnan. Saya melihat terdapat gejala Atavisme dalam sajaknya yang berjudul ‘Awal’. Dalam sajak, yang berusha mengeksplore kata basmalah yang dalam setiap suku katanya bisa dijadikan sebuah baris sajak, mengingatkan saya pada mantra-mantra lama Jawa atau Melayu Kuno. Namun, tentu ada yang rumpang di sana, karena pertalian alphabet capital seakan menyuguhkan sebuah tafsir yang lain. Engkau dan Aku dengan huruf kapital, menandaskan bahwa ada subyek yang sebanding yang sedang berdialog di sana. Sajak-sajaknya yang lain juga ada yang mengunggah ihwal abjad kapital yang segera kita bisa runut sebagai pronominal persona Tuhan.

Sajak Jirin TM juga berbicara tentang spiritualitas. Jika ia menggarapnya dengan kesabaran dan kebeningan metafor, sajak-sajaknya berpotensial sebagai sajak-sajak imajis, seperti haiku Jepang. Dalam ‘Dermaga’, penyair juga menggunakan simbol perahu, yang dalam kumpulan sajak ini, juga digunakan beberapa penyair lain dan cukup utuh bisa kita lihat pada sajak Pringgo HR yang sudah dikomentari. Dalam sajak ini, penyair memotret dermaga. Benda-benda seperti bernyawa, sayangnya ada alur yang rumpang, simbolisasinya pun jumpalitan. Namun, secara umum, dermaga bisa dimaknai sebagai tempat bersandar yang lalu-lalang: tempat perahu berasal dan kembali.

Sementara itu, sajak-sajak Ishaq Fathoni R juga berbincang tentang banyak hal, tetapi saya suka sebuah sajak pendeknya yang bertajuk “Zikir Segelas Air”. Sajak ini berbeda dengan sajak Ishaq lainnya. Sebagaimana air dalam gelas, saya bisa merasakan kebeningan dan kejernihan sajak itu. Pilihan katanya tepat, tanpa perlu ‘riuh’ dan berhasrat bicara yang besar. Ia berbicara tentang waktu subuh, aku yang rindu pada segelas air putih, air putih yang tentu berembun pada malam hari, tetapi yang diembunkan adalah “namamu”. Tanpa berpretensi menjadi religius, sebagaimana judulnya yang ada ‘zikir’, sesungguhnya dalam dirinya, sajak ini sudah menyimpan arus religiusitas.

Zikir Segelas Air

Selepas subuh
Aku selalu rindu
Pada segelas air putih
Yang mengembunkan namamu

Batu, 25 September 2011

Dalam Kabar Debu, banyak sajak Imaduddin SA yang menarik. Sajak-sajak yang ranum. Beberapa di antaranya terdapat ikhtiar untuk memasukkan sajak berbahsa Jawa ke dalam bahasa Indonesia, juga ada upaya membaca mitos-mitos yang ada. Yang agak mengganggu sebenarnya adalah sajak Jawa-nya, yang memiliki pretensi besar untuk berfilsafat. Selain itu, adanya potensi besar terjebak dalam lokalitas Jawa dalam arti harfiah dan tidak spiritnya. Dalam alam sajak modern, kehendak berfilsafat, apalagi dari sebuah bahasa yang berbeda dari bangun sajak secara keseluruhan bisa berbuah menjadi anomali. Hal itu akan berbeda rasanya, jika yang diunggah bukan sekedar nilai-nilai kebijakannya, tetapi masih menggunakan kadar sajaknya. Sebagaimana kita tahu, sajak dalam kesusastraan Jawa berakar panjang, mulai dari kakawin hingga sampai pada masa gagrak anyar, hingga pasca gagrak anyar. Ihwal ‘kekurangpaduan’ itu tampak dalam sajak ‘Di Garis Batas Waktu’ ada dua bait puisi Jawa: sejatining urip mung sadermo/ ora bakal nyono pesti iro, dan wong aji bakal nyawiji/ dadi pertondo kang didoleki.

Hal itu berbeda dengan yang ada pada ‘Suatu Malam Dalam Sebuah Kamar’. Dalam puisi itu, bait-bait Jawa masih kelihatan puisinya, sehingga tetap menarik: kaleming laku njejeke sabdo imanku/ sapecak-pecak nginggilake saf magatruh/ nglingsirno angkuh lebur sajroning pasrah/-lemah-/. Pralambang Jawa dan anasir-anasirnya begitu kental di sana, dan terjaga. Ikhtiar penyair ini untuk memasukkan lokalitas Jawa, anasir-anasirnya dan muatan maknanya patut diapresiasi. Tidak mudah untuk melakukan hal ini karena perlu penyelaman yang lebih jauh terhadap khasanah-khasanah Jawa tersebut. Sementara itu, ihwal pembacaan mitos dan spiritualitas, bisa didapati pada sajak “Kali Maya”. Dalam sajak tersebut penyair berusaha menyelami kembali apa yang pernah terjadi pada perjalanan Kalijaga. Sementara itu, dalam ‘Melebur Luka Lara’. Pralambang Jawa dan anasir-anasirnya begitu kental dengan memadumadankan dengan pertarungan purba manusia, baik pada Habil-Qabil, Pendawa-Kurawa dan lain-lainnya. Di sini tergambar dengan liris, bagaimana manusia hadir di dunia dengan segala kontradiksinya.

Melebur Luka Lara

tentu, aku tengah menumpah darah
pada lembar sajadah
sebab tak mungkin hawa
hanya melahirkan habil tanpa wajah qabilnya

dan malam ini
sesabit bulan telah terlukis pandang
walau hanya seklebat bayang

yekti nyekseni brotoyudo katunggon pandowo
sileme kolo bebungahe manah: bali dadi bocah

kulihat pesta kemenangan telah dirayakan
dari akbar peperangan jalan

kudengar genderang takbir mengalun sedang
nyanyian tahmid sahut berkumandang

melebur luka lara
gaib dan nyata
antara hati dan raga
antara kesucian dan dosa

Lamongan, September 2010

Unsur spiritualitas juga terdapat pada sajak-sajak Mas Herry Lamongan. Hal itu di antaranya bisa kita lihat pada ‘Taman 1’. Dalam puisi itu, kita bisa ‘membilang’ kesementaraan kita dan ‘kekalkan musim yang terus menerus akan tiada’. Segala bakal terjadi, begitu ‘lekas’, ketika kita bertualang ke dalam gerbang: ‘memasuki engkau’ yang berbait ‘99’. Berikut ini kutipan sajak “Taman 1”

Taman 1

memasuki engkau
lekas benar 99 bait lahirmu
mengundang gema
seperti kalender membilang umur
sepanjang tahun

dari rabu ke rabu kita bersulang
kita gemburkan tanah
kita kekalkan musim yang terus menerus
akan tiada

8/10/2011

Penyair yang sangat bergairah yang memiliki nama mirip Mas Herry Lamongan adalah Heri Listianto. Jika ia tekun untuk berproses dan terus mencoba untuk mengeksplore gaya ucap beberapa sajaknya bisa menjadi pengisi celah sajak yang selama ini alpa dalam tradisi perpuisian Tanah Air. Tetapi jika ia ‘berhenti’ pada titik ini maka sajak-sajaknya serupa berita di koran-koran dan majalah atau televisi. Hal itu bisa dilihat pada beberapa sajaknya, dalam Democrazy, kita bisa melihat ikhtiarnya. Yang harus dijawab oleh penyair ini adalah kenapa ia menggunakan alfabet capital untuk negara. Saya berharap dia tidak menjawab bahwa itu adalah sebentuk licentia poetica bagi penyair. Saya tertarik dengan puisinya “Mati Rasa” yang ditujukan untuk binatang jalang, dan juga di dalamnya terdapat negara dengan alphabet capital. Dalam sajak itu, ada ikhtiar untuk mengawinkan antara yang ‘dalam’ dan ‘luar’, antara mitos lama dan mitos baru, dan lainnya, tetapi beberapa pilihan kata belum bisa menghidupkan sajak, tetapi kata yang memilihi beban referensial panjang, seperti binatang jalang, Negara, Sri, Indonesia, Gudang Uang. Jika tidak hati-hati, maka penyair bisa terjebak pada diksi anti-puisi. Berikut ini kutipannya:

Sebagaimana Heri Listianto, sajak Fathur Rohim berbicara banyak hal, tetapi saya tertarik pada ‘Jangan Mengadu Padanya’. Sajak ini adalah sajak yang sederhana, juga aneh. Ada beberapa lompatan metafor, seperti guman seorang kanak, yang tak terduga tetapi jujur. Memang terkesan lugu dan naïf. Dan, di situ sebenarnya letak kelebihannya. Hanya saja, karena di penghujung akhir sajak terdapat –Nya, maka kenaifan yang terbangun sejak awal menjadi mentah. Jika -Nya itu, ditulis -nya saja, kiranya kenaifannya akan menjadi sebuah gaya persajakan yang menarik, apalagi pada baris terakhir muncul ‘aku’ lirik yang sejak awal disembunyikan. Ini kutipannya:

Gunung-gunung merata
Gunung-gunung terlobangi
Ulah kucing-kucing kuning berbuat

Lautan jadi kopi
Karang-karang menjadi lumpur
Ikan-ikan menjadi tuna wisma
Ulah kebo hitam berbuat

Urutan selanjutnya adalah Bambang Kempling. Sebagaimana sajak Herry Lamongan dan Pringgo HR, sajak-sajaknya adalah sajak utuh. Adapun terkait dengan masalah spiritualitas, saya ingin mengutipnya dari sajak ‘Di Sebuah Ruang’. Dalam sajak ini, dalam perulangan ‘kau tersipu’ terdapat dua hal kontras hadir dalam keserentakan. Pada bait pertama, ‘tembang kanak-kanak’ bisa ‘menjelma ajal’. Pada bait kedua, ‘tak setitikpun derai gerimis singgah’ bisa bersatu padan dengan ‘jalan setapak menuju ziarahmu tak lagi berkelok’, dan tentu saja pada bait ketiga, yang ‘wajah’ tak dikenal dan ‘rahasia debu’.

Di Sebuah Ruang

Kau tersipu ketika tembang kanak-kanakmu mengalun kembali di antara kering ilalang lewat lirih suara dan tiba-tiba menjelma ajal.

Kau tersipu ketika tak setitikpun derai gerimis singgah lalu memendarkan kesahajaan dan kesetiaan daun jendela yang senantiasa berkabar bahwa jalan setapak menuju ziarahmu tak lagi berkelok.

Kau pun tersipu ketika tak kau kenali wajah yang kau simpan sendiri dalam benakmu

Betapa sulit menerjemahkan itu, sementara tarian kupu-kupu di pagi hari kepaknya teramat sunyi

:rahasia debu.

19 Oktober 2011

Sajak-sajak Alang Khoirudin, ternyata sebagai menu penghabisan dalam Kabar Debu. Sajak penyair satu ini sebenarnya sudah memiliki gaya ucap yang khas. Saya melihat sajak-sajaknya bisa dikatakan sebagai kekhasan ‘mazhab’ sajak Kostela pasca-Hery Lamongan, Pringgo HR, Sutardi, dan Bambang Kempling. Sajak-sajak Alang memiliki kemiripan dalam hal gaya, obyek, serta muatan-muatannya sebagaimana sajak-sajak Saiful Anam dan kawan-kawan seangkatannya, dan ‘menitis’ pada sajak Imaduddin SA, meski penulis yang terakhir ini mengembangkannya dengan perspektif sendiri yang lebih kompleks. Meski demikian, sajak Alang juga memiliki ciri tersendiri, termasuk sajak matang, menarik, dan berbobot. Dalam sajak ‘Makrifat Purba’, kita disuguhi tentang perjalanan batin diri, yang mengandung perjanjian azali.

Makrifat Purba

Sebelum ada sesuatu
Tuhan telah bercakap dengan begitu salju
‘Aku adalah kabar bagimu’

Lantas aku
serupa pecinta yang gemulai
membikin seyum di dataran pipi
merona
tanda syahadah atasmu

Kemudian
saat rahim membuka kelopaknya
aku menjejaki lembah demi lembah
aku menyusuri sepi demi sepi
berharap saut mesra denganmu

Adakah terlalu lampau
semesta makrifat purba ini
sampai pengetahuan atasmu terjajah

3/
Demikianlah, sekelumit komentar tentang sajak-sajak dalam buku Kabar Debu. Sebagai komentar, tentu tulisan ini tak berpretensi sebagai sebuah analisis yang mendalam dan komprehensif. Komentar ini pun tak lebih hanya sebagai sebuah ikhtiar untuk turut memestakan puisi yang digelar hari ini. Semoga bisa menjadi pengantar perbincangan tentang puisi yang inspiratif, imajinatif, dan bermanfaat. Wallahu waliyyut thariq.

Dijumput dari: http://www.facebook.com/notes/pringgo-hr/makalah-launching-kabar-debu-23-januari-2012/10150499660920079

Tidak ada komentar:

Label

`Atiqurrahman A Muttaqin A Rodhi Murtadho A. Iwan Kapit A. Purwantara A. Qorib Hidayatullah A. Zakky Zulhazmi A.H.J Khuzaini A.S. Laksana Aang Fatihul Islam Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi WM Abdul Kadir Ibrahim Abdul Lathief Abdul Malik Abdul Wachid B.S. Abdurrahman El Husaini Abidah El Khalieqy Abu Salman Acep Zamzam Noor Achdiat K. Mihardja Adek Alwi Adi Suhara Adnyana Ole Adreas Anggit W. Afrion Afrizal Malna Aguk Irawan MN Agung Dwi Ertato Agus B. Harianto Agus Buchori Agus Himawan Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sulton Agusri Junaidi Agustinus Wahyono Ahda Imran Ahmad Badrus Sholihin Ahmad Fanani Mosah Ahmad Fatoni Ahmad Ikhwan Susilo Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musabbih Ahmad Rofiq Ahmad Sahidah Ahmad Tohari Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sekhu Alex R. Nainggolan Alex Suban Alunk Estohank Ami Herman Amien Kamil Amien Wangsitalaja Aminudin R Wangsitalaja Anastasya Andriarti Andreas Maryoto Anes Prabu Sadjarwo Angela Angga Wijaya Angkie Yudistia Anindita S Thayf Anis Ceha Anjrah Lelono Broto Anton Kurnia Anton Kurniawan Anton Wahyudi Anugrah Gio Pratama Anwar Nuris Aprinus Salam Arie MP Tamba Arif B. Prasetyo Arif Bagus Prasetyo Arif Hidayat Arman A.Z. Arti Bumi Intaran Arys Hilman AS Sumbawi Asarpin Asef Umar Fakhruddin Asep Sambodja Asrama Mahasiswa Aceh SABENA Astrikusuma Asvi Warman Adam Atep Kurnia Awalludin GD Mualif Aziz Abdul Gofar Azizah Hefni Badrut Tamam Gaffas Bagja Hidayat Bagus Takwin Balada Bale Aksara Baltasar Koi Bambang Agung Bambang Kempling Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Bayu Insani Beni Setia Benny Arnas Benny Benke Berita Berita Duka Berita Utama Bernando J. Sujibto Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Blambangan Brunel University London BSW Adjikoesoemo Budaya Budhi Setyawan Budi Darma Budi Saputra Budi Suwarna Bung Tomo Cak Kandar Catatan Cerpen Chairil Anwar Chavchay Syaifullah Cucuk Espe Cunong N. Suraja D. Zawawi Imron Dadang Ari Murtono Daisuke Miyoshi Damanhuri Damhuri Muhammad Damiri Mahmud Danarto Daniel Dhakidae Dante Alighieri Deddy Arsya Dedy Tri Riyadi Denny Mizhar Deny Tri Aryanti Detti Febrina Dharmadi Diah Hadaning Dian Hartati Dian Sukarno Diana A.V. Sasa Dicky Fadiar Djuhud Didi Arsandi Dimas Dina Oktaviani Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Djadjat Sudradjat Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Doddy Hidayatullah Donny Anggoro Dony P. Herwanto Dorothea Rosa Herliany Dr. Muhammad Zafar Iqbal Dr. Simuh Dwi Arjanto Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwicipta Dwijo Maksum Edy A. Effendi Edy Firmansyah Efri Ritonga Egidius Patnistik Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Hendri Saiful Elik Elsya Crownia Emha Ainun Nadjib Endah Sulawesi Endah Wahyuningsih Endang Suryadinata Endhiq Anang P Endri Y Eriyandi Budiman Ernest Hemingway Esai Esha Tegar Putra Eva Dwi Kurniawan Evi Dana Setia Ningrum Evi Idawati Evieta Fadjar F Rahardi Fabiola D. Kurnia Fadelan Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Faisal Kamandobat Faisal Syahreza Faizal Syahreza Fajar Alayubi Fandy Hutari Fany Chotimah Fatah Yasin Noor Fathor Lt Fathurrahman Karyadi Fatih Kudus Jaelani Fatma Dwi Rachmawati Fauzi Absal Festival Sastra Gresik Fikri. MS Fina Sato Fitri Susila Galih Pandu Adi Gde Agung Lontar Geger Riyanto Gerakan Literasi Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Ginanjar Rahadian Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gunoto Saparie Gus Martin Gus tf Sakai Gusti Eka Hadi Napster Haji Misbach Halim HD Halimi Zuhdy Hamberan Syahbana Hamdy Salad Han Gagas Handoko F. Zainsam Hari Santoso Haris del Hakim Hartono Harimurti Hary B. Kori’un Hasan Gauk Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Helwatin Najwa Hepi Andi Bastoni Heri C Santoso Heri KLM Heri Latief Heri Listianto Hermien Y. Kleden Hernadi Tanzil Heru Emka Heru Kurniawan Heru Prasetya Hesti Sartika Hudan Hidayat Humaidiy AS I Made Asdhiana I Made Prabaswara I Nyoman Suaka IBM. Dharma Palguna Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Ida Ahdiah Idayati Ignas Kleden Ihsan Taufik Ilenk Rembulan Ilham Khoiri Ilham Yusardi Imam Cahyono Imam Jahrudin Priyanto Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indah Darmastuti Indiar Manggara Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indrian Koto Irma Safitri Irman Syah Iskandar Noe Istiqomatul Hayati Ita Siregar Iwan Kurniawan Iwan Nurdaya-Djafar Iyut FItra Jadid Al Farisy Jafar M. Sidik Jakob Sumardjo Jamal D Rahman Janual Aidi Javed Paul Syatha Jayaning S.A Jefri al Malay Jihan Fauziah JJ. Kusni Jo Pakagula Johan Edy Raharjo Joko Pinurbo Jokowi Undercover Joni Ariadinata Joss Wibisono Jual Buku Paket Hemat Judyane Koz Juli Sastrawan Junaidi Abdul Munif Jusuf AN Juwairiyah Mawardy Kadir Ruslan Kasnadi Katrin Bandel Kedung Darma Romansha Khairul Mufid Jr Khamami Zada Khrisna Pabichara Kikin Kuswandi Koh Young Hun Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Komunitas Sastra Ilalang Indonesia (KSII) Korrie Layun Rampan Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan) Kristianto Batuadji Kritik Sastra Kunni Masrohanti Kunthi Hastorini Kuntowijoyo Kurie Suditomo Kurnia EF Kurniawan Kuswaidi Syafi'ie Kuswinarto Lan Fang Landung Rusyanto Simatupang Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Liestyo Ambarwati Khohar Linda Sarmili Liston P. Siregar Liza Wahyuninto LN Idayanie Lucia Idayani Lukman Asya Lusiana Indriasari Lynglieastrid Isabellita M Hari Atmoko M. Aan Mansyur M. Arman A.Z M. Bagus Pribadi M. Fadjroel Rachman M. Harya Ramdhoni Julizarsyah M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S M. Luthfi Aziz M. Nahdiansyah Abdi M. Raudah Jambak M. Shoim Anwar M. Yoesoef M.D. Atmaja Maghfur Saan Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Majalah Sastra Horison Maklumat Sastra Profetik Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Serenade Sinurat Mario F. Lawi Marluwi Marsel Robot Martin Aleida Martin Suryajaya Mashuri Matdon Mega Vristian Melani Budianta Melayu Riau Memoar MG. Sungatno Mh Zaelani Tammaka Miftah Fadhli Miftahul Abrori Misbahus Surur Miziansyah J Mochtar Lubis Mohamad Ali Hisyam Mohammad Eri Irawan MT Arifin Mugy Riskiana Halalia Muhajir Arrosyid Muhamad Rifai Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Al-Mubassyir Muhammad Qodari Muhammad Rain Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun A.S Muhidin M. Dahlan Muhlis Al-Firmany Mujtahid Mulyadi SA Munawir Aziz Murniati Tanjung Murnierida Pram Musa Ismail Musfi Efrizal Mustaan Mustafa Ismail N. Mursidi Nafsul Latifah Naskah Teater Nasrullah Nara Nelson Alwi Nenden Lilis A Nh. Anfalah Ni Made Purnama Sari Nina Mussolini-Hansson Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Noura Nova Christina Noval Jubbek Novela Nian Nugroho Notosusanto Nugroho Pandhu Sukmono Nur Faizah Nurdin F. Joes Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nurul Komariyah Nuryana Asmaudi SA Nyoman Tusthi Eddy Nyoman Wirata Oka Rusmini Oktamandjaya Wiguna Oky Sanjaya Olanama Olivia Kristina Sinaga Otto Sukatno CR Pagelaran Musim Tandur Pamusuk Eneste Patricia Pawestri PDS H.B. Jassin PDS. H.B. Jassin Penghargaan Hadiah Sastra Pusat Bahasa Persda Network Pipiet Senja Pramoedya Ananta Toer Pramono Pranita Dewi Pringadi AS Prita Daneswari Prof. Tamim Pardede sebut Bambang Tri Prosa Pudyo Saptono Puisi Puisi Kesunyian Puisi Sufi Puji Santosa PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Wijaya Qaris Tajudin R. Sugiarti Rachmad Djoko Pradopo Radhar Panca Dahana Ragdi F. Daye Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Ramadhan Batubara Ramadhan KH Ratih Kumala Ratna Indraswari Ibrahim Ratna Sarumpaet Raudal Tanjung Banua Remy Sylado Reni Susanti Renny Meita Widjajanti Resensi Restu Kurniawan Retno Sulistyowati RF. Dhonna Rian Sindu Ribut Wijoto Ridwan Munawwar Riki Utomi Riris K. Toha-Sarumpaet Risang Anom Pujayanto Riza Multazam Luthfy Robin Al Kautsar Rodli TL Rofiqi Hasan Rohman Abdullah Rosidi Rosihan Anwar Rukardi S Yoga S. Jai S. Sinansari Ecip S.I. Poeradisastra S.W. Teofani Sabam Siagian Sabrank Suparno Saiful Anam Assyaibani Sainul Hermawan Sajak Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sanggar Rumah Ilalang Sanggar Teater Jerit Sapardi Djoko Damono Sartika Dian Sartika Dian Nuraini Sastra Tanah Air Sastra Using Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sayyid Fahmi Alathas Sazano Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo Seli Desmiarti Selo Soemardjan Senggrutu Singomenggolo Seno Joko Suyono SH Mintardja Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sipri Senda Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Sobih Adnan Sofian Dwi Sofie Dewayani Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sri Ruwanti Sri Wintala Achmad St Sularto Stefanus P. Elu Sukron Abdilah Sulaiman Djaya Suminto A. Sayuti Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sungging Raga Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Suryansyah Suryanto Sastroatmodjo Susanto Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suyadi Suyadi San Syaifuddin Gani Syaiful Amin Syamsiar Hidayah Syarbaini Syifa Amori Syifa Aulia Tajuddin Noor Ganie Taufik Abdullah Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat TE. Priyono Teguh Afandi Teguh Ranusastra Asmara Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Theresia Purbandini Tita Tjindarbumi Titik Alva-Alvi Choiriyah Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tjoet Nyak Dhien Tosa Poetra Tri Lestari Sustiyana Triyanto Triwikromo TS Pinang Tu-ngang Iskandar Tulus S Tulus Wijanarko Udo Z. Karzi Ugoran Prasad Umar Fauzi Ballah Umar Kayam Umbu Landu Paranggi Universitas Indonesia Universitas Jember Utada Kamaru UU Hamidy Vera Ernawati Veronika Ninik W.S. Rendra Wahjudi Djaja Wahyu Hidayat Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Budiartha Widya Karima Wijaya Herlambang Wiji Thukul Willem B Berybe Wilson Nadeak Winarni R. Wiratmo Soekito Wita Lestari Wiwik Widayaningtias Y. Thendra BP Y. Wibowo Yasser Arafat Yeni Ratnaningsih Yohanes Sehandi Yonatan Raharjo Yonathan Rahardjo Yopi Setia Umbara Yos Rizal S Yos Rizal Suriaji Yudhi Herwibowo Yuka Fainka Putra Yurnaldi Yushifull Ilmy Yusri Fajar Yusuf Suharto Zainal Abidin Zainal Arifin Thoha Zawawi Se Zen Hae