Koran Tempo, Minggu, 19 Juni 2005
Marhalim Zaini
Segala yang datang dari laut, cintailah.
Tentang perjalanan. Tentang hidup yang tak terukur. Dan sesuatu yang tiba-tiba membuat kita merasa tidak lengkap. Di mana ia? Seorang saja yang hilang, pasti hati kita lengang. Kehilangan itu kian akrab. Seakrab kematian. Dan laut, selalu menyimpan ketakterdugaan. Ia, lelaki yang pergi bersama subuh. Aku, perempuan yang menanti seperti luluh. Kami, sepasang kekasih, yang disebabkan laut, maka harus melepas pagut.
Ini bekas barut perahumu. Apa yang tertulis di pasir, itulah yang kutunggu. Ingat, akulah ibu untuk calon anak-anakmu kelak. Bukankah telah kautanam di batas pantai, sebuah janji? Bahwa kepulanganmu adalah pasti. Aku perempuan yang tak ingin diingkari, menatap laut yang tak berbatas di matamu, seperti mimpi yang tak bertepi. Apakah kita sedang bermimpi? Tidak. Perasaanku adalah saksi. Sewaktu kau menyerah pada laut, dan membiarkan tangannya membawamu, aku sebenarnya sedang belajar mengekalkan kecupan selamat tinggalmu di hatiku. Belajar memahami kerelaan seorang ibu saat melepas anak-anaknya pergi, dan rela menerima kapanpun mereka kembali.
Dan ketahuilah, aku berhasil. Sebagai seorang perempuan kampung yang sederhana, keberhasilan ini bagiku sungguh menakjubkan. Aku tidak lagi menangis. Aku pun telah berhasil mengekalkan air mata menjadi butiran tawa anak-anak yang berlarian mengejar kupu-kupu di bawah rumah panggung. Kalaupun aku menangis, adalah tangisan yang tak sebenarnya. Dan itu hanya sebagai senjata untuk kemudian memenangkan permainan secara telak. Bukankah selalu ada permakluman bagi mereka yang menangis?
Demikianlah, kau kukekalkan. Segalanya yang sempat kukenang. Dan hidup di tepian ini, tak banyak yang dapat kuberi nama pada setiap yang singgah, selain laut yang selalu menyimpan ketakterdugaan. Dan aku yakin, kau di sana. Aku sering mencuri kabar dari mulut-mulut para pelaut yang singgah, bahwa kau masih di sana. Di suatu tempat yang terlampau asing untuk disebut. Dan di sana, tidak ada perempuan, katanya. Tak ada perempuan yang sepertiku. Berkebaya, berambut panjang, berselendang, lembut, ramah, dan selalu memandang ke bawah sambil menyembunyikan senyum simpul yang menawan. Benarkah? Kalau begitu, aku tentu tak perlu merasa cemburu. Dan tidak ada gunanya cemburu. Laut begitu luas untuk bisa dicemburui.
Maka, cukuplah aku tahu bahwa kau masih di sana. Dan mereka percaya padaku. Anak-anak itu percaya padaku. Kau ingat, anak-anak yang selalu mengganggu saat kita duduk berdua di pohon kelapa tumbang menghadap ke laut? Anak-anak itu kini telah berkeluarga. Dan anak-anak yang sedang duduk bersila di depanku ini, yang demikian percaya dengan segala kisah-kisahku tentangmu, adalah anak-anak yang dilahirkan dari anak-anak yang dulu mengganggu kita itu. Mereka memanggil aku nenek. Lucu kan? Tanpa perkawinan pun rupanya orang bisa saja memiliki cucu. Dan aku semakin yakin, bahwa kau telah benar-benar kukekalkan. Bahkan jika aku pun kelak telah dikekalkan oleh waktu, anak-anak ini akan selalu mengekalkan kisahmu di ingatannya.
“Jadi, Hang Jebat itu kekasih nenek?”
Mereka anak-anak cerdas. Dan aku seorang tua yang kian renta. Pertanyaan mereka yang lugas harus kujawab dengan terbata-bata. Tapi, sebagai seorang nenek yang baik, dan sebagai seorang perempuan tua yang sangat ingin kisahnya didengarkan, aku tak pernah memberi jawaban yang membuat mereka kecewa. Aku takut mereka merajuk, dan tak lagi mau mendengarkan ceritaku.
“Hang Jebat itu seorang pelaut. Sedangkan nenek hanya seorang gadis kampung yang sederhana. Kami bertemu saat orang tua kalian masih seusia kalian. Nenek kan pintar mengaji. Dan Hang Jebat seorang lelaki yang sangat suka belajar. Neneklah yang mengajarinya mengaji. Dan apakah kalian suka belajar? Kalau kalian mau pintar, ya harus rajin belajar.”
“Nenek pernah dicium Hang Jebat?”
Huss! Apa pertanyaan semacam ini pantas aku jawab? Dan apakah pertanyaan itu memang pantas ditanyakan oleh anak-anak seumur mereka? Aku gamang. Anak-anak yang lebih cepat dewasa dibanding umurnya. Dan untunglah aku belum sempat kawin dan memiliki anak. Barangkali, anak-anakku baru akan terlahir setelah aku tak bisa lagi mengucapkan nama-namanya. Anak-anakku akan terlahir dari kisah-kisahku yang tak pernah berakhir. Dan mereka, tentu sangat suka berlayar. Suka belajar. Sebab laut adalah Ayah mereka (yang selalu mendenyarkan debar).
Seperti anak ayam yang pulang ke kandang, azan magriblah yang memanggil mereka pulang. Di kepala mereka telah dikekalkan sebuah ingatan. Aku bahagia. Rupanya kebahagiaan seorang nenek adalah saat cucu-cucunya datang mengunjunginya, dan dengan riang meminta didongengkan tentang masa lampau, tentang kenangan-kenangan, lalu pulang dengan ingatan-ingatan yang dikekalkan. Dan kebahagiaan terbesar adalah saat timbul rasa penasaran dalam diri mereka dan kemudian dengan rasa keingintahuan yang besar mereka bertanya tentang, “Lalu, Nenek bagaimana?” Tentu, mereka tak mau mendengar sosok hero mereka lemah dan terkalahkan, “Ah, nenek ini kan gadis kampung yang sederhana. Tapi karena nenek orangnya memang suka belajar, ya tidak ada yang tidak bisa dilakukan selagi kita punya kemauan. Dan nenek belajar dari laut. Kalian tahu, laut itu kaya ilmu. Laut membuat pandangan kita menjadi lebih luas. Dan saat memandangnya, kita menjadi tahu, bahwa hidup kita itu terbatas. Karena tahu hidup kita terbatas, maka kita tidak boleh sombong.”
“Jadi Hang Jebat itu, menuntut ilmu di laut ya Nek?”
“Ya. Dan karena laut itu demikian luas, maka tentu saja membutuhkan waktu yang sangat lama untuk bisa mempelajari semua ilmu-ilmunya. Dan Hang Jebat adalah seorang lelaki tangguh. Ia takkan pernah berhenti, sebelum mendapatkan apa yang dicarinya. Dan kalian, jadilah anak-anak yang tangguh ya…”
Anak-anak itu menganggukkan kepala dengan cepat dan serempak. Aku tersenyum, seperti melihat boneka-boneka yang hidup. Selepas itu mereka tampak demikian kegirangan. Mereka turun tangga rumahku sambil mengacungkan tangan-tangan kecilnya ke langit dan meneriakkan, “Akulah Hang Jebat! Akulah Hang Jebat!” Dan gaung suara mereka kian jauh, terbawa angin laut pada senja yang lepuh.
Sejak itu, setiap petang datang hanya mengabarkan lengang. Aku heran, kenapa anak-anak itu tak lagi bertandang ke rumahku. Aku merasa kisah-kisahku belum seluruhnya habis kuceritakan. Apakah mereka tak tertarik lagi dengan ceritaku? Atau, mereka telah menemukan seseorang yang lain, yang bisa menyampaikan cerita-cerita yang lebih hebat dan lebih memikat? Tapi setahuku, tak ada orang tua lain di kampung ini yang memiliki kisah dan nasib badan sehebat aku. Mereka semua punya keluarga. Mereka kawin, punya anak, punya cucu. Mereka semua hidup dengan masa lampau yang lengkap. Masa depan yang gampang ditangkap. Akulah satu-satunya seorang tua yang masih tahan belajar bersabar. Belajar menunda waktu dengan menunggu dan menunggu. Banyak dari mereka yang seumurku telah pikun. Jangankan untuk mengingat masa lampau, mengingat di mana letak kacamata yang menempel di matanya saja mereka tidak bisa. Diam-diam aku sebenarnya bangga. Bahwa inilah rupanya pelajaran berharga itu. Mengingat dan menunggu sesuatu yang datangnya dari laut, membuat aku terhindar dari penyakit lupa. Terima kasih, kekasih…
Tapi ke mana anak-anak itu? Aku harus menyelesaikan sejumlah ingatan lain yang masih tersisa, untuk segera kukekalkan di ingatan mereka. Mereka adalah harapanku. Aku merasa tak yakin dengan sisa usia yang memutih di rambutku ini, dapat bertahan untuk waktu yang agak panjang. Hidup seperti telah menuntut sesuatu yang lain dari nafasnya yang patah-patah di dadaku. Dan pada mereka, anak-anak yang belia, hidup masih sesegar tunas daun-daun jambu saat hijaunya basah oleh sapuan embun pagi. Aku memang harus bergegas. Belajar dengan kesungguhan yang lebih tinggi. Menyelesaikan segalanya, dan menyerahkannya kembali pada laut. Tapi, apakah segalanya akan selesai?
Gaung suara anak-anak itu, lamat-lamat seperti dapat kutangkap. “Akulah Hang Jebat! Akulah Hang Jebat!” Tapi di mana mereka? Tak kudengar suara kaki-kaki mereka yang berlari menuju kemari. Debu-debu jalan setapak itu, yang biasanya membuat ingus mereka menghitam di wajahnya, tak juga kulihat berterbangan di udara petang. Kulit tebu, ampas tebu, daun-daun ubi kayu, reranting patah ubi kayu, dan sobekan kertas layang-layang, sobekan kertas perahu mainan, buah congkak karet, buah semunting, tak lagi kulihat berserak di bawah tangga rumahku. Padahal aku paling suka jika mereka datang dengan sampah-sampah itu. Setiap pagi aku bisa mendengarkan suara sapu lidiku sendiri, mengumpulkan satu-persatu sampah-sampah itu. Bagiku, inilah kenikmatan pagi. Saat sebuah pekerjaan dapat kutuntaskan sendiri, dan melihat halaman rumahku bersih kembali. Bukankah kita terbiasa ingin melihat sebuah pagi yang bersih?
Ah, sunyi juga rasanya. Gaung itu kukira juga adalah gaung kesunyian yang terngiang-ngiang di telingaku. Beginilah agaknya, perasaan seseorang yang telah sekian lama belajar pada kesunyian. Ia sangat peka terhadap bunyi. Bahkan hanya untuk sebuah gaung. Engkau, apakah juga masih sedang belajar pada kesunyian? Apakah laut bergemuruh itu, masih menyisakan kesunyian? Belum juga usai kau mempelajarinya? Ingat, akulah ibu untuk calon anak-anakmu kelak. Jangan biarkan janjimu di batas pantai itu berubah. Aku lihat, abrasi memang telah menggeser garis pantai itu. Sudah lama aku tak ke pantai. Dan mungkin batasnya sudah sangat jauh bergeser. Bakau-bakaunya, pasti sudah serupa gigiku ini, ompong. Pohon-pohon kelapanya, yang dulu condong, kini pastilah telah tumbang. Aku cemas, kau kembali pada saat semuanya telah hanyut. Aku takut, kau kembali pada saat semuanya telah tiada.
Tapi, suara apa itu? Dari bingkai jendela yang setengah terbuka, mataku yang tua hanya mampu melihat debu-debu jalan yang mengepul ke udara. Ah, anak-anak itu kembali? Tapi ini hari masih pagi. Apakah mereka tidak sekolah? Tapi, bukan. Aku kira itu serombongan orang-orang yang sepertinya aku kenal. Mereka berbelok ke arahku. Benar, mereka adalah tetangga-tetanggaku. Mereka sepertinya adalah para orang tua dari anak-anak yang setiap petang mendengarkan kisahku. Dan mereka adalah anak-anak yang dulu sering mengganggu saat kami duduk berdua di atas batang pohon kelapa tumbang menghadap ke laut. Tapi, ada apa?
“Ajaran apa yang telah kautanamkan di kepala anak-anak kami, Nek Tun?”
“Ya. Setiap petang datang, sepulang sekolah, mereka langsung berlari ke arah laut.”
“Dan kini, tak hanya setiap petang, tapi setiap hari, dari pagi sampai petang mereka di laut. Mereka malas sekolah. Mulutnya meracau tak tentu arah. Hang Jebat, Hang Jebat, nama itu terus yang mereka teriakkan.”
“Janganlah pula anak-anak kami jadi sasaran dendammu pada kekasihmu Hang Jebat yang tak setia itu, Nek Tun!”
Satu hal yang terbaik bagiku kini adalah diam. Mereka nampaknya mengamuk. Apakah aku harus bertanggungjawab terhadap anak-anak mereka yang tak mau sekolah? Aku hanya bercerita. Itu saja. Apakah itu salah? Lalu, sebenarnya kenapa anak-anak itu lebih betah memandang laut, aku sendiri tak tahu sebabnya. Aku tak pernah mengajarkan pada mereka untuk jadi seperti Hang Jebat. Aku hanya meminta mereka untuk jadi anak-anak yang tangguh. Tapi, aku kira, mereka adalah anak-anak yang tangguh. Dan mereka kini tahu, bahwa laut kaya ilmu. Mereka mulai belajar bercinta dengan laut. Maafkan, jika aku telah berhasil mengekalkan ingatan-ingatan pada mereka. Dan kau Hang Jebat, kembalilah. Biarkan anak-anak ini yang menggantikanmu…***
Pekanbaru, 2005
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Label
`Atiqurrahman
A Muttaqin
A Rodhi Murtadho
A. Iwan Kapit
A. Purwantara
A. Qorib Hidayatullah
A. Zakky Zulhazmi
A.H.J Khuzaini
A.S. Laksana
Aang Fatihul Islam
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi WM
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Lathief
Abdul Malik
Abdul Wachid B.S.
Abdurrahman El Husaini
Abidah El Khalieqy
Abu Salman
Acep Zamzam Noor
Achdiat K. Mihardja
Adek Alwi
Adi Suhara
Adnyana Ole
Adreas Anggit W.
Afrion
Afrizal Malna
Aguk Irawan MN
Agung Dwi Ertato
Agus B. Harianto
Agus Buchori
Agus Himawan
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus Sulton
Agusri Junaidi
Agustinus Wahyono
Ahda Imran
Ahmad Badrus Sholihin
Ahmad Fanani Mosah
Ahmad Fatoni
Ahmad Ikhwan Susilo
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Musabbih
Ahmad Rofiq
Ahmad Sahidah
Ahmad Tohari
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Muhaimin Azzet
Akhmad Sekhu
Alex R. Nainggolan
Alex Suban
Alunk Estohank
Ami Herman
Amien Kamil
Amien Wangsitalaja
Aminudin R Wangsitalaja
Anastasya Andriarti
Andreas Maryoto
Anes Prabu Sadjarwo
Angela
Angga Wijaya
Angkie Yudistia
Anindita S Thayf
Anis Ceha
Anjrah Lelono Broto
Anton Kurnia
Anton Kurniawan
Anton Wahyudi
Anugrah Gio Pratama
Anwar Nuris
Aprinus Salam
Arie MP Tamba
Arif B. Prasetyo
Arif Bagus Prasetyo
Arif Hidayat
Arman A.Z.
Arti Bumi Intaran
Arys Hilman
AS Sumbawi
Asarpin
Asef Umar Fakhruddin
Asep Sambodja
Asrama Mahasiswa Aceh SABENA
Astrikusuma
Asvi Warman Adam
Atep Kurnia
Awalludin GD Mualif
Aziz Abdul Gofar
Azizah Hefni
Badrut Tamam Gaffas
Bagja Hidayat
Bagus Takwin
Balada
Bale Aksara
Baltasar Koi
Bambang Agung
Bambang Kempling
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Bayu Insani
Beni Setia
Benny Arnas
Benny Benke
Berita
Berita Duka
Berita Utama
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Blambangan
Brunel University London
BSW Adjikoesoemo
Budaya
Budhi Setyawan
Budi Darma
Budi Saputra
Budi Suwarna
Bung Tomo
Cak Kandar
Catatan
Cerpen
Chairil Anwar
Chavchay Syaifullah
Cucuk Espe
Cunong N. Suraja
D. Zawawi Imron
Dadang Ari Murtono
Daisuke Miyoshi
Damanhuri
Damhuri Muhammad
Damiri Mahmud
Danarto
Daniel Dhakidae
Dante Alighieri
Deddy Arsya
Dedy Tri Riyadi
Denny Mizhar
Deny Tri Aryanti
Detti Febrina
Dharmadi
Diah Hadaning
Dian Hartati
Dian Sukarno
Diana A.V. Sasa
Dicky Fadiar Djuhud
Didi Arsandi
Dimas
Dina Oktaviani
Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan
Djadjat Sudradjat
Djoko Saryono
Doddi Ahmad Fauji
Doddy Hidayatullah
Donny Anggoro
Dony P. Herwanto
Dorothea Rosa Herliany
Dr. Muhammad Zafar Iqbal
Dr. Simuh
Dwi Arjanto
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwicipta
Dwijo Maksum
Edy A. Effendi
Edy Firmansyah
Efri Ritonga
Egidius Patnistik
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Eko Hendri Saiful
Elik
Elsya Crownia
Emha Ainun Nadjib
Endah Sulawesi
Endah Wahyuningsih
Endang Suryadinata
Endhiq Anang P
Endri Y
Eriyandi Budiman
Ernest Hemingway
Esai
Esha Tegar Putra
Eva Dwi Kurniawan
Evi Dana Setia Ningrum
Evi Idawati
Evieta Fadjar
F Rahardi
Fabiola D. Kurnia
Fadelan
Fahrudin Nasrulloh
Faidil Akbar
Faisal Kamandobat
Faisal Syahreza
Faizal Syahreza
Fajar Alayubi
Fandy Hutari
Fany Chotimah
Fatah Yasin Noor
Fathor Lt
Fathurrahman Karyadi
Fatih Kudus Jaelani
Fatma Dwi Rachmawati
Fauzi Absal
Festival Sastra Gresik
Fikri. MS
Fina Sato
Fitri Susila
Galih Pandu Adi
Gde Agung Lontar
Geger Riyanto
Gerakan Literasi
Gerakan Surah Buku (GSB)
Gerson Poyk
Ginanjar Rahadian
Gita Pratama
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gunawan Budi Susanto
Gunoto Saparie
Gus Martin
Gus tf Sakai
Gusti Eka
Hadi Napster
Haji Misbach
Halim HD
Halimi Zuhdy
Hamberan Syahbana
Hamdy Salad
Han Gagas
Handoko F. Zainsam
Hari Santoso
Haris del Hakim
Hartono Harimurti
Hary B. Kori’un
Hasan Gauk
Hasan Junus
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Hasta Indriyana
Helwatin Najwa
Hepi Andi Bastoni
Heri C Santoso
Heri KLM
Heri Latief
Heri Listianto
Hermien Y. Kleden
Hernadi Tanzil
Heru Emka
Heru Kurniawan
Heru Prasetya
Hesti Sartika
Hudan Hidayat
Humaidiy AS
I Made Asdhiana
I Made Prabaswara
I Nyoman Suaka
IBM. Dharma Palguna
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
Ida Ahdiah
Idayati
Ignas Kleden
Ihsan Taufik
Ilenk Rembulan
Ilham Khoiri
Ilham Yusardi
Imam Cahyono
Imam Jahrudin Priyanto
Imam Muhtarom
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Rosyid
Imron Tohari
Indah Darmastuti
Indiar Manggara
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Indrian Koto
Irma Safitri
Irman Syah
Iskandar Noe
Istiqomatul Hayati
Ita Siregar
Iwan Kurniawan
Iwan Nurdaya-Djafar
Iyut FItra
Jadid Al Farisy
Jafar M. Sidik
Jakob Sumardjo
Jamal D Rahman
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jayaning S.A
Jefri al Malay
Jihan Fauziah
JJ. Kusni
Jo Pakagula
Johan Edy Raharjo
Joko Pinurbo
Jokowi Undercover
Joni Ariadinata
Joss Wibisono
Jual Buku Paket Hemat
Judyane Koz
Juli Sastrawan
Junaidi Abdul Munif
Jusuf AN
Juwairiyah Mawardy
Kadir Ruslan
Kasnadi
Katrin Bandel
Kedung Darma Romansha
Khairul Mufid Jr
Khamami Zada
Khrisna Pabichara
Kikin Kuswandi
Koh Young Hun
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias
Komunitas Sastra Ilalang Indonesia (KSII)
Korrie Layun Rampan
Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan)
Kristianto Batuadji
Kritik Sastra
Kunni Masrohanti
Kunthi Hastorini
Kuntowijoyo
Kurie Suditomo
Kurnia EF
Kurniawan
Kuswaidi Syafi'ie
Kuswinarto
Lan Fang
Landung Rusyanto Simatupang
Latief S. Nugraha
Leila S. Chudori
Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M)
Liestyo Ambarwati Khohar
Linda Sarmili
Liston P. Siregar
Liza Wahyuninto
LN Idayanie
Lucia Idayani
Lukman Asya
Lusiana Indriasari
Lynglieastrid Isabellita
M Hari Atmoko
M. Aan Mansyur
M. Arman A.Z
M. Bagus Pribadi
M. Fadjroel Rachman
M. Harya Ramdhoni Julizarsyah
M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S
M. Luthfi Aziz
M. Nahdiansyah Abdi
M. Raudah Jambak
M. Shoim Anwar
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Maghfur Saan
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Majalah Sastra Horison
Maklumat Sastra Profetik
Malkan Junaidi
Maman S. Mahayana
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maria Serenade Sinurat
Mario F. Lawi
Marluwi
Marsel Robot
Martin Aleida
Martin Suryajaya
Mashuri
Matdon
Mega Vristian
Melani Budianta
Melayu Riau
Memoar
MG. Sungatno
Mh Zaelani Tammaka
Miftah Fadhli
Miftahul Abrori
Misbahus Surur
Miziansyah J
Mochtar Lubis
Mohamad Ali Hisyam
Mohammad Eri Irawan
MT Arifin
Mugy Riskiana Halalia
Muhajir Arrosyid
Muhamad Rifai
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Al-Mubassyir
Muhammad Qodari
Muhammad Rain
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun A.S
Muhidin M. Dahlan
Muhlis Al-Firmany
Mujtahid
Mulyadi SA
Munawir Aziz
Murniati Tanjung
Murnierida Pram
Musa Ismail
Musfi Efrizal
Mustaan
Mustafa Ismail
N. Mursidi
Nafsul Latifah
Naskah Teater
Nasrullah Nara
Nelson Alwi
Nenden Lilis A
Nh. Anfalah
Ni Made Purnama Sari
Nina Mussolini-Hansson
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Noura
Nova Christina
Noval Jubbek
Novela Nian
Nugroho Notosusanto
Nugroho Pandhu Sukmono
Nur Faizah
Nurdin F. Joes
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nurul Komariyah
Nuryana Asmaudi SA
Nyoman Tusthi Eddy
Nyoman Wirata
Oka Rusmini
Oktamandjaya Wiguna
Oky Sanjaya
Olanama
Olivia Kristina Sinaga
Otto Sukatno CR
Pagelaran Musim Tandur
Pamusuk Eneste
Patricia Pawestri
PDS H.B. Jassin
PDS. H.B. Jassin
Penghargaan Hadiah Sastra Pusat Bahasa
Persda Network
Pipiet Senja
Pramoedya Ananta Toer
Pramono
Pranita Dewi
Pringadi AS
Prita Daneswari
Prof. Tamim Pardede sebut Bambang Tri
Prosa
Pudyo Saptono
Puisi
Puisi Kesunyian
Puisi Sufi
Puji Santosa
PUstaka puJAngga
Putu Fajar Arcana
Putu Wijaya
Qaris Tajudin
R. Sugiarti
Rachmad Djoko Pradopo
Radhar Panca Dahana
Ragdi F. Daye
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Ramadhan Batubara
Ramadhan KH
Ratih Kumala
Ratna Indraswari Ibrahim
Ratna Sarumpaet
Raudal Tanjung Banua
Remy Sylado
Reni Susanti
Renny Meita Widjajanti
Resensi
Restu Kurniawan
Retno Sulistyowati
RF. Dhonna
Rian Sindu
Ribut Wijoto
Ridwan Munawwar
Riki Utomi
Riris K. Toha-Sarumpaet
Risang Anom Pujayanto
Riza Multazam Luthfy
Robin Al Kautsar
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rohman Abdullah
Rosidi
Rosihan Anwar
Rukardi
S Yoga
S. Jai
S. Sinansari Ecip
S.I. Poeradisastra
S.W. Teofani
Sabam Siagian
Sabrank Suparno
Saiful Anam Assyaibani
Sainul Hermawan
Sajak
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Samsudin Adlawi
Sanggar Rumah Ilalang
Sanggar Teater Jerit
Sapardi Djoko Damono
Sartika Dian
Sartika Dian Nuraini
Sastra Tanah Air
Sastra Using
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sayyid Fahmi Alathas
Sazano
Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo
Seli Desmiarti
Selo Soemardjan
Senggrutu Singomenggolo
Seno Joko Suyono
SH Mintardja
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sipri Senda
Sitok Srengenge
Siwi Dwi Saputro
Sjifa Amori
Sobih Adnan
Sofian Dwi
Sofie Dewayani
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sri Ruwanti
Sri Wintala Achmad
St Sularto
Stefanus P. Elu
Sukron Abdilah
Sulaiman Djaya
Suminto A. Sayuti
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sungging Raga
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Suryansyah
Suryanto Sastroatmodjo
Susanto
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Suyadi
Suyadi San
Syaifuddin Gani
Syaiful Amin
Syamsiar Hidayah
Syarbaini
Syifa Amori
Syifa Aulia
Tajuddin Noor Ganie
Taufik Abdullah
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
TE. Priyono
Teguh Afandi
Teguh Ranusastra Asmara
Teguh Winarsho AS
Tengsoe Tjahjono
Theresia Purbandini
Tita Tjindarbumi
Titik Alva-Alvi Choiriyah
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Tjoet Nyak Dhien
Tosa Poetra
Tri Lestari Sustiyana
Triyanto Triwikromo
TS Pinang
Tu-ngang Iskandar
Tulus S
Tulus Wijanarko
Udo Z. Karzi
Ugoran Prasad
Umar Fauzi Ballah
Umar Kayam
Umbu Landu Paranggi
Universitas Indonesia
Universitas Jember
Utada Kamaru
UU Hamidy
Vera Ernawati
Veronika Ninik
W.S. Rendra
Wahjudi Djaja
Wahyu Hidayat
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Budiartha
Widya Karima
Wijaya Herlambang
Wiji Thukul
Willem B Berybe
Wilson Nadeak
Winarni R.
Wiratmo Soekito
Wita Lestari
Wiwik Widayaningtias
Y. Thendra BP
Y. Wibowo
Yasser Arafat
Yeni Ratnaningsih
Yohanes Sehandi
Yonatan Raharjo
Yonathan Rahardjo
Yopi Setia Umbara
Yos Rizal S
Yos Rizal Suriaji
Yudhi Herwibowo
Yuka Fainka Putra
Yurnaldi
Yushifull Ilmy
Yusri Fajar
Yusuf Suharto
Zainal Abidin
Zainal Arifin Thoha
Zawawi Se
Zen Hae
Tidak ada komentar:
Posting Komentar