Dian Hartati*
1. Nyanyian Alam di Suatu Sore
Sebuah perjalanan. Keberangkatan yang tak pernah direncanakan sebelumnya. Kepergian selalu dimulai petang hari. Tepat ketika matahari memutuskan diri untuk pulang setelah seharian menyinari bumi purba. Tak banyak perbekalan, tas punggung berwarna senja hanya berisikan sebotol air dan satu buah apel segar. Tak ada lagi yang dibawa selain satu senter kecil, korek api, sebuah peta lusuh, dan sebuah syal berwarna putih.
Seperti apakah perjalanan kali ini, tak ingin menduga-duga memikirkan suatu hal yang berada di luar jangkauan. Langkah pasti menjejakkan kaki di tanah-tanah tak bernama. Sepatu hitam setia menemani, langkah yang tak pernah mengenal lelah. Hitam yang mulai memudar. Terlihat beberapa jahitan koyak, mulai tak sempurna.
Setiap kelokan jalan hadirkan lanskap yang selalu berbeda. Mata bersitatap dengan keindahan mahaluas. Langit biru menaungi gerak tubuh, gemawan yang beriringan menemani sunyi. Sekawanan kelelawar bergerak menuju langit barat. Memasuki rimbun pohonan sambil mengeluarkan suara yang memekik.
Dengar gemuruh angin di seberang sungai kecil itu. Desirnya menerbitkan gigil di tubuh kurus. Menerbangkan bunga angin yang mulai bermekaran. Membuat sekeliling jadi serba putih. Haatchiihh…! Sesuatu yang tidak disukai mengawali perjalanan ini. Hidung jadi gatal, serbuk-serbuk bunga angin terhirup juga. Haatchiihh…! Mempercepat langkah meninggalkan kelok pertama menuju persimpangan di ujung jalan sana.
Tak ada penunjuk arah dan harus pandai menentukan pilihan kemana langkah akan diteruskan setelah persimpangan pertama. Lurus terus, belok ke kanan atau belok ke kiri. Kabut menghadang jauh di depan sana. Pastinya jarak pandang akan berkurang dan harus selalu berhati-hati dengan segala kemungkinan yang akan terjadi. Jika memilih berbelok ke kanan atau ke kiri hampar tanah yang rengkah menghadang. Perhatikan jalannya yang terjal lalu menurun tajam. Terdapat beberapa jenis tanaman sedang menunggu untuk dipanen. Perkampungan di bawah sana hanya menawarkan sepi. Serupa tak berpenghuni, terasa galib di senja berbayang.
Akhirnya kabut menantang di depan sana. Memasuki sebuah gerbang alam yang dipenuhi pohon-pohon berusia tua. Rembang petang memberikan suasana khas pada perjalanan yang belum diketahui akan berujung di mana. Nyanyian batang-batang bambu terdengar begitu merdu. Simfoni melarutkan setiap pejalan untuk singgah mengantarkan kerisik daun-daun.
2. Kerajaan Pohon-pohon Tua
Langkah begitu teratur seirama dengan lebur napas. Hangat udara mulai terasa. Sesuatu di depan sana membangkitkan keingintahuan. Pohonan dengan batang kasar berderet rapi. Usianya terbaca dari lingkar tahun, kambium-kambium kokoh menopang rangka sebelum jadi arang. Semua menjulang mencapai langit yang semakin pupus warnanya.
Daun-daun berbisik menceritakan bakal buah yang hendak ditetaskan. Daging yang tebal, rasa manis di sela-sela masam, gumpalan harapan mencapai kesempurnaan hidup. Memberikan sesuatu pada manusia yang biasanya lupa. Tak berterimakasih dan melupa dengan cara sembarang menebang atau membakar stomata yang sedang mendulang penghidupan, memunculkan titik-titik api dan meranggaskan segala kedamaian rimba.
Terdapat jejak-jejak kecil di beberapa batang pohonan. Di kayu berjenis bosi selalu ditemukan sisa cahaya. Warna kayu yang hitam begitu saja menjadikan batang-batang berkilauan setelah matahari tenggelam. Sebenarnya apa yang menyebabkan batang-batang itu berkilau. Sesuatu yang harus ditelusuri keberadaannya agar rasa penasaran terlunasi.
Hutan tropika selalu menyuguhkan berbagai wangi khas. Akar-akar berjuntaian meruapkan aroma tanah, daun-daun memanjakan mata dengan damainya. Lumut-lumut hijau pekat selembab udara di bawah canopy alam. Terdapat wangi perdu di sekitar sini. Aneh. Entah berapa jauh jarak yang harus ditempuh agar perdu yang bergerumbul dapat didekap dengan mudah. Hidung tak mungkin salah menangkap aroma itu.
Lain jenis lain jejak. Di batang kayu medang terdapat sesuatu yang basah. Cairan kental tidak beraroma, tentunya bukan getah. Siapa yang meninggalkan jejak aneh itu. Sementara angin yang datang tak juga mengeringkan cairan. Pastinya sesuatu itu begitu ringan hingga sulit ditemukan keberadaannya.
Bayang-bayang tubuh telah hilang. Sebenarnya langkah memerlukan senter, tapi berkat kilau di batang pohon jalan begitu mudah dilalui. Pesona semesta mengantarkan mata ke arah depan. Lurus. Tak bersusah-susah karena deret pohonan selalu mengiringi hati untuk berhitung. Satu, dua, tiga, empat, sampai ratusan pohonan. Tinggi mencapai angkasa. Di atas sana penglihatanku terhalang rimbun daun-daun yang bentuknya beragam.
Akhirnya peta dibentangkan. Ada di lintang berapa dan bujur mana hutan ini membawa petualangan yang sendiri. Derajat-derajat dalam peta ditafsirkan, menerka-nerka setiap sudut batas penglihatan. Utara-selatan dan barat-timur yang membingungkan. Kompas diperlukan saat ini. Mungkinkah langkah tersesat? Haruskah mengulang? Adakah peri hutan datang menolong, memberikan jawaban-jawaban untuk melegakan hati.
Angin menawan tubuh dengan gigilnya. Kembali mencermati berjenis-jenis tumbuhan yang tak diketahui struktur anatominya dengan jelas. Kayu giam dengan kokohnya menambah muram rimba. Peta lusuh semakin tak berguna di tengah kepungan daun-daun yang berserak. Seolah penunjuk arah, mata menembus deretan pohon mencoba menembus beribu-ribu anak panah yang siap dihunjamkan ke dada.
3. Mimpi Tahun-tahun Lampau
Ada sesuatu yang tidak pernah salah untuk dikenangkan, masa kecil misalnya. Sebuah kelahiran di tengah malam telah menakdirkan seorang ibu kehilangan nyawa. Menyerahkan segala cita-cita untuk sang anak pada kerabat. Memberikan pengertian melalui air susu yang belum tercecap. Begitulah dia tumbuh di tengah belantara kehidupan. Langit dan bumi adalah orangtua abadi yang selalu mengajarkan kerasnya batu pemahaman.
Hingga akhirnya di tahun kelima, dia dapat merasakan kehadiran seseorang yang lembut. Datang menjumpai setiap malam di mimpi-mimpi yang tak pernah sempurna dan selalu menghadirkan igau. Membelai raut wajah dengan kesahajaan. Bercerita tentang seorang yang berjiwa petualang. Menaklukkan samudera, merambah setiap hutan-hutan perawan, merawikan cerita dari mulut-mulut tak dikenal. Hingga kepulangan adalah sesuatu yang dilupa.
Di malam yang gasal dia bermimpi mengemudikan kendaraan langit. Mengantarkan tubuh mungilnya dari satu bintang ke bintang yang lain. Merasakan hangatnya bulan, seluas cahaya yang datang dari matahari. Membelah arakan gemawan merasakan titik-titik air yang lembut. Laju kendara di batas langit itu akhirnya tak dapat dikendalikan. Kemudian dia ingat tentang kecepatan tahun cahaya yang diceritakan seorang berjiwa petualang. Melesat. Tubuh bergerak di luar lintasan orbit, meninggalkan bumi, venus, merkurius, akhirnya menabrak matahari.
Peluh membasahi kening. Air matanya berurai menangis sejadi-jadinya. Mimpi. Dia rindu ibu. Akhirnya dia tahu apa artinya merindu. Sesuatu yang menyakitkan dan selalu menimbulkan tangis. Tak ada sesiapa di kamar temaram itu. Dia tahu tak ada gunanya menangis di malam yang larut. Kembali memejamkan mata namun urung. Sosok seorang berjiwa petualang datang membentuk siluet di benaknya.
Di tahun kesepuluh dia sudah pandai membaca. Cerita-cerita dalam buku selalu terbawa mimpi. Petualangannya tidak pernah sendiri selalu ada seorang yang berjiwa petualang menemani garis hidupnya. Menjelajahi setiap benua, benua mimpi. Menyelami dalamnya samudera, samudera mimpi. Mendatangi dimensi tak terbatas, dimensi mimpi.
Berbekal peta lusuh yang ditemukannya ketika bangun tidur hari-hari yang dijalani menjadi sangat berbeda. Selalu ada peristiwa-peristiwa menarik selepas pulang sekolah. Selembar daluang yang menggambarkan seluruh permukaan bumi menjadi teman setiap perjalanannya. Setelah itu jika rindu datang dia tak pernah menangis lagi.
4. Tiang-tiang Penyangga Bumi Langit
Satu gigitan apel dapat mengganjal perut yang lapar selama setengah hari. Duabelas jam adalah waktu yang diperlukan untuk mencapai bukit di batas kaki langit. Setiap akhir pekan dia selalu mendatangi bukit itu dengan berjalan kaki. Tak ada yang dilakukan di bukit itu selain menikmati hempas gelombang di bawah sana. Mendengarkan nyanyian purba yang dicipta semesta. Menikmati kepundan rekah yang asapnya mencoba menggapai langit.
Bukit itu menghubungkan musim-musim di beberapa kawasan yang dilalui khatulistiwa. Cuaca yang tak pernah menenangkan kantuknya. Tiba-tiba panas, tiba-tiba banjir, tiba-tiba air sulit ditemukan, tiba-tiba wabah datang, tiba-tiba musim kawin, tiba-tiba gunung meletus, tiba-tiba daratan hilang, tiba-tiba lempeng patah, tiba-tiba geletar bumi merusak sejarah sebuah kota, tiba-tiba semuanya menjadi serba tiba-tiba.
Sebelum pulang satu gigitan apel cukup menjaga kondisi tubuh agar tidak limbung. Berjalan kaki sambil menghitung kampung-kampung yang dilewati. Menepiskan dahaga dengan memanjat sebuah pohon yang menjulang tinggi. Ketika itu dia tidak tahu apa nama tumbuhan yang dapat menghasilkan berliter-liter minyak nabati. Pastinya menjadi panorama di setiap pesisir. Dalam perjalanan yang tidak singkat itu, dia selalu menanamkan mimpi untuk dipanen kemudian hari.
Lelah menyebabkan kantuk cepat datang. Kerabat yang ditinggalkan menjumpai dalam mimpi. Mereka semua tinggal di wilayah lain, tak jauh tempatnya hanya berbatas sungai. Tak pernah kering dan mampu menghidupi dua kawasan di sepanjang kanan dan kiri daerah aliran sungai. Pernah ditemukan sepasang alas kaki berwarna hitam di sungai itu dan digunakan setiap melakukan perjalanan. Begitupun ketika menjumpai kerabat di hari libur sekolah.
5. Lembah Kunang-kunang
Udara bertambah dingin sedang tubuh hanya dibalut sehelai kain. Kilau batang-batang kayu membuat kaki bebas berpijak. Semakin lama deret pohonan berkurang, serakkan daun tidak lagi memenuhi tanah lembab. Jalur setapak mulai melebar. Langit terhampar luas dan menampilkan berbagai konfigurasi bintang-bintang. Ternyata kawanan kelelawar itu memburu bintang barat, sang venus yang begitu benderang petang tadi. Gugus utarid mewakili merkurius saat ini. Mata begitu bebas memandang tak terhalang apapun.
Ternyata pohonan tadi membawa tubuh ke tempat terendah, berbagai jenis dan mengungkung tempat ini. Menjulang memisahkan tanah tinggi dan perkampungan di sisi kanan dan kiri. Gemercak air terdengar samar. Mungkinkah itu sungai yang dimanfaatkan penduduk untuk keperluan sehari-hari. Jalan semakin menurun dan menerbitkan rasa penasaran.
Gawir memantulkan bunyi air yang riuh, mungkin sudah dekat. Batu-batu besar tertata rapi di sepanjang sungai. Bulan di langit menuntun langkah semakin mendekat ke arah sumber air. Ternyata sebuah rongga besar di ujung sana menumpahkan air dengan begitu tenang. Langsung di tampung pipa-pipa besar dan dialirkan ke rumah-rumah penduduk tak jauh dari sini.
Setelah membasuh wajah dan puas meneguk jernihnya air, tubuh menjadi hangat. Dingin yang sedari tadi menemani menguap begitu saja. Beberapa saat setelah itu air menjadi berkilauan. Masih sunyi namun di antara semilir angin yang hangat terdengar lembut sayap-sayap mengepak. Bulan sembunyi di balik awan, tetapi lembah menjadi begitu terang.
Berbalik dan melihat kunang-kunang memenuhi lembah. Terbang melandai dan memencar ke segala penjuru. Baru kali ini mata bersitatap dengan jarak yang begitu dekat. Puluhan bahkan ratusan mungkin ribuan, hingga kerlap cahayanya yang memesona menerpa setiap sudut lembah ini. Hutan di belakang sana bersepakat dengan batang-batang kayu yang semakin cercah. Menyebar, hingga bubungan rumah-rumah penduduk terlihat jelas. Pendar cahayanya sampai juga di hampar kemunting di seberang sana. Tumbuhan perdu yang dimanfaatkan oleh penduduk dan dikenal sebagai ramuan obat sakit perut yang mujarab.
Semua terlampau silau, menyesakkan fokus mata. Terhuyung tinggalkan lembah mencari jalan pulang. Sasar langkah mencapai jalan utama yang hanya ditumbuhi kaliandra. Napas tak lagi berirama tenang. Botol air begitu saja kosong. Peluh berleleran di setiap inci tubuh.
Menanti lengkung pagi agar langkah pasti menuju timur. Lembah bisu, lembah kunang-kunang telah memaku setiap ingatan. Perjalanan yang tak pernah diduga bagi seorang petualang. Satelit bumi itu tak lagi muncul. Sesuatu berjatuhan dari langit begitu lembut namun tajam. Hujan. Baru kali ini tubuh merasakan hujan yang tiba-tiba dan seringkali mengaburkan mimpi.
SudutBumi, 2006
*)Sumber,http://sudutbumi.wordpress.com/
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Label
`Atiqurrahman
A Muttaqin
A Rodhi Murtadho
A. Iwan Kapit
A. Purwantara
A. Qorib Hidayatullah
A. Zakky Zulhazmi
A.H.J Khuzaini
A.S. Laksana
Aang Fatihul Islam
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi WM
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Lathief
Abdul Malik
Abdul Wachid B.S.
Abdurrahman El Husaini
Abidah El Khalieqy
Abu Salman
Acep Zamzam Noor
Achdiat K. Mihardja
Adek Alwi
Adi Suhara
Adnyana Ole
Adreas Anggit W.
Afrion
Afrizal Malna
Aguk Irawan MN
Agung Dwi Ertato
Agus B. Harianto
Agus Buchori
Agus Himawan
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus Sulton
Agusri Junaidi
Agustinus Wahyono
Ahda Imran
Ahmad Badrus Sholihin
Ahmad Fanani Mosah
Ahmad Fatoni
Ahmad Ikhwan Susilo
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Musabbih
Ahmad Rofiq
Ahmad Sahidah
Ahmad Tohari
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Muhaimin Azzet
Akhmad Sekhu
Alex R. Nainggolan
Alex Suban
Alunk Estohank
Ami Herman
Amien Kamil
Amien Wangsitalaja
Aminudin R Wangsitalaja
Anastasya Andriarti
Andreas Maryoto
Anes Prabu Sadjarwo
Angela
Angga Wijaya
Angkie Yudistia
Anindita S Thayf
Anis Ceha
Anjrah Lelono Broto
Anton Kurnia
Anton Kurniawan
Anton Wahyudi
Anugrah Gio Pratama
Anwar Nuris
Aprinus Salam
Arie MP Tamba
Arif B. Prasetyo
Arif Bagus Prasetyo
Arif Hidayat
Arman A.Z.
Arti Bumi Intaran
Arys Hilman
AS Sumbawi
Asarpin
Asef Umar Fakhruddin
Asep Sambodja
Asrama Mahasiswa Aceh SABENA
Astrikusuma
Asvi Warman Adam
Atep Kurnia
Awalludin GD Mualif
Aziz Abdul Gofar
Azizah Hefni
Badrut Tamam Gaffas
Bagja Hidayat
Bagus Takwin
Balada
Bale Aksara
Baltasar Koi
Bambang Agung
Bambang Kempling
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Bayu Insani
Beni Setia
Benny Arnas
Benny Benke
Berita
Berita Duka
Berita Utama
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Blambangan
Brunel University London
BSW Adjikoesoemo
Budaya
Budhi Setyawan
Budi Darma
Budi Saputra
Budi Suwarna
Bung Tomo
Cak Kandar
Catatan
Cerpen
Chairil Anwar
Chavchay Syaifullah
Cucuk Espe
Cunong N. Suraja
D. Zawawi Imron
Dadang Ari Murtono
Daisuke Miyoshi
Damanhuri
Damhuri Muhammad
Damiri Mahmud
Danarto
Daniel Dhakidae
Dante Alighieri
Deddy Arsya
Dedy Tri Riyadi
Denny Mizhar
Deny Tri Aryanti
Detti Febrina
Dharmadi
Diah Hadaning
Dian Hartati
Dian Sukarno
Diana A.V. Sasa
Dicky Fadiar Djuhud
Didi Arsandi
Dimas
Dina Oktaviani
Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan
Djadjat Sudradjat
Djoko Saryono
Doddi Ahmad Fauji
Doddy Hidayatullah
Donny Anggoro
Dony P. Herwanto
Dorothea Rosa Herliany
Dr. Muhammad Zafar Iqbal
Dr. Simuh
Dwi Arjanto
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwicipta
Dwijo Maksum
Edy A. Effendi
Edy Firmansyah
Efri Ritonga
Egidius Patnistik
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Eko Hendri Saiful
Elik
Elsya Crownia
Emha Ainun Nadjib
Endah Sulawesi
Endah Wahyuningsih
Endang Suryadinata
Endhiq Anang P
Endri Y
Eriyandi Budiman
Ernest Hemingway
Esai
Esha Tegar Putra
Eva Dwi Kurniawan
Evi Dana Setia Ningrum
Evi Idawati
Evieta Fadjar
F Rahardi
Fabiola D. Kurnia
Fadelan
Fahrudin Nasrulloh
Faidil Akbar
Faisal Kamandobat
Faisal Syahreza
Faizal Syahreza
Fajar Alayubi
Fandy Hutari
Fany Chotimah
Fatah Yasin Noor
Fathor Lt
Fathurrahman Karyadi
Fatih Kudus Jaelani
Fatma Dwi Rachmawati
Fauzi Absal
Festival Sastra Gresik
Fikri. MS
Fina Sato
Fitri Susila
Galih Pandu Adi
Gde Agung Lontar
Geger Riyanto
Gerakan Literasi
Gerakan Surah Buku (GSB)
Gerson Poyk
Ginanjar Rahadian
Gita Pratama
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gunawan Budi Susanto
Gunoto Saparie
Gus Martin
Gus tf Sakai
Gusti Eka
Hadi Napster
Haji Misbach
Halim HD
Halimi Zuhdy
Hamberan Syahbana
Hamdy Salad
Han Gagas
Handoko F. Zainsam
Hari Santoso
Haris del Hakim
Hartono Harimurti
Hary B. Kori’un
Hasan Gauk
Hasan Junus
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Hasta Indriyana
Helwatin Najwa
Hepi Andi Bastoni
Heri C Santoso
Heri KLM
Heri Latief
Heri Listianto
Hermien Y. Kleden
Hernadi Tanzil
Heru Emka
Heru Kurniawan
Heru Prasetya
Hesti Sartika
Hudan Hidayat
Humaidiy AS
I Made Asdhiana
I Made Prabaswara
I Nyoman Suaka
IBM. Dharma Palguna
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
Ida Ahdiah
Idayati
Ignas Kleden
Ihsan Taufik
Ilenk Rembulan
Ilham Khoiri
Ilham Yusardi
Imam Cahyono
Imam Jahrudin Priyanto
Imam Muhtarom
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Rosyid
Imron Tohari
Indah Darmastuti
Indiar Manggara
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Indrian Koto
Irma Safitri
Irman Syah
Iskandar Noe
Istiqomatul Hayati
Ita Siregar
Iwan Kurniawan
Iwan Nurdaya-Djafar
Iyut FItra
Jadid Al Farisy
Jafar M. Sidik
Jakob Sumardjo
Jamal D Rahman
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jayaning S.A
Jefri al Malay
Jihan Fauziah
JJ. Kusni
Jo Pakagula
Johan Edy Raharjo
Joko Pinurbo
Jokowi Undercover
Joni Ariadinata
Joss Wibisono
Jual Buku Paket Hemat
Judyane Koz
Juli Sastrawan
Junaidi Abdul Munif
Jusuf AN
Juwairiyah Mawardy
Kadir Ruslan
Kasnadi
Katrin Bandel
Kedung Darma Romansha
Khairul Mufid Jr
Khamami Zada
Khrisna Pabichara
Kikin Kuswandi
Koh Young Hun
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias
Komunitas Sastra Ilalang Indonesia (KSII)
Korrie Layun Rampan
Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan)
Kristianto Batuadji
Kritik Sastra
Kunni Masrohanti
Kunthi Hastorini
Kuntowijoyo
Kurie Suditomo
Kurnia EF
Kurniawan
Kuswaidi Syafi'ie
Kuswinarto
Lan Fang
Landung Rusyanto Simatupang
Latief S. Nugraha
Leila S. Chudori
Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M)
Liestyo Ambarwati Khohar
Linda Sarmili
Liston P. Siregar
Liza Wahyuninto
LN Idayanie
Lucia Idayani
Lukman Asya
Lusiana Indriasari
Lynglieastrid Isabellita
M Hari Atmoko
M. Aan Mansyur
M. Arman A.Z
M. Bagus Pribadi
M. Fadjroel Rachman
M. Harya Ramdhoni Julizarsyah
M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S
M. Luthfi Aziz
M. Nahdiansyah Abdi
M. Raudah Jambak
M. Shoim Anwar
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Maghfur Saan
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Majalah Sastra Horison
Maklumat Sastra Profetik
Malkan Junaidi
Maman S. Mahayana
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maria Serenade Sinurat
Mario F. Lawi
Marluwi
Marsel Robot
Martin Aleida
Martin Suryajaya
Mashuri
Matdon
Mega Vristian
Melani Budianta
Melayu Riau
Memoar
MG. Sungatno
Mh Zaelani Tammaka
Miftah Fadhli
Miftahul Abrori
Misbahus Surur
Miziansyah J
Mochtar Lubis
Mohamad Ali Hisyam
Mohammad Eri Irawan
MT Arifin
Mugy Riskiana Halalia
Muhajir Arrosyid
Muhamad Rifai
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Al-Mubassyir
Muhammad Qodari
Muhammad Rain
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun A.S
Muhidin M. Dahlan
Muhlis Al-Firmany
Mujtahid
Mulyadi SA
Munawir Aziz
Murniati Tanjung
Murnierida Pram
Musa Ismail
Musfi Efrizal
Mustaan
Mustafa Ismail
N. Mursidi
Nafsul Latifah
Naskah Teater
Nasrullah Nara
Nelson Alwi
Nenden Lilis A
Nh. Anfalah
Ni Made Purnama Sari
Nina Mussolini-Hansson
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Noura
Nova Christina
Noval Jubbek
Novela Nian
Nugroho Notosusanto
Nugroho Pandhu Sukmono
Nur Faizah
Nurdin F. Joes
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nurul Komariyah
Nuryana Asmaudi SA
Nyoman Tusthi Eddy
Nyoman Wirata
Oka Rusmini
Oktamandjaya Wiguna
Oky Sanjaya
Olanama
Olivia Kristina Sinaga
Otto Sukatno CR
Pagelaran Musim Tandur
Pamusuk Eneste
Patricia Pawestri
PDS H.B. Jassin
PDS. H.B. Jassin
Penghargaan Hadiah Sastra Pusat Bahasa
Persda Network
Pipiet Senja
Pramoedya Ananta Toer
Pramono
Pranita Dewi
Pringadi AS
Prita Daneswari
Prof. Tamim Pardede sebut Bambang Tri
Prosa
Pudyo Saptono
Puisi
Puisi Kesunyian
Puisi Sufi
Puji Santosa
PUstaka puJAngga
Putu Fajar Arcana
Putu Wijaya
Qaris Tajudin
R. Sugiarti
Rachmad Djoko Pradopo
Radhar Panca Dahana
Ragdi F. Daye
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Ramadhan Batubara
Ramadhan KH
Ratih Kumala
Ratna Indraswari Ibrahim
Ratna Sarumpaet
Raudal Tanjung Banua
Remy Sylado
Reni Susanti
Renny Meita Widjajanti
Resensi
Restu Kurniawan
Retno Sulistyowati
RF. Dhonna
Rian Sindu
Ribut Wijoto
Ridwan Munawwar
Riki Utomi
Riris K. Toha-Sarumpaet
Risang Anom Pujayanto
Riza Multazam Luthfy
Robin Al Kautsar
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rohman Abdullah
Rosidi
Rosihan Anwar
Rukardi
S Yoga
S. Jai
S. Sinansari Ecip
S.I. Poeradisastra
S.W. Teofani
Sabam Siagian
Sabrank Suparno
Saiful Anam Assyaibani
Sainul Hermawan
Sajak
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Samsudin Adlawi
Sanggar Rumah Ilalang
Sanggar Teater Jerit
Sapardi Djoko Damono
Sartika Dian
Sartika Dian Nuraini
Sastra Tanah Air
Sastra Using
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sayyid Fahmi Alathas
Sazano
Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo
Seli Desmiarti
Selo Soemardjan
Senggrutu Singomenggolo
Seno Joko Suyono
SH Mintardja
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sipri Senda
Sitok Srengenge
Siwi Dwi Saputro
Sjifa Amori
Sobih Adnan
Sofian Dwi
Sofie Dewayani
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sri Ruwanti
Sri Wintala Achmad
St Sularto
Stefanus P. Elu
Sukron Abdilah
Sulaiman Djaya
Suminto A. Sayuti
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sungging Raga
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Suryansyah
Suryanto Sastroatmodjo
Susanto
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Suyadi
Suyadi San
Syaifuddin Gani
Syaiful Amin
Syamsiar Hidayah
Syarbaini
Syifa Amori
Syifa Aulia
Tajuddin Noor Ganie
Taufik Abdullah
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
TE. Priyono
Teguh Afandi
Teguh Ranusastra Asmara
Teguh Winarsho AS
Tengsoe Tjahjono
Theresia Purbandini
Tita Tjindarbumi
Titik Alva-Alvi Choiriyah
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Tjoet Nyak Dhien
Tosa Poetra
Tri Lestari Sustiyana
Triyanto Triwikromo
TS Pinang
Tu-ngang Iskandar
Tulus S
Tulus Wijanarko
Udo Z. Karzi
Ugoran Prasad
Umar Fauzi Ballah
Umar Kayam
Umbu Landu Paranggi
Universitas Indonesia
Universitas Jember
Utada Kamaru
UU Hamidy
Vera Ernawati
Veronika Ninik
W.S. Rendra
Wahjudi Djaja
Wahyu Hidayat
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Budiartha
Widya Karima
Wijaya Herlambang
Wiji Thukul
Willem B Berybe
Wilson Nadeak
Winarni R.
Wiratmo Soekito
Wita Lestari
Wiwik Widayaningtias
Y. Thendra BP
Y. Wibowo
Yasser Arafat
Yeni Ratnaningsih
Yohanes Sehandi
Yonatan Raharjo
Yonathan Rahardjo
Yopi Setia Umbara
Yos Rizal S
Yos Rizal Suriaji
Yudhi Herwibowo
Yuka Fainka Putra
Yurnaldi
Yushifull Ilmy
Yusri Fajar
Yusuf Suharto
Zainal Abidin
Zainal Arifin Thoha
Zawawi Se
Zen Hae
Tidak ada komentar:
Posting Komentar