Maman S. Mahayana
Dari manakah kita memulai jika hendak mengungkapkan kebudayaan Melayu sebagai salah satu simpul ingatan keserumpunan? Produk kebudayaan Melayu yang manakah yang segera muncul dalam ingatan ketika kita membicarakan kebudayaan Melayu? Sejarah Melayu yang mengungkapkan silsilah raja-raja Melayu, Gurindam Dua Belas—Raja Ali Haji yang penuh nasihat luhur tentang kehidupan, Serampang Dua Belas dengan gerak gemulai yang meliuk dinamis, atau pantun yang unik, sederhana, dan penuh misteri? Pertanyaan lain tentu masih dapat kita kemukakan. Tetapi, ketika kita hendak mencari sebuah ikon yang dapat dianggap merepresentasikan ruh kebudayaan Melayu, boleh jadi kita akan sampai pada pantun. Mengapa pantun dan bukan produk kebudayaan Melayu lain yang sangat mungkin lebih kaya dan memukau? Ada banyak alasan yang melatarbelakangi pilihan pada pantun.
Pertama, pantun tercatat sebagai salah satu produk kebudayaan Melayu yang sejak lama menjadi objek kajian para peneliti dari mancanegara. Pidato Hoesein Djajadiningrat pada Peringatan 9 Tahun berdirinya Sekolah Hakim Tinggi di Betawi, 28 Oktober 1933, mengungkapkan, bahwa pantun telah sejak tahun 1688 menarik perhatian para peneliti Barat. Sedikitnya 20-an tulisan mereka yang dibicarakan Djajadiningrat cenderung keliru memahami pantun, karena ukuran yang digunakannya tidak lain dari persajakan Barat.
Cara pandang Barat yang kemudian keliru menempatkan pantun, juga dikemukakan Intojo. Ia menolak anggapan bahwa pantun tidak lebih dari hasil improvisasi (karangan dadakan) dan isinya amoreus (berhubungan dengan percintaan). Belakangan, Hasan Junus juga mencermati kesilapan yang dilakukan Francois-Rene Daillie dalam menerjemahkan Kalau tidak dengan sucinya? menjadi If it be not neat and clean? yang menurut Junus lebih tepat menjadi If it not with its embroidery? Itulah beberapa contoh, betapa usaha memahami pantun mestinya berdasarkan pemikiran, ukuran atau sudut pandang pantun itu sendiri yang tidak terlepas dari lingkungan sosial budaya yang melahirkannya.
Sejak tahun 1688 sampai 1988 saat buku Alam Pantun Melayu: Studies on the Malay Pantun (Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, 1988) karya Francois-Rene Daillie terbit, entah sudah berapa ratus orang melakukan penelitian mengenai pantun. Belakangan, Dewan Bahasa dan Pustaka menerbitkan Kumpulan Pantun Lisan Melayu bertajuk Kurik Kundi Merah Saga (1990) memuat 5.653 buah pantun dan Sekalung Budi Seuntai Bahasa (1990) menambah daftar panjang buku kumpulan dan pembicaraan mengenai pantun.
Begitu ramainya peneliti (Barat) terjerat oleh pesona pantun, maka niscaya ada sesuatu di sebaliknya. Niscaya pula ada banyak kekayaan tersembunyi yang memang sepantasnya dibincangkan. Pantun seolah-olah telah memancarkan semacam mysterium tremendum et fascinosum –misteri yang dahsyat menggetarkan dan menakjubkan—yang tiada habisnya menggoda para peneliti untuk terus mengungkap kekayaan maknanya, mencoba memahami estetika –dan mungkin juga misteri— yang berada di belakangnya.
Kedua, dibandingkan dengan jenis kesenian lain yang lahir di alam Melayu, pantun relatif tidak terikat oleh batasan usia, jenis kelamin, stratifikasi sosial, dan hubungan darah. Di sana ada pantun kanak-kanak, ada pula pantun remaja, pantun dewasa, dan pantun orang tua-tua yang secara langsung terpecah pula kepada kategori-kategori tertentu, seperti pantun usik-mengusik, pantun jenaka, pantun pengajaran, pantun pendidikan, dan berbagai kategori lagi. Ini menunjukkan bahwa pantun dapat dimainkan, dipahami dan berlaku untuk semua usia. Kaum perempuan dan laki-laki, juga dapat seenaknya bersahut-sahutan, bercanda dan bersenda-gurau, bahkan membujuk-rayu melalui pantun. Kaum bangsawan, pejabat negara, dan rakyat jelata, orang kaya atau orang miskin, saudara sekandung atau bukan, tetangga atau tetamu, bahkan juga orang asing, tidak dilarang bermain atau membacakan pantun. Siapa pun boleh dan punya hak untuk berpantun. Dengan begitu, pantun berlaku untuk semua orang. Ia terbebas dari segala ikatan usia, agama, golongan, jenis kelamin, dan kelas sosial. Pantun menjadi seperti sesuatu yang hidup dan dihidupi masyarakatnya.
Ketiga, pantun dapat digunakan di sembarang tempat, dalam berbagai suasana, atau dalam kegiatan apapun. Ketika sedih atau gembira, orang dapat melantunkan pantun. Seorang pejabat negara dalam pidato resminya, boleh saja menyelipkan pantun. Seorang khatib dalam khotbah keagamaannya, elok pula jika memasukkan pantun di antara fatwa atau ceramah agama yang disampaikannya. Demikian pula, dalam upacara perkawinan, boleh saja orang menyampaikan petuah dan nasihatnya melalui pantun. Dengan begitu, pantun telah menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan sehari-hari masyarakat Melayu. Pantun telah menyelusup dan masuk ke berbagai aspek kegiatan kehidupan masyarakat Melayu. Ia boleh berada di mana saja, kapan saja, dan dapat dibawakan siapa saja, tanpa khawatir melanggar tabu. “Pantun telah menjadi alat komunikasi yang lebih luas, di peringkat massa.”
Pertanyaannya kini: mengapa masyarakat Melayu begitu dekat dengan pantun? Sebagai salah satu bentuk kesenian yang lahir dari naluri budaya masyarakat Melayu, pantun sangat mungkin sudah ada jauh sebelum Islam masuk. Tetapi, dibandingkan dengan sejumlah jenis kesenian lain yang hidup di alam Melayu, pantun relatif dapat bertahan meskipun pemakaiannya lebih banyak memanfaatkan pantun-pantun lama atau sengaja dibuat untuk lirik lagu pop atau dikemas dengan menciptakan idiom atau ungkapan-ungkapan baru. Berdasarkan pemikiran itu, pertanyaan berikutnya yang dapat kita ajukan adalah adakah sesuatu yang khas dan istimewa yang dimiliki pantun. Niscaya ada sesuatu yang luar biasa yang melekat dalam pantun. Niscaya pula ada penjelasannya mengenai sesuatu yang luar biasa itu. Dalam hal ini, pantun tak sekadar berurusan dengan kesamaan bunyi a-b-a-b atau hanya berkaitan dengan masalah sampiran dan isi yang telah begitu banyak dibincangkan para peneliti, tetapi juga pastilah ada masalah yang lebih radikal dan filosofis yang mendasarinya. Pasti ada penjelasan yang berkaitan dengan alam pikiran masyarakat Melayu.
***
Dari begitu banyak tulisan yang membicarakan pantun, sebagian besar memusatkan perhatiannya pada tiga pokok persoalan: (1) asal kata pantun dan usaha membandingkannya dengan pola persajakan sejenis yang terdapat di beberapa daerah dan negara lain, (2) fungsi dua larik pertama yang lazim disebut sampiran atau pembayang dan dua larik terakhir yang ditempatkan sebagai isi atau pesan pantun yang bersangkutan, dan (3) pengkategorisasian jenis pantun dan kedudukannya dalam masyarakat.
Setumpuk tulisan itu tentu saja sangat penting, tidak hanya menegaskan –dan sekaligus mengukuhkan—bahwa pantun sememangnya merupakan hasil kesusastraan asli Melayu yang khas, unik, dan menakjubkan, tetapi juga mengungkapkan betapa pantun begitu besar pesonanya, sehingga banyak peneliti yang coba menguak tabir pesonanya. Di luar ketiga pokok persoalan tersebut, tulisan-tulisan yang agak berlainan –meski tidak begitu mendalam—juga mengisyaratkan adanya sesuatu yang penting dalam pantun yang belum terungkapkan. Beberapa tulisan itu memang melihat pantun dalam perspektif yang lain. Zainal Abidin Borhan, misalnya, melihat –secara tematik— pantun dan peribahasa Melayu dalam hubungan dengan pencarian jati diri dan semangat nasionalisme, Philip L. Thomas mengkajinya melalui aspek fonologis dan semantik, dan Hassan Ahmad yang meneruskan gagasan Prof. Ungku Aziz yang hendak membuktikan bahwa pantun membayangkan dua bagian minda Melayu, yaitu minda sebelah kiri dan minda sebelah kanan, seperti bermaksud menawarkan pandangan baru mengenai pantun sebagai produk pemikiran bangsa Melayu.
Tulisan ini mencoba menempatkan pantun sebagai ikon kebudayaan Melayu. Dengan demikian, saya mencoba melihat pantun sebagai sebuah wacana tekstual, dan sekaligus juga sebagai sebuah wacana kontekstual. Perhatikanlah pantun di bawah ini.
Pisang emas dibawa berlayar
Masak sebiji di atas peti
Hutang emas boleh dibayar
Hutang budi dibawa mati
Salah satu ciri khas yang menandai pantun adalah adanya dua larik pertama yang disebut sampiran atau pembayang (Pisang emas dibawa berlayar/Masak sebiji di atas peti), dan dua larik kedua yang disebut isi (Hutang emas boleh dibayar/Hutang budi dibawa mati). Hubungan sampiran dan isi, secara semantis sering kali terkesan tidak ada hubungannya. Perhatikan saja, adakah kaitan antara Pisang emas dibawa berlayar dengan Hutang emas boleh dibayar? Demikian juga, bagaimana kita menjelaskan hubungan antara Masak sebiji di atas peti dengan Hutang budi dibawa mati? Sebagai sebuah nasihat untuk menekankan hutang emas boleh dibayar/hutang budi dibawa mati, boleh saja orang beranggapan bahwa hubungan antara sampiran dan isi lebih merupakan anasir psikologis. Orang akan lebih menerima sebuah nasihat atau sindiran jika lebih dahulu diawali pembayang (sampiran). Itulah salah satu alasan, bahwa antara sampiran dan isi sesungguhnya ada kaitannya.
I.R. Poedjawijatna, misalnya, mengatakan:
Menyatakan rasa kasih sayang, benci atau tidak suka itu tidaklah mudah. Jika kata-kata yang mengandung rasa tersebut sekonyong-konyong dituturkan, ada kalanya sasarannya itu tidak segera menangkapnya karena kurang mendengar, sebab hatinya belumlah sungguh-sungguh terbuka. Betapakah sulitnya bagi orang tadi, jika kata-kata tadi harus diulangi …. Tetapi jika orang mempergunakan pantun, maka tak usahlah orang khawatir, kalau-kalau orang yang diajak berbicara itu tidak memperhatikan katanya, sebab waktu ia mengucapkan sampiran, sudahlah lawannya berbicara itu mulai memperhatikan kata-kata yang akan dituturkan yang mengandung isi kalbunya.
Terlepas dari persoalan apakah sampiran ada hubungannya dengan isi atau tidak, saya melihatnya –secara ontologis—sampiran niscaya tidak hadir begitu saja. Keberadaan sampiran mesti dicurigai punya kaitan dengan isi. Atau, paling tidak, harus ada penjelasan, mengapa si pemantun yang hendak menyampaikan nasihatnya: Hutang emas boleh dibayar/Hutang budi dibawa mati harus mengawalinya dahulu dengan sampiran: Pisang emas dibawa berlayar/Masak sebiji di atas peti? Tentu ada sesuatu di balik itu. Kalaupun sampiran itu dibuat sekadar pemanis bunyi, niscaya ia tidak serta-merta lahir begitu saja. Sangat mungkin ia merupakan simbolisasi dari proses berpikir si pemantun. Jika demikian, sudah barang tentu lahirnya sampiran sangat dipengaruhi oleh minda si pemantun yang tidak dapat melepaskan diri dari lingkungan sosial budaya di sekitarnya.
Mencermati sejumlah besar pantun, ada kecenderungan khas menandai sampiran. Sedikitnya ada lima kecenderungan, yaitu: (1) sampiran lazimnya mengungkapkan citraan alam dan benda-benda kongkret, (2) hubungan antarkata dalam satuan sintaksis dan semantis, seringkali tidak logis, (3) sebagai konsekuensi butir kedua, maka kalimat dalam sampiran tidak mudah dipahami, (4) satuan kalimat dalam sampiran tampak lebih kompleks, dan (5) mengingat sampiran lebih menekankan pada bunyi, dan bukan makna, maka ada semacam licentia poetica yang digunakan pemantun, yaitu kebebasan untuk menyimpang dari kenyataan, dari bentuk atau aturan konvensional untuk menghasilkan efek yang dikehendaki.
Kecenderungan yang tampak dalam sampiran itu ternyata tidak terlihat dalam isi atau pada dua larik berikutnya. Isi pantun sebagian besar mengungkapkan (1) perkara tingkah laku, moral, etika yang semuanya berpulang pada diri individu, (2) hubungan antarkata dalam satuan sintaksis dan semantis, dapat terterima dan logis, (3) tata kalimat relatif dapat dipahami, (4) menggunakan kalimat sederhana, dan (5) memperhatikan konvensi yang berlaku. Untuk jelasnya, perhatikan perbedaan sampiran dan isi berikut ini
SAMPIRAN ISI
citraan alam dan benda kongkret perilaku individu dan benda abstrak
hubungan sintaksis dan semantis tak logis hubungan sintaksis-semantis logis
makna kalimat sulit dipahami makna kalimat mudah dipahami
logika bahasa kompleks logika bahasa sederhana
menyimpang dari konvensi memperhatikan konvensi
Memperhatikan dua larik pertama (sampiran) dan dua larik kedua (isi) pantun, sangat mungkin pantun sesungguhnya merupakan simbolisasi alam pemikiran orang Melayu yang melihat dunia dalam dua tataran, yaitu tataran makrokosmos dan mikrokosmos. Citraan alam beserta benda-benda seisinya adalah dunia makro. Manusia adalah sebuah titik kecil dari dunia makro itu. Ketika manusia berhadapan dengan fenomena alam, tidak terhindarkan ada banyak perkara yang tidak dapat dipahaminya. Dengan demikian, meski manusia –dalam konsep Islam—bertindak sebagai khalifah di bumi, manusia sendiri sering kali menempatkan alam sebagai sebuah misteri yang tak kunjung terpecahkan. Kehidupan makrokosmos berada dalam tataran metafisika. Rasio manusia tidak pernah mampu menjelaskan secara tuntas rahasia-rahasia alam itu. Jika manusia sendiri merupakan misteri bagi manusia, bagaimana pula ia dapat memahami jagat raya yang jauh lebih luas. Untuk mengatasi masalah ini, pertama-tama manusia mesti memahami lebih dahulu gejala alam. Paling tidak meleburkan dirinya dengan alam, menjadi bagian yang tak terpisahkan dari alam, dan jika tidak dapat berbuat itu, melakukan persahabatan dengan alam.
Demikianlah, kini kita dapat memahami, mengapa bagian sampiran dalam pantun dominan memanfaatkan benda-benda alam. Imaji-imaji tentang alam itu tidak hanya merupakan representasi dari kedekatan manusia (Melayu) dengan alam, dan sekaligus juga mengisyaratkan ketidakmampuannya memahami fenomena alam. Oleh karena itu, sampiran yang sering menggunakan kalimat kompleks, tidak logis, sulit dipahami, dan menyimpang dari konvensi boleh jadi merupakan juga representasi dari bentuk ketidaksadaran si pemantun (orang Melayu) dalam berhadapan dengan misteri kehidupan makrokosmos.
Perlu juga diperhatikan bagian isi pantun yang sebagian besar cenderung mengangkat persoalan etik, adab, moral, atau perilaku. Di sana, si pemantun sering kali lebur dan hampir tak hendak menyatakan dirinya dengan identitas tertentu. Ia sepertinya merasa lebih aman menjadi bagian dari alam atau berlindung dalam lingkaran alam. Jadi, jika van Peursen menyebut dunia mitis ditandai oleh rasa takut dalam diri manusia terhadap daya-daya purba dalam hidup dan alam raya, maka si pemantun (: orang Melayu) lebih memilih melakukan persahabatan—persaudaraan dengan alam. Alam menjadi bagian dirinya yang harus diperlakukan sebagaimana manusia menjalankan norma, etika, moral, dan adab sopan-santun yang berlaku dalam hubungan antarmanusia dan dalam hubungannya dengan alam raya. Begitulah perhubungan sampiran dan isi dalam pantun menjadi bagian penting dalam usaha memahami alam pikiran dunia Melayu.
Lalu bagaimanakah orang Melayu harus menyikapi misteri fenomena alam itu? Isi pantun itulah jawabannya. Dalam hal ini, isi pantun yang diuntaikan dalam kalimat yang logis, mudah dipahami, banyak membicarakan perkara etika, moral, adab sopan-santun, perilaku, dan berbagai nasihat lainnya, merupakan imbauan langsung untuk menjaga tata hubungan antara individu dengan individu atau individu dengan kehidupan alam yang berada di sekitarnya. Manusia harus terus-menerus menjaga hubungan harmonis dengan alam. Hanya dengan cara itulah, hubungan makrokosmos (jagat raya) dan mikrokosmos (individu manusia) akan tetap terjaga secara baik. Jadi, hubungan sampiran dan isi dalam pantun sesungguhnya merupakan pesan ontologis, bagaimana manusia harus menyikapi keberadaan dirinya dalam lingkungan sosial dan dalam persaudaraannya dengan alam.
Hubungan makrokosmos dan mikrokosmos dalam alam pikiran masyarakat Melayu tentu saja berkaitan juga dengan sistem kepercayaan yang mendasarinya. “Perbincangan tentang kepercayaan tradisional orang Melayu mestilah bertolak daripada titik kenyataan bahawa orang Melayu adalah beragama Islam. Dalam kehidupan sebuah komuniti Melayu, kepercayaan dan perlakuan mempunyai rujukan kepada kehendak-kehendak ajaran Islam yang ideal.” Dengan demikian, meskipun sangat mungkin pantun lahir sebelum Islam masuk ke Semenanjung Melayu ini, sebagai produk budaya sewajarnya jika pantun sebagai seni sastra yang memperlihatkan “teknik layangan serta bayangan makna, dunia yang berbahagi dua, kepadatan, imej-imej yang luar biasa, bahasa yang merdu menjadi alat-alat yang sering dipakai dan seperti teruji dasarnya,” didekati pula melalui doktrin Islam.
Barangkali pendekatan pantun melalui doktrin Islam, tampak berlebihan. Sebagai sebuah kajian, cara apapun yang dilakukan untuk mengungkap kekayaan makna pantun, tentu saja dibolehkan dan sah. Soalnya, pola sampiran dan isi dalam pantun seperti itu dalam doktrin Islam ternyata seperti sejalan dengan logika dalam kalimat syahadat yang terdiri dari syahadat Allah dan syahadat Rasul. Syahadat Allah sebagai persaksian keberadaan Allah merupakan bagian dari kepercayaan manusia (:keberimanan umat Islam) yang bersifat transenden. Keberimanan terhadapAllah bersifat mutlak dan usaha-usaha untuk mempertanyakan keberadaan-Nya akan terbentur pada keterbatasan rasio manusia untuk menjelaskannya. Allah berada dalam wilayah metarasional. Jika alam dan jagat raya itu saja sudah menjadi misteri yang tak terpecahkan bagi manusia, maka tentu saja keberadaan Allah, jauh melampaui itu.
Berbeda dengan syahadat Allah yang berada dalam wilayah metarasional, syahadat Rasul masih mungkin terjangkau oleh rasio manusia. Keberadaan Muhammad SAW sebagai Rasul Allah masih mungkin dapat ditelusuri melalui kajian historis. Syahadat bagi umat Islam merupakan petunjuk adanya dua dunia, yaitu dunia yang berada dalam tataran metarasional (syahadat Allah) dan dunia yang berada dalam tataran rasional (syahadat Rasul). Implementasi dua dunia itu dijabarkan lagi ke dalam apa yang disebut rukun iman, yaitu seperangkat keniscayaan umat Islam terhadap dunia transenden, dan rukun Islam, yaitu seperangkat kewajiban umat Islam yang harus dijalankan secara konsekuen.
Pertanyaannya: bagaimana kaitan syahadat dengan pantun dan apa pula maknanya? Boleh jadi pantun lahir dari kesadaran –atau ketidaksadaran—si pemantun terhadap misteri alam dan tugas manusia sebagai khalifah di bumi. Sampiran dalam pantun yang cenderung memanfaatkan citraan-citraan alam berikut benda-benda dan seisinya sangat mungkin dimaksudkan sebagai isyarat ketakjuban dan sekaligus ketidakpahamannya terhadap jagat raya yang memang penuh misteri. Maka agar terjadi hubungan yang harmonis antara manusia dengan alam, manusia mestilah menjalankan tugasnya sesuai dengan norma, etika, dan adab sopan-santun yang berlaku. Dengan demikian, fungsi sampiran dan isi dalam pantun merupakan bagian yang saling berkait, komplementer, tak terpisahkan, dari gambaran mengenai dua dunia, yaitu makrokosmos dan mikrokosmos.
***
Sebagai sebuah wacana, hubungan sampiran dan isi dalam pantun mengisyaratkan sebuah wacana yang koheren. Sampiran yang maknanya dalam satuan sintaksis dan semantis sering melanggar konvensi, mencitrakan sebuah situasi tertentu (situasional), dan bersifat sangat kontekstual sesungguhnya termasuk ke dalam kategori wacana lisan. Dalam wacana lisan, penutur meski sangat terikat oleh konteksnya, justru –dalam hal tertentu—terbebas dari konvensi tata bahasa yang berlaku dalam wacana tertulis. Kata itu yang dituturkan sambil menunjuk sebuah kursi atau kata ini yang menunjuk buku dalam wacana lisan hanya dapat dipahami jika pendengar atau lawan bicara melihat acuannya (kursi dan buku). Ketika kata itu dan ini memasuki wacana tulis, tidak dapat lain, acuannya harus hadir dan dieksplisitkan. Itulah salah satu problem wacana tulis yang terikat dan tunduk pada konvensi bahasa yang berlaku dalam masyarakat bahasa bersangkutan. Itu pula sebabnya, wacana tulis bersifat relasional yang mensyaratkan sebuah makna atau pesan tertentu dalam satuan bahasa yang membangun kalimat. Di samping itu, wacana tulis bersifat ko-tekstual yang mensyaratkan adanya makna atau pesan dalam hubungan antarkalimat.
Demikianlah, sampiran Pisang emas dibawa berlayar/Masak sebiji di atas peti cenderung memperlihatkan sebagai sebuah wacana lisan daripada wacana tulis. Secara sintaksis, larik pertama dan kedua memang terterima, tetapi bagaimana menjelaskan hubungan Pisang emas dibawa berlayar/Masak sebiji di atas peti. Jika kedua larik itu berbunyi, misalnya, Pedang emas boleh ditawar/Selang sehari harga tak jadi, barangkali lebih terterima sebagai sebuah wacana tulis. Tetapi kesan spontanitas yang menandai ujaran lisan dan citraan alam yang menjadi salah satu ciri estetik pantun, justru tidak muncul.
Keadaannya berbeda dengan isi pantun dalam dua larik berikutnya: Hutang emas boleh dibayar/Hutang budi dibawa mati yang merupakan bentuk wacana tulis. Relasi antarsatuan bahasa dalam Hutang emas boleh dibayar dan Hutang budi dibawa mati, secara sintaksis dan semantis, terterima. Hubungan Hutang emas boleh dibayar dengan Hutang budi dibawa mati, secara ko-tekstual menegaskan bahwa hutang budi tak dapat dibayar dengan apa pun, karena budi akan terus dibawa sampai yang akhir hayat. Satu penegasan betapa budi jauh lebih berharga dibandingkan emas atau barang apa pun. Jadi, sebagai sebuah wacana tulis, isi pantun yang terdapat dalam dua larik terakhir memperlihatkan kesempurnaannya. Larik Hutang emas boleh dibayar barulah memperoleh kelengkapannya ketika diikuti larik berikutnya: Hutang budi dibawa mati.
Dari uraian di atas, jelaslah bahwa sebagai sebuah wacana, pantun dibangun oleh dua wacana, yaitu wacana lisan (sampiran) dan wacana tulis (isi). Ia sungguh merupakan karya sastra yang menuntut kreativitas yang tinggi dengan tetap mempertimbangkan konvensi yang berlaku, dan sekaligus juga memperlihatkan kepiawaian dalam berbahasa. Dengan demikian, pantun yang secara sepintas tampak sederhana itu, di dalamnya justru kaya dengan makna. Ia laksana simbolisasi kehidupan manusia yang tidak dapat melepaskan dirinya dari kedua wacana itu (wacana lisan dan wacana tulis). Bandingkan jika pantun itu berbunyi seperti ini:
Pisang emas boleh dibayar
Masak sebiji dibawa mati
Hutang emas dibawa berlayar
Hutang budi di atas peti
Dua larik yang menjadi sampiran mungkin masih dapat terterima mengingat sampiran yang cenderung memperlihatkan dirinya sebagai sebuah wacana lisan. Tetapi sampiran itu tetap sebagai sampiran tanpa makna karena isi yang terdapat dalam dua larik berikutnya tidak mengungkapkan makna etis. Jadi, teks di atas jelas telah melanggar syarat sebuah pantun. Ia hanya memanfaatkan bentuk pantun untuk sebuah wacana yang bukan pantun. Perhatikan juga teks berikut yang dikutip Hoesein Djajadiningrat dari teks sebuah lagu yang liriknya ditulis bukan oleh orang Indonesia.
Ik ga melantjong naar Pasar Gambir
Sampe di Gambir membeli laksa
Ik ga krontjongan voor mijn pleizier
Boeat mengiboer hati jang soesa
Dari Semarang ke Soerabaja
Djaman sekarang banjak boeaja
Main guitar main mandolin
Zoetelief denger saja pantoenin
Teks di atas tentu saja tidak termasuk pantun, meskipun bentuknya menyerupai pantun. Dua larik pertama bukanlah sampiran, karena ia tidak berfungsi sebagai pembayang. Juga tidak terlihat spontanitas dan citraan alam yang justru di dalam pantun sangat penting keberadaannya. Dengan begitu, teks itu juga sama sekali tidak menghadirkan kekhasan alam Melayu. Dalam hal tersebut, makin jelas buat kita bahwa pantun sememangnya merupakan representasi dunia Melayu yang khas yang tidak dapat begitu saja diikuti seseorang jika ia tidak menjadi bagian dari alam Melayu itu sendiri. Di situlah, pantun seperti yang dikatakan Muhammad Hj Salleh, “memperlihatkan genius dan kesempurnaan seni sastera bangsa-bangsa Melayu. Pantun mengandungi jiwa, seni, kebijaksanaan, dan budi bahasa Melayu.”
***
Demikianlah, pantun yang tampak begitu sederhana, kemas, lugas, dan spontan, sesungguhnya menyimpan begitu banyak kekayaan. Berbagai penelitian tentang pantun merupakan bukti, betapa pantun tampil sebagai objek kajian yang penuh misteri. Ia laksana memancarkan pesona yang tiada pernah pudar, menakjubkan dan menjerat begitu banyak para pemikir mancanegara. Oleh karena itu, jika ada pertanyaan: produk budaya yang manakah yang merepresentasikan jagat Melayu, boleh jadi jawabannya jatuh pada pantun.
Kajian yang lebih mendalam dengan serangkaian contoh kasus setumpuk pantun, memang masih sangat diperlukan. Dengan demikian, makalah ini bolehlah ditempatkan sebagai sebuah hipotesis yang masih harus dibuktikan kebenaran atau ketidakbenarannya. Atau, jika pemikiran ini hendak dirumuskan dalam satu kalimat, maka rumusan hipotesisnya adalah sebagai berikut: “Pelajarilah pantun, maka akan terbentang pemahaman mengenai jagat Melayu.” Semoga demikian!
------------------------------------------
Prof. Dr. R.A. Hoesein Djajadiningrat, “Arti Pantoen Melajoe jang Gaib,” Poedjangga Baroe, No. 6, Th. I, November 1933, No. 8 dan 9, Th. I, Pebroeari – Maret 1934.
Djajadiningrat mengutip Pantoen Speelman yang termuat dalam Grammatica Malaica, tradens praecepta brevia idiomatis linguae in India orientali celeberrimae ab indigenis dictae Malayo, Succinete delineate labore Johannis Christophori Lorberi (1688).
Intojo, “Pantun,” Indonesia, No. 4 dan No. 7, Th. II, April dan Djuli 1952. Tulisan Intojo ini secara khusus merupakan tanggapan atas pandangan sarjana Italia, Giacomo Prampolini (“Pantun dan Bentuk Sadjak lain dalam Puisi Rakjat,” Zenith, Th. I, No. 11, November 1951, hlm. 666—671) yang sangat terpengaruh oleh buku W.A. Braasem, Pantuns. Periksa juga tulisan W.A. Braasem, “Seorang Romantikus Djerman tentang Pantun,” Zenith, Th. III, No. 1, Djanuari 1953, hlm. 45—53 dan Giacomo Prampolini, “Pembicaraan Buku W.A. Braasem/R. Nieuwenhuis ‘Puisi Rakjat dari Indonesia,” Zenith, Th. III, No. 8, Agustus 1953, hlm. 486. Tulisan Prampolini itu disinggung juga oleh Achadiati Ikram, “Pantun dan Wangsalan,” Ilmu Sastra Indonesia, No. 22, 1964; dimuat juga dalam Achadiati Ikram, Filologia Nusantara, Jakarta: Pustaka Jaya, 1997, hlm. 187—195.
Hasan Junus, Pantun-Pantun Melayu Kuno, Pekanbaru: Yayasan Pusaka Riau, 2001, hlm. viii—ix.
Daftar panjang itu tentu saja tidak termasuk uraian ringkas mengenai pantun dalam buku-buku pelajaran serta berbagai kamus istilah sastra.
Zainal Abdin Bakar, Kumpulan Pantun Melayu, Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, 1984, hlm. 4.
Ibid., hlm. 34.
Zainal Abidin Borhan, “Pantun dan Peribahasa Melayu: Persoalan Jati Diri dan Patriotisme,” Abdul Latiff Abu Bakar dan Othman Puteh (Peny.), Globalisasi dan Patriotisme dalam Sastera Melayu (Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, 2000), hlm. 45—58.
Philip L. Thomas, “Penekanan Fonologi dan Semantik dalam Pantun Melayu,” Ahmad Kamal Abdullah, et al. (Peny.), Sempana: Himpunan Esei Penelitian oleh Sarjana Kesusasteraan Melayu Antarbangsa, Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, 1994, hlm. 149—164.
Hassan Ahmad, “Kreatifnya Minda Melayu,” Imbasan (Edisi Kedua), Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, 2002, hlm. 138—142. Artikel Hassan Ahmad yang pernah dimuat dalam majalah Dewan Masyarakat, Mei 1990 itu –meskipun tidak mendalam—sesungguhnya membuka perspektif baru dalam usaha menguak tabir misteri kekayaan pantun dalam konteks minda Melayu. Saya bersetuju atas pandangan itu mengingat pantun sebagai produk kebudayaan Melayu niscaya berkaitan erat dengan minda Melayu yang melahirkannya.
I.R. Poedjawijatna, “Peralihan Kesusasteraan Indonesia dari Lama ke Baru,” Basis, No. 3, Th. V, Februari 1954. Lihat juga Sutan Takdir Alisjahbana, Puisi Lama, Djakarta: Pustaka Rakjat, 1961, hlm. 10—13, Harun Aminurrrashid, Kajian Puisi Melayu, Singapore: Pustaka Melayu, 1960, hlm. 3—40.
Louis Leahy, Manusia sebuah Misteri: Sintesa Filosofis tentang Makhluk Paradoksal, Jakarta: Gramedia, 1984.
Periksa C.A. van Peursen, Strategi Kebudayaan, terj. Dick Hartoko, Yogyakarta: Kanius, 1976, hlm. 55—84.
Ibid., hlm. 55.
Mohd. Taib Osman, “Kepercayaan Tradisional dalam Sistem Kepercayaan Melayu Ditinjau dengan Pendekatan Antropologi Budaya,” Mohd. Taib Osman dan Hamdan Hassan, Bingkisan Kenangan Pendita, Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, 1978, hlm. 6.
Muhammad Haji Salleh, Puitika Sastera Melayu, Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, 2000, hlm. 40.
Pembicaraan mengenai tafsir syahadat ini, periksa tulisan Maman S. Mahayana, “Syahadat dalam Dimensi Linguistik,” Pelita, 3—5 September 1983.
Hoesein Djajadiningrat, Loc. Cit., hlm. 280.
Muhammad Hj Salleh, Cermin Diri, Petaling Jaya: Fajar Bakti, 1986, hlm. 3.
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Selasa, 21 Oktober 2008
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Label
`Atiqurrahman
A Muttaqin
A Rodhi Murtadho
A. Iwan Kapit
A. Purwantara
A. Qorib Hidayatullah
A. Zakky Zulhazmi
A.H.J Khuzaini
A.S. Laksana
Aang Fatihul Islam
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi WM
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Lathief
Abdul Malik
Abdul Wachid B.S.
Abdurrahman El Husaini
Abidah El Khalieqy
Abu Salman
Acep Zamzam Noor
Achdiat K. Mihardja
Adek Alwi
Adi Suhara
Adnyana Ole
Adreas Anggit W.
Afrion
Afrizal Malna
Aguk Irawan MN
Agung Dwi Ertato
Agus B. Harianto
Agus Buchori
Agus Himawan
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus Sulton
Agusri Junaidi
Agustinus Wahyono
Ahda Imran
Ahmad Badrus Sholihin
Ahmad Fanani Mosah
Ahmad Fatoni
Ahmad Ikhwan Susilo
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Musabbih
Ahmad Rofiq
Ahmad Sahidah
Ahmad Tohari
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Muhaimin Azzet
Akhmad Sekhu
Alex R. Nainggolan
Alex Suban
Alunk Estohank
Ami Herman
Amien Kamil
Amien Wangsitalaja
Aminudin R Wangsitalaja
Anastasya Andriarti
Andreas Maryoto
Anes Prabu Sadjarwo
Angela
Angga Wijaya
Angkie Yudistia
Anindita S Thayf
Anis Ceha
Anjrah Lelono Broto
Anton Kurnia
Anton Kurniawan
Anton Wahyudi
Anugrah Gio Pratama
Anwar Nuris
Aprinus Salam
Arie MP Tamba
Arif B. Prasetyo
Arif Bagus Prasetyo
Arif Hidayat
Arman A.Z.
Arti Bumi Intaran
Arys Hilman
AS Sumbawi
Asarpin
Asef Umar Fakhruddin
Asep Sambodja
Asrama Mahasiswa Aceh SABENA
Astrikusuma
Asvi Warman Adam
Atep Kurnia
Awalludin GD Mualif
Aziz Abdul Gofar
Azizah Hefni
Badrut Tamam Gaffas
Bagja Hidayat
Bagus Takwin
Balada
Bale Aksara
Baltasar Koi
Bambang Agung
Bambang Kempling
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Bayu Insani
Beni Setia
Benny Arnas
Benny Benke
Berita
Berita Duka
Berita Utama
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Blambangan
Brunel University London
BSW Adjikoesoemo
Budaya
Budhi Setyawan
Budi Darma
Budi Saputra
Budi Suwarna
Bung Tomo
Cak Kandar
Catatan
Cerpen
Chairil Anwar
Chavchay Syaifullah
Cucuk Espe
Cunong N. Suraja
D. Zawawi Imron
Dadang Ari Murtono
Daisuke Miyoshi
Damanhuri
Damhuri Muhammad
Damiri Mahmud
Danarto
Daniel Dhakidae
Dante Alighieri
Deddy Arsya
Dedy Tri Riyadi
Denny Mizhar
Deny Tri Aryanti
Detti Febrina
Dharmadi
Diah Hadaning
Dian Hartati
Dian Sukarno
Diana A.V. Sasa
Dicky Fadiar Djuhud
Didi Arsandi
Dimas
Dina Oktaviani
Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan
Djadjat Sudradjat
Djoko Saryono
Doddi Ahmad Fauji
Doddy Hidayatullah
Donny Anggoro
Dony P. Herwanto
Dorothea Rosa Herliany
Dr. Muhammad Zafar Iqbal
Dr. Simuh
Dwi Arjanto
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwicipta
Dwijo Maksum
Edy A. Effendi
Edy Firmansyah
Efri Ritonga
Egidius Patnistik
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Eko Hendri Saiful
Elik
Elsya Crownia
Emha Ainun Nadjib
Endah Sulawesi
Endah Wahyuningsih
Endang Suryadinata
Endhiq Anang P
Endri Y
Eriyandi Budiman
Ernest Hemingway
Esai
Esha Tegar Putra
Eva Dwi Kurniawan
Evi Dana Setia Ningrum
Evi Idawati
Evieta Fadjar
F Rahardi
Fabiola D. Kurnia
Fadelan
Fahrudin Nasrulloh
Faidil Akbar
Faisal Kamandobat
Faisal Syahreza
Faizal Syahreza
Fajar Alayubi
Fandy Hutari
Fany Chotimah
Fatah Yasin Noor
Fathor Lt
Fathurrahman Karyadi
Fatih Kudus Jaelani
Fatma Dwi Rachmawati
Fauzi Absal
Festival Sastra Gresik
Fikri. MS
Fina Sato
Fitri Susila
Galih Pandu Adi
Gde Agung Lontar
Geger Riyanto
Gerakan Literasi
Gerakan Surah Buku (GSB)
Gerson Poyk
Ginanjar Rahadian
Gita Pratama
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gunawan Budi Susanto
Gunoto Saparie
Gus Martin
Gus tf Sakai
Gusti Eka
Hadi Napster
Haji Misbach
Halim HD
Halimi Zuhdy
Hamberan Syahbana
Hamdy Salad
Han Gagas
Handoko F. Zainsam
Hari Santoso
Haris del Hakim
Hartono Harimurti
Hary B. Kori’un
Hasan Gauk
Hasan Junus
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Hasta Indriyana
Helwatin Najwa
Hepi Andi Bastoni
Heri C Santoso
Heri KLM
Heri Latief
Heri Listianto
Hermien Y. Kleden
Hernadi Tanzil
Heru Emka
Heru Kurniawan
Heru Prasetya
Hesti Sartika
Hudan Hidayat
Humaidiy AS
I Made Asdhiana
I Made Prabaswara
I Nyoman Suaka
IBM. Dharma Palguna
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
Ida Ahdiah
Idayati
Ignas Kleden
Ihsan Taufik
Ilenk Rembulan
Ilham Khoiri
Ilham Yusardi
Imam Cahyono
Imam Jahrudin Priyanto
Imam Muhtarom
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Rosyid
Imron Tohari
Indah Darmastuti
Indiar Manggara
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Indrian Koto
Irma Safitri
Irman Syah
Iskandar Noe
Istiqomatul Hayati
Ita Siregar
Iwan Kurniawan
Iwan Nurdaya-Djafar
Iyut FItra
Jadid Al Farisy
Jafar M. Sidik
Jakob Sumardjo
Jamal D Rahman
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jayaning S.A
Jefri al Malay
Jihan Fauziah
JJ. Kusni
Jo Pakagula
Johan Edy Raharjo
Joko Pinurbo
Jokowi Undercover
Joni Ariadinata
Joss Wibisono
Jual Buku Paket Hemat
Judyane Koz
Juli Sastrawan
Junaidi Abdul Munif
Jusuf AN
Juwairiyah Mawardy
Kadir Ruslan
Kasnadi
Katrin Bandel
Kedung Darma Romansha
Khairul Mufid Jr
Khamami Zada
Khrisna Pabichara
Kikin Kuswandi
Koh Young Hun
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias
Komunitas Sastra Ilalang Indonesia (KSII)
Korrie Layun Rampan
Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan)
Kristianto Batuadji
Kritik Sastra
Kunni Masrohanti
Kunthi Hastorini
Kuntowijoyo
Kurie Suditomo
Kurnia EF
Kurniawan
Kuswaidi Syafi'ie
Kuswinarto
Lan Fang
Landung Rusyanto Simatupang
Latief S. Nugraha
Leila S. Chudori
Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M)
Liestyo Ambarwati Khohar
Linda Sarmili
Liston P. Siregar
Liza Wahyuninto
LN Idayanie
Lucia Idayani
Lukman Asya
Lusiana Indriasari
Lynglieastrid Isabellita
M Hari Atmoko
M. Aan Mansyur
M. Arman A.Z
M. Bagus Pribadi
M. Fadjroel Rachman
M. Harya Ramdhoni Julizarsyah
M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S
M. Luthfi Aziz
M. Nahdiansyah Abdi
M. Raudah Jambak
M. Shoim Anwar
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Maghfur Saan
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Majalah Sastra Horison
Maklumat Sastra Profetik
Malkan Junaidi
Maman S. Mahayana
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maria Serenade Sinurat
Mario F. Lawi
Marluwi
Marsel Robot
Martin Aleida
Martin Suryajaya
Mashuri
Matdon
Mega Vristian
Melani Budianta
Melayu Riau
Memoar
MG. Sungatno
Mh Zaelani Tammaka
Miftah Fadhli
Miftahul Abrori
Misbahus Surur
Miziansyah J
Mochtar Lubis
Mohamad Ali Hisyam
Mohammad Eri Irawan
MT Arifin
Mugy Riskiana Halalia
Muhajir Arrosyid
Muhamad Rifai
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Al-Mubassyir
Muhammad Qodari
Muhammad Rain
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun A.S
Muhidin M. Dahlan
Muhlis Al-Firmany
Mujtahid
Mulyadi SA
Munawir Aziz
Murniati Tanjung
Murnierida Pram
Musa Ismail
Musfi Efrizal
Mustaan
Mustafa Ismail
N. Mursidi
Nafsul Latifah
Naskah Teater
Nasrullah Nara
Nelson Alwi
Nenden Lilis A
Nh. Anfalah
Ni Made Purnama Sari
Nina Mussolini-Hansson
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Noura
Nova Christina
Noval Jubbek
Novela Nian
Nugroho Notosusanto
Nugroho Pandhu Sukmono
Nur Faizah
Nurdin F. Joes
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nurul Komariyah
Nuryana Asmaudi SA
Nyoman Tusthi Eddy
Nyoman Wirata
Oka Rusmini
Oktamandjaya Wiguna
Oky Sanjaya
Olanama
Olivia Kristina Sinaga
Otto Sukatno CR
Pagelaran Musim Tandur
Pamusuk Eneste
Patricia Pawestri
PDS H.B. Jassin
PDS. H.B. Jassin
Penghargaan Hadiah Sastra Pusat Bahasa
Persda Network
Pipiet Senja
Pramoedya Ananta Toer
Pramono
Pranita Dewi
Pringadi AS
Prita Daneswari
Prof. Tamim Pardede sebut Bambang Tri
Prosa
Pudyo Saptono
Puisi
Puisi Kesunyian
Puisi Sufi
Puji Santosa
PUstaka puJAngga
Putu Fajar Arcana
Putu Wijaya
Qaris Tajudin
R. Sugiarti
Rachmad Djoko Pradopo
Radhar Panca Dahana
Ragdi F. Daye
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Ramadhan Batubara
Ramadhan KH
Ratih Kumala
Ratna Indraswari Ibrahim
Ratna Sarumpaet
Raudal Tanjung Banua
Remy Sylado
Reni Susanti
Renny Meita Widjajanti
Resensi
Restu Kurniawan
Retno Sulistyowati
RF. Dhonna
Rian Sindu
Ribut Wijoto
Ridwan Munawwar
Riki Utomi
Riris K. Toha-Sarumpaet
Risang Anom Pujayanto
Riza Multazam Luthfy
Robin Al Kautsar
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rohman Abdullah
Rosidi
Rosihan Anwar
Rukardi
S Yoga
S. Jai
S. Sinansari Ecip
S.I. Poeradisastra
S.W. Teofani
Sabam Siagian
Sabrank Suparno
Saiful Anam Assyaibani
Sainul Hermawan
Sajak
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Samsudin Adlawi
Sanggar Rumah Ilalang
Sanggar Teater Jerit
Sapardi Djoko Damono
Sartika Dian
Sartika Dian Nuraini
Sastra Tanah Air
Sastra Using
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sayyid Fahmi Alathas
Sazano
Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo
Seli Desmiarti
Selo Soemardjan
Senggrutu Singomenggolo
Seno Joko Suyono
SH Mintardja
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sipri Senda
Sitok Srengenge
Siwi Dwi Saputro
Sjifa Amori
Sobih Adnan
Sofian Dwi
Sofie Dewayani
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sri Ruwanti
Sri Wintala Achmad
St Sularto
Stefanus P. Elu
Sukron Abdilah
Sulaiman Djaya
Suminto A. Sayuti
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sungging Raga
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Suryansyah
Suryanto Sastroatmodjo
Susanto
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Suyadi
Suyadi San
Syaifuddin Gani
Syaiful Amin
Syamsiar Hidayah
Syarbaini
Syifa Amori
Syifa Aulia
Tajuddin Noor Ganie
Taufik Abdullah
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
TE. Priyono
Teguh Afandi
Teguh Ranusastra Asmara
Teguh Winarsho AS
Tengsoe Tjahjono
Theresia Purbandini
Tita Tjindarbumi
Titik Alva-Alvi Choiriyah
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Tjoet Nyak Dhien
Tosa Poetra
Tri Lestari Sustiyana
Triyanto Triwikromo
TS Pinang
Tu-ngang Iskandar
Tulus S
Tulus Wijanarko
Udo Z. Karzi
Ugoran Prasad
Umar Fauzi Ballah
Umar Kayam
Umbu Landu Paranggi
Universitas Indonesia
Universitas Jember
Utada Kamaru
UU Hamidy
Vera Ernawati
Veronika Ninik
W.S. Rendra
Wahjudi Djaja
Wahyu Hidayat
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Budiartha
Widya Karima
Wijaya Herlambang
Wiji Thukul
Willem B Berybe
Wilson Nadeak
Winarni R.
Wiratmo Soekito
Wita Lestari
Wiwik Widayaningtias
Y. Thendra BP
Y. Wibowo
Yasser Arafat
Yeni Ratnaningsih
Yohanes Sehandi
Yonatan Raharjo
Yonathan Rahardjo
Yopi Setia Umbara
Yos Rizal S
Yos Rizal Suriaji
Yudhi Herwibowo
Yuka Fainka Putra
Yurnaldi
Yushifull Ilmy
Yusri Fajar
Yusuf Suharto
Zainal Abidin
Zainal Arifin Thoha
Zawawi Se
Zen Hae
Tidak ada komentar:
Posting Komentar