Kamis, 20 November 2008

POTRET SOSIAL MASYARAKAT BETAWI

Maman S Mahayana
http://mahayana-mahadewa.com/

Cerpen-cerpen SM Ardan sebagian besar cenderung mengangkat persoalan yang terjadi dalam kehidupan masyarakat Betawi; masyarakat yang memang sangat dikenalnya benar. Di sana, Ardan seolah-olah memotret apa saja yang dilihatnya. Maka, apapun yang terjadi dalam kehidupan masyarakat Betawi, sangat mungkin telah menjadi tema cerpen-cerpennya. Terkesan kuat, ia sekadar hendak mewartakan secara apa adanya segala yang terjadi atau yang menjadi kegelisahannya. Oleh karena itu, tema cerita dalam cerpen-cerpennya begitu beragam. Ada yang bercerita tentang pesta yang dilakukan masyarakat, dolanan anak-anak, pengemis, keinginan seseorang naik haji, antrean di rumah sakit atau persoalan keseharian yang remeh-temeh. Pokoknya, apapun yang terjadi di dalam kehidupan masyarakat Betawi, di tangannya segala peristiwa itu bisa menjadi cerpen.

Barangkali karena Ardan tidak terpaku pada satu tema tertentu, maka kesan kuat yang terasa ketika membaca cerpen-cerpennya adalah kebersahajaannya mengangkat cerita. Tidak tampak adanya keinginan untuk memasukkan filsafat atau pemikiran yang rumit dalam ceritanya. Boleh jadi karena kebersahajaannya itu, pesan yang diselusupkan ke dalam cerita jadi begitu tersembunyi. Ia menyampaikan ajaran moral secara implisit, baik melalui lakuan dan dialog antartokoh, maupun peristiwa yang dilukiskannya.

Guna mendukung kebersahajaannya itu pula, maka tokoh-tokoh yang ditampilkan pun bisa siapa saja; rakyat kecil, anak-anak, ibu rumah tangga, bahkan juga pejabat. Yang penting, ia dapat mengungkapkan peristiwa apa saja tanpa harus terikat pada tokoh atau tema tertentu. Ia sekadar hendak menampilkan kegelisahan masyarakat Betawi dengan problem sosial-budayanya yang kadangkala cukup kompleks, kadang pula begitu naif.

Hal lain yang cukup menonjol adalah gaya bertuturnya yang ringan, dengan tema yang juga ringan. Itulah sebabnya, Ajip Rosidi menyebut cerpen-cerpen Ardan cenderung sebagai sketsa. Dilihat dari sudut ini, memang cerpen-cerpen Ardan lebih dekat kepada bentuk sketsa dengan tema ringan dan cara bertuturnya yang juga ringan.

***

Dalam tradisi sastra Betawi, bentuk sketsa sudah dikenal sejak bermunculan surat kabar atau majalah berbahasa Betawi atau berbahasa Melayu pasar menjelang pergantian abad ke-19. Dalam majalah atau surat-surat kabar itu, ada satu rubrik yang namanya bisa macam-macam. Ada rubrik Pojok, Buah Tutur, Langgam Betawi atau nama yang diambil dari nama tokoh yang ditampilkannya.

Rubrik seperti itu dimaksudkan sebagai selingan. Oleh karena itu, masalah yang diangkatnya lebih banyak menyangkut peristiwa yang ringan dan biasanya berisi sindiran atau kritik atas berbagai persoalan yang sedang terjadi di tengah masyarakat. Sindiran atau kritikannya itu terkesan seperti disampaikan sambil lalu atau dalam bentuk dialog ringan dengan nada bercanda, jenaka dan humoris. Sedangkan sasaran kritikannya bisa ditujukan kepada siapa saja, mulai dari pejabat tinggi pemerintah sampai kepada rakyat kecil. Kebanyakan peristiwa yang ditampilkannya bersifat aktual, kontemporer, sezaman atau yang sedang menjadi sorotan masyarakat. Dengan cara begitu, pembaca seperti diingatkan, ditegur, disindir, atau diajak untuk melakukan introspeksi. Tjalie Robinson, Kwee Kek Beng, Firman Muntaco –termasuk SM Ardan sendiri—adalah penulis sketsa yang bagi masyarakat Betawi, namanya sudah tidak asing lagi.

Untuk melihat bagaimana cerpen Ardan lebih dekat pada bentuk sketsa, mari kita cermati cerpennya yang berjudul “Pawai di Bawah Bulan.” Cerpen ini pertama kali muncul di majalah Kisah, 1, 3, 1955. Bahwa HB Jassin yang menjadi Pemimpin Redaksi majalah itu memuat cerpen Ardan, tentu saja dengan pertimbangan kualitas karya yang bersangkutan. Bersama cerpen lainnya, cerpen ini kemudian dimasukkan dalam antologi Terang Bulan Terang Dikali (Jakarta: Gunung Agung, 1955).

***

Mengapa Ardan memilih judul cerpennya itu, “Pawai di Bawah Bulan” padahal latar waktu peristiwa yang digambarkan dalam cerpen itu terjadi waktu pagi sampai siang hari bolong? Dari sini saja Ardan sudah mengungkapkan sebuah paradoks: kegetiran yang dikontraskan dengan kemeriahan (pawai). Sesungguhnya, bisa saja ia memberi judul cerpen itu “Antre di Siang Hari” atau “Antrean di Rumah Sakit”. Jika judulnya itu atau yang sejenis itu, pembaca tentu saja tidak lagi dibuat penasaran, sebab sudah diberi sinyal bahwa cerpen itu akan mengungkapkan peristiwa antre di siang hari. Namun, dengan judul “Pawai di Bawah Bulan” kesan menyindir dengan paradoks menjadi sangat kuat. Bagaimana orang antre untuk berobat seperti orang sedang berpawai malam hari. Peristiwa antrean yang begitu panjang dan melelahkan itu seolah-olah hendak dibungkus oleh peristiwa pawai yang meriah, penuh sorak-sorai kegembiraan.

Peristiwa yang diceritakan Ardan sebenarnya sama sekali tidak luar biasa. Hal apa yang menarik untuk diceritakan dari peristiwa antrean panjang orang yang mau berobat? Sangat mungkin pada masa itu, antrean seperti itu sudah sangat biasa terjadi di mana-mana. Dari peristiwa yang biasa itu, Ardan justru melihat sesuatu yang tak lazim. Tidak hanya itu, ia juga memasukkan kritik sosialnya terhadap ulah oknum yang memanfaatkan kesengsaraan orang lain untuk kepentingan pribadi. Dalam hal itulah kita dapat melihat, bagaimana kepekaan seorang sastrawan dalam mencermati kehidupan di persekitarannya. Bagaimana pula ia mengangkat peristiwa yang biasa dan sepertinya tak penting menjadi luar biasa yang dapat menggugah rasa kemanusiaan pembacanya.

Seperti sudah menjadi fitrah manusia ketika menghadapi kesengsaraan atau penderitaan, selalu saja muncul karakter manusia yang hakiki, sifat-sifat manusia yang paling mendasar yang menyangkut kebaikan dan keburukan: solidaritas sosial, toleransi, tolong-menolong dan sifat baik lainnya. Atau sifat-sifat egois, keserakahan, kemunafikan, dan entah apa lagi dari tabiat buruk manusia. Jadi, dari peristiwa antrean itu saja berbagai macam sifat manusia bisa muncul begitu saja.

Secara ringkas, cerpen ini dimulai dengan kalimat: “Akhirnya Tinah membawa anaknya ke rumah sakit.” Kalimat pendek ini, sesungguhnya mengisyaratkan banyak hal: penderitaan, keterpaksaan, kemiskinan, kegelisahan. Alinea berikutnya menggambarkan antrean yang panjang (“Dan ketika pintu dibuka barisan sudah mencapai tepi jalan raya”). Jadi, orang-orang justru sudah ikut antre sejak pagi-pagi sekali. Dalam antrean yang panjang itu, barisan merangkak maju.

Bagian ini saja sudah mengisyaratkan kritik sosial: bagaimana orang mau berobat harus antre sedemikian panjang. Pasti ada sesuatu yang tak beres. Penjaga atau dokternya yang datang terlambat atau dokter (dan pemerintah) yang tidak pernah mendahulukan kepentingan masyarakat. Kasus semacam ini, tentu saja dapat kita jumpai dengan mudah ketika masyarakat menjalankan haknya di perusahaan publik. Namanya saja perusahaan negara, tetapi sama sekali tak pernah memberi pelayanan yang baik untuk mendahulukan kepentingan masyarakat.

Adanya serangkaian dialog di antara mereka yang sedang antre itu, makin menegaskan status sosialnya: rakyat kecil! Dan Ardan secara konsisten menggunakan dialek Betawi dalam dialog antartokohnya. Maka terungkaplah, betapa hidup sebagai orang kecil selalu harus berjuang keras, agar ia tetap dapat mempertahankan kehidupan keluarganya dengan cara apapun. Dalam kondisi seperti itu, mereka tokh masih tetap juga punya rasa solider, masih ada kepedulian sosial di antara mereka. Perhatikan kutipan berikut ini yang memperlihatkan hal tersebut:

Seorang di belakangnya menanya pada Tinah:

“Mpok orang baru?”
“Baru pegimane?”
“Iye, baru sekali eni datang?”
….

“Kalu gitu nganterinya di sono. Anterian atu lagi. Di depan.”
“Di depan nyang mane?”
“Masup aje ke dalem. Tanya kek ame nyang jage. Orang baru sih enak. Kagak panjang anteriannye.”
“Bayarnye berape, pok?”
“Same juga dua perak. Gi deh cepetan!”
“Mekasih pok, dibilangin.”

Begitulah, di tengah kesengsaraan harus antre, masih ada di antara mereka yang memberitahukan Tinah agar ia jangan salah mengantre.

Yang menarik dari dialog itu adalah munculnya berbagai bentuk ujaran yang khas mencerminkan logat Betawi. Dari kutipan di atas saja, kita dapat dengan mudah menemukan sejumlah kosa kata tersebut, seperti pegimane (bagaimana), eni (ini), belon (belum), ade (ada), di sono (di sana), atu (satu), nyang (yang), masup aje (masuk saja), Gi deh cepetan (pergilah segera), atau Mekasih pok, dibilangin (terima kasih, Pok, diberi tahu). Dalam hal itu, jelas bahwa Ardan memang sangat akrab dengan dunia Betawi. Jadi, dialog itu makin memperkuat pelukisan bagaimana orang Betawi berkomunikasi; begitu cair, lugas tak berjarak, polos tanpa basa-basi, dan egaliter.

Panggilan Pok ‘empok’ (‘kakak’; panggilan untuk perempuan yang sebaya atau yang lebih tua) dan Bang ‘abang’ (kakak; panggilan untuk laki-laki yang sebaya atau yang lebih tua) menunjukkan bahwa kata sapaan lebih ditentukan oleh faktor usia dan bukan status sosial. Kata sapaan itu juga mencerminkan keakraban orang Betawi dalam menghadapi siapa pun, meskipun ia tidak mengenal, siapa dan dari suku mana orang yang disapanya itu. Ciri egaliterian itu juga tampak dari bentuk kata sapaan seperti nyak (ibu) atau babeh (bapak) yang condong didasarkan pada faktor usia dan bukan atas dasar status sosial atau kedudukannya dalam kehidupan kemasyarakatan.

Dalam peristiwa berikutnya, ketika ada seorang pemuda yang tidak mau antre, kata sapaan yang digunakan untuk pemuda itu, tidak menggunakan Bang, melainkan Tuan dan Saudara. Dengan begitu, ketika seseorang memperlihatkan perilaku buruk, kata sapaan yang digunakan justru sengaja dibuat berjarak. Dalam kata sapaan Tuan dan Saudara itu, tersimpan kesan tak suka, tak bersahabat. Kutipan tadi sesungguhnya mengungkapkan banyak hal tentang kultur dan kondisi sosial masyarakat Betawi. Dan Ardan dengan kesederhanaannya itu berhasil menyajikan potret Betawi dengan cukup meyakinkan.

Di balik serangkaian dialog yang tampak begitu bersahaja itu, tersimpan pula kritik sosial yang juga merepresentasikan keadaan masa itu. Perhatikan lagi kutipan berikut ini.

“Kok beli karcisnye dari samping, pok?”
Yang ditanya terkejut sebentar, lalu berkata pelan:
“Nyogok!”
Tinah tidak mengerti, dia memandang aneh. Orang itu menam­bahkan:
“Kasi aje susternye seperak. Beres deh!”

Menyuap (nyogok) dengan uang satu rupiah, bagi orang kecil seperti tokoh Tinah, selain belum terbiasa, juga harus berhitung dua kali dahulu, antara tetap mengantre meski harus menerima panas dan haus atau melepaskan uang yang sesungguhnya bisa untuk membeli sayuran. Tinah ternyata memilih tetap mengantre. Uang satu rupiah baginya masih sangat berharga. Di pihak lain, ketika orang diguyur kepanasan, suster malah memanfaatkan situasi itu untuk kepentingannya sendiri.

Pelukisan peristiwa itu –yang terjadi tahun 1950-an—ternyata sekarang ini telah menjadi pemandangan yang sangat biasa. Di mana-mana –terutama dalam berbagai perusahaan publik—suap-menyuap dianggap telah menjadi bagian dari tugas para pegawainya. Jadi, meski peristiwa yang diangkat Ardan itu sudah terjadi lebih setengah abad lalu, ternyata kini kebusukan itu telah menjadi budaya aparat birokrasi di semua lapisan. Dengan begitu, konteks kritik sosial yang disampaikan Ardan ternyata masih terasa aktual dan relevan dengan kondisi yang terjadi sekarang di negeri ini.

Selain dialog yang berhasil memberi lukisan bagaimana orang-orang Betawi berinteraksi dan berkomunikasi, kekuatan cerpen ini juga terletak pada kemampuan Ardan mendeskripsikan suasana peristiwa. Cermati saja kutipan berikut ini.

Seorang perempuan agak di muka Tinah ke luar dari barisan. Dia menurunkan anaknya dari barisan. Kain pengaisnya ternyata penuh tai. Orang-orang menutup hidungnya sambil mencari-cari sumber­nya yang menyebabkan mereka sedikit harus mena­­­han napas. Sesudah tersua lalu mereka menjauhi sum­ber itu, meninggalkan perempuan tadi yang sedang menguruki tai anaknya dengan debu tanah.

Meskipun terkesan dalam peristiwa itu ada nada lucu: “Kain pengaisnya ternyata penuh tai. Orang-orang menutup hidungnya sambil mencari-cari sumber­nya yang menyebabkan mereka sedikit harus mena­­­han napas,” kita sesungguhnya dibuat prihatin, betapa dalam keadaan kepanasan dan kehausan, para pengantre itu terpaksa pula harus menerima bau tak sedap dari seorang anak yang tak dapat menahan mencretnya. Sebuah pemandangan yang sering kita jumpai dalam berbagai peristiwa sejenis itu.

Yang juga menarik dari pelukisan itu adalah kelugasan Ardan dalam menyuguhkan peristiwa itu seperti tanpa beban. Kata tai dalam kalimat: Kain pengaisnya ternyata penuh tai, agaknya sengaja tidak diganti dengan kata kotoran atau tinja. Begitupun dalam melukiskan perbuatan si ibu yang: sedang menguruki tai anaknya dengan debu tanah, memberi kesan ketidakpedulian perempuan itu terhadap keadaan di sekitarnya. Pilihan kata itu tentunya bukan tanpa maksud. Ardan sengaja menggambarkan peristiwa itu seperti adanya. Dengan begitu, kesan sebagai potret sosial justru menjadi lebih kuat.

Dalam suasana yang tidak nyaman itu, Ardan kembali menyelipkan kritik sosialnya atas perilaku manusia yang sombong, egois dan cuma memikirkan kepentingan sendiri.

Seorang pemuda gagah datang langsung kemuka loket dan menyo­dorkan kertas. Orang-orang dalam barisan terpukau sebentar. Tapi lagi suara di belakang Tinah:

“Anteri bung, ah!”
“Diri di tempat panas emang kagak enak, Tuan.”
“Anteri dong, kesian nyang laen nih.”
Pemuda gagah memandang angkuh ke arah barisan:
“Mau apa?”
Tak bersambut.
“Berani lagi buka mulut aku hantam.”

Begitulah, dalam peristiwa sederhana seperti itu, Ardan ternyata telah berhasil begitu banyak mengungkap bermacam-macam karakter manusia. Dalam hal itulah, kritk sosial yang disampaikannya jadi terasa lebih mengena, tanpa harus memberi dogma atau ajaran tertentu sacara eksplisit.

Di akhir cerita, Tinah digambarkan sebagai berikut:

Tinah beberapa langkah lagi keloket. Dia yang tidak banyak bicara semakin mengunci mulutnya. Anaknya yang terbangun karena keriuhan barusan ditetekinya. Namun menggelisah juga karena terik matari. Seperti Tinah yang mencoba melawan panas dengan berdiam diri. Seperti barisan yang menghilangkan terik dengan berdiri teratur dan tertib.

“Anak gue jelek-jelek gak aleman.”

Gambaran mengenai Tinah, barangkali merupakan representasi sosok seorang ibu Betawi; sabar meski keadaan menyiksanya, tidak acuh pada keadaan sekelilingnya, sebab ia lebih mementingkan anaknya daripada rasa malunya sendiri, pasrah mengalir mengikut apa pun yang terjadi, dan bangga pada anaknya sendiri: Anak gue jelek-jelek gak aleman. Satu sikap untuk menghadapi kehidupan ini tanpa keluh-kesah dan kemanjaan.

***

Begitulah, cerpen “Pawai di Bawah Bulan” dengan berbagai kebersahajaannya ternyata mengungkapkan banyak hal: berbagai macam karakter manusia, kritik sosial dan semacam potret kultural masyarakat Betawi. Dalam kondisi langkanya cerpen-cerpen seperti itu, sosok kesastrawanan Ardan sesungguhnya masih tetap diperlukan. Tentu saja kita percaya, kontribusinya masih sangat penting bagi usaha memperkaya khazanah keberagaman tema dan estetika cerpen Indonesia modern. Jadi, sungguh sayang jika Ardan menghentikan kepiawaiannya sebagai sosok cerpenis Betawi yang andal.

(Maman S. Mahayana, Pengajar FSUI, Depok).

Tidak ada komentar:

Label

`Atiqurrahman A Muttaqin A Rodhi Murtadho A. Iwan Kapit A. Purwantara A. Qorib Hidayatullah A. Zakky Zulhazmi A.H.J Khuzaini A.S. Laksana Aang Fatihul Islam Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi WM Abdul Kadir Ibrahim Abdul Lathief Abdul Malik Abdul Wachid B.S. Abdurrahman El Husaini Abidah El Khalieqy Abu Salman Acep Zamzam Noor Achdiat K. Mihardja Adek Alwi Adi Suhara Adnyana Ole Adreas Anggit W. Afrion Afrizal Malna Aguk Irawan MN Agung Dwi Ertato Agus B. Harianto Agus Buchori Agus Himawan Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sulton Agusri Junaidi Agustinus Wahyono Ahda Imran Ahmad Badrus Sholihin Ahmad Fanani Mosah Ahmad Fatoni Ahmad Ikhwan Susilo Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musabbih Ahmad Rofiq Ahmad Sahidah Ahmad Tohari Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sekhu Alex R. Nainggolan Alex Suban Alunk Estohank Ami Herman Amien Kamil Amien Wangsitalaja Aminudin R Wangsitalaja Anastasya Andriarti Andreas Maryoto Anes Prabu Sadjarwo Angela Angga Wijaya Angkie Yudistia Anindita S Thayf Anis Ceha Anjrah Lelono Broto Anton Kurnia Anton Kurniawan Anton Wahyudi Anugrah Gio Pratama Anwar Nuris Aprinus Salam Arie MP Tamba Arif B. Prasetyo Arif Bagus Prasetyo Arif Hidayat Arman A.Z. Arti Bumi Intaran Arys Hilman AS Sumbawi Asarpin Asef Umar Fakhruddin Asep Sambodja Asrama Mahasiswa Aceh SABENA Astrikusuma Asvi Warman Adam Atep Kurnia Awalludin GD Mualif Aziz Abdul Gofar Azizah Hefni Badrut Tamam Gaffas Bagja Hidayat Bagus Takwin Balada Bale Aksara Baltasar Koi Bambang Agung Bambang Kempling Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Bayu Insani Beni Setia Benny Arnas Benny Benke Berita Berita Duka Berita Utama Bernando J. Sujibto Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Blambangan Brunel University London BSW Adjikoesoemo Budaya Budhi Setyawan Budi Darma Budi Saputra Budi Suwarna Bung Tomo Cak Kandar Catatan Cerpen Chairil Anwar Chavchay Syaifullah Cucuk Espe Cunong N. Suraja D. Zawawi Imron Dadang Ari Murtono Daisuke Miyoshi Damanhuri Damhuri Muhammad Damiri Mahmud Danarto Daniel Dhakidae Dante Alighieri Deddy Arsya Dedy Tri Riyadi Denny Mizhar Deny Tri Aryanti Detti Febrina Dharmadi Diah Hadaning Dian Hartati Dian Sukarno Diana A.V. Sasa Dicky Fadiar Djuhud Didi Arsandi Dimas Dina Oktaviani Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Djadjat Sudradjat Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Doddy Hidayatullah Donny Anggoro Dony P. Herwanto Dorothea Rosa Herliany Dr. Muhammad Zafar Iqbal Dr. Simuh Dwi Arjanto Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwicipta Dwijo Maksum Edy A. Effendi Edy Firmansyah Efri Ritonga Egidius Patnistik Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Hendri Saiful Elik Elsya Crownia Emha Ainun Nadjib Endah Sulawesi Endah Wahyuningsih Endang Suryadinata Endhiq Anang P Endri Y Eriyandi Budiman Ernest Hemingway Esai Esha Tegar Putra Eva Dwi Kurniawan Evi Dana Setia Ningrum Evi Idawati Evieta Fadjar F Rahardi Fabiola D. Kurnia Fadelan Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Faisal Kamandobat Faisal Syahreza Faizal Syahreza Fajar Alayubi Fandy Hutari Fany Chotimah Fatah Yasin Noor Fathor Lt Fathurrahman Karyadi Fatih Kudus Jaelani Fatma Dwi Rachmawati Fauzi Absal Festival Sastra Gresik Fikri. MS Fina Sato Fitri Susila Galih Pandu Adi Gde Agung Lontar Geger Riyanto Gerakan Literasi Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Ginanjar Rahadian Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gunoto Saparie Gus Martin Gus tf Sakai Gusti Eka Hadi Napster Haji Misbach Halim HD Halimi Zuhdy Hamberan Syahbana Hamdy Salad Han Gagas Handoko F. Zainsam Hari Santoso Haris del Hakim Hartono Harimurti Hary B. Kori’un Hasan Gauk Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Helwatin Najwa Hepi Andi Bastoni Heri C Santoso Heri KLM Heri Latief Heri Listianto Hermien Y. Kleden Hernadi Tanzil Heru Emka Heru Kurniawan Heru Prasetya Hesti Sartika Hudan Hidayat Humaidiy AS I Made Asdhiana I Made Prabaswara I Nyoman Suaka IBM. Dharma Palguna Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Ida Ahdiah Idayati Ignas Kleden Ihsan Taufik Ilenk Rembulan Ilham Khoiri Ilham Yusardi Imam Cahyono Imam Jahrudin Priyanto Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indah Darmastuti Indiar Manggara Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indrian Koto Irma Safitri Irman Syah Iskandar Noe Istiqomatul Hayati Ita Siregar Iwan Kurniawan Iwan Nurdaya-Djafar Iyut FItra Jadid Al Farisy Jafar M. Sidik Jakob Sumardjo Jamal D Rahman Janual Aidi Javed Paul Syatha Jayaning S.A Jefri al Malay Jihan Fauziah JJ. Kusni Jo Pakagula Johan Edy Raharjo Joko Pinurbo Jokowi Undercover Joni Ariadinata Joss Wibisono Jual Buku Paket Hemat Judyane Koz Juli Sastrawan Junaidi Abdul Munif Jusuf AN Juwairiyah Mawardy Kadir Ruslan Kasnadi Katrin Bandel Kedung Darma Romansha Khairul Mufid Jr Khamami Zada Khrisna Pabichara Kikin Kuswandi Koh Young Hun Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Komunitas Sastra Ilalang Indonesia (KSII) Korrie Layun Rampan Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan) Kristianto Batuadji Kritik Sastra Kunni Masrohanti Kunthi Hastorini Kuntowijoyo Kurie Suditomo Kurnia EF Kurniawan Kuswaidi Syafi'ie Kuswinarto Lan Fang Landung Rusyanto Simatupang Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Liestyo Ambarwati Khohar Linda Sarmili Liston P. Siregar Liza Wahyuninto LN Idayanie Lucia Idayani Lukman Asya Lusiana Indriasari Lynglieastrid Isabellita M Hari Atmoko M. Aan Mansyur M. Arman A.Z M. Bagus Pribadi M. Fadjroel Rachman M. Harya Ramdhoni Julizarsyah M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S M. Luthfi Aziz M. Nahdiansyah Abdi M. Raudah Jambak M. Shoim Anwar M. Yoesoef M.D. Atmaja Maghfur Saan Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Majalah Sastra Horison Maklumat Sastra Profetik Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Serenade Sinurat Mario F. Lawi Marluwi Marsel Robot Martin Aleida Martin Suryajaya Mashuri Matdon Mega Vristian Melani Budianta Melayu Riau Memoar MG. Sungatno Mh Zaelani Tammaka Miftah Fadhli Miftahul Abrori Misbahus Surur Miziansyah J Mochtar Lubis Mohamad Ali Hisyam Mohammad Eri Irawan MT Arifin Mugy Riskiana Halalia Muhajir Arrosyid Muhamad Rifai Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Al-Mubassyir Muhammad Qodari Muhammad Rain Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun A.S Muhidin M. Dahlan Muhlis Al-Firmany Mujtahid Mulyadi SA Munawir Aziz Murniati Tanjung Murnierida Pram Musa Ismail Musfi Efrizal Mustaan Mustafa Ismail N. Mursidi Nafsul Latifah Naskah Teater Nasrullah Nara Nelson Alwi Nenden Lilis A Nh. Anfalah Ni Made Purnama Sari Nina Mussolini-Hansson Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Noura Nova Christina Noval Jubbek Novela Nian Nugroho Notosusanto Nugroho Pandhu Sukmono Nur Faizah Nurdin F. Joes Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nurul Komariyah Nuryana Asmaudi SA Nyoman Tusthi Eddy Nyoman Wirata Oka Rusmini Oktamandjaya Wiguna Oky Sanjaya Olanama Olivia Kristina Sinaga Otto Sukatno CR Pagelaran Musim Tandur Pamusuk Eneste Patricia Pawestri PDS H.B. Jassin PDS. H.B. Jassin Penghargaan Hadiah Sastra Pusat Bahasa Persda Network Pipiet Senja Pramoedya Ananta Toer Pramono Pranita Dewi Pringadi AS Prita Daneswari Prof. Tamim Pardede sebut Bambang Tri Prosa Pudyo Saptono Puisi Puisi Kesunyian Puisi Sufi Puji Santosa PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Wijaya Qaris Tajudin R. Sugiarti Rachmad Djoko Pradopo Radhar Panca Dahana Ragdi F. Daye Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Ramadhan Batubara Ramadhan KH Ratih Kumala Ratna Indraswari Ibrahim Ratna Sarumpaet Raudal Tanjung Banua Remy Sylado Reni Susanti Renny Meita Widjajanti Resensi Restu Kurniawan Retno Sulistyowati RF. Dhonna Rian Sindu Ribut Wijoto Ridwan Munawwar Riki Utomi Riris K. Toha-Sarumpaet Risang Anom Pujayanto Riza Multazam Luthfy Robin Al Kautsar Rodli TL Rofiqi Hasan Rohman Abdullah Rosidi Rosihan Anwar Rukardi S Yoga S. Jai S. Sinansari Ecip S.I. Poeradisastra S.W. Teofani Sabam Siagian Sabrank Suparno Saiful Anam Assyaibani Sainul Hermawan Sajak Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sanggar Rumah Ilalang Sanggar Teater Jerit Sapardi Djoko Damono Sartika Dian Sartika Dian Nuraini Sastra Tanah Air Sastra Using Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sayyid Fahmi Alathas Sazano Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo Seli Desmiarti Selo Soemardjan Senggrutu Singomenggolo Seno Joko Suyono SH Mintardja Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sipri Senda Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Sobih Adnan Sofian Dwi Sofie Dewayani Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sri Ruwanti Sri Wintala Achmad St Sularto Stefanus P. Elu Sukron Abdilah Sulaiman Djaya Suminto A. Sayuti Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sungging Raga Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Suryansyah Suryanto Sastroatmodjo Susanto Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suyadi Suyadi San Syaifuddin Gani Syaiful Amin Syamsiar Hidayah Syarbaini Syifa Amori Syifa Aulia Tajuddin Noor Ganie Taufik Abdullah Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat TE. Priyono Teguh Afandi Teguh Ranusastra Asmara Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Theresia Purbandini Tita Tjindarbumi Titik Alva-Alvi Choiriyah Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tjoet Nyak Dhien Tosa Poetra Tri Lestari Sustiyana Triyanto Triwikromo TS Pinang Tu-ngang Iskandar Tulus S Tulus Wijanarko Udo Z. Karzi Ugoran Prasad Umar Fauzi Ballah Umar Kayam Umbu Landu Paranggi Universitas Indonesia Universitas Jember Utada Kamaru UU Hamidy Vera Ernawati Veronika Ninik W.S. Rendra Wahjudi Djaja Wahyu Hidayat Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Budiartha Widya Karima Wijaya Herlambang Wiji Thukul Willem B Berybe Wilson Nadeak Winarni R. Wiratmo Soekito Wita Lestari Wiwik Widayaningtias Y. Thendra BP Y. Wibowo Yasser Arafat Yeni Ratnaningsih Yohanes Sehandi Yonatan Raharjo Yonathan Rahardjo Yopi Setia Umbara Yos Rizal S Yos Rizal Suriaji Yudhi Herwibowo Yuka Fainka Putra Yurnaldi Yushifull Ilmy Yusri Fajar Yusuf Suharto Zainal Abidin Zainal Arifin Thoha Zawawi Se Zen Hae