Minggu, 18 Juli 2021

Di Surabaya, Bertetangga Dengan Maut

Muhammad Yasir
 
Kota Surabaya begitu indah dan mempesona ketika pagi hari! Dari celah-celah dinding pembatas antara rel kereta dan kanal yang kukuh, sinar matahari keperakan membuat celah-celah itu bersinar. Dan tampaklah rumah-rumah modern dan bangunan kumuh hidup saling mendakwa: modern membawa kerusakan, kumuh terlalu mengganggu pemandangan! William, seorang pengacara muda yang gagah dan klimis, yang baru saja diambil sumpah-jabatannya mengatakan bahwa tidak ada keputusan akhir yang menguatkan dari hakim tentang dakwaan itu. Keduanya sama-sama membayar pajak kepada administrator pajak setempat dengan nilai yang sama. Jadi, pesan hakim, hiduplah dengan rukun, damai, dan saling bergotong-royong. Begitulah, hari-hari pun berjalan dengan khidmat dan bisu.
 
Di Kota Surabaya bagian Barat, hiduplah keluarga sederhana di sebuah rumah yang sederhana pula. Lima kaki dari rumah itu, sebuah rumah sakit yang selalu sibuk tiga tahun ini. Setiap hari, termasuk hari Minggu, orang-orang berbondong-bondong datang ke sana, kemudian sehari berikutnya orang-orang yang lain berbondong-bondong pula menjunjung peti mati. Dan begitu seterusnya, sehingga beberapa petugas rumah sakit menyerah dan mengundurkan diri karena keilmuan mereka tidak terpakai sama sekali, selain untuk mengantar jenazah ke pemakaman dan mendoakan mereka yang mati agar diterima di sisi Tuhan.
 
Tomo Wiroto adalah kepala keluarga di keluarga sederhana itu. Rupa dan perawakannya sungguh tidak menarik untuk dijelaskan. Setahun yang lalu, kepala rumah sakit itu menyuruhnya untuk bekerja sebagai penjaga malam, sebab penjaga malam sebelumnya sebulan yang lalu bunuh diri, karena nyaris setiap hari para petugas bank datang menagih hutang ke rumahnya. Istrinya menemukan mayatnya tergantung pada seutas tali yang terikat di tiang plafon rumahnya. Tomo Wiroto yang telah kehilangan pekerjaannya sebagai salah seorang pegawai Pos, tidak banyak berpikir, dia menerima pekerjaan itu dan menjalankannya dengan sungguh-sungguh.
 
Pada suatu waktu, terjadi perdebatan antara Tomo Wiroto dan istrinya. Perdebatan itu berawal ketika Tomo Wiroto tidak mengindahkan keinginan istrinya. Istrinya yang juga sukar dijelaskan rupa dan perawakannya itu, menginginkan agar anak lelaki mereka yang terserang demam dan batuk dibawa ke rumah sakit. Akan tetapi, Tomo Wiroto menolak dengan alasan bahwa rumah sakit sedang ngeri-ngerinya. Dan bahwa dia telah menyaksikan mayat-mayat seperti gerbong kereta yang berbaris memanjang, tidak sabar menunggu lokomotif membawa mereka ke tujuan.
 
“Aku sama sekali tidak mengerti, sungguh, apa yang sesungguhnya membuatmu ketakutan seperti sekarang ini. Anak kita tidak akan selamat hanya dengan mengkonsumsi obat-obatan warung. Aku khawatir kalau-kalau dia… oh! Ikutilah perasaanku. Aku merasakan sesuatu yang buruk akan menimpa kita!”
 
“Kuberitahu engkau sesuatu. Semalam, ketika aku berjaga, aku menyaksikan para petugas rumah sakit tergelepar di halaman rumah sakit. Mereka kecapaian. Engkau harus tahu, puluhan orang dalam sehari yang harus mereka makamkan! Setelah itu mereka harus membuat laporan bahwa total angka kematian kian meningkat. Aku tidak ingin anak kita akan mempersulit mereka. Biarkan dia di rumah ini. Dan, yakinlah, Tuhan bersama kita.”
 
“Tuhan selalu bersama manusia! Takdir yang dia berikan, memang tidak bisa kita gugat. Tetapi, setidaknya, kita telah membuat perjalanan yang baik untuk anak kita. Bukan pasrah seperti ini! Para petugas rumah sakit itu telah bersumpah setia pada pekerjaan dan jabatan mereka. Mereka melakukan itu sebagai suatu kemuliaan. Perkara lelah, semua orang di dunia ini, kupikir sudah lelah. Untuk apa berlarut lebih jauh?!”
 
“Aku khawatir, justru kita yang membawa anak kita kepada… janganlah terlalu keras kepala!”
 
“Maksudmu biarkan saja?!”
 
“Ya! Biarkan ini menjadi rahasia kita.”
 
“Tidak berperasaan!”
 
“Seperti negara, barangkali.”
 
Perdebatan Tomo Wiroto dan istrinya ini menunjukan bahwa hari-hari yang berjalan dengan khidmat dan bisu di Kota Surabaya tidak terdapat kemerdekaan di dalamnya. Sebagai kepala keluarga, Tomo Wiroto adalah hakim agung dalam keluarga itu. Sementara istrinya adalah terdakwa yang berusaha mewujudkan keadilan untuk anak lelakinya, tetapi kalah. Dia kalah karena bukan bagian dari pengadilan. Dia adalah seorang terdakwa! Lambat laun akan menjadi tersangka! Dan dia akan kalah! Dan Wiratman, seorang pensiunan tentara yang sejak lama bertetangga dengan Tomo Wiroto memilih menjadi saksi bisu perdebatan itu! Baginya, itu pertunjukan yang menarik untuk didengarkan, hitung-hitung menghibur jiwanya pada usia senja.
 
Hari Minggu keempat pada bulan Juni. Telah terjadi kemeriahan di bangsal rumah sakit tempat Tomo Wiroto bekerja. Kemeriahan itu semacam pesta kembang api yang meletup-letup dan indah di langit malam hari. Orang yang memulai kemerihan itu adalah Ivan Digula, seorang lelaki tua dari Boven Digoel, mantan pegawai administrator pajak di Kota Surabaya, yang tidak tahan lagi melihat dirinya terkulai di bangsal rumah sakit tanpa seorang keluarga pun menemaninya. Sudah delapan hari Ivan Digula berada di sana. Selama delapan hari itu pula dia kehilangan kemerdekaannya sebagai manusia. Hidungnya diberi alat bantu pernapasan. Dan dia hanya bisa memandangi siang dan malam silih berganti; harap-harap anak-anaknya datang membawa karangan anyelir atau mawar sebagai tanda kasih sayang. Tetapi tidak. Tidak seorang pun datang karena takut dan cemas!
 
Ivan Digula bangkit dari kasur dan melepas alat bantu pernapasan di hidungnya setelah seorang perawat keluar dari bangsal itu. Di bangsal itu ada sepuluh orang sebaya dengannya. Para lelaki tua! Ivan Digula kemudian berjalan ke jendela rumah sakit dan melihat ke luar. Matanya yang renta, payah melompat dari satu objek ke objek lainnya. Lihatlah roman wajahnya! Betapa rindu dia dengan kehidupan sebelumnya.
 
“Kita di sini,” kata Ivan Digula agak nyaring dan sinis, “seperti sekumpulan tahanan yang akan menunggu waktu hukuman mati kita digelar tanpa pengadilan. Hanya karena usia senja yang membuat kita rentan terserang penyakit, seorang dokter di sebuah apotek berani-beraninya menghakimi kita dan kemudian mengeluarkan surat rujukan agar kita segera di rawat di rumah sakit sialan ini! Tidakkah engkau sekalian di sini merasakan hal yang sama?!”
 
Seseorang lelaki tua, sedikit lebih tampan dari Ivan Digula, berkata, “Tidaklah tempat aman bagiku selain di sini. Di rumah, anak-anakku enggan merawatku. Kehidupan modern telah membuat mereka menjadi kuda pacuan, yang sebenarnya mereka lupa di balik itu semua ada meja judi yang selalu ramai dengan rupiah. Tuan, di sini aku bisa merasakan bagaimana jalan kematianku. Aku telah mengaturnya selama sembilan hari di dalam bangsal ini. Jika tuan memaksa agar kita satu pemahaman, maaf, bagiku itu pemaksaan. Dan, kita tahu, apa pun bentuknya pemaksaan adalah kejahatan yang senantiasa dibiarkan hidup berdampingan dengan kita.”
 
“Dengarlah suara ini, engkau sekalian!” Kata Ivan Digula sembari memukul-mukul tabung oksigen dengan sendok makan. “Coba, coba ikuti aku!” Para lelaki tua itupun mengikuti. Kini, bangsal itu dipenuhi suara tabung oksigen yang dipukul dengan sendok makan.
 
Semenit kemudian, Ivan Digula berkata, “Tidak kita semua, para lelaki tua ini, yang ada di dalam bangsal ini masih memiliki gairah untuk hidup lebih lama lagi? Ketika engka sekalian mengikuti perkataanku, samalah kita. Aku memiliki rencana jitu yang kupikirkan lima hari belakangan ini. Kita harus bebas dari bangsal rumah sakit yang menyedihkan ini! Aku akan beritahukan kepada kalian nanti malam.”
 
Seorang perawat muda yang terlambat datang yang ingin memastikan apa yang telah terjadi di bangsal rumah sakit itu, tidak menemukan apa pun selain sekumpulan para lelaki tua yang tertidur! Setelah memastika tidak terjadi apa-apa, perawat muda itu keluar dari bangsal itu dan melanjutkan pekerjaannya memandikan jenazah-jenazah yang tiga hari lalu mengantre.
 
Tidak siang, tidak malam Kota Surabaya selalu indah dan mempesona! Lampu-lampu jalan terang-benderang. Kerlap-kerlip lampu hotel berbintang dan tempat hiburan yang sepi, tampak dari kejauhan. Tomo Wiroto bersiap-siap pergi ke rumah sakit. Anak lelakinya, sehari yang lalu telah pulih. Kini, dia bisa bekerja dengan tenang. Sementara Ivan Digula mulai menjelaskan rencananya kepada para lelaki tua di bangsal rumah sakit itu.
 
“Aku telah membayar salah seorang petugas rumah sakit ini untuk menyediakan sepuluh pasang pakaian dokter yang akan kita pakai. Anggap saja, kalian berhutang kepadaku dan harus kalian bayar ketika keluar dari rumah sakit sialan ini. Sekarang pakailah! Dan ingat yang kukatakan tadi, kita keluar satu per satu agar tidak dicurigai!”
 
Di dalam pos jaga rumah sakit itu, Tomo Wiroto tampak asyik menonton televisi sehingga dia lupa dengan pekerjaannya sebagai penjaga malam. Alhasil, pukul 23.00 malam, satu per satu para lelaki tua itu keluar dengan santainya. Dan tidak jauh dari rumah sakit itu, sebuah mobil mini bus yang telah disiapkan Ivan Digul terpakir dengan santai pula!
 
Keesokan hari, para petugas rumah sakit, termasuk kepala rumah sakit heboh atas hilangnya sepuluh orang pasien mereka yang terpapar virus aneh dan mematikan. Tidak berselang lama, para polisi dan wartawan pun mendatangi rumah sakit itu. Kecanggihan abad 21 ini dengan cepat membuat kehebohan itu menyebar ke seantero kota hingga ke telinga Nyonya Gubernur. Dan, terang sudah, semua orang menyoroti Tomo Wiroto yang berjaga semalam. Kepala rumah sakit dan kepolisian memanggil Tomo Wiroto untuk menghadap. Setibanya di depan pintu ruangan kepala rumah sakit, sepasang lutut Tomo Wiroto bergetar. Bagaimana pun, ini kali pertama dia berurusan dengan penghakiman.
 
“Silakan duduk, Tomo Wiroto!” Kepala rumah sakit mempersilakan Tomo Wiroto.
 
“Aku, Tuan.”
 
“Di mana engaku semalam, Tomo Wiroto?” Tanya kepala rumah sakit.
 
“Berjaga, Tuan. Seperti biasa.”
 
“Kau melihat sepuluh orang pasien rumah sakit ini kabur semalam, sekira pukul 23.00?!”
 
“Tidak, Tuan. Aku tidak melihat mereka.”
 
“Engkau tahu, Tomo Wiroto, aku mempekerjakanmu untuk berjaga malam di sini karena engkau layak mendapat pekerjaan itu. Jadi, beginikah balasanmu? Sekarang citra rumah sakit dan posisiku terancam. Aku tidak menduga, begini rupanya engkau membalas kebaikanku!”
 
“Tidak, Tuan. Orang sepertiku tidaklah memiliki kemampuan membalas kebaikan dari Tuan…”
 
“Lalu mengapa engkau tidak mengatakan yang sebenarnya?!”
 
“Begini,Tuan… e…”
 
“Bagaimana Tomo Wiroto? Tidak usah takut. Bukan demikian Pak Kepala?”
 
“Benar.”
 
“Semalam,” kata Tomo Wiroto, “para dokter bedah di rumah sakit ini, tidak jelas rupa dan umur mereka, menanggalkan beberapa surat di pos jaga. Salah seorang dokter bernama Ivan Digula bahwa para dokter bedah akan berangkat ke rumah sakit di Jakarta. Di sana, katanya, membutuhkan banyak tenaga dokter bedah. Kemudian dia meninggalkan amplop berisi uang yang banyak. Ketika hendak kukembalikan, Dokter Ivan Digula berkata: “Di masa sekarang ini jangan gengsi dengan kemiskinan yang engkau terima. Harga dirimu adalah harga dirimu. Dia tidak dapat dibeli. Perkara isi amplop itu, bukankah naif kalau engkau tidak membutuhkannya. Gunakanlah sebaik mungkin, karena kota ini tidak akan menjamin keselamatanmu dan keluargamu. Ketika orang-orang seperti kalian ini mati, akan lahir orang-orang miskin lainnya!” Demikian, Tuan. Aku menerima amplop itu dan mereka pergi dengan sebuah mini bus. Selebihnya, tidaklah orang sepertiku memiliki pengetahuan terhadap profesi seorang dokter.”
 
“Demi Tuhan, Ivan Digula! Dia memang! Lelaki tua sialan!” Maki kepala rumah sakit itu dengan berangnya. Kemudian melanjutkan, “Pak Kepala? Bawa saja orang ini dan selanjutnya kita tangkap sepuluh orang lelaki tua itu! Mereka mengancam citra dan posisiku sebagai kepala rumah sakit. Berapa pun akanku bayar!”
 
Setelah menerima amplop dari kepala rumah sakit, kepala kepolisian itu akhirnya meninggalkan rumah sakit itu dan Tomo Wiroto ikut bersama mereka sebagai saksi kunci. Walau pun sempat melakukan penolakan, Tomo Wiroto tidaklah memiliki kuasa sebagaimana dia berdebat dengan istrinya ketika berhadapan dengan borgol dan sirene mobil patroli. Tidak disangka-sangkanya, kepala rumah sakit tega melakukan hal itu kepadanya. Akan tetapi, sekali lagi, dia tidak memiliki kuasa sebagaimana dia membuat istrinya kalah. Kini, dia kalah. Penjara di hadapan matanya. Pikirannya kacau. Ke mana-mana. Tidak jelas. Oh! Penjara bagi orang-orang miskin lebih kejam daripada isi pidato seorang presiden yang membiarkan rakyatnya sekarat di rumah masing-masing.
 
Sementara Tomo Wiroto dibawa, Ivan Digula berjalan dengan santainya di rumah sakit itu menuju ruangan kepala rumah sakit. Ketika pintu berdecit, kepala rumah sakit menyambut kedatangan Ivan Digula tanpa sepatah kata pun. Semenit kemudian, Ivan Digula mengeluarkan amplop dari saku di balik mantel kulit buatan Jerman-nya itu. Lihatlah! Kepala rumah sakit itu semringah dengan manisnya.
 
Mengetahui bahwa Tomo Wiroto dituduh sebagai dalang atas hilangnya sepuluh orang pasien sebuah rumah sakit di Kota Surabaya, istrinya terperanjat ke kursi, tak sadarkan diri. Tidak butuh waktu lama pula, berita itu menyebar ke telinga para sanak-famili dan tetangga. Tomo Wiroto jadi bahan pembicaraan dan tidak segan-segan mulut sanak-famili dan tetangganya menghardik istrinya dengan kata-kata menyengit hati. Tidak kuasa mendengar itu, Galuh Drupa dan anak lelakinya menghapiri suaminya di kantor polisi dan mengungkapkan kekecewaannya; kekecewaan bahwa Tomo Wiroto menjual kejujurannya hanya untuk uang, padahal tidak ada dia tidak menuntut kehidupan yang mewah. Sebelum melangkah pulang, tanpa sadar, tangannya yang lembut dan penuh kasih sayang itu menempeleng wajah suaminya. Kemudian berlalu pergi dengan isak tangis tidak terbendung.
 
Hakim agung memutuskan Tomo Wiroto bersalah karena tindakannya melakukan pembiaran kejahatan dan pencorengan citra dan nama baik sebuah rumah sakit serta mengganggu posisi jabatan kepala rumah sakit sehingga menyebabkan trauma. Oleh karena itu, Tomo Wiroto dihukum sepuluh tahun penjara dengan percobaan delapan tahun. Seminggu kemudian, hari Senin yang cerah membuat bunga-bunga di halaman rumah sakit itu bermekaraan, Galuh Drupa tampak berjalan menuju barisan petugas rumah sakit menggelar apel pagi. Di tangan kanan Galuh Drupa, sebuah revolver siap pakai yang dia pinjam dari Wiratman, pensiunan tentara, haus darah karena terlalu lama disimpan. Sontak, para petugas dan kepala rumah sakit yang ada di halaman rumah sakit itu terkejut dan segera membubarkan diri.
 
“Engkau…” kata Galuh Drupa, “mempekerjakan suamiku di sini hanya untuk engkau tumbalkan! Aku tidak sebodoh yang engkau bayangkan. Suamiku tidaklah mungkin lalai dalam pekerjaannya. Dan, kini, engkau tahu?! Dia dihukum selama sepuluh tahun penjara! Itu artinya, lebih baik kita sama-sama merasakan bagaimana hidup tanpa orang yang engkau cintai dan bayang-bayang maut seperti sekarang!”
 
Tanpa omong lagi. Galuh Drupadi mengarahkan moncong revolver itu ke arah kepala rumah sakit dan “Dor! Dor!” Dua lubang yang pantas untuk membayar kelicikan dan kejahatannya. Tidak lama kemudian, Galuh Drupa mengarahkan moncong revolver itu ke dahinya. Dan, “Dor!” Wiratman seorang pembunuh ulung. Dia berhasil mengajarkan Galuh Drupa membunuh selama seminggu!

Surabaya, 2021. http://sastra-indonesia.com/2021/07/di-surabaya-bertetangga-dengan-maut/

Tidak ada komentar:

Label

`Atiqurrahman A Muttaqin A Rodhi Murtadho A. Iwan Kapit A. Purwantara A. Qorib Hidayatullah A. Zakky Zulhazmi A.H.J Khuzaini A.S. Laksana Aang Fatihul Islam Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi WM Abdul Kadir Ibrahim Abdul Lathief Abdul Malik Abdul Wachid B.S. Abdurrahman El Husaini Abidah El Khalieqy Abu Salman Acep Zamzam Noor Achdiat K. Mihardja Adek Alwi Adi Suhara Adnyana Ole Adreas Anggit W. Afrion Afrizal Malna Aguk Irawan MN Agung Dwi Ertato Agus B. Harianto Agus Buchori Agus Himawan Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sulton Agusri Junaidi Agustinus Wahyono Ahda Imran Ahmad Badrus Sholihin Ahmad Fanani Mosah Ahmad Fatoni Ahmad Ikhwan Susilo Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musabbih Ahmad Rofiq Ahmad Sahidah Ahmad Tohari Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sekhu Alex R. Nainggolan Alex Suban Alunk Estohank Ami Herman Amien Kamil Amien Wangsitalaja Aminudin R Wangsitalaja Anastasya Andriarti Andreas Maryoto Anes Prabu Sadjarwo Angela Angga Wijaya Angkie Yudistia Anindita S Thayf Anis Ceha Anjrah Lelono Broto Anton Kurnia Anton Kurniawan Anton Wahyudi Anugrah Gio Pratama Anwar Nuris Aprinus Salam Arie MP Tamba Arif B. Prasetyo Arif Bagus Prasetyo Arif Hidayat Arman A.Z. Arti Bumi Intaran Arys Hilman AS Sumbawi Asarpin Asef Umar Fakhruddin Asep Sambodja Asrama Mahasiswa Aceh SABENA Astrikusuma Asvi Warman Adam Atep Kurnia Awalludin GD Mualif Aziz Abdul Gofar Azizah Hefni Badrut Tamam Gaffas Bagja Hidayat Bagus Takwin Balada Bale Aksara Baltasar Koi Bambang Agung Bambang Kempling Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Bayu Insani Beni Setia Benny Arnas Benny Benke Berita Berita Duka Berita Utama Bernando J. Sujibto Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Blambangan Brunel University London BSW Adjikoesoemo Budaya Budhi Setyawan Budi Darma Budi Saputra Budi Suwarna Bung Tomo Cak Kandar Catatan Cerpen Chairil Anwar Chavchay Syaifullah Cucuk Espe Cunong N. Suraja D. Zawawi Imron Dadang Ari Murtono Daisuke Miyoshi Damanhuri Damhuri Muhammad Damiri Mahmud Danarto Daniel Dhakidae Dante Alighieri Deddy Arsya Dedy Tri Riyadi Denny Mizhar Deny Tri Aryanti Detti Febrina Dharmadi Diah Hadaning Dian Hartati Dian Sukarno Diana A.V. Sasa Dicky Fadiar Djuhud Didi Arsandi Dimas Dina Oktaviani Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Djadjat Sudradjat Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Doddy Hidayatullah Donny Anggoro Dony P. Herwanto Dorothea Rosa Herliany Dr. Muhammad Zafar Iqbal Dr. Simuh Dwi Arjanto Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwicipta Dwijo Maksum Edy A. Effendi Edy Firmansyah Efri Ritonga Egidius Patnistik Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Hendri Saiful Elik Elsya Crownia Emha Ainun Nadjib Endah Sulawesi Endah Wahyuningsih Endang Suryadinata Endhiq Anang P Endri Y Eriyandi Budiman Ernest Hemingway Esai Esha Tegar Putra Eva Dwi Kurniawan Evi Dana Setia Ningrum Evi Idawati Evieta Fadjar F Rahardi Fabiola D. Kurnia Fadelan Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Faisal Kamandobat Faisal Syahreza Faizal Syahreza Fajar Alayubi Fandy Hutari Fany Chotimah Fatah Yasin Noor Fathor Lt Fathurrahman Karyadi Fatih Kudus Jaelani Fatma Dwi Rachmawati Fauzi Absal Festival Sastra Gresik Fikri. MS Fina Sato Fitri Susila Galih Pandu Adi Gde Agung Lontar Geger Riyanto Gerakan Literasi Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Ginanjar Rahadian Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gunoto Saparie Gus Martin Gus tf Sakai Gusti Eka Hadi Napster Haji Misbach Halim HD Halimi Zuhdy Hamberan Syahbana Hamdy Salad Han Gagas Handoko F. Zainsam Hari Santoso Haris del Hakim Hartono Harimurti Hary B. Kori’un Hasan Gauk Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Helwatin Najwa Hepi Andi Bastoni Heri C Santoso Heri KLM Heri Latief Heri Listianto Hermien Y. Kleden Hernadi Tanzil Heru Emka Heru Kurniawan Heru Prasetya Hesti Sartika Hudan Hidayat Humaidiy AS I Made Asdhiana I Made Prabaswara I Nyoman Suaka IBM. Dharma Palguna Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Ida Ahdiah Idayati Ignas Kleden Ihsan Taufik Ilenk Rembulan Ilham Khoiri Ilham Yusardi Imam Cahyono Imam Jahrudin Priyanto Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indah Darmastuti Indiar Manggara Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indrian Koto Irma Safitri Irman Syah Iskandar Noe Istiqomatul Hayati Ita Siregar Iwan Kurniawan Iwan Nurdaya-Djafar Iyut FItra Jadid Al Farisy Jafar M. Sidik Jakob Sumardjo Jamal D Rahman Janual Aidi Javed Paul Syatha Jayaning S.A Jefri al Malay Jihan Fauziah JJ. Kusni Jo Pakagula Johan Edy Raharjo Joko Pinurbo Jokowi Undercover Joni Ariadinata Joss Wibisono Jual Buku Paket Hemat Judyane Koz Juli Sastrawan Junaidi Abdul Munif Jusuf AN Juwairiyah Mawardy Kadir Ruslan Kasnadi Katrin Bandel Kedung Darma Romansha Khairul Mufid Jr Khamami Zada Khrisna Pabichara Kikin Kuswandi Koh Young Hun Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Komunitas Sastra Ilalang Indonesia (KSII) Korrie Layun Rampan Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan) Kristianto Batuadji Kritik Sastra Kunni Masrohanti Kunthi Hastorini Kuntowijoyo Kurie Suditomo Kurnia EF Kurniawan Kuswaidi Syafi'ie Kuswinarto Lan Fang Landung Rusyanto Simatupang Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Liestyo Ambarwati Khohar Linda Sarmili Liston P. Siregar Liza Wahyuninto LN Idayanie Lucia Idayani Lukman Asya Lusiana Indriasari Lynglieastrid Isabellita M Hari Atmoko M. Aan Mansyur M. Arman A.Z M. Bagus Pribadi M. Fadjroel Rachman M. Harya Ramdhoni Julizarsyah M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S M. Luthfi Aziz M. Nahdiansyah Abdi M. Raudah Jambak M. Shoim Anwar M. Yoesoef M.D. Atmaja Maghfur Saan Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Majalah Sastra Horison Maklumat Sastra Profetik Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Serenade Sinurat Mario F. Lawi Marluwi Marsel Robot Martin Aleida Martin Suryajaya Mashuri Matdon Mega Vristian Melani Budianta Melayu Riau Memoar MG. Sungatno Mh Zaelani Tammaka Miftah Fadhli Miftahul Abrori Misbahus Surur Miziansyah J Mochtar Lubis Mohamad Ali Hisyam Mohammad Eri Irawan MT Arifin Mugy Riskiana Halalia Muhajir Arrosyid Muhamad Rifai Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Al-Mubassyir Muhammad Qodari Muhammad Rain Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun A.S Muhidin M. Dahlan Muhlis Al-Firmany Mujtahid Mulyadi SA Munawir Aziz Murniati Tanjung Murnierida Pram Musa Ismail Musfi Efrizal Mustaan Mustafa Ismail N. Mursidi Nafsul Latifah Naskah Teater Nasrullah Nara Nelson Alwi Nenden Lilis A Nh. Anfalah Ni Made Purnama Sari Nina Mussolini-Hansson Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Noura Nova Christina Noval Jubbek Novela Nian Nugroho Notosusanto Nugroho Pandhu Sukmono Nur Faizah Nurdin F. Joes Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nurul Komariyah Nuryana Asmaudi SA Nyoman Tusthi Eddy Nyoman Wirata Oka Rusmini Oktamandjaya Wiguna Oky Sanjaya Olanama Olivia Kristina Sinaga Otto Sukatno CR Pagelaran Musim Tandur Pamusuk Eneste Patricia Pawestri PDS H.B. Jassin PDS. H.B. Jassin Penghargaan Hadiah Sastra Pusat Bahasa Persda Network Pipiet Senja Pramoedya Ananta Toer Pramono Pranita Dewi Pringadi AS Prita Daneswari Prof. Tamim Pardede sebut Bambang Tri Prosa Pudyo Saptono Puisi Puisi Kesunyian Puisi Sufi Puji Santosa PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Wijaya Qaris Tajudin R. Sugiarti Rachmad Djoko Pradopo Radhar Panca Dahana Ragdi F. Daye Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Ramadhan Batubara Ramadhan KH Ratih Kumala Ratna Indraswari Ibrahim Ratna Sarumpaet Raudal Tanjung Banua Remy Sylado Reni Susanti Renny Meita Widjajanti Resensi Restu Kurniawan Retno Sulistyowati RF. Dhonna Rian Sindu Ribut Wijoto Ridwan Munawwar Riki Utomi Riris K. Toha-Sarumpaet Risang Anom Pujayanto Riza Multazam Luthfy Robin Al Kautsar Rodli TL Rofiqi Hasan Rohman Abdullah Rosidi Rosihan Anwar Rukardi S Yoga S. Jai S. Sinansari Ecip S.I. Poeradisastra S.W. Teofani Sabam Siagian Sabrank Suparno Saiful Anam Assyaibani Sainul Hermawan Sajak Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sanggar Rumah Ilalang Sanggar Teater Jerit Sapardi Djoko Damono Sartika Dian Sartika Dian Nuraini Sastra Tanah Air Sastra Using Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sayyid Fahmi Alathas Sazano Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo Seli Desmiarti Selo Soemardjan Senggrutu Singomenggolo Seno Joko Suyono SH Mintardja Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sipri Senda Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Sobih Adnan Sofian Dwi Sofie Dewayani Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sri Ruwanti Sri Wintala Achmad St Sularto Stefanus P. Elu Sukron Abdilah Sulaiman Djaya Suminto A. Sayuti Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sungging Raga Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Suryansyah Suryanto Sastroatmodjo Susanto Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suyadi Suyadi San Syaifuddin Gani Syaiful Amin Syamsiar Hidayah Syarbaini Syifa Amori Syifa Aulia Tajuddin Noor Ganie Taufik Abdullah Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat TE. Priyono Teguh Afandi Teguh Ranusastra Asmara Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Theresia Purbandini Tita Tjindarbumi Titik Alva-Alvi Choiriyah Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tjoet Nyak Dhien Tosa Poetra Tri Lestari Sustiyana Triyanto Triwikromo TS Pinang Tu-ngang Iskandar Tulus S Tulus Wijanarko Udo Z. Karzi Ugoran Prasad Umar Fauzi Ballah Umar Kayam Umbu Landu Paranggi Universitas Indonesia Universitas Jember Utada Kamaru UU Hamidy Vera Ernawati Veronika Ninik W.S. Rendra Wahjudi Djaja Wahyu Hidayat Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Budiartha Widya Karima Wijaya Herlambang Wiji Thukul Willem B Berybe Wilson Nadeak Winarni R. Wiratmo Soekito Wita Lestari Wiwik Widayaningtias Y. Thendra BP Y. Wibowo Yasser Arafat Yeni Ratnaningsih Yohanes Sehandi Yonatan Raharjo Yonathan Rahardjo Yopi Setia Umbara Yos Rizal S Yos Rizal Suriaji Yudhi Herwibowo Yuka Fainka Putra Yurnaldi Yushifull Ilmy Yusri Fajar Yusuf Suharto Zainal Abidin Zainal Arifin Thoha Zawawi Se Zen Hae