Nurel Javissyarqi*
http://pustakapujangga.com/?p=217
Sekali sulutan memercikkan nyala abadi,
berapi kobarkan semangat jerami, diledakkan memberi gelisa (IX: I).
Titik kesadaran memijarkan sinar, gerak ketaklumrahan menjadi lentur,
fibrasinya kau resapi, hening tiada berloncatan, ricik tidak lagi merebak (IX: II).
Getar-getir kepiluan samudra bergelombang, ia menaiki kapal
mengunjungimu, menelusuri penanggalan usia (IX: III).
Lentera kecil sudah cukup tidak membakar seluruh,
sedang ruh bermanfaat, tubuh telempap tidak lebih gelas (IX: IV).
Mengkaji tangis bayi di tengah wengi, songsonglah drajad bathin
agar tidak tertinggal merasakan, sedenyar-denyut-debaran-fajar (IX: V).
Sudah cukup abad-abad lampau meninggalkan,
kini sang putra mahkota memegang kemudi sejarah (IX: VI).
Bahtera nalurinya penjelajah mengarungi alur lautan dunia,
ruh penalaran tak tersekat ruang-waktu, sejauh kemauan bumi melangit
terdengar gemuruh gubahan alam bersamaan sadar penciptaan (IX: VII).
Jangan menetas sebelum waktunya, telur-telur tidak beranak hidup,
hanya lamunan kerap terbang, sampai kepada batas-batas kenangan (IX: VIII).
Kepakannya rusak melawan arus, daya tumbang di lingkar kesulitan,
olehnya siasati gerak bayu, kan lelah mengapung mengembalikan daya, maka
sayap magnit kau miliki, menarik energi dari jarak tidak terketahui (IX: IX).
Tidak seluruhnya kerahasiaan terungkap,
terkadang kepenuhan di lapis abstrak, tanpa judul di ruang pengab (IX: X).
Menebarkan biji percepat laju cahaya menerobos ruang berdimensi,
selaksa ulat berkepompong menyempurna bulu sayap kupu-kupu (IX: XI).
Katupan sayapnya menghiasi taman bunga hasil budi (IX: XII).
Fajar mencipta candi Prambanan, di mana kelelawar ke sarang Magoa,
dan anak-anak menyambut cakrawala pagi melewati lintasan matahari (IX: XIII).
Kesejukan pucuk dedaun melengkung, menggulirkan bening embun
atas persekutuan kabut, lentur memantulkan sinar rumput penjaga gerbang (IX: XIV).
Yang peroleh manfaat bagai sinar pantul mutiara, lainnya tertegun malu
berasal tidur mendengkur, kau merayap laksana semut ke bibir sumur (IX: XV).
Warna-warna dedaunan bermandikan cahaya, dan pekabutan tersingkap,
para gadis dengan buyung membawa pulang air sendang Duwur, ricik gemericik
menghadirkan kesegaran lelaki, yang dibaiat menjadi raja-raja di muka bumi (IX: XVI).
Setidaknya kau memahami desahan pujangga bersama nafasmu,
kau jauh mengikuti langkah berserahnya, gerak niat mencipta nasib lain,
serupa faedah kelana terpengaruh kedekatan jiwa tertempa (IX: XVII).
Ketakmungkinan terangkat puja melebihi kecepatan bayu
meluncur ke lapisan langit berkendaraan ketulusan (IX: XVIII).
Mereka canggung menghampiri bentuk, ia bukan berhala atau penciptanya,
kesegaran membaca kalam suci, kesungguhan air laut menjelma bebijian garam
bagi penawar lambung kemanusiaan, yang pedih-perih terjajah ketakadilan (IX: XIX).
Ini di atas tingkatan kabut mitos, siapa digerus letih menelan jalan malam,
sungguh keyakinan menghisap madu di alam ganjil kemuliaan atmosfir (IX: XX).
Sakit serta nikmat ia terima sejauh tidak mengurangi kekhusyukan,
kesungguhan hayatmu mengabdi berbekal puja keikhlasan (IX: XXI).
Tetesan pengertian menjernihkan mata batin, selaksa kesegaran
pada selubung masa membangkitkan nalar, peta pagi kembara menyerahkan bunga,
kalimat hikmah ilmu falsafat, itu mata air keabadian pujangga berfaedah (IX: XXII).
Lenggokan rayu mendayu jauh, mengharumkan altar nuranimu, melewati
gerakan cahya, dipantulkan cermin embun perbendaharaan kata-kata (IX: XXIII).
Pergi dari semua menuju pencipta segala, setidaknya tahu faedah bertemu
keluhuran batin menambah pandang dari gulungan ilmu prosesi jaman (IX: XXIV).
Sungguh bahagialah pemahat batu-batu sungai, pengukir kayu jati, serta
pencukil relief di dinding gua, syairnya pecinta selembut ruh penjaga (IX: XXV).
Obor dinyalakan, gong pembuka ditabuh, petanda dimulainya pesta,
burung berkumpul, tongkat masa menggedor lantai pendapa (IX: XXVI).
Tiada cemburu ketika wajah asing bersapa akrab, berseri-seri
menerima apa adanya, mulai dibangkitkan sedari sediakala (IX: XXVII).
Adakah ruh diperbaharui? Apakah ruh tercipta bersamaan?
Tidakkah awal ruh murni, dan selamanya suci lestari?
Lantas sanggupkah manusia melampaui kodrat? (IX: XXVIII).
Bagaikan tertuang air kendi dipercikkan jemari para utusan,
bukankah manusia cepat kenyang sekaligus cenderung lekas dahaga?
Hanyalah para penyetia diberikan segalanya dari ketabahan (IX: XXIX).
Sengaja melempar dadu mencari padanan waktu mencipta hitunganmu,
walau tak mendapati selain irama runtut, kidungannya semerdu memahami diri,
sudahlah cukup mencipta tanya, tanpa harus menghampiri dirimu (IX: XXX).
Teruskan berjalan menemui kegembiraan sendiri,
tersebab mereka tidak ingin kau menghibur kembali (IX: XXXI).
Kau ditujukan lautan berimbang, yang lengkungannya merengkuh bumi,
menyenandungkan gurau-ricik ombak berkejaran, kadang kecil pula membesar,
sebagaimana gairah hidup di dalam kehidupan (IX: XXXII).
Rasakan diamnya dalam dirimu, sebab pribadi yang tidak menentu,
mustahil pecahkan guratan batu di kening sejarah waktu (IX: XXXIII).
Berilah kapak demi membongkar otak sekeras batu (IX: XXXIV).
Batuan kerikil berpasir, diaduk perekat pada baja, tercipta beton
meneduhkan kala hujan terik siang meradang, mengambili hasil rempah
demi pertukaran kasih dalam pasar, di lereng peradaban (IX: XXXV).
Jangan menjadi pesulap, sebab orang hanya senang sesaat,
terhibur kekosongan atau sakit tak beralasan. Jadilah penjual jamu
yang memahitkan lidah, tetapi badan mendapatkan sehat (IX: XXXVI).
Terimalah hujan gerimis penuh sungguh, dan tabahlah diguyur deras
manakala mendapati wejangan pujangga, sambil mendengarkan petikan dawai
yang dentingannya terjatuh di danau, pandanganmu akan terbuai (IX: XXXVII).
Senilai apa terbangun jembatan layang itu?
Besi baja tidak karatan, oleh beton maklumat (IX: XXXVIII).
Jangan kagumi perubahan saat menapaki tangga harapan.
Ketika tiada, apakah turut serta? Kadang aku bertanya dalam hening;
lamanya mana jembatan layang yang kokoh pada sangkar langitan,
dengan kata-kata yang terbangun, kala menjumpai kekasih? (IX: XXXIX).
Mimpi buruk mengajak berlari, dan hilang daya tersontak, alangkah indah
mempelajari padamnya nyala api pada tubuh lilin beku, melelehkan gelap (IX: XL).
Dinyalakan geretan, isyarat tangan menandakan jalan pulang, ialah yang
menyaksikan bayang bergetar, dan was-was memuncak menebarkan hantu hianat
bagi tidak sabar mengungkap, memahami dunia sebatas lengkungan senja (IX: XLI).
Kepada kegelapan malam seruan mendatangi, meminyaki tubuhmu
dengan khusuk wewangi, membakar cendana di ruang semedi (IX: XLII).
Jangan lupa tegakkan tulang punggung buka jendela
agar bayu memperdengarkan syair merdu bagimu (IX: XLIII).
Tanah lembah, padang rumput hijau membentang jiwamu,
bersamamu rautnya berseri-seri lautan cahaya mewaktu (IX: XLIV).
Yang terusir terlunta tidak melepaskan kemuliaan,
maka hukum keadilan senantiasa mengikutinya (IX: XLV).
Di kala penguasa membakar ajaran utama, murid setia bersenandung
di gumpalan awan berarak, warna gagasannya merajai alam fikiran (IX: XLVI).
Jangkauan penghormatan ditundukkan kalimah hidup,
jangan mencari pendapatan dengan pendapatmu, tersebab ujungnya akan angkuh
lagi terbelenggu, terpeleset ke jurang atas dakian waktu terburu-buru (IX: XLVII).
Sinarnya diberkati, hukum cahaya menerbangkan sayap-sayap awan,
reinkarnasi hikmah pengetahuan di setiap kesadaran hujan (IX: XLVIII).
Ia sedang dalam hatimu mendapati sirr di perbatasan terpisah,
namun kenapa kau belum sanggup atau ragu memangku? (IX: XLIX).
Laba-laba pemilik jaring menjerembabkan ribuan serangga,
tangkaplah mata angin lembut menerobos cela-cela lentur (IX: L).
Luruskan bayangan jemari saksi niatan, agar khilafnya
memudahkan segala jalan dilaluinya bermuara mulia (IX: LI).
Terlewati tebing curam pena tajam menyelamatkan tubuh,
bergelayutan pada dedahan menjulur ke jurang ujung waktu (IX: LII).
Ikutilah melangkah ke batuan terjal merintih, bukankah hikmah
mata air tiada pernah habis, selalu mengucur ke kaki-kaki bukit (IX: LIII).
Sayang, belum dipunggah racikan lama kau berkata; telah usang,
itu menjebloskan diri menutup pepintu nafas rahmat abadi (IX: LIV).
Ruh yang ikhlas menerima tiada-kurang aturan ditepatinya,
janji sekuat tirakat, di setiap langkah diberkati demam setia (IX: LV).
Berniatlah, sungguh merugi tidak berpangkal tidak berakhir
sebab masa dalam hatimu berharap melewati lorong tujuan (IX: LVI).
Ia bisikkan kegadisannya pada telinga yang tiada purnama (IX: LVII).
Khusyuklah agar diharapkan ke sana, tari-tarian kesendirian kepada
alunan sukma pertama, tiada ingin bersekutu walau sepi menghantui (IX: LVIII).
Gelisah puncak gairahnya kelapangan, membiarkan diri dianggap pelacur,
masih kau butuhkan menambah dendam usianya, jari-tangan menggapai tubuhnya,
tetapi ia senantiasa suci gejolak gelora angkara, entah berupa apa hatinya? (IX: LIX).
Tidaklah mudah menyerahkan mahkota keutamaan, kemurniannya
bukan hanya milik sebelumnya pula kepunyaan pejalan di belakang bayangan,
dari jarak lengkingan ujung pana, penguntit mencium keremajaannya (IX: LX).
Ia titik pusar keharuman, di mana setiap ayunan kaki-kakinya kau resapi,
sangking bernafsunya, semua tempat menghirup aroma keremajaannya (IX: LXI).
Tiada tahu bagaimana ia menggali sumur dan menimba airnya,
itu semata agar kau tidak merasakan lelah-berpayah nantinya (IX: LXII).
Manakala kau menghampiri, ia memberikan senyum kau idam,
dialah penanam cabe serta memetiknya untukmu (IX: LXIII).
Dia senang melihatmu merasakan pedasnya,
atas kekangan musim tak sanggup dihadapi yang jauh tanpa jiwa (IX: LXIV).
Tarikan nafasmu bertingkah laku tirakat hutan purba, ia meracik ramuan
demi kembalinya kegadisan, kenapa kau tak malu kenakan mahkotanya? (IX: LXV).
Kejamnya kasih sayang sampai ia tetap menjaga kesucian,
menyukai sakit dari musim kekangan atas cobaan (IX: LXVI).
Ranumnya apel berkata; wahai kekasih, makanlah buah tangan ini,
kembang gula ialah pengakhiran, setelah meminum ramuan jamu (IX: LXVII).
Gegaslah pulang membawa buntelan dan buka hadiahnya, ia berharap
kau segera tahu, dan ia percaya, kau memiliki timbangan di rumah (IX: LXVIII).
Dia khawatir bila terlalu hormat, bingkisan tersebut tidak kau buka,
hanya ditaruh pada tempat paling tinggi dalam kamar pribadi (IX: LXIX).
Jangan-jangan buahnya segera busuk atau bunganya layu,
sebelum senja terdekat di matamu oleh sibuk bercermin (IX: LXX).
Menjadikan usang ketika menelan tenggang masa yang sungkan,
maka ciumi keningnya agar kau tenang demi mengembalikan ingatan,
se-ia dikandung, dan terlahir dicintai untuk mencintainya (IX: LXXI).
Hamparan permadani hijau adalah rerumputan jiwanya,
pengharapan purnama mengembangkan cahaya (IX: LXXII).
Jemari tangan suci ruh mengambili kelembutan,
menikmati kehangatan cinta kasih diberkati (IX: LXXIII).
Rindu berucap mengikuti kalimah memperbaharui kilau di hati,
dorongan diri menjadi kumpulan bukan persekutuan badai (IX: LXXIV).
Jikalau pada keheningan, perasaannya menuju kedalaman makna,
hakikatnya bukan berbara namun persenyawaan cahaya-cahaya (IX: LXXV).
Lapangkan desah nafasmu pada senja tak bernama, malam peristiwa
yang menetaskan kalimah fajar jingga, meruhkan impian segalanya (IX: LXXVI).
Manakala siang terik tercekik cemburu, dia menebak nalar-kalbumu,
sebenarnya tiada keinginan merusak jembatan layang di pesawahan waktu,
rawa-rawa keindahan, menghidupi cacing-cacing dan bunga teratai (IX: LXXVII).
Wahai yang menggeliat dipanasi cahaya mentari,
penuhi tubuhmu berlaksa rasa, bergumul dalam keintiman (IX: LXXVIII).
Yang selalu di kalbu menyentuh nalurimu,
lapar dahaga terlupa kesungguhan niatan (IX: LXXIX).
Andai kangen, bacalah semesta danau yang tercipta di jiwa, bayu pelahan
menyisir ombak tingkah-lakumu, menawan para pemancing budiman (IX: LXXX).
Pada kedalamanmu ia geliat ikan telah diizinkan menyertai kesunyian hakiki,
permata ada di dasar juga di permukaan, layaknya kilauan emas fajar merah
pada pesisir samudra di timur raya (IX: LXXXI).
Menyusuri jalan bebatu bertemu suntukmu, ia melangkah lembut
tanpa bercak tapak kaki, hanya laguan serangga menemani (IX: LXXXII).
Ia menemui ladang ilalang ditundukan angin pegunungan ke tanah basah,
hujan gerimis pada rerumputan tropis, digenangi kabut doa (IX: LXXXIII).
Terdengar kemerekut perut kembara, dan raut mukanya lelah,
bibir-bibir tersenyum memancar atas hafal pengetahuan tanpa dusta,
dan dicukupkan rasa kenyang, lantas menghilang kesusahan (IX: LXXXIV).
Ia terpukau walau mengenai persoalan kecil, segala terlintas
maupun sirr, tiada bangga melampaui kodrat insani (IX: LXXXV).
Inilah pertanyaan diri sendiri tidak membutuhkan jawaban,
hanya menilik timbanganmu, lebih cukup dari pengenalan (IX: LXXXVI).
Persemakmuran hatinya, senjata yang senantiasa dibawa ke mana pun pergi,
mata embun membaca lempengan dedaun fajar, yang ditiup goyangan angin sekitar,
sekepalan palu nanar oleh nafas pemburu, kau dibisingkan usianya (IX: LXXXVII).
Tidak sendiri di kediamannya, keinginan-keinginan berharap bertemu dirinya
membangkitkan hasrat belantara sukma, menjadi penghuni ternama (IX: LXXXVIII).
Ia keluar sejenak memandangi diri di hadapan pendatang dan suatu kali
anak-anak sungai berkata; mungkinkah perjalanan jadi tujuan? (IX: LXXXIX).
Merindu muara, harap berjumpa keajaiban,
tersebab manakala menggelinjak naik-turun tentu ada lelahnya (IX: XC).
Ia memahami benar jalan di bebatuan berlumut, aliran sungai
menggelincirkan pelepah, reranting berlayar, buah jambu terlunta,
timbul-tenggelam menyusuri arus deras permenungan (IX: XCI).
Di jantung kota-kota terdengar degupan meracau
akan bisikan kasih sayang menggetarkan insan (IX: XCII).
Ia tulis hikayat abadi, memahamimu laksana pasir pesisir memutih,
biru sendu ombak laut hatimu, ketika senjakala tertikam rindu (IX: XCIII).
Berselendang senyuman sederaian kidungan bayu di alam kalbu,
tabir mimpi bertemu sapa, merentangkan sayap berujung pena (IX: XCIV).
Hisaplah detak candu menggiring mata sayu menikam lewat
seperti tajamnya belati malam menghunus gairah gunung berapi,
tatapannya mengintai pecinta di taman kembang (IX: XCV).
Kekupu sujud di segumpal batu gajah,
gemerincing air sendang mematangkan diri menetap (IX: XCVI).
Membaca sobekan kertas lalu tersambung nyawa di dadanya,
dan jamahan jemari menyembuhkan hati blingsatan sendiri (IX: XCVII).
Bulir-bulir embun menanti terbangunnya matahari atas fajar malaikat,
kelepak sayap-sayap putihnya berkabarkan pagi melestarikan abad (IX: XCVIII).
Menebah sawah tandus pencerita, rumah mungil di lembah-lembah,
aduhai gadis ayu menyusuri pematang berpapasan muka sedap dipandang,
semalam denyut kasih sayang membuai kantuk keremangan (IX: XCIX).
Para perempuan agung menjemput niat terbang bersayap masa,
sewaktu berbeban gelap, tidak menjadi cemooh yang kekenyangan (IX: C).
Laksana kisah ular naga dengan burung hong di tepian telaga warna,
keduanya mempercantrik padma yang bersemedi dalam luapan asmara (IX: CI).
----
*) Pengelana dari Lamongan, yang ingin jadi penyair sungguhan.
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Label
`Atiqurrahman
A Muttaqin
A Rodhi Murtadho
A. Iwan Kapit
A. Purwantara
A. Qorib Hidayatullah
A. Zakky Zulhazmi
A.H.J Khuzaini
A.S. Laksana
Aang Fatihul Islam
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi WM
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Lathief
Abdul Malik
Abdul Wachid B.S.
Abdurrahman El Husaini
Abidah El Khalieqy
Abu Salman
Acep Zamzam Noor
Achdiat K. Mihardja
Adek Alwi
Adi Suhara
Adnyana Ole
Adreas Anggit W.
Afrion
Afrizal Malna
Aguk Irawan MN
Agung Dwi Ertato
Agus B. Harianto
Agus Buchori
Agus Himawan
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus Sulton
Agusri Junaidi
Agustinus Wahyono
Ahda Imran
Ahmad Badrus Sholihin
Ahmad Fanani Mosah
Ahmad Fatoni
Ahmad Ikhwan Susilo
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Musabbih
Ahmad Rofiq
Ahmad Sahidah
Ahmad Tohari
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Muhaimin Azzet
Akhmad Sekhu
Alex R. Nainggolan
Alex Suban
Alunk Estohank
Ami Herman
Amien Kamil
Amien Wangsitalaja
Aminudin R Wangsitalaja
Anastasya Andriarti
Andreas Maryoto
Anes Prabu Sadjarwo
Angela
Angga Wijaya
Angkie Yudistia
Anindita S Thayf
Anis Ceha
Anjrah Lelono Broto
Anton Kurnia
Anton Kurniawan
Anton Wahyudi
Anugrah Gio Pratama
Anwar Nuris
Aprinus Salam
Arie MP Tamba
Arif B. Prasetyo
Arif Bagus Prasetyo
Arif Hidayat
Arman A.Z.
Arti Bumi Intaran
Arys Hilman
AS Sumbawi
Asarpin
Asef Umar Fakhruddin
Asep Sambodja
Asrama Mahasiswa Aceh SABENA
Astrikusuma
Asvi Warman Adam
Atep Kurnia
Awalludin GD Mualif
Aziz Abdul Gofar
Azizah Hefni
Badrut Tamam Gaffas
Bagja Hidayat
Bagus Takwin
Balada
Bale Aksara
Baltasar Koi
Bambang Agung
Bambang Kempling
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Bayu Insani
Beni Setia
Benny Arnas
Benny Benke
Berita
Berita Duka
Berita Utama
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Blambangan
Brunel University London
BSW Adjikoesoemo
Budaya
Budhi Setyawan
Budi Darma
Budi Saputra
Budi Suwarna
Bung Tomo
Cak Kandar
Catatan
Cerpen
Chairil Anwar
Chavchay Syaifullah
Cucuk Espe
Cunong N. Suraja
D. Zawawi Imron
Dadang Ari Murtono
Daisuke Miyoshi
Damanhuri
Damhuri Muhammad
Damiri Mahmud
Danarto
Daniel Dhakidae
Dante Alighieri
Deddy Arsya
Dedy Tri Riyadi
Denny Mizhar
Deny Tri Aryanti
Detti Febrina
Dharmadi
Diah Hadaning
Dian Hartati
Dian Sukarno
Diana A.V. Sasa
Dicky Fadiar Djuhud
Didi Arsandi
Dimas
Dina Oktaviani
Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan
Djadjat Sudradjat
Djoko Saryono
Doddi Ahmad Fauji
Doddy Hidayatullah
Donny Anggoro
Dony P. Herwanto
Dorothea Rosa Herliany
Dr. Muhammad Zafar Iqbal
Dr. Simuh
Dwi Arjanto
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwicipta
Dwijo Maksum
Edy A. Effendi
Edy Firmansyah
Efri Ritonga
Egidius Patnistik
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Eko Hendri Saiful
Elik
Elsya Crownia
Emha Ainun Nadjib
Endah Sulawesi
Endah Wahyuningsih
Endang Suryadinata
Endhiq Anang P
Endri Y
Eriyandi Budiman
Ernest Hemingway
Esai
Esha Tegar Putra
Eva Dwi Kurniawan
Evi Dana Setia Ningrum
Evi Idawati
Evieta Fadjar
F Rahardi
Fabiola D. Kurnia
Fadelan
Fahrudin Nasrulloh
Faidil Akbar
Faisal Kamandobat
Faisal Syahreza
Faizal Syahreza
Fajar Alayubi
Fandy Hutari
Fany Chotimah
Fatah Yasin Noor
Fathor Lt
Fathurrahman Karyadi
Fatih Kudus Jaelani
Fatma Dwi Rachmawati
Fauzi Absal
Festival Sastra Gresik
Fikri. MS
Fina Sato
Fitri Susila
Galih Pandu Adi
Gde Agung Lontar
Geger Riyanto
Gerakan Literasi
Gerakan Surah Buku (GSB)
Gerson Poyk
Ginanjar Rahadian
Gita Pratama
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gunawan Budi Susanto
Gunoto Saparie
Gus Martin
Gus tf Sakai
Gusti Eka
Hadi Napster
Haji Misbach
Halim HD
Halimi Zuhdy
Hamberan Syahbana
Hamdy Salad
Han Gagas
Handoko F. Zainsam
Hari Santoso
Haris del Hakim
Hartono Harimurti
Hary B. Kori’un
Hasan Gauk
Hasan Junus
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Hasta Indriyana
Helwatin Najwa
Hepi Andi Bastoni
Heri C Santoso
Heri KLM
Heri Latief
Heri Listianto
Hermien Y. Kleden
Hernadi Tanzil
Heru Emka
Heru Kurniawan
Heru Prasetya
Hesti Sartika
Hudan Hidayat
Humaidiy AS
I Made Asdhiana
I Made Prabaswara
I Nyoman Suaka
IBM. Dharma Palguna
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
Ida Ahdiah
Idayati
Ignas Kleden
Ihsan Taufik
Ilenk Rembulan
Ilham Khoiri
Ilham Yusardi
Imam Cahyono
Imam Jahrudin Priyanto
Imam Muhtarom
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Rosyid
Imron Tohari
Indah Darmastuti
Indiar Manggara
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Indrian Koto
Irma Safitri
Irman Syah
Iskandar Noe
Istiqomatul Hayati
Ita Siregar
Iwan Kurniawan
Iwan Nurdaya-Djafar
Iyut FItra
Jadid Al Farisy
Jafar M. Sidik
Jakob Sumardjo
Jamal D Rahman
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jayaning S.A
Jefri al Malay
Jihan Fauziah
JJ. Kusni
Jo Pakagula
Johan Edy Raharjo
Joko Pinurbo
Jokowi Undercover
Joni Ariadinata
Joss Wibisono
Jual Buku Paket Hemat
Judyane Koz
Juli Sastrawan
Junaidi Abdul Munif
Jusuf AN
Juwairiyah Mawardy
Kadir Ruslan
Kasnadi
Katrin Bandel
Kedung Darma Romansha
Khairul Mufid Jr
Khamami Zada
Khrisna Pabichara
Kikin Kuswandi
Koh Young Hun
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias
Komunitas Sastra Ilalang Indonesia (KSII)
Korrie Layun Rampan
Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan)
Kristianto Batuadji
Kritik Sastra
Kunni Masrohanti
Kunthi Hastorini
Kuntowijoyo
Kurie Suditomo
Kurnia EF
Kurniawan
Kuswaidi Syafi'ie
Kuswinarto
Lan Fang
Landung Rusyanto Simatupang
Latief S. Nugraha
Leila S. Chudori
Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M)
Liestyo Ambarwati Khohar
Linda Sarmili
Liston P. Siregar
Liza Wahyuninto
LN Idayanie
Lucia Idayani
Lukman Asya
Lusiana Indriasari
Lynglieastrid Isabellita
M Hari Atmoko
M. Aan Mansyur
M. Arman A.Z
M. Bagus Pribadi
M. Fadjroel Rachman
M. Harya Ramdhoni Julizarsyah
M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S
M. Luthfi Aziz
M. Nahdiansyah Abdi
M. Raudah Jambak
M. Shoim Anwar
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Maghfur Saan
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Majalah Sastra Horison
Maklumat Sastra Profetik
Malkan Junaidi
Maman S. Mahayana
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maria Serenade Sinurat
Mario F. Lawi
Marluwi
Marsel Robot
Martin Aleida
Martin Suryajaya
Mashuri
Matdon
Mega Vristian
Melani Budianta
Melayu Riau
Memoar
MG. Sungatno
Mh Zaelani Tammaka
Miftah Fadhli
Miftahul Abrori
Misbahus Surur
Miziansyah J
Mochtar Lubis
Mohamad Ali Hisyam
Mohammad Eri Irawan
MT Arifin
Mugy Riskiana Halalia
Muhajir Arrosyid
Muhamad Rifai
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Al-Mubassyir
Muhammad Qodari
Muhammad Rain
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun A.S
Muhidin M. Dahlan
Muhlis Al-Firmany
Mujtahid
Mulyadi SA
Munawir Aziz
Murniati Tanjung
Murnierida Pram
Musa Ismail
Musfi Efrizal
Mustaan
Mustafa Ismail
N. Mursidi
Nafsul Latifah
Naskah Teater
Nasrullah Nara
Nelson Alwi
Nenden Lilis A
Nh. Anfalah
Ni Made Purnama Sari
Nina Mussolini-Hansson
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Noura
Nova Christina
Noval Jubbek
Novela Nian
Nugroho Notosusanto
Nugroho Pandhu Sukmono
Nur Faizah
Nurdin F. Joes
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nurul Komariyah
Nuryana Asmaudi SA
Nyoman Tusthi Eddy
Nyoman Wirata
Oka Rusmini
Oktamandjaya Wiguna
Oky Sanjaya
Olanama
Olivia Kristina Sinaga
Otto Sukatno CR
Pagelaran Musim Tandur
Pamusuk Eneste
Patricia Pawestri
PDS H.B. Jassin
PDS. H.B. Jassin
Penghargaan Hadiah Sastra Pusat Bahasa
Persda Network
Pipiet Senja
Pramoedya Ananta Toer
Pramono
Pranita Dewi
Pringadi AS
Prita Daneswari
Prof. Tamim Pardede sebut Bambang Tri
Prosa
Pudyo Saptono
Puisi
Puisi Kesunyian
Puisi Sufi
Puji Santosa
PUstaka puJAngga
Putu Fajar Arcana
Putu Wijaya
Qaris Tajudin
R. Sugiarti
Rachmad Djoko Pradopo
Radhar Panca Dahana
Ragdi F. Daye
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Ramadhan Batubara
Ramadhan KH
Ratih Kumala
Ratna Indraswari Ibrahim
Ratna Sarumpaet
Raudal Tanjung Banua
Remy Sylado
Reni Susanti
Renny Meita Widjajanti
Resensi
Restu Kurniawan
Retno Sulistyowati
RF. Dhonna
Rian Sindu
Ribut Wijoto
Ridwan Munawwar
Riki Utomi
Riris K. Toha-Sarumpaet
Risang Anom Pujayanto
Riza Multazam Luthfy
Robin Al Kautsar
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rohman Abdullah
Rosidi
Rosihan Anwar
Rukardi
S Yoga
S. Jai
S. Sinansari Ecip
S.I. Poeradisastra
S.W. Teofani
Sabam Siagian
Sabrank Suparno
Saiful Anam Assyaibani
Sainul Hermawan
Sajak
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Samsudin Adlawi
Sanggar Rumah Ilalang
Sanggar Teater Jerit
Sapardi Djoko Damono
Sartika Dian
Sartika Dian Nuraini
Sastra Tanah Air
Sastra Using
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sayyid Fahmi Alathas
Sazano
Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo
Seli Desmiarti
Selo Soemardjan
Senggrutu Singomenggolo
Seno Joko Suyono
SH Mintardja
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sipri Senda
Sitok Srengenge
Siwi Dwi Saputro
Sjifa Amori
Sobih Adnan
Sofian Dwi
Sofie Dewayani
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sri Ruwanti
Sri Wintala Achmad
St Sularto
Stefanus P. Elu
Sukron Abdilah
Sulaiman Djaya
Suminto A. Sayuti
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sungging Raga
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Suryansyah
Suryanto Sastroatmodjo
Susanto
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Suyadi
Suyadi San
Syaifuddin Gani
Syaiful Amin
Syamsiar Hidayah
Syarbaini
Syifa Amori
Syifa Aulia
Tajuddin Noor Ganie
Taufik Abdullah
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
TE. Priyono
Teguh Afandi
Teguh Ranusastra Asmara
Teguh Winarsho AS
Tengsoe Tjahjono
Theresia Purbandini
Tita Tjindarbumi
Titik Alva-Alvi Choiriyah
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Tjoet Nyak Dhien
Tosa Poetra
Tri Lestari Sustiyana
Triyanto Triwikromo
TS Pinang
Tu-ngang Iskandar
Tulus S
Tulus Wijanarko
Udo Z. Karzi
Ugoran Prasad
Umar Fauzi Ballah
Umar Kayam
Umbu Landu Paranggi
Universitas Indonesia
Universitas Jember
Utada Kamaru
UU Hamidy
Vera Ernawati
Veronika Ninik
W.S. Rendra
Wahjudi Djaja
Wahyu Hidayat
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Budiartha
Widya Karima
Wijaya Herlambang
Wiji Thukul
Willem B Berybe
Wilson Nadeak
Winarni R.
Wiratmo Soekito
Wita Lestari
Wiwik Widayaningtias
Y. Thendra BP
Y. Wibowo
Yasser Arafat
Yeni Ratnaningsih
Yohanes Sehandi
Yonatan Raharjo
Yonathan Rahardjo
Yopi Setia Umbara
Yos Rizal S
Yos Rizal Suriaji
Yudhi Herwibowo
Yuka Fainka Putra
Yurnaldi
Yushifull Ilmy
Yusri Fajar
Yusuf Suharto
Zainal Abidin
Zainal Arifin Thoha
Zawawi Se
Zen Hae
Tidak ada komentar:
Posting Komentar