Selasa, 18 November 2008

Sastra Dunia, Sastra Nasional

DEMIKIANLAH batas wilayah linguistik semakin mendekati batas wilayah negara, batas bangsa.
Bambang Agung*
http://www.korantempo.com/

DEMIKIANLAH batas wilayah linguistik semakin mendekati batas wilayah negara, batas bangsa. Bahasa adalah lemari penyimpan memori bangsa, baik yang busuk memuakkan maupun yang indah membanggakan. Dari hal-hal begini, antara lain, karakter suatu bangsa terbentuk. Pada hal semacam ini pula semestinya dicari "sastra kita, sastra nasional", dengan kata lain, sastra berbasis bangsa. Soal bagaimana bentuk ideal dan ukuran mutu "sastra nasional" idealnya, itu perkara lain yang layak diperdebatkan. Namun, satu hal pasti: sastra sampai batas tertentu mesti tunduk pada karakter bahasa.

Ini gampang dilihat dalam puisi, karya sastra yang paling tergantung pada karakter bahasa. Dibanding cerpen atau novel, puisi jauh lebih sukar diterjemahkan. Di samping padat metafor, rima dan ritme puisi sangat tergantung pada karakter masing-masing bahasa. Puisi dari bahasa Inggris, misalnya, akan kehilangan banyak bila diterjemahkan ke bahasa Polandia (lihat Joanna Janecka, "The Power of Sound", Translation Journal, October 2001) atau puisi Rimbaud akan kehilangan denting romantiknya saat diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris (lihat Michael Walker, "Translating Rimbaud's Poetry from French to English", Translation Journal, October 1998). Juga mudah diduga, kelebihan Shakespeare mengolah kekuatan kata satu suku akan menguap saat karyanya dialihbahasakan ke dalam bahasa yang minim hal demikian, seperti bahasa Indonesia.

Dalam rumah-penjara bahasa inilah, pengarang menemui tantangan dan peluang besar untuk mencipta atau mendobrak. Dalam faktor-faktor konkret demikian--bahasa hanya salah satu contoh di antara banyak faktor lain, misalnya pengalaman bersama (tragedi '65, pemerintahan rezim Orba, pendidikan yang buruk dan salah urus, dan seterusnya)--ke-bangsa-an sastra bisa ditelusuri.

Dengan begitu, baik "nasionalisme sempit" maupun penolakan keras hati terlampaui. Dengan begitu pula, arah pernyataan Moretti bisa dibalik: raison d'etre sastra nasional adalah terus-menerus menjadi "duri dalam daging" bagi sastra dunia dan sastra daerah. Dan itu mensyaratkan satu fakta sederhana: karya sastra nasional mempunyai kelebihan atau perbedaan dari sastra dunia maupun sastra daerah. Di sinilah daya cipta dipertarungkan dan prestasi dipertaruhkan. HUBUNGAN sastra dan politik adalah soal yang tidak pernah habis diperdebatkan. Tapi justru di sini posisi para pembela kemurnian sastra terlihat paling problematis.

Memang benar suatu ketika di suatu tempat, realisme pernah diklaim oleh sementara pihak sebagai satu-satunya bentuk sastra yang "paling benar" untuk menampilkan realitas. Memang benar pula, varian dari sastra ini, yakni realisme sosialis, pernah didukung oleh kekuasaan negara untuk menganaktirikan dan mencelakakan penulis sastra yang lain (lihat Vitally Shentalinsky, Arrested Voices: Resurrecting the Disappeared Writers of the Soviet Regime, 1993). Memang benar juga perumusan konsep realisme sosialis oleh pemikirnya, Georg Lukacs, sejak awal tidak kalis dari kerancuan. Meski mengklaim berangkat dari tradisi Marxis, model ideal Lukacs adalah karya-karya pengarang Jerman, Thomas Mann. Sementara itu, Marx dan Engels sendiri condong ke karya-karya pengarang Prancis, Balzac, yang agak sukar dimasukkan ke dalam kriteria ketat realisme sosialis Lukacs. Susahnya pula, Mann sendiri bersikap dingin-dingin saja, kalau tidak malah risi, dengan segala kesibukan Lukacs yang dikaitkan dengan dirinya. Masuknya seniman-penulis Marxis lain, Bertolt Brecht, ke dalam perdebatan membuat perkara semakin tidak sederhana.

Tapi terlepas dari keterbatasan metodologi maupun eksekusi pengolahan bahannya, menurut Moretti, kehebatan studi Lukacs adalah proyek rintisannya untuk memahami pola hegemoni simbolis pada zamannya. Cara kita mendekati sastra menggunakan sastra bandingan misalnya adalah cara pandang kita atas dunia.

Dengan demikian, dalam benak kaum pemurni sastra, dunia (sastra) yang mereka bayangkan adalah dunia (sastra) yang merdeka dari kepentingan politik atau pengaruh kekuasaan. Benarkah?

Cara pandang ini di samping tidak realistis, juga merugikan diri sendiri. Tidak realistis karena mengaburkan ketidakadilan yang ada.

Pengertian kekuasaan yang dirujuk Nirwan dan para pemurni sastra adalah kekuasaan negara. Meski harus diperiksa lebih lanjut, pengertian kekuasaan macam ini mungkin refleksi dari pengalaman politik menjelang tragedi '65 maupun rezim represif Orba. Sayangnya, pengertian macam ini gagal menangkap mekanisme kekuasaan pada dua tingkat: kekuasaan yang melampaui ruang lingkup negara dan kekuasaan yang bermain di antara jari-jari kaki kekuasaan negara.

Seperti dilihat Moretti, sastra dunia adalah sistem yang satu namun timpang, tidak adil. Sastra dari kebudayaan inti, Inggris dan Prancis, menyilangi dan mempengaruhi sastra-sastra dari kebudayaan pinggiran atau semipinggiran. Kalaupun terjadi arah sebaliknya, yang tidak terlalu sering terjadi, khalayak dari budaya pinggiran harus menebus dengan harga (secara finansial atau nonfinansial) yang jauh lebih tinggi. Boleh dihitung pula berapa persen dibanding karya sastra yang diproduksi dan ditulis pengarang dari budaya inti, karya yang diproduksi dan ditulis oleh pengarang dari budaya pinggiran bisa didengar.

Dalam sistem sastra dunia perimbangan kekuasaan tidak adil karena, dalam bahasa Itamar Even-Zohar, "Tidak ada kesejajaran dalam hubungan saling-pengaruh sastra. Sastra sasaran (sastra dari budaya pinggiran)... dipengaruhi oleh sastra sumber (sastra dari budaya inti) yang sepenuhnya mengabaikannya."

Hal yang sama berlaku untuk mekanisme hubungan kekuasaan sastra nasional dan sastra daerah: sastra daerah dipengaruhi oleh sastra dari pusat (Jakarta, terutama) yang sepenuhnya mengabaikannya. Komentar minor para penulis daerah terhadap hubungan tidak imbang antara pusat dan daerah ini terhadap dominasi pusat dalam dunia sastra terlalu sering kita dengar. Begitu pula bagaimana persoalan besar yang dihadapi seorang (bakal) sastrawan yang baik dan diharapkan berwawasan kosmopolitan bisa diatasi bila infrastruktur di sekitarnya: bahan bacaan, pendidikan, komunitas intelektual, tidak memadai? Kalimat berikut: "seorang penyair yang tumbuh di Bone atau Rogojampi yang... memandang serius... Sutasoma yang hanya dia baca terjemahan Inggrisnya" (cetak miring ditambahkan--BA) jelas menunjukkan betapa Nirwan lalai mempertimbangkan ketidakadilan distribusi fasilitas yang ada, betapa dia melupakan kekuasaan mikro yang bermain. Dan juga seberapa besar peluang penulis dari Bone, Rogojampi, atau tempat mana pun yang serba minim fasilitas mampu menembus seleksi gramatik penulisan sastra seorang redaktur ruang budaya di suatu media massa? Itu baru ketimpangan spasial, belum lagi soal ketimpangan finansial, diskriminasi, dan berbagai soal lain. Tapi barangkali semua ini juga tercecer dari pertimbangan kaum pemurni sastra.

Tapi yang lebih susah, karena berpretensi nonpolitis, kaum pemurni sastra tidak memiliki pijakan etis untuk bersuara sekaligus kemungkinan mengubah kenyataan yang sering tidak ideal. Di luar keluh-kesah dan aksi personal, setiap langkah lebih lanjut selalu terbentur pada batas ruang yang mereka bikin sendiri, ruang kedap politik. Di hadapan ketimpangan yang membutuhkan tindakan politik semisal kebobrokan pendidikan secara umum atau (apalagi) pendidikan sastra, di hadapan ratusan bakat sastra yang berguguran karena lembaga-lembaga kebudayaan yang salah urus dan distribusi fasilitas penunjang yang tidak adil, mereka terpaksa menjadi penonton. Mungkin penuh ratap, tapi tetap penonton.

Banyak hal yang masih harus dibenahi, dan masih terlalu mewah untuk bersikap sebagai penonton.

*) Lulus dari Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Jakarta. Bergabung dengan Tim Peneliti Sastra Eksil Indonesia. Bagian pertama tulisan ini dimuat minggu lalu.

Tidak ada komentar:

Label

`Atiqurrahman A Muttaqin A Rodhi Murtadho A. Iwan Kapit A. Purwantara A. Qorib Hidayatullah A. Zakky Zulhazmi A.H.J Khuzaini A.S. Laksana Aang Fatihul Islam Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi WM Abdul Kadir Ibrahim Abdul Lathief Abdul Malik Abdul Wachid B.S. Abdurrahman El Husaini Abidah El Khalieqy Abu Salman Acep Zamzam Noor Achdiat K. Mihardja Adek Alwi Adi Suhara Adnyana Ole Adreas Anggit W. Afrion Afrizal Malna Aguk Irawan MN Agung Dwi Ertato Agus B. Harianto Agus Buchori Agus Himawan Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sulton Agusri Junaidi Agustinus Wahyono Ahda Imran Ahmad Badrus Sholihin Ahmad Fanani Mosah Ahmad Fatoni Ahmad Ikhwan Susilo Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musabbih Ahmad Rofiq Ahmad Sahidah Ahmad Tohari Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sekhu Alex R. Nainggolan Alex Suban Alunk Estohank Ami Herman Amien Kamil Amien Wangsitalaja Aminudin R Wangsitalaja Anastasya Andriarti Andreas Maryoto Anes Prabu Sadjarwo Angela Angga Wijaya Angkie Yudistia Anindita S Thayf Anis Ceha Anjrah Lelono Broto Anton Kurnia Anton Kurniawan Anton Wahyudi Anugrah Gio Pratama Anwar Nuris Aprinus Salam Arie MP Tamba Arif B. Prasetyo Arif Bagus Prasetyo Arif Hidayat Arman A.Z. Arti Bumi Intaran Arys Hilman AS Sumbawi Asarpin Asef Umar Fakhruddin Asep Sambodja Asrama Mahasiswa Aceh SABENA Astrikusuma Asvi Warman Adam Atep Kurnia Awalludin GD Mualif Aziz Abdul Gofar Azizah Hefni Badrut Tamam Gaffas Bagja Hidayat Bagus Takwin Balada Bale Aksara Baltasar Koi Bambang Agung Bambang Kempling Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Bayu Insani Beni Setia Benny Arnas Benny Benke Berita Berita Duka Berita Utama Bernando J. Sujibto Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Blambangan Brunel University London BSW Adjikoesoemo Budaya Budhi Setyawan Budi Darma Budi Saputra Budi Suwarna Bung Tomo Cak Kandar Catatan Cerpen Chairil Anwar Chavchay Syaifullah Cucuk Espe Cunong N. Suraja D. Zawawi Imron Dadang Ari Murtono Daisuke Miyoshi Damanhuri Damhuri Muhammad Damiri Mahmud Danarto Daniel Dhakidae Dante Alighieri Deddy Arsya Dedy Tri Riyadi Denny Mizhar Deny Tri Aryanti Detti Febrina Dharmadi Diah Hadaning Dian Hartati Dian Sukarno Diana A.V. Sasa Dicky Fadiar Djuhud Didi Arsandi Dimas Dina Oktaviani Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Djadjat Sudradjat Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Doddy Hidayatullah Donny Anggoro Dony P. Herwanto Dorothea Rosa Herliany Dr. Muhammad Zafar Iqbal Dr. Simuh Dwi Arjanto Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwicipta Dwijo Maksum Edy A. Effendi Edy Firmansyah Efri Ritonga Egidius Patnistik Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Hendri Saiful Elik Elsya Crownia Emha Ainun Nadjib Endah Sulawesi Endah Wahyuningsih Endang Suryadinata Endhiq Anang P Endri Y Eriyandi Budiman Ernest Hemingway Esai Esha Tegar Putra Eva Dwi Kurniawan Evi Dana Setia Ningrum Evi Idawati Evieta Fadjar F Rahardi Fabiola D. Kurnia Fadelan Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Faisal Kamandobat Faisal Syahreza Faizal Syahreza Fajar Alayubi Fandy Hutari Fany Chotimah Fatah Yasin Noor Fathor Lt Fathurrahman Karyadi Fatih Kudus Jaelani Fatma Dwi Rachmawati Fauzi Absal Festival Sastra Gresik Fikri. MS Fina Sato Fitri Susila Galih Pandu Adi Gde Agung Lontar Geger Riyanto Gerakan Literasi Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Ginanjar Rahadian Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gunoto Saparie Gus Martin Gus tf Sakai Gusti Eka Hadi Napster Haji Misbach Halim HD Halimi Zuhdy Hamberan Syahbana Hamdy Salad Han Gagas Handoko F. Zainsam Hari Santoso Haris del Hakim Hartono Harimurti Hary B. Kori’un Hasan Gauk Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Helwatin Najwa Hepi Andi Bastoni Heri C Santoso Heri KLM Heri Latief Heri Listianto Hermien Y. Kleden Hernadi Tanzil Heru Emka Heru Kurniawan Heru Prasetya Hesti Sartika Hudan Hidayat Humaidiy AS I Made Asdhiana I Made Prabaswara I Nyoman Suaka IBM. Dharma Palguna Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Ida Ahdiah Idayati Ignas Kleden Ihsan Taufik Ilenk Rembulan Ilham Khoiri Ilham Yusardi Imam Cahyono Imam Jahrudin Priyanto Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indah Darmastuti Indiar Manggara Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indrian Koto Irma Safitri Irman Syah Iskandar Noe Istiqomatul Hayati Ita Siregar Iwan Kurniawan Iwan Nurdaya-Djafar Iyut FItra Jadid Al Farisy Jafar M. Sidik Jakob Sumardjo Jamal D Rahman Janual Aidi Javed Paul Syatha Jayaning S.A Jefri al Malay Jihan Fauziah JJ. Kusni Jo Pakagula Johan Edy Raharjo Joko Pinurbo Jokowi Undercover Joni Ariadinata Joss Wibisono Jual Buku Paket Hemat Judyane Koz Juli Sastrawan Junaidi Abdul Munif Jusuf AN Juwairiyah Mawardy Kadir Ruslan Kasnadi Katrin Bandel Kedung Darma Romansha Khairul Mufid Jr Khamami Zada Khrisna Pabichara Kikin Kuswandi Koh Young Hun Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Komunitas Sastra Ilalang Indonesia (KSII) Korrie Layun Rampan Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan) Kristianto Batuadji Kritik Sastra Kunni Masrohanti Kunthi Hastorini Kuntowijoyo Kurie Suditomo Kurnia EF Kurniawan Kuswaidi Syafi'ie Kuswinarto Lan Fang Landung Rusyanto Simatupang Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Liestyo Ambarwati Khohar Linda Sarmili Liston P. Siregar Liza Wahyuninto LN Idayanie Lucia Idayani Lukman Asya Lusiana Indriasari Lynglieastrid Isabellita M Hari Atmoko M. Aan Mansyur M. Arman A.Z M. Bagus Pribadi M. Fadjroel Rachman M. Harya Ramdhoni Julizarsyah M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S M. Luthfi Aziz M. Nahdiansyah Abdi M. Raudah Jambak M. Shoim Anwar M. Yoesoef M.D. Atmaja Maghfur Saan Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Majalah Sastra Horison Maklumat Sastra Profetik Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Serenade Sinurat Mario F. Lawi Marluwi Marsel Robot Martin Aleida Martin Suryajaya Mashuri Matdon Mega Vristian Melani Budianta Melayu Riau Memoar MG. Sungatno Mh Zaelani Tammaka Miftah Fadhli Miftahul Abrori Misbahus Surur Miziansyah J Mochtar Lubis Mohamad Ali Hisyam Mohammad Eri Irawan MT Arifin Mugy Riskiana Halalia Muhajir Arrosyid Muhamad Rifai Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Al-Mubassyir Muhammad Qodari Muhammad Rain Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun A.S Muhidin M. Dahlan Muhlis Al-Firmany Mujtahid Mulyadi SA Munawir Aziz Murniati Tanjung Murnierida Pram Musa Ismail Musfi Efrizal Mustaan Mustafa Ismail N. Mursidi Nafsul Latifah Naskah Teater Nasrullah Nara Nelson Alwi Nenden Lilis A Nh. Anfalah Ni Made Purnama Sari Nina Mussolini-Hansson Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Noura Nova Christina Noval Jubbek Novela Nian Nugroho Notosusanto Nugroho Pandhu Sukmono Nur Faizah Nurdin F. Joes Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nurul Komariyah Nuryana Asmaudi SA Nyoman Tusthi Eddy Nyoman Wirata Oka Rusmini Oktamandjaya Wiguna Oky Sanjaya Olanama Olivia Kristina Sinaga Otto Sukatno CR Pagelaran Musim Tandur Pamusuk Eneste Patricia Pawestri PDS H.B. Jassin PDS. H.B. Jassin Penghargaan Hadiah Sastra Pusat Bahasa Persda Network Pipiet Senja Pramoedya Ananta Toer Pramono Pranita Dewi Pringadi AS Prita Daneswari Prof. Tamim Pardede sebut Bambang Tri Prosa Pudyo Saptono Puisi Puisi Kesunyian Puisi Sufi Puji Santosa PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Wijaya Qaris Tajudin R. Sugiarti Rachmad Djoko Pradopo Radhar Panca Dahana Ragdi F. Daye Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Ramadhan Batubara Ramadhan KH Ratih Kumala Ratna Indraswari Ibrahim Ratna Sarumpaet Raudal Tanjung Banua Remy Sylado Reni Susanti Renny Meita Widjajanti Resensi Restu Kurniawan Retno Sulistyowati RF. Dhonna Rian Sindu Ribut Wijoto Ridwan Munawwar Riki Utomi Riris K. Toha-Sarumpaet Risang Anom Pujayanto Riza Multazam Luthfy Robin Al Kautsar Rodli TL Rofiqi Hasan Rohman Abdullah Rosidi Rosihan Anwar Rukardi S Yoga S. Jai S. Sinansari Ecip S.I. Poeradisastra S.W. Teofani Sabam Siagian Sabrank Suparno Saiful Anam Assyaibani Sainul Hermawan Sajak Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sanggar Rumah Ilalang Sanggar Teater Jerit Sapardi Djoko Damono Sartika Dian Sartika Dian Nuraini Sastra Tanah Air Sastra Using Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sayyid Fahmi Alathas Sazano Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo Seli Desmiarti Selo Soemardjan Senggrutu Singomenggolo Seno Joko Suyono SH Mintardja Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sipri Senda Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Sobih Adnan Sofian Dwi Sofie Dewayani Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sri Ruwanti Sri Wintala Achmad St Sularto Stefanus P. Elu Sukron Abdilah Sulaiman Djaya Suminto A. Sayuti Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sungging Raga Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Suryansyah Suryanto Sastroatmodjo Susanto Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suyadi Suyadi San Syaifuddin Gani Syaiful Amin Syamsiar Hidayah Syarbaini Syifa Amori Syifa Aulia Tajuddin Noor Ganie Taufik Abdullah Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat TE. Priyono Teguh Afandi Teguh Ranusastra Asmara Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Theresia Purbandini Tita Tjindarbumi Titik Alva-Alvi Choiriyah Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tjoet Nyak Dhien Tosa Poetra Tri Lestari Sustiyana Triyanto Triwikromo TS Pinang Tu-ngang Iskandar Tulus S Tulus Wijanarko Udo Z. Karzi Ugoran Prasad Umar Fauzi Ballah Umar Kayam Umbu Landu Paranggi Universitas Indonesia Universitas Jember Utada Kamaru UU Hamidy Vera Ernawati Veronika Ninik W.S. Rendra Wahjudi Djaja Wahyu Hidayat Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Budiartha Widya Karima Wijaya Herlambang Wiji Thukul Willem B Berybe Wilson Nadeak Winarni R. Wiratmo Soekito Wita Lestari Wiwik Widayaningtias Y. Thendra BP Y. Wibowo Yasser Arafat Yeni Ratnaningsih Yohanes Sehandi Yonatan Raharjo Yonathan Rahardjo Yopi Setia Umbara Yos Rizal S Yos Rizal Suriaji Yudhi Herwibowo Yuka Fainka Putra Yurnaldi Yushifull Ilmy Yusri Fajar Yusuf Suharto Zainal Abidin Zainal Arifin Thoha Zawawi Se Zen Hae