Jumat, 09 Juli 2021

SERIBU JALAN RAYA

---Gagasan dari Yang Tak Pernah Terselesaikan---


Taufiq Wr. Hidayat *
 
Menulis memang sebentuk kerja sunyi yang menghadapi diri sendiri. Menghayati kesendirian dengan kesunyian, melahirkan tulisan-tulisan bagus. Di balik kesepian dan kesendirian, penulis menangkap pelbagai hal, indah dan memasuki ruang tafsir yang plural. Ia menangkap suara-suara dari keasingan, dalam kesunyian ia mendengar suara yang jauh, muskil sekalipun. Jadilah ia tulisan, terbentang, dan dimasuki dari mana pun. Sebagaimana tulisan Fatah Yasin Noor. Ia membentang. Ia bisa dimasuki dari mana pun, kapan pun. Ia bebas. Ia tak terikat. Ia merenungi ribuan obyek dan memantulkan kembali catatan-catatan itu ke dalam subyektifitasnya. Pantulan itu menjadi tulisan yang memancar. Maka lihatlah hal-hal menarik yang tertata rapi, indah, dan hikmat, syahdu. Terdapat puluhan persoalan dan sesuatu dalam satu paragraf.
 
Namanya dikenal dengan Fatah Yasin Noor. Dia orang tua. Baik dari usia maupun kematangan. Entah kematangan apa. Tapi dia tidak mau dianggap tua. Meski giginya sudah tidak begitu kuat lagi mengunyah makanan, tapi rambutnya tidak sehelai pun uban. Padahal usianya lebih setengah abad. Dipanggil banyak kawan dengan panggilan Kang Fatah atau Mas. Tentu saja, ia tokoh sastra Banyuwangi yang menarik. Puisi-puisinya mashur dalam antologi nasional API (Angkatan Penyair Indonesia, 1998). Esai-esainya bagai nyanyian, mengusung sesuatu yang nyaris tak tertangkap publik. Puisi-puisi tunggalnya terkumpul dalam "Gagasan Hujan" (PSBB, 2003), "Rajegwesi" (PSBB, 2009). Kumpulan catatannya yang unik dan panjang terkumpul dalam "Seribu Jalan Raya" (PSBB, 2011). Boleh jadi, Kang Fatah itu "suhu"-nya sastra di Banyuwangi. Suhu yang tekun dan konsisten merangkai huruf. Tulisannya tersebar di media-media massa nasional dan lokal, Kedaulatan Rakyat, Jawa Pos, Majalah Budaya Jejak, Bali Post. Puisinya yang di muat pada koran Bali Post itulah yang menarik---setidaknya bagi saya, lantaran Bali Post waktu itu dijaga oleh Umbu Landu Paranggi, semua puisi harus melewati dia, dia yang berhak menyatakan puisi-puisi layak atau tidak layak dimuat di Bali Post. Dan puisi Fatah Yasin Noor lolos di situ. Pada 1979, esainya yang kritis berjudul "Film Nasional, Sebuah Tanggapan" dimuat media sastra legendaris dan pertama kali di Banyuwangi, Kertas Budaya Jejak besutan alm. Pomo Martadi dan Hasnan Singodimayan.
 
Fatah menempuh pendidikan menengah dan pendidikan tinggi di Yogyakarta. Boleh jadi, tradisi berpikirnya terbangun di sana. Di Banyuwangi, nyaris media sastra tak lepas dari tangan dinginnya. Pimred jurnal Sastra-Budaya Lembaran Kebudayaan, pernah mengomandani kelompok budayawan dan seniman yang menolak DKB di tahun 2002. Fatah beserta gerbong para budayawan "bawah tanah" mendirikan DKB-Reformasi sebagai lembaga tandingan bagi DKB "pemerintah" bergaya Orba waktu itu. Gerak kebudayaan yang dikerjakan sastrawan nyentrik ini tak bisa diremehkan. Terbukti "gerbong" DKB-R produktif melahirkan karya-karya berkualitas dan secara berkala melakukan kajian sastra serta penulisan sejarah Banyuwangi.
 
Pada 1998, Fatah menjadi salah satu "dedengkot" kelompok muda menghadirkan alm. WS. Rendra di Gedung Wanita, Banyuwangi, dalam peluncuran buku puisi penyair Jawa-Bali, "Cadik". Sehari sebelum tumbangnya Soeharto! Di tahun itu, bukan main-main. Mengadakan kegiatan sastra yang kritis berhadapan dengan aparat. Dengan sikap yang nyentrik, Fatah dapat "melewati" interogasi perihal perizinan kegiatan dari petugas militer dengan cerdas tanpa gejolak. Fatah Yasin Noor bersama Komunitas Selasa menerbitkan Majalah Sastra Jejak. Di tahun itu juga, Fatah bersama penyair dan budayawan lain mengemukakan sikap anti kekerasan menyikapi peristiwa "santet" Banyuwangi.
 
Sastra Fatah Yasin Noor menampilkan dunia imajiner yang terpotong-potong dalam rangkaian yang utuh. Diksi-diksi sepi dan sublim, tenang, dan transendental mengental dalam puisi-puisinya. Seperti kopi. Dan Fatah memiliki kemampuan bercerita yang menakjubkan, walaupun dia tak pernah menyelesaikan sebuah cerita. Irama puitis dalam tulisan-tulisannya bagai sumur yang tak kering dari makna terjauh rasa manusia dalam melewati realitas. Rangkaian diksinya membawa kita pada kedalaman permenungan yang agung, alegoris, aliteratif.
 
Kini dia tetap aktif menulis di layar androidnya yang canggih. Ia bagai menampilkan sastra dalam belantara dunia maya. Tapi tidak pusing. Ia menyampaikan keyakinannya, sastra perlu disiarkan pada media apa pun sesuai perkembangan zaman. Katanya, "derajat" atau kualitas sastra tidak serta merta ditentukan pada media apa yang menyiarkannya. Tapi terletak pada kekuatan karya itu sendiri, di mana teks harus diletakkan pada ruang publik untuk kemudian dapat dinikmati, diperbincangkan bersama dan oleh siapa saja. Waktulah yang akan menguji. Tak ada yang "sampah" kecuali "sampah", katanya. Ia tidak sibuk mempersoalkan tata letak, apakah itu "pusat" atau "non pusat". Sastra harus ditulis dan dikemukakan untuk diperbincangkan sambil minum kopi atau sambil menyikat gigi di kamar mandi. Pada ruang dan waktu yang lain, ia adalah ibadah bagi seseorang, bisiknya.
 
Fatah Yasin Noor pernah bertanya kepada saya; "Gimana apa sudah yakin jadi penulis?". Pertanyaan yang wajar. "Sebab," lanjut Fatah, "penulis itu harus punya 'hidup' yang tidak harus dari tulisan. Kalau tidak, repot hidup di negeri di mana tulisan jadi bungkus kacang," ujarnya sambil mengepulkan asap kretek dari bibirnya. Tapi diam-diam sambil tertawa cekikikan.
 
Tokoh sastra Banyuwangi ini bagai tak pernah lepas dari teks dalam kehidupannya sehari-hari. Ia hidup di Singotrunan, berjualan kerupuk, dan menulis. Tentu saja, berdiskusi dengan orang ini menarik dan mendebarkan. Wawasannya luas, canda dan celetukannya khas dan mengusik, bicara tanpa tedeng aling-aling gagasan-gagasannya menyegarkan, pendapatnya mencengangkan dan nyeleneh karena ia selalu memikirkan narasi-narasi tak lazim mendobrak mitos umum yang jumud. Ketawanya renyah dengan gigi yang tak lagi genap, apalagi kalau mendengar humor-humor satir dan sederhana.
 
Fatah Yasin Noor, sang "penggagas hujan", sebagaimana tersebut dalam teks puisinya yang liris "Gagasan Hujan". Kini tokoh sastra yang satu ini, rajin minum kopi di pantai Cacalan atau di kafe-kafe kecil milik kawannya di Banyuwangi. Menghisap kretek bersenjatakan android, ia menulis sastra dan tulisan-tulisan lain, memasuki pikir dan rasa, dan asiknya menjadi manusia biasa.
***
 
Seseorang yang bernama Samuel Beckett menulis sebuah novel dengan sebatang pensil. Novel yang ditulis Beckett itu panjangnya sepanjang pensil pendek yang digunakan untuk menulis ceritanya. Ketika pensil habis, maka novel dinyatakannya selesai, walau teks terhenti pada kalimat dan tema cerita yang tidak usai, mungkin juga tak utuh. Dan Beckett tidak pernah akan menyelesaikan ceritanya. Biarlah ia menjadi karya. Sudahlah. Absurd, “main-main” yang mendalam yang sesungguhnya tidak main-main, sebentuk perayaan tekstual. Sastra adalah “dunia main-main” yang tidak main-main, ujar Budi Darma.
 
Pun kurang-lebih hal itulah yang mendasari lahirnya buku “Seribu Jalan raya” karya Fatah Yasin Noor, judul buku diberikan kawannya, seorang sastrawan dan penerjemah sastra Dwi Pranoto, yang sempat membaca beberapa potong tulisan Fatah sebelum diterbitkan. Khas Fatah yang  menegaskan jati diri kepenulisannya selama puluhan tahun. Tema-tema keluar-masuk dalam ruang kreatifnya. Ribuan tema tidak dipilih atau ditimbang-timbang untuk kemudian dituang dalam bentuk tulisan sastra. Tapi ribuan tema yang berlalu lintas pada ribuan “jalan raya” kreatif yang luas itu, hanya dipantulkan oleh Fatah bagai kaca spion kendaraan yang memantulkan bayangan benda-benda atau cahaya. Sastra imajinatif dan non-imajinatif berbaur begitu indah untuk saling menguatkan bangunan teks. Setidaknya antara fakta dan fiksi menjadi sedemikian tipis batas-bedanya, bagai novel-novel Gabriel Garcia Marquez. Pantulan itu dituang menjadi teks. Tema-tema menjadi beragam, kaya, acak namun tersusun dengan cara pengungkapan yang memukau, renyah, pelan, kadang terburu, sunyi, kontemplatif. Hingga di beberapa susunan teksnya---mungkin secara tak tersadari, menjadi menakjubkan. Kolaborasi fakta dan fiksi terasa cantik dan menarik, keduanya saling bermata rantai dan saling mempengaruhi, sehingga menimbulkan sesuatu yang baru, bagai komposisi Johann Sebastian Bach.
 
Demikianlah. Bentuk tulisan sudah tidak begitu penting. Meski tetap berjalan di atas pedoman-pedoman yang samar. Tapi proses kepenulisan dan irama teks itu sendirilah esensi yang menubuhkan bentuk lain yang bebas diberi atasnama bentuk. Ia menjadi multidimensi dan plural dari benda-benda yang dipantulkannya. Silakan memasuki buku “Seribu Jalan Raya” pada halaman berapa pun, dijamin tidak akan terlepas dari tema yang sedang berjalan dan keutuhan teksnya. Ia utuh untuk mewakili ketidak-utuhan tema, ia adalah spion kendaraan, jendela menengok, absurditas yang mencoba menubuhkan diri ke dalam bentuk lentur yang tergunting-gunting.
 
Menulis bagi Fatah, sebagaimana dicatatnya di tahun 1995, sebagai berikut:
“... Di saat sebuah dorongan menulis hanya berangkat dari kesenangan menulis itu sendiri, di mana segala pembicaraan bisa dimulai dari mana saja tanpa ada sebuah perencanaan apa pun. Karena mempertimbangkan nilai pada diri sendiri berakhir pada pilihan yang tunggal, yakni harus menulis itu sendiri. Tapi, menulis hanya untuk orang-orang yang perkasa dalam kesedihan dan kesepian dirinya sendiri. Manusia-manusia yang memiliki kesadaran yang tinggi sekaligus membenamkan dirinya ke dasar kepedihan selamanya. Kita bisa bilang itulah pengembara sepi yang baik, yang benar, yang menegaskan tekat lewat kata-kata. Catatan ini nampaknya akan menjadi pengendapan pengalaman dan cita-cita, kalau memang karya yang menentukan kebesaran seseorang, maka karya adalah panglima. Karya sastra yang baik ditulis oleh pengarang yang telah teruji memiliki kekayaan pengalaman dan pikiran yang terbuka…”.
 
Ia menarik kesedihan ke dalam kesyahduan, menangkap denyar-denyar kata yang berguguran dari langit kesunyiannya, ditumpahkan ke dalam huruf-huruf. Fatah lincah melompat-lompat. Ia bersijingkat di antara hujan. Kadang-kadang terdapat sebentuk kisah yang mengejutkan dalam tulisan Fatah, yang tak terpikirkan sebelumnya.
 
“Seperti air yang akhirnya meresap ke dalam tanah. Bau tubuhku tak seasin garam. Aku tak sampai ke laut. Hanya ikan-ikan kecil yang sempat menghampiriku. Ikan besar tak mau menghampiriku. Sebab aku bukan santapan yang enak bagi mereka. Hanya ikan kecil yang menghampiriku, karena aku sangat bersahabat dengan mereka. Perempuan adalah ikan salmon, kulitnya licin dagingnya gurih…”.
 
Begitu mungkin bagi Fatah, membawa imajinasi ikan di lautan yang bernama ikan salmon itu pada tubuh seorang perempuan. Di sinilah sastra menunjukkan keserba-mungkinan tekstual.
 
Buku ini adalah buku pertama yang ditulis oleh Fatah Yasin Noor di samping beberapa antologi puisi tunggal yang telah diterbitkan Pusat Studi Budaya Banyuwangi sebelumnya. Fatah adalah sastrawan yang teks-teksnya memiliki pengaruh. Selamat membaca.
 
Banyuwangi, 2012-2021

*) Taufiq Wr. Hidayat dilahirkan di Dusun Sempi, Desa Rogojampi, Kab. Banyuwangi. Taufiq dibesarkan di Desa Wongsorejo Banyuwangi. Menempuh pendidikan di UNEJ pada fakultas Sastra Indonesia. Karya-karyanya yang telah terbit adalah kumpulan puisi “Suluk Rindu” (YMAB, 2003), “Muncar Senjakala” [PSBB (Pusat Studi Budaya Banyuwangi), 2009], kumpulan cerita “Kisah-kisah dari Timur” (PSBB, 2010), “Catatan” (PSBB, 2013), “Sepotong Senja, Sepotong Malam, Sepotong Roti” (PSBB, 2014), “Dan Badut Pun Pasti Berlalu” (PSBB, 2017), “Serat Kiai Sutara” (PSBB, 2018). “Kitab Iblis” (PSBB, 2018), “Agama Para Bajingan” (PSBB, 2019), dan Buku terbarunya “Kitab Kelamin” (PSBB, 2019). Tinggal di Banyuwangi, Sekarang Sebagai Ketua Lesbumi PCNU Banyuwangi. http://sastra-indonesia.com/2021/07/seribu-jalan-raya/

Tidak ada komentar:

Label

`Atiqurrahman A Muttaqin A Rodhi Murtadho A. Iwan Kapit A. Purwantara A. Qorib Hidayatullah A. Zakky Zulhazmi A.H.J Khuzaini A.S. Laksana Aang Fatihul Islam Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi WM Abdul Kadir Ibrahim Abdul Lathief Abdul Malik Abdul Wachid B.S. Abdurrahman El Husaini Abidah El Khalieqy Abu Salman Acep Zamzam Noor Achdiat K. Mihardja Adek Alwi Adi Suhara Adnyana Ole Adreas Anggit W. Afrion Afrizal Malna Aguk Irawan MN Agung Dwi Ertato Agus B. Harianto Agus Buchori Agus Himawan Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sulton Agusri Junaidi Agustinus Wahyono Ahda Imran Ahmad Badrus Sholihin Ahmad Fanani Mosah Ahmad Fatoni Ahmad Ikhwan Susilo Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musabbih Ahmad Rofiq Ahmad Sahidah Ahmad Tohari Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sekhu Alex R. Nainggolan Alex Suban Alunk Estohank Ami Herman Amien Kamil Amien Wangsitalaja Aminudin R Wangsitalaja Anastasya Andriarti Andreas Maryoto Anes Prabu Sadjarwo Angela Angga Wijaya Angkie Yudistia Anindita S Thayf Anis Ceha Anjrah Lelono Broto Anton Kurnia Anton Kurniawan Anton Wahyudi Anugrah Gio Pratama Anwar Nuris Aprinus Salam Arie MP Tamba Arif B. Prasetyo Arif Bagus Prasetyo Arif Hidayat Arman A.Z. Arti Bumi Intaran Arys Hilman AS Sumbawi Asarpin Asef Umar Fakhruddin Asep Sambodja Asrama Mahasiswa Aceh SABENA Astrikusuma Asvi Warman Adam Atep Kurnia Awalludin GD Mualif Aziz Abdul Gofar Azizah Hefni Badrut Tamam Gaffas Bagja Hidayat Bagus Takwin Balada Bale Aksara Baltasar Koi Bambang Agung Bambang Kempling Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Bayu Insani Beni Setia Benny Arnas Benny Benke Berita Berita Duka Berita Utama Bernando J. Sujibto Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Blambangan Brunel University London BSW Adjikoesoemo Budaya Budhi Setyawan Budi Darma Budi Saputra Budi Suwarna Bung Tomo Cak Kandar Catatan Cerpen Chairil Anwar Chavchay Syaifullah Cucuk Espe Cunong N. Suraja D. Zawawi Imron Dadang Ari Murtono Daisuke Miyoshi Damanhuri Damhuri Muhammad Damiri Mahmud Danarto Daniel Dhakidae Dante Alighieri Deddy Arsya Dedy Tri Riyadi Denny Mizhar Deny Tri Aryanti Detti Febrina Dharmadi Diah Hadaning Dian Hartati Dian Sukarno Diana A.V. Sasa Dicky Fadiar Djuhud Didi Arsandi Dimas Dina Oktaviani Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Djadjat Sudradjat Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Doddy Hidayatullah Donny Anggoro Dony P. Herwanto Dorothea Rosa Herliany Dr. Muhammad Zafar Iqbal Dr. Simuh Dwi Arjanto Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwicipta Dwijo Maksum Edy A. Effendi Edy Firmansyah Efri Ritonga Egidius Patnistik Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Hendri Saiful Elik Elsya Crownia Emha Ainun Nadjib Endah Sulawesi Endah Wahyuningsih Endang Suryadinata Endhiq Anang P Endri Y Eriyandi Budiman Ernest Hemingway Esai Esha Tegar Putra Eva Dwi Kurniawan Evi Dana Setia Ningrum Evi Idawati Evieta Fadjar F Rahardi Fabiola D. Kurnia Fadelan Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Faisal Kamandobat Faisal Syahreza Faizal Syahreza Fajar Alayubi Fandy Hutari Fany Chotimah Fatah Yasin Noor Fathor Lt Fathurrahman Karyadi Fatih Kudus Jaelani Fatma Dwi Rachmawati Fauzi Absal Festival Sastra Gresik Fikri. MS Fina Sato Fitri Susila Galih Pandu Adi Gde Agung Lontar Geger Riyanto Gerakan Literasi Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Ginanjar Rahadian Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gunoto Saparie Gus Martin Gus tf Sakai Gusti Eka Hadi Napster Haji Misbach Halim HD Halimi Zuhdy Hamberan Syahbana Hamdy Salad Han Gagas Handoko F. Zainsam Hari Santoso Haris del Hakim Hartono Harimurti Hary B. Kori’un Hasan Gauk Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Helwatin Najwa Hepi Andi Bastoni Heri C Santoso Heri KLM Heri Latief Heri Listianto Hermien Y. Kleden Hernadi Tanzil Heru Emka Heru Kurniawan Heru Prasetya Hesti Sartika Hudan Hidayat Humaidiy AS I Made Asdhiana I Made Prabaswara I Nyoman Suaka IBM. Dharma Palguna Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Ida Ahdiah Idayati Ignas Kleden Ihsan Taufik Ilenk Rembulan Ilham Khoiri Ilham Yusardi Imam Cahyono Imam Jahrudin Priyanto Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indah Darmastuti Indiar Manggara Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indrian Koto Irma Safitri Irman Syah Iskandar Noe Istiqomatul Hayati Ita Siregar Iwan Kurniawan Iwan Nurdaya-Djafar Iyut FItra Jadid Al Farisy Jafar M. Sidik Jakob Sumardjo Jamal D Rahman Janual Aidi Javed Paul Syatha Jayaning S.A Jefri al Malay Jihan Fauziah JJ. Kusni Jo Pakagula Johan Edy Raharjo Joko Pinurbo Jokowi Undercover Joni Ariadinata Joss Wibisono Jual Buku Paket Hemat Judyane Koz Juli Sastrawan Junaidi Abdul Munif Jusuf AN Juwairiyah Mawardy Kadir Ruslan Kasnadi Katrin Bandel Kedung Darma Romansha Khairul Mufid Jr Khamami Zada Khrisna Pabichara Kikin Kuswandi Koh Young Hun Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Komunitas Sastra Ilalang Indonesia (KSII) Korrie Layun Rampan Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan) Kristianto Batuadji Kritik Sastra Kunni Masrohanti Kunthi Hastorini Kuntowijoyo Kurie Suditomo Kurnia EF Kurniawan Kuswaidi Syafi'ie Kuswinarto Lan Fang Landung Rusyanto Simatupang Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Liestyo Ambarwati Khohar Linda Sarmili Liston P. Siregar Liza Wahyuninto LN Idayanie Lucia Idayani Lukman Asya Lusiana Indriasari Lynglieastrid Isabellita M Hari Atmoko M. Aan Mansyur M. Arman A.Z M. Bagus Pribadi M. Fadjroel Rachman M. Harya Ramdhoni Julizarsyah M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S M. Luthfi Aziz M. Nahdiansyah Abdi M. Raudah Jambak M. Shoim Anwar M. Yoesoef M.D. Atmaja Maghfur Saan Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Majalah Sastra Horison Maklumat Sastra Profetik Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Serenade Sinurat Mario F. Lawi Marluwi Marsel Robot Martin Aleida Martin Suryajaya Mashuri Matdon Mega Vristian Melani Budianta Melayu Riau Memoar MG. Sungatno Mh Zaelani Tammaka Miftah Fadhli Miftahul Abrori Misbahus Surur Miziansyah J Mochtar Lubis Mohamad Ali Hisyam Mohammad Eri Irawan MT Arifin Mugy Riskiana Halalia Muhajir Arrosyid Muhamad Rifai Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Al-Mubassyir Muhammad Qodari Muhammad Rain Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun A.S Muhidin M. Dahlan Muhlis Al-Firmany Mujtahid Mulyadi SA Munawir Aziz Murniati Tanjung Murnierida Pram Musa Ismail Musfi Efrizal Mustaan Mustafa Ismail N. Mursidi Nafsul Latifah Naskah Teater Nasrullah Nara Nelson Alwi Nenden Lilis A Nh. Anfalah Ni Made Purnama Sari Nina Mussolini-Hansson Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Noura Nova Christina Noval Jubbek Novela Nian Nugroho Notosusanto Nugroho Pandhu Sukmono Nur Faizah Nurdin F. Joes Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nurul Komariyah Nuryana Asmaudi SA Nyoman Tusthi Eddy Nyoman Wirata Oka Rusmini Oktamandjaya Wiguna Oky Sanjaya Olanama Olivia Kristina Sinaga Otto Sukatno CR Pagelaran Musim Tandur Pamusuk Eneste Patricia Pawestri PDS H.B. Jassin PDS. H.B. Jassin Penghargaan Hadiah Sastra Pusat Bahasa Persda Network Pipiet Senja Pramoedya Ananta Toer Pramono Pranita Dewi Pringadi AS Prita Daneswari Prof. Tamim Pardede sebut Bambang Tri Prosa Pudyo Saptono Puisi Puisi Kesunyian Puisi Sufi Puji Santosa PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Wijaya Qaris Tajudin R. Sugiarti Rachmad Djoko Pradopo Radhar Panca Dahana Ragdi F. Daye Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Ramadhan Batubara Ramadhan KH Ratih Kumala Ratna Indraswari Ibrahim Ratna Sarumpaet Raudal Tanjung Banua Remy Sylado Reni Susanti Renny Meita Widjajanti Resensi Restu Kurniawan Retno Sulistyowati RF. Dhonna Rian Sindu Ribut Wijoto Ridwan Munawwar Riki Utomi Riris K. Toha-Sarumpaet Risang Anom Pujayanto Riza Multazam Luthfy Robin Al Kautsar Rodli TL Rofiqi Hasan Rohman Abdullah Rosidi Rosihan Anwar Rukardi S Yoga S. Jai S. Sinansari Ecip S.I. Poeradisastra S.W. Teofani Sabam Siagian Sabrank Suparno Saiful Anam Assyaibani Sainul Hermawan Sajak Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sanggar Rumah Ilalang Sanggar Teater Jerit Sapardi Djoko Damono Sartika Dian Sartika Dian Nuraini Sastra Tanah Air Sastra Using Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sayyid Fahmi Alathas Sazano Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo Seli Desmiarti Selo Soemardjan Senggrutu Singomenggolo Seno Joko Suyono SH Mintardja Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sipri Senda Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Sobih Adnan Sofian Dwi Sofie Dewayani Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sri Ruwanti Sri Wintala Achmad St Sularto Stefanus P. Elu Sukron Abdilah Sulaiman Djaya Suminto A. Sayuti Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sungging Raga Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Suryansyah Suryanto Sastroatmodjo Susanto Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suyadi Suyadi San Syaifuddin Gani Syaiful Amin Syamsiar Hidayah Syarbaini Syifa Amori Syifa Aulia Tajuddin Noor Ganie Taufik Abdullah Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat TE. Priyono Teguh Afandi Teguh Ranusastra Asmara Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Theresia Purbandini Tita Tjindarbumi Titik Alva-Alvi Choiriyah Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tjoet Nyak Dhien Tosa Poetra Tri Lestari Sustiyana Triyanto Triwikromo TS Pinang Tu-ngang Iskandar Tulus S Tulus Wijanarko Udo Z. Karzi Ugoran Prasad Umar Fauzi Ballah Umar Kayam Umbu Landu Paranggi Universitas Indonesia Universitas Jember Utada Kamaru UU Hamidy Vera Ernawati Veronika Ninik W.S. Rendra Wahjudi Djaja Wahyu Hidayat Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Budiartha Widya Karima Wijaya Herlambang Wiji Thukul Willem B Berybe Wilson Nadeak Winarni R. Wiratmo Soekito Wita Lestari Wiwik Widayaningtias Y. Thendra BP Y. Wibowo Yasser Arafat Yeni Ratnaningsih Yohanes Sehandi Yonatan Raharjo Yonathan Rahardjo Yopi Setia Umbara Yos Rizal S Yos Rizal Suriaji Yudhi Herwibowo Yuka Fainka Putra Yurnaldi Yushifull Ilmy Yusri Fajar Yusuf Suharto Zainal Abidin Zainal Arifin Thoha Zawawi Se Zen Hae