Rumah Kopi
Rahasia dari bibir kita sederhana: Aku menyeret waktu
yang beku, mirip kabar sendu dari jendela lebar, dari beranda
penuh kursi dan dari tiap daun meja. Sedang kau menyaru
dalam bau yang kuhidu dari asap tipis rindu di bibir cangkir.
Dan mata kita diam-diam menyimpan rahasia yang lain:
Hangat tubuhmu menghitam dan sedikit berbuih, seperti
pada sebuah pantai aku menemu bangkai ketam. Sementara
sebentar-sebentar ada kalut yang mengarah ke laut, jauh
dari aku dan sebuah sesal yang dipintal oleh kata-kata.
Aku bukan musafir, hanya perut petualang yang tak lapar
benar. Helai roti berselai nenas, bukan sesuatu yang pantas
untuk dihidangkan sebab – sudah dikabarkan sebelumnya –
manusia bisa dipuaskan hanya dengan firman.
Maka rahasia-rahasia hanyalah percakapan biasa di tubuh
waktu. Diam-diam di meja seberang ada yang mencuri tawa
kita. Menyembunyikannya pada pekat malam, pada dada laut
dalam, dan juga pada bangkai ketam.
Lalu, apakah sesal? Dingin merapat di ketat cangkir.
Dan kita hanya bisa saling memandang.
Dan kita merapikan bibir masing-masing.
Sementara meja dan kursi berderet-deret panjang
di beranda, menyebar keharuman sederhana..
Keharuman yang belum bisa diucapkan.
2012
Di Kedai Bibit Tanaman
Yang dipinggirkan daunan adalah anyaman cahaya
menyitas lubang-lubang paranet lalu acuh melintasimu,
tak menyapa juga tak menyentuh rambutmu yang kini
mulai sering dikelabui kenangan.
Yang sering disajikan aneka bunga selain harum dan warna
adalah nama-nama dan peristiwa, berkelindan dari
aneka tandan dan buketan. Tanganmu rajin menyibak
dan menyimaknya, meski ada getar halus itu.
getar serupa sayap serangga, kepik atau entah apa
tetapi jelas mendengung seolah bunyi dari seberang
gagang telepon begitu pembicarakan kita hentikan.
2012
Setelah Kau Mengunci Pagar
Malam semakin marak
senapan-senapan sepi
saling menyalak.
Dan dia – korban bulan bisu –
baru berwarna biru,
seperti habis ditasbihkan
oleh sepotong lagu,
merayu-rayu engkau.
Menyaru aku.
2012
Tabah Dahan
Dia saksikan embun yang tadi pagi singgah
diam-diam menghilang ke mana entah.
Dia saksikan daun yang beberapa waktu
baru tumbuh, tahu-tahu sudah luruh.
Dia saksikan juga bunga belum lama kuntum
lalu mekar dan mahkotanya pun tersebar.
Adalah angin kerap menggodanya, agar
kelak, dia lebih tabah jadi kayu bakar.
2012
Dedy Tri Riyadi, menulis puisi, apresiasi, cerita pendek, novel. Sempat menjadi redaktur puisi untuk situs Sastra Litera, Lokomoteks, dan kini tengah menggawangi majalah puisi digital Mata Puisi. Dua buku puisinya “Liburan Penyair” dan “Berlatih Solmisasi” sempat masuk ke dalam 10 daftar panjang nominasi Kusala Sastra Khatulistiwa tahun 2014 dan 2018. Meraih penghargaan sebagai penulis puisi terbaikversi situs Litera.co.id tahun 2017 dan Penyair Muda Berbakat versi situs Basabasi.co di tahun 2018. Sehari-hari bekerja sebagai perencana media periklanan. Kini bermukim di Tangerang Selatan. https://puisikompas.wordpress.com/2012/09/25/puisi-dedy-tri-riyadi/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar