Alunk
Estohank *
Riau Pos, 12 12 2016
Ada kerisauan ketika harus memikirkan nasib sastra
Indonesia, sastra yang semakin hari semakin tidak jelas juntrungnya. Ada apa
sebenarnya dengan sastra Indonesia dewasa ini, bukankah seringkali kita temui
buku-buku sastra terbit tiap tahunnya, dan bahkan ada yang satu tahun dapat
menerbitkan dua buku sastra bahkan ada yang lebih. Kenapa mesti dirisaukan,
bukankah itu semua menjadi nilai plus dari sastra itu sendiri.
Jika merujuk pada perkembangan terbitnya buku sastra
indonesia, seperti: antologi puisi, antologi cerpen, dan novel, memang sastra
indonesia tidak perlu di khawatirkan. Karena belakangan telah banyak
penerbit-penerbit yang siap menerbitkan karya sastra dengan mudah, hanya
bermodalkan uang sedikit saja buku sastra akan terbit dan yang lebih parah lagi
adalah penerbit-penerbit itu berlomba-lomba meminta karya sastra kepada penulis
sastra agar karyanya di terbitkan, entah itu kepentingan penerbit untuk merawat
sastra indonesia atau malah hanya ingin eksis atau bahkan hanya ingin profit?
Semua itu tidak ada yang tahu kecuali Tuhan dan redakturnya (C.O
penerbitnya).
Kemudian, tiba-tiba saya teringat pada perkataan, Mario
Vergas Llora, peraih nobel sastra tahun 2010 yang lalu, bahwa saat ini sastra
diperlukan hanya sebagai produk konsumsi, hiburan remeh temeh, dan sumber
informasi yang cepat basi. Saya kira ungkapan Mario Vergas Llora ini bukan
hanya omongkosong belaka terhadap dinamika kesusastraan. Namun semua itu
merupakan tamparan kritis atas fenomena kesusastraan sekarang yang dilanda
kerisauan, kerisauan dan kegelisahan tersebut dapat kita lihat dari bergesernya
kesusastraan dunia dan khususnya sastra indonesia pada kemelut pasar.
Jika berbicara pasar maka yang tampak adalah berbagai
kepentingan dan profit. Kalau demikian maka sastra indonesia berada dalam
kemelut dan kepentingan-kepantingan tangan pemodal. Tidak salah kemudian jika
sastra dibilang sebagai sebuah ruang yang eksklusif, yang di dalamnya hanya
orang-orang sastra saja yang dapat menikmatinya, sedangkan khalayak ramai tidak
termasuk dalam bagiannya. Kalau begitu maka tidak salah kiranya masyarakat
beranggapan kalau dunia sastra tidak ada gunanya, tidak penting, dan tidak ada
manfaatnya.
Pertanyaannya kemudian adalah “kenapa karya sastra yang
terbit dewasa ini begitu eksklusif? adakah satu dua buku sastra yang terbit
belakangan ini yang tidak eksklusif? Jika ada, kenapa karya sastra sekarang
tidak begitu menggugah pembaca atau apakah pembaca yang tidak paham terhadap
karya sastra, hingga karya sastra khusus bagi orang yang menulis sastra. Jika
demikian maka apa yang ditulis para sastrawan hanya berkutat pada remeh-temeh
kehidupan pribadinya? Bukankah Rendra juga disebut sastrawan tapi kenapa
puisi-puisinya begitu dekat dengan masyarakat bawah, petani, dan orang-orang
tertindas.
Tampaknya kita mesti berpikir ulang tentang kesusastraan
dewasa ini, jangan sampai kesusastraan saat ini beralih pada hiburan dan profit
belaka. Sebab merujuk pada perkataan baudrillard bahwa konsumsi telah menjadi
dasar utama tatanan sosial. Peran utama manusia yang semestinya untuk
masyarakat luas, hanya akan berada dalam kotak-kotak dunia yang menyihir
manusia untuk menjadi konsumen. Sedangkan tanggung jawab moral terhadap semua
masyarakat hilang. Dan sepenuhnya tanpa dinyana kita terbawa arus hidonisme,
hura-hura, dan karaya sastra di dalamnya hanya sebagai lahan (kemegahan pasar)
belaka.
Dalam hal ini saya tidak ingin menyalahkan penerbit-penerbit
yang bermunculan belakangan, semua itu sah-sah saja dan terserah mau
menerbitkan 100 karya sastra dalam setahun pun tidak masalah jika memang yang
penerbit inginkan adalah profit. Cuma masalahnya adalah bagaimana karya sastra
itu bisa kembali normal seperti dahulu, yang mana sering kita dengar bahwa
karya sastra dulu sangat mulya bahkan hampir setara dengan kitab suci. Bukan
hanya itu, John F. Kennedypernah mengatakan “jika politik bengkok,
puisi akan meluruskannya”.Sebegitu pentingnya sebuah karya sastra hingga jika
politik bengkok sastra dapat meluruskannya, tapi apakah pada kali ini
karya sastra telah meluruskan politik itu sendiri atau jangan-jangan tidak sama
sekali.
Sebagai pembaca dan penikmat karya sastra, saya hanya
berharap karya sastra tidak hanya menceritakan tentang kehidupan pribadinya, di
kamar tidur, di kafe, di pantai dan di samping istri/pacarnya. Berceritalah
sedikit tentang ilmu pengetahuan, bencana alam, penggusuran, korban banjir,
longsor, pembacokan, korupsi, demo, jam kesmas yang tidak berguna, janji-janji
pejabat yang sengaja di lupakan atau nasib orang-orang yang kelaparan di
pinggir jalan, atau nasib TKI kita yang bertambah banyak tiap tahun di berbagai
negara tetangga, dan lain sebagainya.
Kalau buku-buku sastra yang terbit membicarakan
permasalahan sosial seperti yang saya harapkan di atas, maka saya pikir karya
sastra tidak akan menjadi eksklusif lagi, dia (karya sastra) akan menjadi
bagian dari kehidupan sosial dan akan menjadi tonggak atau suara masyarakat
tertindas. Maka seberapa pun karya sastra yang terbit tiap tahunnya akan lebih
bernilai ketimbang yang hanya bercerita tentang rumah tangga dan kehidupan
dapurnya. Setidaknya tidak terlalu kentara kalau penerbit ada hanya untuk
sebuah kepentingan atau lebih tepatnya profit.
Dengan begitu, ada yang bisa kita banggakan dan tidak
malu terhadap perkataan Franz Kafka, bahwa sebuah buku harus seperti kapak
untuk membelah lautan beku dalam diri kita. Jangan hanya menjadi
bunga-bunga yang cepat layu lalu membusuk.
*) Alunk Estohank (Alunk S Tohank atau Nurul Anam), Esais
tinggal di Yogyakarta. Sekarang aktif di Lesehan Sastra Kutub Yogyakarta
(LSKY).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar