Rabu, 12 November 2008

Indonesia dalam Bingkai Puisi

Grathia Pitaloka
http://jurnalnasional.com/

Tetap menarik dieksplorasi, ketika setiap penyair bebas berbeda, mencipta dan memiliki harapan.

Indonesianis Ben Anderson pernah mengatakan bahwa rasa kebangsaan dapat diekspresikan melalui berbagai saluran. Tidak hanya lewat institusionalisasi sosial dan politik, tetapi juga melalui pengembangan kebudayaan.

Dalam ranah kebudayaan, sastra memiliki peluang "lebih" untuk berbicara mengenai kebangsaan. "Puisi merupakan bagian dari dimensi kebangsaan karena ia memiliki hubungan yang erat dengan bahasa," kata penyair Afrizal Malna kepada Jurnal Nasional, Rabu (5/11).

Pada masa sebelum kemerdekaan, rasa kebangsaan di kalangan para penyair tidak hanya diungkapkan melalui untaian kata melainkan melalui perjuangan melawan penjajah. Sederet nama turut serta mempersiapkan kemerdekaan seperti Muhammad Yamin, Asrul Sani, Amir Hamzah hingga Chairil Anwar.

Puisi-puisi Chairil yang dikomentari, segar namun tidak bergizi oleh Sutan Takdir Alisjabana ternyata ampuh mengobarkan kecintaan kaum muda terhadap bangsanya. Bahkan hingga kini "kesegaran" sajak Krawang-Bekasi, Diponogoro serta Persetujuan Dengan Bung Karno masih memiliki kekuatan untuk mengobarkan rasa kebangsaan.

Naskah Sumpah Pemuda yang selama ini hanya dilihat sebagai teks sosial-politik, dinilai Presiden Penyair Sutardji Calzoum Bahri sebagai puisi yang paling sempurna mengam-barkan rasa kebangsaan. "Ketika Sumpah Pemuda tidak dianggap sebagai puisi, maka kreasi di kalangan penyair nyaris mati," kata Sutardji.

Lebih lanjut Sutardji menuturkan, "Naskah Sumpah Pemuda memuat mimpi dan imajinasi yang tersaji dengan bahasa yang ringkas, padat, dengan irama dan pengulangan kata-kata bagaikan mantera," ujar penyair yang belum lama ini meraih penghargaan Bakrie Award.

Wajah Indonesia
Seiring berjalannya waktu, wajah Indonesia dalam kotak puisi mulai mengalami perubahan. Buramnya konsep kebangsaan menyebabkan puisi menjadi kehilangan orientasi. "Sekarang kita tidak memiliki karakter, Indonesia seperti kalimat yang susunannya berantakan," kata Afrizal.

Buramya makna kebangsaan menciptakan ceruk yang kian lama semakin dalam dan siap memerangkap menusia Indonesia. Pemahaman kebangsaan yang abu-abu melahirkan keindonesian yang hanya sebatas retorika sehingga dalam sekejap menguap.

Afrizal melihat, kebhinekaan yang menjadi hakikat Indonesia perlahan menciut berganti konflik premodial yang tidak substansial, pertentangan antara lokalitas dengan globalisasi, krisis identitas, semuanya melebur menjadi kecemasan yang berkepanjangan. "Indonesia menjadi produk politik yang lahir dari kontruksi penjajahan kolonial dan tanpa sadar kita ikut memperpanjang penjajahan itu melalui nilai-nilai yang kita anut," ujar pria yang pernah mengenyam pendidikan di STF Driyakara ini.

Penulis buku Tak Ada Anjing Dalam Rahim Ibuku ini mengatakan, carut marut wajah Indonesia diperparah oleh kondisi pendidikan yang tidak bisa menghayati individu. Di mana manusia dicetak untuk menghapal bukan berpikir. "Dari situ puisi jadi macet, ketika dunia pendidikan tidak mendukung puisi jadi gelap," kata Afrizal.

Puisi yang lahir pun tak lebih dari sekedar klise-klise verbal dan terkekang dalam penjara sumpek. Karena tidak ditunjang oleh infrastruktur yang memadai puisi menjadi produk yang terbelakang dalam pergaulan modern. "Padahal sastra merupakan agen utama modernisasi Indonesia karena dekat dengan bahasa," kata Afrizal.

Pendapat Afrizal tidak berlebihan karena ketika menengok ke belakang para sastrawan sangat yakin bahasa Indonesia mampu bergaul dalam kehidupan modern. "Sastra modern menuntut manusia untuk membentuk masa depan yang lebih besar daripada hanya sekadar mengelus kejayaan masa lalu," ujar dia.

Kondisi tersebut menggelitik Afrizal untuk melukiskannya lewat kata-kata. Maka terciptalah sajak berjudul Berdiam Dalam Mikrofon, yang menggambarkan kebangsaan yang hanya berteriak tetapi tidak memiliki implementasi. "Harus ada program utama yang disepakati bersama dan ditunjang oleh infrastruktur, bukan rasa kebangsaan yang hanya menciptakan konflik," kata penerima Hadiah Buku Sastra Dewan Kesenian Jakarta, (1984).

Namun demikian di tengah bermacam krisis yang menempa Indonesia, Afrizal melihat, keindonesiaan masih menarik untuk dieksplorasi menjadi sebuah karya. Tentu saja yang ia maksud adalah keindonesiaan yang memiliki makna luas, bukan yang hanya diartikan selemparan batu.

Afrizal mengatakan, tema keindonesian yang dieksplorasi hanya berputar sekitar bendera atau kepahlawanan sehingga lama kelamaan menimbulkan suatu kejenuhan. Padahal, lanjut dia, tema keindonesiaan juga dapat diceritakan lewat mata bening seorang anak. "Indonesia menarik untuk diekspolarasi ketika setiap orang diberi ruang untuk berbeda, mencipta serta memiliki harapan," ujar Afrizal.

Media Kritik
Senada dengan Afrizal, penyair Saut Situmorang mengatakan, sebagai negara dunia ketiga kebangsaan masih menjadi tema yang seksi untuk terus digali. "Aneh ketika penyair negeri pascakolonial membicarakan tentang keagungan secangkir kopi, padahal ketidakadilan masih merajalela dinegeranya," kata Saut.

Saut menempatkan sajaknya sebagai sarana untuk mengkritik kesewenangan penguasa serta berbagai kesemerawutan yang terjadi. "Puisi bagiku cukup untuk menumpahkan ekspresi terhadap ketidakadilan," ujar lelaki kelahiran Tebing Tinggi, 29 Juni 1966 ini.

Keindonesiaan dalam puisi Saut terjemahkan sebagai kritik terhadap tirani Orde Baru. Pada saat itu Saut melihat militer berdiri congkak laksana dewa, sementara rakyat tak hanya menjadi keset yang terus menerus diinjak. "Terjadi kekerasan tanpa dialog, tentara sengaja dicetak untuk membunuh," kata Saut.

Saut mencoba, memotret carut marut keadilan di negeri ini kemudian menuangkannya dalam puisi. Ia mengaku, tak mudah untuk menyatakan kritik lewat puisi karena puisi merupakan seni berbahasa. "Menulis sebuah sajak protes merupakan suatu hal yang sulit, bagaimana mengkritik tanpa mengorbankan estetika," ujar pria yang pernah mengenyam pendidikan di Victoria University of Wellington dan University of Auckland, Selandia Baru.

Ia mengatakan, pengalaman personal merupakan faktor penting untuk mencipta sebuah ekspresi dasyat. Oleh karena itu hanya segilintir penyair yang berhasil menyampaikan kritik melalui puisi, Wiji Tukul adalah satu di antaranya.

Peringatan (setelah direvisi)

Jika rakyat pergi

Ketika penguasa pidato

Kita harus hati-hati

Barangkali mereka putus asa

Kalau rakyat sembunyi

Dan berbisik-bisik

Ketika membicarakan masalahnya sendiri

Penguasa harus waspada dan belajar mendengar

Bila rakyat tidak berani mengeluh

Itu artinya sudah gawat

Dan bila omongan penguasa

Tidak boleh dibantah

Kebenaran pasti terancam

Apabila usul ditolak tanpa ditimbang

Suara dibungkam kritik dilarang tanpa alasan

Dituduh subversif dan mengganggu keamanan

Maka hanya ada satu kata: lawan!

Solo, 1986

Kebhinekaan
Sementara itu, penyair berdarah Tionghoa, Tan Lioe Ie memilih untuk menggambarkan Indonesia sebagai sebuah lumbung kebudayaan yang kaya raya dalam puisinya. "Saya mengeksplorasi khasanah kultural nusantara serta ritual adat yang mulai terlupa," kata penyair yang akrab disapa Yokkie.

Latar belakang budaya Bali serta Tionghoa yang menjadi lekat turut mewarnai sajak-sajak Yokkie. Buku Puisi Malam Cahaya Lampion merupakan salah satu karyanya yang kental dengan nuansa Tiong Hoa.

Mitologi Tionghoa yang jarang dilirik penyair lain seperti kunang-kunang dan kuku orang mati juga diangkat kembali oleh Yokkie dalam puisinya. Tak pelak, perasaan inferior yang sempat tumbuh di relung hatinya berubah menjadi sebuah kebanggaan. "Perasaan tersisih berubah menjadi modal kuat untuk meyakini apa yang saya anggap benar," kata lelaki kelahiran Denpasar, 1 Juni 1958 ini.

Latar belakang budaya penyair tentu sangat mempengaruhi karya yang dicipta oleh seorang penyair. Seperti puisi mantra Sutardji yang kental dengan nuansa melayu atau sajak-sajak Oka Rusmini yang lekat dengan budaya Bali. "Kebhinekaan melahirkan varian yang berbeda dan menarik," ujar penulis antologi puisi, Kita Bersaudara (1991).

Puisi mantera yang diusung oleh Sutardji merupakan salah satu contoh keindonesian dalam bentuk kata. "Sastra bukan semata-mata konten tapi bagaimana mengungkapkan secara estetik," kata Yokkie.

Tragedi Winka & Sihka

kawin

kawin

kawin

kawin

kawin

ka

win

ka

win

ka

win

ka

win

ka

winka

winka

winka

sihka

sihka

sihka

sih

ka

sih

ka

sih

ka

sih

ka

sih

ka

sih

sih

sih

sih

sih

sih

ka

Ku

Nama WINKA & SIHKA dalam judul adalah kebalikan dari kata KAWIN & KASIH. Dengan teknik penulisan grafis seperti ini penyair tampaknya menyarankan bahwa dalam aliran waktu KAWIN & KASIH bisa mengalami tragedi menjadi WINKA & SIHKA. Cara penulisan dengan memecah dan menyatukan antara lain diperkenalkan oleh penyair sekaligus pelukis dan pemahat Jerman Kurt Schwitters (1887-1948), yang salah satu puisinya yang terkenal diterjemahkan oleh Sutardji.

Yokkie melihat kekayaan budaya yang terbentang dari Sabang hingga Marauke sebagai mata air yang tak pernah kering melahirkan inspirasi untuk berkarya. "Kecendrungan multikultural memberikan penawaran yang atraktif terhadap perkembangan sastra Indonesia sehingga tidak kalah ketika dibandingkan dengan sastra dunia," ujar Yokkie.

Menurut Yokkie hakikat dari sebuah rasa kebangsaan adalah menghargai kebhinekaan. Ia menuturkan bahwa kebhinekaan merupakan sebuah kontrak sosial yang masih relevan untuk dipatuhi. "Ketika kita melanggar kebhinekaan berarti kita melanggar kontrak sosial yang berlaku," kata Yokkie.

Tidak ada komentar:

Label

`Atiqurrahman A Muttaqin A Rodhi Murtadho A. Iwan Kapit A. Purwantara A. Qorib Hidayatullah A. Zakky Zulhazmi A.H.J Khuzaini A.S. Laksana Aang Fatihul Islam Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi WM Abdul Kadir Ibrahim Abdul Lathief Abdul Malik Abdul Wachid B.S. Abdurrahman El Husaini Abidah El Khalieqy Abu Salman Acep Zamzam Noor Achdiat K. Mihardja Adek Alwi Adi Suhara Adnyana Ole Adreas Anggit W. Afrion Afrizal Malna Aguk Irawan MN Agung Dwi Ertato Agus B. Harianto Agus Buchori Agus Himawan Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sulton Agusri Junaidi Agustinus Wahyono Ahda Imran Ahmad Badrus Sholihin Ahmad Fanani Mosah Ahmad Fatoni Ahmad Ikhwan Susilo Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musabbih Ahmad Rofiq Ahmad Sahidah Ahmad Tohari Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sekhu Alex R. Nainggolan Alex Suban Alunk Estohank Ami Herman Amien Kamil Amien Wangsitalaja Aminudin R Wangsitalaja Anastasya Andriarti Andreas Maryoto Anes Prabu Sadjarwo Angela Angga Wijaya Angkie Yudistia Anindita S Thayf Anis Ceha Anjrah Lelono Broto Anton Kurnia Anton Kurniawan Anton Wahyudi Anugrah Gio Pratama Anwar Nuris Aprinus Salam Arie MP Tamba Arif B. Prasetyo Arif Bagus Prasetyo Arif Hidayat Arman A.Z. Arti Bumi Intaran Arys Hilman AS Sumbawi Asarpin Asef Umar Fakhruddin Asep Sambodja Asrama Mahasiswa Aceh SABENA Astrikusuma Asvi Warman Adam Atep Kurnia Awalludin GD Mualif Aziz Abdul Gofar Azizah Hefni Badrut Tamam Gaffas Bagja Hidayat Bagus Takwin Balada Bale Aksara Baltasar Koi Bambang Agung Bambang Kempling Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Bayu Insani Beni Setia Benny Arnas Benny Benke Berita Berita Duka Berita Utama Bernando J. Sujibto Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Blambangan Brunel University London BSW Adjikoesoemo Budaya Budhi Setyawan Budi Darma Budi Saputra Budi Suwarna Bung Tomo Cak Kandar Catatan Cerpen Chairil Anwar Chavchay Syaifullah Cucuk Espe Cunong N. Suraja D. Zawawi Imron Dadang Ari Murtono Daisuke Miyoshi Damanhuri Damhuri Muhammad Damiri Mahmud Danarto Daniel Dhakidae Dante Alighieri Deddy Arsya Dedy Tri Riyadi Denny Mizhar Deny Tri Aryanti Detti Febrina Dharmadi Diah Hadaning Dian Hartati Dian Sukarno Diana A.V. Sasa Dicky Fadiar Djuhud Didi Arsandi Dimas Dina Oktaviani Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Djadjat Sudradjat Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Doddy Hidayatullah Donny Anggoro Dony P. Herwanto Dorothea Rosa Herliany Dr. Muhammad Zafar Iqbal Dr. Simuh Dwi Arjanto Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwicipta Dwijo Maksum Edy A. Effendi Edy Firmansyah Efri Ritonga Egidius Patnistik Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Hendri Saiful Elik Elsya Crownia Emha Ainun Nadjib Endah Sulawesi Endah Wahyuningsih Endang Suryadinata Endhiq Anang P Endri Y Eriyandi Budiman Ernest Hemingway Esai Esha Tegar Putra Eva Dwi Kurniawan Evi Dana Setia Ningrum Evi Idawati Evieta Fadjar F Rahardi Fabiola D. Kurnia Fadelan Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Faisal Kamandobat Faisal Syahreza Faizal Syahreza Fajar Alayubi Fandy Hutari Fany Chotimah Fatah Yasin Noor Fathor Lt Fathurrahman Karyadi Fatih Kudus Jaelani Fatma Dwi Rachmawati Fauzi Absal Festival Sastra Gresik Fikri. MS Fina Sato Fitri Susila Galih Pandu Adi Gde Agung Lontar Geger Riyanto Gerakan Literasi Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Ginanjar Rahadian Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gunoto Saparie Gus Martin Gus tf Sakai Gusti Eka Hadi Napster Haji Misbach Halim HD Halimi Zuhdy Hamberan Syahbana Hamdy Salad Han Gagas Handoko F. Zainsam Hari Santoso Haris del Hakim Hartono Harimurti Hary B. Kori’un Hasan Gauk Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Helwatin Najwa Hepi Andi Bastoni Heri C Santoso Heri KLM Heri Latief Heri Listianto Hermien Y. Kleden Hernadi Tanzil Heru Emka Heru Kurniawan Heru Prasetya Hesti Sartika Hudan Hidayat Humaidiy AS I Made Asdhiana I Made Prabaswara I Nyoman Suaka IBM. Dharma Palguna Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Ida Ahdiah Idayati Ignas Kleden Ihsan Taufik Ilenk Rembulan Ilham Khoiri Ilham Yusardi Imam Cahyono Imam Jahrudin Priyanto Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indah Darmastuti Indiar Manggara Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indrian Koto Irma Safitri Irman Syah Iskandar Noe Istiqomatul Hayati Ita Siregar Iwan Kurniawan Iwan Nurdaya-Djafar Iyut FItra Jadid Al Farisy Jafar M. Sidik Jakob Sumardjo Jamal D Rahman Janual Aidi Javed Paul Syatha Jayaning S.A Jefri al Malay Jihan Fauziah JJ. Kusni Jo Pakagula Johan Edy Raharjo Joko Pinurbo Jokowi Undercover Joni Ariadinata Joss Wibisono Jual Buku Paket Hemat Judyane Koz Juli Sastrawan Junaidi Abdul Munif Jusuf AN Juwairiyah Mawardy Kadir Ruslan Kasnadi Katrin Bandel Kedung Darma Romansha Khairul Mufid Jr Khamami Zada Khrisna Pabichara Kikin Kuswandi Koh Young Hun Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Komunitas Sastra Ilalang Indonesia (KSII) Korrie Layun Rampan Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan) Kristianto Batuadji Kritik Sastra Kunni Masrohanti Kunthi Hastorini Kuntowijoyo Kurie Suditomo Kurnia EF Kurniawan Kuswaidi Syafi'ie Kuswinarto Lan Fang Landung Rusyanto Simatupang Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Liestyo Ambarwati Khohar Linda Sarmili Liston P. Siregar Liza Wahyuninto LN Idayanie Lucia Idayani Lukman Asya Lusiana Indriasari Lynglieastrid Isabellita M Hari Atmoko M. Aan Mansyur M. Arman A.Z M. Bagus Pribadi M. Fadjroel Rachman M. Harya Ramdhoni Julizarsyah M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S M. Luthfi Aziz M. Nahdiansyah Abdi M. Raudah Jambak M. Shoim Anwar M. Yoesoef M.D. Atmaja Maghfur Saan Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Majalah Sastra Horison Maklumat Sastra Profetik Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Serenade Sinurat Mario F. Lawi Marluwi Marsel Robot Martin Aleida Martin Suryajaya Mashuri Matdon Mega Vristian Melani Budianta Melayu Riau Memoar MG. Sungatno Mh Zaelani Tammaka Miftah Fadhli Miftahul Abrori Misbahus Surur Miziansyah J Mochtar Lubis Mohamad Ali Hisyam Mohammad Eri Irawan MT Arifin Mugy Riskiana Halalia Muhajir Arrosyid Muhamad Rifai Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Al-Mubassyir Muhammad Qodari Muhammad Rain Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun A.S Muhidin M. Dahlan Muhlis Al-Firmany Mujtahid Mulyadi SA Munawir Aziz Murniati Tanjung Murnierida Pram Musa Ismail Musfi Efrizal Mustaan Mustafa Ismail N. Mursidi Nafsul Latifah Naskah Teater Nasrullah Nara Nelson Alwi Nenden Lilis A Nh. Anfalah Ni Made Purnama Sari Nina Mussolini-Hansson Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Noura Nova Christina Noval Jubbek Novela Nian Nugroho Notosusanto Nugroho Pandhu Sukmono Nur Faizah Nurdin F. Joes Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nurul Komariyah Nuryana Asmaudi SA Nyoman Tusthi Eddy Nyoman Wirata Oka Rusmini Oktamandjaya Wiguna Oky Sanjaya Olanama Olivia Kristina Sinaga Otto Sukatno CR Pagelaran Musim Tandur Pamusuk Eneste Patricia Pawestri PDS H.B. Jassin PDS. H.B. Jassin Penghargaan Hadiah Sastra Pusat Bahasa Persda Network Pipiet Senja Pramoedya Ananta Toer Pramono Pranita Dewi Pringadi AS Prita Daneswari Prof. Tamim Pardede sebut Bambang Tri Prosa Pudyo Saptono Puisi Puisi Kesunyian Puisi Sufi Puji Santosa PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Wijaya Qaris Tajudin R. Sugiarti Rachmad Djoko Pradopo Radhar Panca Dahana Ragdi F. Daye Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Ramadhan Batubara Ramadhan KH Ratih Kumala Ratna Indraswari Ibrahim Ratna Sarumpaet Raudal Tanjung Banua Remy Sylado Reni Susanti Renny Meita Widjajanti Resensi Restu Kurniawan Retno Sulistyowati RF. Dhonna Rian Sindu Ribut Wijoto Ridwan Munawwar Riki Utomi Riris K. Toha-Sarumpaet Risang Anom Pujayanto Riza Multazam Luthfy Robin Al Kautsar Rodli TL Rofiqi Hasan Rohman Abdullah Rosidi Rosihan Anwar Rukardi S Yoga S. Jai S. Sinansari Ecip S.I. Poeradisastra S.W. Teofani Sabam Siagian Sabrank Suparno Saiful Anam Assyaibani Sainul Hermawan Sajak Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sanggar Rumah Ilalang Sanggar Teater Jerit Sapardi Djoko Damono Sartika Dian Sartika Dian Nuraini Sastra Tanah Air Sastra Using Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sayyid Fahmi Alathas Sazano Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo Seli Desmiarti Selo Soemardjan Senggrutu Singomenggolo Seno Joko Suyono SH Mintardja Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sipri Senda Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Sobih Adnan Sofian Dwi Sofie Dewayani Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sri Ruwanti Sri Wintala Achmad St Sularto Stefanus P. Elu Sukron Abdilah Sulaiman Djaya Suminto A. Sayuti Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sungging Raga Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Suryansyah Suryanto Sastroatmodjo Susanto Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suyadi Suyadi San Syaifuddin Gani Syaiful Amin Syamsiar Hidayah Syarbaini Syifa Amori Syifa Aulia Tajuddin Noor Ganie Taufik Abdullah Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat TE. Priyono Teguh Afandi Teguh Ranusastra Asmara Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Theresia Purbandini Tita Tjindarbumi Titik Alva-Alvi Choiriyah Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tjoet Nyak Dhien Tosa Poetra Tri Lestari Sustiyana Triyanto Triwikromo TS Pinang Tu-ngang Iskandar Tulus S Tulus Wijanarko Udo Z. Karzi Ugoran Prasad Umar Fauzi Ballah Umar Kayam Umbu Landu Paranggi Universitas Indonesia Universitas Jember Utada Kamaru UU Hamidy Vera Ernawati Veronika Ninik W.S. Rendra Wahjudi Djaja Wahyu Hidayat Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Budiartha Widya Karima Wijaya Herlambang Wiji Thukul Willem B Berybe Wilson Nadeak Winarni R. Wiratmo Soekito Wita Lestari Wiwik Widayaningtias Y. Thendra BP Y. Wibowo Yasser Arafat Yeni Ratnaningsih Yohanes Sehandi Yonatan Raharjo Yonathan Rahardjo Yopi Setia Umbara Yos Rizal S Yos Rizal Suriaji Yudhi Herwibowo Yuka Fainka Putra Yurnaldi Yushifull Ilmy Yusri Fajar Yusuf Suharto Zainal Abidin Zainal Arifin Thoha Zawawi Se Zen Hae