Ahmad Fanani Mosah *
MENGGARAP seni di kota wingko
seolah mempunyai kesulitan tersendiri. Setidak-tidaknya itulah yang disambatkan oleh para aktifis seni yang tergabung
dalam kemandirian-kiprahnya orang-orang yang berpotongan nyentrik, semacam
Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan), DKL (Dewan Kesenian Lamongan)
maupun Teater Roda (milik Unisda Lamongan) dan Bengkel Teater Cicak
(Moropelang).
Betapa tidak ! Masyarakat Babat
yang berangkat dari kehiteroginanitu dan dibarengi dengan strata social
menengah keatas, agaknya pas dan pantas-pantas saja bila menomor belakangkan
formulasi seni. Betapa sulitnya bertamu ke rumah-rumah orang-orang the have. Pintu rumah selalu selalu tertutup,
pintu pagar mesti digembok. Siang hari umek dengan
bisnisnya masing-masing. Malam hari sibuk dengan peraduannya. Bila ada tamu
yang bertandang ke rumahnya, dengan sigap batur-batur itupun lantas bertutur :
“Maaf, tuan rumah baru tidur”
Namun fenomena di atas,
bukanlah suatu kendala untuk mengendalikan nafas kesenian di kota yang terletak
dipersimpangan jalur Surabaya, Tuban, Bojonegoro dan Jombang itu. Hal ini
diawali dengan tour show-nya Komunitas Teater Suket Indonesia
(Jawapos Radar Bojonegoro Edisi, Minggu 1 Juni 2003) yang pada akhirnya menggurita
di kalangan pemuda dan pelajar kota Babat.
Tak ayal pula, semenjak adanya
‘pancingan’ dari KSI itu nuansa nyentrik mudah saja menggurita di kota Babat.
Baru seumur jagung, para kawula muda yang dipandegani oleh Nur Rochim berhasil
mendirikan perkumpulan seni yang berjuluk KSP-2 B (Komunitas Seni Pemuda dan
Pelajar Babat).
***
Proyek seni – proyek seni adalah proyek merugi – yang
menggandeng para pemuda dan pelajar (se-jenjang SMA) se-kecamatan Babat itu
salah satu agendanya adalah menggebyahkanorganisasinya.
Pentas perdana yang diselenggarakan di pendopo Kantor Cabang Dinas P &
K Babat itu menampilkan tari jaranan. Gerak dinamis yang diperagakan oleh tiga
remaja dengan diiringi gamelan hidup itu membikin decak kagum dan aplaus
sekitar 300 pengunjung dari Gersik, Lamongan, Bojonegoro dan Tuban.
Kepala Kantor Cabang Dinas P&K Babat melalui Penilik
Kebudayaannya, Sumardi sebagai pembina sekaligus sebagai bapak angkat
organisasi kesenian malam itu, 10 Januari 2004 dalam sambutan arahannya
mengatakan, bahwa acara yang bertajuk Candra Kirana ini adalah sekian kali dari
praktek pelajaran di sekolah. “Jika para pelajar diberi ilmu/teori kesenian
oleh Bapak-Ibu guru, maka malam ini melalui KSP-2 B, Anda akan merasakan
praktek secara langsung di lapangan” kata Sumardi dedengkotnya gamelan Babat
itu memberi motifasi.
Sebagai birokrat di kantornya, penilik yang sangat komit
dan peduli terhadap kesenian ini menuturkan, bahwa pemerintah akan berusaha
untuk memfasilitasi dan menjembatani dalam rekruitmen anggota melalui
lembaga-lembaga sekolah. “Kami akan menyebarluaskan agenda semacam bedah sastra
ini kepada seluruh siswa yang ada di wilayah Babat” janjinya. “Anda bisa
menambah wawasan secara langsung, bagaimana bentuk tari, musik, puisi,
teater, penyutradaraan dll” kata Pak Mardi yang juga pengurus group campusari
Guyub Rukun itu.
Memang sementara ini bisa dibaca, bahwa
dedengkot-dedengkot yang berkutat di jalur seni, adalah bukan dari guru
kesenian. Dan mereka justru tidak berasal dari latar pendidikan seni maupun
sastra. Mungkin mereka itu (guru seni yang tidak berkesenian) punya hitungan
lain : menejemen nirlaba. Padahal kita tahu bahwa manakala
seseorang itu sudah bernawaitu untuk
menghidupkan perkumpulan seni ( yang diikuti dengan jiwa yang
tulus ikhlas), maka tidak lagi banyak berharap organisasi itu bisa menghidupinya.
Makannya di bagian lain dari
dialog seni dan sastra yang dikerjasamai oleh KSP2-B, Kostela, dan Teater Roda
dalam Candra Kirana itu menghadirkan penyair-penyair papan atas semacam Bung
Hery Lamongan, Ifoel Mundzuk Agus D.Esa dll. Sedangkan para analis yang
dipajang pada acara yang bertepatan dengan bulan purnama itu antara lain :
Gampang Prawoto, Amink, A.Yazid dan Alang Khoiruddin.
Nur Rozuqi yang membidangi
teater dari DKL ketika di daulat untuk memberikan sepatah dua kata dalam bedah
seni yang digelar secara lesehan itu, bernostalgia lewat wacananya, bahwa pada
jaman kerajaan Sriwijaya dan Majapahit kala itu adalah gudangnya seni. Mulai
rakyat jelata hingga pangeran/sang raja, semuanya berperan di bidang kesenian.
*) Pekerja Teater, Guru SMP Negeri 3 Babat
Tidak ada komentar:
Posting Komentar