Maman S Mahayana
http://mahayana-mahadewa.com/
Cerpen-cerpen SM Ardan sebagian besar cenderung mengangkat persoalan yang terjadi dalam kehidupan masyarakat Betawi; masyarakat yang memang sangat dikenalnya benar. Di sana, Ardan seolah-olah memotret apa saja yang dilihatnya. Maka, apapun yang terjadi dalam kehidupan masyarakat Betawi, sangat mungkin telah menjadi tema cerpen-cerpennya. Terkesan kuat, ia sekadar hendak mewartakan secara apa adanya segala yang terjadi atau yang menjadi kegelisahannya. Oleh karena itu, tema cerita dalam cerpen-cerpennya begitu beragam. Ada yang bercerita tentang pesta yang dilakukan masyarakat, dolanan anak-anak, pengemis, keinginan seseorang naik haji, antrean di rumah sakit atau persoalan keseharian yang remeh-temeh. Pokoknya, apapun yang terjadi di dalam kehidupan masyarakat Betawi, di tangannya segala peristiwa itu bisa menjadi cerpen.
Barangkali karena Ardan tidak terpaku pada satu tema tertentu, maka kesan kuat yang terasa ketika membaca cerpen-cerpennya adalah kebersahajaannya mengangkat cerita. Tidak tampak adanya keinginan untuk memasukkan filsafat atau pemikiran yang rumit dalam ceritanya. Boleh jadi karena kebersahajaannya itu, pesan yang diselusupkan ke dalam cerita jadi begitu tersembunyi. Ia menyampaikan ajaran moral secara implisit, baik melalui lakuan dan dialog antartokoh, maupun peristiwa yang dilukiskannya.
Guna mendukung kebersahajaannya itu pula, maka tokoh-tokoh yang ditampilkan pun bisa siapa saja; rakyat kecil, anak-anak, ibu rumah tangga, bahkan juga pejabat. Yang penting, ia dapat mengungkapkan peristiwa apa saja tanpa harus terikat pada tokoh atau tema tertentu. Ia sekadar hendak menampilkan kegelisahan masyarakat Betawi dengan problem sosial-budayanya yang kadangkala cukup kompleks, kadang pula begitu naif.
Hal lain yang cukup menonjol adalah gaya bertuturnya yang ringan, dengan tema yang juga ringan. Itulah sebabnya, Ajip Rosidi menyebut cerpen-cerpen Ardan cenderung sebagai sketsa. Dilihat dari sudut ini, memang cerpen-cerpen Ardan lebih dekat kepada bentuk sketsa dengan tema ringan dan cara bertuturnya yang juga ringan.
***
Dalam tradisi sastra Betawi, bentuk sketsa sudah dikenal sejak bermunculan surat kabar atau majalah berbahasa Betawi atau berbahasa Melayu pasar menjelang pergantian abad ke-19. Dalam majalah atau surat-surat kabar itu, ada satu rubrik yang namanya bisa macam-macam. Ada rubrik Pojok, Buah Tutur, Langgam Betawi atau nama yang diambil dari nama tokoh yang ditampilkannya.
Rubrik seperti itu dimaksudkan sebagai selingan. Oleh karena itu, masalah yang diangkatnya lebih banyak menyangkut peristiwa yang ringan dan biasanya berisi sindiran atau kritik atas berbagai persoalan yang sedang terjadi di tengah masyarakat. Sindiran atau kritikannya itu terkesan seperti disampaikan sambil lalu atau dalam bentuk dialog ringan dengan nada bercanda, jenaka dan humoris. Sedangkan sasaran kritikannya bisa ditujukan kepada siapa saja, mulai dari pejabat tinggi pemerintah sampai kepada rakyat kecil. Kebanyakan peristiwa yang ditampilkannya bersifat aktual, kontemporer, sezaman atau yang sedang menjadi sorotan masyarakat. Dengan cara begitu, pembaca seperti diingatkan, ditegur, disindir, atau diajak untuk melakukan introspeksi. Tjalie Robinson, Kwee Kek Beng, Firman Muntaco –termasuk SM Ardan sendiri—adalah penulis sketsa yang bagi masyarakat Betawi, namanya sudah tidak asing lagi.
Untuk melihat bagaimana cerpen Ardan lebih dekat pada bentuk sketsa, mari kita cermati cerpennya yang berjudul “Pawai di Bawah Bulan.” Cerpen ini pertama kali muncul di majalah Kisah, 1, 3, 1955. Bahwa HB Jassin yang menjadi Pemimpin Redaksi majalah itu memuat cerpen Ardan, tentu saja dengan pertimbangan kualitas karya yang bersangkutan. Bersama cerpen lainnya, cerpen ini kemudian dimasukkan dalam antologi Terang Bulan Terang Dikali (Jakarta: Gunung Agung, 1955).
***
Mengapa Ardan memilih judul cerpennya itu, “Pawai di Bawah Bulan” padahal latar waktu peristiwa yang digambarkan dalam cerpen itu terjadi waktu pagi sampai siang hari bolong? Dari sini saja Ardan sudah mengungkapkan sebuah paradoks: kegetiran yang dikontraskan dengan kemeriahan (pawai). Sesungguhnya, bisa saja ia memberi judul cerpen itu “Antre di Siang Hari” atau “Antrean di Rumah Sakit”. Jika judulnya itu atau yang sejenis itu, pembaca tentu saja tidak lagi dibuat penasaran, sebab sudah diberi sinyal bahwa cerpen itu akan mengungkapkan peristiwa antre di siang hari. Namun, dengan judul “Pawai di Bawah Bulan” kesan menyindir dengan paradoks menjadi sangat kuat. Bagaimana orang antre untuk berobat seperti orang sedang berpawai malam hari. Peristiwa antrean yang begitu panjang dan melelahkan itu seolah-olah hendak dibungkus oleh peristiwa pawai yang meriah, penuh sorak-sorai kegembiraan.
Peristiwa yang diceritakan Ardan sebenarnya sama sekali tidak luar biasa. Hal apa yang menarik untuk diceritakan dari peristiwa antrean panjang orang yang mau berobat? Sangat mungkin pada masa itu, antrean seperti itu sudah sangat biasa terjadi di mana-mana. Dari peristiwa yang biasa itu, Ardan justru melihat sesuatu yang tak lazim. Tidak hanya itu, ia juga memasukkan kritik sosialnya terhadap ulah oknum yang memanfaatkan kesengsaraan orang lain untuk kepentingan pribadi. Dalam hal itulah kita dapat melihat, bagaimana kepekaan seorang sastrawan dalam mencermati kehidupan di persekitarannya. Bagaimana pula ia mengangkat peristiwa yang biasa dan sepertinya tak penting menjadi luar biasa yang dapat menggugah rasa kemanusiaan pembacanya.
Seperti sudah menjadi fitrah manusia ketika menghadapi kesengsaraan atau penderitaan, selalu saja muncul karakter manusia yang hakiki, sifat-sifat manusia yang paling mendasar yang menyangkut kebaikan dan keburukan: solidaritas sosial, toleransi, tolong-menolong dan sifat baik lainnya. Atau sifat-sifat egois, keserakahan, kemunafikan, dan entah apa lagi dari tabiat buruk manusia. Jadi, dari peristiwa antrean itu saja berbagai macam sifat manusia bisa muncul begitu saja.
Secara ringkas, cerpen ini dimulai dengan kalimat: “Akhirnya Tinah membawa anaknya ke rumah sakit.” Kalimat pendek ini, sesungguhnya mengisyaratkan banyak hal: penderitaan, keterpaksaan, kemiskinan, kegelisahan. Alinea berikutnya menggambarkan antrean yang panjang (“Dan ketika pintu dibuka barisan sudah mencapai tepi jalan raya”). Jadi, orang-orang justru sudah ikut antre sejak pagi-pagi sekali. Dalam antrean yang panjang itu, barisan merangkak maju.
Bagian ini saja sudah mengisyaratkan kritik sosial: bagaimana orang mau berobat harus antre sedemikian panjang. Pasti ada sesuatu yang tak beres. Penjaga atau dokternya yang datang terlambat atau dokter (dan pemerintah) yang tidak pernah mendahulukan kepentingan masyarakat. Kasus semacam ini, tentu saja dapat kita jumpai dengan mudah ketika masyarakat menjalankan haknya di perusahaan publik. Namanya saja perusahaan negara, tetapi sama sekali tak pernah memberi pelayanan yang baik untuk mendahulukan kepentingan masyarakat.
Adanya serangkaian dialog di antara mereka yang sedang antre itu, makin menegaskan status sosialnya: rakyat kecil! Dan Ardan secara konsisten menggunakan dialek Betawi dalam dialog antartokohnya. Maka terungkaplah, betapa hidup sebagai orang kecil selalu harus berjuang keras, agar ia tetap dapat mempertahankan kehidupan keluarganya dengan cara apapun. Dalam kondisi seperti itu, mereka tokh masih tetap juga punya rasa solider, masih ada kepedulian sosial di antara mereka. Perhatikan kutipan berikut ini yang memperlihatkan hal tersebut:
Seorang di belakangnya menanya pada Tinah:
“Mpok orang baru?”
“Baru pegimane?”
“Iye, baru sekali eni datang?”
….
“Kalu gitu nganterinya di sono. Anterian atu lagi. Di depan.”
“Di depan nyang mane?”
“Masup aje ke dalem. Tanya kek ame nyang jage. Orang baru sih enak. Kagak panjang anteriannye.”
“Bayarnye berape, pok?”
“Same juga dua perak. Gi deh cepetan!”
“Mekasih pok, dibilangin.”
Begitulah, di tengah kesengsaraan harus antre, masih ada di antara mereka yang memberitahukan Tinah agar ia jangan salah mengantre.
Yang menarik dari dialog itu adalah munculnya berbagai bentuk ujaran yang khas mencerminkan logat Betawi. Dari kutipan di atas saja, kita dapat dengan mudah menemukan sejumlah kosa kata tersebut, seperti pegimane (bagaimana), eni (ini), belon (belum), ade (ada), di sono (di sana), atu (satu), nyang (yang), masup aje (masuk saja), Gi deh cepetan (pergilah segera), atau Mekasih pok, dibilangin (terima kasih, Pok, diberi tahu). Dalam hal itu, jelas bahwa Ardan memang sangat akrab dengan dunia Betawi. Jadi, dialog itu makin memperkuat pelukisan bagaimana orang Betawi berkomunikasi; begitu cair, lugas tak berjarak, polos tanpa basa-basi, dan egaliter.
Panggilan Pok ‘empok’ (‘kakak’; panggilan untuk perempuan yang sebaya atau yang lebih tua) dan Bang ‘abang’ (kakak; panggilan untuk laki-laki yang sebaya atau yang lebih tua) menunjukkan bahwa kata sapaan lebih ditentukan oleh faktor usia dan bukan status sosial. Kata sapaan itu juga mencerminkan keakraban orang Betawi dalam menghadapi siapa pun, meskipun ia tidak mengenal, siapa dan dari suku mana orang yang disapanya itu. Ciri egaliterian itu juga tampak dari bentuk kata sapaan seperti nyak (ibu) atau babeh (bapak) yang condong didasarkan pada faktor usia dan bukan atas dasar status sosial atau kedudukannya dalam kehidupan kemasyarakatan.
Dalam peristiwa berikutnya, ketika ada seorang pemuda yang tidak mau antre, kata sapaan yang digunakan untuk pemuda itu, tidak menggunakan Bang, melainkan Tuan dan Saudara. Dengan begitu, ketika seseorang memperlihatkan perilaku buruk, kata sapaan yang digunakan justru sengaja dibuat berjarak. Dalam kata sapaan Tuan dan Saudara itu, tersimpan kesan tak suka, tak bersahabat. Kutipan tadi sesungguhnya mengungkapkan banyak hal tentang kultur dan kondisi sosial masyarakat Betawi. Dan Ardan dengan kesederhanaannya itu berhasil menyajikan potret Betawi dengan cukup meyakinkan.
Di balik serangkaian dialog yang tampak begitu bersahaja itu, tersimpan pula kritik sosial yang juga merepresentasikan keadaan masa itu. Perhatikan lagi kutipan berikut ini.
“Kok beli karcisnye dari samping, pok?”
Yang ditanya terkejut sebentar, lalu berkata pelan:
“Nyogok!”
Tinah tidak mengerti, dia memandang aneh. Orang itu menambahkan:
“Kasi aje susternye seperak. Beres deh!”
Menyuap (nyogok) dengan uang satu rupiah, bagi orang kecil seperti tokoh Tinah, selain belum terbiasa, juga harus berhitung dua kali dahulu, antara tetap mengantre meski harus menerima panas dan haus atau melepaskan uang yang sesungguhnya bisa untuk membeli sayuran. Tinah ternyata memilih tetap mengantre. Uang satu rupiah baginya masih sangat berharga. Di pihak lain, ketika orang diguyur kepanasan, suster malah memanfaatkan situasi itu untuk kepentingannya sendiri.
Pelukisan peristiwa itu –yang terjadi tahun 1950-an—ternyata sekarang ini telah menjadi pemandangan yang sangat biasa. Di mana-mana –terutama dalam berbagai perusahaan publik—suap-menyuap dianggap telah menjadi bagian dari tugas para pegawainya. Jadi, meski peristiwa yang diangkat Ardan itu sudah terjadi lebih setengah abad lalu, ternyata kini kebusukan itu telah menjadi budaya aparat birokrasi di semua lapisan. Dengan begitu, konteks kritik sosial yang disampaikan Ardan ternyata masih terasa aktual dan relevan dengan kondisi yang terjadi sekarang di negeri ini.
Selain dialog yang berhasil memberi lukisan bagaimana orang-orang Betawi berinteraksi dan berkomunikasi, kekuatan cerpen ini juga terletak pada kemampuan Ardan mendeskripsikan suasana peristiwa. Cermati saja kutipan berikut ini.
Seorang perempuan agak di muka Tinah ke luar dari barisan. Dia menurunkan anaknya dari barisan. Kain pengaisnya ternyata penuh tai. Orang-orang menutup hidungnya sambil mencari-cari sumbernya yang menyebabkan mereka sedikit harus menahan napas. Sesudah tersua lalu mereka menjauhi sumber itu, meninggalkan perempuan tadi yang sedang menguruki tai anaknya dengan debu tanah.
Meskipun terkesan dalam peristiwa itu ada nada lucu: “Kain pengaisnya ternyata penuh tai. Orang-orang menutup hidungnya sambil mencari-cari sumbernya yang menyebabkan mereka sedikit harus menahan napas,” kita sesungguhnya dibuat prihatin, betapa dalam keadaan kepanasan dan kehausan, para pengantre itu terpaksa pula harus menerima bau tak sedap dari seorang anak yang tak dapat menahan mencretnya. Sebuah pemandangan yang sering kita jumpai dalam berbagai peristiwa sejenis itu.
Yang juga menarik dari pelukisan itu adalah kelugasan Ardan dalam menyuguhkan peristiwa itu seperti tanpa beban. Kata tai dalam kalimat: Kain pengaisnya ternyata penuh tai, agaknya sengaja tidak diganti dengan kata kotoran atau tinja. Begitupun dalam melukiskan perbuatan si ibu yang: sedang menguruki tai anaknya dengan debu tanah, memberi kesan ketidakpedulian perempuan itu terhadap keadaan di sekitarnya. Pilihan kata itu tentunya bukan tanpa maksud. Ardan sengaja menggambarkan peristiwa itu seperti adanya. Dengan begitu, kesan sebagai potret sosial justru menjadi lebih kuat.
Dalam suasana yang tidak nyaman itu, Ardan kembali menyelipkan kritik sosialnya atas perilaku manusia yang sombong, egois dan cuma memikirkan kepentingan sendiri.
Seorang pemuda gagah datang langsung kemuka loket dan menyodorkan kertas. Orang-orang dalam barisan terpukau sebentar. Tapi lagi suara di belakang Tinah:
“Anteri bung, ah!”
“Diri di tempat panas emang kagak enak, Tuan.”
“Anteri dong, kesian nyang laen nih.”
Pemuda gagah memandang angkuh ke arah barisan:
“Mau apa?”
Tak bersambut.
“Berani lagi buka mulut aku hantam.”
Begitulah, dalam peristiwa sederhana seperti itu, Ardan ternyata telah berhasil begitu banyak mengungkap bermacam-macam karakter manusia. Dalam hal itulah, kritk sosial yang disampaikannya jadi terasa lebih mengena, tanpa harus memberi dogma atau ajaran tertentu sacara eksplisit.
Di akhir cerita, Tinah digambarkan sebagai berikut:
Tinah beberapa langkah lagi keloket. Dia yang tidak banyak bicara semakin mengunci mulutnya. Anaknya yang terbangun karena keriuhan barusan ditetekinya. Namun menggelisah juga karena terik matari. Seperti Tinah yang mencoba melawan panas dengan berdiam diri. Seperti barisan yang menghilangkan terik dengan berdiri teratur dan tertib.
“Anak gue jelek-jelek gak aleman.”
Gambaran mengenai Tinah, barangkali merupakan representasi sosok seorang ibu Betawi; sabar meski keadaan menyiksanya, tidak acuh pada keadaan sekelilingnya, sebab ia lebih mementingkan anaknya daripada rasa malunya sendiri, pasrah mengalir mengikut apa pun yang terjadi, dan bangga pada anaknya sendiri: Anak gue jelek-jelek gak aleman. Satu sikap untuk menghadapi kehidupan ini tanpa keluh-kesah dan kemanjaan.
***
Begitulah, cerpen “Pawai di Bawah Bulan” dengan berbagai kebersahajaannya ternyata mengungkapkan banyak hal: berbagai macam karakter manusia, kritik sosial dan semacam potret kultural masyarakat Betawi. Dalam kondisi langkanya cerpen-cerpen seperti itu, sosok kesastrawanan Ardan sesungguhnya masih tetap diperlukan. Tentu saja kita percaya, kontribusinya masih sangat penting bagi usaha memperkaya khazanah keberagaman tema dan estetika cerpen Indonesia modern. Jadi, sungguh sayang jika Ardan menghentikan kepiawaiannya sebagai sosok cerpenis Betawi yang andal.
(Maman S. Mahayana, Pengajar FSUI, Depok).
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Label
`Atiqurrahman
A Muttaqin
A Rodhi Murtadho
A. Iwan Kapit
A. Purwantara
A. Qorib Hidayatullah
A. Zakky Zulhazmi
A.H.J Khuzaini
A.S. Laksana
Aang Fatihul Islam
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi WM
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Lathief
Abdul Malik
Abdul Wachid B.S.
Abdurrahman El Husaini
Abidah El Khalieqy
Abu Salman
Acep Zamzam Noor
Achdiat K. Mihardja
Adek Alwi
Adi Suhara
Adnyana Ole
Adreas Anggit W.
Afrion
Afrizal Malna
Aguk Irawan MN
Agung Dwi Ertato
Agus B. Harianto
Agus Buchori
Agus Himawan
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus Sulton
Agusri Junaidi
Agustinus Wahyono
Ahda Imran
Ahmad Badrus Sholihin
Ahmad Fanani Mosah
Ahmad Fatoni
Ahmad Ikhwan Susilo
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Musabbih
Ahmad Rofiq
Ahmad Sahidah
Ahmad Tohari
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Muhaimin Azzet
Akhmad Sekhu
Alex R. Nainggolan
Alex Suban
Alunk Estohank
Ami Herman
Amien Kamil
Amien Wangsitalaja
Aminudin R Wangsitalaja
Anastasya Andriarti
Andreas Maryoto
Anes Prabu Sadjarwo
Angela
Angga Wijaya
Angkie Yudistia
Anindita S Thayf
Anis Ceha
Anjrah Lelono Broto
Anton Kurnia
Anton Kurniawan
Anton Wahyudi
Anugrah Gio Pratama
Anwar Nuris
Aprinus Salam
Arie MP Tamba
Arif B. Prasetyo
Arif Bagus Prasetyo
Arif Hidayat
Arman A.Z.
Arti Bumi Intaran
Arys Hilman
AS Sumbawi
Asarpin
Asef Umar Fakhruddin
Asep Sambodja
Asrama Mahasiswa Aceh SABENA
Astrikusuma
Asvi Warman Adam
Atep Kurnia
Awalludin GD Mualif
Aziz Abdul Gofar
Azizah Hefni
Badrut Tamam Gaffas
Bagja Hidayat
Bagus Takwin
Balada
Bale Aksara
Baltasar Koi
Bambang Agung
Bambang Kempling
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Bayu Insani
Beni Setia
Benny Arnas
Benny Benke
Berita
Berita Duka
Berita Utama
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Blambangan
Brunel University London
BSW Adjikoesoemo
Budaya
Budhi Setyawan
Budi Darma
Budi Saputra
Budi Suwarna
Bung Tomo
Cak Kandar
Catatan
Cerpen
Chairil Anwar
Chavchay Syaifullah
Cucuk Espe
Cunong N. Suraja
D. Zawawi Imron
Dadang Ari Murtono
Daisuke Miyoshi
Damanhuri
Damhuri Muhammad
Damiri Mahmud
Danarto
Daniel Dhakidae
Dante Alighieri
Deddy Arsya
Dedy Tri Riyadi
Denny Mizhar
Deny Tri Aryanti
Detti Febrina
Dharmadi
Diah Hadaning
Dian Hartati
Dian Sukarno
Diana A.V. Sasa
Dicky Fadiar Djuhud
Didi Arsandi
Dimas
Dina Oktaviani
Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan
Djadjat Sudradjat
Djoko Saryono
Doddi Ahmad Fauji
Doddy Hidayatullah
Donny Anggoro
Dony P. Herwanto
Dorothea Rosa Herliany
Dr. Muhammad Zafar Iqbal
Dr. Simuh
Dwi Arjanto
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwicipta
Dwijo Maksum
Edy A. Effendi
Edy Firmansyah
Efri Ritonga
Egidius Patnistik
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Eko Hendri Saiful
Elik
Elsya Crownia
Emha Ainun Nadjib
Endah Sulawesi
Endah Wahyuningsih
Endang Suryadinata
Endhiq Anang P
Endri Y
Eriyandi Budiman
Ernest Hemingway
Esai
Esha Tegar Putra
Eva Dwi Kurniawan
Evi Dana Setia Ningrum
Evi Idawati
Evieta Fadjar
F Rahardi
Fabiola D. Kurnia
Fadelan
Fahrudin Nasrulloh
Faidil Akbar
Faisal Kamandobat
Faisal Syahreza
Faizal Syahreza
Fajar Alayubi
Fandy Hutari
Fany Chotimah
Fatah Yasin Noor
Fathor Lt
Fathurrahman Karyadi
Fatih Kudus Jaelani
Fatma Dwi Rachmawati
Fauzi Absal
Festival Sastra Gresik
Fikri. MS
Fina Sato
Fitri Susila
Galih Pandu Adi
Gde Agung Lontar
Geger Riyanto
Gerakan Literasi
Gerakan Surah Buku (GSB)
Gerson Poyk
Ginanjar Rahadian
Gita Pratama
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gunawan Budi Susanto
Gunoto Saparie
Gus Martin
Gus tf Sakai
Gusti Eka
Hadi Napster
Haji Misbach
Halim HD
Halimi Zuhdy
Hamberan Syahbana
Hamdy Salad
Han Gagas
Handoko F. Zainsam
Hari Santoso
Haris del Hakim
Hartono Harimurti
Hary B. Kori’un
Hasan Gauk
Hasan Junus
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Hasta Indriyana
Helwatin Najwa
Hepi Andi Bastoni
Heri C Santoso
Heri KLM
Heri Latief
Heri Listianto
Hermien Y. Kleden
Hernadi Tanzil
Heru Emka
Heru Kurniawan
Heru Prasetya
Hesti Sartika
Hudan Hidayat
Humaidiy AS
I Made Asdhiana
I Made Prabaswara
I Nyoman Suaka
IBM. Dharma Palguna
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
Ida Ahdiah
Idayati
Ignas Kleden
Ihsan Taufik
Ilenk Rembulan
Ilham Khoiri
Ilham Yusardi
Imam Cahyono
Imam Jahrudin Priyanto
Imam Muhtarom
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Rosyid
Imron Tohari
Indah Darmastuti
Indiar Manggara
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Indrian Koto
Irma Safitri
Irman Syah
Iskandar Noe
Istiqomatul Hayati
Ita Siregar
Iwan Kurniawan
Iwan Nurdaya-Djafar
Iyut FItra
Jadid Al Farisy
Jafar M. Sidik
Jakob Sumardjo
Jamal D Rahman
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jayaning S.A
Jefri al Malay
Jihan Fauziah
JJ. Kusni
Jo Pakagula
Johan Edy Raharjo
Joko Pinurbo
Jokowi Undercover
Joni Ariadinata
Joss Wibisono
Jual Buku Paket Hemat
Judyane Koz
Juli Sastrawan
Junaidi Abdul Munif
Jusuf AN
Juwairiyah Mawardy
Kadir Ruslan
Kasnadi
Katrin Bandel
Kedung Darma Romansha
Khairul Mufid Jr
Khamami Zada
Khrisna Pabichara
Kikin Kuswandi
Koh Young Hun
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias
Komunitas Sastra Ilalang Indonesia (KSII)
Korrie Layun Rampan
Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan)
Kristianto Batuadji
Kritik Sastra
Kunni Masrohanti
Kunthi Hastorini
Kuntowijoyo
Kurie Suditomo
Kurnia EF
Kurniawan
Kuswaidi Syafi'ie
Kuswinarto
Lan Fang
Landung Rusyanto Simatupang
Latief S. Nugraha
Leila S. Chudori
Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M)
Liestyo Ambarwati Khohar
Linda Sarmili
Liston P. Siregar
Liza Wahyuninto
LN Idayanie
Lucia Idayani
Lukman Asya
Lusiana Indriasari
Lynglieastrid Isabellita
M Hari Atmoko
M. Aan Mansyur
M. Arman A.Z
M. Bagus Pribadi
M. Fadjroel Rachman
M. Harya Ramdhoni Julizarsyah
M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S
M. Luthfi Aziz
M. Nahdiansyah Abdi
M. Raudah Jambak
M. Shoim Anwar
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Maghfur Saan
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Majalah Sastra Horison
Maklumat Sastra Profetik
Malkan Junaidi
Maman S. Mahayana
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maria Serenade Sinurat
Mario F. Lawi
Marluwi
Marsel Robot
Martin Aleida
Martin Suryajaya
Mashuri
Matdon
Mega Vristian
Melani Budianta
Melayu Riau
Memoar
MG. Sungatno
Mh Zaelani Tammaka
Miftah Fadhli
Miftahul Abrori
Misbahus Surur
Miziansyah J
Mochtar Lubis
Mohamad Ali Hisyam
Mohammad Eri Irawan
MT Arifin
Mugy Riskiana Halalia
Muhajir Arrosyid
Muhamad Rifai
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Al-Mubassyir
Muhammad Qodari
Muhammad Rain
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun A.S
Muhidin M. Dahlan
Muhlis Al-Firmany
Mujtahid
Mulyadi SA
Munawir Aziz
Murniati Tanjung
Murnierida Pram
Musa Ismail
Musfi Efrizal
Mustaan
Mustafa Ismail
N. Mursidi
Nafsul Latifah
Naskah Teater
Nasrullah Nara
Nelson Alwi
Nenden Lilis A
Nh. Anfalah
Ni Made Purnama Sari
Nina Mussolini-Hansson
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Noura
Nova Christina
Noval Jubbek
Novela Nian
Nugroho Notosusanto
Nugroho Pandhu Sukmono
Nur Faizah
Nurdin F. Joes
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nurul Komariyah
Nuryana Asmaudi SA
Nyoman Tusthi Eddy
Nyoman Wirata
Oka Rusmini
Oktamandjaya Wiguna
Oky Sanjaya
Olanama
Olivia Kristina Sinaga
Otto Sukatno CR
Pagelaran Musim Tandur
Pamusuk Eneste
Patricia Pawestri
PDS H.B. Jassin
PDS. H.B. Jassin
Penghargaan Hadiah Sastra Pusat Bahasa
Persda Network
Pipiet Senja
Pramoedya Ananta Toer
Pramono
Pranita Dewi
Pringadi AS
Prita Daneswari
Prof. Tamim Pardede sebut Bambang Tri
Prosa
Pudyo Saptono
Puisi
Puisi Kesunyian
Puisi Sufi
Puji Santosa
PUstaka puJAngga
Putu Fajar Arcana
Putu Wijaya
Qaris Tajudin
R. Sugiarti
Rachmad Djoko Pradopo
Radhar Panca Dahana
Ragdi F. Daye
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Ramadhan Batubara
Ramadhan KH
Ratih Kumala
Ratna Indraswari Ibrahim
Ratna Sarumpaet
Raudal Tanjung Banua
Remy Sylado
Reni Susanti
Renny Meita Widjajanti
Resensi
Restu Kurniawan
Retno Sulistyowati
RF. Dhonna
Rian Sindu
Ribut Wijoto
Ridwan Munawwar
Riki Utomi
Riris K. Toha-Sarumpaet
Risang Anom Pujayanto
Riza Multazam Luthfy
Robin Al Kautsar
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rohman Abdullah
Rosidi
Rosihan Anwar
Rukardi
S Yoga
S. Jai
S. Sinansari Ecip
S.I. Poeradisastra
S.W. Teofani
Sabam Siagian
Sabrank Suparno
Saiful Anam Assyaibani
Sainul Hermawan
Sajak
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Samsudin Adlawi
Sanggar Rumah Ilalang
Sanggar Teater Jerit
Sapardi Djoko Damono
Sartika Dian
Sartika Dian Nuraini
Sastra Tanah Air
Sastra Using
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sayyid Fahmi Alathas
Sazano
Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo
Seli Desmiarti
Selo Soemardjan
Senggrutu Singomenggolo
Seno Joko Suyono
SH Mintardja
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sipri Senda
Sitok Srengenge
Siwi Dwi Saputro
Sjifa Amori
Sobih Adnan
Sofian Dwi
Sofie Dewayani
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sri Ruwanti
Sri Wintala Achmad
St Sularto
Stefanus P. Elu
Sukron Abdilah
Sulaiman Djaya
Suminto A. Sayuti
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sungging Raga
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Suryansyah
Suryanto Sastroatmodjo
Susanto
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Suyadi
Suyadi San
Syaifuddin Gani
Syaiful Amin
Syamsiar Hidayah
Syarbaini
Syifa Amori
Syifa Aulia
Tajuddin Noor Ganie
Taufik Abdullah
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
TE. Priyono
Teguh Afandi
Teguh Ranusastra Asmara
Teguh Winarsho AS
Tengsoe Tjahjono
Theresia Purbandini
Tita Tjindarbumi
Titik Alva-Alvi Choiriyah
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Tjoet Nyak Dhien
Tosa Poetra
Tri Lestari Sustiyana
Triyanto Triwikromo
TS Pinang
Tu-ngang Iskandar
Tulus S
Tulus Wijanarko
Udo Z. Karzi
Ugoran Prasad
Umar Fauzi Ballah
Umar Kayam
Umbu Landu Paranggi
Universitas Indonesia
Universitas Jember
Utada Kamaru
UU Hamidy
Vera Ernawati
Veronika Ninik
W.S. Rendra
Wahjudi Djaja
Wahyu Hidayat
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Budiartha
Widya Karima
Wijaya Herlambang
Wiji Thukul
Willem B Berybe
Wilson Nadeak
Winarni R.
Wiratmo Soekito
Wita Lestari
Wiwik Widayaningtias
Y. Thendra BP
Y. Wibowo
Yasser Arafat
Yeni Ratnaningsih
Yohanes Sehandi
Yonatan Raharjo
Yonathan Rahardjo
Yopi Setia Umbara
Yos Rizal S
Yos Rizal Suriaji
Yudhi Herwibowo
Yuka Fainka Putra
Yurnaldi
Yushifull Ilmy
Yusri Fajar
Yusuf Suharto
Zainal Abidin
Zainal Arifin Thoha
Zawawi Se
Zen Hae
Tidak ada komentar:
Posting Komentar